BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana tergambar dalam judul penelitian ini, ada dua hal yang melatar-belakanginya. Pertama, tantangan yang dihadapi lembaga pendidikan dasar sebagai suatu lembaga pendidikan formal yang mempunyai peran penting dalam membangun suatu masyarakat Indonesia baru di-era globalisasi dan reformasi. Kedua, sistem pendidikan yang cenderung parsial telah menjadikan manusia-manusia Indonesia yang kurang memahami dan menghargai budaya. Sekolah, khususnya Sekolah Dasar (SD), sebagai bagian sistem pendidikan, dengan semua komponen yang terlibat didalamnya, seolah mempunyai budaya sendiri yang berbeda dari budaya yang selama ini ada dan berlaku dilingkungan komunitas siswa. Mata pelajaran dan proses pembelajaran di SD, terutama IPS yang mempunyai karakteristik sangat dekat dengan budaya komunitas lokal, juga memperkenalkan budaya lain yang berbeda dengan tradisi budaya komunitasnya.
Kedua hal di atas, telah menimbulkan banyak kritik dari berbagai pihak, yang kemudian mengemukakan perlunya upaya untuk mengembangkan sistem pendidikan, terutama model pembelajaran di SD yang terintegrasi dengan budaya komunitas lokal sehingga diharapkan dapat meningkatkan apresiasi siswa terhadap budaya dimana proses pendidikan tersebut berlangsung.
dalam upaya pengembangan model pembelajaran yang terintegrasi dengan budaya sebagai upaya meningkatkan apresiasi siswa terhadap budaya lokal.
1. Tantangan Pendidikan Dasar dalam Era-globalisasi dan Reformasi
Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar adalah ”meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut” (BSNP, 2006 : 9). Pernyataan ini menunjukkan ada dua hal penting, yakni keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Keterampilan untuk hidup mandiri melingkupi aspek yang kompleks ditengah dunia yang berubah seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Aspek yang kompleks ini berkaitan dengan cepatnya perubahan di tengah masyarakat sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di-era-globalisasi. Hal ini seyogyanya diantisipasi oleh satuan pendidikan dasar agar pengalaman belajar yang diberikan kepada siswa bermakna sebagai bekal kehidupannya, sehingga siswa dapat menentukan sikapnya untuk memilih, bertindak dan bertanggung jawab sebagai warganegara yang berguna bagi masyarakat dan bangsanya dalam kehidupan global.
Tantangan yang akan dihadapi manusia Indonesia pada era-globalisasi, sebagaimana dikemukakan Tilaar (2006 : 140-141), meliputi tiga kekuatan besar yang akan mempengaruhi individu Indonesia, yakni (1) masyarakat madani (civil society); (2) negara-bangsa (nation-state), dan (3) globalisasi. Selanjutnya Tilaar menyatakan
”Di dalam civil society seorang individu mengenal hak dan kewajibannya sebagai
anggota keluarganya, anggota masyarakat lokalnya, anggota kebudayaan lokalnya, dan
Pernyataan di atas menunjukkan bukan hanya adanya pengakuan terhadap kebebasan individu sebagai warganegara, tetapi juga kewajiban individu terhadap keanggotaannya baik dalam keluarga maupun dalam masyarakatnya.
Selanjutnya, dalam konsep nation-state, sebagai suatu bangsa, kita terikat dengan kesepakatan sebagaimana telah diperjuangkan pendiri bangsa ini, yakni negara dibangun atas dasar nilai-nilai luhur Pancasila. Sementara kekuatan besar lainnya yang akan mempengaruhi individu Indonesia pada abad-21 adalah globalisasi. Globalisasi menandai persaingan dunia yang semakin tajam, khususnya dalam bidang ekonomi. Kehidupan ekonomi dunia akan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar, yang acapkali tidak melihat ketimpangan-ketimpangan di berbagai belahan dunia, seperti kemiskinan, sehingga dapat mengakibatkan dehumanisasi.
