DAN TOPEX POSEIDON/JASON 1
FINA MARIANY
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Kenaikan paras laut global merupakan salah satu isu yang aktual saat ini sebagai salah satu efek dari pemanasan global. Kenaikan paras laut dapat memberikan dampak negatif langsung pada wilayah pesisir seperti banjir permanen dan kerusakan infrastruktur di daerah pesisir pantai, oleh karena itu diperlukan langkah-langkah adanya mitigasi terhadap kenaikan paras laut.
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis laju kenaikan paras laut dari data citra satelit dalam kurun waktu 16 tahun dan mempelajari dampaknya terhadap wilayah genangan pesisir pantai.
Penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir Cirebon pada bulan Mei 2010 sampai Mei 2011 dengan survei lapang pada Bulan Oktober 2010. Dalam
penelitian ini dilakukan pengolahan citra satelit dan survei lapang untuk validasi. Bahan penelitian yang digunakan adalah citra satelit The Advanced Spaceborne
Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) dan citra satelit Landsat, Global Digital Elevation Model (GDEM) Aster kenaikan muka laut, tinggi
gelombang, pasang surut, dan data angin.
Citra Aster menghasilkan garis pantai, data GDEM Aster menghasilkan peta ketinggian, dan data Landsat untuk menghasilkan peta perubahan garis pantai. Data GDEM Aster dan nilai trend kenaikan paras laut diolah dengan perangkat lunak global mapper. Daerah genangan ditentukan dengan melakukan tumpang-tindih (overlay) antara data ketinggian dari data GDEM Aster dan simulasi data tinggi paras laut 5, 10 dan 15 tahun kedepan, kemudian diubah kedalam bentuk .shp file yang selanjutnya di-intersect dengan data garis pantai yang telah didigitasi dari citra Aster 2009.
DAN TOPEX POSEIDON/JASON 1
FINA MARIANY
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
STUDI DAMPAK KENAIKAN PARAS LAUT DENGAN
MEMANFAATKAN DATA ASTER/GDEM ASTER DAN
TOPEX POSEIDON/JASSON 1
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.
Bogor, 18 Agustus 2011
© Hak cipta milik Fina Mariany, tahun 2011
Hak cipta dilindungi
Judul Penelitian : STUDI DAMPAK KENAIKAN PARAS LAUT DENGAN MEMANFAATKAN DATA ASTER/ GDEM ASTER DAN TOPEX POSEIDON/JASON 1
Nama Mahasiswa : Fina Mariany
NRP : C54052026
Program Studi : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Utama Anggota
Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, Msi Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M. Sc 19660721 199103 1 009 19640801 198903 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. H. Setyo Budi Susilo, M. Sc. NIP. 19580909 198303 1 003
iii
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Studi
dampak kenaikan paras laut dengan memanfaatkan data Aster/ GDEM Aster dan
Topex Poseidon/Jason 1. Skripsi merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana di Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, dukungan, dan do’a dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih dengan tulus penulis sampaikan terutama kepada :
1. Keluarga tercinta ayah, ibu, kakak dan adik atas dukungan, doa, materi dan
kasih sayang.
2. Bapak Dr. Ir. Jonson L. Gaol, M.SidanDr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Scselaku pembimbing yang telah memberikan pengetahuan, arahan serta bimbingan
selama penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Dr. I Nyoman M.Natih, M.Si selaku dosen penguji yang memberikan masukan dan arahan demi kesempurnaan skripsi.
4. Dr. Ir. Henry M. Manik, MT selaku komisi pendidikan yang memberikan masukan dan arahan demi kesempurnaan skripsi.
5. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah memberikan izin penggunaan data.
7. Mba Valent atas bantuan saat pengambilan survey data lapang, dukungan dan semangat bagi penulis
8. Iqbal S. Gultom, Dwito Indrawan, Darmawan Irsha P, Fadhilah R, Adil M.Firdaus, Aditya Bramandito dan Andreas Anindityo atas dukungan dan bantuan dalam penyusunan skripsi
9. Warga ITK khususnya ITK 42 atas semangat dan dorongannya dalam penyusunan skripsi.
10.Gian Wilo Harlan, Lidya Elisabeth, Oktora Trianggana, Irvan Fajar dan Klimo Nabara selaku teman seperjuangan penulis yang tiada henti memberikan dukungan, nasihat, hiburan dan semangat satu sama lain untuk menyelesaikan skripsi ini.
11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu.
dan memberikan bimbingan dalam pengolahan data dan penyusunan skripsi. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
dikarenakan keterbatasan yang dimiliki. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat memberikan informasi dan wawasan bagi yang memerlukan,
khususnya mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB.
Bogor, Agustus 2011
v
4.2. Ketinggian ... 26
4.3. Kenaikan Paras Air Laut ... 28
4.4. Simulasi Daerah Genangan ... 28
4.5. Perubahan Garis Pantai ... 33
4.6. Tinggi Gelombang Signifikan ... 35
4.7. Pasang Surut ... 40
KESIMPULAN DAN SARAN ... 42
5.1. Kesimpulan ... 42
5.2. Saran ... 42
DAFTAR PUSTAKA ... 43
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Perbandingan resolusi citra TERRA/ASTER dengan satelit
pendahulunya ... 6
12.Peta simulasi genangan wilayah pesisir Cirebon 15 tahun sumber data pengolahan Topex dan Jason ... 30
13.Peta penggunaan lahan wilayah pesisir Cirebon 15 tahun kedepan akibat kenaikan paras laut ... 30
14.Peta wilayah prediksi genangan a) Wilayah 1 dan b) Wilayah 2 dalam 15 tahun kedepan ... 31
15.Peta prediksi genangan a) Wilayah 3, b) Wilayah 4 dan c) Wilayah 5 dalam 15 tahun kedepan ... 32
16.Peta perubahan garis pantai pesisir Cirebon (Kecamatan Asatanajapura) Tahun 2003 dan 2009 ... 34
17.Peta perubahan garis pantai pesisir Cirebon (Kecamatan Astanajapura) tahun 2003 dan 2009 ... 34
18.Arah dan kecepatan angin a)14 Agustus 2003 b)15 Agustus 2003 dan c)16 Agustus 2003 ... 37
19.Arah dan kecepatan angin a)23 Maret 2009 b) 24 Maret 2009 dan
25 Maret 2009 ... 38 20.Grafik rata-rata tinggi gelombang signifikan di pesisir Cirebon
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Karakteristik pada mayor ASTER ... 6
2. Karakteristik DEM yang dibuat dengan cara perolehan data yang berbeda ... 9
3. Akurasi dari ASTER dan PRISM DEM ... 10
4. Karakteristik citra satelit Landsat 7 ETM + ... 13
5. Luas penggunaan lahan di wilayah pesisir Kabupaten Cirebon ... 26
6. Luas genangan prediksi 5, 10 dan 15 tahun akibar Sea Level Rise .... 29
7. Luas daerah yang terkena abrasi dan akresi ... 33
8. Kisaran tinggi gelombang signifikan (m) periode 1993-2008 ... 40
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta prediksi genangan pesisir Cirebon 5 dan 10 tahun kedepan
sumber data pengolahan Topex dan Jason ... 47
2. Peta prediksi genangan pesisir Cirebon 5 dan 10 tahun kedepan ... 48
3. Peta prediksi wilayah pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Kapetakan) 5 dan 10 tahun kedepan ... 49
4. Peta prediksi wilayah pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Cirebon Utara) 5, 10 dan 15 tahun kedepan ... 50
5. Peta prediksi wilayah pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Lemah Wungkuk) 5, 10 dan 15 tahun kedepan ... 51
6. Peta prediksi wilayah pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Astanajapura) 5, 10 dan 15 tahun kedepan ... 52
1
1.1Latar Belakang
Kenaikan paras laut secara global merupakan salah satu isu yang aktual dalam studi saat ini. Kenaikan paras laut (sea level rise) merupakan salah satu efek dari pemanasan global (global warming). Fenomena kenaikan paras laut dapat memberikan dampak negatif langsung pada wilayah pesisir seperti erosi garis pantai, penggenangan wilayah daratan dekat pantai, dan meningkatnya resiko banjir.
