• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pidato Ilmiah Dies ke-52 USU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pidato Ilmiah Dies ke-52 USU"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

ISU-ISU IDEOLOGI JENDER KEBAHASAAN

Oleh:

Tengku Silvana Sinar, M.A., Ph.D.

PIDATO DIES NATALIS KE-52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PADA TANGGAL 20 AGUSTUS 2004 DI AUDITORIUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Assalamualaikum Warrahmatullahi wabarakatuh. Selamat Pagi dan Salam Sejahtera.

Yang saya hormati:

Bapak Ketua Dewan Penyantun Universitas Sumatra Utara/Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Sumatra Utara

Bapak Rektor Universitas Sumatra Utara

Bapak dan Ibu Wali Amanah Universitas Sumatra Utara Para Konsul Negara Sahabat

Bapak Walikota Medan

Ibu Rektor Universitas Negeri Medan Bapak Rektor IAIN Medan

Koordinator Kopertis Wilayah I Bapak dan Ibu Rektor PTS

Para Guru Besar Universitas Sumatra Utara

Para Dekan dan Seluruh Staf Pengajardi lingkungan Universitas Sumatra Utara

Para Pengurus Ikatan Alumni Universitas Sumatra Utara Para Undangan yang saya hormati.

(3)

Isu-Isu Ideologi Jender Kebahasaan

1. Pendahuluan

Ijinkan saya memulai pidato ini dengan sejenak menoleh ke belakang, melihat rentangan sejarah manusia yang panjang. Tak ada yang dapat memastikan seberapa panjang persisnya rentangan perjalanan manusia, sementara ahli genetika dan palentologi pun beradu pendapat tentang rangka waktunya. Yang pertama menghitung rentangan sejarah manusia sekitar 200.000 tahun sementara yang kedua lebih senang menyebut angka mendekati 2.000.000 (Halliday 1992). Walau di sini ahli genetika hanya kurang 1 nolnya perbedaan hitungan keduanya tentang sejarah manusia lumayan jauh; dan masih mungkin diramaikan dengan hitungan ahli yang terkini. Terlepas dari itu, teks suci mengatakan keberadaan manusia diawali di surga dan diwakili oleh dua jenis: perempuan dan laki-laki-sesekali ungkapannya dibalik, dan pembunuhan manusia pertama konon bermula dari ‘ketertarikan pada lawan jenis’ (tafsir mis. QS 2:30, 35; 5:27-31).

Perjalanan manusia dalam dua ‘jenis [pokok]’, perempuan dan laki-laki, tetap berlangsung lestari sampai sekarang. Sejalan dengan perjalanan alam yang berdinamika yang di dalamnya manusia hidup, perjalanan dua jenis manusia ini pun berkembang dinamis sedemikian rupa sehingga melahirkan salah satu tema penting dalam kajian akademis akhir abad ke-20 sampai kini. Banyaknya perspektif yang ditawarkan para ahli atau mereka yang berkepentingan untuk memahami fenomena ‘kejenisan’ ini menyiratkan bahwa fenomena ini dapat ditinjau dari berbagai sudut sekaligus juga menggambarkan tingkat kerumitannya yang cukup tinggi. Secara global ini tak lepas dari fenomena manusia itu sendiri, yang menyandang jatidiri bukan hanya sebagai makhluk berdimensi hayati dan ragawi tetapi lebih penting lagi juga makhluk berdimensi sosial dengan berbagai nilainya. Istilah jender dan sex kini biasa digunakan dalam kajian fenomena kejenisan ini untuk menunjuk dan menjelaskan aspek-aspek dalam ragaman dimensi tersebut.

Dalam konteks Dies Natalis USU ke-52 ini wacana tentang fenomena kejenisan manusia ini akan menyinggung isu-isu yang berkembang seputar sosialisasi peran jender dalam pengajawantahannya dengan sikap berbahasa sebagai semiotik sosial. Sejalan dengan kepedulian USU terhadap masyarakat internal maupun eksternal kampus, masalah jender ini perlu diangkat dan diperbincangkan karena telah menjadi salah satu tema dan perbincangan hangat di kalangan masyarakat luas, yang erat hubungannya dengan masalah kebahasaan dan kemasyarakatan dengan berbagai nilai dan tatanan yang dimilikinya. Pembicaraan dalam kesempatan ini akan mengambil pokok bahasan sebagai berikut:

1. Isu-Isu tentang Ideologi Jender 2. Kajian Linguist Femina

(4)

