commit to user
FUNGSI SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DALAM MENDUKUNG PERADILAN YANG
BERSIH DAN BERWIBAWA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna
Memperoleh Derajat Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
M. Rusydi Prasetya
NIM. E 0005210
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
commit to user ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
FUNGSI SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DALAM
MENDUKUNG PERADILAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA
Oleh
M. Rusydi Prasetya
NIM. E 0005210
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, November 2010
Dosen Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Sugeng Praptono, S.H., M.H. Isharyanto, S.H., M.M.
commit to user iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
FUNGSI SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DALAM MENDUKUNG PERADILAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA
Oleh :
M. Rusydi Prasetya NIM. E 0005210
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan
Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Senin
Tanggal : 17 Januari 2011
DEWAN PENGUJI
1.Sutedjo, S.H.,M.H. : ...
Ketua
2.Sugeng Praptono,S.H.,M.H. : ... Sekretaris
3.Isharyanto,S.H.,M.H. : ... Anggota
Mengetahui
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum
commit to user iv
PERNYATAAN
Nama : M. Rusydi Prasetya NIM : E0005210
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : FUNGSI SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DALAM
MENDUKUNG PERADILAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA adalah
betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum
(skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 28 November 2010 Yang membuat pernyataan
commit to user v
ABSTRAK
M. Rusydi Prasetya. E.0005210. 2010. FUNGSI SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DALAM MENDUKUNG PERADILAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh jawaban mengenai latarbelakang pembentukan satuan tugas pemberantasan mafia hukum dan fungsi satgas pemberantasan mafia hukum dalam mendukung peradilan yang bersih dan berwibawa.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif dan terapan untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum terkait isu hukum mengenai fungsi satgas pemberantasan mafia hukum dalam Hukum Tata Negara Indonesia. Beberapa pendekatan yang digunakan untuk menelaah isu hukum ini adalah dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan historis. Adapun, untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya digunakan jenis bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai bahan pengkajian dengan teknik pengumpulan bahan hukum studi dokumen atau bahan pustaka baik dari media cetak maupun elektonik (internet). Selanjutnya bahan hukum tersebut dianalisis dengan teknik analisis silogisme dan interpretasi.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa pembentukan satgas pemberantasan mafia hukum yang dibentuk oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono adalah upaya yang dilakukan presiden untuk melakukan pemberantasan hukum dan mengembalikan citra pengadilan yang bersih dan berwibawa. Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sesuai dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab III Pasal 4 ” Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar” . Presiden mempunyai kewenangan membentuk lembaga negara bantu untuk memudahkan tugas presiden untuk memberantas mafia hukum yang bertanggung jawab langsung kepada presiden melalui Unit kerja Presiden bidang pengawasan dan pembangunan (UKP4). Satgas pemberantasan mafia hukum didalam menjalankan fungsinya mempunyai kewenangan melakukan koordinasi, koordinasi, evaluasi, koreksi, dan pemantauan/monitoring.
commit to user vi
ABSTRACT
M. Rusydi Prasetya. E.0005210. 2010. TASK UNIT FUNCTION OF THE MAFIA LAW ERADICATION IN SUPPORTING THE CLEAN AND RESPECTABLE JUSTICE. Law Faculty of Sebelas Maret University Surakarta.
This study aimed to obtain answers about the background of the formation of a task force to eradicate mafia law and the function of the eradication task force of law in supporting the clean and respectable justice.
This is a prescriptive and normative law research and applied to find the rule of law, legal principles, as well as legal doctrines related to legal issues regarding the function of task force to eradicate mafia law in the Constitutional Law of Indonesia. Some approaches used to examine this legal issue are legislation and historical approaches. Now, to resolve legal issues and provide prescriptions about what should be used when the type of primary law materials and secondary legal materials as a material assessment by technique studies document collection of legal materials or library materials from both print and electronic media (internet). Further legal materials were analyzed with analysis techniques of syllogisms and interpretation
Based on the research and discussion concluded that the formation of task force to eradicate mafia law established by the President of the Republic of Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono to combat and restore the image of a court of law and clean and respectable. President as the appropriate government authority in the Act of 1945 Chapter III Article 4 "The President of the Republic of Indonesia shall hold the power of government by the Constitution." The President has the authority to establish state institutions help to ease the task of the president to eradicate mafia law which is directly responsible to the president through the work unit President of supervision and development (UKP4). Task Force to eradicate mafia law in carrying out its functions has the authority to make coordination, evaluation, correction, and monitoring.
commit to user vii MOTTO
“Jangan ada rasa takut sedikitpun untuk melangkah dalam kebenaran, walaupun berat dalam menapakinya, dan yakinkan diri kalau Allah S.W.T selalu melindungi
hambanya yang berada dalam jalanNYA” ( Ayahnda )
“Jangan hidup seperti pohon padi setelah berisi lalu menunduk dan ditebas dengan sabit, Hiduplah seperti pohon kurma, walaupun dilempari dia justru memberi
kurma-kurmanya yang manis, dan semakin panas angin yang menerpa semakin masak dan
terus menjadi sempurna.” (Bunda)
“Selesaikan tanggungjawab yang diamanahkan kepadamu dengan usaha semaksimalnya niscaya kamu akan merasakan suatu kepuasaan yang sebanding
dengan usaha yang telah kamu lakukan untuk menyelesaikan tanggungjawab tersebut”
commit to user viii
PERSEMBAHAN
Penulisan hukum ( skripsi ) ini Penulis
persembahkan untuk :
™ Allah SWT, dzat dimana semuanya didalam gengamannya.
™ Rosulullah S.AW., sebagai panutan umat manusia.
™ Ayah dan Ibu Tercinta ™ Keluarga Penulis
™ Gopala Valentara Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Hukum
commit to user ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Alhamdulillahirabbillalamin
Segala puji syukur atas kehadirat Allah AWT karena hanya dengan berkah,
rahmat, karunia, dan ridho-Nya, sehingga akhirnya Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum dengan judul “ FUNGSI SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DALAM MENDUKUNG PERADILAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA” dengan baik dan lancar.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini, masih banyak
kekurangannya. Untuk itu Penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, sehingga dapat memperkaya isi penulisan hukum ini.
Penulis yakin bahwa keberhasilan di dalam penyelesaian penulisan hukum ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan
ini, Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum. Selaku dekan Fakulktas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
2. Bapak Djatmiko Anom H, S.H. selaku Pembimbing Akademik (PA) yang
telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
3. Bapak Sugeng Praptono, S.H., M.H. dan Bapak Isharyanto, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Penulisan Hukum (Skripsi) yang telah meluangkan waktu dan memberikan masukan yang membangun dalam memberikan arahan dan
bimbingan bagi tersusunnya skripsi ini.
commit to user x
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang dengan jerih payah dan penuh keihklasan mendidik dan menuangkan ilmu sehingga mampu menjadi
bekal untuk lebih memperdalam penguasaan ilmu hukum saat ini dan nantinya.
6. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang selama ini telah membantu Penulis dalam hal akademis dan hal-hal lain yang berkenaan dengan perkuliahan.
7. Kedua Orang Tuaku Bapak Sarno Hammam dan Ibu Rela Setiyani. Terimakasih atas kasih sayang, kesabaran serta dukungan tiada henti kepada Penulis.
8. Hardianto Wibowo, S.H, teman saya alumni Fakultas Hukum Trisakti dan
Kak Zamrony, S.H., M.Kn, Anggota Luar Biasa Gopala Valentara selau Tim Assisten Divisi Kajian dan Riset yang telah memberikan masukan dan data-data yang diperlukan penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi.
9. Serta semua keluarga Trah Karto Maryono yang yang selalu memberikan
dukungan moril maupun spirituil kepada penulis.
10.Saudara-saudaraku seperjuangan DIKLATSAR XXII, Dimas Ragil, Muyasaroh, Made Sanjaya , Ronggo Warsito, Devitha Kristi Rosali, Upik Handayani, Titus Cahyono, Rani Dwi Wati, Apriadi Rizal, Dian Perdana Ratri Hapsari, Nanang S, Dodi Tri Hari.
11.Segenap Keluarga besar Gopala Valentara PMPA FH UNS, Kakak-kakakku, Jhon Darwin Sitanggang, Agus Tri Anggoro, Andi Sophan serta adik-adikku semuanya. Yang telah memberikan ukiran dan pelajaran kehidupan kepada penulis mengenai apa arti dari kerja keras, tanggungjawab, kebersamaan dan kekeluargaan.
12.Teman-teman bulutangkis di PB.Poetra Soerayu, PB.Hukum Kedokteran. 13.Sahabat-sahabat terbaikku Abdul Wahid “she doel”, Muchlisin “kucing”,
commit to user xi
14.Seluruh teman mahasiswa fakultas hukum pada umumnya dan teman-teman angkatan 2005 pada khususnya.
15.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini bukan karya yang sempurna, untuk itu kritik dan saran dari pembaca budiman sangat penulis perlukan. Akhirnya, semoga skripsi ini mampu memberikan mafaat bagi kita semua.
Surakarta, Desember 2010
commit to user xii DAFTAR ISI
Halaman Judul... i
Halaman Persetujuan Pembimbing ... ii
Halaman Pengesahan Penguji ... iii
Halaman Pernyataan ... iv
Abstrak ... v
Abstract ... vi
Motto ... vii
Persembahan ... viii
Kata Pengantar ... ix
Daftar Isi ... xii
Daftar Gambar ... xv
Lampiran ... xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Metode Penelitian ... 7
F. Sistematika Penulisan Hukum ... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori... 12
1. Tinjauan Umum tentang Hukum Tata Negara ... 12
2. Tinjauan Umum tentang Lembaga Negara ... 22
3. Tinjauan Umum tentang Sistem Peradilan Indonesia ... 26
commit to user xiii
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Dibentuknya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Dalam Tatanan Hukum Tata Negara
Indonesia ... 1. Lembaga Negara Pasca Amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 ... 31 2. Kekuasaan Presiden Sebagai Pemegang Kekuasaan
Eksekutif ... 37
a). Kewenangan Presiden ... 38 b). Kekuasaan Presiden ... 39 3. Dibentuknya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia
Hukum ... 42
B. Fungsi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum ... 1. Keanggotaan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia
Hukum ... 46 2. Tugas dan Wewenang Satuan Tugas Pemberantasan
Mafia Hukum ... 47 3. Strategi Pencegahan dan Penindakan ... 47 4. Program Kerja Satuan Tugas Pemberantasan Mafia
Hukum Tahun 2010-2011 ... 48 5. Team Asistensi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia
Hukum ... 66 6. Laporan Triwulan 30 Desember 2009 – 30 Maret 2010 ... 71 BAB IV PENUTUP
commit to user xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 29
Gambar 2. Laporan Pengaduan Berdasarkan Jenis Kasus ... 75
Gambar 3. Laporan Pengaduan Berdasarkan Lembaga Yang Diadukan ... 76
Gambar 4. Tindak Lanjut Pengaduan Berdasarkan Instansi ... 77
commit to user xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Delapan Program Kerja Satgas ... 50
Tabel 2. Susunan Anggota Tim Assistensi ... 66
Tabel 3. Laporan Pengaduan Berdasarkan Jenis Kasus ... 75
Tabel 4. Laporan Pengaduan Berdasarkan Lembaga Yang Diadukan ... 76
Tabel 5. Tindak Lanjut Pengaduan Berdasarkan Instansi ... 77
commit to user xvi LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 tentang Satuan
Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.
commit to user DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
ABSTRAK ...
KATA PENGANTAR ...
DAFTAR ISI ...
DAFTAR TABEL ...
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...
B. Rumusan Masalah ...
C. Tujuan Penelitian ...
D. Manfaat Penelitian ...
E. Metode Penelitian ...
F. Sistematika Penulisan Hukum ...
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori...
1. Tinjauan Umum tentang Hukum Tata Negara ...
2. Tinjauan Umum tentang Lembaga Negara ...
3. Tinjauan Umum tentang Sistem Peradilan Indonesia ...
B. Kerangka Pemikiran ...
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Dibentuknya Satuan Tugas
Pemberantasan Mafia Hukum Dalam Tatanan Hukum
commit to user
1. Lembaga Negara Pasca Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 ...
2. Kekuasaan Presiden Sebagai Pemegang Kekuasaan
Eksekutif ...
a). Kewenangan Presiden ...
b). Kekuasaan Presiden ...
3. Dibentuknya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia
Hukum ...
B. Fungsi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum ...
1. Keanggotaan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia
Hukum ...
2. Tugas dan Wewenang Satuan Tugas Pemberantasan
Mafia Hukum ...
3. Strategi Pencegahan dan Penindakan ...
4. Program Kerja Satuan Tugas Pemberantasan Mafia
Hukum Tahun 2010-2011 ...
5. Team Asistensi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia
Hukum ...
6. Laporan Triwulan 30 Desember 2009 – 30 Maret
2010 ...
