• Tidak ada hasil yang ditemukan

Concept Of Social Justice In The Indonesian Constitution: A Postcolonial Perspective

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Concept Of Social Justice In The Indonesian Constitution: A Postcolonial Perspective"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Kode/Nama Rumpun Ilmu: 596/Ilmu Hukum

LAPORAN AKHIR PENELITIAN

HIBAH KOMPETENSI

JUDUL PENELITIAN

MODEL REKONSTRUKSI TRADISI BERNEGARA DALAM

KONSTITUSI PASCAAMANDEMEN UUD 1945

Tahun ke-3 dari rencana 3 tahun

Tim Peneliti

Ketua: Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum. (NIDN: 0001016801)

(2)
(3)

RINGKASAN

Penelitian ini fokus untuk menyelidiki ide-ide rekonstruksi tradisi konstitusional di kalangan pendiri Indonesia dan perkembangannya dalam praktek sebelum dan setelah amandemen Konstitusi Indonesia. Dengan bersumber pada dokumen-dokumen atau disebut penelitian normatif, penelitian ini menemukan bahwa ada dua pola rekonstruksi tradisi di Indonesia yang digunakan sebagai model untuk rekonstruksi tradisi dalam konstitusi, yaitu partikular absolut dan partikular relatif. Secara historis, sebelum amandemen Konstitusi Indonesia, rekonstruksi tradisi yang dipraktekkan berdasarkan model partikular absolut., sedangkan setelah amandemen konstitusi cenderung menolak untuk merekonstruksi Tradisi di struktur nasional tetapi mengakui tradisi di struktur lokal. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa amandemen konstitusi Indonesia tidak memiliki pola yan jelas dalam rekonstruksi tradisi. Ini bertentangan dengan makna asli dari para pendiri Indonesia yang meyakini tradisi sebagai dasar untuk menciptakan sebuah sistem konstitusi nasional.

(4)

KATA

PENGANTAR

Laporan akhir penelitian tahun ketiga ini difokuskan pada penemuan

data tradisi yang berlaku di tiga daerah, yakni tradisi Jawa di Solo-Jogjakarta,

tradisi Bugis-Makassar di Makassar, dan tradisi Minangkabau di Padang.

Selanjutnya semua data diintegrasikan dengan hasil penelitian tahun ke-1 dan

tahun ke-2 sehingga menjadi penelitian yang utuh dan lengkap.

Secara umum, penelitian ini menemukan bahwa rekonstruksi tradisi di

Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 menerapkan model partikular

rlatif, namun setelah amandemen cenderung menolak tradisi yang akan

direkonstruksi dalam struktur nasional, tetapi mengakui tradisi di struktur

lokal. Dari segi perbandingan hukum, Malaysia telah merekonstruksi tradisi

baik dalam struktur nasional dan lokal. Malaysia merekonstruksi tradisi

Perpatih, yang sebenarnya berasal dari Minangkabau.

Output dari penelitian tahun ketiga adalah diseminasi hasil penelitian

yang dilakukan di: (1) Konferensi Internasional Asian Law Institute (ASLI) di

University of Malaya Kuala Lumpur pada 29-30 Mei 2014; (2) Konferensi

Internasional Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) di Universitas Bina

Nusantara Jakarta pada 2-4 September 2014; dan (3) Seminar Nasional MPR-RI

(5)

pada 20 Juni 2014. Sementara itu untuk jurnal internasional pengajuan

manuskrip pertama ke Asian Journal of Comparative Law ditolak. Lalu naskah

artikel diajukan ke Jurnal Review of History and Political Science yang hingga

laporan ini disusun masih dalam proses double blind peer review. Ouput yang

terkahir adalah penerbitan buku yang akan diterbitkan oleh GENTA Publishing

Yogyakarta dan dalam proses editing.

Penelitian ini tentu saja masih banya mengandung kekurangan, baik

dari segi prosedur penelitian maupun substansinya. Oleh karena itu,

diharapkan agar penelitian ini dapat memantik penelitian lain untuk lebih

memperkaya dan memperdalam topik penelitian tentang rekonstruksi tradisi

yang masih tidak banyak dilakukan oleh banyak peneliti, khususnya peneliti

dalam bidang hukum tata negara.

Bagaimanapun, penelitian ini berutang budi pada banyak orang yang

telah membantu kelancaran penelitian ini, terutama staf di LPPM UMS dan

teman-teman sejawat di Fakultas Hukum dan Sekolah Pascasarjana UMS.