2. Isu-isu Ideologi Jender

Paradigama dalam perilaku sosial seksis dinamakan jender. Kajian akademis tentang jender dan sex dalam arti seksis (jenis kelamin) yang menggunakan kerangka analisis wacana dimulai pada awal tahun 1970. Para peneliti mengetengahkan dua ranah berkaitan dengan sikap bahasa, umpamanya ranah yang terkait dengan kebiasaan pada perangkat fonologi antara perempuan dan laki-laki. Kajian mengenai bahasa jender secara khusus mengasumsikan dua hal pokok, yaitu asumsi tentang adanya bahasa seksis dan adanya metodologi pengkajian jender. Bahasa perempuan misalnya lebih mencerminkan konservatisme, prestise, mobilitas, keterkaitan, sensitivitas, solidaritas dan sejenisnya, sedangkan bahasa laki-laki sebagai bandingannya lebih terikat pada hal ketangguhan, persaingan, kemampuan, hirarki dan sejenisnya. (Eckert dan Mc.Connel-Ginet, 1992)

Kajian mengenai jender berangkat dari kritik terhadap idiologi yang berlaku adanya perbedaan ragawi (biologis) antara perempuan dan laki-laki yang dipandang merupakan persyaratan budayawi terhadap kualitas jender. Ideologi yang berlaku dalam masyarakat Barat ialah peran sosial kaum laki-laki dapat mewakili semua urusan yang berhubungan dengan hampir semua tugas manusia kecuali hamil dan melahirkan keturunan. Kedudukan ini dipertentangkan secara binari. Menurut kaum feminis perbedaan ragawi hanya sebatas tanda pengenal perempuan dan laki-laki, tidak sampai menyebabkan peran sosial menjadi berbeda. Sikap berat sebelah ini dianggap sebagai sikap yang merendahkan kaum wanita. Seterusnya dengan adanya sikap ini membentuk atau mencipta ideologi othering (M.Thahir, 2004) “kaum laki-laki” di satu pihak dan pihak yang lainnya adalah “kaum perempuan”. Munculnya perjuangan persamaan hak dan kedudukan sosial perempuan dan laki-laki merupakan bukti adanya kritik terhadap pembedaan ragawi yang berlaku secara sosial dan budayawi. Dari perspektif bahasa ada nilai sosial yang ditandai dengan ungkapan “istri (perempuan) mempunyai kewajiban mematuhi suami (laki-laki)”. Ini ungkapan bahasawi yang sering diperdengarkan di berbagai ceramah, jarang terdengar penceramah berucap misalnya “suami (laki-laki) mempunyai kewajiban mematuhi istri (perempuan) juga”. Ini seolah menyiratkan bahwa realita bahasawi berbunyi “kepatuhan” maupun realita sosial berupa ‘kepatuhan’ hanya melekat pada perempuan, tidak pada laki-laki. Ungkapan klausa seperti tersebut memang harus dilihat lebih jauh tautannya dalam teks yang juga ada konteksnya, tidak sesederhana itu, tetapi kebiasaan berbahasa demikian berpotensi melahirkan kepincangan jender dalam nilai dan tatanan sosial kita.

(5)

juga. Dalam adat Melayu nama suami tidak boleh disebut di depan umum, harus diganti misalnya dengan kata “pacalan”, ayah si anu (menyebut nama anak tertua), sedangkan suami boleh menyebut nama istri di depan umum. Gambaran-gambaran realita sosial-budaya kehidupan yang menyepelekan perempuan nusantara misalnya di jalan raya ada seorang pengendara mobil menyalib mobil di depannya maka laki-laki selalu berkomentar “oh itu yang bawa mobil mesti perempuan”. Dan gambaran ini cerminan dari nilai dan hubungan sosial suami-istri yang-secara gramatik-sangat bernuansa modulation (wajib/harus begini, begitu) pada sikap suami (laki-laki), jauh dari nuansa modalisation (boleh/bisa begini atau begitu).

Idiologi menstereotaipkan kaum perempuan sebagai golongan yang lemah kelihatannya tidak berlaku secara maksimal bagi orang Batak Toba karena terbukti para perempuan bukan saja berfungsi sebagai ibu rumah tangga tetapi bekerja di ladang sementara kaum laki-laki duduk di kedai kopi bermain catur. Dalam konteks di Eropa/Australia cukup banyak perempuanberprofesi sebagai supir bis, pekerjaan yang biasanya dilakukan laki-laki malah dikerjakan perempuan juga di masyarakat budaya tersebut. Ini membuktikan bahwasanya faktor jenis kelamin adalah faktor kromosom dan hormonal.

