• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinerja Keuangan Perempuan Wirausaha “Gurem”: Kajian Eksperimental di Desa Lingkar Kampus IPB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kinerja Keuangan Perempuan Wirausaha “Gurem”: Kajian Eksperimental di Desa Lingkar Kampus IPB"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

KINERJA KEUANGAN PEREMPUAN WIRAUSAHA “GUREM”:

KAJIAN EKSPERIMENTAL DI DESA LINGKAR KAMPUS IPB

ROSANA PODESTA S

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kinerja Keuangan Perempuan Wirausaha “Gurem”: Kajian Eksperimental di Desa Lingkar Kampus IPB adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015 Rosana Podesta S NIM H351120031

(4)
(5)

RINGKASAN

ROSANA PODESTA S. Kinerja Keuangan Perempuan Wirausaha “Gurem”: Kajian Eksperimental di Desa Lingkar Kampus IPB. Dibimbing oleh SUHARNO dan SITI JAHROH.

Pelaku ekonomi rakyat, khususnya perempuan sering mengalami kesulitan jika berhadapan dengan lembaga finansial. Terdapat lima permasalahan yang dihadapi perempuan wirausaha dalam menjalankan usahanya yaitu (1) kesulitan mengakses keuangan, (2) kesulitan mengakses pasar, (3) kesulitan mengakses pelatihan, (4) kesulitan mengakses jaringan dan informasi dan (5) kesulitan mengakses kebijakan publik. Para perempuan wirausaha tersebut tidak memiliki akses yang memadai untuk mendapatkan pelatihan di bidang pemasaran, tata buku dan keterampilan manajerial. Selain itu, tidak memiliki jaringan dan informasi usaha yang dapat menjadi bekal dalam menghadapi persaingan serta perubahan dalam permintaan konsumen dan teknologi. Hal ini karena perempuan wirausaha dianggap tidak layak, lokasi usaha yang terpencil, tidak memiliki jaminan dan berbagai isu gender lain. Selain itu juga dikarenakan tingkat pengetahuan perempuan wirausaha yang masih terbatas dalam mengakses ke lembaga keuangan.

Kondisi ini semakin diperparah karena banyak usaha perempuan wirausaha tersebut yang tidak terjangkau oleh institusi formal baik pemerintah maupun lembaga keuangan, misalnya Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR merupakan kredit program yang dicanangkan pemerintah untuk penduduk miskin, akan tetapi dalam kenyataan, operasional di lapangan menunjukkan bahwa akses KUR tidak mudah seperti yang dikampanyekan. Proses reguler perbankan masih diterapkan sehingga tidak memungkinkan bagi kelompok mikro (lebih tepatnya

disebut kelompok “gurem”) untuk mengakses kredit program KUR. Hal ini diakibatkan skala usaha yang sangat kecil bahkan dapat dikatakan “gurem”. Oleh karena itu dalam rangka perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi, Departemen Agribisnis menginisiasi penyaluran kredit program kepada perempuan wirausaha di sekitar lingkungan kampus IPB. Kredit program tersebut diberi nama Mitra AGB yang bekerja sama dengan NICHE (The Netherlands Initiative for Capacity Development in Higher Education) sebagai pemilik dana.

Indikator keberhasilan program Mitra AGB ditunjukkan antara lain dengan peningkatan omzet sebelum dan sesudah menerima penyaluran kredit serta kelancaran dalam pengembalian kredit yang diberikan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja keuangan perempuan wirausaha “gurem” setelah menerima kredit program Mitra AGB dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit program Mitra AGB.

(6)

Leuwikopo, Cangkurawok, Sengked) dan Desa Balumbang Jaya (Babakan Lio). Waktu penelitian dilakukan dari November 2013 hingga akhir Maret 2014 dengan total 30 responden. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk menggambarkan karakteristik individu dan karakteristik usaha. Sedangkan metode analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis kinerja usaha responden sebelum dan sesudah menerima kredit (menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank) serta tingkat kelancaran pengembalian kredit (menggunakan metode regresi logistik).

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon Signed Rank, terdapat perbedaan omzet responden sebelum dan sesudah menerima kredit program Mitra AGB. Hal yang menarik disini adalah omzet rata-rata yang diperoleh perempuan wirausaha program Mitra AGB justru mengalami penurunan sesudah menerima kredit dari Rp328 500 per hari menjadi Rp279 185 per hari. Kondisi ini dimungkinkan karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa kredit yang diberikan tidak semuanya dialokasikan untuk usaha. Menurut beberapa pengakuan responden, kredit yang diberikan tersebut sebagian digunakan untuk membayar sekolah anak dan uang pengobatan anak yang sakit. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu kegagalan program kredit yang dilakukan pemerintah adalah tidak adanya pemisahan yang jelas antara kredit produktif dan kredit konsumtif. Akibatnya kredit yang seharusnya memiliki efek multiplier karena perputaran usaha tidak teroptimalkan dengan sebagaimana mestinya karena digunakan untuk kebutuhan lain yang tidak ada hubungannya dengan usaha.

Variabel omzet usaha ditemukan berkorelasi positif dan berpengaruh nyata terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit. Dengan demikian semakin besar omzet yang diperoleh maka akan mendorong tingkat pengembalian kredit menjadi semakin lancar. Hal ini menunjukkan bahwa omzet berbanding lurus dengan tingkat pengembalian kredit. Sementara usia dan tingkat pendidikan formal tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit. Secara keseluruhan kredit yang diberikan belum mampu meningkatkan omzet dan skala usaha perempuan wirausaha

(7)

SUMMARY

ROSANA PODESTA S. Financial Performance of “Gurem” Women Entrepreneurs: an Experimental Study in the Circle Campus of Bogor Agricultural University. Supervised by SUHARNO and SITI JAHROH.

Economic actors, especially for women often have difficulties when dealing with financial institutions. There are at least five problems faced by women entrepreneurs: (1) difficulty to access finance, (2) difficulty to access markets, (3) difficulty to access training, (4) difficulty to access network and information and (5) difficulty to access public policy. The women entrepreneurs did not have adequate access to training in the areas of marketing, accounting and managerial skills. Women entrepreneurs do not have any network and business information that can be equipped for facing the competition and changes in consumer demand and technology. Difficulty of women entrepreneurs in accessing financial resources is due to being unfit, remote location of business, no collateral and also various gender issues. In addition, the level of knowledge of women entrepreneurs is still limited in terms of access to financial institutions.

These conditions became worse when many women entrepreneurs are not covered by formal institutions, neither government nor financial institutions such as Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR is a credit program launched by the government for the poor, but in fact, operating in the field showed the access to KUR not as easy as it campaigned. Banking regular process still applied, so that was not easy for micro group (more accurately called the "gurem") to access credit KUR program. This caused a very small-scale enterprises can even say "gurem". Therefore, in order to implement Tri Dharma University, Department of Agribusiness initiated an experimental research about financing for women entrepreneurs around campus IPB. The program called Mitra AGB which cooperation with NICHE (The Netherlands Initiative for Capacity Development in Higher Education) as the donor of the funds.

Success indicators of program Mitra AGB are increasing sales of women entrepreneurs before and after receiving credit program as well as the level of loan repayment. Therefore, this study aims to analyze the financial performance of women entrepreneurs "gurem" after receiving the credit program Mitra AGB and to analyze the factors that influence the level of loan repayment of program "Mitra AGB ".

(8)

credit (using the Wilcoxon Signed Rank test) and the level of loan repayment (using logistic regression method).

Based on the results of the Wilcoxon Signed Rank test, there are sales differences before and after receiving credit Mitra AGB. The interesting point is the average sales that obtained by women entrepreneurs program Mitra AGB has decreased after receiving the credit from IDR 328 500 per day to IDR 279 185 per day. This might be due to the facts that not all loans allocated to business. According to some respondents, loans are mostly used to pay for school and hospital cost for children’s treatment. As has been mentioned before that one of the failure of the government's loan program is there is no clear separation between productive credit and consumtive credit. As a result, credit which should has a multiplier effect do not optimized properly because it is used for other purposes that has nothing connection with the business.

Business sales variables correlate positively and significantly affecting the level of loan repayment. Thus, increasing sales will encourage the level of loan repayment. This shows that sales is also directly proportional to the level of loan repayment. While age and level of formal education did not significantly affect the level of loan repayment. Overall loans have not been able to increase sales and scale of business women entrepreneurs.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

KINERJA KEUANGAN PEREMPUAN WIRAUSAHA

“GUREM”

:

KAJIAN EKSPERIMENTAL DI DESA LINGKAR KAMPUS IPB

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

(12)
(13)

Judul Tesis: Kinerja Keuangan Perempuan Wirausaha “Gurem”: Kajian Eksperimental di Desa Lingkar Kampus IPB

Nama : Rosana Podesta S NIM : H351120031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Suharno, MADev Ketua

Dr Siti Jahroh Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 25 November 2014

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul Kinerja Keuangan Perempuan Wirausaha

“Gurem”: Kajian Eksperimental di Desa Lingkar Kampus IPB dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian tesis ini, antara lain:

1. Dr Ir Suharno, MADev, selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr Siti Jahroh selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam berbagi ilmu dan pengalaman, serta atas dukungan selama melakukan bimbingan kepada penulis sejak penyusunan proposal dan pelaksanaan penelitian di lapangan hingga selesainya penulisan tesis ini.

