• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Habitat dan Aktivitas Kemunculan Kunang-Kunang dengan Observasi Cuaca Skala Mikro di Kawasan Situ Gunung, Kabupaten Sukabumi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Habitat dan Aktivitas Kemunculan Kunang-Kunang dengan Observasi Cuaca Skala Mikro di Kawasan Situ Gunung, Kabupaten Sukabumi"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN HABITAT DAN AKTIVITAS KEMUNCULAN

KUNANG-KUNANG DENGAN OBSERVASI CUACA SKALA MIKRO DI

KAWASAN SITU GUNUNG, KABUPATEN SUKABUMI

ANIK WIJAYANTI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Habitat dan Aktivitas Kemunculan Kunang-Kunang dengan Observasi Cuaca Skala Mikro di Kawasan Situ Gunung, Kabupaten Sukabumi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

ANIK WIJAYANTI. Kajian Habitat dan Aktivitas Kemunculan Kunang-Kunang dengan Observasi Cuaca Skala Mikro di Kawasan Situ Gunung, Kabupaten Sukabumi. Dibimbing oleh BREGAS BUDIANTO dan NINA MARYANA.

Kunang-kunang merupakan serangga yang menghasilkan cahaya alami dan berperan sebagai indikator lingkungan. Beberapa negara seperti Jepang, Thailand, dan Malaysia telah memanfaatkan potensi kunang-kunang di bidang pariwisata. Kunang-kunang membutuhkan kondisi habitat yang sesuai dari segi ekologis maupun unsur-unsur fisiknya, termasuk unsur iklim dan cuaca. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan unsur-unsur cuaca skala mikro dan karakteristik lokasi dengan kemunculan kunang-kunang. Metode yang digunakan adalah observasi cuaca, visual encounter survey (VES) time search, dan identifikasi spesies. Observasi cuaca dan pengamatan kemunculan dilakukan secara bergiliran di jalur Wisma Kantor, Curug Sawer, Danau, dan Curug Cimanaracun pada malam hari pukul 19.30–22.00 WIB. Suhu optimum untuk kemunculan kunang-kunang berkisar pada 17.5–19.5 °C dengan kemunculan tertinggi pada RH 93–95%. Penurunan suhu udara, kejadian presipitasi, dan RH yang semakin tinggi dapat menghambat pergerakan sayap, sehingga kurang sesuai untuk kemunculan kunang-kunang. Karakteristik wilayah juga berkaitan dengan kunang-kunang. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan spesies, penyebaran dan tingkat kemunculan kunang-kunang di setiap wilayah. Tingkat kemunculan kunang-kunang paling tinggi berada di jalur Curug Cimanaracun dengan tutupan tajuk yang lebih rapat, kelembaban cukup tinggi, dan terdapat badan air yang mendukung kunang-kunang, terutama fase telur dan larva. Kondisi yang lembab di jalur Curug Cimamaracun juga sesuai untuk kelangsungan hidup siput yang menjadi makanan larva kunang-kunang.

(6)

ABSTRACT

ANIK WIJAYANTI. Habitat Studies and Activities of Fireflies Emergence with Micro-Scale Weather Observation in Situ Gunung, Sukabumi. Supervised by BREGAS BUDIANTO and NINA MARYANA.

Firefly is an insect that produces bioluminescence and serve as environmental indicator. Several countries such as Japan, Thailand, and Malaysia have use the potential of a firefly for tourism. Fireflies require suitable habitat conditions in terms of ecological and physical elements, including weather elements. This study aimed to determine the linkage elements of micro-scale weather with the emergence of fireflies. The methods used in this study include the weather observation, visual encounter surveys (VES) time search, and identification of species. Weather and emergence observation were conducted in rotation on four lanes (Wisma Kantor, Curug Sawer, Danau and Curug Cimanaracun) at night (19.30–22.00). The optimum temperature of emergence at range 17.5–19.5 °C and most found at RH 93–96%. Decreasing of air temperature, precipitation events, and higher RH can inhibit the movement of the wings, making they less suitable for the emergence of fireflies. Besides weather elements, the characteristics of any area related to the fireflies. Those indicated by the difference in species, the spread and the rate of appearance of fireflies in each region. The highest emergence of fireflies is located on Curug Cimanaracun lane where has denser canopy cover, humidity is quite high, and there is a body of water that supports the fireflies, especially eggs and larval phase. Humid conditions in Curug Cimanaracun lane also suitable for habitat of snails as prey of firefly larvae.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

KAJIAN HABITAT DAN AKTIVITAS KEMUNCULAN

KUNANG-KUNANG DENGAN OBSERVASI CUACA SKALA MIKRO DI

KAWASAN SITU GUNUNG, KABUPATEN SUKABUMI

ANIK WIJAYANTI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Kajian Habitat dan Aktivitas Kemunculan Kunang-Kunang dengan Observasi Cuaca Skala Mikro di Kawasan Situ Gunung, Kabupaten Sukabumi

Nama : Anik Wijayanti NIM : G24100044

Disetujui oleh

Ir Bregas Budianto, AssDpl Pembimbing I

Dr Ir Nina Maryana, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah biometeorologi, dengan judul Kajian Habitat dan Aktivitas Kemunculan Kunang-Kunang dengan Observasi Cuaca Skala Mikro di Kawasan Situ Gunung, Kabupaten Sukabumi.

Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Ir Bregas Budianto, AssDpl. dan Ibu Dr. Ir. Nina Maryana, MSi. selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran maupun kritik. Ungkapan terima kasih ini juga saya sampaikan kepada ayah, ibu, dan adik yang telah memberikan doa dan dukungannya. Selain itu, terima kasih kepada Beasiswa Bidik Misi, Pengelola Wisata Situ Gunung, Rakata, UKF, rekan Workshop Instrumentasi, LIPI Cibinong, dan teman-teman mahasiswa yang telah memberikan banyak bantuan secara material maupun non material. Saya berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat di kemudian hari.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Karakteristik dan Habitat Kunang-Kunang 3

Kondisi Umum dan Iklim Mikro Situ Gunung 4

METODE 6

Waktu dan Tempat 6

Alat dan Bahan 6

Prosedur Penelitian 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Hasil Identifikasi Kunang-Kunang di Kawasan Situ Gunung 9 Sebaran Kemunculan Kunang-Kunang pada Jalur Pengamatan 10 Tingkat Kemunculan Kunang-Kunang pada Jalur Pengamatan 11 Keterkaitan Unsur Cuaca dengan Kemunculan Kunang-Kunang 14

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 24

(12)

