Bagiamanakah Seharusnya Pembelajaran
Sastra?
1Oleh
Rony Kurniawan Pratama Universitas Negeri Yogyakarta
Pembelajaran Sastra: Perspektif Kurikulum 2013
Respons publik terhadap Kurikulum 2013 khususnya mata pelajaran Bahasa Indonesia memicu polemik akbar. Kebijakan Kemendikbud yang dinilai prematur ini tak dipersiapkan secara matang dan terkesan “tergesa-gesa”. Hal tersebut ditengarai oleh pemberitaan media nasional—Kompas, Tempo, The
Jakarta Post—tentang komentar negatif Guru sebagai praktisi pelaksana
Kurikulum di sekolah. Guru cenderung dijadikan subjek “implus” yang harus “siap atau instan” untuk memenuhi amanah negara itu dengan lapang dada.
Maraknya kritikan yang terlontar dari Guru hingga praktisi pendidikan ihwal Kurikulum 2013 (Bahasa Indonesia), didasari oleh ketiadaannya dan tak disebutkannya secara eksplisit pembelajaran sastra. Hal itu menjadi persoalan krusial, mengingat pembelajaran sastra adalah pembelajaran pembentuk karakter agar berbudi luhur. Faktanya, di buku Bahasa Indonesia versi Kurikulum 2013, kata sastra hanya ditemukan 2 patah saja1.
Kurikulum 2013 ini membawa jargon “pembaharuan” dalam pembelajaran Bahasa Indonesia yang berorientasi pada teks. Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 diposisikan sebagai tematik-integratif: adanya konektivitas dengan mata pelajaran lain yang terintegrasi. Terlebih, pembelajaran sastra versi Kurikulum 2013 yang demikian, sudah semestinya terintegrasi pada perilaku pedidik dalam rangka leading in character education.
Pembelajaran Sastra: Quo Vadis?2
Apabila merujuk kembali pada pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah menurut BNSP, poin 5 tertera: menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa3. Meminjam istilah dari Sudaryanto, dosen UAD: saat ini yang ada hanyalah pembelajaran “tentang sastra”, bukan
1
Tugas Akhir Evaluasi Pengajaran BSI
pembelajaran “sastra atau bersastra”4. Hal ini dikarenakan pembelajaran “tentang sastra” cenderung mengarahkan peserta didik untuk menghafal nama pengarang, judul karya sastra, dan angkatan sastra. Sementara, pembelajaran “sastra” mengarahkan peserta didik untuk menjadi apresiator dan kreator yang handal, serta “bercumbu pada karya sastra” (pinjam istilah Prof. Dr. Suminto A. Sayuti).
Pembelajaran sastra seharusnya berorientasi pada literary knowledge dan
literary appreciation. Orientasi itu kemudian diterjemahkan sebagai: apresiasi,
ekspresi, dan produksi sastra; atau dapat dirumuskan dalam istilah Jawa nga-3:
ngerti, nglakoni, dan ngerasakke sastra5. Dengan demikian, pembelajaran sastra
tak dirasa “membosankan” oleh siswa. Namun, siswa dapat menikmati karya sastra itu sendiri. Karena pada hakikatnya, sastra adalah “embrio estetika dunia kata”, sehingga kalau sastra itu dapat mengejawantahkan keindahan dan kepuasan batin bagi pembacanya.
Proses pengajaran sastra pula, seharusnya menitikberatkan pada doing
something: membaca, membaca, menulis, menulis. Apabila melihat realitas
tingkat literasi bangsa Indonesia dewasa ini sungguh memperihatinkan. Hasil penelitian oleh International Education Achievement (IEA) ihwal budaya baca pelajar di Indonesia. IEA memberi penilaian minor siswa SD Indonesia di peringkat 38 dari 39 negara peserta. Pada level SMA, jumlah buku wajib dibaca siswa SMA Indonesia 0 buku, sangat berbeda dengan Thailand (5 buku), Singapura (6 buku), Brunei Darussalam (7 buku), Jepang (22 buku), Rusia (12 buku), Prancis (30 buku), Belanda (30 buku), Amerika Serikat (32 buku)6.
Dari data tersebut, budaya baca bangsa Indonesia tertinggal jauh dengan bangsa lain. Apalagi bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa kaya “lisan” dan miskin “aksara”. Artinya, kecenderungan bangsa Indonesia adalah masyarakat tutur bukan masyarakan tulis. Sebab, antara membaca dan menulis saling berrelevansi. Adanya reseptif dalam membaca, maka akan timbul produktivitas dalam menuangkan gagasan melalui tulisan. Oleh karena itu, pembelajaran sastra seharusnya diarahkan pada “pemaknaan karya sastra melalui budaya baca”. Teori—dalam konteks pembelajaran sastra—perlu, tetapi tak perlu “didewakan”.
1Taufik Ismail dalam makalah yang dipresentasikan di Seminar Nasional “Respons Kebijakan
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Kurikulum 2013” di Auditorium UNY, 19
November 2013. 2
Quo Vadissecara harfiah diartikan sebagai “mau di bawa ke mana?”. Istilah ini merujuk pada
bahasa latin yang secara historis berdasar pada Injil Yohanes. 3
BSNP. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMA/MA. Jakarta: BSNP. 4
Ke arah pembelajaran sastra yang memerdekakan: beberapa catatan (Sudaryanto, 2012). 5
Sayuti, Suminto A. 2013. Makalah Utama: “Meruwat” Sastra dalam Kurikulum 2013. Semnas Kurikulum 2013 Bahasa Indonesia JPBSI UNY (19 November 2013).