Selain ini tidak dapat dilupakan bantuan dari teman-teman di Makassar dan

Padang yang telah bersedia berdiskusi dan mengantar ke tokoh-tokoh

informan untuk memperoleh data. Demikian pula kepada teman-teman di

Malaysia, khususnya di Universiti Kebangsaan Malaysia dan Kerajaan Negeri

(6)

penelitian ini. Terakhir tentu saja penelitian ini sangat berutang pada bantuan

keluarga yang sudah mendukung selama proses penelitian ini. Terima kasih

untuk semuanya, semoga Allah SWT membalas semua kebaikannya.

Surakarta, November 2014

(7)

DAFTAR

ISI

Halaman Pengesahan ... ii

Ringkasan ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vi

Daftar Lampiran ... vii

Bab I Pendahuluan ... 1

Bab II Tinjauan Pustaka ... 9

Bab III Tujuan dan Output Penelitian ... 20

Bab IV Metodologi ... 22

Bab V Hasil Penelitian ... 23

A. Tradisi Bernegara di Indonesia ... 23

1. Tradisi Demokrasi Desa ... 25

2. Tradisi Bernegara Jawa ... 30

3. Tradisi Bernegara Minangkabau ... 42

4. Tradisi Bernegara Bugis-Makassar ... 50

5. Tradisi Berorganisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama ... 61

(8)

1. Rekonstruksi Tradisi dalam Penyusunan UUD 1945 ... 67

2. Perkembangan Rekonstruksi Tradisi Sebelum

Amandemen UUD 1945 ... 87

3. Rekonstruksi Tradisi Bernegara dalam Amandemen

UUD 1945 ... 101

C. Rekonstruksi Tradisi Bernegara di Malaysia:

Suatu Perbandingan ... 106

Bab VI Penutup... 114

(9)

DAFTAR

LAMPIRAN

Lampiran 1. Reconstruction of Constitutional Traditions in the Indonesian and Malaysian Constitution: A Comparison, makalah direpresentasikan pada 11th Asian Law Institute (ASLI) Conference di University of Malaya Kuala Lumpur, 29-30 Mei 2014

Lampiran 2. Concept of Social Justice in the Indonesian Constitution: A Postcolonial Perspective, makalah dipresentasikan pada International Conference and Annual Scientific Meeting AFHI 2014 di Universitas Bina Nusantara Jakarta, 2-4 September 2014

Lampiran 3. Reconstruction of Constitutional Traditions in the Indonesian and Malaysian Constitution: A Comparison, manuskrip untuk Jurnal

Review of History and Political Science (submission pada 16 Oktober 2014)

Lampiran 4. Certificate of Attendance for Praticipating the 11th Asian Law Institute (ASLI) Conference, University of Malaya Kuala Lumpur, 29-30 Mei 2014.

Lampiran 5. Surel korespondensi submission manuskrip untuk Jurnal Review of

(10)

B

AB

I

P

ENDAHULUAN

“Tidak mungkin ada monarki yang bertabrakan, baik dengan

konstitusi maupun nilai demokrasi” (Suara Yogya, 26/11/2010). Itulah

pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyikapi RUU

tentang Keistimewaan Yogyakarta. Kurang lebih pernyataan SBY ini

merupakan sikap pemerintah yang menghendaki agar Gubernur DIY tidak

dijabat oleh Sultan Yogyakarta karena merupakan perwujudan dari sistem

monarki yang dinilai bertentangaan dengan demokrasi. Padahal dalam

pemahaman SBY, demokrasi harus tercermin dalam pengisian jabatan

Gubernur yang dilakukan dengan cara pemilihan, bukan dengan cara

penetapan atas Sultan Yorgyakarta yang memperoleh jabatan berdasarkan

keturunan.

Tak urung pernyataan SBY ini menimbulkan reaksi keras di tengah

masyarakat Yogyakarta. Mereka menolak pernyataan SBY karena

bertentangan dengan sejarah berdirinya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

yang tetap menganut sistem monarki dalam lingkungan Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Bagi masyarakat Yogyakarta sistem monarki di

lingkungan Karaton Yogyakarta merupakan keistimewaan Yogyakarta yang

bila dihilangkan justru akan mengakibatkan hilangnya keistimewaan

Yogyakarta. Selain itu, sikap SBY yang mempertentangkan antara monarki

(11)

DIY melaksanakan pemerintahan di daerah bersama-sama dengan DPRD

DIY sebagai representasi kedaulatan rakyat di DIY. Artinya, pemerintahan

DIY dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi.