DAFTAR GAMBAR

Beberapa jenis kunang-kunang 3

Peta Kawasan Situ Gunung sebagai taman wisata alam 4

Kunang-kunang Lamprophorus sp. betina 9

Morfologi kunang-kunang genus Luciola 9

Morfologi kunang-kunang Lucernuta lateralis 10

Peta sebaran kemunculan kunang-kunang di jalur pengamatan 11 Tingkat kemunculan kunang-kunang kumulatif selama tiga ulangan pada

kedua periode dan wilayah dalam jalur pengamatan 12 Suhu udara selama pengamatan pukul 19.30–22.00 WIB 14 Suhu udara malam hari (19.30–22.00 WIB) saat pengamatan kemunculan

kunang-kunang di keempat jalur 15

Kelembaban relatif (RH) malam hari (19.30–22.00 WIB) saat pengamatan kemunculan kunang-kunang di keempat jalur 16 Curah hujan harian dengan pengamatan kemunculan kunang-kunang di

keempat jalur 17

Pengaruh kejadian presipitasi yang berdekatan dengan waktu pengamatan terhadap perbedaan kemunculan kunang-kunang pada kedua periode di jalur Wisma Kantor (1, 2, 3), Curug Sawer (4, 5, 6), Danau (7, 8,

9), dan Curug Cimanaracun (10, 11, 12) 18

DAFTAR LAMPIRAN

Lokasi jalur pengamatan pada Kawasan Situ Gunung 24

Lokasi wilayah pada jalur Wisma Kantor 25

Lokasi wilayah pada jalur Curug Sawer 26

Lokasi wilayah pada jalur Danau 27

Lokasi wilayah pada jalur Curug Cimanaracun 28

Karakteristik wilayah pada setiap jalur pengamatan 29

Kondisi setiap wilayah pada jalur pengamatan 31

Data observasi cuaca dan kemunculan kunang-kunang di empat jalur

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kunang-kunang termasuk dalam keanekaragaman hayati di kawasan Situ Gunung. Serangga ini dikenal sebagai indikator lingkungan yang alami dan bersih (Akram et al. 2012). Ciri khas kunang-kunang terdapat pada tubuhnya yang dapat menghasilkan cahaya berpendar di malam hari. Hal tersebut menjadikan kunang-kunang menarik untuk dimanfaatkan sebagai objek wisata ecotourism. Jepang, Malaysia, dan Thailand telah membangun wisata kunang-kunang untuk tujuan wisata sekaligus usaha konservasi lingkungan. Bentuk wisata ini berupa firefly watching tour, yaitu pengunjung diarahkan agar melewati tempat-tempat strategis untuk melihat kunang-kunang. Jepang memiliki firefly canoe tour di kawasan Danau Aokiko pada musim panas (Evergreen Outdoor Center 2014). Kampung Kuantan Firefly Park di Malaysia menjadi salah satu tempat wisata kunang-kunang sekaligus kawasan CBE (Community-Based Ecotourism) (Mohd Shahwahid et al. 2013). Thailand juga memiliki wisata kunang-kunang yang pengelolaannya melibatkan penduduk lokal, perusahaan wisata, serta komunitas di sekitar (Nurancha et al. 2013). Lokasi wisata kunang-kunang di Thailand terdapat di Sungai Mae Klong, Amphawa.

Sutherst dan Maywald (1985) menyebutkan, peningkatan serta penurunan populasi serangga secara umum dipengaruhi faktor-faktor lingkungan, termasuk faktor cuaca dan iklim. Data unsur cuaca dan iklim dapat dimanfaatkan untuk mengestimasi populasi serta penyebaran serangga secara komputerisasi. Oleh karena itu, penulis ingin meneliti dan mengidentifikasi habitat dan aktivitas kunang-kunang dengan observasi cuaca skala mikro untuk perencanaan taman kunang-kunang di Situ Gunung, Kabupaten Sukabumi.

Perumusan Masalah

Rumusan masalah untuk membatasi ruang lingkup penelitian ini meliputi: 1. Ada beberapa spesies kunang-kunang yang ditemukan pada jalur pengamatan. 2. Jumlah individu kunang-kunang yang ditemukan di setiap jalur pengamatan

tidak sama.

3. Ada peningkatan maupun penurunan aktivitas kemunculan kunang-kunang selama waktu pengamatan yang telah ditentukan.

4. Unsur cuaca skala mikro yang diobservasi (suhu udara, kelembaban relatif, curah hujan, dan kejadian presipitasi) berkaitan dengan kemunculan kunang-kunang pada malam hari.

Tujuan Penelitian

(14)

2

Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini antara lain:

1. Menambah informasi mengenai keterkaitan unsur cuaca dan karakteristik lokasi terhadap kemunculan kunang-kunang.

(15)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik dan Habitat Kunang-Kunang

Kunang-kunang (Gambar 1) merupakan serangga jenis kumbang yang diklasifikasikan dalam famili Lampyridae dan ordo Coleoptera. Kata Lampyridae berasal dari bahasa Yunani, yaitu α π ι (lampyris) yang diartikan sebagai

―yang bercahaya‖. Kunang-kunang juga dikenal dengan istilah glowworm (Essig 1958). Secara lebih spesifik, kunang-kunang dibagi ke dalam beberapa genus, antara lain Cortus, Lamprophorus, Lampyris, Luciola, Photinus, Photuris, Pteroptyx, Pyractomena, Pyrocoelia, dan lain-lain (Essig 1958; McDermott 1964; Ballantyne & Lambkin 2001; Fu et al. 2012).

Waktu aktif kunang-kunang pada malam hari, sehingga disebut sebagai serangga nocturnal. Serangga malam ini memiliki keistimewaan karena mampu menghasilkan cahaya berpendar dari bagian tubuhnya. Cahaya tersebut digunakan sebagai alat komunikasi, terutama untuk mencari pasangannya pada musim kawin (Ohba 2004). Proses untuk menghasilkan cahaya melibatkan sel khusus (photocytes) dan kerja enzim luciferase. Luciferase bekerja untuk mengaktifkan luciferin. Selanjutnya, luciferin bergabung dengan oksigen dan menghasilkan cahaya pada photocytes yang terletak pada ruas pertama atau ke-dua di belakang dari abdomennya (Timmins et al. 2001). Kunang-kunang menghasilkan cahaya mulai dari fase telur, tetapi dengan intensitas cahaya yang berbeda-beda. Kunang-kunang jantan lebih sedikit bercahaya dibandingkan dengan Kunang-kunang-Kunang-kunang betina yang menggunakan cahaya pijarnya untuk menarik dan menstimulasi pejantan (Oba et al. 2010).

Kunang-kunang biasanya berwarna kecoklatan atau kehitaman. Serangga ini memiliki tubuh yang lunak dan memanjang. Kepalanya tersembunyi di bawah pronotum dan antenanya menyerupai benang. Hanya beberapa ruas abdominal dari kunang-kunang yang dapat bercahaya. Kunang-kunang jantan berukuran lebih kecil daripada kunang-kunang betina. Kunang-kunang jantan memiliki dua pasang sayap, namun hanya sayap belakang yang digunakan untuk terbang. Pasangan sayap pertama, elytra, menjadi pelindung untuk pasangan sayap ke-dua. Kunang-kunang betina ada yang mempunyai sayap dan tidak mempunyai sayap, sehingga tidak selalu terbang (Borror & White 1970).

Siklus hidup kunang-kunang diawali dari fase telur, larva, pupa, hingga imago (dewasa). Betina akan meletakkan telur sekitar seratus butir atau lebih di tanah dan di dasar pohon. Telur akan menetas dalam 2-4 minggu yang kemudian

Gambar 1 Beberapa jenis kunang-kunang. Luciola lusitanica (a), Lampyris noctiluca (b), Pteroptyx tener (c).