Wilayah pesisir merupakan salah satu zona yang banyak dimanfaatkan untuk perekonomian masyarakat. Kenaikan paras laut dapat menyebabkan banjir permanen dan kerusakan infrastruktur di daerah pesisir pantai, maka diperlukan langkah-langkah nyata untuk menghadapi kenaikan paras laut tersebut. Salah satu hal yang penting dilakukan adalah pemetaan daerah rawan genangan akibat dampak kenaikan muka laut. Bila trend kenaikan paras laut dalam beberapa tahun mendatang bias diketahui, maka dampak yang akan ditimbulkan dapat
diperkirakan. Diantara dampak tersebut adalah genangan air di wilayah pantai yang mengakibatkan rusaknya lahan, sarana dan prasarana kegiatan di wilayah tersebut.
diantaranya adalah citra The Advanced Spaceborne Thermal Emission and
Reflection Radiometer (ASTER) yang memiliki resolusi spasial 15 m. Satelit ini
mampu mengindera tempat yang sama pada dua posisi yang berbeda searah jalur orbit, sehingga dapat dibentuk model stereoskopis dan dihasilkan data ketinggian. Data ASTER untuk pemetaan topografi daerah pantai cukup potensial.
Kemampuan data stereo ASTER untuk menghasilkan Digital Elevation
Mode (DEM) dengan resolusi spasial tinggi (15 m) merupakan informasi sangat
penting untuk pengelolaan wilayah pantai dalam beberapa hasil penelitian, seperti Trisakti dan Carolita (2005), Goncalves and Oliveira (2004), Tsakiri-Strati et. al. (2004) Pantelis et. al. (2004) dan Ulrich et. al. (2003). Menunjukkan bahwa ketelitian vertikal dari data DEM ASTER mendekati 25-27 meter untuk daerah
pegunungan dengan tutupan lahan yang rapat (Trisakti dan Carolita, 2005), tetapi untuk daerah dengan sedikit tutupan vegetasi dapat mencapai 9 – 11 meter
(Goncalves and Oliveira, 2004 dalam Trisakti, 2005).
1.2Tujuan
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Cirebon
Cirebon terletak di daerah Pantai Utara propinsi Jawa Barat bagian timur. Secara geografis, Kotamadya Cirebon terletak pada 1080 40’-1080 bujur timur dan 60 30’ – 70 00’ lintang selatan. Bentang alamnya merupakan dataran rendah daerah pantai, dengan luas wilayah administrasi ± 3.735,82 hektar dan dominasi penggunaan lahan untuk perumahan (32%) dan tanah pertanian (38%). Cirebon merupakan dataran rendah dengan ketinggian bervariasi antara 0-150 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan persentase kemiringan, wilayah kota Cirebon dapat diklasifikasikan sebagai berikut : kemiringan 0-3% tersebar di sebagian wilayah kota Cirebon kecuali sebagian Kecamatan Harjamukti, kemiringan 3-8% tersebar di sebagian besar wilayah Kelurahan Kalijaga, sebagian kecil Kelurahan
Harjamukti, Kecamatan Harjamukti, kemiringan 8-15% tersebar di sebagian wilayah Kelurahan Argasurya, kecamatan Harjamukti, kemiringan 15-25% tersebar di wilayah Kelurahan Argasurya, kecamatan Harjamukti.
Kota Cirebon terletak pada lokasi yang strategis dan menjadi simpul pergerakan transportasi antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Letaknya yang berada di wilayah pantai menjadikan Kota Cirebon memiliki wilayah dataran yang lebih luas dibandingkan dengan wilayah perbukitannya.
Suhu udara rata-rata di Cirebon adalah 28°C. Kelembaban udara berkisar antara ± 48-93% dengan kelembaban udara tertinggi terjadi pada bulan
Januari-Maret dan angka terendah terjadi pada bulan Juni-Agustus. Rata-rata curah hujan tahunan di daerah Cirebon ± 2260 mm/tahun dengan jumlah hari hujan ± 155 hari. (www.cirebonkab.go.id) [Diakses pada tanggal 5 Juli 2009].
2.2 Pasang surut
Pasang surut (pasut) adalah naik turunnya muka laut secara berkala akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan terhadap massa air di bumi(Pariwono, 1989). Sepanjang sejarah bumi paras laut rata-rata tidak pernah berada dalam keadaan konstan (National Research Council, 1990).
Perubahan tinggi paras laut merupakan hasil dari beberapa proses yang saling mempengaruhi. Perubahan terjadi dalam skala waktu dan ruang, dari yang bersifat lokal sampai global, dan kurun waktu beberapa detik sampai beberapa ribu tahun (National Research Council, 1990). Proses-proses yang menyebabkan perubahan tinggi paras laut diantaranya (Prihatini, 2004):
1. Penaikan daratan baik secara lokal maupun global.
2. Angin, arus laut dan perubahan tekanan atmosfir.
3. Perubahan jumlah massa air lautan disebabkan karena pencairan es di kutub atau penambahan massa air laut dari pelepasan sumber air daratan.
4. Perubahan volume air lautan tanpa mengeluh jumlah massa air laut yang merupakan respon dari perubahan suhu dan salinitas.
