• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa gagasan Nurcholish Madjid tentang pengembangan kurikulum pesantren

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisa gagasan Nurcholish Madjid tentang pengembangan kurikulum pesantren"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA GAGASAN NURCHOLISH MADJID TENTANG

PENGEMBANGAN KURIKULUM PESANTREN

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam bidang Pendidikan Agama Islam

Oleh:

Ade Muhamad Yusuf

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

ANALISA GAGASAN NURCHOLISH MADJID TENTANG

PENGEMBANGAN KURIKULUM PESANTREN

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Bidang Pendidikan Agama Islam

Oleh:

Ade Muhamad Yusuf NIM: 102011023484

Dibawah Bimbingan:

Drs. H. Abdul Fattah Wibisono M.A NIP: 150 236 009

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “ANALISA GAGASAN NURCHOLISH MADJID TENTANG PENGEMBANGAN KURIKULUM PESANTREN” telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Jakarta pada hari Jum’at, tanggal 16 Februari 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S1) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

Jakarta, 16 Februari 2006 Sidang Munaqosah Ketua

Prof. Dr. Dede Rosyada, MA

Sekretaris,

Prof. Dr. Aziz Fahrurrozi, MA Penguji I

Drs. Abdul Haris, M.Ag

Penguji II,

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan sains dan teknologi, penyebaran arus informasi dan perjumpaan budaya dapat membuat kecenderungan masyarakat untuk berpikir rasional, bersikap inklusif dan berprilaku adaptif. Mereka semacam dihadapkan pada pilihan-pilihan baru yang menarik dan cukup menggoda untuk mengikutinya. Terlebih lagi pilihan-pilihan baru itu selalu dikemas dengan istilah yang mengandung nuansa propaganda, kendatipun dalam taraf tertentu bisa dibenarkan seperti efektif-efisien, kemajuan, pencerahan, pembaruan, dan sebagainya.

Masyarakat sekarang begitu peka menjumpai perubahan-perubahan baik menyangkut pola pikir, pola hidup, kebutuhan sehari-hari hingga proyeksi kehidupan di masa depan. Kondisi seperti ini tentu berpengaruh secara signifikan terhadap standar kehidupan masyarakat. Mereka senantiasa berusaha berpikir dan bersikap progresif sebagai responss terhadap perkembangan dan tuntutan zaman. Bentuk respon selanjutnya yang perlu dipertimbangkan oleh kalangan pesantren.

(5)

wawasan sosial, organisasi modern, pluralisme keilmuan dan sebagainya. Masalah-masalah ini pada masa lampau tidak pernah diperhitungkan sama sekali di dalam materi pendidikan pesantren.1 Kini pesantren menghadapi tantangan baru, yaitu tantangan pembangunan, kemajuan, pembaharuan, serta tantangan keterbukaan dan globalisasi.2

Pesantren tidak bisa besikap isolatif dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Respons yang positif adalah dengan memberikan alternatif-alternatif yang berorientasi pada pemberdayaan santri dalam menghadapi era global yang membawa persoalan-persoalan yang makin kompleks sekarang ini. Sebaliknya, respons yang tidak kondusif seperti bersikap isolatif pada masa penjajahan dulu justru menjadikan pesantren kelewat konservatif yang tidak memberikan keuntungan bagi kemajuan dan pembaharuan pesantren.

Pengalaman dalam menentukan strategi pada masa lampau itu seharusnya dijadikan pelajaran untuk memilih strategi yang memiliki prospek yang menjanjikan di masa depan. Evaluasi secara objektif terhadap langkah-langkah yang pernah ditempuh selama ini sepatutnya menjadi keniscayaan dan menjadi bagian integral dari sistem menajerial pesantren. Dengan begitu, segala langkah masa lalu yang tidak stategis perlu dikoreksi secara total, sementara langkah yang positif-konstruktif tetap dipertahankan dan berupaya ditingkatkan. Sikap ini juga menyangkut penentuan sistem pendidikan yang dilaksanakan pesantren.

1

Mujamil Qamar, Pesantren dari Transformasi metodologi menuju Demoratisasi Istitusi, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 73

2

(6)

Oleh karena itu, sistem pendidikan pesantren harus selalu melakukan upaya rekontruksi pemahaman terhadap ajaran-ajarannya agar tetap relevan dan survive.3 Bahkan, lebih lanjut pesantren harus mampu mewujudkan sistem pendidikan sinergik. Yakni sistem yang memadukan akar tradisi dan modernitas. Jika strategi ini mampu dilaksanakan, hubungan pendidikan pesantren dengan dunia kerja industrial bisa bersambung.

Pemaduan antara akar tradisi dan modernitas dalam wacana pemikiran Islam disebut dengan neomodernitas. Selama ini tradisi dan modernisasi senantiasa dipertententangkan akibat pengaruh konsep Barat yang memetakan bahwa modernisasi membentur tradisi. Sementara itu pemikir neomodernis berpandangan bahwa modernisasi merupakan mata rantai dari tradisi, sehingga ada upaya mengintegrasikan tradisi dengan modernisasi. Pesantren bisa melakukan memadukan ini, dan telah biasa melakukannya. Slogan memelihara hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik al muhafadzah 'ala al qadim al shalih wa al akhzu bi al jaded al aslah bagaimanapun adalah cermin dari sikap neomodernis. Istilah memlihara hal-hal lama yang baik adalah refleksi dari tradisi, sedang istilah mengambil hal-hal baru yang lebih baik al muhafadzah 'ala al qadim al shalih adalah refleksi dari penerimaan modernisasi.

Sebagai lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, pesantren menjadi tumpuan harapan. Menurut Nurcholis Madjid, "Semboyan mewujudkan masyarakat madani akan mudah terwujud bila intitusi pesantren tanggap atas

3

(7)

perkembangan dunia modern".4 Pesantren memperoleh kepercayaan setinggi ini dapat dimengerti mengingat disamping sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren juga dikenal mentradisikan belajar melalui kitab kuning, jumlah pesantren yang cukup signifikan dan yang lebih penting lagi, pesantren berbasis pedesaan. Masyarakat pedesaan adalah masyarakat yang paling perhatian utama dalam mewujudkan masyarakat madani yang seringkali diidentikkan dengan masyarakat sipil (civil society) oleh kalangan tertentu.5

Penilaian Madjid itu merupakan penilaian yang bersyarat artinya pesantren harus tanggap terhadap perkembngan dunia modern. Persyaratan ini sebenarnya berfungsi juga tantangan yang perlu direspon oleh pesantren. Pesantren tidak bisa mengelak dari tanggung jawab merespon tantangan itu, karena jika mengelak maka resiko yang dihadapi pesantren tidak kecil. Santri maupun alumni pesantren bisa gagap menghadapi perubahan global yang berkembang dengan cepat. Mastuhu menilai bahwa akibat pengaruh globalisasi,pesantren tidak bisa menutup diri dari perubahan social yang sangat cepat. Nilai-nilai modern sebagai snaw balling efek

industrial, mulai mempengaruhi nilai-niali budaya pesantren.6 Realitas ini memang terasa sebagai suatu dilema yang tidak mudah dipecahkan bagi pesantren.

Sedangkan menurut Ismail pada realitas lainnya, perkembangan pesantren di masa depan sangat ditentukan oleh kemampuannya mengantisipasi dan mengatasi

4

Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurchalish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 70

5Ibid

., h. 70

6

(8)

kesulitan, tantangan dan dilema yang selama ini menyelimutinya.7 Pesantren yang mampu merespon minimal tidak akan termarjinalkan oleh desakan-desakan pengaruh global. Pesantren dengan demikian sepatutnya menempuh strategi adaptif-selektif. Artinya, pesantren perlu mengadakan pembaharuan yang bisa mengimbangi kemajuan zaman tetapi materi pembaharuannya harus terlebih dahulu diseleksi secara ketat berdasarkan parameter ajaran-ajaran Islam.

Menurut Nur Shaleh pesantren dituntut mampu merumuskan konsep pengembangan ajaran Islam sebagai tatanan social. Bukan hanya lembaga legalistic yang bersifat hitam-putih. Untuk mempermudah pesantren menjalankan peranannya dibutuhkan kemampuan antisipatif dan keterbukaan. Keterbukaan akan menumbuhkan sikap lentur (fleksibel) yang akomodatif.8 Bentuk dari keterbukan ini berupa pesantren dengan tulus ikhlas bersedia menerima masukan-masukan positif, konstruktif, dan inovatif yang berasal dari manapun termasuk sejumlah ahli dari luar pesantren. Kemudian pesantren juga harus bersedia mengakui dan mengoreksi serta mengoreksi kelemahan-kelemahan yang menimpanya, untuk dicarikan solusinya.

Di samping itu, pesantren dituntut bersikap kreatif dalam mengelola dirinya. Dalam merespon tuntutan pendidikan, pesantren bisa melakukan improvisasi dan inovasi tanpa mengubah watak dan karakteristik tradisional.9 Namun, hingga kini belum melakukan ekplorasi pemikiran untuk pengembangan mutu yang diharapkan. Padahal pendidikan kita membutuhkan pemikiran dan langkah-langkah transformatif.

