PERFORMA ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) INSTAR I-III
DENGAN PEMBERIAN PAKAN DAUN SIRSAK (Annona
muricata) DAUN NANGKA (Artocarpus heterophyllus)
DAN DAUN KENARI (Canarium cummune L.)
SKRIPSI
MEGA SULISTYANINGRUM
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
Mega Sulistyaningrum D14080223. 2012. Performa Ulat Sutera Liar (Attacus Atlas) Instar I-III Dengan Pemberian Pakan Daun Sirsak (Annona muricata) Daun Nangka (Artocarpus Heterophyllus) dan Daun Kenari (Canarium Commune L.). Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Ir. Hotnida C.H. Siregar, M.Si. Pembimbing Anggota : Dr. drh. Damiana R. Ekastuti, M.S.
Indonesia yang beriklim tropis memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah termasuk berbagai jenis flora dan fauna. Salah satu kekayaan fauna yang dimiliki Indonesia yaitu ulat sutera. Ulat sutera liar yang ada terdiri atas Cricula trifenestrata, Antheraea mylita dan Attacus atlas. Indonesia memiliki delapan spesies
Attacus yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Saat ini pengembangan usaha persuteraan ulat sutera liar masih terbatas di beberapa daerah seperti Yogyakarta dan Jawa Barat.
Budidaya ulat sutera liar ini layak dikembangkan karena ulat sutera ini bersifat polivoltin (lebih dari dua generasi dalam satu tahun) dan polifagus (memakan beberapa jenis daun), sehingga mudah dalam pemeliharaan dan waktu produksi yang singkat. Hal tersebut menjadi alasan dilakukannya penelitian menggunakan pemberian pakan alternatif yaitu daun sirsak, kenari dan nangka. Jenis pakan yang berbeda akan memberikan pengaruh langsung terhadap konsumsi pakan, pertumbuhan larva dan mortalitas. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh langsung dari pemberian ketiga jenis daun tersebut terhadap konsumsi pakan, kecernaan pakan, pakan tercerna, pertumbuhan dan mortalitas larva A. atlas instar I-III di dalam ruangan.
Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Nopember 2011. Bibit ulat sutera A. atlas didapat dari Perkebunan Teh Nusantara VIII, Jalan Raya Purwakarta KM 4, Kec. Cikalong Wetan, Kab. Bandung, Jawa Barat. Pemeliharaan dilakukan di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran hewan. Analisis proksimat dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan jenis pakan (daun sirsak, kenari dan nangka). Peubah yang diamati antara lain konsumsi pakan, pertumbuhan larva dan mortalitas. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of variance (ANOVA), jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur maka dilanjutkan dengan uji Tukey.
ii sirsak. Hal tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan pertumbuhan ulat sutera
A.atlas pada instar awal.
Kisaran bobot larva A. atlas pada akhir instar III berkisar antara 230-480 mg dengan pakan daun kenari dan 450-540 mg dengan pakan daun sirsak. Kisaran panjang larva A. atlas pada akhir instar III berkisar antara 2,336-2,368 cm dengan pemberian daun sirsak dan kenari. Sedangkan pemberian daun nangka tidak mencapai akhir instar III, larva mati sebelum molting. Hasil uji Anova menunjukkan bahwa jenis pakan tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan panjang larva pada instar I-III. Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan larva pada instar I-III.
Rataan stadia larva sampai dengan instar III dengan pakan daun sirsak (16,22±1,983 hari) dan pakan kenari (16,86±2,309 hari). Periode larva sampai dengan instar II dengan pakan daun nangka (9,72±1,274 hari). Larva yang diberikan pakan daun kenari memiliki persentase mortalitas yang paling kecil (53%) dibandingkan dengan lainnya. Angka mortalitas paling tinggi terjadi pada larva dengan pemberian pakan daun nangka (100%). Suhu selama pemeliharan berada pada kisaran 26-29oC, sedangkan kelembaban terendah 76,71%±4,52% (siang hari) dan tertinggi sebesar 81,50%±4,16% (pagi hari).
ABSTRACT
Wild Silkworm (Attacus atlas) Instar I-III Perform With Feeding by Soursop (Annona muricata) Jackfruit (Artocarpus heterophyllus) and
Canary (Canarium commune L.) Leaves
Sulistyaningrum, M., H. C. H. Siregar and D. R. Ekastuti
Attacus atlas is polyphagus and polyvoltine insect. This research larvae used three types of treatments, which were given of soursop (Annona muricata) leaves (control), canary (Canarium commune L.) leaves and jackfruit (Artocarpus heterophyllus) leaves. These leaves are available in various areas and have good nutrition content for growth of Attacus atlas larvae. Each treatment carried out with five replications. Variables measured were feed consumption, feed digestibility, absorption, growth, larvae stadia and mortality of Attacus atlas larvae from instar I until instar III. The result showed that the type of leaves significantly (P<0,05) affected the feed consumption, growth, feed digestibility and mortality of
A.atlas larvae. The larvae that feed with jackfruit leaves had the lowest feed consumption, feed digestibility, feed absorption and highest mortality.
PERFORMA ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) INSTAR I-III
DENGAN PEMBERIAN PAKAN DAUN SIRSAK (Annona
muricata) DAUN NANGKA (Artocarpus heterophyllus)
DAN DAUN KENARI (Canarium cummune L.)
MEGA SULISTYANINGRUM D14080223
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Performa Ulat Sutera Liar (Attacus Atlas) Instar I-III Dengan Pemberian Pakan Daun Sirsak (Annona muricata) Daun Nangka (Artocarpus Heterophyllus) dan Daun Kenari (Canarium Commune L.)
Nama : Mega Sulistyaningrum
NRP : D14080223
Menyetujui,
Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,
(Ir. Hotnida C.H. Siregar, M.Si.) (Dr. drh. Damiana R. Ekastuti, M.S.) NIP: 19620617 199003 2 001 NIP: 19620212 198601 2 001
Mengetahui, Ketua departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc.) NIP.19591212 198603 1 004
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Juni 1990 di Tuban, Kab. Tuban, Jawa
Timur. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak
Suhardi dan Ibu Supmiyati.
Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Bhayangkari,
Jatirogo pada tahun 1996. Pendidikan sekolah dasar diselesaikan pada tahun 2002 di
SDN Wotsogo 1, Jatirogo. Pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun
2005 di SMPN 1 Jatirogo dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun
2008 di SMAN 2 Tuban.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa
Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan, Penulis pernah aktif terlibat dalam
kegiatan-kegiatan keprofesian dan kepanitiaan. Selain itu Penulis menjadi asisten
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Robbil’aalamin. Segala puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul Performa Ulat Sutera
Liar (Attacus atlas) Instar I-III Dengan Pemberian Pakan Daun Sirsak (Annona
muricata) Daun Nangka (Artocarpus heterophyllus) dan Daun Kenari (Canarium
commune L.) merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini didasari oleh prospek budidaya ulat sutera liar A. atlas
yang sangat potensial. Hal ini dikarenakan keunggulan sifatnya yang polifagus
(memiliki kisaran pakan yang luas). Penelitian dengan menggunakan berbagai pakan
alami seperti daun teh, sirsak, kaliki, alpukat dan jarak telah dilakukan dan
menunjukkan hasil yang bervariasi. Namun demikian belum pernah dilakukan
budidaya di dalam ruangan dengan menggunakan pakan lain yang jumlahnya
melimpah dan daunnya tidak banyak dimanfaatkan seperti daun nangka (Artocarpus heterophyllus) dan daun kenari (Canarium commune L.). Penulisan skripsi ini
diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat sehingga budidaya
ulat sutera liar dapat lebih berkembang lagi. Akhir kata Penulis mengucapkan terima
kasih, semoga hasil tulisan ilmiah ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu
