PESISIR BATU HIJAU, SUMBAWA BARAT
ALUH LIDYA TANIA
SEKOLAH PASCA SARJANA
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ALUH LIDYA TANIA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sain
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCA SARJANA
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nrp : C252124131
Di setujui oleh :
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc
Ketua Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Dekan Pascasarjana IPB
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Dr. Ir Dahrul Syah, M.Sc. Agr
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Kajian Dampak Kegiatan Madak Terhadap Ekosistem Intertidal di Daerah Pasang Surut Pesisir Batu Hijau, Sumbawa Barat”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing atas masukan, saran dan bimbingan yang diberikan. Terima kasih saya ucapkan juga kepada Bapak Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc sebagai penguji tamu atas saran dan masukan.
Terima kasih pula kepada Seluruh staf Departemen Lingkungan PT. Newmont Nusa Tenggara atas dukungan dan bantuannya selama penelitian dalam proses pengumpulan data, serta berbagai pihak yang telah membantu dan mendukung selama penyusunan hingga penyelesaian tesis ini.
Pada akhirnya penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Keluarga tercinta (Ir. H. Ismail, M.Si dan Hj. Mustaqimah, S.Pd, Aluh Anita Muzhia dan Nanang Thisna Humairi serta Sigit Setyawan) atas kasih sayang, dukungan dan doa untuk penulis selama masa belajar hingga selesai.
Semoga tesis yang telah disusun ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak dalam usaha pengelolaan pesisir yang berkelanjutan.
Bogor, September 2014 Penulis,
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan 2
Manfaat Penelitian 2
Kerangka Pendekatan Masalah 3
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat 4
Alat dan Bahan 4
Penentuan Stasiun Pengamatan 4
Pengumpulan Data dan Informasi 5
Pengumpulan Data Ekologi/Biofisik 5
Pengumpulan Data Sosial 5
Metode Observasi dan Wawancara 6
Kerangka Pendekatan Pemikiran 6
Analisis Data 6
Analisis Tingkat Pemanfaatan (Pengambilan Biota) 6
Analisis Struktur Komunitas 7
Analisis Perubahan Komposisi 7
Analisis Habitat 7
Analisis Tingkat Kerentanan 7
Kerusakan 7
Ancaman 7
Kemampuan Adaptasi 7
Analisis Kepadatan 7
Analisis Keanekaragaman 7
Analisis Perilaku Pemadak 8
Analisis Dampak Aktivitas Madak 8
Valuasi Ekonomi 8
Strategi/Rekomendasi Pengelolaan 8
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Daerah Pasang Surut Pesisir Batu Hijau 9
Maluk 9
Mangkun 9
DAFTAR ISI (lanjutan) HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Komunitas Biota Intertidal 11
Perubahan Komposisi Biota Intertidal 13
Keanekaragaman Biota Intertidal 17
Sosial Madak 19
Perilaku Pemadak 26
Pemanfaatan Biota Intertidal 27
Valuasi Ekonomi 31
Kerentanan Lokasi Intertidal 33
Kerusakan Lokasi Intertidal 33
Ancaman dan Dampak Aktivitas Madak Terhadap Biota Intertidal 35
Kemampuan Adaptasi Biota Intertidal 37
Strategi/Rekomendasi Pengelolaan 39
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 44
Saran 44
DAFTAR PUSTAKA 45
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan 4
Tabel 2. Kriteria indeks keanekaragaman Shannon-Wiener 8 Tabel 3. Nama lokal untuk biota yang diambil oleh masyarakat 25 Tabel 4. Nama lokal untuk ikan yang diambil oleh masyarakat 25
Tabel 5. Skoring dampak perilaku pemadak 27
Tabel 6. Klasifikasi dominan pengambilan biota dari dulu hingga sekarang 29 Tabel 7. Harga beberapa biota intertidal yang dijual 32 Tabel 8. Fungsi ekologis ekosistem terumbu karang, lamun dan rumput laut 32
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka pendekatan masalah penelitian 3 Gambar 2. Lokasi Pengamatan Sampling Sosial Ekologi 4
Gambar 3. Pengambilan Data Sosial 5
Gambar 4. Kerangka Pendekatan Penelitian 6
Gambar 5. Dinamika kelimpahan biota 5 tahun terakhir di Lokasi Maluk 11 Gambar 6. Dinamika kelimpahan biota 5 tahun terakhir di Lokasi
Mangkun 12
Gambar 7. Dinamika kelimpahan biota 5 tahun terakhir di Lokasi
Sejorong 12
Gambar 8. Dinamika kelimpahan moluska 5 tahun terakhir di tiga stasiun 13 Gambar 9. Dinamika kelimpahan echinodermata 5 tahun terakhir di tiga
stasiun 14
Gambar 10. Dinamika kelimpahan krustase 5 tahun terakhir di tiga stasiun 14 Gambar 11. Dinamika kelimpahan annelida 5 tahun terakhir di tiga stasiun 15 Gambar 12. Dinamika kelimpahan ikan 5 tahun terakhir di tiga stasiun 15 Gambar 13. Dinamika persentase tutupan komunitas karang selama 5 tahun
terakhir di tiga stasiun 16
Gambar 14. Dinamika persentase tutupan lamun selama 5 tahun terakhir di
tiga stasiun 16
Gambar 15. Dinamika persentase tutupan rumput laut selama 5 tahun
terakhir di tiga stasiun 17
Gambar 16. Keanekaragaman fauna intertidal dari tahun 2009-2014 di
Lokasi Maluk 18
Gambar 17. Keanekaragaman fauna intertidal dari tahun 2009-2014 di
Lokasi Mangkun 18
Gambar 18. Keanekaragaman fauna intertidal dari tahun 2009-2014 di
Lokasi Sejorong 19
Gambar 19. Penggunaan alat dalam aktivitas madak 21 Gambar 20. Penggunaan media penampung dalam aktivitas madak 21 Gambar 21. Hasil dari aktivitas madak oleh para responden 22 Gambar 22. Motif para penduduk melakukan aktifitas madak 22
Gambar 23. Waktu pelaksanaan aktivitas madak 23
Gambar 24. Persentase umur responden yang melakukan madak 24 Gambar 25. Persentase jenis kelamin responden pelaku madak 24
Gambar 27. Dampak yang dihasilkan oleh masyarakat yang bermotif
ikut-ikutan sebagai pemadak pemula 26
Gambar 28. Aktifitas pemadak pemula yang ikut-ikutan 27 Gambar 29. Kelompok biota target utama pencarian pemadak 28 Gambar 30. Biota yang siap olah, telah ikonsumsi dan olahan untuk dijual 30 Gambar 31. Aktifitas pembongkaran karang yang dilakukan oleh
masyarakat Maluk 33
Gambar 32. Kerusakan yang terjadi di daerah intertidal Maluk 34 Gambar 33. Kerusakan yang terjadi di daerah intertidal Mangkun 34 Gambar 34. Kerusakan yang terjadi di daerah intertidal Sejorong 35
Gambar 35. Aktivitas madak 36
Gambar 36. Modiolus dan Cypraea yang di ambil oleh para pemadak 36 Gambar 37. Asal pemadak dan jumlah perkiraan pemadak desanya 37 Gambar 38. Dinamika adaptasi fauna intertidal dari tahun 2009-2014 di
lokasi Maluk 38
Gambar 39. Dinamika adaptasi fauna intertidal dari tahun 2009-2014 di
lokasi Mangkun 38
Gambar 40. Dinamika adaptasi fauna intertidal dari tahun 2009-2014 di
lokasi Sejorong 39
Gambar 41. Pekerjaan dari responden pelaku aktivitas madak 40
Gambar 42. Konektifitas sosial ekologi madak 41
Gambar 43. Persentase pendidikan para pemadak di setiap desanya 42 Gambar 44. Pilihan strategi pengelolaan biota intertidal dan aktivitas madak 43
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Alat yang digunakan dalam penelitian 48
Lampiran 2. Kuisioner pemadak 49
Lampiran 3. Prediksi pasang surut 51
Lampiran 4. Koordinat stasiun sampling intertidal 52 Lampiran 5. Gambaran tiga lokasi sampling intertidal 52 Lampiran 6. Nilai kelimpahan biota 5 tahun terakhir di 3 lokasi sampling 53 Lampiran 7. Data perbandingan komposisi biota selama 5 tahun di tiga
lokasi 54
Lampiran 8. Data perbandingan komposisi komunitas karang, lamun dan
rumput laut selama 5 tahun di 3 lokasi 54
Lampiran 9. Data perbandingan keanekaragaman selama 5 tahun di tiga
lokasi 55
Lampiran 10. Perlengkapan madak zaman dulu pemadak 55 Lampiran 11. Alat yang digunakan dalam aktivitas madak 56 Lampiran 12. Mediapenampung dalam aktivitas madak 56
Lampiran 13. Jumlah penduduk pada tahun 2013 57
Lampiran 14. Jumlah responden, jenis kelamin dan umur responden 58 Lampiran 15. Biota intertidal yang diambil oleh pemadak 58 Lampiran 16. Hasil survey penduduk dan beberapa data kuisioner di tiap
desanya 61
1. PENDAHULUAN Latar Belakang
Ekosistem pesisir dan laut merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Ekosistem pesisir dibagi menjadi beberapa bagian atau yang lebih sering disebut dengan zona. Salah satu zona pada ekosistem pesisir adalah zona intertidal atau lebih dikenal dengan daerah pasang surut. Zona intertidal memiliki lingkungan yang ekstrim dikarenakan pengaruh dari pasang surut. Kondisi lingkungan intertidal sangat ekstrim dan cepat berubah karena sifat pasang surut dapat menyebabkan daerah intertidal terendam atau terbuka dan kejadian ini dapat terjadi satu hingga dua kali dalam satu hari (Yulianda 2009). Zona ini dihuni organisme yang keseluruhannya merupakan organisme bahari. Biota yang berada di zona intertidal memiliki mekanisme adaptasi khusus yang memungkinkan mereka untuk hidup.