Reaksi masyarakat Yogyakarta itu kemudian diungkapkan dengan

pernyataan sikap rakyat dan DPRD Yorgyakarta yang menetapkan agar

pengisian Gubernur DIY dilakukan dengan penetapan terhadap Sultan

Yogyakarta sebagaimana dilakukan selama ini. Sikap rakyat Yogyakarta ini

berdasarkan pada aspek sejarah dari keistimewaan Yogyakarta yang

diberikan oleh Pemerintah sebagai penghormatan atas peran Sultan

Hamengkubhuwono IX yang sangat besar dalam menyokong Republik

Indonesia pada masa-masa sulit pada awal kemerdekaan. Bagi rakyat

Yogyakarta pemberian status keistimewaan itu bukan hanya penghargaan

atas peran individu Sri Sultan Hamengkubhuwono IX, tetapi merupakan

sebuah perjanjian atau ‘ijab-kabul’ antara Pemerintah Republik Indonesia

dan Karaton Yogyakarta untuk memberikan keistimewaan bagi DIY untuk

melaksanakan sistem pemerintahan monarki dalam lingkungan NKRI.

Selain itu, secara normatif sikap rakyat Yogyakarta ini didasarkan pada

ketentuan Pasal 18B ayat (1) yang mewajibkan Negara untuk mengakui dan

menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat istimewa.

Sementara itu, Pemerintah melalui RUU tentang Keistimewaan

Yogyakarta justru bersikukuh untuk melakukan pengisian jabatan Gubernur

(12)

Pemerintah merancang adanya jabatan Gubernur Utama yang dijabat secara

tetap oleh Sultan Yogyakarta dan Gubernur sebagai Kepala Pemerintah

Daerah yang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum Kepala Daerah.

Sikap Pemerintah ini didasarkan pada ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945

yang menghendaki Gubernur sebagai Kepala Pemerintah Daerah dipilih

secara demokratis. Atas dasar ketentuan ini, Pemerintah berpendapat

bahwa semua Gubernur harus dipilih secara demokratis, sekalipun pada

daerah istimewa seperti DIY. Konsekuensinya, keistimewaan DIY tidak

terletak pada kedudukan Gubernur DIY yang melekat pada sistem monarki

Karaton Yogyakarta, tetapi pada aspek lain terutama kebudayaan

Yogyakarta yang bersumber pada Karaton Yogyakarta.

Perbedaan sikap antara rakyat dan DPRD Yogyakarta vis-à-vis

Pemerintah Pusat dalam menyikapi kedudukan Gubernur DIY itu secara

prinsipil dapat dirunut pada perbedaan paradigma mengenai demokrasi

yang berkembang dalam amandemen UUD 1945. Rujukan Pemerintah

terhadap sistem demokrasi dalam amandemen UUD 1945 cenderung

mengacu pada demokrasi-elektoral, yakni demokrasi yang menekankan

pada proses pemilihan umum. Secara konseptual, demokrasi elektoral

merupakan standar dalam demokrasi liberal yang mengutamakan

kebebasan individu untuk memperoleh hak-haknya sebagai warga negara.

Dalam pengertian lain, demokrasi liberal bermakna penolakan campur

(13)

negara harus dibatasi agar tidak berkembang menjadi terlalu besar.

Mekanisme untuk membatasi kekuasaan itu secara praktis dilakukan

melalui mekanisme pemilihan umum yang secara periodik akan membatasi

dan menggilir kekuasaan negara.

Konsep demokrasi-elektoral dalam amandemen UUD 1945 dapat

ditelusri dalam kaitan dengan gejala demokratisasi global yang

melatarbelakangi terjadinya amandemen UUD 1945. Gejala demokratisasi

yang disebut oleh Samuel P. Huntington sebagai ‘gelombang demokratisasi

ketiga’ (the third wave of democratization) itu sangat menekankan pada

mekanisme pemilihan umum sebagai standar dari berjalannya sistem

demokrasi pada suatu negara (Huntington, 1995:4-5). Itulah pula yang

terjadi pada amandemen UUD 1945. Salah satu perubahan fundamental

dalam amandemen UUD 1945 adalah pengaturan tentang pemilihan umum

dalam pasal tersendiri dengan ketentuan yang lebih rinci. Dalam Pasal 22E

amandemen ketiga itu disebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarkan

untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan

DPRD.

