• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pengelolaan Ruang Dan Keberlanjutan Kawasan Ekosistem Karst Maros Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan Pengelolaan Ruang Dan Keberlanjutan Kawasan Ekosistem Karst Maros Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN RUANG DAN

KEBERLANJUTAN KAWASAN EKOSISTEM KARST

MAROS PANGKEP PROVINSI SULAWESI SELATAN

ANDI FATINAWARE

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kebijakan Pengelolaan Ruang dan Keberlanjutan Kawasan Ekosistem Karst Maros Pangkep Sulawesi Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

ANDI FATINAWARE. Kebijakan Pengelolaan Ruang dan Keberlanjutan Kawasan Ekosistem Karst Maros Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh PROF. DR. IR. AKHMAD FAUSI, M.SC dan DR. IR. SETIA HADI, MS.

Kawasan Karst Maros Pangkep dikenal dengan KKMP adalah ekosistem karst yang unik di Sulawesi Selatan. Bagian dari pegunungan Bulusaraung di Utara Kabupaten Maros dan bagian selatan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. 40.000 ha dari kawasan karst kaya akan flora dan fauna, yang bernilai ilmiah, sosial, budaya dan ekonomi. Kawasan tersebut berada dibawah tekanan dari persaingan penggunaan kegiatan ekonomi, seperti pertambangan untuk industri semen dan marmer.

Sekitar 20 ha KKMP masuk dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN BABUL) dengan keputusan menteri kehutan nomor: SK. 398/Menhut-II/2004 seluas  43.750 Ha yang terbagi dalam Hutan Lindung  21.343,10 Ha, Cagar Alam 10.282,65 Ha, TWA 1.624,25 Ha, Hutan produksi Terbatas  145 Ha, Hutan Produksi Tetap  10.355 Ha. Kawasan karst Bantimurung Bulusaraung terbagi dalam lima unit kawasan konservasi dengan luas 11.906,9 Ha terdiri dari Cagar Alam Bantimurung, Cagar Alam Karaenta, Cagar Alam Bulusaraung, Taman Wisata Alam Bantimurung, dan Taman Wisata Alam Gua Pattunuang. Setengah dari luasan KKMP adalah area penggunaan lain.

Tulisan ini mencoba untuk: (1) Melakukan sintesis terhadap kawasan Bantimurung – Bulusaraung dalam lima tahun sebelumnya dan pengaruhnya terhadap keberlanjutan ekosistem karst pada saat ini; (2) Menganalisis daya dukung lingkungan dan aspek sosial ekonomi kawasan yang berkelanjutan dalam pengelolaan ruang di kawasan karst. (3) Memberi rekomendasi pilihan kebijakan pengelolaan kawasan untuk keberlanjutan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi. Data dianalisis dengan menggunakan analisis spasial, anlaisis CIPP, dan Multi Kriteria OnBalance.

Hasil penelitian dengan menggunakan analisis spasial menunjukkan bahwa masih tidak konsisten dalam pengelolaan ruang, di kawasan lindung atau kawasan yang seharusnya dikonservasi masih ada aktifitas untuk penggunaan lain, khususnya izin pertambangan masuk dalam kawasan taman nasional. Hasil analisis CIPP, dukungan kelembagaan dan pendanaan, serta kerjasama multi pihak dalam pengelolaan KKMP termasuk dukungan legislatif di tingkat provinsi dan di dua kabupaten tersebut.

Analisis multi kriteria OnBalance dengan 14 belas kriteria dari dimensi lingkungan hidup, sosial – budaya, dan ekonomi menunjukkan kebijakan Business as Usual (BAU) atau model dalam pengelolaan KKMP yang sedang berlangsung tidak akan berkelanjutan dari dimensi Lingkungan, ataupun dimensi ekonomi, dan dimensi sosial budaya. Studi ini menawarkan pengelolaan KKMP dengan pendekatan konservasi dan ekowisata berbasis masyarakat.

(5)

SUMMARY

ANDI FATINAWARE. Spasial Management Policy and Sustainability of Maros Pangkep Karst Area of South Sulawesi. Dibimbing oleh PROF. DR. IR. AKHMAD FAUSI, M.SC dan DR. IR. SETIA HADI, MS.

Maros Pangkep Karst Area known as KKMP is a unique karst ecosystem in South Sulawesi. It spands from Bulusaraung in the nort ti Maros and Pangkep in the south. The 40.000 ha of karst ecosystemis rich in flora and fauna as well a scientific, social, culture and economic values. The area, however is under pressure from competing use of eaconomic activities, such as mining for cement industries and marbel.

About 20 ha KKMP included in the National Park area Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) with a forestry ministerial decree number: SK. 398 / Menhut-II / 2004 covering an area of 43,750 hectares and is divided into Ha Protected Forest 21343.10, 10282.65 ha nature reserve, TWA 1624.25 Ha, Ha 145 Forests Limited production, Permanent Production Forest 10 355 ha. Bulusaraung Bantimurung karst area is divided into five units with extensive conservation area 11906.9 hectares consist of Nature Reserves Bantimurung, Karaenta Nature Reserve, Nature Reserve Bulusaraung, Bantimurung Nature Parks, and Nature Park Cave Pattunuang. Half of the area is an area KKMP other use.

This paper attempts to: (1) synthesis of Bantimurung region - Bulusaraung in the previous five years and its effects on the sustainability of the karst ecosystem at this time; (2) to analyze the capacity of the environment and socio-economic aspects of sustainable region in the management of space in the karst region. (3) Provide recommendation zone management policy options for sustainable environmental, social, and economic. Data were analyzed using spatial analysis, anlysis CIPP, and Multi Criteria OnBalance.

The results using spatial analysis shows that there are still inconsistencies in the management of space, in protected areas or areas that should be conserved there are still activity for other land uses, especially mining permit entry in the national park area. The results of the analysis of CIPP, institutional support and funding, as well as multi-party cooperation in the management of KKMP including legislative support at the provincial level and in the two districts.

Using OnBalance multi criteria analysis with 14 criteria of environmental dimension, socio - cultural, economic, the result of the study shows that business as usual (BAU) in Karst Maros and Pangkep management policy will not sustain from environment dimension, or economic and social culture dimension. This study offers the KKMP management approach to conservation and community-based ecotourism community-based approach.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

KEBIJAKAN PENGELOLAAN RUANG DAN

KEBERLANJUTAN KAWASAN EKOSISTEM KARST

MAROS PANGKEP PROVINSI SULAWESI SELATAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya penelitian

ilmiah ini degan judul “Kebijakan Pengelolaan Ruang dan Keberlanjutan Kawasan Ekosistem Karst Maros Pangkep Sulawesi Selatan” berhasil saya

selesaikan.

Penelitian ini terlaksana berkat dukungan dari berbagai pihak, utamanya dari ketua komisi pembimbing bapak Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc dengan curahan ilmu dan pemikirannya telah menuntun penulis sejak dari ide awal hingga pada penyelesaian karya ilmiah ini. Terima kasih tak terhingga saya sampaikan. Terima kasih juga kepada bapak almarhum Dr Ir Setia Hadi, MS sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberi saran dan pemikirannya.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada:

1. Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS selaku Ketua, dan Ibu Dr Ir Sri Mulatsih, MSc Agr Sekretaris Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD)

2. Kepala BLH Provinsi Sulawesi Selatan atas kerjasamanya dalam pelaksanaa FGD. Kepala P3E Sulawesi Maluku. Balai TN Bantimurung Bulusaraung, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros, Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Maros, Dinas Tata Ruang Kabupaten Maros, BAPPEDA Kabupaten Maros, Dinas Kehutanan Kabupaten Pangkep, BLHD Kabupaten Pangkep, BAPPEDA Kabupaten Pangkep, AMAN Sul-Sel, Jurnal Celebes, SP Anging Mammiri, dan semua pihak yang tidak disebutkan satu persatu, baik yang membantu dalam perolehan data maupun sebagai peserta FGD.

3. Prof Dr Ir Amran Achmad, MSc, Handiman Rico, Harry Oktavian, Jefri Gedeon Saragih, Ir Sri Endang Sukarsi, Muh. Amin, Nurul Kamilah, Ardi, Rudolf, Agel, Syahruddin Sehuddin, Kusnadi Wirasaputra, Sardi Razak, Mustam Arif, Shave, Mahendra yang telah membantu selama pengumpulan data dan penyusunan penulisan ini, baik sebagai narasumber maupun sebagai teman berdiskusi.

4. SAWIT Watch, dan Lebah Nusantara atas dukungan dan kerjasamanya. 5. Teman-teman di PWD atas kerjasama, kebersamaan, persahabatan, dan social

capital yang terjalin. Khususnya PWDers 2012 dan PWD Singing Club. 6. Seluruh staf dan supporting sekretariat PWD atas dukungannya.

7. Teman-teman Rumana, khususnya penghuni Bara 4/100 Marni Panikkai, Lina, Tata, Ummul, Turi, Tenri atas dukungan dan Do’anya.

8. Orang tuaku terkasih dan selalu kubanggakan, Ayahanda Andi Burhanuddin dan Bunda Andi Aradiah atas segala do’a tulus dan kasih sayangnya yang selalu memotivasi dan memberi dukungan baik moril maupun materil.