7

Ismail SM, Pengembangan Pesantren Tradisional (Sebuah Hipotesis Mengantisipasi Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan Pustaka Pelajar, 2002), h. 64

8

(9)

Menurut Mujamil Qamar, langkah transformatif yang dimaksudkan adalah langkah-langkah yang tidak sekadar merubah bentuk dari aslinya menjadi bentuk yang baru, tetapi yang lebih penting justru terletak pada nilai-nilai positif-konstruktif dari perubahan itu. Misalnya, perubahan dari sikap eksklusif menjadi inklusif, perubahan dari kepemimpinan individual menjadi kolektif, perubahan dari model pelajaran yang membelenggu santri menjadi emansipatoris, dan sebagainya. Jadi langkah transformatif di sini lebih diarahkan pada langkah strategis.10

Jadi, menurut mujamil Qamar dengan menempuh langkah-langkah strategis itu, pesantren mampu manjawab berbagai tantangan baik tantangan internal maupun eksternal. Begitu pula tantangan seberat apapun, masih bisa disiasati, dihadapi dan direspon dengan baik apabila kalangan pesantren mengedepankan langkah-langkah strategis. Tentu saja penentuan langkah ini membutuhkan perenungan mendalam, pertimbangan yang matang, perencanaan yang mapan, dan kebijaksanaan dalam aplikasinya.11

Masih menurut Mujamil Qamar, bahwa secara garis besar pesantren menghadapi tantangan makro dan mikro. Pada tataran makro, pesantren ditantang untuk menggarap "triumvirat" kelembagaan, yakni keluarga, lingkungan kerja dan pesantren sendiri. Sedangkan pada dataran mikro, pesantren dituntut untuk menata ulang interaksi antara santri dan kyai, konsep pendidikan yang digunakan, serta kurikulum. Baik tantangan makro maupun mikro keduanya harus direspon oleh

9

Faisal Ismail, NU Gusdurisme dan Politik Kyai, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), h. 94

10

Mujamil Qamar, Pesantren dari Trasformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 75-76

11Ibid

(10)

pesantren melalui langkah-langkah strategis, sehingga dapat membuahkan hasil yang memuaskan12.

Sedangkan pesantren pada zaman modern ini menurut Mastuhu, harus memusatkan pada tiga variable mendasar yaitu materi, pandangan dunia, dan metodologi.13 Dalam hal yang berkaitan dengan pemberdayaan wawasan atau pemikiran santri, metodologi mungkin paling sering mendapat kritikan oleh para ahli. Pesantren dianggap berhasil dalam pembentukan akhlak, tetapi pesantren mengalami kelemahan yang sangat serius dalam bidang metodologi. Kesan pesantren menjadi model pendidikan ideal digugat berbagai kalangan terutama lantaran kelemahan metodologi itu. Jika saja pesantren memperkuat aspek metodologi ini bisa jadi pesantren menjadi model pendidikan Islam alternatif di Indonesia. Akan tetapi upaya penguatan metodologi secara komprehensif tampaknya berat sekali, sebab rata-rata pengasuh pesantren tidak menguasai metodologi.

Selanjutnya, dalam menghadapi tantangan yang berat akibat dari perubahan global tersebut pesantren dituntut memiliki tiga kemampuan; 1) kemampuan untuk survive (bertahan hidup) di tengah-tengah perubahan dan persaingan yang terus bergulir, 2) kemampuan untuk meningkatkan kualitas kehidupannya (rohaniyah dan jasmaniyah, dan 3) kemampuan untuk berkembang dan beradaptasi dengan tuntutan zaman yang terus berubah.14 Sementara itu, menurut Azyumardi Azra, pesantren diharapkan bukan hanya mampu bertahan, melainkan juga mampu mengembangkan

12Ibid

, h. 76

13

Mastuhu, Kyai Tanpa Pesantren: KH. Ali Yafie Dalam Peta Kekuatan Sosial Islam Indonesia, (Bandung: Mizan bekerjasama dengan Bank Muamalat Indonesia, 1997), h. 262

14

(11)

diri, dan bahkan kembali menempatkan diri pada posisi yang penting dalam sistem pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan.15

Untuk mewujudkan semua idealisme itu setidaknya kalangan pesantren perlu melakukan trasformasi sistem pendidikan pesantren yang lebih adaptif daripada sebelumnya, yaitu suatu sistem pendidikan yang senantiasa mempertimbangkan sistem pendidikan lainnya yang dipandang positif untuk diintegrasikan.

Jika dilihat dari berbagai macam persoalan pendidikan Islam di Indonesia yang bisa dikatakan belum menggembirakan, terutama bila dihubungkan dengan tantangan di era globalisasi, maka diperlukan adanya gagasan dan pemikiran yang menyegarkan untuk dapat bangkit kembali dan merespon tantangan zaman. Oleh karena itu, melihat fenomena itulah yang kemudian mendasari penulis untuk mencoba mengkaji pemikiran dan gagasan pendidikan Prof. Dr. Nurcholish Madjid tentang pendidikan Islam di Indonesia terutama pesantrens. Adapun untuk alasannya adalah karena mengingat beliau termasuk salah satu tokoh pendidikan yang pernah mencurahkan perhatiannya untuk meneliti dan mengamati perkembangan dan permasalahan yang dialami oleh lembaga pendidikan Islam di Indonesia khususnya pesantren dalam menghadapi perkembangan Ilmu Pengeahuan dan Teknologi modern yang terjadi saat ini.

Selain itu, beliau berhasil melakukan pemetaan atas suatu permasalahan serta mencurahkan gagasan solusi yang futuristik. Hal tersebut dapat kita lihat bahwa, ditengah-tengah kesibukannya sebagai pejabat penting dalam berbagai bidang, Prof. Dr. Nurcholish Madjid juga aktif dalam menulis berbagai macam buku dan berbagai

15

(12)

macam karya ilmiyah yang lainnya dengan berbagai macam persoalan, baik yang disampaikannya pada forum seminar nasional maupun internasional. Diantara karya ilmiyah yang dihasilkannya terutama yang berkaitan dengan dunia pesantren adalah buku yang berjudul “Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan”.

Berdasarkan pokok masalah di atas, jika melihat latar belakang dan aktivitasnya yang banyak bergelut dengan dunia pendidikan –termasuk pendidikan Islam dan pesantren- maka cukup beralasan jika penulis terinspirasi untuk mengkaji peta pemikiran dan gagasan beliau di bidang pendidikan dalam upaya peningkatan mutu kualitas pendidikan Islam di Indonesia. Dan berdasarkan uraian diatas maka penulis berusaha mengkaji pemikiran dan gagasan beliau yang penulis tuangkan dalam skripsi dengan judul “ANALISA GAGASAN NURCHOLISH MADJID TENTANG PENGEMBANGAN KURIKULUM PESANTREN”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

(13)

satunya yaitu pesantren.

Adapun pengertian pesantren di sini yaitu sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pengajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen. Dan sesuai dengan kritikan Nurcholish Madjid, penulis lebih memfokuskan permasalahannya pada kurikulum pesantren salaf. Maka pesantren kilat dan pesantren Ramadhan yang diadakan di sekolah-sekolah umum misalnya, tidak termasuk dalam permasalah ini

Jika dilihat dari permasalahan di atas, maka kiranya dapat dirumuskan sebagai berikut; Apa gagasan Nurcholish Madjid tentang pengembangan kurikulum pesantren.

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan pertanyaan penelitian di atas, tujuan dari penelitian ini adalah; Menganalisis gagasan Nurcholish Madjid tentang pengembangan kurikulum pesantren.

Adapun konsep gagasan Nurcholish Madjid tentang pengembangan kurikulum pesantren salaf ini terdiri dari permasalahan mengenai Nahwu-Sharaf, Fiqih, Aqaid, Tasawuf, Tafsir-Hadits dan Bahasa Arab.

(14)

mempunyai potensi dalam menghadapi arus modernisasi ini.

D. Metode Penelitian

Penelitian yang penulis gunakan adalah library research. Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan bahan referensi yang tersedia pada perpustakaan, seperti, Universitas Indonesia, perpustakaan Paramadina, perpustakaan umum Iman Jama, perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan tentunya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Adapun sumber data utama yang penulis gunakan adalah buku yang berjudul

Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan dan Tradisi Islam Peran Dan Fungsinya Dalam Pembangunan di Indoneisa karya Nurcholish Madjid. Kedua buku tersebut penulis lengkapi dengan buku-buku yang mendukung tentang pesantren seperti buku yang berjudul Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah

yang merupakan karya M. Dawam Raharjo, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional karya Yasmadi,

Pesanren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi karya Prof. Dr. Mujamil Qamar dan Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam karya Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed dan sebagainya. Pengolahan data yang telah terkumpul tersebut, penulis menggunakan metode pembahsan deskriptif analitis. Yakni data dikaji dan dianalisa terlebih dahulu, kemudian penulis mencoba menyusun berdasarkan kerangka pembahasan untuk diambil sebagai kesimpulan akhir.