Oleh karena itu, agar tidak terombang-ambing dalam kebingungan akibat ketiga kekuatan besar di atas, maka manusia Indonesia abad 21 menurut Tilaar (2006 : 148-150) adalah manusia Indonesia yang cerdas, yaitu manusia Indonesia yang memiliki nilai-nilai Pancasila dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Ciri-ciri manusia Indonesia cerdas tersebut antara lain adalah :
”....anggota masyarakat yang berbudaya. Kebudayaan yang dimilikinya tentulah
kebudayaan yang beradab. Tentunya ada unsur-unsur budaya yang diukur menurut ukuran nasional maupun global, tidak pantas dimasukkan di dalam budaya yang beradab. Sesuai dengan kemajuan zaman, unsur-unsur budaya lokal mengalami perubahan-perubahan sepanjang perubahan itu tidak membuat seseorang kehilangan akarnya (uprooted). Nilai-nilai budaya lokal merupakan nilai-nilai yang pertama-tama dikenal oleh seorang manusia Indonesia. Oleh sebab itu pemeliharaan dan pengembangan budaya lokal merupakan salah satu
unsur dari pendidikan nasional”
nasional, khususnya pembelajaran di sekolah, sebagai upaya memberi bekal kepada siswa agar tidak terasing dari nilai-nilai luhur yang ada, baik sebagai individu, anggota masyarakat lokalnya maupun sebagai warganegara Indonesia. Apresiasi yang kuat terhadap budaya lokal akan memberikan kemampuan kepada individu untuk mengelola dirinya sehingga mampu bersikap, bertindak dan bertanggung jawab atas kehidupannya sebagai individu, anggota masyarakat lokal dan warganegara Indonesia di tengah kekuatan-kekuatan besar di era globalisasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat sehingga batas-batas teritorial suatu negara bukan lagi menjadi hal dominan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sementara itu, berkaitan dengan gelombang demokrasi kehidupan masyarakat, seiring dengan era-reformasi di Indonesia, biasanya didukung dengan munculnya penghargaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, karena asas demokrasi menjadi penting bagi peningkatan kehidupan seseorang. Demokratisasi dalam dunia pendidikan mempunyai pengaruh besar pada proses perencanaan pendidikan, dimana pendidikan akan menjadi lebih terbuka. Sehubungan dengan hal ini, Freire (2002 : 82) mengemukakan : ”...konsep pendidikan harus terbuka pada pengenalan realitas diri, atau praktek pendidikan harus mengimplikasikan konsep tentang manusia dan dunianya, agar
manusia menjadi subjek bagi dirinya sendiri”. Model pendidikan tradisional merupakan
model pendidikan yang tidak terbuka, dimana interaksi guru dan siswa bersifat vertikal. Model pendidikan seperti ini sangat menonjol pada negara-negara dunia yang belum berkembang. Hal senada diungkapkan Mangunwijaya (1999 : 105) :
peristiwa perjumpaan antar pribadi yang saling mengasihi dan sebagai ajang
untuk menjalin kemitraan”
Pandangan di atas, dimana pendidikan masih sarat dengan gaya komando dan interaksi guru dan siswa bersifat vertikal, bertentangan dengan prinsip pendidikan yang seharusnya diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan sumber daya manusia yang paling tidak sanggup menyelesaikan persoalan-persoalan lokal yang dihadapinya. Setiap proses pendidikan seharusnya mengandung berbagai bentuk pelajaran yang mengintegrasikan berbagai muatan lokal yang signifikan dengan
kebutuhan masyarakat sehingga ”sekolah” tidak terasing dari masyarakat dan budaya
lokalnya.
Pentingnya model pendidikan dan pembelajaran agar siswa tidak terasing dari akar budayanya juga dikemukakan Semiawan (2002 : 88) : ”....meski Indonesia terekspos dari arus global, pada dasarnya kita juga tidak ingin anak-anak kelak tercabut dari akar budayanya dalam situasi global tersebut”. Kemudahan dan pemerataan pendidikan saja belum cukup untuk membuat anak-anak betah belajar di sekolah. Diperlukan model pendidikan dan pembelajaran yang lebih terintegrasi dengan kebutuhan dan budaya masyarakat setempat.
Upaya mengintegrasikan budaya dalam proses pembelajaran untuk menumbuhkan apresiasi budaya sejak dini melalui pendidikan telah menjadi keinginan banyak pihak. Seperti diungkapkan oleh Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Kusumawijaya (2007 : 12), yang mengemukakan bahwa ”budaya dan seni perlu dijadikan bagian penting dalam proses pendidikan di sekolah. Pengalaman menunjukkan tidak ada pemain tunggal yang
Sebuah perubahan tidak dapat dilakukan dengan setengah-setengah, harus dilakukan secara integral, holistik dan komprehensif. Begitupun kalau kita akan meningkatkan apresiasi siswa terhadap budaya. Sehubungan dengan ini Kusumawijaya
selanjutnya mengemukakan bahwa ”integrasi budaya melalui pendidikan bertujuan untuk
membuka lahan subur bagi tumbuhnya apresiasi budaya sejak dini dan melembaga”.