9. Kakak dan Adik-adikku tersayang yang selalu memberi dukungan dan do’a yang tiada hentinya.

10. Penulisan ini masih perlu penyempurnaan, namun demikian saya berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

Pengelolaan Kawasan Karst untuk Keberlanjutan Ekologi 18 Analisis Spasial Menggunakan Sistem Informasi Geografi 18

Analisis Spasial 19

Daya Dukung Lingkungan 20

Contex Input Produk Proses 21

Multi Criteria Analisis 22

Ruang Lingkup Analisis Multi Kriteria 24

Kerangka Pemikiran 25

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 36

(12)

5 HASIL 47 Deskripsi Peta Hasil Olahan Sistem Informasi Geografis (GIS) 47

6 PEMBAHASAN 58

Dimensi Cipp Dalam Analisis Keberlanjutan Ekosistem Kawasan Kars

Bantimurung Bulusaraung 58

Multi Criteria Analysis Onbalance Untuk Opsi Kebijakan 65

Implikasi Kebijakan 74

Table 1 Model Evaluasi Program Stuffelbeam 23

Table 2 Deskripsi World Cafe Pengelolaan Kawasan Karst Maros

Pangkep 29

Table 3 Tahapan Analisis dengan menggunakan analisis Spasial, CIPP

dan MCA 32

Table 4 Analisis CIPP 33

Table 5 Kondisi dan potensi beberapa goa di KKMP 39

Table 6 Potensi Speleologi Terdalam 40

Table 7 Potensi Speleologi Terpanjang 40

Table 8 Luas Kawasan Karst Maros Pangkep Berdasarkan Kecamatan 47

Table 9 Luasan Formasi Geologi di KKMP 49

Table 10 Luasan Fungsi Kawasan Hutan dan Perairan di KKMP 51 Table 11 Luas Kelas Penutup Lahan di KKMP tahun 2009 52 Table 12 Luas Kelas Penutup Lahan di KKMP tahun 2014 53 Table 13 Luasan KKMP di Taman Nasional Berdasarkan Kecamatan 56 Table 14 Peta Konsesi Tambang di Kawasan Karst Maros Pangkep 57 Table 15 Dimensi CIPP untuk Analisis Kawasan Karst Maros Pangkep 59

Table 16 Analisis CIPP KKMP 62

Table 17 Perbandingan Business as Usual dengan Konservasi Ekowisata 69 Table 18 Komparasi Business as Usual dengan Konservasi Ekowisata 71 Table 19 Perbandingan Busines as Usual dengan Konservasi ekowisata

dengan bobot dari seluruh kriteria. 73

DAFTAR GAMBAR

(13)

Gambar 4 Kerangka Pemikiran 26

Gambar 5 Peta Lokasi Penelitian 27

Gambar 6 Opsi kebijakan dan indikator hasil FGD 30

Gambar 7 Kerangka analisis data 31

Gambar 8 Kerangka Analisis MCA OnBalance 35

Gambar 9 Peta AdministrasiKabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep 48 Gambar 10 Peta Wilayah Penelitian Kawasan Karst Maros Pangkep

(KKMP) 48

Gambar 11 Peta Geologi Wilayah Penelitian KKMP 50

Gambar 12 Peta Kawasan Hutan dan Peraiaran KKMP 51

Gambar 13 Peta Penutupan Lahan Tahun 2009 KKMP 54

Gambar 14 Peta Penutupan Lahan Tahun 2014 KKMP 54

Gambar 15 Peta Penutup Lahan Tahun 2009 Kabupaten Maros dan

Kabupaten Pangkep 55

Gambar 16 Peta Penutup Lahan Tahun 2014 Kabupaten Maros dan

Kabupaten Pangkep 55

Gambar 17 Peta KKMP di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung 56

Gambar 18 Peta Konsesi Tambang di KKMP 57

Gambar 19 Proses FGD 65

Gambar 20 Pohon keputusan dan kriteria prasyarat pengelolaan KKMP

Berkelanjutan 66

Gambar 21 Keunggulan aternatiaf pada bobot initial 68 Gambar 22 Persandinga BAU dengan Konservasi Ekowisata pada aspek

lingkungan 69

Gambar 23 Sensitivity Lingkungan Hidup 70

Gambar 24 Komparasi antara BAU dengan Konsevasi Ekowisata dalam

dimensi Sosial Budaya. 71

Gambar 25 Komparasi BAU dengan Konservasi Ekowisata dengan

menggunakan dimensi lingkungan, Sosial Budaya, dan Ekonomi. 73

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kebijakan Pengelolaan KKMP Perbandingan BAU dengan

Konservasi, Konservasi dan Ekowisata, dan PES 81

2 Kebijakan Pengelolaan KKMP Perbandingan dengan BAU dengan

Konservasi dan Ekowisata 82

3 Kebijakan Pengelolaan KKMP Perbandingan dengan BAU dengan

Konservasi dan Ekowisata dalam Dimensi Lingkungan Hidup 83

4 Kebijakan Pengelolaan KKMP Perbandingan dengan BAU dengan

Konservasi dan Ekowisata dalam Dimensi Sosial Budaya 84

5 Kebijakan Pengelolaan KKMP Perbandingan dengan BAU dengan

Konservasi dan Ekowisata dalam Dimensi Ekonomi. 85

(14)

11 Sensitivity on Debit Air untuk Kebijakan KKMP 91 12 Sensitivity on Criterion Jasa Lingkungan untuk Kebijakan KKMP 92 13 Sensitivity on Bencana Ekologi Fauna untuk Kebijakan KKMP 93 14 Sensitivity on Criterion Pencemaran Lingkungan untuk Kebijakan

KKMP 94

15 Sensitivity on Criterion Partisipasi Masyarakat untuk Kebijakan

KKMP 95

16 Sensitivity on Criterion Cagar Budaya untuk Kebijakan KKMP 96 17 Sensitivity on Criterion Konflik untuk Kebijakan KKMP 97 18 Sensitivity on Criterion Tingkat Kemiskinan untuk Kebijakan KKMP 98 19 Sensitivity on Criterion Pendapatan Masyarakat untuk Kebijakan

KKMP 99

20 Sensitivity on Criterion Pendapatan Asli Daerah untuk Kebijakan

KKMP 100

21 Sensitivity on Criterion PDRB untuk Kebijakan KKMP 101 22 Sensitivity on Criterion Nilai Guna Langsung Sumber Daya Air untuk

Kebijakan KKMP. 102

23 Weight for Tree Kebijakan Pengelolaan KKMP menggunakan Initial

Weights Lingkungan Hidup 103

24 Weight for Tree Kebijakan Pengelolaan KKMP menggunakan Initial

Weights Sosial Budaya 104

25 Weight for Tree Kebijakan Pengelolaan KKMP menggunakan Initial

(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam UUD 1945 (Bab XIV, Pasal 33) diamanatkan bahwa Ruang adalah domain Negara. Undang Undang Pokok Agraria menegaskan domain negara melalui konsepsi politik hukum “Hak Menguasai Negara” untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persedian dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa serta mengatur hubungan hukum antar orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Wewenang hak menguasai negara adalah bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kesejahteraan rakyat Indonesia, merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

“Domain Negara” harus mewujudkan pengaturan tata ruang yang

melindungi, menghormati dan berkeadilan serta berkelanjutan bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Hak Menguasai Negara (HMN) menyebabkan berbagai Undang Undang sektoral yang saling tumpang tindih. Berbagai persoalan struktural atas politik ruang: konflik dan sengketa ruang kelola yang semakin tinggi, paralel dengan meningkatnya jumlah kemiskinan, tingkat pengangguran, laju urbanisasi, kerusakan lingkungan dan krisis pangan, serta krisis energi. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam laporan akhir tahun merilis luasan konflik agraria selama tahun 2015 adalah seluas 400.428.000 Ha, dengan jumlah 108.648 KK korban konflik: meninggal 5 orang, tertembak 39 orang, ditahan 278 orang, dan dianiaya 128 orang. Konflik perkebunan berada peringkat teratas, sebanyak 126 konflik, disusul 70 konflik di sektor infrastruktur, sektor kehutanan 24 konflik, sektor pertambangan 13 konflik, sektor pertanian dan pesisir/perairan masing-masing 4 konflik, dan lainya ada 9 konflik (Data konflik agraria 2015 dalam laporan akhir tahum KPA, Januari 2016)

Konflik ruang atau perebutan sumberdaya alam adalah akibat dari ketimpangan penguasaan, baik yang melibatkan masyarakat dengan korporasi atau badan usaha, maupun masyarakat dengan badan pemerintah (Fatinaware 2014). Tidak adanya pengakuan hak kelola bagi warga dan komunitas, atau masyarakat hukum adat yang dianggap tidak dapat menunjukkan bukti alas hak atas tanahnya, terancam sewaktu-waktu dimasukkan dalam kategori tanah Negara. Disinilah pemicu munculnya konflik, karena oleh pemerintah diterbitkannya izin-izin atau hak konsesi untuk industri ekstraktif kepada pihak lain di lahan yang diklaim sebagai tanah Negara. Terlebih lagi di kawasan hutan, hampir tidak ada pengakuan hak atas tanah oleh rakyat. PP Nomor 16 tahun 2004, pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa di dalam kawasan hutan tidak dapat diberikan hak atas tanah, dengan pengertian bahwa kawasan hutan adalah hutan Negara, kecuali terhadap tanah dalam kawasan lindungyang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak atas tanah.