Kress dan Hodge (1979) mengatakan bahwa kajian ideologi membicarakan hubungan bahasa dengan masyarakat dan kebudayaan karena adanya pengaruh tuntutan sosial politik. Pengaruh kekuasaan terhadap sejarah, politik, sistem masyarakat, nilai, sastra dan budaya membentuk pandangan masyarakat sehingga meyakini suatu konsep sebagai kebenaran yang wajar ini dinamakan ideologi. Contohnya, pandangan yang sudah menjadi “ilmu” atau “teori” yang dipercayai dunia Barat adalah “orang-orang Timur Tengah adalah teroris”, atau “orang Melayu malas”. Konsep ini dilahirkan oleh penguasa yang dominan yang dapat membentuk pandangan masyarakat terhadap sesuatu objek sehingga masyarakat tersebut secara wajar mempercayai pandangan atau “ilmu” tadi. Kewajaran ini selanjutnya merepresentasikan gambaran tersebut menjadi yang absah dan diyakini.

(6)

manggung) pada tingkat tertentu pengaruh sosial-budayanya nampak meluas terutama terhadap kalangan muda-mudi.

Budaya Indonesia di abad 19 dan 20 “berambut panjang” merupakan penanda jatidiri sosial khas untuk kaum perempuan tetapi kini perbedaan fisik dalam hal yang satu ini sudah tidak mutlak, karena interaksi dengan masyarakat budaya bangsa lain melalui berbagai media membuat warga nusantara-yang memang ada kecenderungan ‘suka meniru’ ataupun gambaran zaman nabi-nabi telah menumbuhkan kebiasaan baru di kalangan sebagian masyarakat tertentu: laki-laki berambut panjang, dan juga berkuncir. Maka bila ada ungkapan bahasawi misalnya “dia yang berambut panjang”, kita sulit menentukan apakah ungkapan tersebut merepresentasikan realita makhluk manusia atau non-manusia, laki-laki/jantan atau perempuan/betina, atau malah mungkin juga status seksis yang gabungan jantina seperti biasa ditunjuk dengan sebutan “waria”.

Kalau di satu sekolah yang berjumlah 200an murid (diibaratkan sebagai satu bangsa yang berjumlah 200an juta dalam ukuran mini) terdapat 10an murid yang di lingkungan sekolah berperilaku ‘nyeleneh’ secara semiotik sosial, tentu nuansa dan citra nyeleneh tersebut berpotensi kuat bukan hanya merepresentasikan nuansa dan citra masyarakat sekolah secara keseluruhan sebagai kelompok sosial kelembagaan tetapi juga berdampak pada yang lain-lain. Contoh perilaku laki-laki beranting di telinga di atas tidak dimaksudkan menunjuk perilaku semiotik masyarakat Dayak dengan budaya khasnya, yang di sana kaum perempuan maupun laki-laki biasa beranting besar di telinga-yang juga berlubang besar, yang sejak nenek moyang mereka memang sudah demikian keadaannya dan perlu dimaknai sebagai cerminan semangat kebhinekaan dalam bingkai budaya Indonesia. Kelompok sosial masyarakat panggung yang diperbincangkan di atas kebanyakannya bukanlah bermuasal dari dan menjadi anggota masyarakat Dayak melainkan datang dari berbagai wilayah dengan beragam latar belakang sosial-budaya asal tetapi mereka beranting juga seperti kaum Dayak, India atau kaum panggung mancanegara. Ini tentu pemaknaan tentu tidak sama persis, kendati keduanya ada persamaan: wujud dan cara berdandan seseorang yang merepresentasikan nilai kelompok sosial yang dianut dan diamalkannya sebagai anggota kelompok bersangkutan.

(7)

saja, dan harus diikuti nama keluarga suami di akhir ungkapan” dan Miss untuk “perempuan dewasa yang tidak/belum kawin”. Pergerakan dan tuntutan kesetaraan jender oleh kaum perempuan berbahasa dan berbudaya Inggris di Barat melahirkan istilah baru di awal tahun 1970an: Ms untuk menunjuk “perempuan dewasa, bisa sudah kawin,belum kawin, tidak kawin tapi punya pasangan seatap”. Alihbahasa Indonesia untuk Mrs dan Miss mudah tetapi untuk Ms agak kesulitan (Nonya, Nona, Tante [Girang], Nona Gaul, atau apa?).

Dalam perspektif sosial bukan hanya jender tapi juga seksis menempati status sosial. Dalam konteks ini seksis dipahami lebih dari sekedar konstruksi seksis kromosom dan seksis gonadal, dan bukan hanya seksis hormonal tetapi sesuatu yang berada di bawah pengaruh lingkungan, karenanya tidak bisa mengasumsikan sesuatu yang merupakan ciri laki-laki semata karena dapat juga merupakan ciri yang disebutkan di atas tadi yaitu perempuan yang merumuskan feminitas: rambut panjang misalnya bukan lagi merupakan ciri perempuan.