pengetahuan pembaca, terutama pihak-pihak yang memerlukan informasi mengenai
A. atlas.
Bogor, September 2012
DAFTAR ISI
Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Pertumbuhan Larva ... 10
Faktor Abiotik ... 10
Faktor Biotik ... 10
Tingkah Laku Makan Serangga ... 11
Sirsak (Annoma muricata L.) ... 12
Nangka (Artocarpus heterophyllus) ... 13
Tahap Penelitian ... 17
Rancangan dan Analisis Data ... 19
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22
Suhu dan Kelembaban Ruang Pemeliharaan ... 22
Konsumsi, Kecernaan dan Pakan Tercerna ... 22
Pertumbuhan Larva ... 26
Stadia larva ... 30
Mortalitas ... 32
KESIMPULAN ... 33
Kesimpulan ... 33
Saran ... 33
UCAPAN TERIMA KASIH ... 34
DAFTAR PUSTAKA ... 35
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Analisis Uji Proksimat Daun Sirsak, Kenari dan Nangka ………. 16
2. Rataan Konsumsi Pakan Segar Larva A. atlas Instar I-III dengan
Pakan Daun Sirsak, Kenari dan Nangka ………..… 22
3. Kecernaan Pakan Daun Sirsak, Kenari dan Nangka Pada Larva
A. atlas Instar I-III ……….. 24
4. Pakan Yang Tercerna dengan Pemberian Daun Sirsak, Kenari dan
Nangka Pada Larva A. atlas ... 25
5. Pertambahan Bobot Badan Larva Instar I-III A. atlas yang Diberi-
kan Pakan Daun Sirsak, Kenari dan Nangka ... 26
6. Pertambahan Panjang Badan Larva A. atlas yang Diberikan Pakan
Daun Sirsak, Kenari dan Nangka ... . 28
7. Perbandingan Panjang dan Bobot Badan Larva A. atlas Pada Akhir
Instar dengan Awal Instar I ………. … 29
8. Siklus hidup larva A.atlas instar I-III yang Diberikan Pakan Daun
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Imago Attacus atlas (a) Antena A. atlas Jantan (c) Antena A. atlas
Betina ... 4
2. Telur Attacus atlas…… ... 5
3. Kokon A. atlas (a) Pupa A. atlas (b)………. ... 8
4. Daur Hidup A. atlas ... 9
5. Daun Sirsak ... 12
6. Daun Nangka ... 13
7. Daun Kenari ... 14
8. Bagan Perlakuan Pakan ... 18
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Peta Penyebaran A. atlas ... 38
2. Tempat Perkawinan dan Pemeliharaan (a) Tempat Perkawinan (b) Tempat Pemeliharaan…… ... 38
3. Analisis Sidik Ragam Konsumsi Pakan Larva A. atlas ... 39
4. Analisis Sidik Ragam Kecernaan Pakan Larva A. atlas ... 40
5. Analisis Sidik Ragam Pakan Tercerna Larva A. atlas ... 41
6. Pertambahan Bobot Badan Larva A. atlas terhadap Bobot Larva Baru Menetas ... 42
7. Analisis Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan Larva A. atlas . 42
8. Pertambahan Panjang Badan Larva A. atlas terhadap Panjang Larva Baru Menetas ... 44
9. Analisis Sidik Ragam Pertambahan Panjang Badan Larva A.atlas 44
10.Analisis Sidik Ragam Mortalitas Larva A. atlas Instar I-III ... 45
11.Analisis Sidik Ragam Siklus Larva A. atlas ... 46
PENDAHULUAN Latar Belakang
Indonesia sebagai negara tropis memiliki keragaman hayati yang sangat
melimpah termasuk berbagai jenis flora dan fauna. Salah satunya adalah ulat sutera
liar Attacus atlas, Cricula trifenestrata dan Antheraea mylita yang merupakan hewan
asli Indonesia. Attacus atlas merupakan ngengat berukuran besar yang banyak
ditemukan di hutan tropis dan subtropis, sedangkan di Indonesia hampir terdapat di
seluruh wilayah. Saat ini pengembangan ulat sutera liar di Indonesia masih terbatas
di beberapa daerah seperti Yogyakarta dan Jawa Barat dengan kapasitas produksi
benang sutera alam yang masih terbatas. Hal ini dikarenakan sebagian besar
pengusaha benang sutera masih mengumpulkan kokon langsung dari alam. Peluang
budidaya ulat sutera A. atlas masih sangat luas untuk dikembangkan terlebih sutera
yang dihasilkan memiliki karakteristik antara lain lebih lembut, nyaman dipakai,
sejuk, tidak mudah kusut, tahan panas, dan memiliki keragaman variasi warna alami.
Attacus atlas merupakan salah satu serangga yang menghasilkan sutera,
pakan bukan daun murbei. Attacus atlas mengalami metamorfosis sempurna
melewati fase telur, larva, pupa dan imago. Pemeliharaan instar awal memerlukan
perhatian yang lebih, terutama terhadap predator, cuaca, pengaruh lingkungan fisik
dan pakan.
Attacus atlas merupakan serangga polifagus yang artinya dapat memakan
banyak jenis tanaman. Terdapat lebih dari 90 jenis tumbuhan yang berasal dari 48
famili tanaman yang dapat dimakan daunnya oleh larva dari ulat sutera ini (Peigler,
1989). Penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa ulat sutera liar A. atlas dapat
hidup pada tanaman teh (Camellia sinensis), sirsak (Annona muricata), senggugu
(Clerodendron serratum Spreng), alpokat (Persea Americana Mil),dadap (Erythrina
lithosperma Miq), kunyit (Curcuma domestika), mahoni (Sweetnia mahagoni) dan
pada tanaman cengkeh (Zingeber purpereum) (Adria dan Idris, 1997; Indrawan,
2007; Awan, 2007). Attacus atlas ini dianggap oleh sebagian besar orang sebagai
hama karena dapat menghabiskan daun pada tanaman inang.
Sumber pakan yang diberikan dalam pemeliharaan harus memiliki
ketersediaan yang cukup memadai dan kesinambungannya terjamin. Selain itu pakan
2 dibutuhkan untuk perkembangan. Attacus atlas yang masih bersifat liar dalam
pemeliharaan membutuhkan kondisi pakan yang sama seperti di alam. Beberapa hal
perlu diperhatikan dalam pemberian pakan termasuk kebersihan daun, kesegaran dan
bebas dari bibit penyakit. Pertumbuhan, perkembangan serta reproduksi dari ulat
sutera sangat tergantung dari kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan. Kualitas
daun berkaitan dengan senyawa kimia yang terkandung di dalamnya antara lain air,
protein, lemak, serat dan abu. Kualitas pakan yang diberikan dapat mempengaruhi
kondisi fisologis, kualitas kokon, produktivitas telur, serta lamanya siklus
perkembangan (Mulyani, 2008).
Pemilihan daun nangka dan kenari sebagai pakan dalam budidaya ulat sutera
liar A. atlas merujuk dari Peigler (1989) yang menyebutkan bahwa kedua tanaman
tersebut digunakan sebagai tanaman inang ulat sutera liar A. atlas. Namun belum
terdapat data yang lebih rinci performa larva ulat sutera liar A. atlas yang diberi
pakan tersebut. Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya menyebutkan jenis
tanaman (pakan) yang berbeda-beda berpengaruh terhadap masa perkembangan
larva. Perbedaan jenis pakan perlu diteliti untuk mengetahui bagaimana pengaruhnya
terhadap konsumsi, pertumbuhan larva, siklus hidup dan mortalitasnya.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis pakan (dengan
menggunakan pakan daun kenari dan nangka, pakan daun sirsak sebagai
pembanding) terhadap konsumsi pakan, pertumbuhan larva dan mortalitas A. atlas
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus Atlas)
Ulat sutera liar Attacus atlas adalah serangga yang memiliki ukuran tubuh
besar dan banyak ditemukan di hutan-hutan tropis dan subtropis seperti di Asia
Tenggara, Asia bagian Selatan, Asia Timur daerah selatan China, Malaysia, Thailand
dan Indonesia (Peigler, 1989). Indonesia memiliki delapan spesies Attacus yang
dominan dan terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia antara lain di Pulau Jawa,
Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (Awan
2007). Ulat sutera ini mengalami metamorfosis sempurna dan termasuk hewan
polivoltin yang artinya dapat hidup lebih dari dua generasi dalam satu tahun.
Klasifikasi Attacus atlas menurut Peigler (1989) sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthopoda
Kelas : Insekta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Saturniidae
Genus : Attacus (Linnaeus)
Spesies : Attacus atlas (Linnaeus)
Morfologi Imago
Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) adalah salah satu serangga yang
memiliki ukuran imago sangat besar dan atraktif. Masyarakat sering menyebut imago
A. atlas sebagai kupu-kupu gajah. Imago aktif di malam hari (nocturnal). Tubuh
imago ditutupi oleh sisik. Warna dasar sayap ngengat berwarna coklat kemerahan
hingga orange (Kalshoven, 1981). Perbedaan antara imago jantan dan betina dapat
dibedakan dari ukuran tubuh, bentang sayap dan tipe antena. Tubuh imago jantan
lebih kecil dari betina dengan warna lebih coklat kekuningan. Bentangan sayap
imago jantan 15-22 cm sedangkan sayap imago betina 16,5-24 cm (Awan, 2007).