5. Perubahan volume lautan dunia yang disebakan gaya-gaya tektonik seperti seafloor spreading, plate convergence dan pengangkatan dasar lautan serta proses sedimentasi dasar laut.
Dampak naiknya air laut berekspansi ke daratan yang menyebabkan banjir rob di beberapa wilayah di Semarang (Wirasatriya et al., 2006). Dampak
dapat menyebabkan abrasi pantai, intrusi air asin ke dalam estuaria dan akuifer, meningkatkan risiko banjir, hilangnya struktur pantai alami maupun buatan dan terganggunya ekologi pantai. Kerusakan ekologi dapat meliputi kerusakan batu karang, berkurangnya keanekaragaman hayati, rusaknya hutan mangrove, serta perubahan sifat biofisik dan biokimia zona pesisir (Harmoni, 2005).
Dampak dari kenaikan paras muka air laut di kawasan pantai semarang yang paling terkena dampak adalah infrastruktur dan jumlah penduduk. Selain itu, daerah pemukiman dan jasa pelayanan juga terkena dampak yang cukup besar (Diposaptono et al., 2009). Dampak yang terjadi di Makasar dari meningkatnya paras air laut adalah berubahnya garis pantai yang semakin mengarah ke darat, kawasan pantai yang semakin berkurang, hilangnya sebagian kawasan hutan
bakau serta terjadinya abrasi dan sedimentasi (Kurdi, 2010). 2.3 Gelombang
Gelombang adalah fenomena naik turunya permukaan laut (Pond and Pickard, 1983 dalam Rahayu, 2000). Gelombang adalah faktor penting yang sangat menentukan dalam proses dinamika pantai, baik berupa abrasi (erosi atau pengikisan pantai) maupun akresi (sedimentasi atau penambahan pantai). Gelombang dapat menimbulkan arus dan transport sedimen dalam arah tegak lurus dan sepanjang pantai yang akhirnya akan mempengaruhi bentuk pantai (Rahardjo, 2004).
kilometer sebelum mencapai suatu pantai. Gelombang yang mendekati pantai akan mengalami pembiasan (refraction), dan akan memusat (convergence) jika mendekati semenanjung, atau menyebar (divergence) jika menemui cekungan (Pariwono, 1992).
2.4 Citra Aster
ASTER adalah suatu sensor multispektral yang diluncurkan oleh NASA pada bulan Desember 1999. ASTER merupakan salah satu sensor dari satelit Terra. ASTER memiliki 14 Band yang terbagi dalam kanal visible, kanal infra merah dan kanal thermal infra merah. Seluruh band spectral dari Aster terbagi kedalam tiga radiometer yaitu VNIR, SWIR and TIR (ERSDAC, 2003 dalam Trisakti, 2006). Resolusi spasial kanal visible Visible and Near Infrared
Radiometer (VNIR) adalah 15 m lebih baik dari data LANDSAT-TM yang
resolusi spasialnya 30 m. Kanal inframerah Short Wave Infrared Radiometer (SWIR) sama dengan LANDSAT-TM adalah 30 m dan kanal inframerahnya
Thermal Infrared Radiometer (TIR) memiliki resolusi 90 m. Rincian spektral per
kanal untuk data ASTER disajikan pada Tabel 1. Tabel 1.Karakteristik Sensor ASTER
Salah satu kelebihan dari citra TERRA/ASTER adalah resolusi spasial yang lebih tinggi dibandingkan dengan citra satelit pendahulu dan sekelasnya (JERS-1 dan Landsat). Sebagai contoh perbandingan resolusi citra
TERA/ASTER dengan satelit pendahulunya disajikan pada Gambar 1.
TERRA/ASTER
JERS-1 OPS
Landsat TM
Gambar 1. Perbandingan resolusi citra TERRA/ASTER dengan satelit pendahulunya (sumber : www.Aster-indonesia.com)
2.4.1 Aplikasi Citra ASTER
hutan, monitoring suhu permukaan tanah dan korelasi DEM (http://aster.indomicrowave.com).
DEM dapat diperoleh mengaplikasikan data ini yang diturunkan dari citra TERRA/ASTER (Level 1) dapat diperoleh informasi kontur permukaan bumi, dimana informasi ini dapat diterapkan untuk berbagai macam bidang, misalnya pertambangan, pembangkit listrik, perencanaan dam atau bendungan,
penanggulangan banjir dan lain-lain. Selain itu sumber data DEM dapat diperoleh dengan FU stereo, data pengukuran lapangan (dengan menggunakan GPS,
theodolith, EDM, Total Station, Echosounder), peta topografi, dan linear array
image. Karakteristik DEM yang dibuat dengan cara perolehan data yang berbeda
disajikan pada Tabel 2.
DEM adalah sumber data untuk menghasilkan informasi kondisi topografi lahan. DEM dapat menggunakan beberapa metode, salah satunya berdasarkan gambar satelit stereoscopic (Stereoscopic Parallax Of Optic and SAR). PRISM sensor (Panchromatic Remote-Sensing Instrument for Stereo Mapping) dari Satelit ALOS dan sensor ASTER dari satelit TERA adalah sensor satelit yang berasal dari Jepang yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan gambar
Tabel 2. Karakteristik DEM yang dibuat dengan cara perolehan data yang berbeda.
Metode Pengumpulan data ketinggian digital Sistem Pengumpulan data
RMS Sensor/Teknik Akurasi Ketinggian
Pengukuran lapangan Stereopair antar jalur terbang
RADAR) antar jalur terbang
yang berurutan Interferometris INSAR(two-passes interferometry)
INSAR, IFSAR (single pass)
VNIR (Visible Near Infrared) memiliki 2 band infra red yang mempunyai panjang gelombang hampir sama keduanya, yaitu 3N( Nadir view) dan 3B (Backward view). Band 3B digunakan untuk mengambil pandangan dari belakang, dengan sudut kemiringan diantara backward view dan nadir view dengan sudut kemiringan 27,60 (Ersdac, 2002 dalam Trisakti, 2006). Pandangan nadir dan backward digunakan untuk mendapatkan citra secara stereoscopic untuk menghasilkan DEM.
Beberapa peneliti memiliki laporan akurasi dari ASTER dan PRISM DEM seperti yang disajikan pada Tabel 3. Akurasi dari stereo ASTER DEM bervariasi dari 7 m sampai 50 m tergantung metode, kondisi topografi, dan observasi penutupan lahan (Trisakti, 2009).