2. Dr Ir Dwi Rachmina, MSi selaku dosen penguji luar komisi dan Dr. Amzul Rifin, SP, MA selaku dosen penguji perwakilan program studi pada ujian tesis atas masukan dan sarannya dalam rangka penyempurnaan tesis ini.

3. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis dan Dr Ir Suharno, MAdev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis, serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas dorongan semangat, bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan pada Program Studi Agribisnis.

4. NICHE Program (The Netherlands Initiative for Capacity Development in Higher Education) yang telah bersedia bekerja sama sebagai pemilik dana.

5. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan Beasiswa Unggulan Dalam Negeri (BU-DN) kepada penulis.

6. Ayahanda dan Ibunda tercinta, H Sukari Sofyan dan Hj Roslina, atas doa dan dukungannya yang tak pernah berhenti untuk penulis, serta saudara kandung penulis, Yuhdi S dan Agusnita S, atas perhatiannya selama ini. 7. Teman-teman Angkatan III Program Studi Agribisnis atas diskusi dan

masukan selama mengikuti pendidikan. Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015

(16)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xix

DAFTAR GAMBAR xix

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Aksesibilitas Perempuan Wirausaha terhadap Sumberdaya Keuangan 6

Kredit untuk Perempuan Wirausaha 8

Peranan Kredit dalam Peningkatan Kinerja Perempuan Wirausaha 10 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengembalian Kredit 12 3 KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 14 Konsep Usaha Mikro Kecil Menengah dan Kewirausahaan 14

Konsep Kredit dan Penggolongan Kredibilitasnya 18

Konsep Kinerja Keuangan 20 Konsep Biaya Modal 22 Kerangka Pemikiran Operasional 23 Hipotesis 25

4 METODE PENELITIAN 25

Lokasi dan Waktu Penelitian 25

Teknik Pengumpulan Data dan Penarikan Sampel 26

Analisis Data 27

Definisi Operasional 29

5 KARAKTERISTIK UMUM LOKASI PENELITIAN 30

Kondisi Geografis Desa Babakan dan Balumbang Jaya 30 Sosial Ekonomi Desa Babakan dan Balumbang Jaya 30 Infrastruktur Desa Babakan dan Balumbang Jaya 32 7 KREDIT PROGRAM MITRA AGB 33

7 KARAKTERISTIK RESPONDEN 37

Karakteristik Individu 38 Karakteristik Usaha 42 8 KINERJA KEUANGAN PEREMPUAN WIRAUSAHA "GUREM" 44 Omzet Usaha Perempuan Wirausaha "Gurem" 44 Struktur Biaya Perempuan Wirausaha "Gurem" 46 Biaya Modal Perempuan Wirausaha "Gurem" 47

Uji Beda Omzet Usaha Rata-Rata Harian 49

(17)

9 KESIMPULAN DAN SARAN 55

Kesimpulan 55

Saran 55

DAFTAR PUSTAKA 56

LAMPIRAN 61

(18)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan struktur tenaga kerja perempuan Indonesia sektor

formal dan informal tahun 2009 2

2 Jumlah penduduk Desa Babakan menurut kelompok umur 31

3 Rincian komponen angsuran program Mitra AGB 34

4 Sebaran usia responden terhadap omzet usaha 38

5 Sebaran pendidikan formal responden terhadap omzet usaha 39 6 Sebaran pengalaman usaha responden terhadap omzet usaha 40 7 Sebaran curahan jam kerja responden terhadap omzet usaha 41 8 Sebaran lokasi usaha responden terhadap omzet usaha 42 9 Sebaran status usaha responden terhadap omzet usaha 43 10 Sebaran kontribusi suami responden terhadap omzet usaha 43 11 Sebaran omzet perempuan usaha “gurem” berdasarkan jenis usaha 44 12 Struktur biaya rata-rata perempuan wirausaha “gurem” penerima

kredit program Mitra AGB (dalam Rp) 47

13 Hasil uji Wilcoxon Signed Rank perempuan wirausaha kredit

program Mitra AGB 49

14 Sebaran perkembangan omzet perempuan wirausaha “gurem”

sebelum dan sesudah menerima kredit 49

15 Hasil uji statistik faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kelancaran pengembalian kredit program Mitra AGB 51 16 Sebaran omzet perempuan usaha “gurem” berdasarkan status

pengembalian kredit 52

17 Sebaran usia perempuan usaha “gurem” berdasarkan status

pengembalian kredit 53

18 Sebaran tingkat pendidikan formal perempuan usaha “gurem”

berdasarkan status pengembalian kredit 53

19 Sebaran pengalaman perempuan usaha “gurem” berdasarkan status

pengembalian kredit 54

20 Sebaran dummy pinjaman kredit perempuan usaha “gurem”

berdasarkan status pengembalian kredit 55

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur pelaku usaha di Indonesia 16

2 Kerangka pemikiran operasional 25

3 Desain kredit program Mitra AGB 37

4 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan 40 5 Rata-rata profit harian perempuan wirausaha "gurem" 48 6 Perkembangan omzet responden sebelum dan sesudah menerima

penyaluran kredit program Mitra AGB 50

DAFTAR LAMPIRAN

1 Output uji Wilcoxon Signed Rank 61

(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rasio jumlah penduduk perempuan Indonesia relatif seimbang dengan rasio jumlah penduduk laki-laki sebesar 49.65 persen berbanding 50.35 persen (BPS 2013). Akan tetapi sangat disayangkan karena potensi kuantitatif ini belum diimbangi dengan potensi kualitatif. Data publikasi UNDP tahun 2014 menunjukkan bahwa Human Development Index (HDI) Indonesia pada tahun 2012 berada di urutan ke-121 dari 186 seluruh negara di dunia dengan nilai 0.629. Urutan ini naik tiga peringkat dari tahun sebelumnya 2011, meskipun begitu Indonesia masih berada di bawah Thailand dan Philipina. Sementara nilai Gender Inequality Index (GII) Indonesia sebesar 0.494. Fakta ini menunjukkan bagaimana rendahnya kualitas hidup perempuan dan masyarakat Indonesia yang sebenarnya merupakan aset bagi kontribusi pembangunan nasional. Namun dilain pihak, fakta menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan dapat menjadi pelaku yang patut diperhitungkan bagi pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap meningkat rata-rata di atas 6 persen pada 9 tahun terakhir dan pada tahun 2013 sebesar 5.7 persen1. Artinya, masih tetap berada di posisi 2 terbaik diantara negara-negara G20. Hal ini didorong oleh peran wirausaha kaum perempuan. Lebih lanjut, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2012a) menyatakan bahwa lebih dari 30 juta pengusaha mikro, kecil dan menengah, 60 persennya merupakan perempuan. Oleh karena itu, dinamika perkembangan UMKM di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari perempuan sebagai subjek baik sebagai pemilik maupun manajer bersama suami. Data BPS (2013) menyatakan bahwa sebanyak 31.44 persen wirausaha mikro dan kecil adalah perempuan. Meskipun begitu, belum ditemukan data pasti berapa jumlah riil perempuan wirausaha di Indonesia termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Urusan Koperasi dan UKM.

UMKM di negara berkembang, termasuk Indonesia, banyak didominasi oleh perempuan dengan melakukan kegiatan ekonomi informal di luar rumah. Kegiatan ekonomi informal tersebut seperti menjadi pedagang kecil, pemilik warung dan membantu suami mengelola usaha rumah tangga yang bertujuan untuk menambah pendapatan keluarga (Tambunan 2012). Tabel 1 menunjukkan persentase perempuan yang bekerja di sektor informal. Proporsi tenaga kerja perempuan di sektor informal tersebut ternyata mencakup 70 persen dari keseluruhan tenaga kerja perempuan. Besarnya kaum perempuan yang bekerja di sektor informal memunculkan dua indikasi (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2012a). Pertama, masih banyak dijumpai adanya keterbatasan-keterbatasan akses kaum perempuan untuk masuk ke dalam sektor formal walaupun kebijakan kesetaraan gender telah lama dilaksanakan.