(16)

4

menjadi larva. Larva bersifat predator yang memakan serangga lain, siput dan keong. Umumnya siklus hidup kunang-kunang memerlukan waktu tiga bulan hingga satu tahun, tergantung pada jenis kunang-kunang dan lingkungannya. Ketika dewasa kunang-kunang hanya bertahan hidup kurang dari dua minggu dengan memakan polen bunga atau bahkan tidak makan sama sekali (Nurancha et al. 2013).

Ada lebih dari 2 000 spesies kunang-kunang tersebar di daerah beriklim tropis dan subtropis. Jumlah terbesar dengan keragaman paling tinggi dapat dijumpai pada wilayah tropis Asia, Amerika Utara dan Tengah, serta Amerika Serikat. Spesies kunang-kunang sering ditemukan di daerah dengan kelembaban tinggi dan hangat seperti kolam, sungai, payau, lembah, parit dan padang rumput (Essig 1958). Kazama et al. (2007) menjelaskan bahwa habitat yang paling sesuai untuk kunang-kunang berupa lingkungan hidro (hydro-enviroment) yang meliputi, area non urban, hutan gugur daun (deciduous forest), lahan pertanian, dan lahan tanaman padi. Lahan tersebut berupa lahan dengan polusi air yang sangat rendah dan bebas dari jenis pupuk atau pestisida an-organik. Kunang-kunang sangat rentan terhadap pencemaran lingkungan, sehingga dijadikan indikator lingkungan alami dan bersih.

Kondisi Umum dan Iklim Mikro Situ Gunung

Kawasan Situ Gunung (Gambar 2) merupakan kawasan hutan alam sub pegunungan dan hutan tanaman damar yang mengelilingi danau dan berada dalam wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Jawa Barat. Kawasan ini ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 461/Kpts/Um/11/1975 seluas 100 ha. Letak geografis kawasan terdapat pada 106o54’37‖ hingga 106o55’30‖ Bujur Timur dan 06o39’40‖ hingga 06o41’12‖ Lintang Selatan. Secara administratif, Situ Gunung termasuk wilayah Desa Kadudampit, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi. (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2007).

(17)

5

Kawasan TWA Situ Gunung terletak pada ketinggian antara 950–1 036 mdpl. Keadaan topografinya sebagian kecil datar dan sebagian besar bergelombang sampai berbukit. Kondisi iklim mikro di kawasan ini dipengaruhi oleh ketinggian tersebut. Suhu udara memiliki kisaran 16–28 oC dan kelembaban relatif rata-rata 84 %. Curah hujan berkisar antara 1 611–4 311 mm per tahun dengan 106–187 hari hujan per tahun (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, 2007).

(18)

6

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini berlangsung selama enam bulan yang dimulai dari bulan Februari hingga Juli 2014. Proses pembuatan alat ukur cuaca dilakukan di ruang Workshop Instrumentasi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan sampel dan data dilakukan di kawasan Situ Gunung, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat selama 12 kali dari tanggal 7 Mei hingga 24 Mei 2014. Identifikasi spesimen kunang-kunang dilakukan di Laboratorium Entomologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan meliputi termometer bola basah dan bola kering (sensor LM35), penakar hujan sederhana, GPS, kamera digital, seperangkat alat komputer dengan perangkat lunak Ms. Excel, Google Earth, Global Mapper, dan ArcGIS 9.3. Bahan yang digunakan berupa spesies kunang-kunang pada habitat alami di kawasan Situ Gunung, data GPS, data observasi cuaca skala mikro, dan citra Google Earth akusisi 9 Desember 2014.

Prosedur Penelitian Penentuan Lokasi Pengamatan

Lokasi pengamatan terdiri dari empat jalur pengamatan yaitu, jalur Wisma Kantor, Curug Sawer, Danau, dan Curug Cimanaracun. Keempat jalur pengamatan dibagi menjadi wilayah A hingga O berdasarkan karakteristiknya. Perbedaan karakteristik wilayah ditinjau dari segi lokasi, jenis vegetasi dominan, dan keberadaan badan air (Lampiran 1–7). Pembagian wilayah ini digunakan untuk mengkaji hubungan kemunculan kunang-kunang dengan karakteristik wilayah.

Observasi Suhu Udara

Nilai suhu udara diukur dengan termometer bola kering (sensor LM35). Pengukuran dilakukan setiap hari pada pukul 19.30-22.00 WIB (Waktu Indonesia Barat). Data yang digunakan untuk analisis hanya data malam karena berkaitan langsung dengan kemunculan kunang-kunang.

Penghitungan Kelembaban Relatif (Relative Humidity, RH)

(19)

7

RH = Kelembaban relatif (Relative Humidity) (%) Pengukuran Curah Hujan

Curah hujan diukur dengan alat penakar hujan sederhana yang berupa tabung berdiameter 11.5 cm dengan tinggi 15 cm. Alat diletakkan pada tempat datar, terbuka dan bebas naungan. Alat ini hanya dipasang pada satu titik yang mewakili luasan wilayah penyebaran plot, sehingga alat dipasang di wilayah Wisma. Air hujan yang tertampung terukur dalam satuan mililiter (ml), kemudian dikonversi ke dalam satuan milimeter (mm) sesuai standar satuan curah hujan. Kejadian hujan yang berdekatan dengan waktu pengamatan juga diamati dan dicatat secara langsung.

Pengamatan Respon Spesies

Pengamatan respon spesies berupa kemunculan kunang-kunang dilakukan bersamaan dengan observasi cuaca. Metode yang digunakan untuk pengamatan ini adalah metode visual encounter survey (VES) time search, yaitu penghitungan langsung jumlah spesies (kunang-kunang) yang terlihat pada lokasi pengamatan (Magurran 1988). Lokasi kunang-kunang ditandai dengan GPS untuk dipetakan dengan ArcGIS 9.3. Pengamatan dilakukan pada pukul 19.30–22.00 WIB secara bergilir dan terbagi menjadi dua periode, yaitu periode I (19.30–20.45 WIB) dan periode II (20.45–22.00 WIB). Waktu pengamatan ini terhitung dalam tiga minggu dan setiap minggunya dianggap sebagai ulangan.

Tabel 1 Jalur dan waktu pengamatan di kawasan Situ Gunung

Jalur Pengamatan Ulangan (Minggu ke-) Waktu Pengamatan

Wisma Kantor

(20)

8

panjang dan lebar tubuh spesimen juga dilakukan sebagai data pendukung. Vegetasi dominan diidentifikasi secara langsung di lapangan dari keterangan papan nama dan buku tanaman.