(15)

Hidayatullah Jakarta. Adapun buku pedoman untuk penulisan skripsi ini adalah: ‘Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta’. Dengan demikian, skripsi ini akan memiliki keseragaman dengan skripsi lain.

E. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis membaginya menjadi lima bab. Bab pertama tentang pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua tentang pesantren. Bab ini terdiri dari pengertian pesantren, tujuan, sejarah dan tipologi pesantren. Adapun pada pembahasan tipologi, penulis menguraikan dengan tiga permasalahan yaitu mengenai pesantren salaf, pesantren khalaf dan pesantren semi modern.

Bab ketiga tentang biografi singkat Nurcholish Madjid. Pada bab ini dibahas tiga hal penting, yaitu latar belakang pendidikan, aktivitas dan kegiatan intelekatualnya serta Nurcholish Madjid dan Paramadina.

(16)

Tafsir-Hadits dan Bahasa Arab.

(17)

BAB II

KAJIAN TEORITIS PESANTREN

A. Pengertian Pesantren

Kata pesantren berawal dari akar kata cantrik yang merupakan kata benda konkrit kemudian berkembang menjadi kata benda abstrak yang diimbuhi awalan "pe" dan akhiran "an", karena pergeseran tertentu, kata cantrik berubah menjadi kata "santri". Dengan demikian, prosesnya sesuai dengan hukum tata bahasa Indonesia, fonem –ian- berubah menjadi –en- sehingga lahirlah kata pesantren.16

Menurut beberapa ahli yang dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier antara lain Johns, bahwa kata pesantren juga berasal dari kata santri, dan kata santri itu sendiri berasal dari bahasa Tamil yang artinya guru mengaji. Sedangkan C.C. Breg mengatakan bahwa istilah tersebut berasal dari kata shasri yang berasal dari bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci atau sarjana ahli kitab Hindu. Dan menurut M. Chatuverdi dan Tiwari, kata shasri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku ilmu pengetahuan, maka pengertian dasar dari kata pesantren adalah tempat belajar bagi para santri.17

B. Tujuan

16

Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet.I h. 94

17

(18)

Tujuan pendidikan merupakan bagian terpadu dari faktor-faktor pendiikan dan tujuan termasuk kunci keberhasilan pendidikan. Di samping faktor-faktor lainnya yang yaitu; pendidik, peserta didik, alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan. Keberadaan empat factor ini tidak ada artinya bila tidak diarahkan oleh suatu tujuan. Tak ayal lagi bahwa tujun menempati posisi yang amat penting dalam proses pendidikan sehingga materi, metode, dan alat pengajaran selalu disesuaikan dengan tujuan. Tujuan yang tidak jelas akan mengaburkan seluruh aspek tersebut.

Menurut Mastuhu, bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak memiliki formulasi tujuan yang jelas, baik dalam tataran institusional, kurikuler, maupun intruksional umum dan khusus. Tujuan yang dimilikinya hanya ada dalam angan-angan. Mastuhu melaporkan bahwa tidak pernah dijumpai perumusan tujuan pendidikan pesantren yang jelas dan standar yang berlaku umum bagi semua pesantren.18 Pokok persoalannya bukan terletak pada ketiadaan tujuan melainkan tidak tertulisnya tujuan. Seandainya pesantren tidak memiliki tujuan, tentu aktivitas di di lembaga pendidikan Islam yang menimbulkan penilaian kontroversial ini tidak mempunyai bentuk yang konkrit. Proses pendidikan akan kehilangan orientasi sehingga berjalan tanpa arah dan

menimbulkan kekacauan. Jadi semua pesantren memiliki tujuan, hanya saja tidak dituangkan dalam bentuk tulisan. Akibatnya beberapa penulis merumuskan tujuan itu hanya berdasarkan perkiraan (asumsi) atau wawancara semata.19

18

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Seri INIS XX, (Jakarta: INIS, 1994), h. 59

19

(19)

Asumsi sangat dipengaruhi kecenderungan dan selera pribadi, yang pada gilirannya menghasilkan kesimpulan yang secara konseptual berbeda. Perkiraan mungkin hanya didasarkan pada pengamatan dari sudut pandang parsial bukan holistik, sehingga tujuan yang dirumuskan belum merefleksikan realitas sebenarnya atau hanya menunjuk pada rincian global. Hiroko Horikoshi melihat dari segi otonominya, maka tujuan pesantren menurutnya adalah untuk melatih para santri memiliki kemampuan mandiri.20 Sedang Mannfred Ziemek tertarik melihat sudut keterpaduan aspek perilaku dan intelektual, "tujuan pesantren" menurut pengamatannya, adalah "membentuk kepribadian, memantapkan akhlak dan melengkapinya dengan pengetahuan."21

Senada dengan hal tersebut, Mastuhu telah merangkum dari hasil wawancaranya dengan berbagai kyai pengasuh pesantren yang memiliki latar belakang dan visi yang berlainan. Adapun tujuan pendidikan pesantren menurut Mastuhu adalah

Menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat tetapi rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian nabi Muhammad (mengikuti sunnah nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.22

20

Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, terj. Umar Basalim dan Andi Mualy Sunrawa, (Jakarta: P3M, 1986), h. 120

21

Mannfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjoyo, (Jakarta: P3M, 1086), h. 157

22

(20)

Formulasi tujuan menurut Ziemek dan Mastuhu itu hakikatnya sama. Jika Ziemek menyebutkan kepribadian menjadi sasaran yang dicita-citakan, hanya secara garis besar, maka Mastuhu merinci wilayah kepribadian sehingga mengesankan adanya cakupan multidimensional. Kyai Ali Ma'sum menganggap bahwa tujuan pesantren adalah untuk mencetak para ulama.23 Zamakhsyari Dhofier mengabarkan bahwa dalam 30 tahun pertama, tujuan pendidikan Tebu Ireng adalah untuk mendidik calon ulama. Sekarang ini, tujuannya sudah diperluas yaitu mendidik para santri agar kelak dapat mengembangkan dirinya menjadi "ulama intelektual" (ulama yang menguasai pengetahuan umum). Dan "intelektual ulama" (sarjana dalam bidang pengetahuan umum yang juga menguasai pengetahun Islam).24 Pendapat Dhofier tersebut senada dengan Nurcholish Madjid yang menyamakan antara ulama dengan kaum intelektual, karena kata ulama dalam bahasa Arab makna generiknya sebagai ilmuan adalah golongan masyarakat yang diharapkan paling mampu meresapi ketaqwaan dan juga paling tinggi dalam menampilkan tingkat laku bermoral, beradab, dan berakhlak.25

Oleh karena itu, lahirnya ulama tetap menjadi tujuan pesantren hingga sekarang, tetapi ulama dalam pengertian yang luas, ulama yang menguasai ilmu-ilmu agama sekaligus memahami pengetahuan umum sehingga mereka tidak terisolasi dalam dunianya sendiri. Jadi secara esensial, tujuan pesantren relatif konstan.

23

Ali Ma'shum, Ajakan Suci, (t.tp: LTN-NU DIY, 1995), h. 97

24

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 113

25

(21)

Pengamatan lembaga research Islam (pesantren luhur) benar bahwa pesantren selalu mengalami perubahan dalam bentuk penyempurnaan mengikuti tuntutan zaman, kecuali tujuannya sebagai tempat mengajarkan agama Islam dan membentuk guru-guru (ulama) yang kelak meneruskan usaha dalam kalangan umat Islam.26

Adapun tujuan khusus pesantren adalah sebagai berikut:

1. Mendidik siswa/santri anggota masyarakat untuk menjadi seorang muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, ketrampilan dan sehat lahir dan batin sebagai warga Negara yang berpancasila.

2. Mendidik siswa/santri untuk menjadikan manusia muslim selaku kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiawa ikhlas, tabah, tanguh, wiraswasta dalam mengamalkan sejarah Islam secara utuh dan dinamis.

3. Mendidik siswa/santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membagun dirinya dan bertanggung jawab kepada pembangunan bangsa dan Negara

4. Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional (pedesaan/masyarakat lingkungannya)

5. Mendidik siswa/santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor pembangunan, khususnya pembangunan mental-spiritual.

6. Mendidik siswa/santri untuk membantu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat bangsa.27

Rumusan tujuan ini adalah yang paling rinci di antara rumusan yang pernah diungkapkan beberapa peneliti di atas, tetapi harapan untuk memberlakukan tujuan tersebut bagi seluruh pesantren rupanya kandas. Kyai-kyai pesantren tidak mentransfer rumusan tersebut secara tertulis sebagai tujuan buku bagi pesantrennya kendati orientasi pesantren tidak jauh berbeda dengan kehendak tujuan tersebut.