1

Menkop:Perempuan Lebih Profesional Kelola Koperasi dan Keuangan Usaha. [Internet]. Jakarta (ID): KUKM; [diunduh 2014 Des 8]. Tersedia pada:

(20)

Kedua, kaum perempuan sendiri yang lebih memilih masuk ke sektor informal, dengan pertimbangan (di luar pertimbangan ekonomi) adanya kemudahan, keleluasaan dan fleksibilitas kerja di sektor informal yang tidak mungkin diperolehnya ketika bekerja di sektor formal. Hal ini menjadi pertimbangan mengingat tugas domestik yang harus dilakukan sebagai seorang istri dan atau ibu.

Tabel 1 Persentase struktur tenaga kerja perempuan Indonesia sektor formal dan informal tahun 2009

Provinsi Informal (%) Formal (%)

Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan

Aceh 56.93 65.58 43.07 34.42

Sumatera Utara 57.87 69.77 42.13 30.23

Sumatera Barat 64.96 68.86 35.04 31.14

Riau 57.28 62.08 42.72 37.92

Jambi 61.48 68.74 38.52 31.26

Sumatera Selatan 68.71 73.15 31.29 26.85

Bengkulu 69.31 77.12 30.69 22.88

Lampung 71.18 74.21 28.82 25.79

Kepulauan Bangka Belitung

50.01 63.46 49.99 36.54

Kepulauan Riau 35.22 33.33 64.78 66.67

DKI Jakarta 31.01 29.95 68.99 70.05

Jawa Barat 55.60 55.68 44.40 44.32

Jawa Tengah 64.17 63.87 35.83 36.13

Yogyakarta 53.19 56.14 46.81 43.86

Jawa Timur 63.13 66.45 36.87 33.55

Banten 47.08 46.43 52.92 53.57

Bali 55.01 64.34 44.99 35.66

Nusa Tenggara Barat 69.27 76.92 30.73 23.08

Nusa Tenggara Timur 77.92 84.77 22.08 15.23

Kalimantan Barat 66.55 79.66 33.45 20.34

Kalimantan Tengah 62.23 72.66 37.77 27.34

Kalimantan Timur 44.34 53.30 55.66 46.70

Sulawesi Utara 61.07 56.91 38.93 43.09

Sulawesi Tengah 72.59 71.30 27.41 28.70

Sulawesi Selatan 64.35 67.75 35.65 32.25

Sulawesi Tenggara 66.85 72.35 33.15 27.65

Gorontalo 69.62 59.55 30.38 40.45

Sulawesi Barat 69.81 74.20 30.19 25.80

Maluku 69.67 77.37 30.33 22.63

Maluku Utara 69.47 75.31 30.53 24.69

Papua Barat 63.58 74.00 36.42 26.00

Papua 75.55 86.95 24.45 13.05

Indonesia 60.09 63.98 39.91 36.02

(21)

Perkembangan dan partisipasi perempuan sebagai pelaku UMKM tersebut berpotensi sebagai motor pendorong proses pemberdayaan perempuan dan transformasi sosial. Hal ini sesuai dengan refleksi tujuan yang ingin dan harus dicapai Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 mendatang. Adapun beberapa tujuan dari MDGs yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrim dan mewujudkan pendidikan dasar bagi semua.

Berkaitan dengan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, Perguruan Tinggi merupakan salah satu institusi pendidikan yang turut berperan dalam pembangunan nasional. Selain itu, termaktub dalam UU Republik Indonesia No. 12 Tahun 2012 bahwa tujuan pendidikan tinggi adalah terwujudnya pengabdian kepada masyarakat yang berbasis penalaran dan karya penelitian sehingga dapat dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, Institut Pertanian Bogor merupakan stakeholder yang diharapkan mampu melakukan pengabdian dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi.

IPB dalam menjalankan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi ditunjukkan dengan peran sebagai knowledge production, knowledge transmission dan knowledge transfer. Hal ini menunjukkan bahwa sumbangsih terbesar dari Perguruan Tinggi, dalam hal ini IPB untuk pengembangan masyarakat adalah pengetahuan (knowledge). Oleh karena itu, dengan ekonomi berbasis pengetahuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kampus IPB. Apalagi IPB memiliki program studi Agribisnis yang juga memiliki visi untuk mendukung pembangunan berkelanjutan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyakat.

Kehadiran program studi Agribisnis dan IPB bersinergi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kampus melalui pemberdayaan perempuan sebagai fokus utamanya. Para perempuan tersebut tidak bekerja di luar rumah seperti suami sehingga relatif memiliki banyak waktu luang yang dapat dimanfaatkan untuk menambah penghasilan keluarga. Meskipun begitu, kegiatan usaha yang dijalankan oleh perempuan ini masih mengalami banyak kendala. Salah satu kendala utama bagi perempuan dalam pengembangan usaha yaitu kemampuan mengakses permodalan (Pines et al. 2010; Welsh dan Dragusin 2006; Alam et al. 2012). Lebih lanjut kendala terbesar yang dihadapi oleh perempuan wirausaha mikro, kecil dan menengah menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2012a) pada umumnya adalah aspek pemasaran, permodalan, sumber daya manusia dan teknologi serta rendahnya penguasaan perempuan terhadap aset produksi.

(22)

Perumusan Masalah

Kredit lebih baik ditujukan kepada perempuan daripada laki-laki karena karakteristik perempuan yang lebih tangguh bertahan terhadap kemiskinan. Perempuan lebih potensial dalam memulai dan mengembangkan suatu usaha. Selain itu biasanya perempuan juga yang mengusahakan UMKM dan UKM (Lokhande 2008). Begitu pula dengan data Grameen Bank yang dipelopori Muhammad Yunus yang menunjukkan bahwa 98 persen nasabahnya merupakan perempuan (Alam dan Getubig 2010). Hal ini karena perempuan dikenal tekun, pandai memanfaatkan waktu luang dan kesempatan, gigih berusaha untuk menambah pendapatan keluarga, pandai dalam pengelolaan keuangan, pemasaran dan pengelolaan perusahaan kecil yang bersifat rumah tangga. Sementara itu jika dikaji dari sudut pandang nilai-nilai budaya Indonesia, tradisi dan agama Islam, lebih mudah bagi kaum wanita, khususnya yang sudah bersuami untuk melakukan jenis kegiatan tersebut yang bisa dilakukan di dalam rumah sendiri dibandingkan jenis industri padat karya lainnya seperti meubel, material bangunan dan lain-lain.

Selama ini pelaku ekonomi rakyat memang sering mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan lembaga finansial, terutama bagi para perempuan (Wube 2010; Tambunan 2012; Das 2000; Hossan dan Knight 2008). Sebenarnya tidak hanya perempuan wirausaha saja yang mengalami kesulitan dalam dunia perkreditan, hampir semua pelaku ekonomi rakyat berskala kecil sering kesulitan berhadapan dengan lembaga finansial. Upaya pemerintah mengembangkan kredit bagi usaha kecil bukan tidak pernah dilakukan, bahkan sudah banyak dilakukan dengan berbagai paket bantuan kredit. Namun demikian, pihak perbankan sebetulnya juga memiliki berbagai kendala dalam melayani wirausaha kecil seperti misalnya biaya transaksi masih relatif tinggi (Dirlanuddin 2010).

(23)

publik. Perusahaan-perusahaan besar dan laki-laki dapat lebih mudah dalam mempengaruhi dan mengakses kebijakan publik.

ILO (2003b) juga menyatakan bahwa perempuan tidak memiliki akses yang memadai untuk mendapatkan pelatihan di bidang pemasaran, tata buku dan keterampilan manajemen. Selain itu, tidak memiliki jaringan dan informasi usaha yang dapat menjadi bekal dalam menghadapi persaingan serta perubahan dalam permintaan konsumen dan teknologi. Perempuan wirausaha tersebut menghadapi kesulitan untuk memperoleh kredit, terutama jika apa yang diminta melebihi apa yang dapat ditawarkan oleh koperasi dan lembaga kredit mikro lainnya.

Kesulitan perempuan wirausaha dalam mengakses sumber daya termasuk sumber daya keuangan karena dianggap tidak layak, lokasi terpencil, tidak ada jaminan dan berbagai isu gender lain (Ratnawati 2011). Selain itu juga dikarenakan tingkat pengetahuan perempuan wirausaha yang masih terbatas dalam mengakses ke lembaga keuangan (MCC 2014). Beberapa penelitian yang memperkuat dugaan bahwa aksesibilitas kredit antara laki-laki dan perempuan berbeda. Penelitian ILO (2006a) terhadap perempuan wirausaha di Provinsi NAD menunjukkan bahwa ada kecendrungan bank tidak menganggap usaha perempuan dengan serius. Para bankir mengikuti persepsi masyarakat dan cenderung melihat usaha para perempuan sebagai usaha tambahan bagi pendapatan suami. Oleh karenanya menjadi lebih skeptis dalam menyetujui pengajuan pinjaman dari perempuan. Kondisi ini didukung oleh penelitian Anggraini dan Nasution (2013) yang menyatakan bahwa perempuan yang menjadi debitur KUR BRI di Kota Medan sebesar 44.78 persen.