Antena jantan lebih besar dibandingkan betina dan memiliki warna coklat
kekuningan. Panjang dari antena jantan 25-30 mm dan lebar 10-13 mm dan betina
4 (Peigler,1989). Fungsi antena pada imago jantan antara lain untuk mendeteksi
feromon yang dikeluarkan imago betina sebagai isyarat kimia untuk melakukan
kopulasi. Ngengat betina akan mengeluarkan feromon dari ujung abdomen untuk
menarik jantan yang selanjutnya akan melakukan perkawinan. Perkawinan akan
berlangsung selama sehari penuh (Peigler, 1989).
(a) Imago* (b) Antena jantan** (c) Antena betina **
Gambar 1. (a) Imago Attacus atlas (b) Antena A. atlas Jantan (c) Antena A. atlas Betina
Sumber: * Foto : www.itfnet.org ** Foto : Dewi, 2009
Tubuh ngengat terbagi menjadi tiga bagian yaitu kepala, toraks dan abdomen
(Peigler, 1989). Bagian toraks terdiri atas segmen protoraks, mesotoraks dan
metathoraks. Bagian abdomen terdiri atas delapan segmen pada jantan dan tujuh
segmen pada betina. Imago tidak memerlukan makanan dan fase hidupnya relatif
singkat, yakni sekitar 3-8 hari pada larva yang diberikan pakan daun sirsak (Mulyani,
2008). Imago keluar melalui lubang dari ujung anterior kokon yang terbentuk pada
saat pengokonan. Awan (2007) menyatakan bahwa imago yang baru keluar dari
kokon biasanya masih basah oleh cairan yang berwarna putih keruh dan sayapnya
belum mengembang sempurna. Penyempurnaan sayap dilakukan dengan
menggantungkan diri ke ranting dengan posisi abdomen mengarah ke bawah. Sayap
yang telah mengembang sempurna dalam beberapa jam akan mengalami pengerasan
dan kuat digunakan untuk terbang.
Telur
Telur dihasilkan imago betina yang kawin maupun tidak kawin. Telur yang
dihasilkan dari imago betina yang kawin berupa telur fertil yang akan menetas
infertil yang tidak dapat menetas menjadi larva. Ciri-ciri telur A. atlas bentuk bulat
pipih, memiliki ukuran lebar 2,4 mm, panjang 2,8 mm dan tebal 1,9 mm. Telur
berwarna putih kekuningan hingga kuning muda (Peigler, 1989). Imago betina A.
atlas yang fertil akan menghasilkan telur berkisar 126-380 butir, sedangkan betina
infertil menghasilkan telur berkisar 80-348 butir (Mulyani, 2008). Telur A. atlas di
alam diletakkan berkelompok di bawah permukaan daun atau cabang-cabang pohon
tanaman inang (Kalshoven, 1981).
Gambar 2 Telur Attacus atlas
Sumber : Mulyani (2008)
Ketika imago betina mengeluarkan telur, secara bersamaan juga dikeluarkan
cairan yang bersifat lengket berwarna kemerahan hingga cokelat yang disebut cairan
gum. Cairan ini berfungsi sebagai pelekat telur pada substrat (Awan, 2007). Induk
betina memerlukan waktu selama 2-6 hari untuk menghasilkan telur setelah kawin
(Mulyani, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Awan (2007), biasanya
telur menetas pada pagi hari. Faktor suhu dan genetik indukan menjadi faktor penting
dalam yang menentukan waktu inkubasi telur.
Larva
Telur akan menetas menjadi larva dalam 6-10 hari. Bentuk larva dari A. atlas
erusiform dengan satu kepala dan memiliki tubuh yang silindris. Tubuh dari larva
berbentuk ruas-ruas terdiri atas 13 ruas dengan tiga ruas pada bagian toraks dan 10
ruas pada bagian abdomen (Triplehorn dan Johnson, 2005). Larva A. atlas
dilengkapi skoli yang mirip dengan duri-duri sebagai tonjolan dari otot dan tuberkel
6 dan segmen ke 10 terdapat kaki palsu (proleg) yang dilengkapi dengan kait. Tubuh
larva dilindungi kutikula, yang dibentuk epidermis. Kutikula akan mengalami
pengerasan sehingga dalam pertumbuhan larva akan dilepaskan (Peigler, 1989).
Tahap larva A. atlas terdiri atas enam tahapan instar. Instar merupakan
tahapan perkembangan serangga pradewasa antara dua ekdisis yang terjadi
berurutan. Setiap instar memiliki ciri-ciri ukuran dan perilaku larva yang berbeda
dalam pertumbuhan dan perkembangan. Pergantian masa instar ditandai dengan
pergantian kulit (molting). Pergantian kulit terjadi pada seluruh lapisan kutikula
dinding tubuh, kepala dan lapisan-lapisan kutikula trakea, usus depan dan usus
belakang. Kulit yang baru terbentuk tidak tertutupi serbuk putih. Bertambahnya umur
instar ditandai dengan semakin menebal serbuk putih dan meningkatnya aktivitas
makan (Peigler, 1989).
Larva instar I memiliki ciri-ciri panjang tubuh rata-rata 0,5 cm, warna kepala
coklat kehitaman dan warna tubuh kuning kecoklatan (Zebua et al., 1997). Larva
yang baru menetas akan memakan sebagian sisa kulit telurnya sebelum memakan
daun muda. Larva akan memakan bagian tepi daun. Pemeliharaan pada instar awal
membutuhkan perhatian lebih terutama terhadap predator, pengaruh lingkungan fisik,
cuaca, dan pakan. Hal ini dikarenakan instar awal sangat rentan terhadap perubahan
lingkungan yang tidak sesuai. Larva yang akan melakukan molting menjadi kurang
aktif bergerak (Awan, 2007).
Instar II ditandai dengan terjadinya molting untuk pertama kali berupa
pengelupasan kulit luar dan pelindung kepala. Pada tahap instar ini larva memiliki
panjang tubuh 1-1,5 cm (Awan, 2007). Bagian kepala berwarna coklat agak terang
sedangkan pada bagian belakang abdomen terdapat bercak merah. Permukaan tubuh
dilindungi serbuk putih (Peigler, 1989). Selain itu bertambahnya aktivitas makan
pada larva yang telah mengalami molting dan akan beristirahat menjelang melakukan
pergantian kulit.
Instar III terjadi perubahan ukuran tubuh yang terlihat sangat jelas. Rata-rata
panjang tubuh mencapai 2-2,5 cm. Bagian kepala berwarna coklat agak terang dan
terdapat bercak merah pada bagian belakang tubuh. Serbuk putih dan bercak merah
mendominasi warna larva pada instar ketiga (Awan, 2007). Skoli yang mirip dengan
Larva instar IV mempunyai berukuran tubuh 2,5-3 cm. Kepala berwarna
putih kehijauan cerah, bercak merah yang terdapat pada tubuh mulai pudar berganti
bercak berwarna coklat tua yang merata di seluruh tubuh. Selain itu seluruh
permukaan tubuh ditutupi serbuk putih yang semakin menebal (Awan, 2007). Larva
yang telah mencapai instar ini lebih aktif dan mengkonsumsi pakan lebih banyak.
Larva dapat memakan daun-daun tua dan juga seluruh bagian daun hingga habis.
Pada akhir instar IV terjadi perubahan ukuran tubuh yang mencolok.
Instar V terlihat pertambahan yang sangat terlihat nyata karena pada instar ini
aktivitas makan semakin meningkat. Panjang tubuh larva dapat mencapai 6,5-8 cm.
bagian kepala ikut mengalami perubahan ukuran dan berwarna hijau muda. Skoli
atau tonjolan pada dorsal segmen toraks menjadi tumpul. Tubuh ditutupi dengan
serbuk putih. Pengaruh lingkungan pada instar ini relatif kecil karena larva telah
mampu beradaptasi. Pemberian pakan sering kali disertakan bagian ranting sehingga
larva dapat hinggap pada ranting-ranting (Awan, 2007).