Pengolahan Data

(21)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Identifikasi Kunang-Kunang di Kawasan Situ Gunung

Kunang-kunang di kawasan Situ Gunung termasuk ke dalam enam spesies. Keenam spesies tersebut tersebar di keempat jalur pengamatan. Lamprophorus sp. ditemukan di jalur Wisma Kantor. Luciola sp.(3) ditemukan di jalur Curug Sawer. Luciola pallescens ditemukan di jalur Danau dan Wisma Kantor. Spesies yang ditemukan di Jalur Curug Cimanaracun lebih bervariasi daripada di ketiga jalur lainnya, yaitu Luciola sp.(1),Luciola sp.(2), dan Lucernuta lateralis.

Lamprophorus sp. yang ditemukan (Gambar 3) merupakan spesies betina tanpa sayap yang memiliki panjang sekitar 5.20 cm dan lebar tubuh 1.00 cm. Spesies kunang-kunang ini jarang ditemukan saat pengamatan. Morfologinya memanjang menyerupai ulat yang terdiri atas sebelas ruas dari kepala sampai abdomen. Organ bercahaya pada Lamprophorus sp. terletak di ruas paling belakang. Morfologi tersebut secara jelas ditunjukkan oleh Gambar 3. Selain itu, Gambar 3 juga menunjukkan aktivitas Lamprophorus sp. ketika sedang memakan mangsa berupa siput.

Gambar 3 Kunang-kunang Lamprophorus sp. betina. Dorsal (a), Ventral (b), Aktivitas makan (c).

Spesies dari genus Luciola rata-rata memiliki kisaran panjang 0.70–1.10 cm dan lebar 0.25–0.60 cm. Luciola sp2. berukuran paling kecil dengan panjang sekitar 0.70 cm dan lebar 0.25 cm. Kunang-kunang Luciola paling besar adalah Luciola pallescens dengan panjang sekitar 1.10 cm dan lebar 0.60 cm. Luciola sp1., Luciola sp3. dan Luciola pallescens sekilas terlihat sama karena memiliki warna yang mirip, yaitu coklat muda (Gambar 4).

(22)

10

Keempat spesies Luciola yang ditemukan berjenis kelamin jantan. Perbedaan morfologi ketiga spesies dari genus Luciola tersebut dapat dibedakan dari ukuran tubuh, warna tungkai, dan bentuk organ bercahaya. Sebagian tungkai Luciola sp1. berwarna kuning kecoklatan dan hitam. Berbeda dengan tungkai Luciola sp3. dan L. pallescens yang dominan berwarna kuning dan berwarna hitam di bagian tarsus. Luciola sp2. memiliki sepasang sayap berwarna coklat tua mendekati hitam disertai garis jingga di bagian pinggir sayap. Warna jingga ini juga terlihat di bagian tungkai, pronotum, hingga di sekitar mata Luciola sp2..

Lucernuta lateralis (Gambar 5) termasuk spesies yang paling jarang dijumpai. Selama pengamatan, spesies ini hanya ditemukan satu individu di jalur Curug Cimanaracun. Morfologi L. lateralis berbeda dengan spesies kunang-kunang lainnya. Perbedaan tersebut ditunjukkan pada bentuk kepala, ukuran, dan warna tubuh. Bentuk kepala L. lateralis cenderung pipih dan melebar dengan warna jingga. Ukuran tubuhnya pun lebih besar dari kunang-kunang genus Luciola yang ditemukan. Panjang tubuh L. lateralis mencapai 1.7 cm dengan lebar 0.8 cm. Bagian sayap dan tubuhnya terlihat memiliki kombinasi warna hitam dan jingga. Organ bercahaya di abdomen bagian bawah tubuh L. lateralis juga memiliki bentuk yang berbeda.

Gambar 5 Morfologi kunang-kunang Lucernuta lateralis. Dorsal (a), Ventral (b).

Perbedaan spesies kunang-kunang dan lokasi ditemukannya dapat memberikan informasi bahwa setiap jalur menjadi habitat bagi spesies yang berbeda. Hal ini juga mengindikasikan adanya adaptasi setiap spesies terhadap karateristik jalur yang dapat menjadi faktor pendukung maupun pembatas. Viviani (2001) menemukan sebanyak 26 spesies kunang-kunang Brazil dari sepuluh genus berbeda mendiami tempat yang tidak sama. Cratomorphus sp.dan Aspisoma sp. mendiami daerah rawa, sedangkan spesies yang termasuk dalam Photurinae tidak hanya mendiami daerah rawa, tetapi juga mendiami lingkungan berkayu lembab. Spesies kunang-kunang dari genus Luciola biasanya hidup di daerah yang dekat dengan sumber air (Llyod et al. 1989; Fu et al. 2005; Fu et al. 2006).

Sebaran Kemunculan Kunang-Kunang pada Jalur Pengamatan

(23)

11 Sebaran kunang pada Gambar 6 menunjukkan keberadaan kunang-kunang imago pada setiap jalur, terutama di jalur Curug Cimanaracun. Lokasi keberadaan kunang-kunang sangat rapat di sepanjang jalur Curug Cimanaracun. Hal ini menandakan bahwa kunang-kunang imago sangat mudah ditemukan di jalur tersebut daripada di jalur lainnya. Sebaran di jalur Curug Cimanaracun pun bersifat stabil, sehingga sangat baik untuk dijadikan jalur wisata kunang-kunang.

Penyebaran kunang-kunang imago berbeda dengan penyebaran fase larva yang lebih terbatas pada lokasi tertentu di sepanjang jalur. Selama pengamatan tidak ditemukan adanya larva kunang-kunang di jalur Danau. Keterbatasan penyebaran larva dipengaruhi oleh perbedaan alat gerak dengan kunang-kunang imago. Selain itu, larva kunang-kunang membutuhkan lingkungan yang lembab dan dekat dengan makanannya, yaitu siput. Sebagian jalur Danau terpapar cahaya matahari karena tegakan pohon tidak serapat di jalur lainnya. Permukaan pun lebih mudah mengalami pemanasan pada siang hari, sehingga kelembabannya akan menurun. Kondisi tersebut kurang sesuai untuk kebutuhan lingkungan larva dan siput. Keberadaan larva di jalur Danau kemungkinan terdapat pada area ternaung dan sulit dijangkau.

Akram et al. (2012) menjelaskan, penyebaran maupun jumlah populasi kunang-kunang di alam dipengaruhi oleh karakteristik wilayah dan tingkat adaptasi atau toleransi spesies. Kunang-kunang juga sensitif terhadap jenis penggunaan lahan. Alih guna lahan di daerah estuari Rembau-Linggi, Malaysia dalam penelitian Jusoh et al. (2010) mengurangi habitat kunang-kunang. Alih guna lahan tersebut meliputi areal pertanian, pembudidayaan ikan, dan pemukiman. Pengurangan habitat kunang-kunang berpotensi menurunkan populasinya.

Gambar 6 Peta sebaran kemunculan kunang-kunang di jalur pengamatan. Wisma Kantor ( ), Curug Sawer ( ), Danau ( ), Curug Cimanaracun ( ). Larva (), Imago (). Minggu ke-1 (a), Minggu ke-2 (b), Minggu ke-3 (c).