Kondisi ini semakin diperparah karena banyak usaha perempuan wirausaha tersebut yang sulit terjangkau oleh institusi formal baik pemerintah maupun lembaga keuangan. Penelitian Hudiyanto (2010) menyatakan bahwa meskipun KUR dicanangkan untuk penduduk miskin, dalam kenyataan, operasional di lapangan menunjukkan akses bagi KUR tidak semudah seperti yang dikampanyekan. Proses reguler perbankan masih diterapkan sehingga tidak

memungkinkan bagi kelompok mikro (lebih tepatnya disebut kelompok “gurem”)

untuk mengakses kredit program KUR. Hal ini diakibatkan skala usaha yang

sangat kecil bahkan dapat dikatakan “gurem”. Oleh karena itu, Departemen Agribisnis menginisiasi eksperimental riset tentang penyaluran kredit program yang diberi nama Mitra AGB. Program ini bekerja sama dengan NICHE (The Netherlands Initiative for Capacity Development in Higher Education) sebagai pemilik dana.

Kredit program Mitra AGB ini disalurkan kepada perempuan wirausaha di sekitar lingkungan kampus IPB tepatnya Desa Babakan dan Desa Balumbang Jaya. Hal ini bertujuan untuk pengembangan usaha perempuan wirausaha yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja keuangan usaha yaitu omzet usaha. Indikator keberhasilan program Mitra AGB ditunjukkan antara lain dengan peningkatan omzet usaha sebelum dan sesudah menerima penyaluran kredit serta kelancaran dalam pengembalian kredit yang diberikan. Apabila omzet usaha yang

diperoleh perempuan wirausaha “gurem” meningkat maka kecendrungan tingkat

pengembalian kredit juga akan lancar. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

(24)

2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit program Mitra AGB?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Menganalisis kinerja keuangan perempuan wirausaha “gurem” sebelum dan sesudah menerima kredit program Mitra AGB.

2. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap tingkat kelancaran pengembalian kredit program Mitra AGB.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu :

1. Membantu perempuan wirausaha “gurem” untuk meningkatkan omzet usaha bahkan skala usaha.

2. Bahan pertimbangan dalam merumuskan program pemberdayaan perempuan wirausaha “gurem” yang tepat.

3. Sebagai desain advokasi dalam pengembangan perempuan wirausaha

“gurem”.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup yang menjadi fokus penelitian ini adalah pemberian kredit program Mitra AGB kepada perempuan wirausaha yang melakukan aktivitas ekonomi di desa lingkar kampus IPB. Selanjutnya akan dilihat dampak omzet usaha perempuan wirausaha sebelum dan sesudah pemberian kredit. Oleh karena itu, ukuran kinerja keuangan yang digunakan sebagai bahan analisa usaha

“gurem” adalah omzet usaha. Adapun desa lingkar kampus IPB yang dipilih yakni Desa Babakan (Babakan Raya, Leuwikopo, Cangkurawok, Sengked) dan Desa Balumbang Jaya (Babakan Lio). Selanjutnya, kriteria pemilihan responden didasarkan pada jenis usaha yang berbasis pertanian dengan perputaran cepat yaitu harian.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Aksesibilitas Perempuan Wirausaha terhadap Sumber daya Keuangan

(25)

dengan melakukan kegiatan ekonomi di luar rumah. Kegiatan ekonomi tersebut seperti menjadi pedagang kecil, pemilik warung dan membantu suami mengelola usaha rumah tangga yang bertujuan untuk menambah pendapatan keluarga (Tambunan 2002). Dengan kata lain, keberadaan perempuan tetap menjadi poin kunci tidak hanya di lingkup keluarga dan masyarakat tapi juga negara. Akan tetapi belum terdapat data pasti berapa jumlah riil perempuan wirausaha di Indonesia termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan serta Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM. Selain itu perempuan wirausaha yang menjalankan UMKM juga masih dihadapkan pada banyak kendala.

Sebagai pelaku usaha mikro dan kecil, perempuan Indonesia menghadapi persoalan yang digolongkan menjadi dua hal yaitu persoalan teknis usaha dan struktural (Herawati et al. 2009). Dalam persoalan teknis usaha perempuan menghadapi hambatan yang sama dengan pelaku usaha mikro pada umumnya. Kekurangan modal, terbatasnya jaringan pasar, keterbatasan penguasaan teknologi yang tepat guna dan terbatasnya penguasaan keterampilan manajemen serta penguasaan teknis produksi adalah contoh problema terkait dengan teknis usaha. Sementara persolan struktural yaitu adanya beragam aturan yang kurang kondusif bagi perempuan untuk pengembangan usahanya. Misalnya, perbankan dan institusi lain terkait pemberian layanan kredit dan program yang menekankan pada kepala keluarga sebagai penerima manfaat.

Kondisi di atas didukung oleh penelitian Treichel dan Scott (2006) di AS tentang akses perbankan oleh perempuan wirausaha dengan tiga periode waktu 1987, 1995 dan 2001. Hasilnya menunjukkan bahwa porsi perempuan wirausaha untuk mengajukan pinjaman kepada pihak perbankan lebih kecil daripada laki-laki. Hal ini dapat dikaitkan dengan keyakinan yang dimiliki oleh perempuan itu sendiri ketika mengajukan pinjaman serta kemungkinan akan menghadapi diskriminasi dari pihak perbankan. Padahal hasil penelitian tersebut membuktikan gender tidak berpengaruh terhadap persetujuan atau penolakan atas pengajuan kredit perbankan. Hal ini dapat dipahami karena dalam pemberian kredit, perbankan sangat mempertimbangkan konsep 6C yaitu character, capacity, capital, collateral, condition of economic dan constraint. Akan tetapi usaha yang dijalankan oleh perempuan menerima jumlah pinjaman yang lebih kecil daripada usaha yang dijalankan laki-laki. Hal tersebut menjelaskan bahwa usaha yang paling sering ditekuni oleh perempuan adalah bisnis jasa dan ritel. Selain itu adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam menyikapi dana eksternal khususnya hutang. Jika usaha perempuan membutuhkan dana eksternal, maka para perempuan akan meminjam yang besarnya hanya sebatas untuk mengamankan usahanya. Lain halnya dengan para laki-laki, hal ini kemungkinan terkait dengan sikap risk taker para laki-laki yang lebih dominan daripada perempuan.

(26)

dengan serius. Para bankir mengikuti persepsi masyarakat dan cenderung melihat usaha para perempuan sebagai usaha tambahan bagi pendapatan suami. Oleh karenanya menjadi lebih skeptis dalam menyetujui pengajuan pinjaman dari perempuan. Senada dengan penelitian Anggraini dan Nasution (2013) yang menunjukkan bahwa perempuan yang menjadi debitur KUR BRI di Kota Medan sebesar 44.78 persen.

Kredit untuk Perempuan Wirausaha

Upaya pemerintah untuk mengembangkan kredit bagi usaha kecil bukan tidak pernah dilakukan. Berbagai macam model, pendekatan, metode dan cara telah dilakukan seperti misalnya melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Kredit Keluarga Sejahtera (KUKESRA). Bahkan melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1232/1989, BUMN wajib menyisihkan 1-5 persen dari laba untuk pembinaan usaha kecil dan koperasi. Program pemberdayaan yang dimaksud antara lain Program Pembinaan dan Peningkatan Petani dan Nelayan Kecil (P4NK), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Sementara di bidang perkreditan, pemerintah telah mencanangkan berbagai kredit agar bisa diakses untuk usaha kecil seperti Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Kelayakan Usaha (KKU), Kredit Modal Permanen (KMP), Kredit Usaha Kecil (KUK) (Purwanto 2007).

Pihak perbankan juga memiliki berbagai kendala dalam melayani wirausaha kecil seperti misalnya biaya transaksi masih relatif tinggi (Dirlanudin 2010). Hal ini karena lokasi nasabah pada umumnya sulit dijangkau akibat kurangnya jaringan kerja perbankan. Mekanisme perbankan konvensional yang mewajibkan agunan dan persyaratan administratif yang cukup ketat juga

menyulitkan pelaku usaha mikro bahkan “gurem” untuk mengakses dana perbankan (Wube 2010). Selain itu, yang perlu digarisbawahi adalah perbankan merupakan lembaga yang berorientasi profit dengan biaya minimum. Oleh karenanya perbankan cenderung akan memprioritaskan pelayanan kepada usaha skala besar daripada usaha skala kecil (Firmansyah 2000). Oleh karena itu, untuk mempermudah akses ke perbankan, pemerintah mengeluarkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada 5 November 2007.