Pengaturan tentang pemilihan umum ini sangat penting untuk

menandai proses demokrasi elektoral di Indonesia. Dalam prakteknya,

ketentuan tentang pemilihan umum tersebut diperluas pelaksanaannya bagi

pemilihan kepala daerah, yakni gubernur, bupati, dan walikota. Padahal

(14)

bahwa kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih

secara demokratis. Akibatnya, timbul inkoherensi pada beberapa daerah

yang tidak dipilih secara langsung seperti Daerah Istimewa Yogyakrta yang

dibenarkan oleh ketentuan Pasal 18 ayat (4) Perubahan Kedua UUD 1945

tetapi secara prinsip dianggap bertentangan dengan demokrasi elektoral.

Inkoherensi seperti ini menunjukkan bahwa amandemen UUD 1945

yang menekankan pada demokrasi elektoral memiliki kontradiksi dengan

tradisi ketatanegaraan bangsa Indonesia. Dari segi gagasan saja dapat

disimpulkan bahwa model demokrasi elektoral merupakan adopsi dan

sekaligus bentuk transplantasi dari model demorasi barat yang dipaksakan

seiring dengan momentum demokratisasi pasca runtuhnya komunisme di

Eropa Timur. Tidak heran bila tidak sensitif terhadap wacana tradisi

bernegara Indonesia seperti yang dipraktekkan di Yogyakarta.

Hal itu akan berbeda bila kita bandingkan dengan wacana dan

praktek sebelum amandemen UUD 1945 yang sangat berorientasi pada

tradisi bernegara yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia.

Wacana tentang tradisi berkembang sejak awal di kalangan para pendiri

negara Indonesia dan menjadi konsepsi dasar bagi pembentukan sistem

ketatanegaraan dalama UUD 1945. Konsep permusyawaratan yang menjadi

konsep dasar dalam sila keempat Pancasila, misalnya, mengacu pada tradisi

permusyawaratan yang dipraktekkan selama berabad-abad di tengah

(15)

Muhammad Hatta disusun sebagai bentuk rekonstruksi tradisi demokrasi

yang dipraktekkan pada masyarakat pedesaan di Indonesia (Hatta, 1971:41).

Sementara itu dalam praktek negara Indonesia modern, tradisi

ketatanegaraan itu dijadikan rujukan terutama pada masa Demokrasi

Terpimpin (Orde Lama) dan Orde Baru. Konsepsi Demokrasi Terpimpin

yang dirumuskan oleh Presiden Soekarno secara eksplisit mengacu pada

bentuk demokrasi asli bangsa Indonesia (Soekarno, 1959:20). Demikian pula

konsepsi Demokrasi Pancasila yang dirumuskan oleh rezim Orde Baru

mengacu pada konsep negara kekeluargaan yang merupakan bentuk tradisi

kolektivitas bernegara bangsa Indonesia (Azhari, 2010:59)

Secara umum wacana dan praktek ketatanegaraan tersebut

merupakan upaya rekonstruksi tradisi bernegara masyarakat Indonesia ke

dalam sistem ketatanegaraan nasional Indonesia. Rekonstruksi tradisi

bernegara ini dimaksudkan untuk menyesuaikan tradisi ke dalam

bentuk-bentuk modern agar sistem ketatanegaraan nasional benar-benar

bersumber pada nilai-nilai yang hidup dan berkembang di tengah

masyarakat. Dengan demikian, sistem ketatanegaraan tumbuh dan

berkembang dari sejarah dan nilai-nilai budaya bangsa. Dengan cara itu

diharapkan akan mampu mendorong kemajuan bangsa tanpa perlu

mengalami disorientasi nilai yang pada gilirannya dapat mendorong konflik

(16)

Sayangnya acuan bernegara pada tradisi tersebut setelah reformasi

dipandang sebagai salah satu faktor yang menyebabkan berkembangnya

praktek otoriterisme pada masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Tak

heran bila amandemen UUD 1945 tidak banyak menjadikan tradisi

bernegara bangsa Indonesia sebagai acuan bagi pembentukan sistem

ketatanegaraan di Indonesia pascareformasi. Sekalipun ada pengakuan

terhadap tradisi bernegara tetapi dipandang sebagai tradisi lokal sebagai

bentuk kearifan lokal yang belum sepenuhnya dijadikan sumber acuan

utama bagi pembentukan sistem ketatanegaraan di tingkat nasional. Pada

tingkat nasional umumnya mengacu pada sistem demokrasi Barat yang

lazim dipelajari secara akademis.