Instar terakhir yaitu pada instar VI. Pada akhir instar VI, larva tidak lagi aktif
dan cenderung memposisikan diri pada cabang-cabang pohon dengan mengangkat
bagian tubuh depan. Ukuran tubuhnya mencapai 8-10 cm, berwarna hijau tua hingga
hijau kehitaman. Tubuh larva terlihat sangat besar, gemuk dan kokoh serta serbuk
putih mulai menghilang. Larva akan mengeluarkan cairan sutera yang digunakan
untuk membentuk serat-serat sutera kokon (Awan, 2007).
Pupa
Setelah tahapan larva, akan terbentuk pupa. Pupa merupakan perkembangan
antara larva dan imago. Pupa memiliki warna kecoklatan dan licin. Pada stadium ini
terjadi organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago yang terdiri atas sayap,
kaki, kepala dan struktur reproduksi. Tahapan pupa merupakan stadium yang lemah
sehingga pupa terlindung dalam kokon. Kokon sangat diperlukan untuk menjaga
pupa dari pengaruh lingkungan yang buruk yang akan mengganggu perkembangan
pupa. Kokon yang terbentuk sempurna seperti elips (silindris), ujungnya membulat
dan pada ujung anteriornya terdapat celah.
Kulit kokon merupakan materi lapisan serat sutera yang terdiri atas serisin
dan fibroin (Triplehorn dan Johnson, 2005). Kokon berfungsi untuk menjaga kondisi
8 tidak menggganggu perkembangan pupa. Umumnya kokon berbentuk oval dengan
serat sutera yang menggantung pada tangkai pohon atau helai daun. Ukuran kokon
bervariasi antara 5-9 cm dan memiliki warna yang bervariasi pula. Warna kokon
antara krem sampai coklat tua atau lebih umum berwarna coklat muda. Tekstur
permukaan luarnya kasar dan terkadang keriput (Peigler, 1989).
(a) (b)
Gambar 3. Kokon A.atlas (a), Pupa A.atlas (b)
Sumber : Indrawan (2007)
Cairan sutera dihasilkan sepasang kelenjar sutera (silk gland). Kelenjar
tersebut merupakan perbesaran dari kelenjar air liur yang bermuara pada labium.
Bagian belakang dari kelenjar sutera menghasilkan protein yang disebut fibroin,
sedangkan bagian tengah menghasilkan protein yang menyerupai lem yang disebut
serisin. Serisin merupakan perekat yang digunakan untuk menempelkan lembaran-
lembaran serat yang menjadi satu yang nantinya akan membentuk lapisan luar serat
sutera. Fibroin merupakan bagian serat yang mengandung asam amino utama
penyusun rantai pigmen sutera yaitu glisin, serin, tirosin dan alanin (Raharjo et al.,
1998).
Siklus Hidup
Attacus atlas adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa
sempurna yaitu melewati stadium telur, larva, pupa dan imago. Stadia telur ngengat
A. atlas berlangsung selama satu minggu, sedangkan stadia larva mencapai waktu
satu bulan dan stadia pupa berlangsung selama 24 hari (Mulyani, 2008). Gambar 4,
memperlihatkan siklus hidup A. atlas menurut Awan (2007). Lama periode larva
yang dipelihara di laboratorium dengan pemberian pakan daun dadap (Erythrina
betina dan 22-54 hari dengan rataan 34,08± 9,15 hari pada jantan (Zebua et al.,
1997). Hasil penelitian yang dilakukan Mulyani (2008), periode larva terpanjang
pada larva yang diberi pakan daun sirsak yaitu 36 hari dan yang paling singkat larva
yang diberi pakan daun kaliki yaitu 31 hari, sedangkan masa pupa berlangsung
sekitar 8-58 hari.
Telur (10-12 Hari) Instar I (5-8 Hari) Instar II (5-7 Hari)
Instar V (6-8 Hari) Instar IV(4-6 Hari) Instar III (4-6 Hari)
Instar VI (10-12 Hari) Pupa (20-29 Hari) Imago (2-7 Hari)
Gambar 4. Daur Hidup A.atlas
Sumber : www.agrix.com dan www.wormspit.com/atlas.htm
Diapause dapat terjadi baik pada stadium telur, larva maupun pupa. Diapause
merupakan tertundanya perkembangan atau sering disebut periode diam yang muncul
sebagai respon terhadap kondisi lingkungan yang tidak sesuai (Triplehorn dan
Johnson, 2005). Diapause pupa ditandai dengan menurunnya metabolisme,
penghentian diferensiasi menuju ke kedewasaan dan resistensi terhadap kehilangan
air melalui transpirasi. Proses diapause atau pengaturan voltinisme tidak terganggu
10
Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Pertumbuhan Larva Faktor Abiotik
Lingkungan abiotik di sekitar tempat hidup A. atlas merupakan hal sangat
penting yang harus diperhatikan. Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh adalah
suhu, kelembaban, intensitas cahaya, sirkulasi udara dan kebersihan lingkungan.
Ngengat A. atlas dapat hidup pada suhu 25 oC dengan kelembaban relatif 75%-80%
(Common,1990). Faktor lingkungan tersebut sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan ulat sutera, karena ulat sutera bersifat poikiloterm.
Attacus atlas memiliki kisaran suhu tertentu untuk dapat hidup. Suhu
lingkungan yang optimal untuk perkembangan ulat sutera A. atlas dalam ruangan
untuk masa inkubasi telur 22-24 oC, stadium larva 22-29 oC, pembentukan kokon,
masa pupasi dan perkawinan imago 26-20 oC (Awan, 2007). Faktor kelembaban
pada larva instar I – III berbeda dengan larva instar IV – VI. Faktor kelembaban
sangat berpengaruh terhadap aktivitas makan dari larva. Kelembaban lingkungan
untuk perkembangan ulat kecil B. mori 80%-90%, ulat besar 65%-75% sedangkan
kokon 60%-75% (Atmosoedarjo et al., 2000). Faktor kelembaban sangat
berpengaruh terhadap kehidupan A. atlas terutama stadia larva. Mulyani (2008)
menyatakan bahwa suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dapat mengakibatkan
stres pada larva sehingga tidak mau makan, energi banyak dikeluarkan dan kecepatan
respirasi akan bertambah. Pakan yang dicerna semakin sedikit sedangkan
metabolisme meningkat pada akhirnya proses pertumbuhan dan perkembangan larva
menjadi terganggu. Intensitas cahaya yang ideal untuk Bombyx berkisar 15-30 lux.
Intensitas cahaya kurang berpengaruh penting dalam pemeliharaan A. atlas di daerah
tropis (Awan, 2007).
Faktor Biotik
Setiap fase dalam kehidupan A. atlas tidak luput dari serangan parasit
maupun predator. Telur A. atlas sebagian besar diserang parasit dari famili
Chalcidoidea (Hymenoptera) yaitu Anastasus colemani, Agiommatus attaci,
Tetrastichus dan Xanthopimpla sp. Parasit pada larva A. atlas diantaranya adalah
(Hymenoptera) misalnya Apanteles. Exorista sorbillans (Tachinidae) dan
Sarcophagidae (Diptera) dapat mematikan pupa (Piegler, 1989).
Predator yang sering menyerang larva A. atlas adalah belalang sembah,
capung, lalat, burung, tikus, laba-laba, tawon, semut, cicak dan kadal. Aktivitas
predator merupakan faktor biotik yang berpengaruh terhadap populasi dan kehidupan
serangga. Pada alam liar persaingan antar larva dalam memperoleh makanan,
perlindungan dan tempat pada saat pupasi dapat menjadikan kegagalan dalam
pembentukan pupa dan menyebabkan kematian (Piegler, 1989).
Pakan ulat sutera A. atlas tercatat paling banyak jenisnya. Peigler (1989)
menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 90 jenis tumbuhan yang dapat dimakan
daunnya oleh larva ulat sutera ini. Pakan sangat mempengaruhi keberhasilan dalam
pemeliharaan ulat sutera ini. Pakan dapat mempengaruhi kondisi fisiologis, lama
siklus perkembangan, kualitas kokon serta produktivitas telur (Awan,2007).