Semua tujuan yang dirumuskan melalui perkiraan (asumsi), wawancara maupun keputusan musyawarah/lokakarya hanya menyinggung tujuan dalam tataran

26

Mujamil Qamar, Pesantren dari Transformasi metodologi menuju Demokratisasi Istitusi, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 5-6

(22)

institusional. Jika tujuan institusional saja belum diformulasikan secara tertulis, apalagi tujuan kurikuler dan tujuan intruksional baik umum maupun khusus. Mungkin belum pernah terlintas dalam bayangan kyai untuk merumuskan kedua tujuan tersebut. Tidak adanya perumusan tujuan pesantren secara tertulis itu agaknya dipengaruhi oleh budaya yang berkembang di pesantren di mana kegiatan menulis – terutama penulisan ilmiah- belum menjadi tradisi di kalangan kyai, ustad maupun santri. Mereka lebih condong menjadi bagian dari Lestening Speaking Society

(masyarakat yanag suka mendengar dan berbicara) dari pada berupaya mewujudkan

Reading Writing Society (masyarakat yang gemar membaca dan menulis) sebagai karakter masyarakat yang telah maju.

Dari beberapa tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pesantren adalah membentuk kepribadian yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya atau dengan kata lain ulama dalam pengertian yang luas, ulama yang menguasai ilmu-ilmu agama sekaligus memahami pengetahuan umum sehingga mereka tidak terisolasi dalam dunianya sendiri dan bermanfaat bagi agama, masyarakat dan Negara.28

C. Sejarah

Pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia, bahkan jauh sebelum terkenal sistem pndidikan Barat pesantren telah tumbuh subur di tanah air. Berbeda dengan pendidikan sekolah yang umumnya dikelola oleh pemerintah, pesantren lebih banyak merupakan hasil swadaya masyarakat. Oleh karenanya

(23)

pesantren dapat berdiri kapan saja dan akan terus berkembang selama masyarakat masih memerlukan kehadirannya.29

Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan memiliki basis social yang jelas, karena keberadaannya yang menyatu dengan masyarakat. Hal ini dapat kita lihat keberadaan pesantren di masa-masa awal pernah menjadi basis perjuangan kaum Nasionalis pribumi ketika menghadapi para penjajah kolonial yang pada waktu mengobrak abrik kesatuan Indonesia.

Di samping memiliki jaringan sosial yang kuat dalam masyarakat, pesantren juga membangun hubungan yang solid dengan sesama pesantren, karena sebagian besar pengasuh pesantren tidak saja terikat pada kesamaan pola pikir, paham keagamaan, tetapi juga memiliki hubungan kekerabatan yang cukup erat satu sama lain. Hal lain yang menyebabkan jalinan hubungan antara pesantren menjadi sangat kohesif yaitu karena adanya kesamaan ideologis.

Berdirinya sebuah pondok pesantren tidak bisa dipisahkan dari keadaan sosial budaya masyarakat sekitarnya. Tidak jarang tempat asal mula pesantren berdiri di pedukuhan kecil yang penduduknya belum beragama atau belum menjalankan syari'at agama. Sekalipun tidak ada ta'rif tertulis mengenai keberadaan awal berdirinya pesantren, namun informasi lisan sering menceritakan bahwa lingkungan yang akan menjadi lokasi lembaga pondok pesantren tersebut merupakan tempat bagi orang-orang melakukan kejahatan atau para penjahat.

Berdirinya pondok pesantren di Indonesia sering memiliki latar belakang yang sama, dimulai dengan usaha seorang atau beberapa orang secara pribadi atau kolektif, yang berkeinginan mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat luas. Mereka

29

(24)

membuka kesempatan pengajian secara sederhana kepada penduduk setempat. Dan biasanya pengajian yang mula-mula dilaksanakan adalah berlatih membaca al-qur'an yang dilaksanakan di mushala atau masjid.

Pada masa awal pesantren berfungsi sebagai alat islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan yaitu; ibadah untuk menanamkan iman, tabligh untuk menyebarkan ilmu, dan amal untuk mewujudkan kegiatan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.30 Namun pada masa sekarang pesantren tidak hanya memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan, tetapi juga bimbingan sosial, kultural dan ekonomi bagi masyarakat lingkungannya.

Dalam perkembangan terakhir, akibat persentuhan dengan pola-pola pendidikan modern, banyak pesantren tradisional/salafiyah yang memperlihatkan perubahan-perubahan model. Perubahan itu dilakukan pesantren sebagai respon terhadap perkembangan dunia pendidikan dan perubahan sosial, yang tercakup diantaranya: perubahan substansi atau isi pesantren, pembaharuan metodologi, pembaharuan kelembagaan, dan perubahan fungsi dari fungsi kependidikan sampai fungsi sosial-ekonomi.31

D. Tipologi

Pesantren dalam perkembangannya dapat dirumuskan dalam tiga tipologi besar, sekalipun dalam tataran praksisnya terkadang terdapat makna ambiguitas di antara satu sama yang lain. Salah satu yang sering ditemukan di lapangan misalnya

30

(25)

adalah masih adanya keterkaitan sistem pada suatu pesantren dengan pesantren yang lainnya. Misalnya sistem pada suatu pesanten kadang-kadang diterapkan pada pesantren lain, dan sebaliknya.

Menurut Zamakhsyari Dhofier, dalam bukunya Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, penggolongan pesantren didasarkan pada beberapa factor, antara lain berdasarkan jumlah santri dan jangkauan pengaruh suatu pesantren. Dalam pandangannya, sebuah pesantren tergolong kecil biasanya mempunyai jumlah sntri di bawah 1000 dan pengaruhnya terbatas pada tingkat Kabupaten saja. Sedangkan di atas 1000-2000 santri dianggap sebagai pesantren menengah yang telah memeliki pengaruh dan menarik santri-santri dari beberapa Kabupaten. Adapun pesantren besar biasanya memiliki jumlah di atas tersebut, lebih dari 2000 santri yang berasal dari beberapa Kabupaten dan Provinsi.

Di era globalisasi ini secara kuantitatif banyaknya santri mungkin masih menjadi standar dalam menentukan besar kecilnya lembaga pesantren, tapi secara kualitatif banyaknya santri tidak menjadi penentu utama dalam melihat maju tidaknya sebuah lembaga pendidikan. Mungkin lebih rasional jika standarisasi maju tidaknya sebuah lembaga ditentukan oleh beberapa banyaknya memproduk lulusan yang berkualitas dan mampu menempati lapangan kerja yang telah tersedia serta menguasai sains dan teknologi.

31

(26)

Dari gambaran di atas kemudian Zamakhsyari Dhofier mengklasifikasikan model-model pesantren menjadi dua kategori; yaitu pesantren salaf (klasik-tradionalis) dan pesantren khalaf (modern).32

Sedangkan menurut H. Abdullah Sukarta secara garis besar pendidikan pesantren terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu “pesantren salafiyah, pesantren khalafiyah dan pesantren konvergensi”.33

Adapun tiga tipologi pesantren yang dimaksud, dan menurut penulis lebih konkrit dan realistis dapat dideskripsikan sebagai berikut;

Pertama, pesantren salaf, yaitu lembaga pesantren yang masih tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikannya. Atau pesantren yang biasa dikenal dengan sebutan pesantren tradisional yang diasumsikan belum tersentuh arus modernitas, baik dari sisi model pembelajarannya, maupun kurikulum pendidikannya.

Kedua, pesantren khalaf atau pesantren modern, yaitu lembaga yang telah memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, yaitu pesantren yang diasumsikan menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum seperti; SMP, SMU, dan bahkan Perguruan Tinggi dalam lingkungannya.

Ketiga, pesantren semi modern, pesantren ini diistilahkan dengan pesantren konvergensi antara salaf dan khalaf, yaitu pesantren yang selain mempertahankan pengajian kitab klasik juga menyelenggrakan pendidikan formal (sekolah yang sudah

32

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Studi tentang Pandangan Hidup Kyai), (Jakarta: LP3ES, 1994),Cet. VI, h. 44

33

(27)

mempunyai kurikulum dan menggunakan sistem klasikal). Pesantren ini selanjutnya diistilahkan oleh penulis dengan pesantren semi modern.

Dari tiga tipologi pengklasifikasian di atas selanjutnya akan penulis uraikan satu persatu lebih mendetail di bawah ini, baik dari segi model pembelajarannya, kurikulum yang dikembangkan maupun dari sisi kelengkapan sarana dan prasarana pendukungnya.

1. Pesantren Salaf (Tradisional)

Dari uraian singkat pengertian tipologi pesantren di atas, dapat dipahami bahwa lembaga pendidikan ini hanya menyelenggakan satu jenis pendidikan, yaitu pendidikan pesantren/nonformal. Dalam sejarah perkembangannya, model pembelajaran yang diterapkan biasanya bersifat nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan yang menggunakan alat pengajaran tradisional, maka tidak heran kalau model pesantren seperti ini disebut juga dengan pesantren tradisional.