(16)

2

kepemilikan, namun keweanangan untuk mengurus dan mengawasi hubungan-hubungan hukum antara orang dengan tanah.

Isu sentral terhadap model pembangunan adalah masih pada paradigma pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada sumberdaya alam. Sumber daya alam masih dijadikan sebagai mesin pertumbuhan. Model dan pendekatan pembangunan yang eksploitatif semakin mewarnai kontestasi politik ruang. Model pembangunan lebih mengakomodir kepentingan penguasaan modal besar, dengan mengeksploitasi sumberdaya alam secara massif, dan tidak memperhatikan keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan. Pilihan strategi pembangunan justru menyingkirkan masyarakat dari ruang kelola dan budaya lokalnya, ekosistem sebagai suatu kesatuan yang holistik, diatur dan dikelola secara parsial.

Sampai sejauh ini persaingan antara kepentingan pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam terjadi di mana-mana. Sistem perencanaan yang sudah dicanangkan tidak mampu dilaksanakan secara baik, bahkan telah menciptakan berbagai konflik. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) seharusnya menjadi acuan untuk pembangunan, akan tetapi revisi RTRW dilakukan untuk mengakomodir kepentingan ekonomi. Pemerintah, anggota legislatif serta berbagai peraturan yang ada hanya melihat dari sisi kepentingan ekomoni yang dikuasai segelintir orang. Keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat menjadi terabaikan karena kepentingan ekonomi.

Pengelolaan wilayah dan sumberdaya alam selalu mengorbankan masyarakat dan kelompok yang termarjinal. Institusi atau Instansi yang mengurus

kebijakan, dalam memandang “wilayah dan ruang” semakin sektoral, sementara

para pembuat kebijakan melihat semua pilihan sebagai langkah politis. Tidak adanya konsensus mengakibatkan persoalan pengelolaan sumber daya alam diselesaikan dengan jalan kekerasan dan pengadilan.

(17)

3 penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Selain itu penyusunan dokumen Amdal tidak mengakomodasi partisipasi masyarakat di sekitar lokasi pabrik dan penambangan.

Lingkungan sebagai ruang hidup. Sumber penghidupan dan sumber kehidupan untuk manusia dan mahluk hidup yang ada di dalam dan sekitarnya. Ruang yang seharusnya untuk keberlanjutan kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya untuk masa kini dan masa yang akan datang, dikapling kemudian dibagi-bagi dengan regulasi dan kebijakan tanpa melibatkan masyarakat. Seperti itulah kawasan sering dilihat sebagai ruang kosong dalam arti tidak ada hak di atasnya, kemudian dibagi tanpa mempertimbangkan karakteristik dan kerentanan sebuah wilayah atau kawasan serta hak hidup masyarakat di dalam kawasan tersebut. Wilayah yang kaya dengan sumberdaya alam dan lingkungan, hanya melayani kepentingan ekonomi yang dinikmati segelintir orang, sementara masyarakat di sekitarnya hanya mendapatkan dampak eksternalitas yang negatif dan biaya sosial yang tinggi. Fauzi (2010) menyatakan “ekternalitas terjadi jika kegiatan produksi atau konsumsi dari satu pihak mempengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara tidak diinginkan, dan pembuat eksternalitas

tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak”. Maka dari

itu sering disebut kekayaan alam dan lingkungan sebagai kutukan bagi masyarakat di sekitarnya.

Wilayah kelola masyarakat atau komunitas lokal/adat yang masuk dalam penetapan kawasan lindung atau konservasi, tidak diakui kepemilikannya oleh Negara. Masayarakat tidak mendapatkan pengakuan karena dianggap akan merusak fungsi perlindungan dari suatu kawasan. Tuduhan tersebut tidak sepenuhnya benar, karena di berbagai wilayah di Indonesia banyak contoh masyarakat adat/local telah mempraktekkan pengelolaan yang sangat memperhatikan kawasan perlindungan baik yang berbasis komunal, maupun individu. Komunitas adat/lokal justru telah membangun budaya dan tata kelola yang memperhatikan keseimbangan alam atau daya dukung lingkungan yang berkelanjutan antar generasi. Sebagai contoh Lembo, Simpung dan Tembawang di Kalimantan; system Repong di Sumatera serta beberapa model pengelolaan lingkungan atau pengelolaan kawasan oleh institusi masyarakat Adat Kajang di kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, Masyarakat Samin Sedulur Sikep di Sukolilo Jawa Timur, dan Masyarakat Adat Baduy di Banten terbukti mampu menjaga kelestarian dan keberlanjutan kawasan yang hingga kini masih dapat kite temui. Masih banyak lagi praktek baik pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang berkelanjutan yang terdapat di beberapa daerah.

WALHI (2009) menyatakan “konservasi saat ini telah bergeser menjadi sebuah bisnis. maka dari itu Konservasi Berbasis Rakyat, adalah sebuah pilihan

bagi keberlanjutan layanan alam dan kesejahteraan rakyat”. Dampak dari

(18)

4

berakibat terjadinya pelanggaran HAM dengan tindakan penggusuran, kriminalisasi dan penangkapan bahkan penembakan yang berujung pada kematian. Sebagaimana dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:

Gambar 1 Pengelolaan Konservasi yang Tidah Berkeadilan di Indonsesia Penunjukan kawasan taman nasional Bantimurung Bulusaraung yang terletak di Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep, sebagai upaya konservasi atau perlindungan karena memiliki nilai ekologis dan nilai konservasi tinggi. Sebagaimana siaran pers Kepala Pusat Informasi Departemen kehutanan Nomor: S. 525 /II/PIK-1/2004. “Penunjukan kawasan konservasi baik kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam) dan kawasan suaka alam (suaka margasatwa, cagar alam) tersebut merupakan perwujudan kebijakan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya. Sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia dengan meningkatkan pengelolaan dan pembinaan populasi, jenis, genetik dan ekosistem di kawasan konservasi serta pengembangan wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan”.

(19)

5 budidaya yang berada di luar kawasan Taman Nasional Bantimurung – Bulusarang yang masih berada dalam kawasan karst yang merupakan satu kesatuan ekosistem. Semua sumber daya dan jasa ekosistem yang disediakan oleh karst dan gua tidak dapat dipisahkan karena sangat saling berhubungan. Karena mekanisme umpan balik yang kompleks ini, berdampak pada elemen individual dari ekosistem karst dapat memiliki dampak yang tak terduga pada unsur-unsur lain atau bahkan di seluruh ekosistem (Forti 2015)

Dalam memahami sumber daya alam, ada dua pandangan yang umum digunakan (Fauzi A 2010). Pertama adalah pandangan konservatif atau sering disebut juga pandangan pesimis atau perspektif Malthusian “Principle of Population” (1879). Dalam pandangan ini, risiko akan terkurasnya sumber daya alam menjadi perhatian utama. Sumber daya alam harus dimanfaatkan secara hati-hati. Sumber daya alam yang terbatas tidak akan mampu mendukung pertumbuhan penduduk yang cendrung tumbuh secara eksponensial. Pandangan kedua adalah pandangan eksploitatif atau sering juga disebut sebagai perspektif Ricardian. Dalam pandangan ini dikemukakan antara lain: 1. Sumber daya alam

dianggap sebagai “mesin pertumbuhan” yang mentransformasikan sumber daya ke dalam “man-made capital” yang pada gilirannya akan menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi di masa mendatang, 2. Keterbatasan suplai dari sumber daya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dapat disubtitusikan dengan cara intensifikasi (eksploitasi sumber daya secara intensif) atau dengan cara ekstensifikasi (memanfaatkan sumber daya yang belum dieksploitasi, 3. Jika sumber daya menjadi langka, hal ini akan tercermin dalam dua indikator ekonomi, yakni meningkatnya baik harga output maupun biaya ekstraksi per satuan output.

Kekayaan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang terdapat di Kawasan Karst Maros Pangkep adalah sebuah anugerah yang harus dijaga dan dikelola secara berkelanjutan, namun terjadi tekanan dan terancam dalam pengelolaannya. Tekanan dan ancaman juga dikemukaan oleh Achmad 2002a, yang disebabkan karena adanya dampak akibat penggunaan nilai keanekaragman hayati dan nilai habitat dari ekosistem hutan bukit kapur itu sediri. Ancaman tersebut dapat terjadi karena kegiatan yang dilakukan oleh perorangan, suatu kelompok masyarakat ataupun perusahaan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.

Kegitan-kegiatan yang mengancam secara langsung adalah pertambangan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat atau perusahaan. Pertambangan merupakan ancaman yang sangat tinggi dan massif oleh penambangan bahan baku semen, marmer dan bahan bangunan lainnya seperti pasir dan untuk pondasi rumah, serta jalan raya. Saat ini telah beroperasi pabrik semen Tonasa dan semen Bosowa yang menggunakan bahan baku dari karst atau batuan kapur. Selain dua perusahaan tersebut, saat ini perusahan industri pabrik semen dari China juga sedang mengajukan izin untuk melakukan aktivitas penambangan. Ancaman lainnya adalah perladangan di kawasan karst, terutama pada kaki bukit dan beberapa lokasi pada bagian puncak karst yang mempunyai lapisan tanah cukup dalam terdapat pada lorong patahan. Pengambilan kayu untuk bahan bangunan dan kayu bakar, perburuan satwa liar, wisatawan atau turis-turis yang mengambil satwa untuk dibawa ke luar kawasan juga marak terjadi.