Tingkah Laku Makan Serangga
Perilaku makan serangga diatur dan dipengaruhi oleh konsentrasi nutrien
tertentu dalam darahnya terutama konsentrasi asam-asam amino dan gula. Perilaku
makan meliputi rangkaian perilaku menentukan pakan, menerima atau menolak dan
menelan pakan. Menentukan pakan dipengaruhi defisiensi nutrien di dalam hemolim.
Defisiensi nutrien akan menggerakkan hewan untuk mencari pakan dan menentukan
pakannya. Setelah hewan mendekati pakan, hewan tersebut akan menggunakan
reseptor-reseptor organ sensorinya dan reseptor kimiawi untuk mengenali pakan.
Rangsangan akan diterima oleh susunan saraf pusat dan selanjutnya ditanggapi
dengan keputusan makan atau tidak makan. Makanan selanjutnya akan mengalami
proses pencernaan, dalam saluran pencernaan dan pakan diabsorpsi. Absorpsi
makanan akan menyebabkan perubahan osmolitas dari nutrien, terjadi perubahan ini
akan ditanggapi dengan berhentinya aktivitas makan. Penggunaan nutrien dalam
proses metabolisme yang terjadi di jaringan akan mempengaruhi osmolitas nutrien
dan seterusnya mempengaruhi perilaku makan. Perilaku makan pada serangga
merupakan proses fisiologis yang kompleks yang melibatkan pengaturan hormon dan
12
Sirsak (Annona muricata L)
Tanaman sirsak atau disebut juga nangka belanda merupakan tanaman yang
banyak terdapat di Indonesia. Tanaman sirsak berasal dari daerah tropik yaitu daerah
di sekitar Ekuador dan Peru. Sirsak yang terdapat di Indonesia dikenal dua jenis yaitu
sirsak manis dan sirsak asam. Tanaman yang termasuk famili Annonaceae, misalnya
sirsak memiliki ciri-ciri bau daun yang tidak sedap (Radi, 1997). Taksonomi tanaman
sirsak adalah :
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Ranales
Famili : Annonaceae
Genus : Annona
Spesies : Annona muricata L.
Gambar 5. Daun Sirsak
Sumber : http://indonetwork.co.id
Tanaman ini tumbuh tegak dengan ketinggian pohon mencapai 8-10 m. Daun
sirsak termasuk daun tunggal. Daun sirsak berbentuk bulat panjang dengan ujung
runcing dan tepi rata. Warna daun bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan bagian
bawah berwarna hijau kekuningan. Daun sirsak tebal dan agak kaku dengan urat
daun tegak pada urat daun utama. Panjang daun antara 6–18 cm dan lebar daun
antara 2–6 cm. Tanaman ini mempunyai kandungan bahan aktif berupa alkaloid,
minyak atsiri, senyawa aromatik, karbohidrat, lemak, asam amino dan polifenol.
Dasar bunga berbentuk cekung dan memilki benang sari berjumlah banyak. Buahnya
merupakan buah majemuk tidak beraturan yang memiliki daging buah berwarna
Nangka (Artocarpus heterophyllus)
Nangka merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari India dan
menyebar ke daerah tropis termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri tanaman ini
memiliki nama yang berbeda ditiap daerah antara lain nongko/nangka (Jawa,
Gorontalo), anane (Ambon), lumasa/malasa (Lampung), nanal (Irian Jaya).
Taksonomi tanaman nangka adalah :
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Urticales
Famili : Moraceae
Genus : Artocarpus
Spesies : Artocarpus heterophyllus
Gambar 6. Daun Nangka Sumber : http://jiwang.org
Tanaman nangka cocok tumbuh di daerah dengan curah hujan tahunan
rata-rata 1.500-2.500 mm dan daerah kering. Nangka termasuk tanaman hutan bercabang
banyak, pohonnya dapat mencapai tinggi 25 m. Seluruh bagian tanaman ini
mengandung banyak getah. Daun nangka berbentuk tunggal, lonjong, lebar dengan
permukaan daun kasar, mengkilap dan kaku. Daun nangka berwarna hijau tua dan
daun muda berwarna hijau kekuningan biasanya berlekuk. Ciri-ciri lainnya yaitu
memiliki tulang daun menyirip dengan tepi rata, ujung runcing, panjang 5-15 cm dan
lebar 5 cm. Masyarakat memanfaatkan daun nangka sebagai pakan ternak atau
sebagai obat tradisional untuk mengobati penyakit kulit (Steenis, 2006).
Nangka merupakan buah majemuk (sinkarpik) yang memiliki bunga banyak
14 yang seluruh permukaannya ditutupi duri lunak. Buah dapat mencapai ukuran
panjang 30-40 cm. Kulit buah berwarna hijau sampai kuning kemerahan (Sunarjono,
1998). Daging buah nangka berwarna kuning apabila masak, berbau harum yang
keras dan berisi cairan (nectar) yang manis. Biji berbentuk bulat lonjong dengan
panjang 2-4 cm dan berdiameter 1-1,5 cm tertutup oleh kulit biji yang tipis berwarna
coklat. Biji yang terdapat dalam tiap buah dapat mencapai 500 biji. Tanaman nangka
merupakan tanaman yang potensial untuk dikembangkan. Ekstrak metanol dari akar,
kulit kayu, daun, buah dan biji nangka dapat digunakan sebagai antibakteri (Prakash
et al., 2010). Banyak manfaat yang dapat diambil dari tanaman ini, karena hampir
semua bagian tanaman ini dapat dimanfaatkan.
Kenari (Canarium commune L.)
Pohon kenari (Canarium commune L.) adalah tanaman asli Indonesia yang
berasal dari Maluku, kemudian menyebar luas ke beberapa Negara Asia tropis lain.
Tanaman ini sering digunakan sebagai tanaman peneduh yang ditanam di sepanjang
kanan kiri jalan serta sering digunakan sebagai tanaman dalam penghijauan (Endah,
2003). Taksonomi tanaman kenari adalah :
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Geraniales
Famili : Burseraceae
Genus : Canarium
Spesies : Canariumcommune (Linnaeus).
Gambar 7. Daun Kenari
Pohon kenari tergolong famili Burseraceae. Tinggi pohon kenari dapat
mencapai 30 m dengan kulit batang berwarna keabu-abuan. Pohon ini terlihat rimbun
dengan daun yang mudah sekali rontok. Daun kenari merupakan daun majemuk,
menyirip ganjil, menyusun suatu mahkota dengan anak daun terdiri dari 5-11 buah,
berwarna hijau (Endah, 2003). Selain itu daun kenari dicirikan berbentuk oval
dengan ujung meruncing, tepi daun rata. Berdasarkan letak stomata, daun kenari
termasuk tipe hipostomatik karena stomata hanya dijumpai pada sisi bawah
(abaksial). Kelopak pada bunga jantan berbentuk lonceng, sedangkan bunga betina
berbentuk periuk. Bunga jantan memiliki benang sari berjumlah enam buah dan
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran
Hewan. Institut Pertanian Bogor mulai bulan Oktober sampai dengan Nopember
2011. Tahapan meliputi penyediaan hewan percobaan, pemeliharaan, penelitian dan
analisis proksimat pakan. Analisis proksimat pakan dilakukan di Laboratorium Pusat
Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) Institut Pertanian Bogor.
Materi Hewan Percobaan
Ulat sutera yang digunakan adalah ulat sutera liar Attacus atlas yang berasal
dari hasil perkawinan ngengat yang keluar dari kokon. Kokon diperoleh dari
Perkebunan Teh Nusantara VIII, Jalan Raya Purwakarta KM 4, Kec. Cikalong
Wetan, Kab. Bandung, Jawa Barat. Ngengat yang kawin akan menghasilkan telur
fertil yang akan menetas menjadi larva. Ulat sutera yang dipergunakan untuk
perlakuan (tiga perlakuan pakan) sebanyak 300 ekor berumur 1 hari (instar I).
Pakan
Pakan yang diberikan berupa daun tanaman yang ketersediaannya melimpah
dan belum banyak dimanfaatkan. Daun tanaman yang digunakan sebagai pakan
berupa daun muda berasal dari tanaman sirsak (Annona muricata L), kenari
(Canarium commune L.) dan nangka (Artocarpus heterophyllus). Analisis proksimat
pakan terdapat pada Tabel 1 sebagai berikut.