Sesuai dengan sistem pendidikan yang diselenggarakannya, yaitu pendidikan yang berinti pada kitab-kitab klasik (kuning), maka kurikulum yang digunakan pun didasarkan pada perjenjangan atau tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab.34

Di bawah ini akan dideskripsikan beberapa kriteria dasar kurikulum pendidikan pesantren salaf dari sisi tujuan, bahan pelajaran, proses beajar mengajar, dan evaluasinya.

a. Tujuan

34

(28)

Tujuan pesantren salaf sebenarnya telah tersirat dalam definisi pesantren itu sendiri. Dalam buku Zamakhsyari Dhofier, dijelaskan misalnya salah satu tujuannya adalah "tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengerjakan kepentingan kekuasaan, uang, keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan".35

Dari uraian di atas, secara mendasar dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan pesantren salaf sangatlah sederhana, yaitu mencetak santri-santri (anak didik) untuk mengetahui dasar-dasar keislaman secara murni, sebagai bekal hidup baik dalam rangka beribadah kepada Allah swt, maupun bersosialisasi dengan masyarakat dalam pengertian yang sangat sederhana. Selain itu, tujuan dari pendidikan pesantren ini juga lebih difokuskan kepada hal-hal yang bersifat ukhrawi dari pada hal-hal yang bersifat keduniaan.

b. Bahan Pelajaran

Sesuai dengan karakteristiknya, bahan-bahan pelajaran yang dijadikan pedoman atau pegangan terfokus kepada pengajian-pengajian kitab-kitab kuning secara murni, atau kitab-kitab klasik keagamaan karangan para ulama abad pertengahan.

Bidang-bidang studi yang diajarkan di antara kitab-kitab klasik tersebut pada umumnya meliputi bidang-bidang studi sebagai berikut: ushuluddin (tauhid), tafsir, fiqih, tasawuf, bahasa arab, nahwu, sharaf, balaghah, tajwid, mantiq serta akhlak.36

Dari sinilah dapat dilihat bedanya antara pesantren salaf dengan pesantren lainnya, yaitu tidak adanya keseragaman antara satu pesantren dengan pesantren lainnya dalam menetapkan bahan-bahan ajarnya. Ini membuktikan

35

Marwan Sarijo, Op Cit, h. 21

36

(29)

bahwa pembelajaran dalam pesantren tradisional didasarkan pada kreasi dan inisiatif pendirinya (kyai) yang bersangkutan.

c. Proses Belajar Mengajar

Setidaknya ada lima metode pengajaran yang digunakan pada kegiatan belajar mengajar di pesantren salaf, yaitu: sorogan, bandongan/wetonan, halaqah, lalaran, dan musyawarah.

1) Sorogan

Istilah sorogan berasal dari bahasa Jawa sorog yang berarti menyodorkan. Sorogan artinya belajar secara individual di mana seorang santri berhadap-hadapan dengan seorang guru, keduanya saling berinteraksi dan saling mengenal.37 Sistem sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan islam tradisional. Sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplinan pribadi murid.

2) Badongan/Wetonan

Kata badongan berasal dari bahasa Jawa "bandong" yang artinya pergi berbondong-bondong secara kelompok, sedangkan "weton" berarti waktu. Disebut demikian karena pengajian modelini dilakukan pada waktu-waktu tertentu setelah shalat fardhu.

Bandongan artinya belajar secara kelompok yang diikuti seluruh santri. Dalam metode ini kyai menterjemahkan kitab kata demi kata atau kalimat demi kalimat dari isi kitab tanpa ada tanya jawab. Santri secara cermat mengikuti penjelasan yang diberikan oleh kyai dengan

37

(30)

memberikan catatan-catatan tertentu pada kitabnya serta dengan kode-kode tertentu pula.

3) Halaqah

Metode halaqah sebenarnya termasuk ke dalam sistem badongan yang merupakan model pengajian di mana para santri mengitari gurunya untuk mempelajari atau mendiskusikan suatu masalah di bawah bimbingan guru tersebut.

Halaqah adalah belajar bersama dengan cara berdiskusi untuk saling mencocokkan pemahaman mengenai arti terjemahan dari isi kitab. Jadi bukan mendikusikan tentang isi kitab dan terjemahan yang diberikan oleh kyai itu benar atau salah. Atau dengan kata lain, mendiskusikan dari segi "apanya" bukan dari segi "mengapanya".38

4) Lalaran/hafalan

Lalaran adalah sistem belajar sendiri secara individual dengan jalan menghafal. Biasanya dilakukan di mana saja, di dekat serambi kamar atau di masjid dan sebagainya. Metode belajar ini akan berjalan efektif jika didukung oleh motivasi dari dalam diri santri itu sendiri, serta situasi dan kondisi yang kondusif.

5) Musyawarah

(31)

praksisnya metode musyawarah ini menuntut mereka untuk banyak menguasai bahan materi yang telah ditentukan kyai untuk dimusyawarahkan.

d. Evaluasi

Dalam pesantren salaf/tradisional, evaluasi keberhasilan belajar identik dengan penguasaan santri pada kitab kuning. Yaitu sejauh mana santri mampu memahami isi kitab kuning dan mengajarkannya kepada orang lain. Ukurannya adalah jika audiens (pendengar) merasa puas dan menurut kyai sidah baik,maka santri tersebut sudah dianggap berhasil dan dinyatakan lulus.

Sebagai kelegalisasi kelulusan biasanya dimanifestasikan dengan restu kyai dengan diperbolehkannya sang santri pindah kepada kitab lain yang lebih tinggi tongkatannya. Jadi perbedaan mendasar dari sistem pesantren salaf ini dengan pesantren lainnya dari sisi sistem evaluasinya adalah tetap difokuskan kepada inti pendidikan pesantren itu sendiri yaitu penguasaan kitab kuning, sejauh mana pemahaman santri dalam memahami kompleksitas kitab klasik tersebut.

2. Pesantren Khalaf/Modern

Model pesantren ini sebagaimana telah dideskripsikan sedikit di atas adalah lembaga pendidikan dan pengajaran yang bersifat umum. Pendidikan yang tidak lagi berkutat dengan kitab-kitab klasik (kuning) sebagai inti pendidikannya.

38

(32)

Istilah lain dari pesantren Khalaf ini dikenal dengan "boording School" (Sekolah yang diasramakan), dalam hal ini siswa-siswa yang belajar di madrasah atau sekolah umum ini tinggal di dalam satu asrama tanpa diberikan pengajian.39

Dalam prakteknya, karena pesantren ini hanya menyelenggrakan pendidikan formal, maka kurikulum yang digunakannya pun disesuaikan dengan jenis dan jenjang pendidikan formal yang diselenggarakannya. Untuk pendidikan madrasah misalnya berafilisiasi pada kurikulum Departemen Agama (DEPAG) sedang untuk sekolah umum bersinergi pada kurikulum SISDIKNAS, walaupun ada juga pesantren lain yang menggunakan dan memformat kurikulum sendiri, seperti pesantren modern Gontor yang menyelenggrakan KMI (Kulliyatul Mua'allimin Islamiyah) yaitu pendidikan Tsanawiyah, Aliyah dan Institut Pendidikan Darussalam.40

Adapun tujuan pendidikan pesantren Khalaf ini secara garis besar dapat dirumuskan pada dua kecenderungan, yaitu profan oriented, dan tetapi juga tidak meninggalkan hal-hal yang bersifat ukhrawi (sakral).

Sedangkan metode yang digunakan dalam proses balajar mengajar di pesantren model ini, baik di madrasah maupuin di sekolah sudah dikolaborasikan dengan metode-metode belajar modern, seperti metode ceramah, Tanya jawab, diskusi, sosio drama, resitasi, dan sebagainya.41

39

Djamaluddin dan Abdullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. I, h. 104

40

Imam Bawani, Op Cit, h. 245

41

(33)

Dalam hal evaluasi, pesantren khalafiyah berbeda jauh dengan pesantren sebelumnya (salafiyah). Sistem evaluasi ini sudah menggunakan alat evaluasi modern juga, yaitu berupates formatif, sub sumatif, sumatif dan EBTA (Evaluasi Belajar TahapAkhir)42 yang sekarang berubah menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN).

Kesimpulannya, ada perbedaan yang menurut penulis sangat diametral di antara pesantren salaf dan khalaf, baik dari sisi kurikulumnya, tujuan, proses belajar mengajar, bahan ajar dan evaluasinya, termasuk juga dari sisi perangkat lainnya yang sudah lebih maju pendidikan khalaf dari pada salaf. Akan tetapi yang paling jelas perbedaan itu dapat dilihat dari sistem dan jenis pendidikan yang diselenggarakan keduanya (antara modern dan tradisional).

3. Pesantren Semi Modern

Model pesantren yang terakhir ini disebutkan oleh H Abdullah Sukarta sebagai pesantren konvergensi, yaitu pesantren kombinasi antara model pesantren salaf dan khalaf. Sehingga dalam praksisnya, jenis pendidikan dan kurikulum maupun yang digunakannya bersifat variatif.

Dalam masalah kurukulum pendidikannya misalnya, pesantren semi modern ini memiliki tiga bentuk kurikulum yang digunakan, yaitu kurikulum DEPAG untuk madrasah, kurikulum DEPDIKBUD untuk sekolah umum dan kurikulum yang berdasarkan perjenjangan untuk pengajian kitab yang pada umumnya dibuat oleh pesantren yang bersangkutan.