Analogi feminisme ditemukan di tahun 60an. Istilahnya merujuk pada sistem sosial dengan basis anggota seksis. Dalam budaya Barat, juga dalam sistem sosial lain, hal ini memberi arti ada dua jenis kelamin yaitu perempuan dan laki-laki. Hubungan antara dua kategori ini tidak sejajar atau egaliter tetapi hirarkis. Dalam hal ini kategori laki-laki (man) atau pria (male) adalah norma dan kategori wanita (woman) dan perempuan (female) merepresentasikan hal lain dan abnormal. Versi tidak lazim secara logis mengikuti normatif male (Wetschanov 1995, Crawford 1995, Coates 1993, Wodak 1997). Dalam konsep seksis perempuan mendenifisikan diri mereka sebagai kelompok sosial tertentu dan sebagai kaum minoritas yang tertekan. Mereka mencari mekanisme penekanan, untuk membuat perempuan lain sadar dan memperjuangkan hak perempuan. Kelompok sosial ini sering mendefinisikan diri mereka sebagai alat bahasa umum yang memegang peranan penting dalam pembentukan identitas dan sub-budaya yang memberikan layanan sebagai alat yang membedakan mereka dengan dunia luar. Identitas khas ini mewujud dalam diri mereka dalam wujud gaya percakapan, wujud-wujud emosional, dan lain-lain.

3. Kajian Linguist Femina

Kajian linguist femina berorientasi pada kajian kebahasaan feminist yang dilakukan oleh perempuan. Kaum feminist memberi bantuan dana penelitian untuk setiap disiplin ilmu dan teknologi serta kritik terhadap pandangan adrosentris dengan iptek tradisional. Banyak proposal dan asumsi dasar linguistik femina berhubungan dengan prinsip linguistik kritis dan analisis wacana kritis sebagai paradigma kualitatif dalam ilmu sains sosial (lihat Fairclough dan Wodak 1997, Wodak 1996).

(8)

penggunaaan bahasa sebagai pembeda kebahasaan perempuan (seksis) tidak simetri dan (3). pencarian alternatif dalam mempertahankan taraf sosial dengan prinsip kebahasaan yang sejajar dalam perlakuan antara perempuan dan laki-laki.

Linguist femina mengkritik aturan norma kebahasaan dan memahami perubahan kebahasaan yang mereka perjuangkan sebagai bagian dari suatu perubahan masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, linguist femina mengamati penggunaan bahasa, mengkaji perbedaan jender dalam percakapan dan wacana (lisan dan tulis). Perbedaan-perbedaan jender dikaji dalam berbagai bidang penggunaan bahasa: voice, ucapan, irama, pilihan kata, argumentasi, leksikon, sintaksis, tingkah interaksi dan percakapan, juga fitur visual dan sarana (mode) komunikasi dan perilaku non-verbal. Perbedaan pencetus-jender dalam penggunaan bahasa tidak diperlakukan hanya sebagai varian berbeda yang berdiri berdampingan. Interpretasi terhadap berbagai jenis indikator kebahasaan (seperti giliran bicara, terus terang, interupsi, tumpang tindih) nampak beragam menurut teori khusus jender dan ideologi yang melatar belakangi kajian ini.

Kajian mengamati penggunaan indikator-indikator sebagai manifestasi ‘tak berkuasanya bahasa perempuan’, perilaku kebahasaan perempuan yang dibandingkan dengan laki-laki seperti dalam bersosialisasi dan memaknakan sesuatu serta dampaknya pada mereka. Penelitian linguist femina mencakup dua sistem, yaitu pendekatan yang berorientasi pada sistem dan pada hubungan tingkah laku dengan bahasa (representasi) dalam sistem bahasa yang ada dan perbedaan perilaku kebahasaan kelompok perempuan dibanding laki-laki.

Bagi linguist femina bahasa dilihat sebagai sistem yang berpihak/imparsial yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem atau organisasi lain dan mereka meneliti dan mendeskripsikan hubungan antara bahasa dan seksis.

(9)

Linguist femina cenderung berbicara tentang pendekatan peran sosial perempuan dan laki-laki walaupun fokus utama penelitian gender ini kepada perempuan. Lakoff (1975) misalnya mengatakan bahwa bahasa perempuan sebenarnya produk sosialisasi sejak masa kanak-kanak yang diciptakan orang tua dan figur otoritas kepada anak-anak perempuan memerankan bahasa dan perilaku yang feminin seperti cara berbicara, cara berpakaian, bermain dengan boneka, menghindari kekasaran yang kesemua dominasi ini telah memainkan norma-norma kultural perempuan secara fisik. Feminitas bukan saja merupakan koleksi arbiter ciri khusus yang berfungsi memberi tanda othering pada perempuan supaya berbeda dengan laki-laki, lebih dari itu feminitas sudah menjadi simbol ketidakberdayaan perempuan disteriotipekan sebagai yang tidak berdaya, tidak suka protes, kurang agresif dibandingkan sifat laki-laki. Bahasa perempuan menurut Lakoff berbeda khususnya pada penggunaan alat-alat bicara yang ditekankan kepada suara yang lembut, berintonasi dan berbahasa tidak agresif.