Tingkat Kemunculan Kunang-Kunang pada Jalur Pengamatan

(24)

12

(a)

(b)

Gambar 7 Tingkat kemunculan kunang-kunang kumulatif selama tiga ulangan pada kedua periode dan wilayah dalam jalur pengamatan. Periode I (19.30–20.45 WIB) (a), Periode II (20.45–22.00 WIB) (b).

karakteristiknya sama sepanjang jalur. Jalur Curug Sawer memiliki tiga wilayah dominan, yaitu wilayah B, C, dan D. Jalur Danau juga memiliki wilayah dominan pada wilayah H dan I.

(25)

13 Ohba dan Wong (2004) menjelaskan bahwa daerah ternanug sangat diperlukan kunang-kunang dewasa untuk istirahat sebelum waktu malam hari.

Wilayah dengan tingkat kemunculan yang rendah mencakup wilayah E, F, G, J, dan O. Wilayah E dan F merupakan tempat yang cukup banyak mendapatkan paparan cahaya matahari. Jenis vegetasi pada wilayah E dan F tidak terlalu beragam, terutama untuk jenis tegakan pohon. Wilayah G cukup basah akibat air danau yang naik hingga ke sebagian permukaan tanah. Berbeda dengan wilayah J yang cenderung kering dan bervegetasi rapat. Wilayah O adalah wilayah di jalur Curug Cimanaracun yang ditutupi oleh paku-pakuan. Vegetasi paku-pakuan yang mendominasi seperti dinding, akibatnya wilayah O agak sulit ditelusuri. Kerapatan paku-pakuan di wilayah J dan O berpotensi mengurangi gerak kunang-kunang. Karakteristik kelima wilayah tersebut kemungkinan lebih mendukung untuk habitat musuh alami atau kurang menyediakan sumber makanan bagi kunang-kunang.

Wilayah M merupakan wilayah dengan karakteristik paling unik, karena individu kunang-kunang paling banyak ditemukan pada wilayah tersebut. Wilayah M memiliki badan air berupa curug (air terjun) kecil yang beraliran lambat, tenang, dangkal dan jernih. Kondisi badan air di wilayah M sesuai dengan hasil pengamatan Kazama et al. (2007) dan Koji et al. (2012). Kazama et al. (2007) dan Koji et al. (2012) menyebutkan bahwa kunang-kunang cenderung menyukai tempat dengan aliran air lambat, dangkal, dan tergenang. Kondisi badan air tersebut diperlukan untuk perkembangan larva kunang-kunang dan siput sebagai makanannya. Badan air di wilayah M juga dikelilingi oleh vegetasi berupa tegakan pohon hingga tumbuhan lantai hutan. Vegetasi tersebut membentuk nangan yang rapat, cahaya matahari pun terhalang untuk masuk, sehingga bagian bawah tajuk sesuai untuk tempat berlindung dan beristirahat kunang-kunang. Wirth et al. (2001) dan De Wasseige et al. (2003) menyebutkan bahwa kerapatan tajuk tanaman yang tinggi memiliki nilai LAI (Leaf Area Index) yang tinggi. Nilai LAI yang tinggi menandakan wilayah yang ternaung cukup luas sehingga hanya sedikit radiasi surya yang dapat diteruskan sampai ke permukaan. Nilai LAI tersebut juga dipengaruhi oleh jenis tanaman, jarak antar tanaman, dan pergantian musim.

Wilayah H dan I berada di sekitar danau. Badan air berupa danau tidak sesuai untuk larva kunang-kunang karena tidak dangkal. Pertemuan danau dengan permukaan tanah membentuk kubangan air di wilayah I. Kubangan air yang dangkal memenuhi kriteria, tetapi kubangan air di wilayah I hanya bersifat sementara. Wilayah H dan kubangan air di wilayah I juga mendapat cukup banyak cahaya matahari serta dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang melintas. Selain wilayah H dan I, wilayah E juga memiliki badan air dengan aliran yang cukup deras. Kondisi aliran air pada wilayah E tidak sesuai untuk kelangsungan hidup larva kunang-kunang karena dapat menghanyutkan larva tersebut.

(26)

14

Keterkaitan Unsur Cuaca dengan Kemunculan Kunang-Kunang Suhu Udara

Pengukuran suhu udara dilakukan dalam dua periode waktu pengamatan, yaitu periode I pada pukul 19.30–20.45 WIB dan periode II pada pukul 20.45–22.00 WIB. Suhu udara pada periode I secara keseluruhan lebih tinggi daripada hasil pengukuran di periode II (Gambar 8).

(a)

(b)

(c)

Gambar 8 Suhu udara selama pengamatan pukul 19.30–22.00 WIB. Minggu ke-1 (a), Minggu ke-2 (b), Minggu ke-3 (c).

Wisma Kantor Curug Sawer Danau Curug Cimanaracun

16,0

Wisma Kantor Curug Sawer Danau Curug Cimanaracun

16,0

(27)

15 Perbedaan suhu udara yang terjadi menunjukkan pola kecenderungan penurunan suhu udara pada malam hari. Suhu udara selama selang waktu 2.5 jam memiliki kecenderungan menurun dengan selisih nilai yang cukup kecil, yaitu 0 ⁰C hingga 0.7 ⁰C (Lampiran 8). Penurunan suhu pada malam hari disebabkan oleh pelepasan energi dari permukaan dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Penurunan suhu akan semakin kuat pada kondisi malam cerah tanpa awan dan angin tenang. Pendinginan permukaan yang terjadi akan menurunkan suhu udara. Proses pendinginan tersebut sangat intensif pada selang waktu satu hingga dua jam setelah matahari tenggelam (Avecedo & Fitzjarrald 2001; Iijima & Shinoda 2002).

Suhu udara yang terukur pada keempat jalur berkisar antara 16.5–20.0 °C. Fluktuasi suhu udara dapat dipicu oleh hujan yang terjadi sebelumnya atau penutupan awan. Tingkat kerapatan vegetasi yang tinggi juga mampu mendinginkan udara. Kunang-kunang paling banyak muncul pada kisaran suhu udara 18.0–18.5 °C (Gambar 9). Kemunculan paling banyak di kisaran suhu tersebut mendapat pengaruh dari faktor karakteristik lokasi. Tingkat kemunculan pada kisaran suhu 17.5–18.0 °C dan 19.0–19.5°C juga relatif tinggi. Kemunculan sangat rendah ketika kisaran suhu udara di bawah suhu 17.5 °C. Oleh sebab itu, kisaran suhu udara 17.5–19.5 °C dianggap suhu yang optimum bagi kemunculan kunang-kunang di Situ Gunung.

Gambar 9 Suhu udara malam hari (19.30–22.00 WIB) saat pengamatan kemunculan kunang-kunang di keempat jalur

Gullan dan Cranston (2000) menjelaskan, serangga termasuk hewan poikiloterm, sehingga sangat sensitif dengan perubahan suhu di lingkungan sekitar. Suhu lingkungan yang tidak optimum dapat mempengaruhi kerja enzim dan kecepatan metabolisme serangga, termasuk kunang-kunang. Teori tersebut menjelaskan penyebab rendahnya kemunculan kunang-kunang saat terjadi penurunan suhu di periode II (20.45–22.00 WIB) dan kisaran suhu udara di bawah 17.5 °C. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa kunang-kunang lebih menyukai suhu udara yang lebih hangat. Ohba (2012) melalui hasil pengamatannya menjelaskan bahwa kunang-kunang L. crusiata dan L. lateralis aktif terbang di daerah aliran air selama musim panas.