42

(34)

Untuk gambaran jelasnya, penulis akan menguraikan secara lebih sederhana kurikulum pesantren semi modern ini berdasarkan tujuan, bahan pelajaran, dan proses belajar mengajar serta evaluasinya.

a. Tujuan

Salah satu tujuan dari pesantren kombinasi ini dalam rangkuman Mastuhu, dari beberapa pengamatannya di beberapa pesantren dan wawancaranya dengan pengasuh pesantren kombinasi ini menyebutkan dalam bukunya Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren adalah

"Menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kaula atau abdi masyarakat seperti Rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagimana kepribadian Nabi Muhammad saw (mengikuti sunnah nabi), mampu berdiri sendiri,bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Idealnya kepribadian yang dituju adalah kepribadian muslim."43

Dari uraian tujuan di atas dapat dianalisis, bahwa yang dapat membedakan tujuan pesantren kombinasi ini dengan pesantren salaf maupun khalaf murni adalah tujuannya yang lebih koprehensif, yaitu selain lebih menekankan pembinaan moral/nilai kepada santri, ia juga diperkaya dengan tujuan lain dalam pendidikan foramal yang diselenggarakannya. Selain itu, dengan memasukkan kurikulum DEPAG dan DEPDIKNAS ke dalam kurikulum pesantren ini, berarti pesantren ini sudah merupakan subsatansi dari pendidikan nasional.

b. Bahan pelajaran

43

(35)

Bahan pelajaran dalam kurikulum mata pelajran yang digunakan dalam pesantren ini disesuaikan dengan jenis pendidikannya. Untuk pendidikan pesantren, kurikulumnya tidak berbeda dengan kurikulum yang digunakan oleh pesantren salafiyah, yaitu berdasarkan kemudahan dan kompleksiatas kitab-kitab atau berdasarkan perjenjangan kitab. Mengenai kitab-kitab yang dipelajari ditetapkan oleh pesantren sendiri.

c. Proses Belajar Mengajar

Untuk pendidikan nonformal/pesantren, pelaksanaan pendidikan semi modern ini tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan pengajian kitab di pesantren salafiyah, yaitu dengan menggunakan sistem sorogan, bandongan, halaqah, lalaran dan hafalan serta musyawarah.44

Akan tetapi tidak semua pesantren jenis ini menggunakan kelima metode di atas, ada juga yang hanya menggunakan satu atau dua metode saja. Walaupun pada umumnya hampir semua pesantren yang menyelenggarakan pengajian kitab kuning menggunakan salah satu dari lima metode tradisional tersebut.

d. Evaluasi

Dalam pelaksanaan evaluasinya, pesantren semi modern ini menerapkan sistem evalusi sesuai dengan jenis pendidikannya yaitu formal dan nonformal. Untuk pendidikan formal dapat diketahui hasil evaluasi

44Ibid

(36)

belajarnya pada nilai rapor siswa atau ijazah yang diterima siswa pada akhir masa belajar untuk satu jenjang pendidikan.

Sedang untuk evaluasi pendidikan pesantren (nonformal) hampir sama dengan evaluasi yang dilakukan pada pengajian yang diselenggarakan di pesantren salafiyah murni sebagaimana telah dideskripsikan di muka.

(37)

BAB III

BIOGRAFI SINGKAT NURCHOLISH MADJID

A. Latar Belakang Pendidikan

Nurcholish Madjid dilahirkan dari kampung kecil di desa Mojo Anyar, Jombang Jawa Timur, pada tanggal 17 Maret 1939. Seperti ayahnya ia disekolahkan di Sekolah Rakyat (SR) pada pagi hari dan di Madrasah pada sore hari.45 Nurcholish Madjid, yang biasa dipanggil sabagai “Cak Nur” telah meninggal dunia pada hari senin, 29 Agustus 2005, pukul 14.05 WIB di RS Pondok Indah Jakarta.46

Nurcholish lahir dari seorang petani, dari jombang, ia adalah Haji Abdul Madjid salah satu murid dari KH. Hasim Asyari. Abdul Madjid, yang memberikan pengetahuan awal pada anaknya (Nurcholish). Walaupun pendidikan beliau hanya tamatan Sekolah Rakyat (SR), namun demikian pengetahuannya begitu luas. Abdul Madjid menguasai keilmuan dalam hal agama dan pengetahuan umum, dan ia juga sangat mengakar dengan tradisi pesantren. Abdul Madjid sering disapa dengan sapaan Kiayi Haji (KH), walaupun secara pribadi beliau tidak pernah menyebut dirinya Kyai atau Ulama.

Ia (Abdul Madjid) mendirikan sekolah Madrasah dan dinamakan dengan Madrasah Al Wathoniyah, bertempat di Mojo Anyar, Jombang. Sekolahnya dibuka pada sore hari karena diperuntukan bagi para siswa yang pagi harinya sekolah di Sekolah Rakyat (SR).

45

Greg Berton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2000) Cet. 1, h. 72

46

(38)

Abdul Madjid tetap tinggal di Jombang sehingga dirinya tidak banyak dikenal di Jakarta. Kalaupun beliau dikemudian hari banyak dikenal pada tingkat nasional, itu karena kepiawaian anaknya (Nurcholish) sebagai intelektual muda yang cukup terkemuka. Sikap Abdul Madjid yang sangat sederhana, rendah hati namun sangat besar pengaruh terhadap anaknya.47

Dalam dunia pendidikan pertamanya Nurcholish sudah memperlihatkan kemampuan akademisnya, ia selalu mendapatkan nilai tertinggi. Hal ini membuat kagum sang ayah walaupun disisi lain ada rasa malu ( tidak enak ), karena ayahnya sebagai pendiri sekolah tersebut.48

Di usia remaja kurang lebih pada usia 14 tahun, Cak Nur sapaan akrab Nurcholish Madjid dikirim ayahnya untuk melanjutkan studi dipesantren Darul Ulum Rejoso Jombang. Namun di pesantren ini ia hanya bertahan 2 tahun, karena ada persoalan yang membuatnya selalu risih. Beliau selalu diejek oleh teman-temannya yang kebetulan secara umum santri dari kalangan Nahdatul Ulama (NU). Sedangkan NU pada saat itu sudah keluar dari partai Masyumi dan mendirikan partai sendiri. Abdul Madjid berpendirian tetap bertahan di Masyumi, itulah yang menyebabkan Nurcholish dikucilkan dari teman-temannya.

Nurcholish dipindahkan oleh ayahnya ke Pesantren Gontor, di Ponorogo, Jawa Timur. Gontor sebagai Institusi pendidikan yang cukup modern banyak sekali mempengaruhi diri Nurcholish, terutama budaya keterbukaan, rasionalis, dan moderen. Gontor mnciptakan pendidikan cukup liberal, dimana tradisi belajar klasik dipadukan dengan gaya modern barat.

47

(39)

Pesantren Gontor mengajarkan dua bahasa dunia, yaitu bahasa Arab dan bahasa Inggris. Gontor sebagai tempat pendidikan pesantren pada umumnya yang ada di Jawa, sehingga membuat Gontor begitu populer hingga pada tingkat Nasional. Pendidikan Gontor yang sangat berkualitas menjadi andalan bagi kelanjutan belajar Nurcholish Madjid. Dengan kecerdasannya sehingga ia begitu mudah untuk melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi.

Nurcholish pada tahun 1961 dengan bermodalkan surat (memo) dari gurunya, ia pergi ke Jakarta untuk masuk IAIN Syarif Hidayatullah. Ia masuk pada Fakultas Adab, jurusan Sastra Arab. Pada tahun 1968 menyandang gelar sarjana dengan predikat terbaik.

Setelah lulus dari IAIN, Nurcholish banyak disibukkan dengan tugasnya sebagai ketua HMI dan sebagai intelektual muda yang banyak menggulirkan ide-ide penyegaran keagamaan ummat

Pada tahun 1973 datang dua orang intelektual terkemuka ke Indonesia, dia adalah Leonard Binder dan Fazlur Rahman. Kedatangan dua intelektual senior ini untuk mencari peserta seminar dan loka karya yang bertempat di University of Chicago yang didanai Ford Fondation. Sebenarnya kedua orang ini jatuh pilihannya pada HM Rasyidi, namun HM Rasyidi sudah terlalu tua sehingga pilihan berikutnya jatuh pada Nurcholish Madjid.49

Untuk mengikuti program (peserta seminar dan loka karya) itu Nurcholish harus menjadi pegawai negeri sipil (PNS) terlebih dahulu. Ia dilantik menjadi tenaga LIPI yang menurut Komarudin Hidayat pilihannya sebagai tenaga LIPI sangat tepat

48Ibid , h. 74

(40)

untuk menunjang intelektualnya. Karena di LIPI dibiasakan ilmiah, empiris, dan rasionalis, serta pergaulannya dengan para ilmuwan yang relatif setia dengan etik keilmuan.