Melalui pendidikan di sekolah, budaya dan seni membina komunitas pendukungnya. Budaya tanpa penikmat yang memahami dan menghargainya, akan kehilangan komunitas pendukungnya. Bersamaan dengan itu, budaya memberikan kesempatan mengenal dan memahami hakikat kehidupan secara positif.
Sasaran pendidikan dasar lainnya adalah mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan lebih lanjut. Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan di SD haruslah berkualitas karena merupakan landasan bagi siswa untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yang berkualitas. Oleh karena itu, banyak pihak yang menganggap bahwa pendidikan di SD akan sangat mempengaruhi kualitas suatu bangsa dalam mempersiapkan sumber daya manusianya. Pembelajaran di SD haruslah pembelajaran terbaik yang dilakukan oleh guru terbaik. Pembelajaran di SD sudah semestinya didesain untuk menghasilkan generasi yang mempunyai kemampuan terbaik yang berkualitas. Kemampuan terbaik yang berkualitas menggambarkan generasi yang memiliki kemampuan tinggi yang menurut Sukmadinata (Sanjaya, 2002 : 3) adalah
”generasi yang selalu ingin meningkatkan pengetahuannya, kreatif dan banyak berbuat,
Pembahasan di atas memperlihatkan besarnya tantangan yang dihadapi pendidikan dasar pada masa mendatang. Tantangan satuan pendidikan dasar (SD) ke depan adalah menjadi institusi yang mempunyai kedudukan strategis dan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia berkualitas yang tidak terasing dari budayanya.
2. Pembelajaran IPS SD Saat Ini
Sebagaimana tercantum dalam latar belakang mata pelajaran IPS SD pada kurikulum 2006 bahwa IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan dimulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SD mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, siswa diarahkan untuk dapat menjadi warganegara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai.
Mata pelajaran IPS disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan kehidupan di masyarakat. Dengan pendekatan tersebut diharapkan siswa akan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan.
Kurikulum IPS SD tahun 2006 secara eksplisit menggambarkan bahwa proses pembelajaran IPS SD seharusnya dilakukan melalui pengalaman-pengalaman belajar bermakna yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat, khususnya budaya lokal dimana proses pembelajaran tersebut berlangsung.
”Process : Engaged (students are engaged in their learning); High Energy (class
has a high energy level). Results, Impact, Outcomes : Significant and lasting change (course results in significant changes in the students, changes and continue after the course is over and even after the students have graduated; Value in life (what the students learn has a high potensial for being of value in their lives, preparing them to participate in multiple communities, or preparing them for the
word of work)”
Dari sisi proses dijelaskan bahwa pembelajaran bermakna haruslah berorientasi pada pembelajaran yang diselenggarakan sambil melakukan (bekerja) dengan energi kelas tinggi (keterlibatan penuh siswa). Dari sisi hasil, pembelajaran bermakna selalu menghasilkan perubahan pada diri siswa setelah mengikuti pelajaran tertentu maupun setelah dia menamatkan suatu jenis pendidikan. Apa yang dipelajari siswa mempunyai potensi tinggi untuk dimanfaatkan dalam kehidupannya, baik dalam kehidupan pribadinya, partisipasinya dalam kehidupan masyarakat yang beragam, atau menyiapkan untuk masuk dunia kerja.
Pembelajaran bermakna bagi siswa SD berarti pembelajaran yang diselenggarakan sesuai dengan karakteristik siswa SD. Karakteristik siswa SD,
sebagaimana dikemukakan Subroto dan Herawati (2005 : 1.9) ”masih melihat dirinya
sebagai pusat lingkungan yang merupakan suatu keseluruhan yang belum jelas
unsur-unsurnya”. Karena itu, pengemasan pengalaman belajar yang memenuhi tuntutan tersebut
adalah dalam bentuk pembelajaran terpadu. Hal ini juga diperkuat pendapat Kartadinata (1996 : 68-71) yang pada prinsipnya mengemukakan bahwa guru SD harus selalu peduli dan memahami anak sebagai keseluruhan, serta kurikulum dan proses pembelajaran bersifat terpadu.
termasuk budaya lokal. Hal ini akan mendorong pembelajaran IPS mempunyai potensi tinggi untuk dimanfaatkan dalam memecahkan persoalan-persoalan hidupnya ditengah masyarakat.