Tiga lokasi intertidal yang ada dipengaruhi oleh Samudera Hindia dan Selat Alas dan memiliki posisi yang berbeda, Maluk dan Mangkun yang berada di Teluk, dan Sejorong yang agak terbuka. Karakteristik daerah pasang surut pesisir Batu Hijau bervariasi mulai dari tipe substrat berpasir, karang berpasir hingga berbatu dengan lebar hamparan intertidal berkisar dari 100 meter hingga 350 meter (Yulianda et al 2012). Biota yang hidup di daerah intertidal memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan daerah subtidal (daerah laut). Struktur kehidupan di ekosistem intertidal pesisir Batu Hijau, terdiri dari komunitas utama dan biota yang berasosiasi. Komunitas utama intertidal terdiri dari karang, lamun, alga dan fauna lainnya, sedangkan biota intertidal yang berasosiasi dengan habitat pasang surut terdiri dari kelompok moluska, echinodermata, krustase, cacing dan ikan (Yulianda et al 2012).
Letaknya yang berdekatan dengan pantai, landai dan memiliki substrat yang beraneka ragam sehingga biota yang hidup didalamnya pun beranekaragam. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia (Djunaedi 2011). Letaknya ini pula yang dapat mengancam kehidupan biota yang hidup pada zona intertidal tersebut akibat dari banyakya kegiatan manusia yang biasanya dilakukan pada daerah ini dan kegiatan ini mengancam keberadaan dan habitat dari biota intertidal itu sendiri. Letak zona intertidal yang dekat dengan berbagai macam aktifitas manusia, dan memiliki lingkungan dengan dinamika yang tinggi menjadikan kawasan ini sangat rentan terhadap gangguan dan kondisi ini tentu saja akan berpengaruh terhadap segenap kehidupan di dalamnya (Syahid 2012). Daerah intertidal terkadang mengalami tekanan manusia, termasuk pengambilan hewan untuk makanan dan umpan memancing, menginjak-injak dan polusi dari pembuangan tangkapan (Hart et al 2005).
dilakukan oleh masyarakat saat air surut. Aktivitas ini dilakukan satu sampai dua kali dalam sehari.
Aktivitas ini mengambil biota intertidal yang dapat dimanfaatkan khususnya tertutama dapat dikonsumsi. Jika dilakukan secara berlebihan dapat mengakibatkan berkurangnya beberapa komunitas biota intertidal (yang diambil) yang ada di pesisir Batu Hijau. Apakah aktivitas ini yang sangat berpengaruh terhadap berkurangnya beberapa komunitas biota intertidal dan seberapa besar pengaruh aktivitas ini terhadap komunitas biota intertidal yang ada di pesisir Batu Hijau. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka penulis melakukan pengamatan dengan judul “Kajian Dampak Kegiatan Madak Terhadap Ekosistem Intertidal di Daerah Pasang Surut Pesisir Batu Hijau, Sumbawa Barat”.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas itu maka, penulis mengambil masalah sebagai berikut :
a. Seberapa besar degradasi komunitas intertidal di daerah pasang surut pesisir Batu Hijau?
b. Bagaimana dan sejauh mana dampak dari aktivitas madak yang diperkirakan akan mempengaruhi keseimbangan ekologis pada sistem komunitas biota intertidal yang ada di daerah pasang surut pesisir Batu Hijau, sehingga perlu dikaji faktor-faktor penyebab penurunan biota intertidal?
Tujuan Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Mengidentifikasi besaran dampak kegiatan madak terhadap biota intertidal. b. Mengidentifikasi konektivitas sosial ekologi yang meliputi profil daerah
intertidal, dampak madak terhadap daerah intertidal, profil madak, dan dampak daerah intertidal terhadap madak.
c. Menyusun strategi pengelolaan biota intertidal di daerah pasang surut pesisir Batu Hijau.
Manfaat Penelitian
a. Mengetahui kondisi biodiversitas sumberdaya biota intertidal yang terdapat pada daerah pasang surut pesisir Batu Hijau.
b. Mengetahui pengaruh dari aktivitas madak terhadap komunitas biota intertidal yang ada di daerah pasang surut pesisir Batu Hijau.
Kerangka Pendekatan Masalah
Gambar 1: Kerangka pendekatan masalah penelitian Pesisir Batu Hijau
Karakteristik habitat Sosial
- Daerah pasang surut
- Waktu pasang surut
- Tipologi dataran intertidal
- Jumlah pemadak
- Jenis kegiatan
- Biota yang di ambil
- Periode pengambilan
- Motif Ekosistem intertidal
Dampak
Negatif
- Mendapatkan bahan pangan
untuk kebutuhan sehari-hari - Rekreasi
- Interaksi Sosial
- Biodiversitas turun
- Populasi turun
- Kerusakan habitat
Strategi Pengelolaan Positif
Besaran dampak Besaran dampak
2. METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama dua bulan, yaitu terhitung dari tanggal 1 Maret sampai dengan pada 30 April 2014. Lokasi penelitian berada di daerah pasang surut Batu Hijau, pantai Selatan Sumbawa bagian barat (Gambar 2), NTB.
Gambar 2. Lokasi pengamatan di 3 stasiun daerah pasang surut di pesisir Batu Hijau dan 9 lokasi sampling sosial madak (PT. NNT 1997).
Alat dan Bahan
Bahan yang akan digunakan berupa data biofisik beberapa sumberdaya yang ada di daerah pasang surut pesisir Batu Hijau dan data sosial ekonomi di kawasan tersebut. Alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 (lampiran 1).
Tabel 1. Alat yang digunakan
No. Nama Alat Kegunaan
1. Kuadran 1m x 1m Mengukur kerapatan biota
2. Form Mencatat hasil pengamatan
3. Kamera Dokumentasi
4. Masker Melihat biota bawah air
5. Bootis Sepatu
6. Buku identifikasi biota Identifikasi Biota Intertidal (Yulianda (2009))
Penentuan Stasiun Pengamatan
Pengumpulan Data dan Informasi Pengumpulan Data Ekologi / Biofisik
Penelitian menggunakan metode survey untuk penelusuran berbagai literatur dan jurnal serta menggunakan metode sensus visual dalam pengumpulan data biofisik. Pengamatan biota intertidal dilakukan dalam transek 1m x 1m dioperasikan secara sistematis pada tiga zona tegak lurus dari garis pantai ke arah tubir laut. Setiap garis transek memiliki tiga ulangan horizontal. Biota yang diamati terdiri dari 4 kelompok, yaitu lamun, rumput laut, komunitas karang, dan fauna. Rumput laut terdiri dari alga hijau, alga merah, alga coklat. Komunitas karang terdiri dari karang keras, karang lunak, spong, ascidian, anemon dan zoanthid. Sedangkan biota berasosiasi terdiri dari kerang, ikan, udang, bintang laut, bulu babi dan biota laut lainnya. Pengambilan sampling dilakukan saat air laut surut.
Pada penelitian ini pengumpulan data berupa pengumpulan data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dengan identifikasi langsung di lapangan dan berkomunikasi secara langsung dengan beberapa masyarakat serta mengisi kuisioner yang merupakan hasil dari wawancara dengan beberapa masyarakat setempat. Pengumpulan data sekunder sebagai data pendukung atau tambahan dari bahan literatur berupa (1) struktur dan fungsional biota intertidal, (2) data monitoring dari PT.NNT dan instansi yang terkait dan data-data penunjang lainnya.
Pengumpulan Data Sosial
Pengambilan data sosial dilakukan dengan metode wawancara dan kuisioner (lampiran 2) yang diberikan kepada penduduk serta para pemadak. Data yang diambil kemudian di kelompokkan berdasarkan lokasi pemadak dan juga di kelompokkan kembali berdasarkan umur pemadak. Hal ini dilakukan untuk mengetahui motif para pemadak melakukan aktivitas ini. Pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 3:
Data desa Unit ke-i
Gambar 3 : Pengambilan data sosial
Metode Observasi dan Wawancara
Metode observasi ini digunakan untuk mengetahui proses aktivitas madak yang dilakukan masyarakat saat air surut. Baik dari cara kerja maupun dari waktu dalam melakukan kegiatan ini. Metode wawancara untuk mengetahui biota apa saja yang di ambil, biota yang diambil akan dimanfaatkan sebagai apa, keuntungan melakukan kegiatan madak dan sebagainya. Jmlah responden adalah 30% dari jumlah penduduk hingga jumah keseluruhan responden adalah 329.
Kerangka Pendekatan Penelitian
Penelitian ini didasari oleh kerangka berfikir bahwa masalah yang terjadi di ekosistem intertidal dapat dilihat dari segi ekologi dan sosial. Seperti dilihat pada kerangka pendekatan penelitian pada diagram dibawah ini.