Selesainya program tersebut Nurcholish meminta kepada Leonard Binder agar ia dapat kembali ke Chicago untuk melanjutkan studi ke pasca sarjana. Sebetulnya minat awal Nurcholish dalam kajian politik di bawah bimbingan Leonard Binder, namun Fazlur Rahman mengajaknya untuk studi kajian ke Islaman di bawah bimbingannya.50

Selama di Chicago, Nurcholish semakin jelas arah dan bentuk pemikirannya yang sangat dipengaruhi oleh gagasan Neo Modernisme Fazlur Rahman, ia berusaha memadukan Tradisi Islam klasik dengan Dunia Modern, atau dengan kata lain menjadi moderen dengan tetap mengapresiasi tradisi. Hal ini bisa kita lihat dari karya-karya Nurcholish yang selalu bercorak keislaman dan kemoderenan.51

Nurcholish menyelesaikan kuliahnya di Chicago pada tahun 1984 dengan predikat Cum Laude, dengan judul disertasi ‘Ibn Taymiya on Kalam and Falsafah : Abdul Madjid Problem of reason and Revelation in Islam’ (Ibn Taymiyah Dalam ilmu Kalam dan Filsafat : masalah akal dan wahyu dalam Islam).52

50Ibid , h. 85

51

Muhammad Afif, Teologi Islam Tentang Agama-Agama, (Studi Kritis Terhadap Pemikiran Nurcholis Majid), Tesis Sarjana Pemikiran Islam, h. 29

52Ibid.,

(41)

B. Aktivitas dan Kegiatan Intelektualnya

Selain aktif di bangku kuliah, Nurcholish Majdid juga terlibat aktif dalam kegiatan organisasi di luar kampus. Beliau menambah pengalaman organisasinya sekaligus bertartisipasi dalam sebuah organiasasi mahasiswa yang cukup solid dan masyhur pada waktu itu, yaitu Hipunan Mahasiswa Islam (HMI). Beliau memasuki organisasi tersebut pada tahun 1963, kira-kira setelah empat semester dalam masa perkuliahannya, diawali dari tingkat cabang, beliau menunjukkan keunggulannya sebagai seorang leader, yang tidak saja dikagumi oleh kawan-kawannya sekaligus juga disegani oleh rival-rivalnya. Karir organisasinya semakin diperhitungkan, ketika tahun 1966 HMI melakukan kongres di kota Solo, beliau sebagai ketua cabang pinggiran (Cabang Ciputat) menjadi calon kuat Ketua Pengurus Besar (PB HMI). Dan karena citra kepemimpinan yang menonjol, ia terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI.

Dalam masa aktif organiasasi di HMI, aktifitas intelektualnya menunjukkan perkembangan yang pesat, yang mana ia banyak berhadapan dengan realitas yang mendorongnya aktif memikirkan solusi tentang persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa dan negara serta agamanya.

(42)

pengetahuan tidak lain adalah hasil dari pemahaman manusia atas hukum-hukum objektif yang mengatur alam semesta. Selanjutnya menurut beliau, modernisasi itu merupakan suatu keharusan, sebab modernisasi dalam pengertian tersebut berarti bekerja dan berfikir menurut sunnatullah. Menjadi modern berarti mengembangkan kemampuan berfikir secara ilmiyah, bersikap dinamis dan progresif dalam mendekati keberanran-kebenaran universal.53

Kemudian Nurcholish menggulirkan sekaligus menegaskan ide pembaharuan, beliau mengedepankan perlunya kebebasan dalam rangka pembaharuan, beliau mengedapankan perlunya kebebasan dalam rangka pembaharuan. Menurut beliau pembaharauan harus dimulai dengan dua tindakan yang satu dengan yangn lainnya sasling erat berhubungan, yakni melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai yang berorientasi ke depan. Dalam kaitan ini, beliau melontarkan gagasan sekularisasi. Sekularisasi yang dimaksud adalah sebagai sebuah proses pembebasan. Proses sekularisasi ini kata Nurcholish sangat diperlukan bagi kondisi umat Islam Indonesia yang sudah tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang dianggapnya Islamis, mana yang brsifat transenden dan mana yang bersifat temporal. Sekularisasi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilkai yang suadah semesti bersifat duniawi dan melepaskan ummat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.54

Selanjutnya, gagasan sekularisasi dalam kehidupan politik membawa implikasi penolakan terhadap gagasan partai Islam atau Negara Islam. Dalam kaitan

53

Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987), h. 172-173

54

(43)

ini, Nurcholish melontarkan gagasan kontroversial “Islam, Yes, partai Islam, NO”55. Dengan adanya sekularisasi dalam kehidupan politik ummat Islam tersebut, nampaknya beliau berharap akan tercipta suatu efek yang meruntuhkan monopoli dan konsentrasi kekuasaan, melalui kontrol terhadap sistem simbolik keagamaan ditangan para pemimpin partai Islam tersebut. Sekaligus dengan proses itu, melalui konsep yang sama, beliau juga berharap terjadi pemekaran kekuasaan yang mendirikan dasar embenaran bagi siapa saja untuk merasakan sirinya sebagai seorang partai-partai yang secara formalistik bersimbol Islam.

Dalam konteks Indonesia yang sedang mengalami proses modernisasi dalam berbagai bidang sosial, politik, dan ekonomi, jelas dibutuhkan sebuah agama yang mampu memberikan landasan nilai dan moral universal. Paham keagamaan tidak bisa memainkan peran pada tingkat nilai dan moral, bukan saja tidak bisa memainkan eran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat modern. Sekaligus juga akan mempertajam pluralitas yang pada akhirnya akan mengarah pada tingkat instabilitas masyarakat.

Dalam kaitannya dengan persoalan di atas, gagasan Nurchalish tentang “Islam, Yes. Partai Islam, No” menemukan araj dan tujuannya. Bagi Nurcholish, mengingat bagsa Indonesia sangat majemuk bukan hanya dari suku bagsa tapi beragamnya paham keagamaan dikalangan umat Islam itu sendiri. Gagasannya tentang keadilan, demokrasi, sampai masyarakat madani (civil Society) yang dilontarkannya sejak tahun 70-an masih sangat relevan dengan kehidupan politik di era reformasi.

Beliau juga dikenal sebagai salah seorang pendiri Yayasan Wakaf Paramadina. Sebuah Yayasan yang dikenal sebagai tempat orang-orang menengah

55Ibid

(44)

kota berdiskusi masalah-masalah keagamaan. Paramadina merupakan wahana mensosialisasikan pemikiran-pemikirannya. Melalui Paramadina pula beliau membangun cita-cita mencitakan suatu tatanan “masyarakat madani”

Sebagai seorang intelektual yang giat dengan wacana-wacana demokrasi dan civil society, Nurcholish menjadi salah seorang anggota Komnas (komisi Nasional) Hak Asasi Manusia (HAM), tepatnya sebagai Wakil Ketua Sub Komisi Penyuluhan dan Pendidikan Komnas HAM Indonesia, dan belum lama ini Nurcholish telah merampungkan tugas beratnya sebagai salah seoarang tokoh nasional. Menjadi ketua Tim sebelas, tim yang dibentuk dalam rangkja menyeleksi partai-partai yang layak ikut dalam Pemilu Juni 1999. pemilu yang mengantarkan negara Indonesia sebagai negara yang termasuk dalam jajaran negara paling demokratis di dunia.

C. Nurcholish Madjid dan Paramadina

Sebagaimana telah diungkapkan di atas, Nurcholish adalah salah satu pendiri Yayasan Wakaf Paramadina, yang didirikan pada tahun 1986. Nurcholish sebagai Intelektual, di Paramadina itulah Nurcholish melontarkan gagasan-gagasannya, selain itu juga di nerbagai forum-forum kajian ilmiyah dalam proses pembentukan sosial dalam masyarakat.

(45)

mempelopori untuk mewujudkan sebuah wilayah politik yang bebas yang pada akhirnya menjadi landasan bagi sebuah masyarakat madani yang mandiri.56

Begitupun Indonesia, sejarah mencatat bahwa peran Intelektual begitu dominan dalam nation building dalam pembentukan suatu masyarakat politik yang demokratis. Jauh sebelum kemerdekaan bangsa menjadi realitas politik, kaum inteletual merupakan pelopor bagi tumbuhnya kesadaran baru yang memungkinkan munculnya tuntutan politis berupa sebuah bagsa yang merdeka dan berdaulat.57

Dalam konteks masyarakat Indonesia menurut Fachri Ali, Nurcholish Majid adalah sebuah fenomena. Menurutnya, sifat fenimenal tokoh ini dapat dilihat pada fakta bahwa dengan kekuatan pribadi dan pemikirannya, beliau mampu melahirkan pengaruh terhadap perubahan-perubahan tertentu di dalam masyarakat Indonesia. Pengaruh dan perubahan itu bisa bersifat institusional dan literer. Secara Institusional, hasil dari pengaruh kekuatan pribadinya itu bisa terlihat wujud dan kinerja spesifik organisasi HMI di masa kepemimpinannya. Tapi pengaruh institusional yang paling mencolok ndari beliau adalah Yayasan Paramadina. Secara literer, kehadiran beliau telah memprkaya khazanah intelektual di Indonesia.58

Melalui Paramadina Nurcholish meletakkan pengaruhnya bukan saja pada sosialisasi pemikirannya, melainkan pada terbentuknya sebuah komunitas tertentu yang menjadi pendukungnya dari kalangan santri kota. Peramadina sebagai lembaga keagamaan dengan semnagat keterbukaan merupakan kelompok strategis dalam