Lakoff selalu dikritik oleh para ahli bahasa karena hanya mengambil perempuan kulit putih sebagai populasi penelitian bahkan hanya mewakili masyarakat Anglofon Amerika Serikat. Barangkali penelitian sejenis Lakoff perlu dilakukan di negara lain seperti di Asia dan Afrika yang mengambil kasus perempuan bukan Anglofon untuk membuktikan teorinya.

Linguist femina Anglofon lainnya Tannen (1990; 1993; 1994) dengan penelitian sejenis Lakoff tetapi secara khusus meninjau bahasa jender perempuan dalam kelompok sebaya kanak-kanak dan remaja. Tannen menampilkan bahwa baik perempuan maupun laki-laki berorientasi pada seperangkat ideologi bahwa laki-laki mementingkan status dan perempuan berorientasi pada afiliasi bergabungan. Tannen juga menyatakan bahasa perempuan adalah karakteristik bahasa yang digunakan perempuan dan perempuan wujud sebelum bahasa

Sistem bahasa ditelaah dalam hubungannya dengan perilaku wanita dewasa, dan bahasa ditonjolkan sebagai alat yang mengabsahkan struktur perilaku dengan memasukkannya di atas kategori umum dan laki-laki. Bersama-sama dengan sistem bahasa, perilaku kebahasaan dibuat sebagai obyek telaah disiplin penelitian baru dan isu perbedaan jender diteliti dalam gaya komunikasi (Gübert and Kotthoff 1991:32). Selain itu, adanya asumsi bahwa seksis sistem individu mempunyai unsur leksikal, morfologi dan grammatikal didasarkan pada premis bahwa sejarah panjang dibuat atas dasar pembuat kebijakan publik bahwa laki-laki tidak hanya menentukan ekonomi, politik dan orientasi sosial dalam kehidupan sosial tetapi juga mempengaruhi pemungsian dan pensubstansiasian semantik bahasa individu (Postle 1991:89)

(10)

Paradigma kedua menggunakan analogi yaitu bahwa jender merupakan simbol seksis. Identitas jender dilandasi oleh pengalaman sosial hidup sebagai anggota kaum perempuan atau laki-laki yang mengambil peran jender untuk mengkonfirmasi harapan budaya. Peran dan harapan ini mungkin berbeda secara signifikan di masing-masing tempat dan periode sejarah walaupun secara ragawi laki-laki dan perempuan tidak menampilkan variasi karena variasi dan pendekatan analogi menolak asumsi paradigma pertama bahwa ada hubungan langsung antara seksis dan jender, menekankan pada jender sebagai suatu simbol yang menandai perbedaan seksis daripada hanya sebagai elaborasi dari ciri ragawi. Mendukung pernyataan di atas kita melihat masyarakat dapat hidup dengan berhasil sebagai anggota jender yang secara seksis tidak mempunyai kesesuaian dengan seksis secara anatomi. Mathiew mencatat peran sosial terhadap raga menjadi pendekatan standar ilmu pengetahuan. Dalam beberapa versi (seperti fungsionalisme struktur) peran-peran diperlakukan sebagai yang melengkapi (komplementer); dalam versi feminist mereka lebih sering diperlakukan sebagai hirarki, melibatkan dominasi laki-laki dalam subordinasi perempuan dan pada tahap tertentu konflik diantara dua kelompok.

Paradigma ketiga adalah heterogenitas seksis dan jender sebagai sesuatu yang berbeda jenisnya. Ide hubungan keduanya dapat homologus atau analogus, atau dengan kata lain bahwa seksis adalah dasar untuk jender dalam pendekatan sebagai fiksi ideologi. Kita melihat pembagian secara alami ada dua dunia yaitu laki-laki dan perempuan, tetapi harus melihat bahwa pembagian ini sesuatu yang dihasilkan secara historis untuk tujuan pengamanan satu dominasi kelompok terhadap kelompok lain. Dalam paradigma jender mengkonstruksi seksis bukan sebaliknya.

4. Unsur-unsur seksis/jender dalam bahasa.

Linguistik femina keberatan dengan adanya perbedaan studi kebahasaan dan jender yang membedakan orientasi femina dengan non-femina. Sesungguhnya secara kontemporer bahasa dalam penelitian mengenai jender sudah mencakup masalah femina dalam orientasinya tetapi secara prinsip pembedaan dengan femina sesungguhnya merupakan gerakan politik bukan teoritis, artinya membicarakan linguistik femina dan non-femina bukan teoritis tapi politik saja. Contohnya kata ganti pronomina he, she, Miss, Mrs, Mr menempati jenis kata yang sama secara linguistik yaitu pronomina tetapi dari segi sosial-budaya terdapat pelayanan bahasa yang berbeda yang dalam hal ini Miss atau Mrs merupakan pilihan berdasarkan status perkawinan sedangkan untuk laki-laki kata Mr digunakan untuk membedakan landasan status perkawinan.