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ... .xxx
B. Saran... xxx
commit to user DAFTAR TABEL dan GAMBAR
Tabel 1. Sistematika Undang - Undang No 48 Tahun 2009 ... 52
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 31
Gambar 2. Teori Chaos menurut Charles Sampford ... 64
Gambar 3. Alur Perkembangan Kekuasaan Kehakiman ... 66
Gambar 4, Alur Proses Evolusi Tata Negara ... 71
commit to user
TASK UNIT FUNCTION OF THE MAFIA LAW ERADICATION IN SUPPORTING THE CLEAN AND RESPECTABLE JUSTICE.
This study aimed to obtain answers about the background of the formation of a task force to eradicate mafia law and the function of the eradication task force of law in
supporting the clean and respectable justice.
This is a prescriptive and normative law research and applied to find the rule of law, legal principles, as well as legal doctrines related to legal issues regarding the function of task force to eradicate mafia law in the Constitutional Law of Indonesia. Some
approaches used to examine this legal issue are legislation and historical approaches. Now, to resolve legal issues and provide prescriptions about what should be used when the type of primary law materials and secondary legal materials as a material assessment by technique studies document collection of legal materials or library materials from both
print and electronic media (internet). Further legal materials were analyzed with analysis techniques of syllogisms and interpretation
Based on the research and discussion concluded that the formation of task force to
eradicate mafia law established by the President of the Republic of Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono through Presidential Decree No. 37 of 2009 were efforts made by the president to combat and restore the image of a court of law and clean and respectable. President as the appropriate government authority in the Act of 1945 Chapter III Article 4 "The President of the Republic of Indonesia shall hold the power of government by the
Constitution." The President has the authority to establish state institutions help to ease the task of the president to eradicate mafia law which is directly responsible to the president through the work unit President of supervision and development (UKP4). Task Force to eradicate mafia law in carrying out its functions has the authority to make coordination, evaluation, correction, and monitoring. Follow-up which is very slow from
commit to user BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum sesuai dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 setelah amandemen, yang
menyatakan.” Negara Indonesia adalah Negara Hukum “ , Hal tersebut
sebagai dasar konstitusional semua organ yang bertindak sebagai penegak
hukum tersebut di dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya untuk
menegakkan hukum. Penegakkan hukum tersebut bertujuan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat dan keadilan bagi masyarakat. Dalam suatu negara
hukum seperti di Indonesia, lembaga peradilan merupakan tumpuan harapan
untuk memperoleh keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik untuk
mendapatkan penyelesaian suatu perkara dalam negara hukum adalah melalui
lembaga peradilan. Suatu pengadilan yang bebas dan tidak dipengaruhi
merupakan syarat bagi negara hukum. Bebas berarti tidak adanya campur atau
turun tangan dari kekuasaan Executive dan Legislative.
Lembaga peradilan sebagai motor atau penggerak dari sistem peradilan
tersebut di dalam pelaksanaannya memunculkan kekuasaan kehakiman. Di
dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman memberikan pengertian “ Kekuasaan Kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Selanjutnya di dalam
Bab III tentang pelaku kekuasaan kehakiman Pasal 18, Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa
“ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
commit to user
Di dalam penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung menjelaskan bahwa
“Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Oleh karena itu, Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Akan tetapi, Mahkamah Agung bukan satu-satunya lembaga yang melakukan pengawasan karena ada pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Berdasarkan Pasal 24B Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Oleh karena itu, diperlukan kejelasan tentang pengawasan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung dan pengawasan yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial. Pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung meliputi pelaksanaan tugas yudisial, administrasi, dan keuangan, sedangkan pengawasan yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial adalah pengawasan atas perilaku hakim, termasuk hakim agung. Dalam rangka pengawasan diperlukan adanya kerja sama yang harmonis antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial” .
Di dalam alam terminologi hukum dikenal namanya das sein and das
sollen (harapan dan kenyataan). Sama halnya dengan peradilan bersih, sebuah
harapan dan cita -cita mulia mendambakan ada peradilan yang benar-benar
bersih sebagai wadah para pencari keadilan memperjuangkan dan
mempertahankan serta mendapatkan hak-haknya. Alam realitas hukum yang
terjadi, tidaklah demikian dan dalam tataran realitasnya berbanding jauh
panggang dari api. Peradilan yang bersih dan berwibawa hanyalah sebuah
angan-angan atau cita-cita semata yang hanya diinginkan, apabila peradilan itu
sendiri belum bisa bersih dari mafia peradilan. Sebagai lembaga peradilan
sudah selayaknya menjunjung tinggi yang namanya keadilan tanpa
memandang kepentingan-kepentingan di dalamnya yang bisa mempengaruhi
commit to user
Perwujudan peradilan yang bersih adalah sesuatu yang nihil untuk tercapai
apabila pelaksana sistem peradilan tersebut yaitu Mahkamah Agung dan
lembaga peradilan dibawahnya serta organ-organ yang ada di dalamnya belum
dapat terbebas dari berbagai hal yang dapat menciderai keadilan itu sendiri.
Bukan menjadi hal yang tabu di masyarakat saat ini kalau mengatakan mereka
yang mempunyai uang dan jabatanlah yang bisa mendapatkan keadilan
tersebut. Masyarakat yang mulai gerah dengan perlakuan diskriminasi di muka
hukum tidak serta merta diam begitu saja, melalui berbagai LSM mereka
mulai membongkar dan menyuarakan suaranya lewat media elektronik
maupun media cetak, mengenai apa yang mereka sebut dengan kebobrokan
sistem peradilan saat ini.
Sering didengar unkapan (kiasan): “pengadilan sebagai benteng terakhir
keadilan”, yang seharusnya bukan suatu khayalan atau angan-angan, tetapi
“ideal” (cita-cita). Dalam kenyataannya sekarang terdapat kritik dan
ketidakpercayaan pada pengadilan, yang pada intinya mengandung tuduhan
terjadinya “ketidakadilan”, dan mengandung gugatan bahwa pengadilan tidak
dapat memperbaiki yang salah (to right wrongs). Kegagalan pegadilan ini
merupakan pula suatu kegagalan sistem hukum di dalam memberi keadilan.
Kegagalan semacam ini tidak dapat dipersalahkan pada perorangan (oknum)
ataupun sekelompok orang (hakim dan advokat “hitam” misalnya). Hal ini
harus dilihat sebagai akibat “macetnya” (break down) sistem, yang karena itu
tidak dapat berfungsi dengan baik. Pengawasan “melekat” (build-in control)
yang selalu dipersipakan dalam suatu sistem, yang seharusnya dpat mengatasi
hal semacam ini tidak dapat berjalan (Jurnal Hukum Pantarei.2009. Vol 1 No
4:20).