Gambar 4 : Kerangka Pendekatan Penelitian
Analisis Data
Analisis Tingkat Pemanfaatan (Pengambilan Biota)
Melakukan observasi dan kuisioner terhadap para pemadak yang memanfaatkan daerah intertidal sebagai daerah mata pencaharian mereka. Mengidentifikasi biota apa saja yang diambil, seberapa besar intensitas pengambilannya dan apa yang akan dilakukan terhadap biota intertidal itu selanjutnya. - Dampak aktivitas madak - Valuasi ekonomi
Analisis Struktur Komunitas
Analisis struktur komunitas melalui perbedaan sebaran ukuran dari masing-masing biota intertidal. Analisis ukurannya dilihat secara visual tanpa mengambil biota.
Analisis perubahan komposisi diidentifikasi melalui perbandingan data yang diperoleh dengan data-data sebelumnya (data sekunder). Perbandingan ini akan menunjukkan adanya perubahan-perubahan yang terjadi dari data sebelumnya hingga penelitian dilakukan.
Analisis Habitat
Tipologi diidentifikasi secara visual ekosistem yang terdapat pada zona intertidal di daerah pasang surut Batu Hijau. Sedangkan batimetri diidentifikasi secara visual tingkat kedalaman zona intertidal di masing-masing lokasi. Identifikasi dilakukan pada semua titik sampling di zona intertidal.
Analisis Tingkat Kerentanan Kerusakan
Persentase tingkat kerusakan yang diakibatkan aktivitas madak terhadap biota intertidal. Kerusakan ini mencangkup berkurangnya komunitas, biota yang terinjak, komunitas karang yang terbongkar, kerusakan habitat dll.
Ancaman
Persentase tingkat ancaman yang ditimbulkan akibat aktivitas madak terhadap komunitas biota intertidal. Dalam hal ini tingkat pengambilan biota diperkirakan dengan jumlah pemadak yang turun dalam sehari ke daerah intertidal untuk melakukan aktivitas madak ini.
Kemampuan Adaptasi
Perbandingan data komunitas yang diperoleh dengan data-data sebelumnya. Sehingga dapat terlihat apakah adanya perbedaan yang nyata atau tidak antara data yang diambil dengan data-data sebelumnya.
Analisis Keanekaragaman
Keanekaragaman biota dihitung dengan menggunakan indeks keanekaragaman dari Shannon dan Wienner (Brower et al 1990) dalam Yazwar (2008) dengan rumus, tolak ukur indeks keanekaragaman dapat dilihat pada Tabel 2:
H' = -∑��−1�� ln Pi
Keterangan :
H' = Indeks diversitas Shannon-Wienner; ln = logaritme natural ni = proporsi spesies ke-i ;
Tabel 2 : Kriteria indeks keanekaragaman Shannon-Wiener.
Kriteria Keterangan
0<H’< 2,3 Keanekaragaman rendah
2,3 < H’ < 6,9 Keanekaragaman sedang
H’ > 6,9 Keanekaragaman tinggi
Analisis Perilaku Pemadak
Analisis perilaku pemadak ini dinilai dari pemantauan pola para pemadak terhadap biota seperti menginjak (karang atau biota), membongkar karang, atau memutus perakaran lamun.
Analisis Dampak Aktivitas Madak
Analisis dampak aktivitas madak dilakukan dengan pengujian terhadap indikator yang terkena dampak dari aktivitas madak. Indikator ini sendiri akan ditentukan dari populasi yang paling dominan di ambil. Data yang diperoleh dari populasi indikator tersebut akan dibandingkan dengan data-data yang diperoleh sebelumnya.
Valuasi Ekonomi
Valuasi ekonomi yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan harga pasar dengan asumsi biota tidak terjadi kesalahan pasar (marbet failures).
Strategi / Rekomendasi Pengelolaan
3. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Stasiun pengamatan yang juga merupakan stasiun monitoring dari PT.NNT memiliki tipologi dan batimetri yang berbeda. Hal ini dapat diakibatkan dari periode pasang surut (lampiran 3) dan letak dari stasiun itu sendiri yang berbeda. Dimana, lokasi Maluk dan Mangkun yang berada di Teluk, dan Sejorong yang agak terbuka. Identifikasi tipologi yang dilakukan zona intertidal yang memiliki kelandaian secara berturut-turut adalah di daerah Sejorong, Mangkun kemudian Maluk yang memiliki kelandaian yang tinggi. Tipologi ini yang menyebabkan Maluk memiliki daerah intertidal yang luas sekitar 800 -1,5 km ke arah laut dibandingkan dengan Mangkun dan Sejorong yang memiliki luas tidak sampai 1km kearah laut.
Kedalaman dari setiap titik sampling berbeda-beda dengan rata-rata kedalaman antara 3cm – 50cm. Hal ini karena titik sampling berada pada substrat batu umumnya dan surut dalam keadaan surut sedang hingga surut terendah. Koordinat titik sampling dapat dilihat pada lampiran 4. Beberapa titik sampling terdapat pada daerah yang agak dalam hingga mencapai kedalaman maksimal 50cm. Gambaran lokasi sampling dapat dilihat pada lampiran 5.
Daerah Pasang Surut Pesisir Batu Hijau Maluk
Lokasi Pantai Maluk berada di Kecamatan Maluk yang memiliki 5 desa yaitu Desa Maluk, Mantun, Pasir Putih, Bukit Damai dan Benete. Namun, untuk pantai Maluk sendiri berada di dekat 4 desa terkecuali Desa Benete yang letaknya jauh dari pantai Maluk.Penduduk di Kecamatan Maluk pada tahun 2013 sebanyak 12.705 yang berasal dari 4 desa yang terdiri dari Desa Maluk 3.511 penduduk, Desa Mantun 2.231 penduduk, Desa Bukit Damai 3.408 penduduk, dan Desa Pasir Putih 3.555 penduduk.
Daerah intertidal Maluk memiliki luasan daerah intertidal 702.000 m2. Pantai Maluk terletak di sebelah barat daya Sumbawa yang banyak dipengaruhi Selat Alas dan Samudra Hindia. Daerah pasang surut Maluk terletak di sebuah teluk yang mempunyai hamparan dataran selebar 800 meter dari garis pantai (Yulianda 2009). Hamparan yang tidak rata, sebagian datar dan sebagian lainnya agak dalam. Beberapa bagian dataran tidak terendam air pada saat air surut. Dataran yang lebih dangkal terletak di bagian barat Teluk Maluk dengan tipe substrat berpasir, pecahan karang dan berbatu. Tipe substrat pada zona atas (pasang tertinggi) adalah pasir dan pecahan karang (rubble) dan berbatu pada zona stasiun yang lebih rendah (Yulianda 2009).
Mangkun
Lokasi Pantai Mangkun berada di Kecamatan Sekongkang yang memiliki 5 desa yaitu Desa Sekongkang Atas, Desa Sekongkang Bawah, Desa Tongo, Desa Tatar dan Desa Ai’ Kangkung. Namun, untuk pantai Mangkun sendiri berada di dekat 2 desa yaitu Desa Sekongkang Atas dan Desa Sekongkang Bawah. Jumlah penduduk pada tahun 2013 di Desa Sekongkang Atas 2.582 penduduk dan Desa Sekongkang Bawah 1.379 penduduk.
Daerah intertidal Mangkun memiliki luasan daerah intertidal 450.000 m2.
lebar yaitu sekitar 600 meter. Tipe substrat Mangkun berpasir dan berkarang (Yulianda 2009). Komunitas intertidal Mangkun mempunyai daerah zonasi yang berbeda. Komunitas lamun lebih banyak di zona atas, sedangkan rumput laut cenderung lebih banyak di zona tengah dan zona bawah (Yulianda 2009). Komunitas karang dan populasi fauna lebih banyak di zona bawah. Namun demikian, kondisi substrat karang umumnya banyak mati yang disebabkan oleh suhu yang terlalu panas dan gangguan manusia (penduduk) yang mencari biota laut (Yulianda 2009).
Sejorong
Lokasi Pantai Sejorong berada di Kecamatan Sekongkang berada di dekat 3 desa yaitu Desa Tongo, Desa Ai’ Kangkung dan Desa Tatar. Jumlah penduduk pada tahun 2013 di Desa Tongo 1.511 penduduk, Desa Ai’ Kangkung 1.197 penduduk dan Desa Tatar 1.011 penduduk.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Komunitas Biota Intertidal
Zona intertidal yang memiliki lingkungan ekstrim karena diakibatkan oleh adanya pasang surut. Hal ini menyebabkan daerah ini memiliki keragaman biota yang tinggi karena perbedaan lingkungan dibandingkan dengan daerah laut lainnya. Zona ini luasnya sangat terbatas, tetapi banyak terdapat variasi faktor lingkungan yang terbesar dibandingkan dengan daerah lautan lainnya, karena itu keragaman organismenya sangat besar (Katili 2011).
Biota yang ditemukan memiliki ukuran yang berbeda-beda di setiap transek. Tetapi, beberapa biota yang ditemukan memiliki ukuran yang sangat kecil. Hal ini terutama ditemukan pada biota yang umumnya menjadi target pencarian masyarakat setempat seperti chiton sp, gurita dan ikan yang saat ini hanya akan ditemukan dalam ukuran sedang hingga besar jika mencari di daerah hempasan ombak (dekat tubir). Jumlah populasi biota selama 5 tahun terakhir dapat dilihat dari nilai kelimpahan biota (lampiran 6) di setiap lokasi pada grafik dibawah ini,
Gambar 5: Dinamika kelimpahan biota selama 5 tahun terakhir di Lokasi Maluk
Lokasi Maluk nilai kelimpahan tertinggi selama 5 tahun terakhir terlihat pada sampling di bulan Oktober terdapat di stasiun Middle tide dan Low tide. Di dalam grafik, stasiun High tide pada bulan Maret nilai kelimpahan mencapai 40.585 ind/m2. Biota yang memiliki kelimpahan tertinggi adalah kelompok
Polychaeta dengan nilai 17.106 ind/m2.