(20)

6

penghancauran ekosistem baik pada permukaan (eksokarst) maupun pada gua di bagian bawah (endokarst) akibat dari peledakan, pemotongan, dan pembongkaran dalam pengambilan bahan baku. Penghancuran tersebut berdampak pada kerusakan habitat ikan, udang, dan serangga, serta hewan lainnya. Kehidupan flora dan fauna yang bergantung dari sumber air dari gua kars menjadi terancam.

Perumusan Masalah

Penetapan kawasan Bantimurung Bulusaraung sebagai taman nasional merupakan proses politik yang menurunkan status kawasan dari cagar alam, dan Hutan Lindung menjadi kawasan taman nasional. Status cagar alam lebih tinggi dari pada status taman nasional. Kawasan Bantimurung Bulusaraung yang ditetapkan sebagai taman nasional, posisinya berdampingan dengan konsesi area pertambangan dua industri semen, yakni PT Semen Tonasa di Kabupaten Pangkep dan PT Semen Bosowa di Kabupaten Maros, serta puluhan izin industri marmer yang masing-masing berada dalam hamparan satu kesatuan kawasan karst Bantimurung Bulusaraung. Terlihat Kebijakan dalam pengelolaan kawasan dilakukan secara parsial, dan peruntukannya dibagi berdasarkan administrasi yang saling tumpang tindih. Sebagai contoh adalah pertambangan PT. Semen Bosowa dan PT Bosowa mining yang masuk dalam kawasan hutan lindung Bulusaraung.

Beberapa contoh dapat dilihat pada temuan tim monitoring hutan WALHI Sulsel, pada tahun 2004 di kawasan hutan Maros sebagai berikut:

 Titik koordinat S04°.56’.677”, E119°.38’.061” Kampung Butto kampong

Desa Tukamasea Kec. Bantimurung, didaerah ini terdapat lubang galian eks pengambilan material tanah liat yang dilakukan oleh PT Semen Bosowa yang luasnya ± 2 hektar dengan kedalaman 0,5 – 2 meter.

 Titik koordinat S: 04°.56’.458”, E: 119°.38’.356” Kampung Ammasangeng

Dusun Bunga eja Desa Tukamasea Kec. Bantimurung, didaerah ini juga terdapat banyak lubang galian eks pengambilan material tanah liat yang dilakukan oleh PT. Semen Bosowa. Beberapa lubang galian tersebut luas dan kedalamannya bervariasi antara 0,2 – 1 hektar dengan kedalaman 1 – 3 meter.

 Titik koordinat S: 04°.56’.161”, E: 119°.38’.293” Kecamatan Bantimurung

Daerah ini merupakan perbukitan karts, 200 meter dari tempat pengambilan titik koordinat merupakan tempat pengambilan material PT. Semen Bosowa yang dimana tempat tersebut mengalami kerusakan yang paling parah dapat dilihat hancurnya bukit-bukit karts dan hutan lindung di areal tersebut oleh ledakan dinamit.

 Titik koordinat S: 04°.58’.161”, E: 119°.39’.684” Desa Leang-leang Kec. Bantimurung, daerah ini merupakan kawasan perbukitan karts yang juga masuk dalam kawasan hutan lindung Bulusaraung. Di lokasi inilah aktivitas pertambangan PT Bosowa mining dilakukan dengan menghancurkan ekosistem karts dikawasan tersebut.

(21)

7 pengelolaan antar kawasan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan produksi terbatas berdampak terhadap ruang kelola masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat “Kebijakan pengelolaan ruang terhadap keadilan dan keberlanjutan ekosistem kawasan karst bantimurung-bulusaraung pada saat ini, serta sejauh

mana dampak terhadap sosial, ekonomi dan budaya bagi masyarakat”.

Pengelolaan kawasan karst Bantimurung Bulusaraung terdiri dari Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan Lindung, Hutan Produksi terbatas, dan Hutan Produksi tetap, serta Taman Nasional. Pengelolaan yang sesuai dengan peruntukan dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan sebagai kawasan konservasi yang berkelanjutan bagi ekosistem, dan sosial budaya masyarakat akan menjamin keselamatan kehidupan dimasa yang akan datang. Daya dukung lingkungan hidup atau carrying capacity yang dimaksud sebagaimana disebutkan

dalam Undang Undang no.32 tahun 2009 adalah “Kemampuan lingkungan hidup

untuk mendukung perikehidupan manusia, mahluk hidup lain, dan keseimbangan

antar keduanya”. Dengan demikian carrying capacity atau daya dukung

lingkungan mengandung pengerian kemampuan sutu tempat dalam menunjang keberlanjutan kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam jangka waktu yang panjang. Peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam mempertahankan daya dukung lingkungan dan fungsi kawasan konservasi, untuk itu negara harus memberi ruang dan pengakuan bagi masyarakat dalam tata kuasa, tata kelola dan tata produksi. Pengakuan yang dimaksud diantaranya adalah pengakuan atas wilayah kelola atau menjamin akses untuk mengelola sumberdaya yang ada pada kawasan konservasi tersebut, dengan tetap memperhatikan keberlanjutan ekosistem kawasan. Masyarakat bisa mengakses dan mengambil manfaat dari produk hasil hutan non kayu (NTFP), seperti: madu, buah-buahan, bahan obat-obatan, kayu bakar, dan hasil hutan lainnya yang bukan kayu, (PP No.28/2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Pealesarian Alam pasal 49 ayat 2 dan 3).

Pembukaan bagi industri ekstraktif pertambangan untuk bahan baku semen, marmer, pasir kuarsa, dan lain sebagainya akan berimplikasi pada perubahan bentang alam, karena system pertambangan yang terbuka (open pit) yang mengakibatkan peningkatan suhu panas, berkurangnya debit air, kekeringan dan kebakaran lahan pada musim kemarau, serta rawan terjadi banjir pada musim hujan. Arsyad et. Al (2014) menjelaskan bahwa perluasan lahan tambang sangat berpengaruh pada fungsi ekologis kawasan karst, terutama berkaitan dengan kemampuan kawasan menyimpan, menyerap, menampung dan mengalirkan air. Ancaman lainnya yang berdampak terhadap keanekaragaman hayati, yaitu: musnahnya organisme yang menyebabkan terputusnya rantai ekosistem, hilangnya benih-benih pangan, tanaman obat-obatan serta tanaman kehidupan lainnya.

(22)

8

kemampuan untuk memenuhi biaya sekolah dan kesehatan. Secara sosial juga akan terjadi alih profesi; dari bekerja bertani menjadi buruh, peramu menjadi buruh, akibat dari konversi lahan pertanian dan kawasan hutan menjadi area pertambangan.

Potensi terjadinya konflik kepentingan akibat dari mobilisasi penduduk yang tidak bisa dihindari, diantaranya persaingan antara masyarakat lokal dengan pendatang. Permasalahan ini menjadi bagian yang akan dikaji pada tujuan nomor dua, dengan menganalisis bagaimana strategi dalam pengelolaan ruang di kawasan karst Bantimurung-Bilusaraung yang mempertahankan daya dukung lingkungan, dan kawasan yang berkelanjutan secara sosial dan ekonomi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini.

(23)

9 Tujuan Penelitian

Berdasarkan penelaahan terhadap rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian ini diarahkan untuk:

1. Melakukan sintesis terhadap kawasan Karst Maros Pangkep dalam lima tahun sebelumnya dan pengaruhnya terhadap keberlanjutan ekosistem karst pada saat ini.

2. Menganalisis pilihan kebijakan pengelolaan kawasan karst yang berkelanjutan dalam aspek lingkungan, sosial-budaya, dan ekonomi.

3. Memberi rekomendasi pilihan kebijakan pengelolaan kawasan untuk keberlanjutan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Manfaat Penelitian

Dengan dicapainya tujuan penelitian tersebut, maka hasil penelitian ini akan memberikan manfaat atau kegunaan sebagai berikut:

1. Memberikan alternatif bentuk kebijakan kepada pemerintah maupun lembaga terkait agar mengutamaan pengelolaan Kawasan Karst Maros Pangkep yang berkelanjutan dari dimensi lingkungan hidup, sosial budaya, dan ekonomi. 2. Sebagai bahan untuk menambah khasanah pengetahuan dalam perencanaan

dan pengelolaan ekosistem kawasan yang berkelanjutan secara ekologi, sosial, budaya dan ekonomi.

3. Sebagai bahan referensi dan perbandingan untuk penelitian sejenis bagi pihak-pihak yang berkepentingan dimasa selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian

(24)

10

2 TINJAUAN PUSTAKA

Defenisi Ruang

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, sebagaimana yang dimaksud pada UU No.26 tahun 2007 tentang Penataaan Ruang (UUPR). Hampir semua kegiatan kehidupan dan pembangunan perlu atau berkaitan dengan tempat/lokasi/ ruang.