KUR menyediakan jaminan kredit pemerintah bagi usaha yang sebenarnya layak (feasible) tetapi tidak bankable (Hariyanto dan Prasetyo 2010). Realisasi KUR hingga akhir tahun 2011 mencapai Rp63.4 triliun yang diberikan kepada 5 722 470 debitur dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebagai penyerap terbesar KUR (69%). Sementara sektor pertanian hanya menyerap 19 persen dari total kredit yang disalurkan. Dominasi sektor perdagangan menunjukkan kondisi yang belum ideal mengingat mayoritas masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor pertanian. Selain itu, sebaran wilayah penyerapan KUR masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Oleh karena itu, kedepannya diharapkan Bank Pembangunan Daerah dapat meningkatkan penyaluran KUR di luar Pulau Jawa.

(27)

2010). Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa upaya tersebut belum mampu meningkatkan skala usaha wirausaha kecil padahal paket kebijakan dan aneka program telah dilakukan? Menurut Purwanto (2007) hal ini terjadi salah satunya karena umumnya program tersebut diberikan kepada masyarakat miskin yang tidak paham bagaimana cara mengelola kredit yang diberikan pemerintah. Alhasil bantuan kredit tersebut berdampak negatif karena dimanfaatkan bukan untuk kebutuhan produktif yang memberikan nilai tambah. Bahkan seringkali digunakan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan yang bersifat konsumtif. Oleh karena itu, salah satu kelemahan Kredit Usaha Kecil (KUK) adalah tidak adanya pembedaan secara tegas antara kredit untuk keperluan konsumtif dengan kredit usaha produktif. Akibat kesulitan mengakses dana baik dari perbankan maupun pemerintah, maka banyak bermunculan lembaga keuangan ilegal seperti rentenir. Lembaga keuangan ilegal ini sangat diminati oleh masyarakat menengah kebawah karena mudah dalam proses pinjaman meskipun suku bunganya sangat tinggi. Hal ini terjadi karena pelaku usaha tidak memiliki pilihan jalan lain selain menjaga keberlangsungan usahanya.

Menyadari akan kesulitan yang dihadapi oleh pelaku usaha miskin, Prof. Muhammad Yunus mendesain konsep perbankan yang dirancang khusus untuk rakyat miskin di pedesaan Bangladesh yaitu Grameen Bank. Keberhasilan Grameen Bank mengurangi kemiskinan di Bangladesh, membuat pola ini banyak diadopsi hampir di seluruh negara di dunia (Akpan 2005; Firmansyah 2000; Sarker 2001). Hal ini karena pola Grameen Bank memiliki keunggulan dibandingkan prosedur dan sistem kerja perbankan konvensional (Aubuchon dan Sengupta 2008; Thoha 2000; Alam dan Getubig 2010). Pertama, transaksi pada bank konvensional berupa dokumen tertulis berbentuk formulir, sementara Grameen Bank berupa formulir sederhanya yang diisi oleh petugas guna mencatat identitas nasabah. Kedua, bank konvensional mewajibkan adanya jaminan (collateral) bagi setiap calon nasabah yang mengajukan pinjaman. Besarnya nilai jaminan juga harus lebih besar dari jumlah yang akan dipinjam atau memenuhi batas minimum dari nilai kredit yang diajukan. Lain halnya dengan Grameen Bank yang sama sekali tidak memerlukan jaminan kebendaan. Dalam hal ini yang dilakukan adalah menetapkan batas maksimum bagi pendapatan atau kekayaan terhadap calon debitur. Apabila penilaian menunjukkan bahwa calon debitur betul-betul hidup di bawah garis kemiskinan, maka orang tersebut semakin layak untuk diberikan pinjaman. Ketiga, bank konvensional memberikan sangsi hukum bagi debitur yang gagal mengembalikan pinjaman yaitu dengan menyita Babakan Rayang jaminan. Tidak demikian halnya dengan nasabah Grameen Bank yang mengalami wanprestasi. Mempertahankan kedisiplinan anggota kelompok agar tetap tinggi melalui penguatan kelompok dan membangun hubungan yang baik antara petugas Grameen Bank dan anggota kelompok merupakan cara untuk mengantisipasi kredit macet.

(28)

dibandingkan nasabah KUKESRA. Manfaat tersebut berupa kemampuan menabung, jaringan usaha bertambah luas dan pengetahuan tentang bisnis meningkat. Catatan penting untuk model Grameen Bank ini adalah pembuktian bahwa orang-orang miskin itu bankable. Selain itu pendekatan yang diterapkan Grameen Bank merupakan pendekatan bottom-up yang berangkat dari kebutuhan rakyat kecil. Sementara kebanyakan program pemerintah lebih bersifat top-down yang belum tentu tahu pasti kondisi riil di lapangan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat.

Terlepas dari banyak kelebihan yang ditawarkan dengan pola Grameen Bank, ternyata pola tersebut memiliki beberapa kekurangan (Wahyono 2000). Pola ini kurang efektif untuk mengentaskan kemiskinan di daerah perkotaan atau pedesaan yang mata pencahariannya sebagai petani, buruh atau kegiatan usaha lain yang bersifat musiman. Ketidakcocokan untuk diterapkan di daerah perkotaan karena masyarakatnya yang cenderung individualistik, sedangkan pola Grameen Bank sangat mensyaratkan solidaritas kelompok yang kuat.

Peranan Kredit dalam Peningkatan Kinerja Perempuan Wirausaha

Peranan kredit untuk usaha dapat mendukung kelancaran arus barang dan jasa serta dapat meningkatkan produktivitas masyarakat. Secara umum pemanfaatan kredit bagi masyarakat khususnya golongan ekonomi lemah berperan dalam perbaikan kesejahteraan dan kualitas hidup. Senada dengan Alam et al. (2012) yang menyatakan bahwa kredit mikro yang diberikan kepada masyarakat miskin menjadi alat yang efektif dalam meningkatkan pendapatan melalui aktivitas ekonomi. Rachmina (1994b) juga menyatakan bahwa kredit sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi yakni dalam hal pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur ekonomi dan pengurangan jumlah kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi ditunjukkan dengan dengan adanya peningkatan output produksi. Selanjutnya peningkatan output produksi hanya dapat dicapai dengan menambah jumlah input atau menerapkan teknologi baru. Sementara penambahan jumlah input dan penerapan teknologi baru akan selalu diikuti dengan penambahan modal. Dengan kata lain, pelaksanaan pembangunan

merupakan peningkatan penggunaan modal.

(29)

memperoleh kredit (p-value < α). Hal ini menunjukkan bahwa kredit yang diberikan dapat membantu usaha kecil. Hal ini didukung oleh penelitian Putra dan Mustika (2014) tentang efektivitas program Jaminan Kredit Daerah (Jamkrida) di Kabupaten Tabanan sebesar 85.83 persen yang tergolong sangat efektif dan terjadi peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja UMKM sesudah mengikuti program Jamkrida. Lebih lanjut dijelaskan bahwa beberapa kredit dari Dinas Koperasi dan UMKM Kota Semarang masih belum tepat sasaran karena bantuan barang tersebut kurang sesuai untuk operasional usaha.

Terkait dengan peranan kredit dalam peningkatan output usaha tersebut, banyak pelaku usaha yang berusaha sedemikian rupa agar dapat mengakses kredit tersebut. Namun bagi lembaga keuangan, tidak semudah itu untuk mencairkan pembiayaan atau kredit terutama bagi pelaku usaha kecil. Hal ini karena ada prinsip yang mesti dipatuhi oleh lembaga keuangan sebelum mencairkan kredit. Prinsip 6C perbankan yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Bank Indonesia secara tidak langsung menyulitkan usaha kecil bahkan “gurem” untuk mengaksesnya. Hal ini salah satunya karena ketidakmampuan dalam memenuhi aspek collateral (Hossain dan Knight 2008). Oleh karena itu, Prof. Muhammad Yunus melalui Grameen Bank melakukan terobosan baru dengan pola kredit mikro yang sangat bersahabat dengan pelaku usaha kecil.

Menurut Woller dan Woodworth (2001), kredit mikro diartikan sebagai program berupa pinjaman lunak yang diperuntukkan bagi orang miskin untuk kegiatan produktif yang dapat menghasilkan pendapatan. Terkait dengan kegiatan produktif yang menghasilkan pendapatan, fokus kredit mikro oleh Grameen Bank sebagai lembaga keuangan mikro adalah para perempuan miskin. Hal ini karena (1) perempuan lebih sulit mengakses perbankan daripada laki-laki, (2) perempuan berdampak besar terhadap kesejahteraan keluarga melalui pengaruhnya terhadap pola konsumsi keluarga dan (3) perempuan membuktikan sebagai nasabah yang tepat waktu dalam pengembalian pinjaman. Selain itu karena lebih dari 70 persen orang miskin di seluruh dunia adalah perempuan (Alam dan Getubig 2010).