56

AS. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES, 1999), h. 196

57Ibid,

h. 199

58

(46)
(47)

BAB IV

ANALISA GAGASAN NURCHOLISH MAJDID TENTANG KURIKULUM PESANTREN SALAF

A. Kurikulum Pesantren Salaf 1. Pengertian Kurikulum

Secara etimologis, perkataan kurikulum dikenal sebagai suatu istilah dalam dunia pendidikan sejak sekitar abad yang lalu. Istilah ini baru timbul untuk pertama kali dalam kamus Webster tahun 1856. ditinjau dari asal katanya, kurikulum berasal dari bahasa Yunani yang mula-mula digunakan dalam bidang olahraga, yaitu kata currere yang berarti jarak tempuh lari. Dalam kegiatan lari tentu saja ada jarak yang harus ditempuh mulai dari start sampai dengan finish. Jarak dari start sampai finish itulah yang disebut currere.59

Sedangkan secara terminologis, para ahli pendidikan kemudian membuat berbagai definisi dan batasan-batasan terntang kurikulum tersebut, mulai dari pengertian secara tradisional, sampai dengan pengertian secara modern, mulai dari pengertian secara sederhana sampai dengan pengertian komplek, setiap kali memiliki versi batasan yang berbeda-beda.

a. Pengertian Secara Tradisional

(48)

atau mata kuliah di perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkatan akademik.60

Di Indonesia istilah kurikulum boleh dikatakan baru menjadi populer sejak tahun 50-an. Sebelumnya yang lazim digunakan ialah istilah ‘rencana pelajaran’, seperti kurikulum SD dengan nama ‘Rencana Pelajaran Sekolah Rakyat’ tahun 1927 yang isinya sejumlah mata pelajaran yang akan diberikan pada kelas 1 sampai dengan kelas VI.61

b. Pengertian Secara Modern

Pengertian kurikulum yang lama sudah banyak ditinggalkan, baik dalam teori maupun dalam praktek. Para ahli pendidikan kebanyakan memberi arti dan makna yang lebih luas daripada definisi kurikulum yang tradisional. Selain itu pengertiannya pun senantiasa dapat berkembang dan mengalami perubahan. Perubahan itu antara lain terjadi karena tidak kunjung puas dengan masalah pendidikan sekolah, dan selalu ingin memperbaikinya.

Menurut Dra. Subandijah, secara operasional kurikulum dapat didefinisikan ke dalam beberapa poin berikut:

1) Suatu bahan tertulis yang berisi uraian tentang program suatu pendidikan di sekolah yang diselenggarakan dari tahun ke tahun

2) Bahan tertulis yang digunakan untuk digunakan oleh Guru dalam melaksanakan pengajaran kepada siswa-siswa.

59

M. Ahmad, Et. All, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 9

60

S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 2

61

(49)

3) Suatu usaha untuk mencapaikan asas-asas dan ciri terpenting dari suatu rencana pendidikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga dapat dilaksanakan oleh guru di sekolah.

4) Tujuan-tujuan pengajaran, pengalaman balajar, alat-alat belajar dan cara-cara penilaian yang direncanakan dan digunakan dalam pendidikan

5) Suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mendapat tujuan pendidikan tertentu.62

Sedangkan pengertian kurikulum menurut Undang-undang SISDIKNAS dan peraturan pelaksanaannya, bahwa kurikulum diartikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.63

Dari berbagai definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan aktivitas dan kegiatan belajar yang direncanakan, diprogramkan bagi peserta didik di bawah bimbingan sekolah, baik di dalam maupun di luar sekolah. 2. Kurikulum Pesantren Salaf

Kurikulum dapat dipandang sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual siswa, khususnya kemampuan berpikir agar mereka dapat memecahkan segala masalah yang dihadapinya. Maka pendidikan diharapkan dapat mengubah setiap individu manusia dalam berpikir, berperasaan, dan berbuat. Oleh karena itu, pada hakikatnya dengan penggunaan kurikulum yang

62

Subandijah, Pengambangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), h. 2

63 Undang-undang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya 2000-2004

(50)

baik memiliki peranan dapat mengubah masyarakat pada umumnya serta memberi corak baru kepada masyarakat dalam bertindak dan berpikir.64

Sebagai bagian struktur internal pendidikan Islam Indonesia, pesantren mempunyai kekhasan, terutama dalam fungsinya sebagai institusi pendidikan, di samping sebagai lembaga dakwah, bimbingan kemsyarakatan, dan bahkan perjuangan. Menurut Mukti Ali seperti yang telah dikutip oleh Amir Haidari, bahwa pola umum pendidikan Islam tradisional/salaf mempunyai identitas sebagai berikut:

a. Adanya hubungan akrab antara kyai dan santri

b. Tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kyai c. Pola hidup sederhana (zuhud)

d. Kemandiriaa atau independensi

e. Berkembangnya iklim dan tradisi tolong menolong dan suasana persaudaraan

f. Disiplin ketat

g. Berani menderita untuk mencapai tujuan

h. Kehidupan dengan tingkat religiusitas yang tinggi65

Menurut Zarkasyi, bahwa pada beberapa lembaga pendidikan pesantren tidak dicanangkan secara rinci satuan program pengajaran. Hal ini dikarenakan program itu menjadi mutlak milik tokoh seorang kyai, sehingga target khusus yang diinginkan kurang jelas. Misalnya dalam jangka satu tahun santri harus memiliki kebebasan dalam memahami sebuah kitab tanpa dibatasi dengan usia maupun taarget tertentu.66

64

Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 82

65

HM. Amir Haidari, dkk, Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2001), h. 15

66

(51)

Meski pada satu sisi model ini mirip dengan sistem demokrasi pengajaran yang sedang menjadi wacana dewasa ini, namun di sisi lain memiliki kelemahan dapat menimbulkan terjadinya keterlambatan program pada proses pengajaran dan dampak yang paling parah adalah keterlambatan bagi para santri yang kurang disiplin menggunakan waktu, karena mereka cenderung menjadi santai tanpa terkontrol dengan adanya target waktu dan usia.67

Pada lembaga pendidikan pesantren salaf, menurut Zarkasyi kurikulum sangatlah bervariasi, karena kurikulum pada model pesantren ini sangat ditentukan oleh pengelola lembaganya (kyai). Tapi secara umum pengajaran pada lembaga pendidikan pesantren salaf adalah kitab-kitab klasik, terutama karangan ulama yang menganut faham syafi’iyah yang merupakan satu-satunya materi pengajaran yang diberikan dalam lingkungan lembaga pendidikan pesantren pada saat itu. Pada perkembangan selanjutnya, banyak lembaga pesantren yang telah memberi pengajaran ilmu-ilmu umum yang dianggap tidak menyimpang dari tujuan utamanya, yaitu mendidik para calon ulama yang tetap konsisten pada ajaran Islam.68

Dengan adalnya variasi kurikulum, maka ada lembaga pendidikan pesantren yang lebih mengkhususkan diri pada bidang fiqih dan ushul fiqih, ada pula yang mengkhususkan di bidang nahwu sharaf, ada yang khusus di bidang ilmu Falaq, ada yang khusus di bidang Tasawuf. Bahkan pada perkembagan selanjutnya terdapat beberapa lembaga pendidikan pesantren yang khusus memunculkan

67Ibid,

h. 83

68Ibid,

(52)

keahlian tidak hanya di bidang keagamaan, misalnya keahlian di bidang pertanian, pertukangan, koperasi, dan sebagainya.69

Dari gambaran di atas, maka sudah barang tentu setiap lembaga pendidikan pesantren menetapkan sendiri kurikulumnya (bila tidak menggunakan kurikulum nasional terutama pada bentuk lembaga terrpadi dengan madrasah). Karena itu lembaga pendidikan pesantren bebas menetapkan secara mandiri kitab-kitab yang harus diajarkan kepada para santrinya. Sebagai gambaran, pada umumnya kitab-kitab yang diajarkan oleh kebanyakan lembaga pendidikan pesantren dari tingkat yang dianggap terendah sampai pada kitab yanng dianggap tertinggi adalah:

a. Nahwu Sharaf, terdiri dari Matan ‘Awamil, Matan Jurumiyah, Mutammimah, Imriti, dan Alfiyah ibn Malik, Matan Bina, Al Kailani, Mata Izi, Yaqulu, dan sebagaiya.

b. Fiqih, terdiri dari Durus al Fiqih, Matan Taqrib, Al Bajuri, Fath al Mu’in

atau I’anat al Thalibin.70

B. Analisa Gagasan Nurcholish Madjid Tentang Kurikulum Pesantren Salaf

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa pesantren Salaf yaitu lembaga pesantren yang masih tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikannya. Atau pesantren yang biasa dikenal dengan sebutan pesantren tradisional yang diasumsikan belum tersentuh arus modernitas, baik dari sisi model pembelajarannya, maupun kurikulum pendidikannya.

69Ibid,

h. 84

70Ibid,

Referensi

Dokumen terkait