Penelitian ini hendak mengkaji lebih lanjut tentang rekonstruksi

tradisi bernegara dalam konstitusi pascaamandemen UUD 1945. Mengacu

pada uraian di atas rekonstruksi tradisi tetap merupakan isu penting dalam

konstitusi karena terdapat inkoherensi antara gagasan dasar para pendiri

negara dalam menyusun UUD 1945 dan amandemen UUD 1945 yang

dilakukan pada tahun 1999-2002. Selain itu, terdapat inkoherensi antara

norma dalam amandemen UUD 1945 dan tradisi bernegara yang masih

dipraktekkan di tengah masyarakat. Dalam konteks kepentingan nasional

kedua bentuk inkoherensi itu terbukti mulai menimbulkan konflik di

(17)

lanjut masalah rekonstruksi tradisi bernegara dalam konstitusi selepas

amandemen UUD 1945.

Penelitian ini akan dilakukan dengan cara mengkaji teks UUD 1945

beserta risalah penyusunannya baik pada tahun 1945 dan dokumen

pendukung lainnya. Hasil analisis teks ini akan diperkuat dengan hasil

wawancara di beberapa tempat yang memiliki pengaruh pada rekonstruksi

tradisi bernegara, yakni tradisi bernegara di Jawa, Minangkabau, dan

Bugis-Makassar. Selain itu akan dilakukan perbandingan dengan rekonstruksi

tradisi bernegara di Malaysia yang hingga kini masih tetap

mempertahankan tradisi bernegara mereka yang berdampingan dengan

praktek parlementer ala Inggris. Hasil analisis atas semua data itu akan

ditafsirkan dan disusun menjadi model rekonstruksi tradisi bernegara

dalam konstitusi di Indonesia.

Model rekonstruksi tradisi bernegara ini diharapkan mampu menjadi

dasar bagi proses pengkonsolidasian demokrasi yang belum selesai hingga

saat ini. Demokrasi sudah terkonsolidasi apabila sudah terdapat

kesepakatan atas aturan main bersama (the only game in town) yang

sayangnya hingga saat ini masih belum tercapai (Huntington, 1995:273).

Asumsinya, konsolidasi demokrasi itu belum tercapai karena masih terjadi

inkoherensi antara norma konstitusi pascaamandemen yang berorirntasi ke

Barat dan praktek tradisi bernegara yang masih hidup di tengah

(18)

DAFTAR

PUSTAKA

A. Dokumen Hukum dan Peraturan Perundang-undangan

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta Perubahannya

The Constitution of Malaysia, 1957/1963

The Laws of the Constitution of Negeri Sembilan, 1959.

Ketetapan MPR No. II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara

UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh

Federation of Malaya Constitutional Commission. (1957). Report of the Commission for the Federation of Malaya Constitutional. London: Colonial No. 330, HMSO.

Badan Pekerja MPR. (2000).Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua UUD

1945: Bahan Penjelasan BP-MPR dalam Rangka Memasyarakatkan Hasil Sidang Umum MPR 1999 dan Sidang Tahunan MPR 1999.

Jakarta: Sekretariat MPR.

B. Buku dan Jurnal

Ahmad, Haji Zainal Abidin, (2001).Membangun Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Iqra.

Austin, John. (1954). The Province of Jurisprudence. London: George Weidenfeld & Nicholson.

Awang, Muhammad Kamil. (1998). The Sultan and the Constitution. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa & Pustaka.

Azhari, Aidul Fitriciada. (2011). UUD 1945 sebagai Revolutiegrondwet Tafsir Poskolonial atas Gagasan-gagasan Revolusioner dalam Wacana Konstitusi Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.

Azhari, Aidul Fitriciada. (2011). The Essential of the 1945 Constitution and the Agreement of the Amandment of the 1945 Constitution: A Comparison of the Constitutional Amandment¸ Jurnal Hukum, 18, 305-319.

(19)

Gullick, John. (1981). Malaysia: Economic Expansion and National Unity. London: Ernest Benn.

Habermas, Jurgen. (1999) The Inclusion of the Other: Studies in Political Theory. Cambridge, Mass. : The MIT Press.

Hatta, Muhammad. (1977) “Ke Arah Indonesia Merdeka.” In Miriam Budiardjo (ed.),Masalah Kenegaraan(pp. 21-54). Jakarta: Gramedia. Hooker, M.B.. (1970). Reading in Malay Adat Laws. Singapore: Singapore

University Press.

Huda, Miftakhul et al.. (2010) Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Book IV. Jakarta: Sekretariat MKRI.