Kredit mikro yang terfokus pada pemberdayaan terhadap perempuan akan berdampak terhadap lingkungan keluarga, lingkungan sosial masyarakat bahkan perekonomian suatu negara (Quibria 2012; Alam et al. 2012). Pemberdayaan disini meliputi akses terhadap aset, pengambilan keputusan, kontrol tenaga kerja dan pendapatan, posisi yang sama dalam hukum (Rajivan 2001). Hal ini karena dengan kemampuan mengakses keuangan melalui kredit mikro maka perempuan dapat memulai kegiatan usaha kecil yang perlahan dapat menumbuhkan kepercayaan diri perempuan (Lokhande 2008). Selanjutnya akan memberikan peluang untuk meningkatkan keuangan rumah tangga sehingga dapat memenuhi kebutuhan primer, pendidikan dan kesehatan yang lebih baik bagi putra putrinya.

(30)

untuk terbebas dari tindak kekerasan yang dilakukan laki-laki khususnya suami melalui kemampuan kemandirian finansial (Lokhande 2008). Secara tidak langsung hal ini menunjukkan eksistensi dan posisi tawar perempuan sehingga tidak mudah diperlakukan semena-mena oleh orang lain terutama kaum laki-laki.

Aubuchon dan Sengupta (2008) menambahkan bahwa di negara yang tingkat kredit mikro cukup tinggi berpengaruh terhadap transformasi sosial dalam hal penurunan angka kelahiran dan peningkatan tingkat perempuan yang bisa membaca. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi disini adalah meskipun perempuan melakukan aktivitas usaha namun tetap paham akan peran utama sebagai seorang ibu di keluarga sehingga tidak mengesampingkan urusan domestik rumah tangga. Oleh karena itu, terlepas dari pengaruh positif akan pemberdayaan perempuan, kredit mikro menurut Asmorowati (2007) juga dapat membebankan perempuan itu sendiri. Hal ini terkait dengan beban ganda yang ditanggung perempuan. Selain memiliki tanggung jawab untuk urusan logistik rumah tangga, perempuan juga memiliki beban mencari nafkah yang seharusnya merupakan tanggung jawab kepala keluarga. Akibatnya perempuan harus melakukan fungsi reproduksi, produksi dan sosial di masyarakat (triple burden of women).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengembalian Kredit

Penyebab terjadinya kredit macet menurut Basu (2004) dalam Sjafitri (2011) yaitu error omission dan error commusion. Error omission terjadi karena adanya unsur kesengajaan untuk melanggar kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan. Sedangkan error commusion terjadi karena memanfaatkan lemahnya peraturan atau ketentuan yaitu memang belum ada atau sudah ada tapi belum jelas. Kredit berpotensi menjadi bermasalah dapat disebabkan oleh debitur itu sendiri, kreditur (bank) dan faktor eksternal. Lebih lanjut dikatakan menurut Rivai dalam Sari et al. (2012) terdapat faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya kredit bermasalah :

a. Faktor kesalahan debitur (debitur tidak kompeten, kurang pengalaman, tidak jujur dan serakah)

b. Faktor kesalahan kreditur (kurang pengecekan terhadap latar belakang calon nasabah, kurang tajam dalam menganalisis maksud dan tujuan penggunaan kredit dan sumber pembayaran kembali, kurang mahir dalam menganalisis laporan keuangan calon nasabah, kurang lengkap mencantumkan persyaratan, pemberian kelonggaran yang terlalu banyak dan tidak punya kebijakan perkreditan yang sehat)

c. Faktor eksternal (kondisi perekonomian, bencana alam dan perubahan peraturan)

(31)

menyebabkan kelancaran pengembalian dana pinjaman bergulir menjadi rendah. Lebih lanjut menurut Ramli (2013), variabel yang paling dominan mempengaruhi kelancaran pengembalian dana bergulir adalah ROI (Return on Investment). Semakin tinggi nilai ROI maka akan semakin tinggi pula kelancaran pengembalian dana pinjaman bergulir PNPM Perkotaan di Kota Makassar. Oleh karena itu, disarankan agar meningkatkan ROI dengan cara meningkatkan laba guna menjaga kualitas kredit nasabah.

Penelitian Dewi (2009) menunjukkan bahwa pinjaman Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Provinsi Jawa Tengah memiliki nilai NPL diatas 10 persen. Nilai NPL tersebut juga berada diatas NPL BPR di Indonesia. Tingginya NPL BPR di Provinsi Jawa Tengah ini kemungkinan dipengaruhi oleh buruknya strategi pemberian kredit oleh BPR. Adapun variabel yang berpengaruh positif terhadap strategi pemberian kredit yaitu kondisi internal BPR, kondisi calon debitur dan kondisi lingkungan BPR. Sementara variabel strategi pemberian kredit terbukti nyata berpengaruh negatif terhadap NPL. Hal ini berarti semakin efektif dan efisien strategi pemberian kredit maka semakin rendah pula nilai NPL. Strategi pemberian kredit suatu perbankan dipengaruhi secara langsung oleh kondisi internal dan eksternal yang terdiri dari kondisi calon debitur dan kondisi lingkungan bank. Oleh karena itu, analisis kondisi internal BPR guna menekan tingkat NPL dilakukan dengan cara (1) pelatihan account officer untuk mempertajam analisis kredit, (2) menjamin bahwa proses pengajuan dan pencairan kredit yang cepat, (3) menyediakan berbagai alternatif pilihan bagi debitur untuk membayar kreditnya, (4) menjamin bahwa syarat pemberian kredit mudah, (5) merancang sistem pelaporan yang jelas untuk menghindari dan mengendalikan terjadinya penyelewengan pemberian kredit, (6) menyediakan prosedur baku pemberian kredit dan (7) membuat dan menjamin kedisiplinan sistem pencatatan pemberian dan pelunasan kredit. Sementara itu analisis kondisi eksternal yang dilakukan untuk menekan NPL antara lain menganalisis perkembangan persaingan usaha saat ini dan yang akan datang, menganalisis kondisi ekonomi saat ini dan melakukan peramalan terhadap kondisi ekonomi yang akan datang serta memasukkan pertimbangan faktor alam dalam strategi pemberian kredit di sektor pertanian.

Hal senada juga ditunjukkan oleh Sjafitri (2011) bahwa terjadinya kredit bermasalah terutama kredit macet berasal dari faktor internal, eksternal dan faktor dari bank itu sendiri. Faktor yang paling dominan penyebab kredit macet adalah faktor pemenuhan kewajiban, kepribadian dan pemantauan dari bank. Pemenuhan kewajiban kepada bank merupakan ketaatan debitur untuk menepati pembayaran sejumlah uang berupa kewajiban hutang pokok, bunga, provisi dan biaya administrasi. Kepribadian atau karakter debitur yang tidak baik juga menjadi faktor dominan. Oleh karenanya peran analis kredit untuk menggali secara dalam dan mencari informasi tentang kepribadian calon debitur menjadi penting agar kredit yang diberikan dapat diyakini pengembaliannya. Penelitian serupa oleh Malonda et al. 2013 juga menunjukkan oleh bahwa berdasarkan uji-t character, capacity, capital, collateral dan condition of economy berpengaruh secara parsial terhadap keputusan pemberian kredit oleh BRI Cabang Manado.

(32)

jumlah kredit yang diajukan dan nilai agunan berpengaruh nyata terhadap realisasi KUR-Kupedes BRI. Sedangkan faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pengembalian KUR-Kupedes BRI menggunakan analisis regresi logistik biner. Variabel dependen yang akan dilihat terdiri dari dua kemungkinan yaitu apakah debitur mengembalikan pinjaman dengan lancar (Y=1) atau debitur menunggak pengembalian pinjaman (Y=0). Hasil analisis diperoleh bahwa jenis kelamin, tingkat pendidikan, jangka waktu pengembalian, kewajiban membayar cicilan per bulan dan bunga kredit nyata terhadap tingkat pengembalian KUR (lancar atau macet).

3

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

Konsep Usaha Mikro Kecil Menengah dan Kewirausahaan

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki definisi dan konsep yang berbeda-beda antar negara. Bahkan antara lembaga di suatu negara juga bisa berbeda dalam hal pengkategorian ini. Beberapa negara menggunakan indikator aset sebagai tolak ukur, namun ada pula yang menggunakan inikator seperti jumlah tenaga kerja dan pendapatan usaha pertahun.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM menyatakan bahwa Usaha Mikro (UMi) adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria UMi sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Kriteria UMi yaitu memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50 000 000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak sebesar Rp300 000 000.

Usaha Kecil adalah usaha produktif yang berdiri sendiri dengan kriteria ekonomi memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50 000 000 sampai dengan paling banyak Rp500 000 000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300 000 000 sampai dengan paling banyak Rp2 500 000 000. Sedangkan menurut BPS, Usaha Kecil merupakan entitas usaha dengan jumlah tenaga kerja 5-19 orang. Lain halnya dengan World Bank yang menyatakan bahwa Usaha Kecil (Small Enterprise) memiliki jumlah karyawan kurang dari 30 orang dengan jumlah aset maupun pendapatan yang keduanya tidak melebihi $3 juta per tahun.