(28)

16

Penurunan suhu udara yang cenderung terjadi di periode II dan suhu di bawah suhu 17.5 °C diduga dapat menghambat pergerakan kunang-kunang saat terbang. Suhu udara yang rendah bersifat mendinginkan, sehingga udara cenderung memadat dan menjadi lebih berat (Ahrens 2007). Udara yang mengalami pendinginan tersebut akan bergerak turun, sehingga dapat memberikan beban yang lebih berat pada sayap kunang-kunang. Selain suhu udara, jam Kelembaban Relatif (Relative Humidity, RH)

Kelembaban relatif (RH) rata-rata pada kedua periode pengamatan cenderung konstan. Nilai RH tersebut juga tergolong tinggi, yaitu sebesar 94% hingga 98% (Lampiran 8). Tingginya kelembaban di lokasi pengamatan disebabkan oleh tutupan vegetasi yang rapat, keberadaan badan air, serta pengaruh iklim pegunungan. Hal serupa ditemukan oleh Fries et al. (2012), kelembaban hutan pegunungan lebih tinggi daripada daerah peternakan yang terletak di sekitarnya akibat tingginya kerapatan vegetasi. Sementara itu, fluktuasinya dipengaruhi oleh hujan sebelum pengamatan dan kabut yang muncul. Hujan dan kabut meningkatkan partikel air di lingkungan sehingga dapat menambah kelembaban udara maupun tanah.

Kelembaban relatif saat pengamatan memiliki keterkaitan dengan kemunculan kunang di keempat jalur pengamatan. Kemunculan kunang-kunang paling banyak ditemukan pada kisaran RH 93–95% yang terukur di jalur Curug Cimanaracun. Kemudian kemunculannya mengalami penurunan saat RH di atas 95% hingga 100% (Gambar 10). Kunang-kunang yang ditemukan pada RH di atas 97% biasanya terbang di dekat permukaan atau hinggap di dedaunan.

Gambar 10 Kelembaban relatif (RH) malam hari (19.30–22.00 WIB) saat pengamatan kemunculan kunang-kunang di keempat jalur

(29)

17 menghambat pergerakan sayap kunang-kunang imago. Nilai RH yang semakin tinggi mengindikasikan jumlah partikel air yang ada di udara semakin banyak. Jumlah partikel air yang semakin banyak membuat sayap kunang-kunang yang tipis menjadi basah dan berat. Kemampuan pergerakan sayapnya pun menjadi terbatas. Hal tersebut menyebabkan kemunculan kunang-kunang lebih sedikit pada kelembaban yang lebih tinggi. Minami (1961) dan Mitsushi (1996) menambahkan, tempat dengan kelembaban tinggi lebih dibutuhkan untuk peletakkan telur kunang-kunang dan perkembangannya hingga fase larva. Selain itu, tempat lembab sesuai untuk habitat siput yang merupakan makanan kunang-kunang fase larva.

Curah Hujan dan Kejadian Hujan

Kunang-kunang ditemukan paling banyak pada curah hujan 0–20 mm (Gambar 11). Kisaran hujan tersebut termasuk dalam kriteria hujan ringan (BMKG 2012). Kunang-kunang masih dapat ditemukan pada curah hujan sekitar 60 mm di jalur Danau dengan jumlah jauh lebih sedikit. Jumlah yang tetap melimpah teramati di jalur Curug Cimanaracun saat curah hujan 56 mm dan 48 mm. Hal ini disebabkan oleh tutupan tajuk yang lebih rapat di jalur Curug Cimanaracun dibandingkan dengan jalur lainnya. Air hujan yang dapat diintersepsi pun menjadi lebih banyak, sehingga bagian bawah tajuk dapat menjadi tempat berlindung kunang-kunang. Gómez et al. (2001) dan David et al. (2006) juga menjelaskan bahwa tajuk dan jarak antar tanaman yang semakin rapat dapat meningkatkan nilai LAI beserta kapasitas intersepsi air hujan. Tutupan tajuk tidak hanya berfungsi untuk mengintersepsi air hujan tetapi juga dapat meminimalisir pengaruh cahaya matahari dan terpaan angin. Curah hujan paling tinggi (85 mm) saat pengamatan di jalur Curug Sawer sudah tidak memungkinkan untuk kemunculan kunang-kunang. Curah hujan 85 mm juga berpeluang mengurangi populasi kunang-kunang di semua jalur pada pengamatan berikutnya.

(30)

18

Curah hujan harian kurang merepresentasikan keterkaitan langsung terhadap kemunculan kunang-kunang, sehingga ditinjau secara spesifik dari faktor kejadian presipitasi yang berdekatan dengan waktu pengamatan. Pola kemunculan terlihat dalam Gambar 12 yang ditandai dengan selisih jumlah kunang-kunang pada periode II dan periode I. Hasil yang positif menunjukkan ada penambahan jumlah kunang-kunang yang muncul di periode II. Sebaliknya, hasil negatif adalah inisialisasi untuk penurunan kemunculan di periode II. Kejadian hujan atau adanya presipitasi selalu diikuti oleh hasil positif, kecuali pada pengamatan di jalur Curug Cimanaracun ulangan ke- 2 (no.11). Kondisi tersebut disebabkan oleh kemampuan intersepsi tajuk yang lebih besar di jalur Curug Cimanaracun. Populasi kunang-kunang di jalur Curug Cimanaracun juga diperkirakan jauh lebih tinggi daripada yang ada di jalur lain, sehingga tingkat kemunculan tetap tinggi walaupun terjadi presipitasi.

Hujan atau presipitasi mengakibatkan kesulitan untuk terbang, sehingga mengharuskan kebanyakan serangga berlindung. Hujan memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung berupa mekanik, yaitu butir-butir hujan yang jatuh merusak tempat hidup serangga atau langsung menghanyutkan serangga, sehingga populasinya berkurang. Pengaruh tidak langsung adalah perubahan pada lingkungan, seperti perbedaan kelembaban udara dan kelembaban tanah (Koesmaryono 1985). Oleh sebab itu, curah hujan harian di atas 20 mm dan kejadian hujan yang dekat dengan waktu pengamatan dapat mempengaruhi tingkat kemunculan kunang-kunang.