Menurut Wirawan Adnan, salah seorang Tim Pengacara Pembela Muslim,
adanya berbagai pungutan liar di dunia peradilan termasuk suap atau makelar
kasus, hanyalah gejala dari adanya mafia peradilan. Pungutan liar yang pada
kenyataannya dibiarkan berjalan oleh pimpinan instansi setempat memperkuat
beroperasinya mafia peradilan. Contoh praktis adalah jika kita menginginkan
commit to user
kepada masing-masing pihak yang berperkara, kenyataannya kita diminta
untuk membayar (Jonaedi Efendi, 2010:18).
Seperti dalam kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Saat
dibukanya rekaman pembicaraan hasil sadapan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dari telepon milik pengusaha Anggodo Widjojo dalam sidang
di Mahkamah Konstitusi (MK) pada bulan November 2009 yang lalu seakan
membuka mata dan telinga seluruh masyarakat Indonesia mengenai
keberadaan mafia di sistem peradilan di Indonesia. Dari rekaman berdurasi
sekitar 4,5 jam itu terungkap adanya konspirasi antara pejabat di Kepolisian,
Kejaksaan, pengacara serta sejumlah orang di lingkaran dunia hukum dengan
Anggodo untuk menjebak pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Rekaman pembicaraan tersebut seakan telah membeberkan dengan jelas
bagaimana permainan aparat hukum baik kepolisian, kejaksaan dan pengacara
dalam merekayasa atau mengarahkan suatu perkara mulai dari membuat
keterangan palsu di BAP sampai menyuap para penyidik di Kepolisian.
Terungkapnya rekayasa peradilan ini, juga menyadarkan semua pihak bahwa
kebobrokan sistem hukum yang selama ini seakan hanya bayangan, ternyata
benar-benar ada dan terbukti didepan mata. Rekayasa peradilan diskenariokan
oleh mereka yang mempunyai kepentingan untuk mencapai tujuannya, tanpa
menghiraukan aturan hukum yang berlaku. Yang sebagian mereka
mengandalkan loby-loby karena adanya hubungan pertemanan atau adanya
ikatan saudara dan juga disertai dengan pemberian penghargaan yang di
nominalkan dengan besaran pemberian uang, apabila apa yang mereka
kehendaki dapat dilaksanakan. Hal inilah yang merusak tatanan hukum di
negara Indonesia, mereka melakukan hal tersebut tanpa adanya rasa bersalah
dan bahkan sebagian mereka menganggap ini sudah menjadi budaya di negara
kita (Jonaedi Efendi, 2010:9-10).
Dari sisi pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di dalam upaya
memberantas mafia hukum mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 37
commit to user
Satuan Tugas (satgas) pemberantasan mafia hukum tersebut adalah salah satu
wujud keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas keberadaan mafia
hukum. Satgas Mafia Hukum yang dibentuk pemerintah ini, memfokuskan
pada sembilan kategori praktek mafia hukum meliputi mafia peradilan,
korupsi, pajak dan bea cukai, tambang, kehutanan, perikanan, perbankan,
pertanahan serta narkoba. Diharapkan dengan dibentuknya satuan tugas
pemberantasan mafia hukum ini upaya pemberantasan korupsi akan berjalan
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan tanpa adanya tebang pilih dan
prioritas kasus mana yang harus. Dengan segala keterbatasan wewenangnya
yang hanya bertugas melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi dan pemantauan
pemberantasan mafia hukum dapat berjalan efektif.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk
mengkaji lebih dalam yang tertuang dalam bentuk penelitian dengan judul: “
FUNGSI SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM
DALAM MENDUKUNG PERADILAN YANG BERSIH DAN
BERWIBAWA”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka perumusan
yang diangkat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
1.Apakah yang melatarbelakangi dibentuknya Satuan Tugas Pemberantasan
Mafia Hukum?
2.Bagaimanakah fungsi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dalam
mendukung sistem peradilan yang bersih dan berwibawa?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui latarbelakang dibentuknya Satuan Tugas
commit to user
b. Untuk mengetahui fungsi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum
dalam mendukung sistem peradilan yang bersih dan berwibawa.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk mengembangkan dan memperdalam pengetahuan penulis di
bidang Hukum Tata Negara khususnya mengenai latarbelakang
dibentuknya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dan fungsi
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dalam mendukung
peradilan yang bersih dan berwibawa; dan
b. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar S1 dalam
bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bermanfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan Hukum Tata Negara pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur dalam dunia kepustakaan mengenai kedudukan dan fungsi
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dalam menegakkan
peradilan yang bersih dan berwibawa dalam tatanan hukum tata negara
Indonesia.
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Guna mengembangkan penalaran ilmiah dan wacana keilmuan penulis
serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu
hukum yang diperoleh dalam bangku perkuliahan.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan serta
commit to user
bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti serta
bermanfaat bagi para pihak yang berminat pada permasalahan yang
sama.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan faktor penting dalam penelitian guna
mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian, juga akan
mempermudah pengembangan data, sehingga penyusunan penulisan hukum
ini sesuai dengan metode ilmiah. Metode dalam penulisan ini dapat diperinci
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum
normatif atau doctrinal research yaitu suatu proses untuk menemukan
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:35).
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri.
Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif . Artinya
sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan
hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu
terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan,
rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki,
2008:22).
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum
terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan
(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach)
dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud, 2008:
93). Adapun dalam penelitian ini penulis memilih untuk menggunakan
commit to user
dihadapi, diantaranya adalah pendekatan perundang-undangan dimana
munculnya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum ini dari Keputusan
Presiden Nomor 37 Tahun 2009 tentang Satuan Tugas Pemberantasan
Mafia Hukum. Yang didalamnya termuat wewenang, fungsi, serta tugas
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang perlu dikaji mengenai
keberadaanya dalam Hukum Tata Negara Indonesia.
Pendekatan sejarah digunakan untuk mencari latarbelakang
dibentuknya Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum oleh Presiden
sebagai salah satu upaya yang dilakukan Presiden untuk memberantas
keberadaan Mafia Hukum.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi
mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan sumber-sumber penelitian.
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber
penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim. Sedangkan
bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku
teks, kamus-kamus hukum, dan jurnal-jurnal hukum (Peter Mahmud
Marzuki, 2008:141).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis dan sumber bahan
hukum primer dan sekunder. Tentunya sumber bahan hukum yang
dimaksud berkaitan dan menunjang diperolehnya jawaban atas
permasalahan penelitian yang diketengahkan penulis.
5. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka dalam
commit to user
dokumen. Teknik ini merupakan cara pengumpulan data dengan membaca,
mempelajari, mengkaji, dan menganalisis serta membuat catatan dari buku
literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini adalah silogisme dan interpretasi. Silogisme adalah metode
argumentasi yang konklusinya diambil dari premis-presmis yang
menyatakan permasalahan yang berlainan. Dalam mengambil konklusi
harus terdapat sandaran untuk berpijak. Sandaran Umum dihubungkan
dengan permaslahan yang lebih khusus melalui term yang ada pada
keduanya (Mundiri, 2005:100).
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan
hukum yang memberikan penjelasan yang gamblang mengenai teks
undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan
dengan peristiwa tertentu. Adapun berdasarkan dasar penemuan hukum
oleh hakim terdapat beberapa jenis interpretasi, diantaranya: interpretasi
gramatikal yaitu penafsiran berdasarkan bahasa, Interpretasi teleologis atau
sosiologis yaitu penafsiran berdasarkan tujuan kemasyarakatan, peraturan
perundang-undangan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang baru,
penafsiran sistematis adalah dengan menafsirkan undang-undang sebagai
bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan
menghubungnya dengan undang-undang lain. Interpretasi Historis yaitu
makna undang-undang dapat dijelaskan dan ditafsirkan dengan jalan
menelusuri sejarah yang terjadi. Ada dua jenis interpretasi sejarah,
diantaranya penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran
menurut sejarah hukum. Berikutnya ada penafsiran komparatif yaitu
interpretasi yang hendak memperoleh penjelasan dengan jalan
memperbandingkan hukum, Interpretasi futuristik merupakan metode
penafsiran yang bersifat antisipatif yaitu hendak memperoleh penjelasan
undang-commit to user
undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. Beberapa jenis metode
interpretasi pada kenyataannya sering digunakan bersama-sama atau
campur aduk. Dapat dikatakan bahwa dalam setiap interpretasi atau
penjelasan undang-undang mencakup berbagai jenis penafsiran (Sudikno
Mertokusumo, 2003: 170-173).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan hukum semata-mata disajikan untuk memberikan
gambaran yang menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum sebagai
karya ilmiah yang disesuaikan dengan kaidah baku penulisan suatu karya
ilmiah. Adapun penulisan hukum (skripsi) ini nantinya terdiri dari 4 bab,
yaitu: Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Pembahasan dan Penutup, Daftar
Pustaka dan disertai lampiran-lampiran, yang apabila disusun, sistematikanya
adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab Pendahuluan menyajikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan
hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis akan memberikan landasan teori atau memberikan
penjelasan secara teoritik yang bersumber dari bahan hukum yang penulis
gunakan dan doktrin ilmu hukum yang dianut secara universal mengenai
persoalan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang penulis teliti.
Landasan teori tersebut meliputi tinjauan tentang tinjauan hukum tata negara,
tinjauan tentang lembaga negara, tinjauan tentang sistem peradilan indonesia,
tinjauan tentang mafia hukum. Selain itu, untuk memudahkan pemahaman alur
befikir, maka di dalam bab ini juga disertai dengan kerangka pikir.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan mengungkapkan dan membahas hasil
penelitian dari sumber data sekunder yang berupa analisis mengenai latar
[image:30.595.128.514.232.506.2]commit to user
sistem ketatanegaraan Indonesia. Penulis juga mendeskripsikan hasil temuan
tentang fungsi satuan tugas (satgas) pemberantasan mafia hukum didalam
menciptakan peradilan yang bersih dan berwibawa di dalam hukum tata
negara Indonesia.
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini penulis menyimpulkan hasil penelitian dan pembahasan,
serta memberikan saran-saran sebagai sarana evaluasi terutama terhadap
temuan-temuan selama penelitian yang menurut hemat penulis memerlukan
commit to user BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Hukum Tata Negara
a. Konsep Negara Hukum
Konsep negara hukum dipahami sebagai suatu kondisi dalam
masyarakat, di mana hukum dalam negara demokratis ditentukan oleh
rakyat yang tidak lain merupakan pengaturan hubungan diantara
sesama rakyat. Penelusuran konsep negara hukum sesungguhnya dapat
dilakukan mulai dari Yunani dan Romawi Kuno, yang juga menjadi
sumber teori kedaulatan. Menurut Jimly Asshidiqie, gagasan
kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi,
sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan
kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi,
sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan
kedaulatan hukum (A. Muhammad Assrun, 2004:39-40)
Pertumbuhan konsep negara hukum menjelang abad XX yang
ditandai dengan lahirnya konsep negara hukum modern (welfare state),
dimana tugas negara sebagai penjaga malam dan kemananan mulai
berubah. Konsepsi nachwachterstaat bergeser menjadi welvarsstaat.
Negara tidak boleh pasif tetapi harus aktif turut serta dalam kegiatan
masyarakat, sehingga kesejahteraan bagi semua orang terjamin.
Menurut Bagir Manan, konsepsi negara hukum modern merupakan
perpaduan antara konsep negara hukum dan negara kesejahteraan. Di
dalam konsep ini tugas negara atau pemerintah tidak semata-mata
sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat saja, tetapi
memikul tanggungjawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan
umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Ni’matul Huda,
commit to user
Menurut Scheltema Ajaran Negara berdasarkan atas hukum (de
rechtstaat dan the rule of law) yang mengandung esensi bahwa hukum adalah supreme dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau
pemerintahan untuk tunduk pada hukum (Subject to the law). Tidak
ada kekuasaan diatas hukum (above to the law). Semuanya ada dibawah hukum (Under the rule of law). Dengan kedudukan ini tidak
boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau
penyalahgunaan kekuasaan (misuse power) baik pada kerajaan maupun
republik. Secara maknawi, tunduk pada hukum mengandung
pengertian pembatasan kekuasaan seperti halnya ajaran pemisahan
kekuasaan atau pembagian kekuasaan (Bagir Manan , 2006:9-10).
b. Ciri Negara Hukum
Pada zaman modern konsep negara hukum di Eropa Kontinenetal
dikembangkan antara lain oleh Emmanuel Kant, Paul Laband, Julius
Stahl dengan menggunakan istilah “rechststaat”. Sedangkan dalam
tradisi Anglo Saxon (Amerika), konsep negara hukum dikembangkan
atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “the rule of law”.
Menurut Julius Stahl empat ciri negara hukum yang disebutnya
“rechststaats” tersebut mencakup empat prinsip, antara lain:
1) Perlindungan Hak Asasi Manusia;
2) Pembagian Kekuasaan;
3) Pemerintahan berdasar undang-undang; dan
4) Adanya Pengadilan Tata Usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan 3 ciri penting dalam setiap
negara hukum yang disebutnya “ The Rule Of Law” , yaitu: 1) Supremacy of law;
2) Equality before the law;
3) Due process to law (Ni’matul Huda, 2007:55-56).