Tabel 1. Analisis Uji Proksimat Daun Sirsak, Kenari dan Nangka
Parameter Analisis Sirsak** Kenari* Nangka*
Kandang dan Peralatan
Kandang kawin yang digunakan terbuat dari kayu yang ditutupi dengan kain
kasa berukuran 50 x 50 x 50 cm3, sedangkan tempat penetasan telur yang digunakan
adalah 15 buah cawan petri. Kandang ulat kecil digunakan 15 buah cawan petri
berdiameter 15 cm dan tinggi 2 cm. Peralatan lain yang digunakan dalam penyediaan
hewan percobaan, pemeliharan dan pengumpulan data berupa timbangan digital
dengan ketelitian 0,01 g, jangka sorong digital, alat thermometer
maksimum-minimum, gunting kebun, formalin 4%, alkohol 70%, teepol (cairan pembersih),
kapas, oven, almunium foil, kertas label, kamera digital dan peralatan tulis.
Prosedur Tahap Persiapan
Satu minggu sebelum digunakankandang dibersihkan, disapu, disikat, dicuci,
dan disterilisasi dengan menggunakan desinfektan. Setiap kaki rak kandang kayu
diberi oli yang ditempatkan pada botol bekas air mineral untuk melindungi sampel
dari predator.
Kokon diambil dari perkebunan teh Nusantara Jalan Raya Purwakarta,
Kabupaten Bandung. Kokon yang diambil yaitu kokon yang berat dan apabila
digoncangkan terdapat isi di dalamnya. Kokon dibiarkan di dalam kandang kasa
hingga menjadi imago. Imago yang keluar dikawinkan dalam kandang kasa hingga
dihasilkan telur. Telur yang diperoleh dari induk kawin direndam dalam larutan
desinfektan formalin 4% selama dua menit dan dibilas menggunakan air mengalir.
Desinfeksi telur bertujuan agar telur tidak terkontaminasi mikroorganisme. Telur
selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan tissu. Telur yang sudah kering
kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri. Telur diinkubasi dan akan menetas
dalam 7-10 hari. Kemudian larva yang menetas pada hari yang sama dipindahkan ke
beberapa cawan petri sesuai perlakuan pakan masing-masing. Tiap cawan yang
merupakan unit percobaan berisi larva ulat sutera sebanyak 20 ekor.
Tahap penelitian
Larva ulat sutera A. atlas yang digunakan dalam pemeliharaan berasal dari
telur yang menetas dengan masa telur yang sama untuk tujuan keseragaman. Larva
18 cawan petri sekaligus sebagai kandang penelitian sesuai dengan pelakuan pakan yang
akan diberikan. Masing-masing perlakuan pakan daun (sirsak, kenari dan nangka)
diamati sebanyak 20 ekor larva dilakukan ulangan sebanyak lima kali. Bagan
penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Bagan Perlakuan Pakan
Penimbangan bobot badan dan pengukuran panjang badan dilakukan sejak
larva instar I hingga instar III yaitu pada tiap awal dan akhir instar. Penimbangan
bobot dan panjang badan dilakukan dengan cara mengambil sampel larva secara acak
sebanyak 50% dari total populasi tiap tempat pemeliharaan. Pemberian pakan
diberikan secara tidak terbatas (ad libitum) dan diberikan dua kali sehari pada pagi
hari (pukul 07.00-08.00) dan sore hari (pukul 16.00-17.00). Pakan yang diberikan
dan sisa pakan ditimbang. Selain itu, dilakukan juga penimbangan feses. Pengukuran
penguapan daun masing-masing perlakuan dilakukan dengan cara mengambil sampel
daun yang sebelumnya telah ditimbang dan diberikan perlakuan sama dengan
dengan perlakuan. Sampel tersebut ditimbang kembali ketika pergantian pakan.
Penyusutan berat pakan akibat transpirasi dapat diketahui dengan perhitungan selisih
berat awal daun dengan berat akhir sampel daun yang dipisahkan. Pencatatan suhu
dan kelembaban dilakukan setiap hari pada pagi hari (pukul 07.00-08.00), siang hari
(pukul 12.00-13.00) dan sore hari (pukul 16.00-17.00).
Rancangan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Perlakuan yang diberikan adalah jenis pakan. Masing-masing perlakuan
diberikan ulangan lima kali dan setiap ulangan terdiri atas 20 ekor larva. Model
matematik yang digunakan menurut Steel and Torrie (1995)sebagai berikut :
Yij = + i + ij
Keterangan :
Yij : Nilai pengamatan performa pertumbuhan larva dengan perubahan pakan ke-pada ulangan ke- j.
i : pemberian jenis pakan j : ulangan
µ : nilai rataan performa pertumbuhan pada ulat sutera liar.
i : pengaruh perubahan pemberian pakan pada taraf ke-i
ij : pengaruh galat percobaan dengan perubahan pakan pada taraf ke-i dan
ulangan ke-j.
Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of variance (ANOVA) untuk
mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati. Jika pada analisis
ANOVA didapatkan hasil yang berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji
Tukey dengan taraf kepercayaan 95% (Steel and Torrie, 1991). Analisis data dengan
menggunakan program Minitab 14 dan Statistik 8.
Peubah
Pertambahan Bobot Badan (mg)
Pertambahan bobot badan yaitu selisih antara bobot akhir instar dengan awal
instar. Pengukuran bobot badan larva diukur setiap awal dan akhir instar sebanyak
20 instar diperoleh dari selisih antara bobot badan pada akhir instar dengan
penimbangan bobot badan awal instar.
Rumus yang digunakan :
Pertambahan bobot badan = BBx – (BBx - i) Keterangan :
BBx : rataan bobot badan pada akhir instar
BBx-i : rataan bobot badan pada awal instar
Pertambahan Panjangbadan (cm)
Pengukuran panjang badan yaitu selisih antara bobot akhir instar dengan awal
instar. Pengukuran panjang larva diukur setiap awal dan akhir instar sebanyak 50%
dari populasi dan diukur tiap larva. Pertambahan panjang badan per instar diperoleh
dari selisih antara panjang badan pada akhir instar dengan panjang awal instar.
Rumus yang digunakan :
Pertambahan panjang badan = PBx – (PBx - i)
Keterangan :
PBx : rataan panjang badan pada akhir instar
PBx-i : rataan panjang badan pada awal instar
Konsumsi PakanSegar (mg/larva/instar)
Konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang dimakan seekor larva ulat sutera
per tahap instar. Jumlah pakan yang diberikan pada larva pada hari itu ditimbang (a).
Sisa pakan keesokan harinya ditimbang kembali (b). Perhitungan konsumsi dihitung
dengan memasukkan faktor koreksi. Faktor koreksi (pengupan kandungan air pakan)
didapatkan dengan memisahkan sebagian kecil daun (sampel daun) dari daun yang
diberikan pada larva. Daun ditimbang diletakkan pada wadah terpisah dan
ditempatkan berdekatan dengan perlakuan. Sampel daun tersebut ditimbang kembali
keesokan harinya. Perhitungan faktor koreksi yaitu berat awal sampel daun dikurangi
berat akhir sampel daun dibagi berat awal daun. Konsumsi pakan segar per larva per
hari (X) dihitung menggunakan rumus :
X = konsumsi pakan segar per ekor per hari (mg) a = pakan segar yang diberikan setiap hari
c = faktor koreksi
n = jumlah larva yang berhasil hidup hari tersebut
Konsumsi pakan segar per larva per instar dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
Konsumsi pakan segar = X1+X2+X3+ ………..+ Xi
Kecernaan Pakan (%)
Kecernaan adalah persentase pakan yang dicerna oleh tubuh. Kecernaan
dapat dihitung dengan cara selisih antara berat kering (BK) pakan yang dikonsumsi
dan berat kering feses dibagi dengan berat kering pakan yang dikonsumsi.
Rumus yang digunakan :
Pakan Tercerna(mg/larva)
Pakan tercerna adalah jumlah pakan segar yang dapat dicerna larva dari
pakan yang dikonsumsi. Perhitungan jumlah pakan tercerna untuk mengetahui
jumlah pakan yang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh. Perhitungan jumlah
pakan tercerna dengan cara mengalikan jumlah konsumsi pakan dengan besarnya
daya cerna.