(11)

benda hayati/non-hayati lain ciptaan Tuhan baik yang kasat mata seperti “jagung”, “sapu” maupun yang abstrak. Tidak seperti bahasa Inggris yang menawarkan tiga kategori ungkapan yang diwujudkan melalui kata-kata he/him, she/her dan it, sehingga bahasa ini dipandang termasuk sexist language, bahasa yang secara nyatawi membedakan makhluk atas dasar seksis. Sementara ungkapan bahasa Indonesia seperti “berambut panjang” kini tidak selalu menandakan jatidiri makhluk manusia mewakili kelompok sosial berjenis perempuan, bisa laki-laki, bisa juga non-manusia berupa hewan atau makhluk gaib-bagi yang percaya, atau bahkan benda hayati/non-hayati yang dimungkinkan berkeadaan demikian (mis. dalam ungkapan “jagung berambut panjang?”).

Adanya unsur-unsur seksis dalam bahasa tersebut membuat cadangan kata-kata alternatif untuk menggantikan kata-kata yang berbau seksis. Dalam bahasa Inggris misalnya kata chairman diberikan alternatif penggantinya chairperson, businessman menjadi executive, cameraman menjadi camera operator, man-made menjadi manufactured, man power menjadi work force,mankind menjadi humanity dan kata-kata lainnya. Dalam bahasa Indonesia misalnya pribumi lebih banyak digunakan dari pada bumiputera. Nama-nama perempuan misalnya didiskriminasikan dengan nama-nama laki-laki. Nama anak-anak perempuan pada umumnya menggambarkan kecantikan dan kelembutan sedangkan nama anak laki-laki menghubungkan kita dengan kekuatan, kepintaran atau kemakmuran.

Faktor seksis juga wujud di dalam peribahasa Indonesia misalnya penakut macam perempuan, anjing makan bangkai menggambarkan laki-laki berhubungan dengan wanita yang telah berhubungan dengan lelaki lain, ada wang abang sayang tak ada wang abang melayang menggambarkan perempuan yang memandang harta, bagai itik pulang petang menggambarkan perempuan gemuk yang berjalan lambat. Bahkan sebaliknya seksis di dalam berbahasa dapat kita dengar ketika kritikus film mengatakan pahlawan wanita sebagai seorang jantan dalam klausa Kejantanan Cut Nyak Dien dalam perang melawan Belanda.

5. Penutup

(12)

perempuan. Tidak ada TKW berseksis laki-laki, dan kata TKW dalam kalimat ini tidak mungkin tergantikan dengan TKP, karena dalam dunia material tidak ada laki-laki hamil dan/atau melahirkan, setidaknya sampai saat ini belum ada yang demikian walau sudah ada teknik kloning yang canggih.

Di perayaan Dies Natalis USU ke-52 yang bersamaan dengan suasana perayaan Hari Kemerdekaan R.I. ke-59 ini gambaran di atas menggugah orang untuk bertanya: di manakah letak kekuatan ciptawi tindak makna yang dimiliki bahasa yang dikatakan berfungsi construes (thinking about) the world reality (natural/material reality) dan sekaligus juga enacts (acting) on the world reality-including on the other people in it (intersubjective reality) sebagaimana disinggung Halliday dan Martin (Halliday 1993:42-61, Martin 1993:141-172)? Dalam konteks ini bahasa telah memerankan dirinya sebagai pengamat observer yang berfungsi membawa realita material ke dalam terjelmanya dunia consciousness (kesadaran) secara simbolik dan juga sebagai intruder yang berfungsi melakukan tindakan terhadap realita antar-pelibat (berbagai komponen masyarakat/bangsa dan para pemimpin negeri ini). Tidak atau belum terjadinya perubahan mendasar terhadap nasib para TKW (TKP juga) dan jutaan kaum kecil dan lemah bernasib malang lainnya-walaupun bahasa telah berbuat sangat banyak dalam perannya melalui media cetak dan elektronik-mencerminkan realita (kondisi obyektif) praktik sosial-budaya peradaban kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara saat ini.