Wilayah merupakan unit geografis dan batasan dan sistemnya beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional. Sementara kawasan adalah unit wilayah yang memiliki penekanan fungsi khusus, seperti kawasan lindung atau budidaya, atau dengan kata lain kawasan ditetapkan berdasarkan fungsionalnya bukan batasan administrasi.

Secara alamiah, tanpa dengan atau keterlibatan mausia, berlakunya hukum-hukum alam telah menyebabkan terdistribusinya segala benda ataupun sumberdaya alam dengan suatu keteraturan dinamis yang berpola dan terstruktu secara spasial maupun waktu. Adanya keteraturan sedemikian rupa sehingga seluruh benda fisik di alam yang tertata dalam ruang yang membentuk pola distribusi yang disebut sebagai pola ruang. Sedangkan susunan prasarana yang dibangun manusia dalam ruang membentuk jaringan yang terstruktur, sehingga membentuk struktur ruang (Rustiadi, at.all)

Pengertian kawasan menurut Undang Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. Wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan lindung memiliki fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Sedangkan kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisis dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

Perjalanan Kawasan Konservasi Indonesia

Kegiatan konservasi alam di Indonesia telah dimulai sejak dari jaman Raja-raja Nusantara, penjajahan Belanda, Jepang, dan Masa kemerdekaan sampai hari ini. Baik dengan praktik-praktik kearifan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat adat/lokal sampai dengan upaya-upaya modern. Upaya konservasi dilakukan untuk melestarikan dan memberi manfaat nyata dari pengelolaan kawasan beserta kekayaan alam hayati yang ada di dalamnya, termasuk keberlanjutan untuk masa depan kehidupan bagi generasi yang akan datang.

(25)

11 merusak alam, seperti perdagangan burung cendrawasih yang tidak terkontrol. Mereka juga merintis pengukuhan kawasan perlindungan seperti cagar alam (Natural Reservaat) di Depok dan Kebun Raya (‘sLands Plantentuin) Bogor.

Organisasai pertama yang memberikan perhatian khusus dalam hal perlindungan alam adalah Nederland Indische Vereneging tot Natuur Bescherming (Perhimpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda) yang didirakan pada tahun 1912 oleh Dr. S.H. Koorders dan rekan-rekannya. Organisasi ini sangat progresif dalam melobi Pemerintah Kolonial untuk membuat Cagar Alam dan melindungi burung cendrawasih. Organisasi ini awalnya masih beranggotakan himpunan orang-orang Eropa, sebagian kecil para bangsawan Jawa, dan didominasi oleh para sarjana terutama di bidang biologi (naturalis).

Jaman Kerajaan Nusantara, tindakan konservasi secara eksplisit tercermin dalam pola prilaku sehari-hari masyarakat dalam berhubungan dengan alam yang merupakan warisan turun-temurun. Prilaku keseharian masayarakat sangat kental dengan kepercayaan terhadap kekuatan alam dan mistifikasi benda-benda, yang terwujud dalam penabuhan benda-benda, situs-situs dan tindakan tertentu. Misalnya, larangan mengambil jenis-jenis pohon atau batu-batu tertentu, larangan memasuki kawasan tertentu, seperti gunung, rawa, dan hutan tutupan. Pendekatan mistis merupakan suatu cara yang digunakan untuk perlindungan dan mempertahankan alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Sama halnya dengan system yang dibangun oleh Masyarakat Adat Kajang di Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan, melalui Pasang (Titah Leluhur) yang kemudian dipercaya turun temurun. Hubungan Manusia dengan alam dibangun dengan hubungan yang harmoni. Alam dipandang sebagai suatu hal yang suci atau sakral, yang memberi berkah bagi keberlanjutan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya. Mereka menjalankan ritual-ritual penghormatan kepada penguasa alam dan roh-roh leluhur. Pensaklaran terhadap kawasan dengan Penetapan zona yang dikeramatkan atau zona terlarang yaitu Borong Karassa (hutan lindung) karena memiliki nilai konservasi tinggi. Hal tersebut merupakan kearifan tradisional mereka yang diatur secara adat, untuk melindungi kawasan dan mengatur tata guna dan pemanfaatan kawasan yang berkelanjutan bagi generasi dan lingkungan dimasa yang akan datang. Memasuki kawasan Borong Karrasa tanpa izin dari ketua adat Amma Toa, adalah melanggar aturan adat dan akan mendapat sanksi atau denda adat.

(26)

12

ini, kebijakan politik konservasi alam masih cendrung mengabaikan konservasi tradisional oleh masyarakat adat dan masyarakat lokal.

Arah gerakan konservasi yang dimulai pada jaman kolonial Belanda di Indonesia ditandai dengan dua peristiwa yang sangat mempengaruhi perjalanan konservasi di Indonesia, dikutip berdasarkan Wiratno dkk dalam buku Berkaca dicermin retak Sejarah Kehutanan Indonesia h.188,.2004. Departemen Kehutanan, Jakarta. yakni: Pertama, pada tahu 1714 C. Chastelein mewariskan dua bidang tanah persil seluas 6 ha di Depok kepada para pengikutnya untuk digunakan sebagai Cagar Alam (Natural Reservaat) dan sama sekali tidak digunakan untuk areal pertanian, dengan tujuan agar keaslian dan kealamiannya tetap terjaga, karena tidak dapat digantikan dengan areal manapun juga. Kedua, berdasarkan usulan Direktur Lands Plantentuin (Kebun Raya) Bogor pada tahun 1889. Kawaan hutan alam Cibodas seluas 280 ha, ditetapkan untuk kepentingan penelitian flora hutan pegunungan. Kawasan tersebut kemudian meluas hingga meliputi Gunung Gede dan Pangrango pada tahun 1925. Sejak jaman kolonial Belanda sampai akhir pendudukan Jepang telah ditunjuk sebanyak 117 lokasi Suaka Alam di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan beberapa pulau lainnya dengan luas 3 juta ha.

Upaya-upaya perlindungan alam kembali dimulai setelah era kemerdekaan, dimana pada jaman jaman kolonialisasi Belanda dan pendudukan Jepang, kedua Negara tersebut menguras kekayaan hutan Indonesia untuk dikirim ke Negara mereka. Masa pendudukan Jepang, terjadi eksploitasi terhadap hutan jati dalam jumlah yang sangat besar dan merugikan, terutama untuk membiayai perang Asia Timur Raya. Tahun 1947, Raja-raja Bali memprakarsai penunjukan Bali Barat sebagai suaka alam baru, kemudian pada tahun 1994 terbit Undang Undang no.5 tahun 1994 tentang Keanekaragaman Hayati

KawasanKarst

Karst adalah adalah bentukan bentang alam pada batuan karbonat yang bentuknya sangat khas berupa bukit, lembah, dolina dan gua. Permukaannya cendrung kering dan gersang, namun di bawahnya terdapat aliran air yang berbentuk sungai-sungai di bawah permukaan dan cekungan dalam goa-goa yang menyimpan air. Sifat batuan karbonat yang merupakan komposisi bentang lahan karst, berbentuk seperti spon, berpori dan berbentuk rekahan di permukaan. karena itulah karst dapat menangkap air yang jatuh. Sifat batuan karbonat ataupun dolomit yang menjadi penyusun utama bentang lahan karst adalah memiliki banyak rekahan, celah dan rongga pada bagian permukaan. Zona tersebut menjadi penangkap air yang jatuh di tempat tersebut, atau yang disebut zona epikarst. Air yang jatuh dipermukaan zona epikarst akan terserap ke lorong-lorong conduit yang berada di zona vodase yang berada di bawah epikarst, melalui celah atau rekahan ini air menuju ke lubang yang berbentuk gua atau lorong sungai bawah tanah (Zhang et al, 2016).

(27)

13 dibandingkan dengan hutan dataran rendah. Hampir semua habitat dan vegetasi yang berada di sistem ekologi karts bersifat endemic dan besaran yang spesifik.

Batuan karbonat umumnya tersusun atas dua jenis batuan, yaitu (1) Limestone atau batu kapur/gamping yang terdiri atas mineral calcite (CaCO3) atau Mg Calcite (MgCO3), dan (2) Dolostone, yang sebagian besar terdiri atas mineral dolomite (CaMg(CO3)2). Batuan karbonat mudah diamati karena sifatnya yang sangat mudah bereaksi dengan HCL, dan jika melapuk warnanya putih atau abu-abu. Sedangkan dolostone tidak akan bereaksi dengan HCL, kecuali berupa serbuk dan berwana coklat jika melapuk. Warna coklat ini adalah warna Fe yang terbentuk untuk menggantikan Mg.

Kawasan karst memiliki multi ekonomi dan sosial serta kultural yang tinggi karena berkaitan dengan penunjang kehidupan manusia (Forti, 2015). Selanjutnya Forti (2015) juga menyatakan bahwa sekitar 25% dari air minum dunia berasal dari karst, dan lebih dari 100 juta manusia memperoleh lapangan pekerjaan baik secara langsung maupun tidak langsung dari wisata karst.