Keempat prinsip rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl
tersebut diatas, pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga
commit to user
menandai ciri-ciri Negara hukum modern dizaman modern. Bahkan
oleh “ The Internastional Commission of jurist”, prinsip-prinsip
Negara hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan yang tidak
memihak (indepedence and impartiality of judicary) yang pada zaman
sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara
demokrasi. Prinsip-prinsip yang diangggap ciri penting negara hukum
menurut “The International Commission Of Jurists” itu adalah:
1) Negara harus tunduk pada hukum;
2) Pemerintah menghormati hak-hak individu;
3) Peradilan yang bebas dan tidak memihak; dan
Dari uraian-uraian diatas, dapat dirumuskan kembali adanya dua
belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtstaat) yang merupakan
pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu Negara
modern sehingga dapat disebut Negara Hukum yaitu:
1) Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip
supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan
dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif
supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya
pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya bukanlah
manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang
tertinggi. Dalam republik yang menganut sistem presidensiil
yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih
tepat untuk disebut sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan
parlementer.
2) Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam
hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan
dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip
commit to user
dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang
terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan
sementara guna mendorong dan mempercepat kelompok
masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat
tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai
tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan
kelompok masyarakat yang jauh lebih maju.
3) Asas Legalitas (Due Process of Law)
Dalam setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya
asas legalitas dalam segala bentuknya (Due Process of Law)
yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan
atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.
4) Pembatasan Kekuasaan
Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ
negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian
kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara
horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap
kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang
menjadi sewenang-wenang.
Kekuasaan harus selalu dibatasi dengan cara
memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat
checks and balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain.
Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi
kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara
vertikal. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan
terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang
memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
5) Organ-organ Eksekutif Independen
Pembatasan kekuasaan dizaman sekarang berkembang
commit to user
bersifat independen, seperti bank sentral, organisasi tentara,
organisasi kepolisian dan kejaksaan. Lembaga, badan atau
organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya
berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang
berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi
sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif
untuk menentukan pengangkatan atau pemberhentian
pimpinannya.
6) Peradilan yang bebas dan tidak memihak
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak ini
mutlak harus ada dalam setiap negara hukum. Dalam
menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh
dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan
jabatan (politik) maupun kepentingan uang. Untuk menjamin
keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya
intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan
oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan
eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan
masyarakat dan media massa.
7) Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara juga menyangkut prinsip
peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya
secara khusus sebagai pilar utama negara hukum. Dalam
setiap negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi
tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat
administrasi negara. Peradilan Tata Usaha Negara ini penting
karena yang menjamin agar warga negara tidak dizalimi oleh
keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara
commit to user
8) Peradilan Tata Negara (Constitusional Court)
Dalam negara hukum modern diharapkan adanya
jaminan tegaknya keadilan tiap-tiap warga negara dengan
mengadopsikan gagasan Mahkamah Konstitusi dalam sistem
ketatanegaraannya. Pentingnya Mahkamah Konstitusi adalah
upaya memperkuat sistem check and balances antara
cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan
untuk menjamin demokrasi.
9) Perlindungan Hak Asasi Manusia
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi
manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya
melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi
manusia tersebut dimasyaratkan secara luas dalam rangka
mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap
Hak Asasi Manusia sebagai ciri yang penting suatu negara
hukum yang demokratis.
10)Bersifat Demokratis (Democratische Rechtstaat)
Dalam prinsip demokrasi yang menjamin peran serta
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan
keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh
ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau
hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan
dengan prinsip-prinsip demokrasi.
11)Berfungsi sebagai sarana mewujudkan Tujuan Bernegara
(Welfare Rechtstaat)
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang
diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang
commit to user
yang diwujudkan melalui gagasan negara hukum yang
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
Bahkan sebagaimana cita-cita nasional yang dirumuskan
dalam pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia
bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
12)Transparansi dan Kontrol sosial
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka
terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum,
sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam
mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara
komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung
dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya
partispasi langsung ini penting karena sistem perwakilan
rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan
sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat (Jimly
Asshiddiqie, 2005: 123-129).
c. Negara Hukum Indonesia
Penegasan Indonesia adalah negara hukum yang selama ini diatur
dalam Penjelasan UUD 1945, dalam Perubahan UUD 1945 telah
diangkat ke dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai
berikut “ Negara Indonesia adalah negara hukum”. Konsekuensi ketentuan tersebut adalah bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku
alat negara dan penduduk harus berdasar dan sesuai dengan hukum.
Sekaligus ketentuan ini untuk mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat
commit to user
Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah
negara hukum. Prinsip ini semula dimuat dalam Penjelasan, yang
berbunyi: “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechsstaat) tidak
berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).” Disamping itu, ada prinsip lain yang erat dengan prinsip negara hukum yang juga dimuat
dalam Penjelasan: “Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi
(hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak
terbatas).” Prinsip ini mengandung makna ada pembagian kekuasaan
negara dan pembatasan kekuasaan (tidak absolut dengan kekuasaan
tidak terbatas). Dengan ketentuan baru ini, maka dasar sebagai negara
berdasarkan atas hukum mempunyai sifat normatif, bukan sekedar asas
belaka. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip
penting negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan (Ni’matul Huda, 2007 : 62-63).
Dalam paham the rule of law, upaya untuk melindungi hak-hak
asasi manusia diterapkan dengan prinsip “ equality before the law”
sedangkan dalam paham rechstaat dengan prinsip “ wetwetigheid”,
yang kemudian menjadi “ rechmatigheid”. Negara hukum indonesia
hendak mewujudkan asas kerukunan antara pemerintah dan rakyat
bukan hanya dengan penekanan hak atau kewajiban melainkan, yang
penting menjalin hubungan antara kedua hal tersebut. Perwujudan
negara hukum indonesia hendaklah dibangun berdasarkan ciri-ciri :
1) Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat yan didasarkan
asas kekeluargaan;
2) Hubungan fungsional antar kekuasaan negara yang proporsional;
3) Prinsip penyelesaian sengketa yang mengutamakan musyawarah
dan peradilan sebagai usaha terakhir;
commit to user
Mencermati uraian mengenai paham negara hukum rechstaat, the
rule of law, dan negara hukum indonesia, dapat dikatakan bahwa ketiga paham negara hukum ini bermuara pada satu pengertian dasar
bahwa hal yang mendasar dari negara hukum adalah kekuasaan yang
berlandaskan hukum dan semua orang sama di hadapan hukum atau
negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara,
dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya
dilakukan dalam kerangka kekuasaan hukum (Marwan Effendy, 2005 :
32-33).
d. Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power)
Salah satu ciri negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut
thr rule of law atau dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut
rechstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan
hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme
modern. Dalam empat ciri klasik negara hukum Eropa Kontinental
yang biasa disebut rechstaat, terdapat elemen pembatasan kekuasaan
sebagai salah satu ciri pokok negara hukum (Jimly Assiddiqie, 2006 :
11-12).