Gambar 12 Pengaruh kejadian presipitasi yang berdekatan dengan waktu pengamatan terhadap perbedaan kemunculan kunang-kunang pada kedua periode di jalur Wisma Kantor (1, 2, 3), Curug Sawer (4, 5, 6), Danau (7, 8, 9), dan Curug Cimanaracun (10, 11, 12)

Curah hujan juga memberikan dampak secara tidak langsung bagi kelangsungan hidup dan populasi kunang-kunang. Nada et al. (2012) menyebutkan adanya pengaruh curah hujan terhadap populasi kunang-kunang di daerah Sungai Selangor, Malaysia. Penurunan populasi kunang-kunang imago

(31)
(32)

20

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Karakteristik lokasi berpengaruh terhadap kunang-kunang dari aspek perbedaan spesies, penyebaran, dan tingkat kemunculan kunang-kunang. Elevasi, kerapatan vegetasi, dan badan air mampu membentuk suatu kondisi iklim secara mikro yang kondusif. Tingkat kemunculan paling tinggi ditemukan di jalur Curug Cimanaracun dengan tutupan tajuk yang lebih rapat dibandingkan pada jalur lainnya dengan tersedianya badan air yang sesuai untuk kunang-kunang, terutama fase telur dan larva. Kondisi yang lembab di jalur Curug Cimamaracun juga sesuai untuk kelangsungan hidup siput yang menjadi makanan larva kunang-kunang. Oleh karena itu, jalur Curug Cimanaracun sangat berpotensi untuk dijadikan taman kunang-kunang.

Unsur cuaca juga memiliki keterkaitan dengan kemunculan kunang-kunang di kawasan Situ Gunung. Suhu optimum saat kemunculan kunang-kunang berkisar antara 17.5–19.5 ⁰C dan kemunculan paling tinggi pada RH 93–95%. Penurunan suhu udara, kejadian presipitasi, dan RH yang semakin tinggi dapat menghambat pergerakan sayap akibat pemadatan udara seta banyakya partikel air, sehingga kurang sesuai untuk kemunculan kunang-kunang imago.

Saran

(33)

21

DAFTAR PUSTAKA

Ahrens CD. 2007. Meteorology Today: An Introduction to Weather, Climate, and the Environment. 8th ed. Belmont (CA): Thomson Brooks.

Akram W, Tabassum MS, Zia K. 2012. The distribution and abundance of fireflies in natural and agricultural areas of Pakistan. Lampyrid. 2.

Andrewartha HG, Birch LC. 1974. The Distribution and Abundance of Animal. Chicago (US): The University of Chicago Press.

Avecedo OC, Fitzjarrald DR. 2001. The early evening surface-layer transition: Temporal and spatial variability. Atmospheric Sciences. 58(17): 2650-2667. [Biolib Gallery]. 1993-2013. Lampyridae: Fireflies. [Internet]. (diunduh 2014

Feb 21). Tersedia pada: http://www.biolib.cz/en/gallery/dir82/pos21,21/. Ballantyne LA, Lambkin C. 2001. A new firefly, Luciola (Pygoluciola) kinabalua,

new species (Coleoptera: Lampyridae), from Malaysia, with observations on a possible copulation clamp. Raffles Bulletin of Zoology. 49(2): 363-378. Borror DJ, White RE. 1970. Peterson Field Guides: Insects. Boston (US):

Houghton Mifflin Company.

[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2012. Pengertian dalam Buletin Curah Hujan. Buletin Meteorologi. Edisi 055. Batam (ID): Stasiun Meteorologi Hang Nadim Batam.

David TS, Gash JHC, Valente F, Pereira JS, Ferreira MI, David JS. 2006. Rainfall interception by isolated evergreen oak tree in a Mediterranean savannah. Hydrological Processes. 20(13): 2713-2726.

De Wasseige C, Bastin D, Defourny P. 2003. Seasonal variation of tropical forest LAI based on field measurements in Central African Republic. Agricultural and Forest Meteorology. 119(3): 181-194.

[Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat]. 2007. Taman Wisata Alam Situ Gunung. [Internet]. (diunduh 2014 Apr 11). Tersedia pada: http://www. http://dishut.jabarprov.go.id/index.php?mod=manageMenu&idMenuKiri=4 73&idMenu=486.

Essig EO. 1958. College Entomology. 5th ed. New York (US): MacMillan Company.

[Evergreen Outdoor Center]. 2014. Firefly canoe tour. [internet]. [diacu 2014 Mei 9]. Tersedia dari: http://www.evergreen-hakuba.com/tours/hotaru.html. Fries A, Rollenbeck R, Nauß T, Peters T, Bendix J. 2012. Near surface air

humidity in a megadiverse Andean mountain ecosystem of southern Ecuador and its regionalization. Agricultural and Forest Meteorology. 152: 17-30.

Fu X, Wang Y, Lei C, Nobuyoshi O. 2005. The swimming behavior of the aquatic larvae of the firefly Luciola substriata (Coleoptera: Lampyridae). The Coleopterists Bulletin. 59(4): 501-505.

Fu X, Nobuyoshi O, Vencl FV, Lei C. 2006. Life cycle and behaviour of the aquatic firefly Luciola leii (Coleoptera: Lampyridae) from Mainland China. Can Entomol. 138(06): 860-870.

(34)

Gómez JA, Giráldez JV, Fereres E. 2001. Rainfall interception by olive trees in relation to leaf area. Agricultural Water Management. 49(1): 65-76.

Gullan PJ, Cranston PS. 2000. The Insects: An Outline of Entomology. Ed ke-2. Oxford (UK): Blackwell Science Ltd.

Iijima Y, Shinoda M. 2002. The influence of seasonally varying atmospheric characteristics on the intensity of nocturnal cooling in a high mountain hollow. Applied Meteorology. 41(7): 734-743.

Jusoh WFAW, Hashim NR, Ibrahim ZZ. 2010. Distribution and abundance of Pteroptyx fireflies in Rembau-Linggi Estuary, Peninsular Malaysia. Environ Asia. 3(Specia): 56-60.

Kazama S, Satoru M, S Priyantha R, Hiroshi H, Masaki S. 2007. Characterization of firefly habitat using a geographical information system with hydrological simulation. Ecological Modelling. 209: 392-400.

Koesmaryono Y. 1985. Biologi kutu daun gandum (Rhopalosiphum padi Linn) (Homoptera: Aphididae) di dua habitat dengan iklim yang berbeda [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Koji S, Nakamura A, Nakamura K. 2012. Demography of the Heike firefly Luciola lateralis (Coleoptera: Lampyridae), a representative species of

Japan’s traditional agricultural landscape. Insect Conservation. 16(6): 819-827.

Lloyd JE, Wing SR, Hongtrakul T. 1989. Flash behavior and ecology of Thai Luciola fireflies (Coleoptera: Lampyridae). The Florida Entomologist. 72(1):80-85.

Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey (USA): Princeton University Press.

McDermott FA. 1964. The taxonomy of the Lampyridae (Coleoptera). The Transactions of the American Entomological Society. 90(1): 1-72.

Mattjik AA, I Made S. 2006. Perancangan Percobaan. Bogor (ID): IPB Press. Minami K. 1961. A Study of Fireflies. Tokyo (JP): Scientist Press.

Mitsuishi T. 1996. Heike Firefly. Nagano (JP): Hozuki Shoseki.

Mohd Shahwahid HO, Iqbal M, Mas Ayu AMA, Farah MS. 2013. Assessing service quality of community-based ecotourism: a case study from Kampung Kuantan Firefly Park. Tropical Forest Science. 25(1): 22-33. Nada B, Kirton LG, Norma-Rashid Y, Cheng S, Shahlinney L, Phon CK. 2012.