Kawasan Karst Bantimurung Bulusaraung

Kawasan karst Bantimurung Bulusaraung adalah kawasan karst yang membentang dari utara ke selatan wilayah Maros dan Pangkep dengan luas sekitar ± 40.000 ha. Secara umum terdiri dari hutan bukit kapur (forest over limestone) dengan formasi hutan tebing dan lereng. Ekosistem karst yang identik dengan bukit-bukit yang berbentuk menara (Tower karst/Magote) yang menjulang kelangit, terkenal indah dan panoramik. Karena sifat batuan yang memiliki karnot kalsium dan mudah larut dengan air hujan, yang mengakibatkan retakan-retakan dan terowongan berbentuk relif inilah yang dilihat sebagai karst tower. Geomorfologi yang tidak ada duanya di Indonesia, memiliki flora dan fauna, air terjun, nilai-nilai ilmiah dan social budaya yag tinggi. Dapat dikembangkan sebagai laboratorium alam untuk penelitian ilmiah dan konservasi alam, serta ekowisata. Oleh UNESCO menganggap kawasan ini pantas diusulkan sebagai kawasan warisan dunia (A worl Heritage Site). Kawasan karst Maros Pangkep sudah dikenal secara internasional sejak Alfred Russel Wallace (naturalis asal Inggris) mempublikasikan jurnal perjalanannya berjudul The Malay Archipelago (1869).

(28)

14

Balai TN BABUL (2015) Flora atau tumbuhan yang terdapat di kawasan ini adalah Bintangur (Calophyllum sp,), Beringin (Ficus spp, diperkirakan ada 30 jenis Ficus), Nyato (Palaquium obtusifolium), flora endemic Sulawesi Kayu Hitam (dispyros celebia), sikapa (Dioscorea spp.) Alstonia sp, Ficus sp. Macaranga sp. Rubiaceae, Leea indica, Urticaceae sejacar umum tumbuh di hutan tebing . Dan untuk hutan lereng terdapat Cinnamomum zelainicum, Pandan 1 dan Pangium edule jenis-jenis hutan tanaman seperti Jati (Tectona Grandis) dan Mahoni (Swietenia Mahagoni).

Jenis tumbuhan lain seperti buah-buahan dan sayur-sayuran seperti Dao (Dracontomelon dao), Buni (Baccaurea racemosa), Coppeng (Zyzygium cumini), Jambu-jambuan (Eugenia spp.), Pangi (Pangium edule) dll.; jenis umbi-umbian seperti berbagai jenis sikapa (Dioscorea spp.); jenis obat-obatan seperti Paliasa (Clenhovia hosfiatalia); jenis bunga-bungaan seperti berbagai jenis anggrek; jenis penghasil gula seperti aren (Arenga pinnata); bahan bangunan rumah seperti Alstonia scolaris, Buchanania arborescens, Calophyllum inophyllum, Cananga odorata, Dracontomelon dao, D. Mangiferum, Diospyros celebica, Pterocarpus indicus, Pterospermum celebicum, Vitex cofassus, dan V. pubescens.

Terdapat pula jenis satwa liar dan endemik seperti Kera Hitam (Macaca Maura) mascot Taman Nasional, Burung Ranggong Sulawesi (Rhyticeros cassidix), Kuskus Sulawesi (Phalanger celebencis), Kuskus beruang (Phalanger ursius), Musang Sulawesi (Macrogolidia mussenbraecki), Rusa (Cervus timorensis), Burung enggang hitam (Halsion cloris), Raja udang, Kupu-kupu (Papilo blumei, Papilo stapses, Troides holipton, Troides Helena, Graphium androcles), Ular python (Phyton reticulates), Ular daun, Biawak besar (Varanus salvator),Kadal terbang, Tarsius (Tarsius sp.), Kuskus (Phalanger celebencis), Babi hutan (Sus celebensis), Rusa (Cervus timorensis), Kelelawar buah (Cynopterus brachyatis.), Kelelawar gua (Eunycteris sp.), Capili (Turacaena manadensis), kakak tua putih (Cacatua sulphurea), kakak tua hijau “Danga” (Tanicnatus sumatranus), Ayam hutan (Gallus gallus), ular, ikan dan udang tak bermata dalam gua, belut, sidat, serta hewan yang tak bertulang belakang.

Dengan latarbelakang Keanekaragaman hayati flora, fauna, dan kekayaan geologi serta budaya yang melingkupi kawasan itu secara luas, bahwa dalam rangka perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistem tersebut, menjadi hal yang dipertimbangkan untuk ditetapkan sebagai Taman Nasional. Maka berdasarkan Berita Acara Hasil Pengkajian dan Pembahasan Tim terpadu tanggal 8 Oktober 2004, kawasan hutan di Kelompok Bantimurung-Bulusaraung 43.750 ha memenuhi syarat untuk diubah fungsi menjadi Kawasan Pelestarian Alam dengan fungsi Taman Nasional.

Perubahan fungsi kawasan hutan pada kelompok hutan Bantimurung-Bulusaraung, Keputusan Mentri Kehutanan nomor: SK. 398/Menhut-II/2004 seluas  43.750 Ha yang terbagi dalam Hutan Lindung  21.343,10 Ha, Cagar Alam 10.282,65 Ha, TWA 1.624,25 Ha, Hutan produksi Terbatas  145 Ha, Hutan Produksi Tetap  10.355 Ha. Kawasan karst Bantimurung Bulusaraung terbagi dalam lima unit kawasan konservasi dengan luas 11.906,9 Ha terdiri dari Cagar Alam Bantimurung, Cagar Alam Karaenta, Cagar Alam Bulusaraung, Taman Wisata Alam Bantimurung, dan Taman Wisata Alam Gua Pattunuang.

(29)

15 tersebut. Ditemukannya artefak di dalam gua, sebagai jejak kehidupan manusia purba, dengan demikian bahwa kehidupan manusia di kawasan tersebut sudah berlangsung sejak dahulu kala. Masayarakat atau komunitas yang ada sekarang tidak lagi bermukim di dalam gua, namun aktivitas ekonomi, sosial dan budaya mereka masih berlangsung hingga hari ini. Ada yang bersawah, berladang dan berkebun.

Sebelum penunjukan taman nasional, Pada Era 1970-1980, di kawasan karst Bantimurung – Bulusaraung Maros-Pangkep telah ditunjuk atau ditetapkan 5 unit kawasan konservasi seluas  11.906,9 Ha, yaitu Taman Wisata Alam Bantimurung, Taman Wisata Alam gua Pattunuang,Kawasan Cagar Alam Bantimurung,Cagar Alam Karaenta dan Cagar Alam Bulusaraung

Dikawasan tersebut juga saling tumpang tindih klaim: kegiatan pertambangan dilakukan di kawasan lindung, kawasan kelolah masyarakat masuk dalam kawasan lindung, dan wilayah kelola masyarakat di atasnya terdapat aktivitas pertambangan. Aktifitas pertambangan, telah mengkonversi lahan-lahan produktif masyarakat. Salah satu penyebab tingginya angka pengangguran, sehingga berimplikasi terjadi perambahan hutan oleh masyarakat yang tidak memiliki lahan garapan.

Aktvitas pertambangan di kawasan karst Maros Pangkep, adalah pertambangan sement oleh PT Semen Bosowa dan PT. Semen Tonasa, dan terdapat lebih dari 20 izin usaha pertambangan (IUP) komoditas batu gamping/marmer dengan luas konsesi masing-masing IUP antara 20-50 ha.

Keindahan dan kekayaan alam kawasan Bantimurung Bulusaraung, selain sebagai pusat penelitian purba kala dan kawasan wisata budaya, juga memiliki potensi sebagai kawasan wisata alam dan budaya yang luar bisa. Kawasan wisata alam dan budaya Bantimurung memiliki air terjun yang tinginya sekitar 10 meter dan lebar sekitar 8 meter. Air terjun bantimurung terkenal sejak kedatangan Wallace dan menjadi kawasan konservasi sejak tahun 1919. Bahkan ada yang meyakini bahwa air terjun Bantimurung memiliki khasiat untuk terapi kebugaran dan kesehatan.

Fungsi Ekosistem Karst

Karst mempunyai fungsi yang penting bagi lingkungan. Karst yang identik dengan batuan kapur, berpori dan permukaanya tandus. karst sebenarnya memiliki beragam fungsi, adalah sebagai berikut (wong et al 2001)

a. Kawasan Karst Sebagai Akuifer Air Alami

(30)

16

Hal ini diyakini menjadi penyebab kenapa daerah karst selalu identik dengan kekeringan dan daerah tandus. Kawasan karst selanjutnya hanya dinilai dari segi ekonomis batugampingnya, yakni sebagai bahan galian golongan-C.

Perkembangan pengetahuan tentang karst ternyata mengungkapkan bahwa karst justru merupakan akuifer air yang baik, berpengaruh langsung bagi kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya. Konsep epikarst yang dilontarkan oleh ahli hidrologi karst menyebutkan bahwa lapisan batugamping yang ada di dekat permukaan karst memiliki kemampuan menyimpan air dalam kurun waktu yang lama.

Alexander Klimchouk (2003) mengungkapkan bahwa zona di dekat permukaan karst merupakan zona utama pengisi sistem (hidrologi) karst melalui proses infiltrasi diffuse dan aliran celah (fissure flow). Dari tipe aliran air pada celah vertical kemudian memperkirakan bahwa zona epikarst ini terletak pada kedalaman 30 – 50 meter di bawah permukaan karst dengan ketebalan bervariasi, biasanya 10 -15 meter dari permukaan (Klimchouk, 2003).

Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut menjadi jelas bahwa kawasan karst memiliki fungsi yang jauh lebih penting daripada hanya sekedar gundukan bahan galian C, yaitu sebagai akuifer air alami yang berperan penting terhadap suplai hidrologi bagi daerah sekitarnya.

b. Kawasan Karst Sebagai Habitat Fauna Pengendali Hama

Kawasan karst selalu memiliki goa yang jumlahnya mencapai belasan hingga ratusan dalam satu kawasan. Goa-goa ini ternyata merupakan hunian bagi sejumlah biota, salah satunya adalah kelelawar. Berbagai jenis kelelawar bisa hidup berdampingan dalam satu goa. Beberapa goa yang memiliki dimensi ruang besar dan lorong yang panjang, mampu menampung ribuan hingga jutaan ekor kelelawar.

Beberapa jenis kelelawar yang biasa ditemui hidup di goa-goa karst antara lain adalah kelelawar pemakan serangga dari jenis Nycteris javanica, Hipposideros larvatus, Hipposideros diadema, Rhinolopus sp, dan Miniopterus sp (Rahmadi & Wiantoro, 2007).

Daya jelajah kelelawar ini mencapai radius kurang lebih sembilan kilometer dari tempat tinggalnya, artinya kelelawar ini memiliki kemungkinan menjaga areal seluas 250 kilometer persegi dari ancaman hama serangga.

Kelelawar memiliki kemampuan makan hingga seperempat berat tubuhnya, tiap malamnya kelelawar pemakan serangga mampu melahap 800 – 1200 ekor serangga (Ducummon, 2001). Tentu saja hal ini berdampak positif bagi bidang pertanian. Petani tidak perlu repot mengeluarkan banyak uang untuk membeli pestisida. Namun sayangnya, kesadaran masyarakat terhadap nilai penting kelelawar masih begitu rendah. Di beberapa wilayah, masyarakat masih gemar memburu kelelawar untuk sekedar menjadi lauk pauk hingga diperjualbelikan.

(31)

17 c. Kawasan Karst Sebagai Pengendali Banjir

Sifat fisik batugamping penyusun kawasan karst memungkinkan kawasan karst tersebut memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan air hujan dalam kurun waktu yang cukup lama. Hal ini tak lepas dari peran zona epikarst yang merupakan zona yang mampu menyimpan air paling banyak dalam satu tubuh batugamping.

Keberadaan zona epikarst yang terletak dekat permukaan sangat memungkinkan mendapatkan gangguan dari aktivitas manusia, salah satunya adalah perubahan bentuk lahan, baik untuk keperluan eksploitasi batugamping (baca : tambang) maupun untuk keperluan lain, seperti mendirikan bangunan.

Permukaan karst yang dikupas menyisakan batuan yang lebih pejal dan masif dengan sedikit pori-pori maupun retakan-retakan. Sehingga ketika hujan turun, batuan tersebut tidak lagi mampu menyerap air. Air yang tidak terserap akan melimpas melalui permukaan dan berpotensi menimbulkan banjir bandang, terutama jika lahan yang terkupas memiliki luas dan kelerengan yang signifikan.

Setiap lahan karst yang telah terkupas, membutuhkan waktu yang lama (ribuan tahun) untuk kembali membentuk lapisan epikarst dan berfungsi sebagaimana awalnya. Sehingga dapat disimpulkan, setiap kerusakan yang terjadi pada permukaan karst bersifat permanen dan tidak dapat direhabilitasi lagi.

d. Kawasan Karst Sebagai Laboratorium Alam

Berbagai potensi yang terdapat di kawasan karst menjadikan kawasan karst memiliki nilai ilmiah yang tinggi. Di seluruh penjuru dunia, kawasan karst sudah umum menjadi lokasi penelitian berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Segala segi informasi yang terekam dan tersimpan selama proses pembentukan karst menjadi bahan penelitian disiplin ilmu kebumian.

Flora dan fauna tentu saja menjadi kajian menarik bagi mereka yang menekuni ilmu hayati. Bukan hanya flora dan fauna yang hidup di permukaan karst, namun juga mereka yang jauh tersembunyi dalam gelapnya goa-goa karst. Karakter khusus perilaku hidrologi karst menjadi kajian tersendiri bagi mereka yang menekuni hidrologi.

Karst dengan segala sifat fisik batuan penyusunnya, ternyata merupakan tempat yang ideal untuk mengawetkan berbagai macam jenis sisa kehidupan masa lampau. Tak terkecuali fungsi goa sebagai tempat hunian manusia-manusia prasejarah. Aneka ragam perkakas hingga fosil manusia purba banyak ditemukan di kawasan karst. Tak heran jika kawasan karst ibarat surga bagi dunia arkeologi. Masih banyak lagi displin ilmu yang menggunakan karst sebagai laboratoriumnya. Berbagai temuan spektakuler telah dipublikasikan sejak ilmu tentang karst dipelajari manusia pada awal abad 19 lalu. Beberapa diantaranya adalah temuan spektakuler tentang keberadaan goa terpanjang di dunia Flint – Mammoth System (500 km) di Kentucky – USA, goa terbesar di dunia Hang Dong Soon – Vietnam, Lukisan Goa Tertua di Lascaux Perancis, Fosil Manusia Kerdil/Hobbitdi Liang Bua Flores – Indonesia, dsb.

(32)

18

memiliki beragam fungsi dan manfaat yang dapat dikelola secara berkelanjutan dari aspek Ekologi, Ekonomi, Sosial dan, Budaya.

Pengelolaan Kawasan Karst untuk Keberlanjutan Ekologi

Kawasan karst yang mempunyai fungsi penting bagi keberlanjutan lingkungan dan kehidupan dimasa kini dan masa yang akan datang. Manusia harus belajar memahami lingkungannya dan pandai mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dengan cara-cara yang bertanggungjawab. Manusia harus melihat jauh kedepan. Manusia yang mempunyai kelebihan akal dan pikiran, dalam kemajuan teknologi dan sebagai pembuat regulasi , sangat penting untuk mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi.

Kawasan karst diklasifikasi dalam tiga kategori, yakni kawasan karst kelas I, kawasan karst kelas II, dan kawasan karst kelas III. Kawasan karst kelas I merupakan kawasan lindung sumberdaya alam, yang penetapannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Surat Keputusan Menteri ESDM No.1456 K/20/MEM/2000 menyebutka kawasan karst kelas I merupakan kawasan lindung sumberdaya alam, yang penetapannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kawasan karst kelas I, tidak boleh ada kegiatan pertambangan, dapat dilakukan kegiatan lain asal tidak berpotensi mengganggu proses karstifikasi, merusak bentuk-bentuk karst di bawah dan di atas permukaan, serta merusak fungsi kawasan karst.

Dalam Kepmen ESDM Nomor 1456 tahun 2000, disebutkan kawasan kars mempunyai nilai yang sifatnya strategis, berupa:

a. Nilai ekonomi, bekaitan dengan usaha pertanian, kehutanan, pertambangan, pengelolaan air dan pariwisata.

b. Nilai ilmiah, berkaitan dengan ilmu-ilmu kebumian, speleology, biologi, arkeologi dan paleontology.

c. Nilai kemanusiaan, berkaitan dengan keindahan, rekreasi, pendidikan, unsur-unsur spiritual dan agama atau kepercayaan.

Analisis Spasial Menggunakan Sistem Informasi Geografi Sistem Informasi Geografi

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkordinat geografi. SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non spasial (Star dan Estes, 1990 dalam Simatupang dan Irawan, 2003). SIG juga telah terbukti kehandalanya untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, menganalisa dan menampilkan data spasial baik biofisik maupun sosial ekonomi. Star dan Estes mengemukakan bahwa secara umum SIG menyediakan fasilitas-fasilitas untuk mengambil, mengelola, memanipulasi dan menganalisa data serta menyediakan hasil baik dalam bentuk grafik maupun dalam bentuk tabel, namun demikian fungsi utamanya adalah untuk mengelola data spasial.

(33)

19 penggabungan sumber data dengan perbedaan akurasi sering mempengaruhi hasil deteksi perubahan. Informasi Geospasial (IG) merupakan alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian. IG sangat berguna sebagai system pendukung pengambilan kebijakan dalam rangka mengoptimalkan pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan ketahanan nasional, khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam, penyusunan rencana tata ruang, perencanaan lokasi investasi dan bisnis perekonomian, penentuan garis batas wilayah, pertanahan, dankepariwisataan. IG juga merupakan informasi yang amat diperlukan dalam penanggulangan bencana, pelestarian lingkungan hidup, dan pertahanan keamanan (UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial). Analisis Spasial

Pendekatan analisis keruangan (spatial analysis), Bintarto (1987) menyatakan bahwa analisis keruangan mempelajari perbedaan lokasi mengenai sifat-sifat penting atau seri sifat-sifat penting. Ahli geografi akan bertanya faktor-faktor apakah yang menguasai pola penyebaran dan bagaimanakah pola tersebut dapat di ubah agar penyebarannya menjadi lebih efisien dan lebih wajar. Pengetahuan mengenai bagaimana mengumpulkan data, memasukan dan mengeluarkan data serta bagaimana menggunakan kunci analisis di dalam Sistem Informasi Geografi (SIG). kemampuan analisis berdasarkan aspek spasial dapat dilakukan oleh SIG yaitu (Hermawan 2009) :

1. Klasifikasi, yaitu mengelompokan data keruangan (spatial) menjadi data keruangan yang berarti. Contohnya adalah mengklasifikasikan tata-guna lahan untuk permukiman, pertanian, perkebunan, atau hutan berdasarkan analisis data kemiringan atau data ketinggian (peta topografi). Hasilnya berupa peta tata-guna lahan.