Tabel 3. Akurasi dari ASTER dan PRISM DEM
Sensor satelit Referensi Akurasi (m)
Aster Lang &Welch(1999) 10-50 m
Aster Toutin & Cheng (2001) 7,9 m
Aster Hirano et al. (2002) 7-15 m
Aster Goncalves & Oliveira (2004)
merupakan radiometer pemindai multispektral yang memiliki posisi tetap, pengamatan nadir dan kemampuan menyediakan citra beresolusi tinggi berisi informasi permukaan bumi, baik dalam wilayah spektrum sinar tampak maupun infra merah. Landsat 7 ETM+ diluncurkan pada tanggal 15 April 1999, berada pada ketinggian 705 km dengan periode edar 99 menit, dan orbit polar
sun-synchronous yang memotong garis khatulistiwa ke arah selatan setiap pukul
10.00 waktu setempat dengan waktu inklinasi 300. Landsat 7 ETM+ mempunyai cakupan seluas 185 km melewati daerah yang sama setiap 16 hari. Karakteristik sensor satelit landsat 7 ETM+ mempunyai 8 kanal spektral dengan pengaturan
gain tinggi, dan rendah secara terpisah (Lapan, 2000 dalam Putra, 2007).
Tampilan desain satelit Landsat 7 ETM+ yang diluncurkan pada tanggal 15 April
1999 ditunjukkan pada Gambar 2.
Citra landsat 7 ETM+ mempunyai resolusi spasial 30 x 30 m pada saluran multispektral yang relatif cukup untuk digunakan pada berbagai kajian tematik. Karakteristik satelit Landsat 7 ETM+ selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik Citra satelit Landsat 7 ETM
Sensor Resolusi spektral Resolusi spasial
Biru 0,450-0,515 30
Hijau 0,525-0,605 30
Merah 0,630-0,690 30
Infra merah dekat 0,750-0,900 30 Infra merah
Infra merah Jauh 2,090-2,350 30 Panchromatik Hitam dan putih 0,520-0,900 15
Lebar sapuan 185 km
Resolusi Temporal 16 hari(233 orbit)
Ketinggian 705 km
Resolusi radiometrik Best 8 of 9 bits
Inklinasi Sun-synchronous,98,2 degrees
Sumber : (http//glovis.usgs.edu)
2.6 Sistem Informasi Geografis
Barus dan Wiradisastra, 2000). SIG telah terbukti kehandalannya untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, menganalisa dan menampilkan data spasial baik biofisik maupun sosial ekonomi. Secara umum SIG menyediakan fasilitas-fasilitas untuk mengambil, mengelola, memanipulasi dan manganalisa data serta menyediakan hasil baik dalam bentuk grafik maupun dalam bentuk tabel, namun demikian fungsi utamanya adalah untuk mengelola data spasial.(Star dan Estes, 1990 dalam Barus dan Wiradisastra, 2000).
Keuntungan SIG adalah kemampuan untuk menyertakan data dari sumber berbeda untuk aplikasi deteksi perubahan. Walaupun penggabungan sumber data dengan perbedaan akurasi sering mempengaruhi hasil deteksi perubahan, SIG telah menjadi alat yang penting untuk tata ruang dan analisis modeling untuk
masalah zona pantai. Multimedia berbasis SIG modeling dapat menghasilkan
output spasial visualisai. Alat bantu visualisasi banjir telah dikembangkan di
daerah Lakes Entrance, Victoria, Australia, dimana visualisasi ini berpotensi dan diterapkan untuk mendukung masa depan manajemen zona pesisir terpadu
(Wheler et. al., 2008). Kegiatan penelitian yang menggunakan aplikasi SIG untuk perubahan garis pantai diantaranya yaitu yang dilakukan oleh Wiguna (2007), Kalay (2008), Putra(2007), Sutrisno (2005), dan Tarigan (2007).
2.7 Penginderaan Jarak Jauh
yang selanjutnya dikirimkan ke stasiun bumi untuk seterusnya disimpan dalam bentuk data analog atau digital. Untuk pemanfaatan suatu bidang tertentu dapat dilakukan penginderaan atau sensor pada wahana penginderaan jauh dengan memanfaatkan energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh suatu objek di permukaan bumi, dimana tiap-tiap objek dipermukaan bumi memiliki karakteristik reflektansi yang berbeda-beda (Kushardono, 2003)
Untuk memantau dan melihat perubahan lingkungan pesisir yang
diakibatkan gempa, tsunami, badai, banjir, El-Nino, dan pemanasan global, citra inderaja (penginderaan jarak jauh) adalah suatu alternatif yang baik dipergunakan selain survei langsung ke lokasi. Aplikasi inderaja untuk melihat genangan antara
15
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir Cirebon, wilayah ini didominasi oleh wilayah permukiman masyarakat pesisir dan tambak. Lokasi penelitian terletak antara 108040’ - 1080
48’ BT dan 6030’- 7000’ LS (Gambar 3).
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
3.2. Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat lunak image
processing dan GIS, seperti Er Mapper 6.4, Surfer 8.0, Ocean Data View (ODV),
dan Global Mapper 8.0, sedangkan untuk pengolahan data spasial menggunakan
Arc Gis. Global Positioning System (GPS) dan kamera digital digunakan sebagai
perlengkapan survei lapangan. Bahan penelitian berupa citra satelit Aster, citra satelit Landsat, data GDEM Aster, data kenaikan paras laut, data tinggi gelombang, data pasang surut, peta penggunaan lahan dan data angin
3.3. Metode Penelitian
Dalam peneitian ini dilakukan pengolahan citra satelit dan survei lapang untuk validasi. Diagram alir penelitian ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram Alir Penelitian
Data
Garis Pantai Kontur
3.3.1 Pengumpulan dan pengolahan data
Data citra satelit ASTER dan data penggunaan lahan diperoleh dari
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), data GDEM ASTER, citra landsat 7 ETM, data kenaikan muka laut, data tinggi gelombang, data pasang surut dan arah kecepatan angin didapatkan dengan cara mengunduhnya dari internet.
3.3.1.1 Data Kenaikan Paras Laut
Data kenaikan paras laut daerah Cirebon didapatkan melalui satelit altimeter TOPEX dan JASON 1 yang dapat diunduh melalui situs http://rads.tudelft.nl/rads/data/authentication.cgi.
Data kenaikan paras laut yang diunduh tersebut terdiri dari file-file berformat ASCII yang telah dibentuk menjadi data "zip", terdiri dari passes atau lintasan satelit di bumi dan cycle atau putaran satelit pada lintasan yang sama. Selanjutnya data kenaikan paras laut yang digunakan memiliki interval waktu 10 hari selama 16 tahun (1993-2008) diolah menggunakan Microsoft Excel untuk memperoleh trendline atau rata-rata kenaikan paras laut tiap tahun di daerah pesisir Cirebon.