Rumus yang digunakan :
Pakan tercerna = kecernaan x konsumsi pakan segar
Mortalitas (%)
Mortalitas dihitung setiap dilakukan pergantian pakan dan persentase
mortalitas dilihat setiap akhir instar. Persentase mortalitas diperoleh dengan
membagi selisih jumlah larva pada awal tahapan instar dengan jumlah individu akhir
instar instar dikalikan seratus persen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Suhu dan Kelembaban Ruang Pemeliharaan
Suhu ruang pemeliharaan pada bulan Oktober dan Nopember 2011
berturut-turut berkisar antara 26-27oC dan 27-32 oC. Suhu harian pemeliharaan berfluktuatif
dengan suhu pada pagi hari paling rendah dan meningkat pada siang hari sedangkan
pada sore hari mengalami penurunan. Suhu minimum pemeliharaan sebesar 25 oC
(pagi hari) dan suhu maksimum sebesar 32 oC (siang hari).
Kelembaban relatif pada bulan Oktober 2011 berkisar 70%-84%, sedangkan
pada bulan Nopember 2011 berkisar 67%-88%. Kelembaban pada bulan Nopember
mencapai kelembaban relatif terendah dan tertinggi. Kelembaban relatif terendah
sebesar 67% (siang hari), sedangkan kelembaban relatif tertinggi sebesar 88% (pagi
hari).
Konsumsi, Kecernaan dan Pakan Tercerna
Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva A. atlas mengkonsumsi semua
jenis pakan perlakuan yaitu daun sirsak, kenari dan nangka. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Peigler (1989) bahwa terdapat lebih dari 90 jenis tumbuhan yang berasal
dari 48 famili tanaman yang dapat dimakan daunnya oleh larva dari ulat sutera ini.
Konsumsi pakan tiap ekor larva A. atlas dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rataan Konsumsi Pakan Segar Larva A. atlas Instar I-IIIdengan Pakan Daun Sirsak, Kenari dan Nangka
Tahap Instar Jenis Pakan R2
Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) * Semua larva mati
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa jenis pakan berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap konsumsi pakan tiap ekor pada larva A. atlas instar I. Konsumsi
pemberian daun kenari (137,2 mg/larva) dan nyata lebih tinggi dari daun nangka
(102,8 mg/larva). Nilai koefisien determinasi pada instar I nilainya sebesar 85%,
artinya respon konsumsi yang dipengaruhi pakan sebesar 85% sedangkan pengaruh
dari faktor lain yang tidak diamati relatif kecil hanya sebesar 15%.
Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi pakan tiap ekor
pada larva A. atlas instar II. Konsumsi pakan larva instar II dengan pakan daun sirsak
(308,2 mg/larva) nyata lebih tinggi dari daun kenari (254,8 mg/larva) dan daun
nangka (218,8 mg/larva). Nilai koefisien determinasi pada instar II nilainya sebesar
89%, artinya respon konsumsi yang dipengaruhi oleh pakan sebesar 89%. Konsumsi
daun sirsak paling tinggi diduga karena kandungan kadar air sirsak (69,88%) yang
lebih tinggi dibandingkan daun kenari dan nangka (Tabel 1). Ekastuti (1999)
menyatakan bahwa kadar air daun yang baik untuk pakan larva B. mori adalah 70%.
Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah konsumsi tiap ekor
pada instar III. Jumlah konsumsi pakan larva instar III dengan pemberian pakan daun
sirsak (1146,3 mg/larva) nyata lebih tinggi dari pakan daun kenari (659 mg/larva).
Koefisien determinasi menunjukkan nilai sebesar 86%, artinya respon konsumsi
pakan dipengaruhi perlakuan pakan sebesar 86% sehingga pengaruh dari faktor lain
relatif rendah. Jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pemberian daun nangka pada
instar III tidak diketahui, karena larva mati sebelum akhir instar. Larva dengan
pemberian daun nangka mati diduga karena pada instar I dan II larva mengkonsumsi
pakan relatif rendah dibandingkan larva dengan pakan daun sirsak dan kenari.
Jumlah pakan yang tidak memenuhi kebutuhan hidup larva dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan daya tahan tubuh larva.
Pemberian pakan dengan daun sirsak lebih disukai terlihat dari total konsumsi
(instar I-III) yang relatif besar (1585 mg/larva) dibandingkan dengan pemberian
pakan daun kenari dan nangka. Hal ini kemungkinan karena kandungan nutrien yang
terdapat tiap daun berbeda-beda. Pakan yang dikonsumsi larva harus mengandung
nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan larva, dapat diterima dan dapat dicerna
dengan baik. Kualitas nutrisi yang relatif rendah memperlambat konsumsi pakan dan
efisiensi penggunaan energi yang lebih tinggi (Wuliandari, 2002). Selain nutrien
pakan hal lain yang mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi yaitu kadar air
24 Zat-zat makanan yang dicerna merupakan bagian zat makanan dari bahan
makanan yang tidak diekskresikan dalam feses. Hasil uji statistik terhadap kecernaan
dari pemberian ketiga jenis pakan terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kecernaan Pakan Daun Sirsak, Kenari dan Nangka pada Larva A. atlas
Instar I-III
Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) * Semua larva mati
Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan pakan pada larva
instar I. Kecernaan pakan dari yang tertinggi sampai terendah berturut-turut adalah
daun kenari (21,58%), daun sirsak (18,74%) dan daun nangka (11,78%). Nilai
koefisien determinasi pada instar I sebesar 95%, artinya 95% respon kecernaan
pakan yang dipengaruhi oleh perlakuan sedangkan hanya 5% sisanya dipengaruhi
oleh faktor lain yang tidak diamati.
Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan pakan pada larva
instar II. Kecernaan daun sirsak (26,12%) tidak berbeda nyata dengan pakan daun
kenari (25,52%), namun nyata lebih tinggi dari daun nangka (16,52%). Hasil
koefisien determinasi pada instar II nilainya relatif tinggi sebesar 98%, artinya
perlakuan berpengaruh terhadap sekitar 98% respon kecernaan. Pengaruh yang
disebabkan faktor lain yang tidak diamati relatif rendah sebesar 2%.
Pada instar III jenis pakan tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan pakan.
Nilai koefisien determinasi pada instar III rendah sebesar 55%, artinya pengaruh
pakan terhadap kecernaan sebesar 55% dan pengaruh dari faktor lain cukup tinggi
sebesar 45%.
Kecernaan pakan daun nangka paling kecil dibandingkan dengan daun sirsak
dan kenari. Hal ini kemungkinan karena daun nangka banyak mengandung getah
berat kering pakan yang dikonsumsi dan berat kering feses yang diekskresikan
(Rohayati, 1994). Pada dasarnya pengukuran kecernaan bertujuan untuk menentukan
jumlah zat makanan yang dicerna dalam saluran pencernaan. Jumlah pakan tercerna
dapat dilihat pada Tabel 4.
Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) * Semua larva mati
Besarnya kecernaan berbanding lurus dengan jumlah pakan yang tercerna.
Semakin tinggi kecernaan semakin tinggi pula jumlah pakan yang tercerna. Jenis
pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah pakan yang tercerna pada instar I
sampai III. Jumlah pakan yang tercerna pada larva instar I dengan pemberian pakan
daun kenari (29,64 mg/larva) nyata lebih tinggi dari daun sirsak (24,50 mg/larva) dan
daun nangka (12,11 mg/larva). Hal ini dapat dilihat dari jumlah pakan daun kenari
yang dikonsumsi dan persentase nilai kecernaannya. Nilai koefisien determinasi pada
instar I nilainya relatif tinggi yaitu 94%, artinya perlakuan berpengaruh terhadap
sekitar 94% respon pakan tercerna. Pengaruh yang disebabkan faktor lain yang tidak
diamati relatif rendah sebesar 6%.
Jumlah pakan tercerna pada larva instar II dengan pemberian daun sirsak
(80,47 mg/larva) nyata lebih tinggi dari daun kenari (65,02 mg/larva) dan daun
nangka (36,19 mg/larva). Nilai kecernaan pakan sebesar 26,12% dengan jumlah
pakan yang dikonsumsi tinggi (308,2 mg/larva) sehingga jumlah pakan tercerna yang
dihasilkan oleh larva dengan pakan daun sirsak relatif besar. Hasil koefisien
determinasi pada instar II nilainya sebesar 96%, artinya sekitar 96% pakan tercerna
disebabkan oleh perlakuan pakan. Pengaruh yang disebabkan faktor lain yang tidak
26 Pakan tercerna instar III dengan pemberian daun sirsak (341,95 mg/larva)
berbeda nyata dengan pemberian daun kenari (187,03 mg/larva). Hasil koefisien
determinasi nilainya sebesar 84%, artinya sekitar 84% pakan tercerna disebabkan
oleh perlakuan pakan. Pengaruh yang disebabkan faktor lain yang tidak diamati
relatif tinggi yaitu 16%.