Ajaran pemisahan kekuasaan berasal dari Montesquieu yang
bertujuan untuk membatasi kekuasaan badan-badan atau pejabat
penyelenggara negara dalam batas-batas cabang kekuasaan
masing-masing. Dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan tersebut dapat
dicegah penumpukan kekuasaan di satu tangan (absolut) atau
sekelompok kecil orang (oligarki) yang akan menimbulkan penyelenggaraan pemerintahan sewenang-wenang. (Bagir Manan,
2006 : 7-8).
Pemisahan kekuasaan dapat dipahami sebagai doktrin
konstitusional atau doktrin pemerintahan yang terbatas, yang membagi
kekuasaan pemerintahan kedalam cabang kekuasaan legislatif,
commit to user
hukum, kekuasaan eksekutif bertugas menjalankan hukum dan
kekuasaan yudikatif bertugas menafsirkan hukum. Terkait erat dan
tidak dapat dipisahkan dengan pengertian ini adalah checks and
balances, yang mengatakan bahwa masing-masing cabang
pemerintahan membagi sebagian kekuasaannya pada cabang yang lain
dalam rangka membatasi tindakan-tindakannya. Ini berarti, kekuasaan
dan fungsi dari masing-masing cabang adalah terpisah dan dijalankan
oleh orang yang berbeda, tidak ada agen tunggal yang dapat
menjalankan otoritas yang penuh karena masing-masing bergantung
satu sama lain
Konsepsi trias politicia yang diidealkan oleh Montesquieu ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain dengan prinsip checks and balances. Karena itu, doktrin trias politicia yaang biasa dinisbatkan dengan tokoh Montesquieu yang mengandaikan bahwa tiga fungsi kekuasaan negara selalu harus tercermin di dalam tiga jenis organ negara, sering terlihat tidak relevan lagi untuk dijadikan rujukan (Ni’matul Huda, 2007:64-65).
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak menganut ajaran
pemisahan kekuasaan (Separation of power) akan tetapi didalam
Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai sistem tersendiri yaitu
pembagian kekuasaan (distribution of power) dimana di dalam
pembagian kekuasaan tersebut dimungkinkan adanya kerjasama antara
lembaga-lembaga negara. Kenyataan didalam kehidupan antar lembaga
negara didalam menjalankan fungsi dan wewenangnya diperlukan
adanya kerjasama diantara lembaga tersebut semisal antara Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi bersama-sama menjalankan fungsi
dan wewenangnya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sesuai dalam
commit to user
tentang Kekuasaan Kehakiman yang mencerminkan bahwa
diperlukannya kerjasama antara kedua lembaga tersebut untuk
menjalankan kekuasaan kehakiman dengan tujuan terselenggarannya
Negara Hukum republik Indonesia (Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti,
2005:20).
2. Tinjauan tentang Lembaga Negara
a. Pengertian Lembaga Negara
Secara sederhana, istilah lembaga negara atau organ negara
dapat dibedakan dari perkataan lembaga atau organ swasta, lembaga
masyarakat atau biasa dikenal dengan sebutan organisasi
non-pemerintah (ornop). Oleh karena itu, lembaga apapun yang dibentuk
bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut lembaga negara, baik
berada di ranah eksekutif, legislatif, yudikatif, ataupun bersifat
campuran (Jimly Asshiddiqie, 2006:31).
Ciri-ciri penting organ negara dalam arti sempit menurut Jimly
Asshiddiqie (Jimly Asshiddiqie, 2006:38) adalah :
1) Organ negara itu dipilih atau diangkat untuk menduduki jabatan
atau fungsi tertentu;
2) Fungsi itu dijalankan sebagai profesi utama atau bahkan secara
bersifat eksklusif;
3) Karena fungsinya itu, ia berhak mendapatkan gaji dari negara.
Lebih lanjut lagi, secara sistematis Jimly Asshiddiqie
mengklasifikasikan konsep lembaga negara menjadi 5 (lima) konsep
yaitu ( Jimly Asshiddiqie, 2006:41-42):
1) Organ negara mencakup setiap individu yang menjalankan fungsi
law creating or law applying function;
2) Mencakup individu yang menjalankan fungsi law creating or law
applying function dan mempunyai posisi dalam struktur jabatan
commit to user
3) Badan atau organisasi yang menjalankan law creating or law
applying function dalam kerangka struktur dan sistem kenegeraan atau pemerintahan;
4) Organ atau lembaga negara hanya terbatas pada pengertian
lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD 1945,
undang-undang atau peraturan yang lebih rendah;
5) Organ atau lembaga negara yang berada di tingkat pusat yang
pembentukannya ditetapkan oleh UUD 1945.
Jimly Asshiddiqie membedakan lembaga dari dua segi, yaitu
dari segi fungsinya dan dari segi hirarkinya (Jimly Asshiddiqie,
2006:111-118) :
1) Pembedaan dari segi fungsinya
Lembaga-lembaga negara dapat dikategorikan sebagai organ
utama atau primer (primary constitutional organs) dan ada pula
yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxilary state
organs). Untuk memahami perbedaan keduannya,
lembaga-lembaga negara tersebut dapat dibedakan dalam tiga ranah
(domain) yaitu, kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan
kekuasaan kehakiman atau yudikatif.
2) Pembedaan dari segi hirarkinya
Ada dua kriteria yang dipakai, yaitu kriteria hirarki bentuk
sumber normatif yang menentukan kewenangannya dan kualitas
fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalm sistem
kekuasaan negara. Dari segi hirarkinya, lembaga negara dapat
dibedakan dalam 3 (tiga) lapis yaitu :
a)Organ pertama dapat disebut lembaga tinggi negara, yaitu
(1) Presiden dan Wakil Presiden;
(2) Dewan Perwakilan Rakyat;
(3) Dewan Perwakilan Daerah;
(4) Majelais Permusyawaratan Rakyat;
commit to user
(6) Mahkamah Agung;
(7) Badan Pemeriksa Keuangan.
b)Organ lapis kedua dapat disebut lembaga negara saja. Ada yang
mendapatkan kewenangan dari UUD 1945 dan ada mendapatkan
kewenangan dari undang-undang. Lembaga-lembaga negara
sebagai organ konstitusi lapis kedua adalah
(1) Menteri Negara;
(2) Tentara Nasional Indonesia;
(3) Kepolisian Negara;
(4) Komisi Yudisial;
(5) Komisi pemilihan umum; dan
(6) Bank Sentral.
c)Organ lapis ketiga adalah kategori lembaga negara yang sumber
kewenangannya berasal regulator atau pembentuk peraturan di
bawah undang-undang. Artinya, keberadaannya secara hukum
hanaya didasarkan atas kebijakan Presiden (presidential policy)
atau beleid Presiden. Jika Presiden hendak membubarkannya,
maka tentu presiden berwenang untuk itu.