3.3.1.2 Data GDEM Aster
Data Global Digital Elevation Model (GDEM) diluncurkan kepada masyarakat pada Bulan Juni 2009. Program GDEM ini merupakan hasil kerjasama antara NASA dengan Jepang yang dalam hal ini diwakili oleh
divalidasi oleh NASA, METI, dan US Geological Survey dan dengan dukungan dari US National Geospatial-Intelligence Agency.
Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer
(ASTER) sendiri adalah salah satu dari lima instrumen pengamat bumi yang diluncurkan oleh Terra pada Desember 1999. Data yang dihasilkan berformat Tag Image Format (TIF), yang dapat dibuka pada software Global Mapper.
Selanjutnya diolah dengan software ArcView. Data GDEM menggunakan sistem grid berukuran 1° x 1° atau 111,2 km x 111,2 km memilki ketelitian sebesar 30 meter. Area yang tercakup meliputi 83° LU hingga 83° LS atau berarti hampir 99% permukaan bumi tercakup pada data GDEM ini.
3.3.1.3 Data Citra Landsat 7 ETM +
Data Citra Landsat dapat diunduh di http://glovis.usgs.gov/. Citra yang digunakan Citra landsat TM path 121 row 65 yang direkam pada tanggal 24 Maret 2009 dan Citra landsat TM path 121 row 65 yang direkam pada tanggal 15
Agustus 2003. Analisis data secara digital dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Er mapper. Untuk mendeteksi perubahan garis pantai kemudian menggunakan band 4 sebagai gray scale. Penggunaan band 4 secara langsung akan memisahkan komponen laut dan darat. Kedua hasil klasifikasi di export .shp kemudian ditumpang-tindihkan agar terlihat perbedaan garis pantai.
laut dan dari persaman yang dihasilkan akan diperoleh laju tinggi paras laut, selanjutnya berdasarkan trend paras laut dibuat simulasi genangan mulai dari 5,
10 dan 15 tahun kedepan. Untuk simulasi 5, 10 dan 15 tahun maka isi countour
interval pada Global Mapper nilai laju kenaikan tersebut dikalikan sesuai tahun
simuilasi. Setelah data GDEM Aster dan niai kenaikan paras laut diolah di Global
Mapper kemudian di export .shp selanjutnya di intersect dengan data garis pantai
yang telah di digitasi dari citra Aster 2009.
3.3.1.5 Data Pasang Surut
National Astronomical Observatory (NAO TIDE) adalah sebuah program untuk memprediksi pasang surut yang berdasarkan waktu dan lokasi laut. Model ini dikembangkan oleh pasang asimilasi TOPEX / data POSEIDON altimeter yang digunakan dengan software fotran. NAO TIDE adalah program untuk prediksi pasang surut laut di daerah Jepang menggunakan model regional dengan resolusi tinggi. Data pasut dapat diunduh dari website :
http://www.miz.nao.ac.jp/staffs/nao99/README_NAOTIDE_En.html.
Data pasang surut yang digunakan dalam studi ini merupakan data prediksi yang dikeluarkan oleh Dishidros dan dimasukkan nilai amplitudo dan fase tiap
anak pasang (M2, S2, N2, K1, O1, M4, MS4, K2, P1
k)
kedalam program pasut(tides application programme) yang dikeluarkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
3.3.1.6 Koreksi Pasang Surut Terhadap Citra
pasang surut saat pereka
kaman citra, tinggi pasang surut kemungkinan bes , karena waktu pengambilan citra yang berbeda. bil ternyata tidak jauh berbeda (Gambar 6), selisih an dengan MSL hanya berbeda 4,5 cm. Perbedaan ketelitian pada citra.
r 5. Grafik pasang surut saat perekaman citra
b)
Gambar 6. Koreksi pasang surut terhadap citra
a)Sebelum dikoreksi dan b) Setelah dikoreksi 3.3.1.7 Data gelombang
Data nilai rata-rata tinggi gelombang signifikan daerah Pesisir Cirebon didapat dari European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF)
dengan menggunakan metode pemrosesan data reanalisis, pemodelan dan asimilasi (numerical weather prediction) dari data satelit serta data insitu. Data
ini dapat diunduh dari http://data-portal.ecmwf.int/data/d/interim_daily/. Data tinggi gelombang yang diunduh dari internet berformat netcdf (network common data form) yang dapat dibaca dan diolah dengan menggunakan Ocean Data View (ODV). Data yang disediakan memiliki resolusi spasial
Gambar 7. Diagram alir pengolahan data gelombang signifikan
Pengolahan data rata-rata tinggi gelombang signifikan ditunjukkan pada Gambar 7. Pengolahan data diawali dengan mengekstrak data berformat netcdf (*.nc) dengan menggunakan ODV menjadi data berformat teks (*.txt) pada stasiun yang berada di pesisir Cirebon, yaitu stasiun yang berkoordinat 6o LS dan 109,5o BT. Data dengan interval setiap 6 jam tersebut dirata-ratakan tiap tahun sehingga diperoleh hasil berupa rata-rata tinggi gelombang signifikan per bulan selama 17 tahun (1992-2009) yang mewakili daerah pesisir Cirebon (Gambar 2).
3.3.1.7 Data Angin
Perolehan data arah dan kecepatan angin didapat dari mengunduh data dari situs European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF)
http://ecmwf.int/dengan selang waktu dari tahun 1992 sampai 2009 mengekstrak data berformat netcdf (*.nc) dengan menggunakan ODV menjadi data berformat teks (*.txt) selanjutnya diplotkan di surfer. Koordinat data angin terdiri dari 12
stasiun yaitu : (1) 6˚LS dan 106,5˚BT (2) 6˚ LS dan 108˚ BT (3) 6˚LS dan 109,5˚ BT (4) 6˚LS dan 111˚BT (5)7,5˚LS dan 108˚ BT (6)7,5˚LS dan 111˚BT (7)7,5˚LS
dan 106,5˚BT (8)7,5˚LS dan 109,5˚BT (9) 4,5˚LS dan 106,5˚BT (10) 4,5˚LS dan 108˚BT. (11) 4,5˚LS dan 109,5˚BT (12) 4,5˚LS dan 111˚BT.
3.3.2 Survei Lapang
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penggunan lahan
Penggunaan lahan yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Cirebon menurut survei LIPI (2009) terdiri dari bekas tambak/lahan kosong, kebun campuran, mangrove, pemukiman lahan terbangun, sawah tadah hujan, sawah/lahan kosong, tambak, tambak bandeng, tambak garam dan tubuh air (Gambar 9). Di daerah Kecamatan Kapetakan penggunan lahan meliputi tambak dan sawah irigasi. Daerah Krangkeng dan Gegesik merupakan pemukiman/lahan terbangun. Di Cirebon Utara terdapat sawah tadah hujan dan pemukiman/lahan dan di Cirebon Barat terdapat sawah tadah hujan. Di daerah Kejaksaan terdapat
semak/lahan kosong dan pemukiman/lahan terbangun. Untuk daerah Lemah Wungkuk terdapat permukiman/lahan terbangun dan lahan kosong dan kebun campuran. Di daerah Kesambi hanya terdapat terdapat sawah hujan. Pada daerah Mundu terdapat semak/lahan kosong, sawah tadah hujan, tambak bandeng, kebun campuran dan pemukiman lahan terbangun.