Namun kenyataannya, proses pembelajaran mata pelajaran IPS SD di Indonesia saat ini masih dominan mendorong pengembangkan aspek intelektual siswa dengan pendekatan pembelajaran yang bersifat ekspositori. Pembelajaran masih berlangsung secara tradisional dengan komunikasi satu arah dan guru yang dominan, serta buku teks menjadi sentral sumber pelajaran.
Beberapa kesimpulan hasil penelitian menunjukkan hal ini. Pertama, hasil penelitian Pargito (2000 : 112) di Provinsi Lampung mengemukakan bahwa :
”...pembelajaran IPS di SD yang dilakukan selama ini dengan menggunakan buku teks dan metode ceramah merupakan model pembelajaran yang kurang bermakna dan tidak dapat mengembangkan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran”.
Selanjutnya Pargito dalam kesimpulan penelitiannya mengemukakan bahwa pembelajaran IPS menjadi lebih bermakna dan berdaya guna jika terjadi bentuk keterlibatan siswa secara aktif sebagai bagian dari pengalaman belajarnya. Pengalaman belajar akan terjadi dan akan menjadi bagian dari proses belajar jika setiap pembelajaran IPS dikembangkan melalui pembelajaran interaktif yang multi metode, media, sumber, dan evaluasi yang terpadu secara holistik dan berkesinambungan serta disesuaikan dengan perkembangan anak didik dan lingkungan sekitar.
Kedua, hasil penelitian Hadi (1997 : 101) terhadap pembelajaran IPS SD di Kauman Jawa Timur menyatakan bahwa :
hafalan dan pemahaman, serta kurang mengarah pada pencapaian hasil belajar pada aspek aplikasi, analisis dan evaluasi”.
Ketiga, kesimpulan hasil penelitian Sayakti (2003 : 132) di Provinsi Jawa Barat mengungkapkan bahwa :
”... di SD, penerapan konsep lingkungan hidup sebagai sumber belajar pembelajaran IPS tidak dilaksanakan guru sebagaimana mestinya, walaupun lingkungan sekitar siswa dan sekolah kaya akan sumber belajar. Dalam pengembangan materi dan proses pembelajaran, guru hanya mengacu pada buku paket dan buku penunjang lainnya sebagai sumber belajar pembelajaran IPS. Selanjutnya Sayakti mengemukakan bahwa pembelajaran yang menggunakan konsep lingkungan hidup sebagai sumber belajar dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil pembelajaran menjadi lebih bermakna”.
Keempat, hasil penelitian Roharyati (2003 : 133) di Cirebon yang mengemukakan bahwa :
”....berdasarkan temuan awal saat orientasi pembelajaran, guru dalam pembelajaran IPS di SD belum berperan sebagai fasilitator, kinerja guru masih rendah, proses belajar mengajar berorientasi pada guru (teacher oriented), kreatifitas siswa rendah”.
Selanjutnya dikemukakan bahwa setelah dilakukan pembelajaran dengan model jaring laba-laba (webbed model), maka siswa: (1) mudah menyerap materi pelajaran karena dapat bertukar-pikiran dengan teman lainnya; (2) dapat mencari informasi sendiri sehingga dapat dengan mudah menemukan konsep sendiri; (3) dapat mengembangkan keterampilan sosial, terutama menimbulkan keberanian dalam mengemukakan pendapat; dan (4) proses penyajian materi menjadi menarik dan tidak membosankan karena materi diambil tidak hanya menggunakan buku saja, tetapi lingkungan juga dijadikan sumber belajar atau masyarakat dijadikan laboratorium belajar.
”.. keterlibatan siswa secara penuh dalam aktivitas pembelajaran sangat memungkinkan siswa untuk turut serta dalam proses pemecahan masalah, hal ini dimungkinkan apabila suatu lingkungan belajar dikondisikan sebagaimana realitas sesungguhnya. Dengan kata lain, agar tujuan pembelajaran IPS SD dapat dicapai secara optimal haruslah dikembangkan berbagai strategi mengajar yang lebih kondusif sehingga proses pembelajaran semakin bermakna”.