Bila jelmaan kekuatan semiotik bahasa mulai dari ‘yang paling halus, berpantun-ria’ sampai ke ‘yang tegas seperti Kupas Tuntas TransTV, Media Indonesia ala MetroTV atau yang teriak-teriak ala Unjuk Rasa di mana-mana’ tidak menghasilkan perubahan apa-apa bahkan bertambah parahnya social injustice and inequality dalam peradaban kita, proses-proses semiotik sosial selanjutnya potensial berubah menjadi proses revolusi sosial, suatu hal yang tidak dikehendaki manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial. Di negara yang mendengungkan “kemanusiaan yang adil dan beradab” di setiap upacara kemerdekaan ini kita tidak berharap terjadi ‘keganasan yang keji dan biadab’ dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan kita, khususnya yang terkait dengan persoalan jender/seksis yang menjadi topik pembicaraan kita. Pidato ini diawali dengan melihat ke belakang dalam perjalanan peradaban manusia, dan kini ijinkan saya mengajak kita semua untuk menatap ke depan. Semoga masih ada harapan munculnya kecerahan di hadapan kita di negeri ini, kendati saban hari kita diterpa badai berita KKN dan beragam kebrutalan di berbagai penjuru nusantara. Semoga.

5. Kepustakaan

Contes, Jennifer. 1993. Women, Men and Language. London: Longman.

(13)

Eckert, Penelope and Mc.Connell-Ginet, Sally. 1992. “Communities of practice: where language, jender, and power all live”, in Kira Hall, Mary Bucholts and Birch Moonwomon (eds), Locating Power Proceedings of the Second Berkeley Women and Language Conference. Berkeley, CA: Berkeley Women and Language Group, University of California – Berkeley. Pp. 89-99.

Fairclough, Norman and Wodak, Ruth. 1997. “Critical discourse analysis an overview”, in Teun van Dijk (ed). Discourse and Interaction. London: Sage. Pp. 258-84.

Guiraud, P., 1978, in Gross, G. [terj.], Semiology, Routledge & Kegan Paul Ltd., London, Henley, dan Boston.

Halliday, M.A.K., 3 Oktober 1992, Towards a Language-Based Theory of Learning, Makalah, Phonetic Society of Japan, Symposium on Language Acquisition, Tokyo.

Halliday, M.A.K., 1993, Language in a Changing World: a Series of Three Presented Papers, Occasional Paper No. 13, Applied Linguistics Association of Australia (ALAA) & National Languages dan Literacy Institute of Australia Ltd., Deakin, ACT.

Hellinger, Marlis., 1990. Kontrastive feministische Linguistik. Ismaining: Hueber.

Kress, Gunter. 1993. ‘Against arbitrariness: the social production of the sign’, Discourse and Society, 4 (2): 169 – 93.

Lakoff, Robin. 1975. Language and Woman’s Place. New York: Harper & Row.

Martin, J.R., 1993, “Genre and Literacy - Modelling Context in Educational Linguistics”, dalam Annual Review of Applied Linguistics, Vol. 13, Cambridge University Press, New York, hlm. 141-172.

Mathieu, Nicole-Claude. 1989. ‘Identité sexuelle/sexue/de sexe?”, translated and reprinted as ‘Sexual, sexed and sex-class identities: three ways of conceptualising the relationship between sex and jender’, in Diana Leonard and Lisa Adkins (eds) 1996, Sex in Questions: French Material Feminism. London: Taylor & Francais.

M.Thahir, U.Maimunah. 2004. Novel Putera Gunung Tahan: Satu Bacaan Pascakolonial. Kertas kerja di Bicara Ilmu ke-4 Sempena Bulan Bahasa Tahun 2004, Nanyang Institute of Education, Singapore.

Pusch, Luise. 1990. Alle Menschen werden Schwestern. Frankfurt: Suhrkamp. Tannen, Deborah. 1990. You Just Don’t Understand. New York: Morrow.

Tannen, Deborah. (ed) 1993. Gender and Conversational Interaction. Oxford: Oxford University Press.

(14)

Westchanow, Karin. 1995. ‘”Als wenns a Grammatikfehler wär”: Splittingverhalten einer Gruppe mit links-alternativ feministischer Unisozialisation’, MA thesis, University of Vienna.

Wodak, Ruth. 1983. ‘Die Beziehung zwischen Mutter und Tuchter bei schwierigen Kindern: Erstellung einer Typologie aus sozio- und psycholinguitischer Sicht;, Wiener Linguistische Gazettte, No. 2.

Wodak, Ruth. 1984. HilfloseNähe? M tter und Töchter erzählen. Vienna: Rundesverlag. Wodak, Ruth. 1985. ‘Apekte des schicht-, geschlechts- und generations spezifischen

Lautwandels in Wien: eine Untersuchung zum Sprachverhalten von M tter und Töchtern’, in Marlis Hellinger 9ed.) Sprachwandel und Feministische Sprachpolitik: Internationale Perspektiven. Opladen: Westdeutscher Verlag.