Berbeda halnya pada daerah Astanajapura dimana terdapat tambak bandeng dan tambak garam yang mendominasi di daerah tersebut serta terdapat juga sawah tadah hujan, pemukiman lahan terbangun dan kebun campuran. Di daerah Babakan terdapat sawah tadah hujan, tambak bandeng, tambak garam dan mangrove.
Berdasarkan Gambar 9, luasan dari masing-masing penggunaan lahan disajikan pada Tabel 5. Disamping itu tipe penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Cirebon didominasi oleh tambak termasuk tambak garam dan bandeng, permukiman, kebun campuran, dan mangrove. Secara keseluruhan penggunaan lahan yang paling luas di wilayah penelitian secara berturut-turut adalah permukiman/lahan terbangun, sawah tadah hujan, kebun campuran, mangrove dan tambak bandeng.
Tabel 5. Luas Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir Kabupaten Cirebon
4.2 Ketinggian
Berdasarkan data GDEM yang tertera pada Gambar 10 diketahui bahwa
secara umum wilayah pesisir Cirebon merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 5 meter yang meliputi daerah Kapetakan, Cirebon Utara, Gegesik, Krankeng, Cirebon Barat, Lemah Wungkuk, Mundu, Astanajapura.
Daerah Kecamatan Kepetakan, Gegesik dan Cirebon Utara merupakan dataran dengan ketinggian 0- 2 meter, sedangkan di daerah Astanajapura, Mundu, Lemah Wungkuk memilki ketinggian wilayah sebesar 2 – 5 meter.
No Penggunaan Lahan Luas (ha)
1 Sawah Irigasi 18.878,7
2 Permukiman/Lahan Terbangun 20.893,4
3 Sawah Tadah Hujan 20.840,6
10 Bekas Tambak/Lahan Kosong 9.575,7
11 Lahan Kosong 16.803,7
Gambar 10. Peta ketinggian wilayah pesisir Cirebon
2
4.3 Kenaikan Paras Air Salah satu faktor naiknya paras laut. Trend hingga 2008 di pesisir C bahwa tinggi paras cende 2008 dengan laju sebesa paras laut di pesisir Cireb + 27,66. Berdasarkan la laut selama 5, 10 dan 15 lampiran 1 dan 2. Warna tergenang akibat peningka
Air Laut
tor fisik yang dapat mempengaruhi kerentanan pant
end tinggi paras laut selama 16 tahun mulai dari ta
Cirebon diplotkan pada Gambar 11. Secara umum nderung mengalami kenaikan dari tahun 1993 hing esar 4,3 mm/tahun. Nilai laju didapatkan dari trend irebon mengikuti pola linier dengan persamaan Y= n laju kenaikan paras laut dapat diprediksi kenaikan 15 tahun kedepan yakni berturut-turut adalah sebe
60 mm.
r 11. Fluktuasi paras laut (1993-2008)
Genangan
aju kenaikan tinggi paras laut sebesar 4,3 mm/tahun n di wilayah pantai Cirebon selama 15 tahun kedepa
Gambar 12 merupakan hasil overlay (tumpang-tindihkan) daerah genangan
dengan peta tata guna lahan menunjukkan adanya lahan tambak yang akan tergenang di daerah Kecamatan Cirebon Utara dan Kecamatan kapetakan, di Kecamatan Lemah Wungkuk ada daerah lahan kosong yang akan tergenang, di Kecamatan Astanajapura tambak bandeng dan tambak garam akan tergenang sedangkan di Kecamatan Babakan akan tergenang tambak bandeng.
Untuk memperjelas daerah genangan maka pada Gambar 14, 15 dan tertera pada lampiran 3, 4, 5, 6 dan 7 wilayah pesisir Cirebon dibagi kedalam 5 wilayah dan terlihat bahwa Kecamatan Cirebon yang lebih dominan akan mengalami genangan. Daerah pesisir Cirebon yang terkena dampak kenaikan paras laut adalah Kapetakan, Cirebon Utara, Kejaksan, Lembah Wungkuk,
Wundu, Astanajapura dan Babakan. Simulasi luasan genangan pada 5, 10 hingga 15 tahun mendatang menunjukkan peningkatan luas genangan seiring dengan bertambahnya waktu seperti pada Tabel 6.
Tabel 6. Luas Genangan dan Kenaikan Paras Laut Prediksi 5,10 dan 15 tahun yang akan datang
Wilayah pesisir pantai Cirebon dicirikan dengan topografinya yang landai seperti yang ditunjukan pada Gambar 5. Menurut Arifin et. al., (2009), wilayah
pesisir Pantai Utara Jawa dicirikan dengan kedalaman perairan yang dangkal (50 m) dan topografi yang landai. Kenaikan paras laut dapat menyebabkan proses abrasi (pengurangan) dan akresi (penambahan) wilayah pesisir. Terjadinya pengurangan luas atau perubahan penggunaan (landuse) yang lebih cepat di
Tahun ke- Luas Genangan (ha) Kenaikan Muka Laut (mm)
5 3762,6 21,53
10 3772,4 43,06
Cirebon dapat disebabkan oleh tipe penggunaan lahan yang umumnya adalah tambak, mangrove ataupun sawah. Lahan-lahan tersebut akan mudah tergenang oleh kenaikan beberapa cm permukaan laut.