2. Overlay, yaitu menganalisis dan mengintegrasikan dua atau lebih data keruangan yang berbeda. Contohnya adalah menganalisis daerah rawan erosi dengan meng-overlaykan (tumpang susunkan) data ketinggian, jenis tanah, dan kadar air.

3. Networking, yaitu analisis yang bertitik tolak pada jaringan yang terdiri dari garis-garis dan titik-titik yang saling terhubung. Analisis ini sering dipakai dalam berbagai bidang misalnya system jaringan telepon kabel listrik, pipa minyak atau gas, pipa air minum atau saluran pembuangan.

4. Buffering, yaitu analisis yang akan menghasilkan buffer/ penyangga yang bisa berbentuk lingkaran atau polygon yang melengkapi suatu objek sebagai pusatnya, sehingga kita bisa mengetahui berapa parameter objek dan luas wilayahnya. Bufferingmisalnya dapat digunakan untuk menentukan jalur hijau di perkotaan, menggambarkan zonasi pada suatu kawasan hutan, mengetahui luas daerah yang mengalami tumpahan minyak di laut, atau untuk menentukan lokasi pasar, took atau outlet dengan memperhatikan lokasi took atau outlet dianggap pesaing.

5. Tiga dimensi, analisis ini sering digunakan untuk memudahkan pemahaman karena data divisualisasikan dalam bentuk tiga dimensi. Misalnya digunakan untuk menganalisis daerah yang akan terkena aliran lava jika gunung api dipresiksi akan meletus.

(34)

20

wilayah. Dilihat dari karateristik wilayah pendekatan ini mampu membahas fenomena permasalahan dari suatu wilayah yang mengkhususkan masalah terbesar dengan menitik beratkan topik yang menjadi perhatian utama.

Menurut Yunus (2008), pendekatan keruangan tidak lain merupakan metode analisis yang menekankan analisisnya pada eksistensi ruang (space) sebagai wadah untuk mengakomodasikan kegiatan manusia dalam menjelaskan fenomena geosfer. Oleh karena objek studi geografi adalah geospheric phenomena, maka segala sesuatu yang terkait dengan objek dalam ruang dapat disoroti dari berbagai matra antara lain (1) pola (pattern); (2) struktur (structure); (3) proses (proses); (4) interaksi (interaction); (5) organisasi dalam system keruangan (organitation within the spatial system); (6) asosiasi (association); (7) tedensi atau kecenderungan (tendency trend), (8) pembandingan (comparation) dan sinergisme keruangan (spatial synergism).

Daya Dukung Lingkungan

Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya (Undang Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup). Dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, telah mengamanatkan bahwa alokasi pemanfaatan ruang harus didasarkan pada daya dukung lingkungan hidup. Pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, standar kualitas lingkungan serta daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Daya dukung merupakan indikasi kemampuan mendukung penggunaan tertentu, sedangkan daya tampung adalah indikasi toleransi mendukung perubahan penggunaan tertentu (atau pengelolaan tertentu) pada unit spasial tertentu. Untuk menghitung daya dukung dan daya tampung lingkungan, perlu beberapa pertimbangan. Adapung pertimbangan tersebut adalah (a) ruang dan sifatnya, (b) tipe pemanfaatan ruang, (c) ukuran produk lingkungan hidup utama (udara dan air), (d) penggunaan/penutupan lahan mendukung public (hutan), dan (e) penggunaan tertentu untuk keperluan pribadi.

Daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam perencanaan tata ruang dimaksudkan agar pemanfaatan ruang berdasarkan tata ruang nantinya tidak sampai melampaui batas-batas kemampuan lingkungan hidup dalam mendukung dan menampung aktivitas manusia tanpa mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kemampuan tersebut mencakup kemampuan dalam menyediakan ruang, kemampuan dalam menyediakan sumberdaya alam, dan kemampuan untuk melakukan perbaikan kualitas lingkungan apabila terdapat dampak yang mengganggu keseimbangan ekosistem. Penataan ruang yang mengabaikan daya dukung lingkungan dipastikan akan menimbulkan permasalahan dan degradasi kualitas lingkungan hidup seperti banjir, longsor dan kekeringan, pencemaran dan lain sebagainya

(35)

21 di suatu wilayah, dengan menjumlahkan produk dari semua komoditas yang ada di wilayah tersebut. Untuk penjumlahan digunakan harga sebagai factor konversi karena setiap komoditas memiliki satuan yang beragam. Sementara itu, kebutuhan lahan dihitung berdasarkan kebutuhan hidup layak. Bial ketersedian lahan lebih besar dari kebutuhan lahan, maka daya dukung lahan dinyatakan surplus. Sedangkan jika ketersediaan lahan lebih kecil dari kebutuhan lahan, maka daya dukung dinyatakan defisit.

Contex Input Produk Proses

Evaluasi kebijakan publik perlu dilakukan untuk melihat bagaimana sebuah keputusan yang diambil atau diterapkan, apakah berjalan sesuai dengan cita-cita atau tujuannya bagi kesejahteraan masyarakat. Evaluasi merupakan istilah baru dalam kajian keilmuan yang telah berkembang menjadi disiplin ilmu sendiri. Walaupun demikian, bidang kajian evaluasi ternyata telah banyak memberikan manfaat dan kontribusinya didalam memberikan informasi maupun data, khususnya mengenai pelaksanan suatu program tertentu yang pada gilirannya akan menghasilkan rekomendasi dan digunakan oleh pelaksana program tersebut untuk menentukan keputusan, apakah program tersebut dihentikan, dilanjutkan, atau ditingkatkan lebih baik lagi. Menurut Kaufman dan Thomas (1980), evaluasi adalah proses untuk menilai kualitas yang terjadi, evaluasi jika dilakukan secara benar akan mengontrol dengan menentukan celah antara apa yang terjadi dan seharusnya terjadi. Dalam penelitian ini, alat evaluasi CIPP digunakan sebagai model untuk mengevaluasi kebijakan politk ruang di kawasan karst Bantimurung Bulusaraung, dengan menganalisis apakah berkelanjutan secara ekologis, social dan ekonomi.

Contex Input Proses Produk (CIPP) adalah suatu model yag digunakan untuk mengukur atau mengevaluasi sejauh mana kebijakan atau tindakan yang dilakukan dalam hal pendidikan, kesehatan, dan kegiatan publik lainnya Model evaluasi ini dikembangkan oleh Daniel Stuffleabem, dkk (1967) di Ohio State University. Model evaluasi ini pada awalnya digunakan untuk mengevaluasi ESEA (the Elementary and Secondary Education Act). CIPP merupakan singkatan dari, context evaluation: evaluasi terhadap konteks, input evaluation: evaluasi terhadap masukan, process evaluation: evaluasi terhadap proses, dan product evaluation: evaluasi terhadap hasil. Keempat singkatan dari CIPP tersebut itulah yang menjadi komponen evaluasi. Keempat model evaluasi tersebut merupakan satu rangkaian yang utuh, walupun menurut Stufflebeam dalam pelaksanaannya tidak harus menggunakan keseluruhannya.

Model CIPP berorientasi pada suatu keputusan (a decision oriented evaluation approach structured). Tujuannya adalah untuk membantu administrator didalam membuat keputusan. Menurut Stufflebeam, (1985) dalam Eko Putro

mengungkapkan bahwa, “ the CIPP approach is based on the view that the most

important purpose of evaluation is not to prove but improve.” Konsep tersebut

ditawarkan oleh Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi untuk memperbaiki.

Gambar

Table 1 Model Evaluasi Program Stuffelbeam
Gambar 3 Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia
Gambar 4 Kerangka Pemikiran
Gambar 5 Peta Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Laju aliran yang kuat dari trailling edge daun propeller akan diubah oleh Propeller Boss Cap Fins untuk mengurangi komponen yang berputar, Gambar 2.5 menunjukkan

Dari stasiun tersebut diperoleh data berupa kecepatan, lama hembus dan arah angin.Meskipun lama hembus dan arah angin merupakan data yang penting dalam

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Teratogenik Ekstrak

Koefisien transformasi regresi X2 untuk variabel DR adalah sebesar 0,748 Nilai koefisien menunjukkan bahwa a p a b i l a n i l a i DR meningkat satu satuan maka Return

Bersama ini menyatakan setuju untuk melepaskan dan membebaskan, dan akan mengganti kerugian dan tidak akan menuntut IBLCE, serta pemegang jabatan, para direktur, anggota

Menurut peneliti dengan menanamkan kebiasaan untuk tampil didepan umum seperti, ceramah, menghapal, menulis, diskusi adalah upaya yang sangat bagus yang dilakukan oleh

(6) Penyediaan akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf f, merupakan usaha yang menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan

[r]