Usaha Menengah merupakan usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan kriteria sebagai berikut : (1) kekayaan bersih lebih dari Rp500 000 000 sampai dengan paling banyak Rp10 000 000 000 tidak termasuk tanah dan bangunan

(33)

kriteria Usaha Menengah menurut BPS yaitu entitas usaha dengan jumlah tenaga kerja yang berkisar antara 20-99 orang.

Sebagai perbandingan, negara-negara anggota ASEAN juga mengungkapkan definisi yang berbeda. Usaha Kecil menurut kriteria Laos yaitu unit bisnis dengan total aset tidak lebih dari 250 juta kip (setara ± Rp353 juta). Bahkan negara seperti Singapura dan Filipina menetapkan total aset yang lebih tinggi untuk ukuran UKM yaitu masing-masing SG$ 100 juta (setara ± R 8.9 M) dan PHP 15 000 000 (setara ± Rp3.8 M). Sementara itu Malaysia, Kamboja dan Thailand mengklasifikasikan UMKM kedalam beberapa sektor seperti sektor produksi (manufaktur), perdagangan dan jasa (Kemenkeu 2011). Sementara menurut Bank Nasional Belgia, tenaga kerja small firm terdiri dari < 50 orang, medium small firms 50-249 orang dan large firms ≥ 250 orang (Onkelinx dan Sleuwaegen 2010)

Tidak ada definisi baku akan pengklasifikasian UMKM. Bahkan usaha berskala mikro, kecil dan menengah dalam arti sempit sering dipahami sebagai kegiatan usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja atau aset dalam jumlah kecil. Akan tetapi, bila hanya menggunakan komponen tersebut sebagai acuan dalam menentukan besar kecilnya skala usaha maka akan menimbulkan bias. Dengan demikian perlu adanya karakteristik lain dalam penentuan besar kecilnya skala usaha seperti berdasarkan dokumen-dokumen usaha yang dimiliki untuk melihat tingkat informalitas usaha atau berdasarkan kerumitan penggunaan teknologi. Perbedaan kriteria tersebut dapat dipahami karena alasan perbedaan kepentingan pembinaan dari masing-masing negara atau lembaga bersangkutan.

Seperti halnya dengan definisi UMKM yang belum ada ketetapan dan definisi baku, begitu pula dengan usaha “gurem”. Akan tetapi apabila dianalisis

lebih jauh, usaha “gurem” dapat diidentikkan dengan sektor usaha informal. Hal ini terlihat dari kemiripan karakteristik usaha “gurem” dengan sektor usaha informal. Persatuan Buruh PBB (ILO 2004a) menyatakan bahwa sektor informal merupakan (1) perusahaan milik keluarga, (2) beroperasi pada skala kecil, (3) mudah untuk keluar masuk pasar, (4) intensif tenaga kerja dalam produksi, (5) teknologi sederhana dan (6) pasar kompetitif. Usaha-usaha ini selanjutnya disebut

usaha “gurem” karena ukurannya yang sangat mikro dan sederhana. Lebih lanjut

menurut Hudiyanto (2003) dikatakan bahwa kelompok usaha mikro tersebut lebih tepat disebut kelompok gurem. Hal ini dikarenakan operasional KUR di lapangan tidak semudah seperti yang dikampanyekan. Selain itu, prosedur reguler perbankan masih digunakan sehingga kredit murah dan mudah itu belum mampu menjangkau kelompok paling miskin di daerah.

(34)
[image:34.595.83.483.100.575.2]

juta unit usaha dan hanya memiliki omzet usaha di bawah Rp 5 juta per tahun. Oleh karena itu jumlah usaha ekonomi rakyat bawah ini benar-benar berskala gurem. Gmabar 1 menunjukkan struktur pelaku usaha di Indonesia.

Gambar 1 Struktur pelaku usaha di Indonesia (Soetrisno 2001)

Kewirausahaan dan Perempuan Wirausaha

Konsep entrepreneur di Indonesia mulai dikenal tahun 70-an dengan istilah wiraswasta yang merupakan terjemahan dari entrepreneurship (Soeparman 1989). Wiraswasta sendiri berarti keberanian, keutamaan serta keperkasaan dalam memenuhi kebutuhan serta memecahkan permasalahan hidup dengan kekuatan yang ada pada diri sendiri (Mustofa 1996). Pemikiran tersebut juga didukung oleh Kuratko dan Hodgetts dalam (Manurung 2006), bahwa wirausahawan adalah orang yang melakukan pengorganisasian, mengelola dan membuat asumsi resiko suatu bisnis.

(35)

Seorang wirausaha dicirikan dengan sikap inovatif, risk taker, ulet dan pantang menyerah. Meiner et al. (1980) mengemukakan ciri utama kewirausahaan yaitu (1) keinginan untuk selalu berprestasi (self achievement) (Gorman et al. 1997; Littunen 2000; Nishanta 2008), (2) kemampuan mengambil risiko untuk mencapai tujuan (risk taker), (3) keinginan untuk segera mendapatkan umpan balik dari apa yang telah dikerjakan (feedback of result), (4) sikap dan tindakan yang selalu berorientasi kearah perbaikan dan kemajuan (personal innovation) dan (5) bertindak berdasarkan rencana yang telah disusun terlebih dahulu (planning for the future).

Sementara itu, kewirausahaan secara historis didefinisikan sebagai mans domain. Penekanan pada pengusaha laki-laki dalam berbagai literatur sama sekali tidak mengherankan karena laki-laki adalah pemeran utama dalam dunia kewirausahaan. Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa laki-laki yang paling aktif dalam kerja mandiri atau wirausaha, penciptaan bisnis dan kepemilikan usaha selama beberapa dekade (Hebert dan Link 1982 dalam Casson et al. 2006). Akan tetapi dinamika perkembangan kewirausahaan, tentu tidak dapat dipisahkan dari perempuan sebagai salah satu subjeknya. Penelitian menurut Center for

Women’s Business menunjukkan bahwa pada tahun 2004 dari 10,6 juta

perusahaan swasta di AS, 50 persen lebihnya dimiliki oleh perempuan (Welsh dan Dragusin 2006). Lebih lanjut dikatakan bahwa perempuan dengan usahanya menjadi fondasi bagi pertumbuhan jangka panjang ekonomi AS (Becker dan Kermani 2008).

Merujuk pada argumen diatas, maka definisi yang lebih baru tentang kewirausahaan yang tidak memandang gender adalah pengusaha yang melakukan serangkaian kegiatan untuk menciptakan sesuatu baru yang bernilai dalam keadaan berbeda (Shane dan Venkataraman 2000 dalam Casson et al. 2006). Secara khusus pengusaha didefinisikan sebagai berikut:

- Mengejar peluang tanpa memperhatikan sumber daya yang mereka kontrol - Menciptakan organisasi ekonomi inovatif dengan tujuan keuntungan atau

pertumbuhan dalam kondisi risiko dan ketidakpastian

- Menemukan, mengevaluasi dan memanfaatkan peluang untuk memperkenalkan Babakan Rayang dan jasa baru, mengatur pasar, proses dan bahan baku melalui pengaturan usaha yang sebelumnya tidak ada.

(36)

semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin luas wawasan yang akan semakin berpengaruh terhadap perkembangan jiwa wirausahanya. Sementara dari segi usia, semakin berumur maka perempuan wirausaha akan semakin toleran dan semakin matang jiwa wirausahanya.

Perkembangan dan partisipasi perempuan sebagai wirausaha yang terlibat di UMKM sangat berpotensi sebagai motor utama pendorong proses pemberdayaan perempuan dan transformasi sosial. Potensi UMKM tersebut dapat berdampak positif terhadap penurunan tingkat kemiskinan dan kelaparan melalui pengembangan ekonomi perempuan (Puspitawati 2007). Seperti yang dilakukan oleh Kelompok Wanita Tani Boga Sari yang membuat makanan olahan (Artini dan Handayani 2009). Anggota KWT ini merupakan kelompok ibu rumah tangga dengan kontribusi rata-rata Rp 429 754 per bulan (12.82% dari total pendapatan rumah tangga). Hal ini menunjukkan bahwa UMKM yang dijalankan oleh perempuan di Indonesia memiliki dua peran sekaligus yaitu (1) sebagai mobilisasi bakat perempuan sebagai wirausaha terutama di pedesaan yang masih menjadi pusat kemiskinan di Indonesia dan (2) wadah pengembangan kemampuan kewirausahaan perempuan (Jati 2009).