0
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Gambar 6: Dinamika kelimpahan biota selama 5 tahun terakhir di lokasi Mangkun
Lokasi Mangkun memiliki nilai kelimpahan tertinggi selama 5 tahun terakhir terlihat pada sampling di bulan April terdapat di stasiun Middle tide dan
Low tide. Di dalam grafik, stasiun Middle tide pada bulan Maret nilai kelimpahan
mencapai 99.651 ind/m2. Biota yang memiliki nilai kelimpahan tertinggi adalah kelompok Barnacle sp dengan nilai 53.029 ind/m2.
Gambar 7: Dinamika kelimpahan biota selama 5 tahun terakhir di lokasi Sejorong
Lokasi Sejorong memiliki nilai kelimpahan tertinggi selama 5 tahun terakhir terlihat pada sampling di bulan Oktober terdapat di stasiun Middle tide dan Low tide. Di dalam grafik, stasiun High tide pada bulan April nilai kelimpahan mencapai 141.544 ind/m2. Biota dengan nilai kelimpahan tertinggi yaitu
kelompok Modiolus sp dengan nilai mencapai 100.624 ind/m2.
Dari ketiga biota yang memiliki nilai kelimpahan tertinggi diatas hanya
Modiolus sp yang menjadi target pencarian. Tetapi, untuk lokasi Sejorong kurang
diminati karena warga lebih condong kepada Turbo sp dan Chiton sp sebagai
2009 2010 2011 2012 2013 2014
N
2009 2010 2011 2012 2013 2014
target utama pencarian. Nilai kelimpahan Modiolus sp yang ditemukan saat sampling juga rata-rata didominasi oleh Modiolus sp masih berukuran kecil.
Perubahan Komposisi Biota Intertidal
Hasil perbandingan data selama 5 tahun terakhir (lampiran 7) menjelaskan bahwa kelompok Mollusca adalah kelompok yang memiliki komposisi terkecil dibandingkan dengan kelompok lainnya. Hal ini disebabkan karena moluska merupakan target utama pencarian dalam aktivitas madak. Beberapa biota yang mengalami penurunan dari tahun ke tahun seperti Sea urchins species Tripneustes
gratilla, Tridacna sp, Turbo sp dan Haliotis sp bahkan ada beberapa biota yang
sudah sangat sulit ditemukan seperti Angaria sp dan alga hijau jenis Caulerpa
racemosa. Perubahan komposisi ini dapat dilihat dalam grafik dibawah ini.
Gambar 8: Dinamika kelimpahan Moluska selama 5 tahun terakhir di tiga stasiun
Pada grafik moluska selama 5 tahun terakhir terlihat jumlah tertinggi ada di lokasi Sejorong rata-rata di tiap tahunnya pada stasiun High tide terutama pada tahun 2014 dengan rata-rata 56,0 ind/m2 di stasiun High tide dimana saat sampling
kedua terdapat jumlah Modiolus sp yang sangat besar mencapai 300 ind/m2. Sedangkan nilai terendah pada lokasi Mangkun tahun 2009 di stasiun Middle tide yang tidak ditemukan moluska sehingga rata-rata 0,0 ind/m2.
Jumlah moluska yang tinggi selama 5 tahun terakhir di lokasi sejorong ini disebabkan karena lokasi ini memiliki substrat yang berbatu dimana merupakan habitatsebagian besar moluska. Moluska memiliki asosiasi yang lebih kuat dengan sistem ekologi zona atas yang dibentuk oleh lamun dan pantai berbatu dibandingkan dengan system komunitas karang atau rumput laut lainnya (Yulianda et al 2013).
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Gambar 9: Dinamika kelimpahan Echinodermata selama 5 tahun terakhir di tiga stasiun
Pada grafik Ekinodermata selama 5 tahun terakhir terlihat jumlah tertinggi setiap tahunnya ada di lokasi Mangkun pada stasiun Middle tide terutama pada tahun 2009 di setiap stasiun dan tahun 2012 di stasiun Low tide dengan rata-rata 39,0 ind/m2 dimana jumlah terbanyak berasal dari kelompok Sea urchins sp mencapai 34,0 ind/m2. Sedangkan nilai terendah pada lokasi Maluk tahun 2010 di stasiun High tide dengan rata-rata 1,0 ind/m2. Kelompok ekhinodermata lebih banyak ditemukan pada lokasi Mangkun berhubungan dengan lokasi ini yang memiliki luasan terumbu karang yang sangat luas dibandingkan dengan lokasi lainnya. Kelompok biota ekhinodermata lebih menyukai daerah yang terlindung dan tertutup oleh kerangka karang (Yulianda et al 2013).
Gambar 10: Dinamika kelimpahan Krustase selama 5 tahun terakhir di tiga stasiun
Pada grafik krustase terlihat selama 5 tahun terakhir jumlah tertinggi ada di lokasi Sejorong di stasiun High tide. Namun pada tahun 2014 terlihat nilai tinggi di lokasi Mangkun pada stasiun Middle tide dengan rata-rata 28,0 ind/m2 dimana pada sampling jumlah terbanyak berasal dari kelompok Barnacle sp mencapai 52,0 ind/m2. Sedangkan nilai terendah pada lokasi Mangkun tahun 2010 dan 2011
di stasiun High tide dengan rata-rata 1,0 ind/m2.
2009 2010 2011 2012 2013 2014
ind/
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Nilai tinggi pada Barnacle sp disini karena transek berada di atas batu dan terdapat populasi Barnacle sp yang besar di dalamnya. Untuk kelompok krustase hanya beberapa jenis kepiting dan udang yang di konsumsi. Sedangkan, jenis
Barnacle sp sendiri bukan merupakan target dari pencarian para pemadak,
sehingga masih memiliki jumlah kelimpahan yang sangat tinggi di alamya.
Gambar 11: Dinamika kelimpahan Annelida selama 5 tahun terakhir di tiga stasiun
Pada grafik annelida selama 5 tahun terakhir terlihat jumlah tertinggi ada di lokasi Maluk dan hampir di setiap stasiun terutama pada tahun 2014 di stasiun
High tide dengan rata-rata 10,0 ind/m2. Sedangkan nilai terendah pada lokasi
Sejorong tahun 2009 dan 2010 di stasiun High tide dan Middle tide dengan rata-rata 1,0 ind/m2.
Gambar 12: Dinamika kelimpahan Ikan selama 5 tahun terakhir di tiga stasiun
Pada grafik ikan selama 5 tahun terakhir terlihat jumlah tertinggi ada di lokasi Sejorong di stasiun Low tide terutama pada tahun 2014 di stasiun Low tide dengan rata-rata 5,0 ind/m2. Sedangkan nilai terendah pada lokasi Maluk tahun 2010 dan 2011 di stasiun High tide yang tidak ditemukan ikan. Selama 5 tahun terakhir juga terlihat jumlah populasi ssemakin kearah tubir semakin tinggi.
0,0
2009 2010 2011 2012 2013 2014
ind/
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Sedangkan perbandingan data selama 5 tahun terakhir (lampiran 8) untuk komunitas karang, lamun dan rumput laut dapat dilihat pada Gambar dibawah ini. Dari grafik komunitas karang terlihat bahwa persentase tutupan terendah terdapat di lokasi Maluk. Hal ini dapat disebabkan karena banyaknya pemadak yang turun perharinya dan besarnya aktivitas pembongkaran karang di lokasi Maluk. Lokasi Mangkun memiliki tutupan persentase yang tertinggi di bandingkan dengan lokasi lainnya, karena lokasi ini memang memiliki hamparan terumbu karang yang luas walaupun pada tahun 2005 lalu mengalami pemutihan karang, namun sudah banyak mengalami pemulihan.
Gambar 13: Dinamika persentase tutupan komunitas karang selama 5 tahun terakhir di tiga stasiun
Gambar 14: Dinamika persentase tutupan lamun selama 5 tahun terakhir di tiga stasiun
2009 2010 2011 2012 2013 2014
P
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Grafik lamun menunjukkan Lokasi Maluk memiliki tutupan yang tertinggi sedangkan tutupan terendah terdapat di Lokasi Mangkun. Hal ini berbanding terbalik dengan persentase tutupan karang dimana Mangkun memiliki persentase tutupan tertinggi dan Maluk memiliki persentase tutupan terendah. Semakin besarnya persentase tutupan karang, akan mempengaruhi persentase tutupan dari lamun. Hal ini dikarenakan substrat Maluk berpasir dan lebih halus dibandingkan dengan Lokasi Mangkun. Lamun umumnya tumbuh di substrat pasir, pecahan karang, dan sedikit substrat agak halus yang merupakan karakteristik fisik (Yulianda et al 2013).