Gambar 12. Peta simulasi genangan wilayah pesisir Cirebon 15 tahun kedepan berdasarkan laju kenaikan tinggi paras laut.
a)
b)
a)
b)
c)
4.5 Perubahan Garis pantai
Hasil analisis perubahan garis pantai Cirebon berdasarkan data Landsat tahun 2003 dan tahun 2009 menunjukkan terjadinya perubahan garis pantai seperti tertera pada Gambar 16 dan Gambar 17. Pada Gambar 16 terlihat bahwa di bagian timur Kecamatan Astanajapura garis pantai pada tahun 2009 mengalami kemunduran dibandingkan dengan tahun 2003. Kemunduran ini disebabkan terjadinya proses abrasi (pengikisan). Di bagian utara Kecamatan Astanajapura garis pantai tahun 2009 mengalami penambahan atau maju dibandingkan dengan garis pantai tahun 2003. Hal ini menunjukkan bahwa di bagian utara terjadi akresi. Tabel 7 menunjukan besarnya luasan daerah yang terkena abrasi dan akresi pada Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Kapetakan, besar yang terjadi
akibat abrasi dan akesi adalah seluas 10,4 hadan 12,8 ha. Tabel 7. Luasan daerah yang terkena abrasi dan akresi
Daerah Luasan (ha) Keterangan
Kecamatan Astanajapura 10,4 Terjadi abrasi Kecamatan Kapetakan 12., 8 Terjadi akresi
Perubahan garis pantai dapat disebabkan berbagai faktor mulai dari faktor alam maupun faktor manusia. Fakor alam misalnya angin, arus, pasang surut kenaikan paras laut serta terjadinya bencana tsunami sedangkan faktor manusia misalnya penggalian, pengerukan, penanaman hutan pantai, pembuatan lahan pertanian dan tambak merupakan faktor yang bisa merubah garis pantai. Pesisir Cirebon sangat didominasi oleh lahan tambak dan juga hutan mangrove.
Menurut Arifin et al. (2009), dalam 10 tahun terakhir pantai Cirebon mengalami
Gambar 16. Peta perubahan garis pantai pesisir Cirebon (Kecamatan Kapetakan) tahun 2003 dan 2009
4.6 Tinggi Gelombang Signifikan
Teori pembangkit gelombang oleh angin menurut Franklin (1979) dalam Open University Course Team (1983) mengatakan bahwa “Udara yang bergerak, yaitu angin melewati permukaan halus, akan mengganggu permukaan dan menjadikan permukaan tersebut bergelombang, jika bertiup terus maka menjadi elemen gelombang”. Hal ini senada dengan teori Philip (1957) dalam Holthuijsen (2007) yang menyatakan bahwa saat permukaan air datar, maka keberadaan angin akan menyebabkan tekanan turbulen pada permukaan air.
Faktor alam yang mempengaruhi perubahan garis pantai diantaranya adalah angin dan gelombang. Arah angin mempunyai kesesuaian dengan arah gelombang. Kekuatan gelombang tergantung dari kekuatan angin yang
membangkitkannya. Semakin besar energi angin yang bertiup diatas permukaan laut maka semakin besar gelombang yang ditimbulkan.
Data arah angin disajikan dalam data bulanan mulai dari tahun 1992 sampai 2009 (Lampiran 9). Arah angin saat musim timur dan musim peralihan II berasal dari arah timur atau arah tenggara menuju arah barat atau barat laut. Sedangkan saat musim barat arah angin berasal dari barat menuju ke timur. Arah angin yang bertiup tahun 1992-2009 lebih dominan berasal dari timur atau arah tenggara menuju ke arah barat atau barat laut.
musim peralihan I arah angin tidak menentu dan kekuatan angin pada umumnya lemah dibandingkan saat musim timur yang berkisar 0,2-4,8 m/s.
Arah angin yang dominan dari timur ke barat dipesisir timur Astanajapura (Gambar 17) mengakibatkan pengikisan garis pantai didaerah tersebut.
Sedangkan di bagian barat Astanajapura akan mengalami penambahan garis pantai.
a)
b)
c)
a)
b)
c)
Gambar 20 dan Tabel 8 menunjukan hasil pengolahan data Tinggi Gelombang yang bersumber dari ECMWF. Tinggi gelombang signifikan merupakan rata-rata tinggi gelombang dari sepertiga gelombang laut tertinggi. Gambar tersebut menunjukan rata-rata tinggi gelombang signifikan di Pesisir Cirebon dalam kurun waktu 17 tahun. Data tinggi dan arah gelombang disajikan dalam data bulanan mulai dari tahun 1992 sampai 2009 (Lampiran 8). Nilai gelombang signifikan rata-rata terbesar terjadi pada tahun 2008 dan terendah pada tahun 2000.
Gambar 20. Grafik rata-rata tinggi Gelombang Signifikan di Pesisir Cirebon tahun 1992-2009.
Tabel 8. Kisaran tinggi gelombang signifikan (m) periode 1993-2008 di pesisir
Gambar 21 panel atas fluktuasi muka laut yang diplotkan selama 1 bulan (Maret 2009), pada panel bawah menunjukan pasang surut saat perekaman citra yang terjadi di Pesisir Cirebon. Tipe pasut di daerah ini campuran dominan ganda (mix semi diurnal tide). Tidal range sebesar 0,89 m dan nilai MSL 0,5 m. Tipe
pasut yang terjadi pada saat itu yang digambarkan oleh Wyrtki (1961) dan Pariwono dalam Ongkosongo dan Suyarso (1989). Berdasarkan data prakiraan
Pada saat pasang pada gambar peta keting m, daerah tersebut akan t secara umum dilapangan
Gambar 21.Grafik pasang surut
ng tertinggi, daerah dengan topografi yang rendah nggian (Gambar 10), daerah yang memiliki keting
n terendam air laut yang disebabkan oleh pasang s an teramati bahwa daerah-daerah ini digunakan un
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
Dengan asumsi bahwa kondisi oseanografi dan lingkungan lainnya tetap seperti sekarang maka diprediksi laju kenaikan paras laut sebesar 4.3 mm/tahun. Simulasi laju kenaikan paras laut pada 5,10 dan 15 tahun mendatang masing-masing sebesar 21,53 mm, 43,06 mm 64,60 mm dan luasan genangan daerah pesisir berturut- turut sebesar 3762,6 ha, 3772,4 ha, dan 3790,3 ha.
Daerah-daerah yang dominan rawan genangan pada 5, 10 dan 15 tahun mendatang meliputi lahan tambak (di daerah Kecamatan Cirebon Utara dan Kecamatan Kapetakan), lahan kosong (di Kecamatan Lemah Wungkuk), tambak bandeng dan tambak garam (di Kecamatan Astanajapura), sedangkan di
Kecamatan Babakan adalah tambak bandeng.
Wilayah genangan dimana terjadi abrasi dan akresi didaerah Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Kapetakan, masing-masing luasan sebesar 10,4 ha dan 12,8 ha.
5.2 . Saran
Diperlukan studi tingkat kerentanan pantai terhadap kenaikan paras air laut.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Z., R. Rositasari, R., Hadikusumah, Suyarso, Helfinalis, S. Tarigan, W. B. Setiawan, Y. Witasari, Afdal, B. Prayuda, Suratno, A. Bayu, Y. I.
Ulumuddin dan A. S. Budiman. 2008. Kajian perubahan iklim terhadap ekosistem. pesisir. Laporan tahunan, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI.