Lebih lanjut, keberadaan wirausaha perempuan bisa menjadi key-point tidak hanya di lingkup keluarga tetapi juga di masyarakat (Widowati 2012). Selain itu juga dapat berdampak positif terhadap penurunan tingkat kemiskinan dan kelaparan melalui pengembangan ekonomi perempuan (Puspitawati 2007). Bahkan peran perempuan pelaku usaha mikro tersebut lambat laun menjadi

“penjaga gawang” bagi perekonomian Indonesia (Jati 2009). Hal ini menjadikan wirausaha perempuan merupakan salah satu aset penting bagi perekonomian nasional.

Konsep Kredit dan Penggolongan Kredibilitasnya

Kredit berasal dari bahasa latin yaitu credere yang diterjemahkan menjadi kepercayaan, yaitu kepercayaan dari kreditur kepada debitur akan mengembalikan pinjaman beserta bunganya sesuai dengan kesepakatan (Fahmi dan Hadi 2010). Sementara itu, pengertian kredit menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 yaitu penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu beserta jumlah bunga imbalannya.

Secara umum pasar kredit menurut Rachmina (2009a) terbagi menjadi dua yaitu pasar kredit formal dan kredit non formal. Kredit formal bersumber dari lembaga keuangan formal, baik lembaga keuangan bank maupun non bank. Sementara kredit non formal berasal dari lembaga keuangan non formal seperti tengkulak, pengijon, rentenir dan lain-lain. Kredit formal sendiri dapat dibedakan menjadi kredit komersial dan kredit program. Kredit komersial yaitu kredit yang terjadi melalui mekanisme pasar, sedangkan kredit program yaitu kredit yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan tujuan tertentu dan biasanya bersubsidi.

(37)

yaitu : analisa aspek yuridis, analisa aspek pasar dan pemasaran, analisa aspek teknis, analisa aspek manajemen, analisa aspek keuangan dan analisa aspek sosial ekonomi. Sementara metode penilaian 6C meliputi character, capacity, capital, collateral, condition of economic dan constraint.

1.Character

Prinsip ini berkaitan dengan watak atau karakter yang berkaitan dengan integritas calon debitur. Oleh karenanya menjadi sangat menentukan dalam willingness to pay dalam pengembalian pinjaman. Aspek ini menjadi relatif karena sulit untuk dilakukan penilaian terhadap itikad calon debitu, apalagi terhadap calon nasabah yang baru dikenal oleh pihak perbankan.

2.Capital

Pembiayaan akan usaha yang akan dijalankan calon nasabah tidak seluruhnya berasal dari bank. Oleh karena itu, calon debitur wajib memiliki sejumlah dana tertentu untuk membiayai usahanya.

3.Capacity

Penilaian ini berupa kemampuan kewajiban debitur dalam memenuhi kewajiban yang telah disepakati.

4.Collateral

Berdasarkan aturan yang dikeluarkan pemerintah melalui Bank Indoensia bahwa setiap pemberian kredit oleh bank harus didukung oleh jaminan yang memadai, kecuali untuk program-program pemerintah. Aspek ini menjadi salah satu syarat yang paling penting yang harus dipenuhi bagi calon debitur.

5.Conditions of Economic

Kondisi ekonomi menjadi faktor yang penting untuk dipertimbangkn dalam pemberian kredit oleh perbankan. Hal ini terkait dengan kondisi perekonomian di suatu negara yang dapat mempengaruhi jalannya suatu usaha.

6.Constraint

Konstrain berupa faktor kendala yang bersifat psikologis yang menyebabkan usaha tersebut tidak dapat dilaksanakan. Seperti misalnya usaha peternakan babi yang berlokasi di daerah Aceh yang merupakan daerah yang dijuluki Serambi Mekah.

Dalam menjalankan aktivitas pinjam meminjam, perbankan memiliki aturan dalam menilai tingkat kelancaran pengembalian kredit yang disalurkannya. Kualitas pengembalian kredit tersebut sering dinamakan kolektibilitas kredit. Penilaian kolektibilitas kredit menurut SK Direksi Bank Indonesia No. 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 diklasifikasikan menjadi lima kelompok yaitu lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan macet. Penggolongan tersebut dilakukan dengan kriteria kemampuan membayar sebagai berikut :

1. Lancar

Pembayaran tepat waktu dengan perkembangan rekening baik dan tidak ada tunggakan serta sesuai dengan persyaratan kredit.

2. Dalam perhatian khusus

Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga sampai dengan 90 hari dan jarang mengalami cerukan.

(38)

Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 hari sampai dengan 180 hari serta terdapat cerukan yang berulang kali khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas.

4. Diragukan

Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 hari sampai dengan 270 hari serta terjadi cerukan yang bersifat permanen khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas.

5. Macet

Terdapat tunggakan pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari. Apabila kredit dikaitkan dengan tingkat kolektibilitasnya maka yang tergolong kredit bermasalah yaitu kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet. Non Performing Loan (NPL) menunjukkan kemampuan kolektibilitas bank dalam mengumpulkan kembali kredit yang telah dikeluarkan perbankan sampai lunas. Lebih lanjut, NPL merupakan gambaran kredit bermasalah yang penyebabnya adalah ketidakmampuan nasabah membayar angsuran pokok pinjaman dan bunga yang dibebankan sesuai dengan perjanjian.

Peningkatan kredit bermasalah akan menimbulkan masalah bagi kesehatan bank itu sendiri. Oleh karena itu, bank dituntut untuk selalu menjadi nilai NPL dalam posisi rendah (Sari et al. 2012). Hal ini karena jika kredit bermasalah dalam jumlah besar maka akan menurunkan penerimaan perbankan. Penurunan penerimaan tersebut akibat adanya tambahan biaya akibat pembayaran bermasalah sehingga komponen biaya tersebut akan meningkatkan biaya yang harus ditanggung bank dan dapat mengurangi pendapatan bank. Dengan berkurangnya pendapatan bank, maka tingkat profitabilitas perbankan secara langsung juga akan berkurang. Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 15/2/PBI/2013 menyatakan bahwa rasio NPL secara neto lebih besar dari 5 persen dari total portfolio kredit.

NPL =

Apabila suatu bank berada pada kondisi NPL tinggi maka akan meningkatkan biaya bank, biaya cadangan aktiva roduktif dan biaya lainnya yang berpotensi menimbulkan kerugian bank. Selain itu, semakin tinggi tingkat NPL secara tidak langsung mengindikasikan bahwa bank tersebut tidak profesional dalam mengelola kreditnya.

Konsep Kinerja Keuangan

(39)

dengan efektivitas yaitu seberapa baik perusahaan mampu memenuhi kebutuhan konsumen.

Pada beberapa literatur sering ditemukan perbedaan kriteria dalam pengukuran penilaian kinerja antara kinerja finansial dan non finansial (Sawang 2009; Chong 2008; Malaya 2006). Pengukuran kinerja finansial didasarkan pada indikator seperti pertumbuhan penjualan, pertumbuhan laba dan tingkat profitabilitas (ROI). Sementara kinerja non finansial berupa aset intangibel seperti loyalitas pelanggan, kualitas produk, pengembangan karyawan dan lain-lain.

Terdapat tiga fungsi pengukuran kinerja keuangan yaitu (1) merupakan bagian dari manajemen keuangan, (2) kinerja keuangan seperti profit, ROI merupakan tujuan utama dari suatu organisasi bisnis sehingga diperlukan pengukurannya sebagai bahan analisis strategi untuk pencapaian kedepan yang lebih baik dan (3) sebagai sarana motivasi dan kontrol bagi manajemen (Otley 2002). Lebih lanjut dikatakan bahwa pengukuran kinerja keuangan yang umum digunakan didasarkan pada rasio keuangan seperti current ratio, quick ratio, inventory turnover, debtors to sales ratio dan creditors to purchases ratio.

Kinerja keuangan seringkali menjadi bagian penting dari manajemen bisnis hingga pengukuran kinerja finansial merupakan faktor krusial bagi keberlangsungan dan keberlanjutan suatu bisnis. Meskipun begitu, dengan mengukur kinerja hanya dari sisi keuangan saja secara jangka panjang dapat berdampak kurang baik terhadap keberlangsungan bisnis dan tidak cukup untuk mendefinisikan efektivitas bisnis secara keseluruhan (Spickova dan Striteska 2012). Hal ini karena pengukuran kinerja secara parsial dapat mengaburkan bahkan menyembunyikan kemampuan perusahaan yang sebenarnya dalam mencapai nilai eko

Gambar

Tabel 1 Persentase struktur tenaga kerja perempuan Indonesia sektor formal dan informal tahun 2009
Gambar 1 Struktur pelaku usaha di Indonesia (Soetrisno 2001)
Gambar 2 Kerangka pemikiran operasional
Tabel 2 Jumlah penduduk Desa Babakan menurut kelompok umur
+7

Referensi

Dokumen terkait