Gambar 15: Dinamika persentase tutupan rumput laut selama 5 tahun terakhir di tiga stasiun
Grafik persentase tutupan rumput laut di setiap lokasi cukup tinggi selama 5tahun terakhir dan terlihat semakin ke arah laut persentase tutupan cenderung semakin meningkat. Persentase tutupan rumput laut tersebar dari zona atas hingga zona bawah yang masih merupakan habitat tumbuhnya rumput laut. Rumput laut tumbuh hampir di seluruh bagian peraitan sampai batas kedalaman 200 meter (Pratomo dan Lilik 2001). Daerah intertidal merupakan daerah yang relatif homogen sebaran nutriennya dari zona atas hingga zona bawah, sehingga sebaran komunitas rumput laut lebih banyak dipengaruhi tingkat perendaman air dan kecerahan perairan lebih baik di zona bawah (Yulianda et al 2013).
Keanekaragaman Biota Intertidal
Perbandingan data 5 tahun terakhir (lampiran 9) menunjukkan bahwa ketiga lokasi memiliki nilai keanekaragaman yang termasuk dalam katergori rendah (0<H’<2,3). Kisaran nilai keanekaragaman untuk lokasi Maluk berkisar antara 1,133-2,146, lokasi Mangkun 0,385-2,042 dan lokasi Sejorong 0,729-2,319. Selama 5 tahun terakhir untuk kelimpahan tertinggi di lokasi Maluk berada pada bulan Oktober, sedangkan Mangkun dan Sejorong kelimpahan tertinggi berada pada bulan April. Nilai kelimpahan tertinggi dan terendah di ketiga lokasi juga terdapat pada bulan yang sama dengan bulan yang memiliki nilai tertinggi selama 5 tahun terakhir, yaitu lokasi Maluk di bulan Oktober, Mangkun dan Sejorong di bulan April. Mangkun adalah lokasi yang memiliki keanekaragaman paling rendah dibandingkan dengan lokasi lainnya, hal ini dapat diakibatkan karena besarnya kerusakan karang akibat pemutihan (coral bleaching) pada tahun 2005.
0
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Gambar 16: Keanekaragaman fauna intertidal dari tahun 2009-2014 di Lokasi Maluk
Gambar 17: Keanekaragaman fauna intertidal dari tahun 2009-2014 di lokasi Mangkun
2009 2010 2011 2012 2013 2014
In
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Gambar 18: Keanekaragaman fauna intertidal dari tahun 2009-2014 di lokasi Sejorong
Sosial Madak
Manusia sebagai makhluk utama yang memiliki pengaruh besar terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungannya baik secara langsung maupun tidak langsung, walaupun didalam pengaruh yang dihasilkan oleh manusia itu sendiri terdapat adanya pengaruh yang diberikan dari lingkungan itu sendiri. Manusia menjadi kunci perubahan dalam lingkungannya karena manusia dan tingkah-lakunya mampu mempengaruhi kelangsungan hidup seluruh makhluk yang ada, akan tetapi, melalui lingkungannya ini pula tingkah-laku manusia ditentukan sehingga sebenarnya ada hubungan timbal-balik yang seimbang antara manusia dengan lingkungannya (Ridwan 2007). Kearifan lokal sudah menjadi suatu pengetahuan yang turun-temurun di dalam masyarakat sehingga jadi pedoman oleh masyarakat dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari baik secara sosial maupun dengan lingkungannya. Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan tindakan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang mempedomani manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh (Suhartini 2009). Kearifan lokal berfungsi dan bermakna dalam masyarakat baik dalam pelestarian sumberdaya alam dan manusia, pemertahanan adat dan budaya, serta bermanfaat untuk kehidupan (Permana 2011).
Masyarakat tradisional pada umumnya mempunyai pengetahuan mengenai aturan tata guna lahan tersendiri yang sudah ada secara turun temurun, berdasarkan dengan keyakinan dan budaya yang dimilikinya namun umumnya sama dalam beberapa prinsip dasar pelaksanaannya. Pengetahuan tradisional ini, merupakan sejarah bagaimana manusia secara sosial, ekonomi, lingkungan, spiritual dan perubahan politik berinteraksi atas dirinya sendiri maupun dengan apa yang ada di luar mereka, kualitas dan kuantitas dari pengetahuan tradisional
0,0
2009 2010 2011 2012 2013 2014
ini melampaui aturan gender, usia, status sosial, profesi, dan kemampuan intelektual (Seftyono 2011). Pengetahuan tradisional (dan lokal) menjadi penting dalam manajemen sumberdaya, karena menjelaskan bahwa nilai tradisi mempengaruhi keseimbangan eksternal dan memiliki konsekuensi identitas sosial yang kuat (Hanna 1996 dalam Schafer 2007).
Madak/remadak adalah sebuah istilah dari masyarakat Sumbawa untuk surutnya air laut. Saat mereka akan melakukan pengambilan biota yang terjebak dalam sisa genangan-genangan air yang telah surut, hal inilah yang mereka katakan dengan “pergi ambil hasil madak” sehingga dikenal dengan “aktivitas madak” yang sebenarnya kata “madak” sendiri menggambarkan air laut yang surut bukan aktivitasnya. Aktivitas madak/remadak merupakan suatu budaya yang sudah ada sejak dulu (lebih dari 85 tahun lalu). Budaya yang secara turun temurun dilakukan oleh masyarakat Sumbawa ini semakin lama semakin mengalami perubahan dari budaya tradisional aslinya. Madak dulunya ada 2 macam yaitu “madak utuk” dimana madak yang hanya dilakukan khusus untuk mencari kerang-kerangan dan “madak bobo” yaitu madak yang khusus untuk mencari bobo (Sea
urchins species Tripneustes gratilla).
Pada zaman dulu saat madak biasanya perempuan menggunakan seme’ (masker) yang terbuat dari kulit pohon mangga khusus yang di jemur kemudian direndam dengan air beras ketan kemudian di jemur lagi hingga kering lalu di tumbuk hingga halus dan di ayak. Hal ini dilakukan untuk menghindari dan menghalangi panas matahari. Selain itu baik perempuan dan laki-laki meggunakan soko (topi) yang terbuat dari anyaman. Perlengkapan madak zaman dulu dan cara pembuatan seme’ dapat dilihat pada lampiran 10. Hasil dari madak sebagian besar digunakan sebagai alat tukar yang ditukarkan dengan hasil madak lainnya atau barang seperti beras, daging, piring dan lain-lain dan ada beberapa yang dikonsumsi langsung. Tetapi, masyarakat lebih sering membagi hasil dari madak mereka kepada para tetangga ketika mendapat lebih. Untuk hasil madak berupa ikan bebuak (ikan buntal), bintang laut dan kepiting besar berwarna merah yang biasa disebut kepiting bintang (sore bintang) setelah dimakan (diambil isinya) cangkangnya digunakan sebagai hiasan rumah.
Gambar 19: Penggunaan alat dalam aktivitas madak
Gambar 20: Penggunaan media penampung dalam aktivitas madak
Dari dua grafik diatas dapat dilihat alat yang mendominasi digunakan berturut-turut adalah poke, pisau dan parang. Penggunaan poke, pisau dan parang merusak ekologi dimana saat penggunaannya poke memang selektif tapi juga digunakan untuk menganggkat dan mencungkil karang guna mengambil biota yang ada. Sedangkan pisau dan parang lebih sering digunakan untuk mengaduk sedimen seperti sendok. Media penampung juga mengalami perubahan dari Gandek, Ladok dan Baka kini berubah menjadi ember yang banyak digunakan di tiap lokasi.
Gambar 21: Hasil dari aktivitas madak oleh para responden
Dari grafik di atas dapat terlihat bahwa di lokasi Maluk lebih dominan hasil yang didapat dari madak adalah sedikit tidak seperti di lokasi Mangkun dan Sejorong dimana warga merasakan hasil yang banyak walaupun sudah terjadi penurunan tetapi hasil yang didapat masih dapat dikatakan banyak.
Saat ini warga asli rata-rata bermotif untuk sekedar menambah bahan makanan dan mengisi waktu luang bersama teman dan keluarga saja, seperti yang terlihat pada Gambar 22. Masyarakat khususnya warga asli mengeluh dengan cara yang dilakukan oleh warga pendatang yang khususnya mencari Haliotis sp (abalone) dalam melakukan madak yang tidak ramah lingkungan yaitu dengan membalikkan karang. Mereka mengerti dan menyadari akibat dari perlakuan para pendatang tersebut, tetapi semakin lama warga asli juga mulai ikut melakukan hal itu karena kesal akan kelakuan pendatang dengan semakin menurunnya hasil yang mereka dapatkan.
Motif yang paling tinggi bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas madak adalah untuk dikonsumsi. Tetapi, masyarakat yang melakukan aktivitas madak ini dengan motif iseng-iseng juga memiliki nilai yang cukup tinggi dibandingkan dengan motif lainnya. Hal ini diakibatkan karena berkurangnya pendapatan pemadak sehingga hasil tidak sesuai dengan tenaga dan waktu yang dikeluarkan. Motif konsumsi ini juga tidak didasari dengan suatu keharusan apabila kegiatan ini tidak dilakukan mereka tetap memiliki bahan makanan, namun jika dilakukan mereka memiliki tambahan bahan makanan dan terkadang motif ini didasari juga karena rasa ingin mengkonsumsinya.