Keenam, hasil penelitian Istianti (2004 : 6) mengemukakan bahwa berdasarkan temuan empirik terhadap kondisi pembelajaran IPS SD di lapangan, hingga kini terdapat kecenderungan bahwa pengelolaan pembelajaran Pendidikan IPS di SD pada umumnya masih tradisional, kurang mengembangkan berpikir kritis sehingga siswa tidak bergairah mengikuti pelajaran, dan menjadikan buku paket sebagai satu-satunya sumber pelajaran. Keadaan seperti ini mengakibatkan pembelajaran tidak terintegrasi dengan kehidupan nyata siswa dan kurang bermakna.
Di Provinsi Bengkulu, hasil observasi awal yang pernah penulis lakukan pada proses pembelajaran IPS SD (April dan Oktober 2007) di Kota Bengkulu memperlihatkan hal yang tidak berbeda dengan apa yang diungkapkan hasil-hasil penelitian di atas. Pembelajaran IPS SD dominan dilakukan dengan pendekatan ekspositori (guru dominan) dengan buku teks sebagai sumber utama. Beragam sumber belajar lokal, khususnya budaya, yang semestinya dapat dimanfaatkan pada pembelajaran IPS SD agar lebih bermakna, tidak digunakan. Banyak pihak mengkhawatirkan kondisi ini membuat siswa tidak apresiatif terhadap budaya lokalnya. Hal ini didukung hasil penelitian Sasongko (2004 : 3) yang menyatakan bahwa :
’...mutu pembelajaran IPS SD di Kota Bengkulu tergolong buruk, hal ini antara
lain disebabkan kelemahan guru dalam melaksanakan pembelajaran, khususnya dalam interaksi dengan siswa kurang menarik karena guru kurang terampil mendesain model pembelajaran yang inovatif sehingga kurang signifikan dengan
Pembelajaran yang bermakna dan sesuai dengan kebutuhan belajar siswa SD adalah pembelajaran yang didesain dengan keterlibatan penuh siswa dan menggunakan sumber belajar yang ada dilingkungan sekitarnya, termasuk budaya lokal. Di Kota Bengkulu, sebagaimana diungkapkan hasil penelitian Sapri (2000 : iii) bahwa pengintegrasian muatan lokal pada kurikulum di sekolah-sekolah Bengkulu belum efektif, muatan lokal yang ada pada umumnya belum bertitik tolak dari pola kehidupan dimana sekolah itu berada. Hal ini antara lain disebabkan oleh (Sapri, 2000 : 16)
”...mayoritas guru Sekolah Dasar di Kota Bengkulu (baik di perkotaan maupun di
pedesaan) belum memahami sepenuhnya makna perlunya mengintegrasikan muatan lokal
dalam kurikulum dan pembelajaran”.
Oleh karena itu, baik Sasongko maupun Sapri kemudian menyarankan perlu diintegrasikannya muatan lokal, khususnya budaya, dalam sistem pendidikan formal yang ada. Pengintegrasian ini dilakukan dengan mengembangkan model pembelajaran, khususnya pembelajaran IPS, di Bengkulu agar siswa tidak terasing dari budayanya. Model pembelajaran yang dikembangkan diharapkan dapat memfasilitasi siswa menguasai materi pelajaran IPS sebagai upaya meningkatkan apresiasinya terhadap budaya lokal.
mandiri dan mempunyai kemampuan mengelola dirinya dalam menghadapi situasi kehidupan yang selalu bergerak-berubah dengan tanpa meninggalkan ”akar” identitasnya sebagai anggota masyarakat dan warganegara Indonesia yang berlandaskan nilai-nilai luhur Pancasila; dan (2) rendahnya kualitas pembelajaran IPS, khususnya dalam proses, yang terlalu berorientasi pada peningkatan kemampuan kognitif dengan pembelajaran yang masih tradisional, dikhawatirkan akan menghasilkan anak didik yang terasing dari kehidupan nyatanya, khususnya budaya lokal, yang berdampak pada kurangnya kualitas hasil pendidikan sebagai bagian dari pembekalan siswa untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, peningkatan kualitas pembelajaran IPS di SD melalui pembaharuan sistem dan pembelajaran perlu dilakukan dengan mengembangkan berbagai model pembelajaran berkualitas yang bukan saja dapat membekali siswa untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, tapi juga mampu berkiprah dalam kehidupan masyarakatnya yang dinamis. Pembaharuan sistem dan proses pembelajaran tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan mengembangkan model pembelajaran yang dapat meningkatkan apresiasi siswa terhadap budaya lokalnya.