Perkembangan masyarakat, baik secara ekonomi, politik dan
sosial budaya serta pengaruh globalisme dan lokalisasi menghendaki
struktur organisasi negara yang lebih responsif terhadap tuntutan
mereka serta lebih efektif dan efisien dalam melakukan pelayanan
publik dan mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan. kemudian
beemunculanlah lembaga-lembaga negara baru yang dapat berupa
dewan (council), komisi (commission), komite (comitte), badan (board), atau otorita (authority). Lembaga-lembaga baru tersebut biasa
disebut state auxiliary organs atau auxiliary institution sebagai
lembaga yang bersifat penunjang (sampiran). Diantara lembaga
tersebut ada juga disebut sebaga self regulatory agencies, independent
supervisory bodies, atau lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi
commit to user
dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan justru dilakukan
secara bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut (Jimly
Asshiddiqie, 2006:ix-x). Menurut Cornelis Lay yang dikutip Ni’matul
Huda, kehadiran lembaga-lembaga sampiran negara merupakan bagian
dari desain kelembagaan negara yang bertumpu pada prinsip
pemencaran kekuasaan. Sebuah pilihan yang boleh jadi merupakan
reaksi terhadap politik Orde Baru:otoritarianisme, sentralistik dan
unformitas (Cornelis Lay dalam Ni’matul Huda, 2007:201).
Firmansyah Arifin yang dikutip oleh Ni’matul Huda,
berpendapat dalam kasus di Indonesia, ada beberapa hal yang menjadi
inti dan mempengaruhi banyaknya pembentukan lembaga-lembaga
negara baru yang bersifat independen yaitu
1) Tiadanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah akibat asumsi
dan bukti mengenai korupsi yang sistemik dan mengakar dan sulit
diberantas;
2) Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang ada kerena
satu atau halnya tunduk di bawah pengaruh satu kekuasaan negara
atau kekuasaan lain;
3) Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk
melakukan tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi
demokrasi karena persoala birokrasi dan KKN;
4) Pengaruh global, dengan pembentukan auxiliary state agency atau
watchdog institutions di banyak negara yang berada dalam situasi menuju demokrasi telah menjadi suatu kebutuhan bahkan suatu
keharusan sebagai alternatif dari lembag-lembaga yang ada yang
mungkin menjadi bagian sistem yang hrus direformasi;
5) Tekanan lembaga-lembaga internasional, tidak hanya sebagai
prasyarat untuk memasuki pasar global, tetapi juga untuk membuat
demokrasi sebagai satu-satunya jalan bagi negara-negara asalnya
berada di bawah kekuasaan otoriter (Firmansyah Arifin dalam
commit to user
3. Tinjauan tentang Sistem Peradilan Indonesia
a. Sistem Peradilan Di Indonesia
Sebagai suatu sistem, peradilan memiliki sub sistem-sub sistem
yang menunjang bekerjanya sistem peradilan yang ada. Sistem
Peradilan mempunyai mekanisme yang bergerak menuju kearah
pencapaian misi dari hakekat keberadaan peradilan, sebagai suatu
lembaga operasionalisasi sistem peradilan menuntut adanya visi yang
jelas agar aktivitas atau pelaksanaan peran peradilan berproses secara
efektif dan efisien. Sistem tersebut terdiri atas bagian-bagian yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang sendiri-sendiri, namun secara
keseluruhan semuanya bermuara pada satu tujuan, yaitu penegakan
hukum yang benar, adil, berkepastian hukum dan bermanfaat bagi
kehidupan manusia.
Menurut Satjipto Raharjo, bagian-bagian tersebut berhubungan
satu dengan yang lain dalam satu kesatuan dan bekerja secara aktif
mencapai tujuan pokok, didalamnya terkandung unsur-unsur
1) Berorientasi pada tujuan;
2) Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari
bagian-bagiannya;
3) Sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yaitu
lingkungannya;
4) Bekerjanya bagian-bagian fari sistem it menciptakan sesuatu yang
berharga;
5) Masing-masing bagian harus cocok satu dengan yang lain (ada
keterhubungan);
6) Kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme
kontrol) (Sunarjo, 2010:16).
Sebagaimana ditegaskan dalam Cetak Biru (blueprint)
pembaharuan Mahkamah Agung RI bahwa VISI Mahkamah Agung
adalah “mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman
commit to user
profesional dan memberi pelayanan hukum yang berkualitas, etis,
terjangkau, dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab
panggilan pelayanan publik.” Visi Mahkamah Agung tersebut
merupakan sinar pemberi arah (moving target) bagi perjalanan
lembaga peradilan kedepan.
Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan
Tata Usaha Negara, memiliki prosedur hukum acara dan yurisdiksinya
masing-masing. Tiap-tiap peradilan tersebut sebagai sub sistem-sub
sistem dari sistem peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung,
memiliki kompetensi sesuai dengan domain (ranah) kompetensi
keilmuan yang melekat pada predikat peradilan masing-masing.
b. Tinjauan Tentang Peradilan Yang Bersih dan Berwibawa
Perwujudan lembaga peradilan sebagai tonggak terdepan di
dalam pencarian suatu keadilan adalah hal yang diidamkan
masyarakat. Keadilan itu sendiri adalah tujuan lembaga peradilan
didalam menjalankan fungsi dan wewenangnya masing-masing. Di
dalam mencapai tujuannya lembaga peradilan terdapat berbagai organ
pelaksana didalamnya diantaranya yang paling penting adalah
keindepensiaan pelaksana peradilan tersebut bebas dari berbagai
kepentingan dari luar yang akan mempengaruhi keadilan tersebut.
Mewujudkan peradilan bersih dan bebas adalah tanggung jawab
bersama stake holder bangsa. Semua elemen harus menyadari bahwa
peradilan bersih akan menghasilkan multi efek keadilan sosial yang
akan mengikis habis korupsi dan nepotisme dalam berbagai sektor
kehidupan termasuk di dalamnnya pengadilan. Untuk mewujudkan
peradilan bersih maka hakim dalam mem