Wodak, R. 1997. Jender and Discourse, Sage Publications, London, hlm.1-55.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP DAN IDENTITAS DOSEN

(15)

03 Satminkal (Isi dengan instansi tempat kerja sebagai pegawai tetap)

Fakultas Sastra USU

04 Tempat/tanggal lahir Medan, 16 September 1954

05 Agama/Jenis kelamin Islam Perempuan 06 Pangkat/Golongan/

terhitung mulai tanggal

Lektor Kepala IV/b 1 April 1994 07 Jabatan: Struktural

Akademik

1. Sekretaris Program Studi Linguistik PPs – USU 2003

2. Koordinator Kopertis Wilayah I Sumut dan NAD 2003-sekarang

08 Pendidikan yang pernah diikuti dan tahunnya

Jenjang S1, Bidang Jenjang S2,

Bidang Jenjang S3,

Bidang

Profesi Lainnya

1979 Sastra Inggris, USU Medan

1986 Linguistik , Uni of Sydney

2002 Linguistik, Uni of Malaya 1984 Dipl. TEFL, Uni of Sydney

1994 Certificate TEFL Uni of Leeds

09 Penghargaan Dosen Teladan Fakultas Sastra USU Tahun 1988 Dosen Teladan III USU Tahun 1988

(16)

11 Publikasi Internasional “A Study of the Experiental Meaning of Malaysian Lecture Discourse”. Journal of Modern Languages, Volume 15, 2003, University of Malaya, hal. 191-225, ISSN: 1675-5261

An Introduction to A Systemic – Functional Linguistics Oriented Discourse Analysis”, Deezed Consult Singapore (Publishers), Singapore, 2002 ISBN: 981-04-7328

“Semantic Representation in Lecture Discourse. A Systemic – Functional Analysis” dalam Language, Linguistics and Real World Making Linguistics Relevant. Volume 1, University of Malaya Press, 2004. ISBN: 983-100-224-5 (v.I).

“The Experiental Realisations of Lecture Discourse – in – Texts: A Systemic – Functional Analysis” International Language and Linguistics Conference Kuala Lumpur 18 – 20th October 2002.

Pendekatan-Pendekatan dalam Kajian Bahasa. Makalah Seminar Bulan Bahasa Singapura, Agustus Tahun 1998. Singapura.

Kosa Kata Bahasa Indonesia dalam Wacana Sosial Komunitas Tamil. Makalah Seminar Ilmiah Penelusuran Sejarah, Budaya dan Sastra, Tahun 2003, Mumbai, India.

Unsur Budaya dalam Bahan Ajar Program BIPA (Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing): Suatu Perspektif Indonesia. Makalah Seminar Antara Bangsa Pengajaran dan Pemelajaran Bahasa Melayu untuk Penutur Asing, 22-23 Juli 2004, DBP, Kuala Lumpur Malaysia

(17)

12 Publikasi Nasional Analisis Struktur skematika Genre. (Buku Ilmiah) USU Press. Tahun 1998 ISBN: 989-458-147-10

Teori dan Analisis Wacana: Pendekatan Fungsional Sistemik (Buku Ilmiah), Pustaka Bangsa Press, Tahun 2003, ISBN: 979-3360-10-0

“Karya-Karya Sastra Tradisi” dalam Kebudayaan Melayu Sumatera Timur” (Buku Ilmiah), USU Press Medan, Tahun 2003. ISBN: 979-918-186-0 hal. 224. Analisis Wacana: Pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik. Diktat Kuliah Program Studi Linguistik Pascasarjana USU, Tahun 2003.Realisasi Makna Eksperensial dalam Wacana Kuliah. Makalah pada Pertemuan Linguistik Utara 2, Tahun 2003, Medan. Teks dalam Konteks Situasi. Pemakalah pada Seminar Berkala Alumni dan Mahasiswa Program Studi Linguistik Program Pascasarjana USU, Tahun 2003.

Representasi Teori Linguistik Fungsional Sistemik dalam Analisis Wacana. Jurnal Studia Kultura, Tahun 2002 Nomor 2, ISSN: 1412-8586, hal. 127-137.

The Revitalization of Self Identity “Jati Diri” and Language for Improving Education. Jurnal OASIS Nomor 10 Tahun 2003. ISSN: 1410-7554, hal. 1-12. Perkembangan Analisis Wacana. Jurnal Kajian Linguistik Nomor 1 Tahun 1, 2004. ISSN: 1693-4660, hal. 43-52.

Telaah Wacana Pidato Mantan Presiden Suharto. Maret 2004 Makalah dibacakan pada seminar bahasa FPBS UNIMED Medan.

Kurikulum Bahasa Inggris Berbasis Kompetensi. 16 Juli 2004, Seminar Program Studi UMN AlWasyliah 13 Judul penelitian yang

sedang dikerjakan

Referensi

Dokumen terkait