Monitoring the fireflies of the Selangor River. Mangrove and Coastal Environtment of Selangor, Malaysia . ISBN 9670380103,9789670380100: 153-162.

Nurancha P, Wasin I, Kasem C. 2013. Guidliness to the management of firefly watching tour in Thailand. Modern Applied Science. 7(3): 8-14.

Oba Y, Mori N, Yoshida M, Inouye S. 2010. Identification and Characterization of a luciferase isotype in the Japanese firefly, Luciola cruciata, involving in the dim glow of firefly eggs. Biochemistry. 49(51): 10788-10795.

Ohba N. 2004. Flash communication systems of Japanese fireflies. Integrative and Comparative Biology. 44(3): 225-233.

Ohba N, Wong CH. 2004. External morphology and ecological study of the firefly, Pteroptyx tener at Kampong Kuantan, Selangor, Malaysia. Science Report of Yokosuka City Museum. (51): 1-33.

(35)

Ohba N. 2012. The restoration and maintenance of firefly habitats in Japan—case studies from Yokosuka City. Lampyrid. 2.

[Pengelola Situ Gunung Park]. 2012. Peta Kawasan Situ Gunung sebagai taman wisata alam (Situ Gunung Park).

Sutherst RW, Maywald GF. 1985. A computerized system for matching climates in ecology. Agriculture, Ecosystem and Environtment. 13: 281-299.

Timmins GS, Robb FJ, Wilmot CM, Jackson SK, Swartz HM. 2001. Firefly flashing is controlled by gating oxygen to light-emitting cells. Experimental Biology. 204(16): 2795-2801.

Viviani VR. 2001. Fireflies (Coleoptera: Lampyridae) from Southeastern Brazil: Habitats, Life History, and Bioluminescence. Ann Entomol Soc Am. 94(1):129-145.

Wirth R, Weber B, Ryel RJ. 2001. Spatial and temporal variability of canopy structure in a tropical moist forest. Acta Oecologica. 22(5): 235-244

(36)

LAMPIRAN

(37)

Lampiran 2 Lokasi wilayah pada jalur Wisma Kantor

(38)
(39)

Lampiran 4 Lokasi wilayah pada jalur Danau

(40)

Lampiran 5 Lokasi wilayah pada jalur Curug Cimanaracun

(41)

Lampiran 6 Karakteristik wilayah pada setiap jalur pengamatan

Jalur Wilayah Karakteristik Wilayah

Panjang (m) Vegetasi Dominan Badan Air

Wisma Kantor A 1300 puspa (Schima wallichii), krey payung (Fellicium decipiens), paku-pakuan, semak, dan herba.

Castanopsis javanica, beunying (Ficus fistulosa).

E 5 Kecubung (Brugmansia candida), semak, paku-pakuan, dan herba.

F 24 Lantana (Lantana camara), pulai (Alstonia scholaris), paku-pakuan dan semak.

Danau

G 37 Semak, jenis rumput tinggi, dan sedikit pohon pendek. Jalur ini mengelilingi badan air yang luas dan

Damar (Agathis dammara), puspa (Schima wallichii), pinus (Pinus merkusii), rumput gajah (Axonopus compressus), semak, dan herba.

I 505 Damar (Agathis dammara), rumput gajah (Axonopus

compressus), semak, paku-pakuan, dan herba.

J 32 Puspa (Schima wallichii), bambu, paku-pakuan, pepohonan

(42)

Curug Cimanaracun

K 280

Rasamala (Althingia excelsa), puspa (Schima wallichii), damar (Agathis dammara), kaliandra (Calliandra sp.), paku pakuan, semak, dan tumbuhan herba.

Badan air berada pada wilayah M dalam bentuk curug beraliran lambat dan beberapa kubangan di sekitarnya. Aliran air sempit yang lambat dan cenderung tergenang juga terdapat di wilayah N.

L 188 Tepus (Amomum pseudofoetens Val.), pisang (Musa sp.), paku-pakuan, dan herba.

M 117

Beleketebe (Sloanea sigun), beunying (Ficus fistulosa), pulus (Laportea stimulans), kecubung (Brugmansia

candida), paku-pakuan, dan herba.

N 278 Tepus (Amomum pseudofoetens Val.), pisang (Musa sp.), pulus (Laportea stimulans), semak, paku-pakuan, dan herba. O 17 Paku-pakuan dan semak.

(43)

Lampiran 7 Kondisi setiap wilayah pada jalur pengamatan

L

Wilayah A Wilayah B Wilayah C Wilayah D Wilayah E

Wilayah F Wilayah G Wilayah H Wilayah I Wilayah J

Wilayah K Wilayah L Wilayah M Wilayah N Wilayah O

(44)

Lampiran 8 Data observasi cuaca dan kemunculan kunang-kunang di empat jalur pengamatan

WIB : Waktu Indonesia Barat T1 : Suhu pada periode I T2 : Suhu pada periode II ∆T : Perbedaan suhu (T2 - T1)

RH : Relative Humidity, kelembaban relatif

n1 : Jumlah individu (kemunculan) pada periode 1 n2 : Jumlah individu (kemunculan) pada periode 2 ∆n : Perbedaan jumlah individu (kemunculan) (n2 - n1) CH Harian : Curah hujan harian

(45)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Anik Wijayanti, perempuan kelahiran Jakarta pada tanggal 21 Januari 1993 dari pasangan Jumani dan Suparti. Penulis telah menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN 014 Pagi Jakarta pada tahun 1998-2004, pendidikan sekolah menengah pertama di SMPS Kemala Bhayangkari 3 Jakarta pada tahun 2004-2007, dan pendidikan sekolah menengah atas di SMAN 60 Jakarta pada tahun 2007-2010. Kemudian, penulis meneruskan pendidikan formal di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan memperoleh beasiswa Bidik Misi. Program studi mayor yang diambil oleh penulis adalah sebuah bidang ilmu alam di Departemen Meteorologi dan Geofisika. Selain itu, penulis juga menjalani program studi minor di Departemen Arsitektur Lanskap Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti pendidikan formal di IPB, penulis aktif mengikuti beberapa macam kegiatan organisasi dan kepanitiaan. Pada periode tahun 2010-2013, penulis aktif berpartisipasi dalam komunitas pecinta lingkungan dan tergabung dalam Klub Panahan IPB (IPB Archery) serta Klub Fotografi IPB (Shutterian) sebagai anggota. Penulis juga mengikuti kompetisi

(46)

Gambar

Tabel 1 Jalur dan waktu pengamatan di kawasan Situ Gunung
Gambar 3 Kunang-kunang Lamprophorus sp. betina. Dorsal (a), Ventral (b),
Gambar 7 Tingkat kemunculan kunang-kunang kumulatif selama tiga ulangan   pada kedua periode dan wilayah dalam jalur pengamatan
Gambar 8 Suhu udara selama pengamatan pukul 19.30–22.00 WIB. Minggu ke-1 (a), Minggu ke-2 (b), Minggu ke-3 (c)
+3

Referensi

Dokumen terkait