Jewa, Tunku Sofiah, Buang, Salleh & Merican, Yaacob Hussain. (2007). Tun Mohammed Suffian’s An Introduction to the Constitution for Malaysia. Selangor My: Pasifica Publication.

Kartodirdjo, Sartono. (1997). “From Ethno-Nationalism to the “Indonesia Merdeka” Movement 1908-1925,” In Sri Kuhnt-Saptodewo, Volker Grabowsky, & Martin Grosheim (Eds.). Nationalism and Cultural Revival in Southeast Asia: Perspectives from the Centre and the Region

(pp. 75-81). Wiesbaden : Harrasowitz.

Kato, Tsuyoshi, (2005). Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: Balai Pustaka.

Kelsen, Hans. (1973). General Theory of Law and State. New York: Russel & Russel.

Kusuma, RM. A.B. (2004). Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Lombard, Denys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya III Warisan-warisan Kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia..

Mattulada, H.A., Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Makassar: Hansanuddin University Press, 1988.

Mawardi, Imam Al-. (2000)Al Ahkam al-Sulthaniyah, Jakarta: Darul Falah. Mukhlis (ed.). (1986) Dinamika Bugis-Makassar, Jakarta: Pusat Latihan

Penelitian Ilmu-ilmu Sosial – YIIS.

Nasroen, M. (1971). Dasar Falsafah Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang.

Noer, Deliar. (2986). Perkembangan Demokrasi Kita. In Amien Rais (Ed.). Demokrasi dan Proses Politik (pp. 70-92). Jakarta; LP3ES.

(20)

Patunru, Abdul Razak Daeng. (1995).Sejarah Bone, Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Pelras, Christian. (2006). Manusi Bugis, Jakarta: Ecole Francaise d’Extreme-Orient.

Popper, Karl. (2007). Conjectures and Refutations. London/New York: Routledge.

Rambe, Safrizal. (2008). Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942. Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia.

Rothermund, Dietmar. (1997). “Nationalism and the Reconstruction of Traditions in Asia.” In Sri Kuhnt-Saptodewo, Volker Grabowsky, dan Martin Grosheim (Eds.). Nationalism and Cultural Revival in Southeast Asia: Perspectives from the Centre and the Region (pp. 13-28) Wiesbaden : Harrasowitz.

Samad, YB Datuk Abdul. (1974). Kemurnian dalam Adat Perpatih. Majelis Belia Negeri. Kertas Kerja Seminar Persejarahan dan Adat Perpatih, Negeri Sembilan: Majelis Belia Negeri.

Siddik, Abdullah. (1975).Pengantar Undang-Undang Adat di Malaysia. Kuala Lumpur: Penerbit University Malaya.

Soekarno. (1959). Res Publica Sekali Lagi Res Publica. Jakarta: Kementrian Penerangan RI.

Soekarno, (1965) “Penemuan Kembali Revolusi Kita: Amanat Presiden Soekarno pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1959 di Jakarta” dalam Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi II, Jakarta: Kementerian Penerangan.

Suparlan, Parsudi, (1986) “Demokrasi dalam Tradisi Masyarakat Pedesaan Jawa” dalam Amin Rais et al., Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta: LP3ES.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan memohon Rahmat serta Ridho Allah SWT, kami mengharap kehadiran Bapak/Saudara pada acara “SELAMATAN PERNIKAHAN” anak kami :. IIS Binti

Penulisan ini akan membahas tentang pembuatan situs Sistem Informasi Geografis Kabupaten Cianjur, khususnya dalam bidang pariwisata, dengan menggunakan datadata yang tersedia pada

Berdasarkan hasil uji validitas, aitem kuesioner persepsi terhadap peluang pengembangan karier yang sahih 10 aitem dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,7881

Terdapat korelasi linier antara jumlah total fenol dalam ekstrak etanol rimpang kunyit (Curcuma domestica Val.) dengan persentase inhibisi ekstrak terhadap enzim HMG

Penelitian ini mencoba menguraikan dan menganalisis fakta-fakta tentang Dukungan Marga Terhadap Calon Kepala Desa Laumil, Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi Tahun 2012..

Sumber : Data diolah penulis (2013) Hosmer and Lemeshow Test Step Chi-square df

Berdasarkan paparan data tentang aktivitas dan prestasi belajar siswa Kelas IX- E SMP Negeri 1 Pogalan, peneliti melakukan refleksi dari hasil temuan kegiatan penelitian sebagai

Hasil uji statistic menunjukkan p-valeu < 0,05 sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan pengetahuan orang tua tentang kekerasan verbal dengan kejadian