Aktivitas Madak biasanya lebih banyak dilakukan pada hari pertama dalam periode madak karena saat itu biota yang ada paling banyak dan semakin hari semakin berkurang yang juga diakibatkan karena banyaknya pemadak yang turun pada saat hari pertama. Aktivitas madak pada zaman dulunya dalam sehari dilakukan pada saat pagi, sore dan malam hari, tetapi saat ini madak lebih banyak dilakukan pada sore hari dibandingkan dengan pagi dan malam hari (Gambar 23). Selama beberapa periode madak, saat surut pagi tidak ada pemadak yang melakukan aktivitas ini dikarenakan banyaknya aktivitas lain yang dilakukan pada saat pagi hari dan untuk madak malam umumnya hanya dilakukan oleh pria dewasa saja. Menurut beberapa pemadak, biota lebih banyak keluar di sore hingga malam hari atau saat matahari mulai turun, seperti Cypraea sp dan Turbo sp yang lebih banyak keluar pada saat matahari mulai tenggelam. Waktu madak selalu bertambah setiap harinya dan selalu mundur 1 jam dari hari sebelumnya.
Gambar 23 : Waktu pelaksanaan aktivitas madak
Sebagian besar penduduk Sumbawa Barat (dari 9 desa) yang menjadi lokasi sampling memiliki angka kelahiran yang cukup tinggi dimana jumlah penduduk remaja cukup besar (lampiran 13). Aktivitas madak atau budaya madak telah dikenalkan kepada anak-anak sejak kecil. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya anak-anak yang diajak oleh orang tua mereka melakukan aktifitas ini walaupun mereka belum mengerti mencari apa tetapi mereka sudah mulai ditunjukkan apa yang harus dicari (lampiran 14). Sehingga sejak kecilpun mereka telah mengetahui aktivitas ini. Hal ini juga ditunjukkan dengan umur dari pemadak yang lebih didominasi oleh umur-umur muda (Gambar 24), bahkan di daerah Tongo ditemukan anak umur 6 dan 7 tahun sudah menjadikan madak ini sebagai hobi mereka (lampiran 15).
Gambar 24: Persentase umur responden yang melakukan madak
Dari grafik diatas memperlihatkan bahwa responden pemadak umumnya dilakukan oleh masyarakat berumur 31-40 tahun dan umur 21-30 tahun (lampiran 16). Tetapi, jumlah pemadak yang masih dibawah umur 20 tahun juga terlihat disetiap lokasi. Hal ini karena anak-anak sejak berumur 5 tahun sudah mulai di ajak oleh orang tuanya ikut pergi melakukan aktivitas ini, sehingga ditemukan juga para pemadak yang berumur dibawah 10 tahun. Pada grafik, umur 51-60 tahun umumnya melakukan madak pada masa mudanya (pernah melakukan madak), tetapi tidak semua masih tetap melakukan aktivitas ini.
Aktivitas madak lebih banyak dilakukan oleh perempuan (Gambar 25), khususnya ibu rumah tangga baik dengan motif mengisi waktu luang, rekreasi bersama anak-anaknya atau dengan teman-teman yang umumnya adalah tetangganya dengan membawa langsung nasi, air dan bumbu-bumbu sederhana sehingga mereka dapat langsung mengkonsumsi hasil dari madak mereka di lokasi mereka madak karena hasil madak rata-rata dapat dikonsumsi langsung, dan menurut para responden hasil madak jauh lebih nikmat dimakan dalam bentuk mentah (baru di ambil). Biota yang umumnya langsung dikonsumsi adalah bobo
(Sea urchins species Tripneustes gratilla ) dan utun-utun (Codium). Masyarakat
memiliki nama lokal sendiri untuk setiap biota yang di ambil (Tabel 3 dan Tabel 4).
Dari grafik diatas dapat terlihat hampir di setiap lokasi sebagian besar dari responden yang melakukan madak adalah perempuan. Banyaknya jumlah pemadak perempuan karena lebih banyak waktu luang mereka untuk melakukan aktivitas ini dan biasanya dilakukan oleh para ibu rumah tangga. Para ibu rumah tangga juga biasanya memanfaatkan aktivitas ini sebagai sarana untuk berkumpul dengan teman-temannya atau tetangganya sekalian untuk berekreasi bersama anak-anaknya. Di lokasi sejorong jumlah pemadak perempuan dan laki yang hampir sama disebabkan karena di daerah ini rata-rata para lelaki dan perempuan lebih condong menjadi petani sehingga mereka memiliki waktu luang yang sama.
Tabel 3: Nama lokal untuk biota yang diambil oleh masyarakat antara lain:
Nama Latin Nama Umum Nama Lokal
Rumput Laut
Codium Rumput hijau Utun-utun
Caulerpa racemosa Latoh Latok terong
Biota
Angaria sp Siput mahkota Siput batu
Cellana sp Tiram batu Lokan
Chiton sp Kerang mantel Truku / Tengkias
Conus sp Keong kerucut Porotela (kecil),
Crab sp Kepiting Kepiting
Cypraea sp Keong sapi Bulek
Pisces sp Ikan Empak
Haliotis sp Abalon / Mata tujuh Benaru
Oliva sp Keong oliva Basi
Patella sp Keong tudung Lokan kuning
Pina Bicolor sp Kapak-kapak Kapak-kapak
Pinctada sp Kerang mutiara Kecaping
Tripneustes gratilla Bulu babi Bobo
Modiolus sp Kerang pasir Ome
Shrimp sp Udang Udang
Thais sp Siput karang Base / Batungalu
Tridacna sp Kima Reslat
Trochus sp Lola Lolak mulur
Turbo sp Mata lembu Kentong
Tabel 4: Nama lokal untuk ikan yang diambil oleh masyarakat antara lain:
Nama Latin Nama Lokal Nama Latin Nama Lokal
Sargocentrom Krodang Chaetodon adiergatos Rentolong
Cephalopholis auranantia Kerapu Abudefduf sexfasciatus Lensayan
Trachinotus blochii Menggali Hipposcarus harid Bokar
Lutjanus argentimaculatus Jarang gigi Siganus albyrinthodes Serfii
lutjanus bengalensis Bungga baru Aseraggodes senoui Empak Stebee
Lutjanus fulfviflamma Tanda tanda Rhinecanthus
aculeatus pogot
Lutjanua gibbus Dapa Cyclichthys
orbicularis Krutung
Gerres erythruourus Bebasa Naso brachycentron Sangga
Diagramma melanacra Ragi lolo Liza argentea Bongga
Gymnocranius frenatus Ketamak Taeniura Iymma Pari
Perilaku Pemadak
Banyaknya pendatang yang melakukan madak saat ini yang dapat dikatakan melebihi jumlah warga asli (Gambar 26), hal inilah yang menyebabkan semakin banyaknya juga orang/penduduk yang melakukan madak. Perilaku para pendatang ini melakukan aktivitas madak dengan seenaknya saja, tanpa memperhatikan lingkungan. Perilaku inilah yang lama kelamaan memberikan dampak pada penurunan hasil yang didapat. Warga asli yang mulai merasakan penurunan hasil madak sudah mulai menjadikan kegiatan ini menjadi kegiatan sampingan saja.
Gambar 26: Asal penduduk dari 9 Desa
Dari grafik diatas terlihat bahwa jumlah penduduk pendatang memiliki persentasi lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk asli. Dimana dari 329 responden 52% berasal dari luar Pulau Sumbawa yang telah lama menetap di pulau Sumbawa baik sebagai transmigran maupun pekerja dari PT. NNT yang pindah dari daerah asal mereka. Para pendatang inilah yang menjadi pelaku madak pemula yang menurut pendapat sebagian besar responden menyebabkan terjadinya perubahan perlakuan yang tidak ramah lingkungan.
Perilaku para pemadak bermacam-macam tergantung dari jenis biota apa yang mereka inginkan. Perilaku para pemadak yang menginjak karang umumnya dilakukan oleh para pemadak yang mencari biota dan melewati komunitas karang dengan menginjaknya tanpa mencari jalan lain untuk dapat menghindari karang tersebut. Perilaku pemadak yang mencari Haliotis sp, Gurita, Kepiting, dan Ikan biasanya membongkar karang karena biota yang berada di bawah karang. Sedangkan para pemadak menggeruk sedimen berpasir untuk mencari Modiolus sp yang biasanya melekat pada batuan dan berada dalam sedimen berpasir.
Gambar 27: Dampak yang dihasilkan oleh masyarakat yang bermotif ikut-ikutan sebagai pemadak pemula
Sumbawa 48% Lombok
38% Luar NTB
Gambar 28: Aktifitas pemadak pemula yang ikut-ikutan
Pembongkaran karang yang dilakukan masyarakat merusak habitat biota itu sendiri karena pembongkaran karang yang dilakukan tidak mengembalikan karang dalam keadaan semula. Sehingga posisi karang yang seharusnya ada di atas menjadi di bawah, bahkan ada karang yang dibiarkan saja dalam keadaan berdiri. Hal ini mengakibatkan rusaknya habitat biota karena berkurangnya bahkan hilangnya habitat sekaligus tepat bersembunyinya biota seperti ikan dan gurita. Kerusakan akibat pembongkaran ini lebih terlihat pada lokasi Maluk dimana lokasi ini 85% karang telah terbalik.