Jumlah asupan pakan pada instar I dan II tiap larva dari ketiga pakan
memperlihatkan bahwa asupan pakan daun sirsak 104,97 mg, daun kenari 94,66 mg
dan daun nangka 48,3 mg. Asupan pakan daun nangka paling rendah dibandingkan
dengan sirsak dan kenari. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan larva tidak optimal,
daya tubuh rendah dan mudah terserang penyakit.
Pertumbuhan Larva
Pertumbuhan larva dapat dilihat dari pertambahan panjang dan bobot badan
dari larva tersebut. Pertambahan bobot badan larva A. atlas terdapat pada Tabel 5.
Tabel 5. Pertambahan Bobot Badan Larva Instar I-III A. atlas yang Diberikan Pakan Daun Sirsak, Kenari dan Nangka
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)
* Semua larva mati
Bobot badan larva awal instar I berkisar 3-6 mg. Bobot badan akhir instar I
dengan pemberian daun kenari (30 mg) menunjukkan hasil yang tidak berbeda
pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan pada instar I.
PBB larva yang mendapatkan pakan daun kenari (25 mg) tidak berbeda dengan
pakan daun sirsak (24 mg) namun nyata lebih tinggi dari yang mendapatkan pakan
daun nangka (21 mg). Larva instar I dengan pemberian pakan daun kenari
memperlihatkan pertambahan bobot badan tertinggi (25 mg), sedangkan
pertambahan terendah pemberian pakan daun nangka (21 mg). Hal ini dapat
dikarenakan jumlah pakan yang tercerna oleh larva yang diberi daun nangka rendah
(12,11 mg), sehingga pertumbuhan larva dengan pemberian pakan daun nangka
paling rendah. Pakan yang tercerna oleh larva yang diberi daun kenari paling tinggi
(29,64 mg), sehingga pertumbuhan larva dengan pemberian pakan daun kenari paling
tinggi.
Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot badan awal dan akhir
larva instar II. Pada awal instar II pemberian pakan daun kenari (28 mg) tidak
berbeda dengan daun sirsak (24 mg), nyata lebih tinggi dari daun nangka (19 mg).
Pada setiap awal instar terjadi penurunan bobot badan larva, hal ini disebabkan
sebelum proses ganti kulit larva cenderung diam, termasuk mengurangi aktivitas
makan. Bobot badan akhir instar dengan pemberian pakan daun sirsak (126 mg)
nyata lebih tinggi dari daun kenari (105 mg) dan daun nangka (100 mg). Jenis pakan
menunjukkan hasil berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan larva instar
II. PBB daun sirsak (103 mg) nyata lebih tinggi dari daun kenari (83 mg) dan nangka
(79 mg). Hal ini dapat dikarenakan larva mengkonsumsi pakan daun sirsak paling
tinggi (308,2 mg/larva) sehingga asupan pakan cukup tersedia untuk pertumbuhan
larva.
Jenis pakan tidak berpengaruh terhadap bobot badan awal instar III,
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot akhir instar III. Bobot badan instar III
dengan pakan daun sirsak (479 mg) nyata lebih tinggi dari daun kenari (384 mg).
PBB menunjukkan hal yang sama yaitu pemberian pakan daun sirsak (351 mg) nyata
lebih besar dari daun kenari (263 mg). Bobot badan instar III dengan pemberian
pakan daun nangka tidak diketahui karena larva mati sebelum molting. Larva dengan
pakan daun nangka mendapat asupan pakan rendah (56,74 mg) sehingga
28 Pertambahan panjang badan larva dihitung dengan selisih panjang akhir instar
dengan awal instar. Pertambahan panjang badan larva A. atlas terdapat pada Tabel 6.
Tabel 6. Pertambahan Panjang Badan Larva A. atlas yang Diberikan Pakan Daun Keterangan : * Semua larva mati
Jenis pakan tidak berpengaruh terhadap panjang badan awal, akhir instar dan
pertambahan panjang badan instar I. Rataan panjang larva pada awal instar pertama
adalah 0,696±0,049 cm. Rataan panjang akhir instar pertama adalah 1,026±0,073 cm.
Pertambahan panjang badan larva instar I berkisar 0,326-0,356 cm. Nilai koefisien
determinasi pada instar I nilainya hanya sebesar 1%, artinya perlakuan berpengaruh
terhadap pertambahan panjang badan yang disebabkan oleh pakan sangat rendah
sebesar 1% sedangkan sisanya 99% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diamati
seperti genetik.
Jenis pakan tidak berpengaruh terhadap panjang badan awal, akhir instar dan
pertambahan panjang badan instar II. Rataan panjang larva pada awal instar II adalah
1,106±0,122 cm. Rataan panjang akhir instar II adalah 1,500±0,139 cm.
Pertambahan panjang badan larva instar II berkisar 0,395-0,496 cm. Jenis pakan
berpengaruh sangat rendah terhadap pertambahan panjang badan instar II terlihat dari
nilai koefisien determinasi hanya 3% dan lebih banyak dipengaruhi faktor lain
Jenis pakan tidak berpengaruh terhadap panjang badan awal, akhir instar dan
pertambahan panjang badan instar III. Rataan panjang larva pada awal instar III
adalah 1,799±0,140 cm.Panjang badan akhir instar ulat kecil (instar III) berkisar
antara 2,336-2,368 cm. Pertambahan panjang badan larva instar II berkisar
0,602-0,651cm. Pada instar III jenis pakan hanya berpengaruh sebesar 2% terhadap
pertambahan panjang badan.
Pada akhir stadia instar I hingga instar II, bobot dan panjang larva bertambah
dibandingkan dengan bobot dan panjang awal saat menetas pertama kali.
Perbandingan panjang dan bobot badan larva saat menetas dibandingkan pada akhir
instar dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Perbandingan Panjang dan Bobot Badan Larva A. atlas Pada Akhir Instar
dibandingkan bobot awal saat menetas. Bobot akhir instar III dengan pemberian
pakan daun sirsak mencapai 150 kali dibandingkan bobot awal saat menetas. Larva
dengan pemberian pakan daun kenari pertambahan bobot badan hingga akhir instar
III lebih rendah sebesar 80 kali. Rani (2002) menyatakan bahwa pertambahan bobot
badan ulat sutera Bombyx mori instar I sampai dengan instar III dapat mencapai 120
kali dari bobot saat menetas. Hal ini berkaitan dengan kemampuan larva dalam
30 Panjang badan dengan pemberian ketiga jenis pakan pada awal menetas
dibandingkan dengan akhir instar I sebesar 1,5 kali. Perbandingan panjang badan
akhir instar II dengan pemberian daun sirsak dan kenari sebesar 2,5 kali sedangkan
daun nangka 2 kali. Panjang badan larva A. atlas akhir instar III dengan pemberian
pakan daun sirsak dan kenari mencapai 3,5 kali dari panjang saat menetas. Hasil ini
lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Mulyani (2008),
panjang larva akhir instar III dengan pemberian pakan daun sirsak, kaliki dan jarak
pagar mencapai 5 kali dibandingkan saat menetas. Larva A. atlas yang mampu
mengkonsumsi dan memanfaatkan pakan dengan baik, akan terjadi pertambahan
bobot dan panjang badan sesuai dengan tahapan instar.
Stadia Larva
Stadia larva A. atlas selama pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 8. Kisaran
tersebut mencakup stadia larva instar I, II dan III dengan pemberian pakan yang
Kisaran Rataan Kisaran Rataan Kisaran Rataan
--- (hari) ---
Keterangan : * Semua larva mati
Berdasarkan analisis sidik ragam, jenis pakan tidak berpengaruh terhadap
panjang periode larva pada ulat kecil (instar I-III). Panjang periode larva tiap
instarnya berkisar antara 3-7 hari. Rataan periode larva instar I dengan pakan daun
sirsak (5,8±0,68 hari), daun kenari (5,4±0,88 hari) dan daun nangka (5,1±0,32 hari).
Nilai koefisien determinasi pada instar I nilainya sebesar 17%, artinya pakan
berpengaruh hanya sekitar 17% terhadap periode larva pada instar I. Rataan periode