Jakarta
ASTER GDEM (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Global Digital Elevation Model). http://gdem.aster.ersdac.or.jp. [2 Mei 2010]. Barus, B., dan U.S. Wiradisastra, 2000. Sistem Informasi Geografi, Laboratorium
Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Bapeda. 2008 . http://bappeda.cirebonkab.go.id/. [5 Juli 2009].
Diposaptono, S., Budiman, F. Agung. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil. PT.Sarana Komunikasi Utama. Bogor.
European Centre for Medium-Range Weather forecasts (ECMWF). http://data-portal.ecmwf.int/data/d/interim_daily/. [8 Maret 2011]. Harmoni, A. 2005. Dampak Sosial Ekonomi Perubahan Iklim. Proceeding.
Seminar Nasional PESAT 2005. Hal:62-68.
Kalay, D. E. 2008. Perubahan Garis Pantai Di Sepanjang Pesisir Pantai
Indramayu. Thesis. Sekolah Pacsa Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kurdi, S., Z. Wahyu S.Y., Vita M. D. 2001. Indikasi kenaikan muka air laut pada kota pantai Di kotamadya Makassar. Proceeding. Studi Dampak Timbal Balik Antar Pembangunan Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global. Hal:90-114.
Kushardono, D. 2003. Teknologi Penginderaan Jauh dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan. LAPAN. Jakarta.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). 2006. Berita Inderaja. Deputi Bidang Penginderaan Jauh.
Lillesand, T. M. dan Ralph. W. K. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Alih bahasa: R. Dulbahri. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Mastra, R. R. 2003. Penggunaan Citra Untuk Memantau Perubahan dan
Kerusakan Kawasan Pantai. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Pariwono, J. I. 1989. Gaya penggerak Pasang Surut. O. S. R. Ongkosongko dan Suryarso (ed). Pasang Surut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi (P3O-LIPI). Jakarta.
. 1992. Proses-Proses Fisik Di Wilayah Perairan Pantai. Modul Kursus Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Holistik. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Prihatini, D. 2004. Fluktuasi Periode Panjang Dari arus Di Perairan Cilacap dan Selat Makasar Serta Paras Laut di Selat Lombok Pada Tahun 1997. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.
Putra, A. 2007. Aplikasi Citra Landsat 7 ETM+ Untuk Kajian Perubahan Garis Pantai dan Penutupan Lahan di Selatan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Pra dan Pasca Tsunami Tahun 2006. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.
Radar Altimeter Database System (RADS). 2010. http://rads.tudelft.nl/rads/
data/authentication.cgi. [10 Mei 2010].
Rahardjo, S. 2004. Seri Oseanografi Umum.Gelombang.Ed I. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rahayu, F. 2000. Kondisi Gelombang dan Pengaruhnya Terhadap Pergerakan Sedimen Di Perairan Pantai Yogyakarta-Cilacap Pada Bulan April-Mei 1999. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.
Rositasari, R., W. B. Setiawan, I. H. Supriadi, Hasanuddin dan Bayu Prayuda. 2011. Kajian Dan Prediksi Kerentanan Pesisir Terhadap Perubahan Iklim: Studi Kasus Di Pesisir Cirebon. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 3(1) : 52-64.
Sutrisno, D. 2005.Perbandingan Perubahan Garis Pantai Hasil Pemodelan
Pemunduran Garis Pantai (Shoreline Retreat Model) Dan Hasil Pemodelan
Penginderaan Jauh. Proceeding. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV “Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan
Kesejahteraan Bangsa”.Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. Hal:280-286.
Tarigan, S. M. 2007. Perubahan Garis Pantai Di Wilayah Pesisir Perairan Cisadane, Provinsi Banten. Makara XI (1) : 49-55.
Trisakti, B. 2005. Orthorektifikasi Data Citra Resolusi Tinggi (Aster dan Spot)
Menggunakan Aster DEM. Proceeding. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV “Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”.Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. Hal:35-41.
Trisakti, B. 2006. Pemanfaatan Dem Data Stereo Sensor Aster Untuk Pengembangan Model Updating Topografi. Pusat Pengembangan
Pemanfaatan dan Teknologi Penginderan Jauh Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional (LAPAN). Jakarta.
Trisakti, B. 2009. DEM From Prism-Alos and Aster Stereoscopic Data. International JournaI of Remote Sensing and Earth Sciences. 6:29-38. Wirasatriya, A, A. Hartok, Suripin. 2006. Kajian Kenaikan Muka Laut Sebagai
Landasan Penanggulangan Rob Di Pesisir Kota Semarang. Jurnal Pasir Laut. 1(2) : 31-42.
Wheeler, P. J., M. L. F. Coller., J. Kunapo J.A., P. M. Mc Mahon. 2008.
Facilitating Coastal Zone Inundation Awareness Using Gis-Based scenario modelling and multimedia visualization. Centre for GIS, School of
Geography and Environmental Science, Monash University, Victoria, Australia.Faculty of Information Technology, Monash University, Victoria, Australia.
Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of The Southeast Asian Water. NAGA Report Vol 2. Scripps Inst. Oceanography. The University of California La Jolla, California.
Lampiran 1. Peta Prediksi Genangan Pesisir Cirebon a) 5 tahun kedepan dan b) 10 tahun kedepan
a)
Lampiran 2. Peta prediksi genangan pesisir Cirebon a) 5 tahun kedepan dan b)10 tahun kedepan
a)
Lampiran 3. Peta Prediksi genangan pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Kapetakan) a)5 tahun kedepan dan b)10 tahun kedepan.
a)
Lampiran 4. Peta prediksi genangan pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Cirebon Utara) a) 5tahun kedepan dan b) 10 tahun kedepan.
a)
Lampiran 5. Peta prediksi genangan pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Lemah Wungkuk) a) 5tahun kedepan dan b) 10 tahun kedepan.
a)
Lampiran 6. Peta Prediksi wilayah pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Astanajapura) a) 5 tahun kedepan dan b) 10 tahun kedepan.
a)
Lampiran 7. Peta Prediksi genangan pesisir Kabupaten Cirebon (Kecamatan Babakan) a) 5 tahun kedepan dan b) 10 tahun ke depan.
a)
Lampiran 12. Foto dan Peta Survey Lapang
Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 12 Juli 1987 dari pasangan Bapak M.Mansyur Cholid dan Ibu Een Nur Erajat. Penulis merupakan anak ke empat dari lima bersaudara.
Pada tahun 2005 penulis menyelesaikan
pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 61 (SMAN 61) Jakarta Timur. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).
Selama mahasiswa penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi antara lain Anggota UKM Music Agriculture Expression (MAX). Anggota Departemen Hubungan Luar Komunikasi, HIMITEKA periode 2007-2009 dan keanggotaan kepanitian yang lainnya. Penulis sebagai asisten mata kuliah dasar-dasar penginderaan jauh.