Para pemadak pemula atau yang hanya bermotif ikut-ikutan dapat menghasilkan dampak yang lebih besar karena dari hasil survey para pemadak tersebut tidak tahu biota apa yang dicari dan bagaimana cara mencarinya sehingga mereka hanya melakukan aktivitas yang terlihat dilokasi. Dampak dari perilaku madak baik dari perilaku pemadak pemula maupun dari para pemadak yang telah lama melakukan aktivitas ini dapat di nilai dari dari tingkat dampak yang ditimbulkannya. Dampak ini di nilai dari besarnya kontribusi yang dihasilkan perilaku ini terhadap kerusakan ekologi zona intertidal. Skoring dari dampak perilaku ini dapat dilihat seperti pada tabel 5 dibawah ini.
Tabel 5. Skoring dampak perilaku pemadak
No Perilaku Pemadak Skoring* 1. Pembolak-balikan karang 3
2. Penginjakan karang 2
3. Pengadukan sedimen 1
* Semakin tinggi nilai skoring, maka semakin besardampak yang dihasilkan terhadap ekologi intertidal
Pemanfaatan Biota Intertidal
Gambar 29 : Kelompok biota target utama pencarian pemadak
Pada grafik diatas terlihat bahwa moluska memiliki nilai tertinggi menjadi target utama pencarian dalam aktivitas madak dan hal ini terlihat dari semua lokasi. Hal ini dikarenakan moluska dapat diambil oleh semua kalangan umur baik perempuan maupun laki-laki. Grafik ini jika dibandingkan dengan kelima grafik pada perubahan komposisi biota intertidal di atas akan menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pemanfaatan dan pengambilan suatu kelompok biota akan mempengaruhi jumlah populasi biota yang ada di alamnya.
Tingginya pemanfaatan dan tingkat pengambilan biota dari kelompok moluska, terlihat pengaruhnya pada grafik komposisi biota intertidal dimana jumlah moluska di tiap lokasi berbeda dan sangat kecil nilainya jika dibandingkan dengan kelompok biota lainnya. Populasi biota yang umumnya diambil oleh masyarakat cenderung menurun seperti moluska jenis Cypraea sp, Turbo sp dan bulu babi berbulu pendek, sebaliknya biota-biota yang tidak diambil oleh masyarakat masih ditemuan dalam jumlah yang banyak seperti teritip (Barnacle sp), beberapa gastropoda seperti Littorina dan Nerita (Yulianda et al 2013).
Dampak dari berkurangnya jumlah suatu populasi biota dialam terlihat pada kelompok biota yang menjadi target utama dalam pencarian madak. Berkurangnya jumlah suatu populasi di alam ini menyebabkan terjadinya perubahan atau pergeseran target utama dalam pencarian para pemadak. Kelompok Sea urchins species Tripneustes gratilla
yang dulunya merupakan terget utama kini tidak lagi
menjadi target karena jumlahnya di alam yang sudah mulai sedikit dan sangat sulit didapat. Hal inilah yang menjelaskan adanya perubahan dominan pengambilan suatu biota dari dulu hingga sekarang (tabel 6).Tabel 6: Klasifikasi dominan pengambilan biota dari dulu hingga sekarang
Dari klasifikasi diatas menjelaskan adanya perubahan nilai awal suatu biota yang dulunya menjadi target pencarian tapi sekarang sudah mulai berkurang. Menurut hasil wawancara dan penyebaran kuisioner kepada pemadak menjelaskan adanya perubahan nilai manfaat dari biota yang awalnya menjadi target pencarian tapi sekarang sudah mulai berkurang. Hal ini disebabkan semakin berkurangnya jumlah biota yang menjadi target utama pencarian mereka. Perubahan ini terjadi dalam struktur hasil madak yang didapat oleh para pemadak, namun tidak sampai kepada struktur yang ada di ekosistem.
Contoh seperti kelompok Sea urchins spesies Tripneustes gratilla yang menjadi target utama pencarian para pemadak. Echinoderm mempunyai nilai ekonomis, beberapa jenis diantaranya dapat dimakan misalnya teripang dan bulu babi (Rumahlatu 2008). Dulunya para pemandak dapat menghasilkan 3-5 botol
Tripneustes gratilla sekali turun madak. Tetapi sekarang jangankan 1 botol,
mendapatkan 5 ekor saja sudah untung kata para pemadak. Contoh lainnya
Tridacna sp yang dulunya bisa didapat hingga 1 ember berukuran 5kg dan dengan
ukuran dari sedang hingga besar tetapi sekarang untuk mendapatkan 5 ukuran kecil saja sudah untung. Hasil survey penduduk dan pengisian kuisioner dapat dilihat pada lampiran 16.
Jenis-jenis yang awalnya tidak menjadi target dalam pencarian sekarang mulai menjadi target utama para pemadak seperti pada Modiolus sp dan Cypraea sp. Jenis biota ini mulai dicari karena populasinya yang masih melimpah di alam. Pengambilan dari biota ini pun biasanya dalam jumlah banyak. Dulunya cangkang dari Oliva dimanfaatkan untuk hiasan, namun sekarang cangkang Cypraea sp yang dijual kepada para pengrajin hiasan. Selain fauna, ada tiga jenis algae yang
No Urutan nilai awal No Urutan nilai sekarang
RumputLaut Rumput Laut
1 Caulerpa racemosa Latok 1 Codium Utun-utun
14 Chiton sp Truku/Tengkias 14 Tripneustes gratilla Bobo
15 Pina Bicolor sp Kapak-kapak 15 Shrimp sp Udang
16 Cypraea sp Bulek 16 Cellana sp Lokan
17 Conus sp Porotela 17 Patella sp Lokan Kuning
18 Modiolus sp Ome 18 Oliva sp Basi
menjadi target utama pencarian. Caulerpa racemosa dan Codium dulunya merupakan target utama para pemadak karena kedua jenis algae ini dapat dimakan langsung ataupun dijadikan sayuran dan lauk campuran dari Tripneustes gratilla . Namun, saat ini kedua jenis algae ini mulai sulit bahkan sangat sulit ditemukan terutama Caulerpa racemosa sehingga masyarakat mulai mencoba ke jenis algae lain yaitu Caulerpa webbiana sebagai pengganti kedua jenis algae tersebut.
Gambar 30: (1) Chiton sp yang siap olah; (2) codium yang sudah direndam oleh isi dari Tripneustes gratilla; (3) gurita yang dijemur siap olah; (4,5,6)
Thais sp, Pinctada sp dan trochus sp yang sudah dibakar dan di
konsumsi; (7,8,9) Cypraea yang sedang dijemur untuk dijual.
Zaman dulu Sea star dan Crab yang berwarna merah yang berukuran sedang hingga besar setelah diambil isinya kemudian cangkangnya dijadikan hiasan dalam rumah. Menurut para pemadak, dulunya Sea cucumber sp diambil oleh para pendatang terutama yang berasal dari luar Provinsi NTB karena oleh mereka akan dijadikan obat. Beberapa biota juga dijual oleh beberapa masyarakat yang memanfaatkan hasil madak, tetapi hal ini lebih dipengaruhi oleh banyaknya hasil yang mereka dapat dan permintaan. Seperti cypraea sp yang biasa diambil untuk dijual kepada para pengrajin yang akan memanfatkan cangkangnya untuk dijadikan sebagai hiasan. Biasanya pemadak yang mengambil cypraea sp mengumpulkan hasil madaknya selama 1 periode kemudian baru dijual.
1
2
3
4
5
6
Valuasi Ekonomi
Pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat pesisir Sumbawa yang memanfaatkan sumberdaya intertidal tanpa memperhatikan lingkungannya akan mengakibatkan pengaruh yang sangat besar terhadap keberlanjutannya, mereka hanya memikirkan keuntungan tanpa memikirkan akibatnya. Valuasi ekonomi merupakan pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya secara formal (Eriyati 2010). Dinamika ekosistem harus dimasukkan kedalam pertimbangan pengelolaan termasuk pentingnya mengetahui nilai ekonomi sumberdaya sebagai salah satu faktor input kebijakan (Adrianto 2006).
Dampak yang ditimbukan secara tidak langsung bernilai ekonomi, nilai dapat dihitung dengan melakukan valuasi ekonomi sumberdaya sehingga kita dapat mengetahui besaran nilai dari dampak yang ditimbulkan dari suatu kegiatan pemanfaatan. Adanya valuasi ekonomi diharapkan dapat menghasilkan keputusan yang baik melalui masukan analisis ekonomi, analisis keuangan dan analisis nilai manfaat serta biaya dari sumberdaya alam dan lingkungan (Suparmoko 2003). Valuasi ekonomi biasanya digunakan untuk menentukan dua kepentingan yang berbeda antara konservasi dan eksploitasi sumberdaya di suatu daerah. Valuasi merupakan fundamental untuk pemikiran pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) dan bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi kepada
sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut pandang masyarakat (Baderan 2013). Dimana pembangunan yang berkelanjutan menurut Adrianto 2006, lebih menitikberatkan pada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, dan kualitas lingkungan dan sumberdaya alam.
Hasil madak awalnya hanya menjadi bahan makanan dan alat tukar tidak bernilai uang. Biasanya ditukarkan dengan beras, daging, dan baju ataupun dengan hasil madak lainnya. Namun, hasil madak saat ini dijadikan sebagai tambahan makanan dan jika mendapatkan hasil dalam jumlah yang banyak serta adanya permintaan dapat dijual. Tetapi, hasil madak yang didapat saat ini tidak selalu memuaskan para pemadak yang menjadikan aktivitas ini sebagai mata pencaharian mereka dikarenakan yang mereka dapat tidak selalu dapat dijual karena jumlah yang didapat sedikit. Meskipun dapat dijual tetapi tidak memiliki harga yang sepadan dengan usaha dan akibat yang ditimbulkan dari cara mereka mencari biota tersebut. Hal ini dikarenakan sudah banyak yang dapat melakukan aktivitas ini dan mengerti keuntungan dari aktivitas ini.
Hasil madak dulunya sangat membantu dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan sehingga sampai saat ini masyarakat memiliki keinginan yang tinggi dalam melakukan aktivitas ini walaupun hasil yang tidak memuaskan seperti dulu. Keinginan yang besar ini membuat masyarakat menjadi kurang peduli terhadap lingkungan terutama yang terjadi saat ini banyaknya karang yang telah terbalik, karang yang terinjak dan berkurangnya komunitas rumput laut dan lamun. Mereka tidak memperhitungkan dampak dari perbuatan yang mereka lakukan yang mereka fikirkan hanya bagaimana cara agar mendapatkan hasil yang memuaskan.
mendapatkan jumlah yang cukup untuk dijual. Beberapa biota yang dijual dengan jumlah dan harganya dapat dilihat dalam tabel 7.
Tabel 7: Harga beberapa biota intertidal yang dijual
Nama Biota Harga (Rp) Jumlah Biota
Cypraea sp 6.000 - 15.000/kg 70 ekor/kg
Haliotis sp 100.000 - 175.000/kg 30 ekor/kg
Tripneustes gratilla 15.000/botol 150 ekor/botol
Tridacna sp 10.000/ plastik kecil 20 ekor/ plastik kecil
Turbo sp 2000/ekor 1 ekor/ekor
Pisces sp 20.000-30.000/kg 3 ekor/kg
Keberadaan ekosistem terumbu karang, lamun dan rumput laut memiliki fungsi masing-masing dalam hal ekologi. Hilangnya fungsi dari ekosistem terumbu karang, lamun dan rumput laut akan berdampak pula pada biota yang memanfaatkan keberadaan dari ekositem tersebut. Masing-masing fungsi ekologis dapat dilihat pada tabel 8 :
Tabel 8: Fungsi ekologis ekosistem terumbu karang, lamun dan rumput laut.
Ekosistem Fungsi ekologis
Terumbu Karang Sebagai pelindung pantai dari deburan ombak (Tania 2012) Penahan erosi dan abrasi pantai (Wibisono 2011)
Habitat (tempat tinggal) beberapa biota (Coremap II 2006) Tempat mencari makan beberapa biota (Coremap II 2006) Tempat asuhan dan pembesaran beberapa biota (Coremap II 2006)
Tempat pemijahan beberapa biota (Coremap II 2006) Lamun Stabilisator pantai (Djunaedi 2011)
Tempat asuhan (Djunaedi 2011)
Tempat mencari makan dan berlindung termasuk Dugong dan Penyu Laut (Djunaedi 2011)
Penahan endapan (Kusnaedi et al 2008)
Produsen utama dalam jaring-jaring makanan (Kusnaedi et al 2008)
Rumput Laut Habitat beberapa biota
Menjebak lumpur gambut (Raffaelli and Stephen 1996)
Menyediakan lingkungan sedimen (Raffaelli and Stephen 1996)
Fungsi-fungsi diatas yang tidak dapat digantikan dan tidak dapat kembali ke fungsi semula dalam waktu dekat. Untuk mengembalikan fungsi itu sendiri diperlukan waktu yang lama dan juga biaya yang besar terutama mengembalikan ekosistem terumbu karang yang telah rusak. Sedangkan untuk komunitas lamun dan rumput laut tidak semua jenis dapat direhabilitasi dengan bantuan manusia.
Kerentanan Lokasi Intertidal Kerusakan Lokasi Intertidal
Persentase tingkat kerusakan yang diakibatkan aktivitas madak terhadap biota intertidal yang paling besar secara berturut-turut terlihat pada lokasi Maluk (85%), Mangkun (50%) dan Sejorong (5%). Pada lokasi Maluk komunitas karang yang terbongkar menjadi dominansi penyebab besarnya persentase kerusakan habitat. Sedangkan pemutihan karang dan karang yang terinjak mendominansi persentase kerusakan habitat di lokasi Mangkun. Aktifitas pembongkaran karang yang terjadi di Maluk sudah sangat besar hingga sebagian besar dari karang sudah terbalik. Umumnya masyarakat membalikkan karang dan tidak mau mengembalikannya ke posisi semula ada yang membiarkannya terbalik ada pula yang membiarkannya dalam posisi berdiri. Seperti beberapa Gambar 31 di bawah ini:
Gambar 32: Kerusakan yang terjadi di Daerah Intertidal Maluk
Berbeda dengan di lokasi Mangkun yang sebagian besar kerusakan akibat pemutihan karang dan terinjak oleh para pemadak, walaupun ada juga kegiatan pembongkaran karang tetapi tidak besar dibandingkan dengan di lokasi Maluk. Seperti dapat dilihat pada Gambar 33.
Dari ketiga lokasi, Lokasi Sejorong masih terlihat dalam keadaan yang tidak tergnggu baik dari faktor alam maupun faktor manusia. Lokasi ini memiliki substrat yang berbatu sehingga tidak adanya aktivitas pembalikkan karang oleh para pemadak. Seperti dapat dilihat pada Gambar 34.
Gambar 34: Kerusakan yang terjadi di Daerah Intertidal Sejorong
Ancaman dan Dampak Aktivitas Madak Terhadap Biota Intertidal
Dampak yang dihasilkan dari aktivitas madak ini sendiri terlihat pada kerusakan habitat dan biota yang menjadi target pencarian mereka. Kerusakan habitat ini menyebabkan semakin berkurangnya biota yang dapat berlindung dan memanfaatkan keberadaan ekosistem itu untuk menjadikan habitat mereka. Beberapa biota yang mengalami penurunan populasi Seperti Haliotis sp, Ikan,
Cypraea sp, Tridacna sp, Chiton sp, Turbosp dan Sea urchins spesies Tripneustes
gratillayang semakin lama semakin sedikit bahkan susah didapat dengan ukuran
sedang hingga besar. Sedangkan untuk biota yang tidak dapat ditemukan lagi dalam penelitian ini adalah jenis Angaria sp dan Cellana sp.
Gambar 35: Aktivitas madak
Beberapa para pemadak mengambil hanya 1 jenis biota saja (Modiolus sp
dan Cypraea sp) dan rata-rata mengambil semua biota yang ditemukan. Cypraea
yang diambil biasanya untuk dijual pada para pengrajin. Namun umumnya para pemadak mencari biota yang dapat dikonsumsi seperti Sea urchins spesies
Tripneustes gratilla , Turbo sp, Tridacna sp, Haliotis sp, Trochus sp, Thais sp, dan
Conus sp.
Gambar 36: Modiolussp dan Cypraeasp yang di ambil oleh para pemadak
Gambar 37 : Asal pemadak ditiap lokasi dan jumlah perkiraan pemadak dari tiap desanya.
Dari Gambar di atas, lokasi yang memiliki jumlah pemadak terbanyak berturut-turut adalah lokasi Maluk: 6.943 jiwa, Sejorong: 2.232 jiwa, dan Mangkun: 1.917 jiwa. Walaupun jumlah pemadak di lokasi Sejorong lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi Mangkun, namun hasil madak masih terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi Mangkun. Hal ini dikarenakan lokasi Sejorong memiliki kondisi lokasi yang bersedimen berbatu sehingga memliki kelimpahan dan keanekaragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan Mangkun dan Maluk yang bersedimen pasir. Sedimen ini yang menjadi salah satu penyebab yang dapat mempengaruhi penghasilan madak.
Kemampuan Adaptasi Biota Intertidal
Perbandingan data komunitas (lampiran 17) yang diperoleh dengan data-data sebelumnya. Sehingga dapat terlihat apakah adanya perbedaan yang nyata atau tidak antara data yang diambil dengan data-data sebelumnya. Umumnya dari setiap lokasi pengamatan di setiap stasiun dari 5 tahun terakhir di dominansi oleh kelompok Echinodermata yang memiliki nilai tertinggi dan biasanya berasal dari
Sea urchins selain dari spesies Tripneustes gratilla dan Brittle star sp. Di lokasi
Maluk setiap tahunnya ikan memiliki nilai terendah terkecuali di tahun 2014 di stasiun Low tide 2014 dengan jumlah 4,2 ind/m2. Di lokasi Maluk jumlah individu
Gambar 38: Dinamika adaptasi fauna intertidal dari tahun 2009-2014 di lokasi Maluk
Di lokasi Mangkun pada tahun 2014 di stasiun Middle tide di dominansi oleh Krustase yang berasal dari Barnacle sp yang memiliki nilai tinggi dengan nilai 52,7 ind/m2. Sedangkan nilai terendah di setiap tahunnya terdapat pada kelompok fish yang rata-rata tertinggi di setiap tahunnya adalah 2,5 ind/m2. Di lokasi Mangkun cenderung jumlah individu lebih tinggi di stasiun Middle tide dan
Low tide, walaupun di tahun 2012 di stasiun Middle tide sempat lebih kecil dari
stasiun High tide dan stasiun Low tide juga terlihat lebih rendah pada tahun 2014 dibandingkan dengan stasiun Middle tide.
Gambar 39: Dinamika adaptasi fauna intertidal dari tahun 2009-2014 di lokasi Mangkun
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Ind/
2009 2010 2011 2012 2013 2014