B. Rumusan dan Pembatasan Masalah 1. Rumusan Masalah
agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara optimal, khususnya pengembangan model pembelajaran untuk meningkatkan apresiasi siswa terhadap budaya lokal.
Pendidikan dasar sebagai suatu sistem terdiri atas berbagai komponen. Oleh karenanya, untuk memperbaiki kualitas pembelajaran harus dilakukan dengan memperbaiki semua komponen yang ada. Sehubungan dengan ini, Natawijaya (Sanjaya, 2002 : 11) mengemukakan bahwa :
”...unsur sistemik yang dapat memberikan kontribusi kepada kualitas pendidikan
(khususnya Sekolah Dasar), sekurang-kurangnya mencakup kurikulum dan materi pelajaran, guru dan tenaga pendidikan lainnya, anak didik, sarana dan pra-sarana penunjang, proses belajar-mengajar, sistem penilaian, bimbingan kepada anak didik, dan pengelolaan program pendidikan”.
Selanjutnya Natawijaya mengemukakan bahwa upaya perbaikan mutu pendidikan di sekolah secara tuntas sekurang-kurangnya harus menyentuh perbaikan pada unsur-unsur tersebut di atas. Perbaikan sebaiknya dilakukan secara menyeluruh dan sistemik. Namun perbaikan pada semua unsur yang ada merupakan pekerjaan yang tidak mudah dan membutuhkan tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, perbaikan sebaiknya dilakukan pada salah satu unsur yang dianggap paling menentukan. Menurut Sanjaya (2002 : 11) ”...komponen yang dianggap dapat memberikan kontribusi yang tinggi dan perlu mendapat perhatian itu diantaranya komponen proses belajar-mengajar”.
Proses pembelajaran merupakan sistem. Sistem, sebagaimana diungkapkan Campbell (1979 : 3) ”…..as any group of interrelated components or parts which
function together to achieve a goal”. Sistem itu merupakan himpunan komponen atau
komponen-komponen yang satu-sama lain saling berhubungan dan secara bersama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Peningkatan kualitas pembelajaran IPS SD sebagai sistem berarti peningkatan semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran IPS tersebut. Sukmadinata (2006 : 7) mengemukakan tiga komponen atau sub-sistem yang berpengaruh pada proses pembelajaran untuk menghasilkan output (lulusan) yang bermutu, yakni “raw input (siswa), instrumental input dan environmental input”. Raw input (siswa) merupakan komponen yang berhubungan dengan karakteristik siswa baik dari sisi intelek, fisik-kesehatan, sosial-afektif, dan peer-group. Instrumental input berupa kebijakan pendidikan, kurikulum, personalia (kepala sekolah, guru, staf lainnya), dan sarana-prasarana (fasilitas, media, biaya). Sementara environmental input merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh pada proses pembelajaran baik itu lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, masyarakat, lembaga sosial maupun unit kerja. Ketiga komponen pada akhirnya akan menghasilkan output berupa pengetahuan, kepribadian dan performansi pada diri siswa.
PRESAGE VARIABLES
Bagan di atas menunjukkan bahwa proses pembelajaran dipengaruhi oleh perilaku guru dan siswa di kelas, yang diarahkan pada perubahan perilaku siswa yang terukur dan dapat diamati. Proses pembelajaran ini kemudian menghasilkan perubahan-perubahan perilaku yang langsung dicapai siswa seperti pengetahuan, sikap dan keterampilan, serta pertumbuhan siswa jangka panjang seperti kepribadian yang lebih dewasa dan keterampilan profesional atau jabatan.
Perilaku guru di kelas dipengaruhi oleh pengalaman formatif guru (kelas sosial, jenis kelamin, usia), pengalaman kerja guru (pendidikan di perguruan tinggi, penataran, pengalaman kerja), dan sifat-sifat guru (keterampilan mengajar, kecerdasan, motivasi dan kepribadian). Sementara perilaku siswa di kelas dipengaruhi pengalaman formatif siswa (kelas sosial, jenis kelamin, usia), dan sifat-sifat siswa (sikap, pengetahuan dan keterampilan). Sedangkan variabel lainnya yang mempengaruhi proses pembelajaran adalah variabel konteks yang terdiri atas keadaan sekolah dan masyarakat (iklim, etnis, lokasi sekolah, luas sekolah), serta keadaan di kelas (luas kelas, buku pelajaran, media pendidikan).
Dari proses pembelajaran IPS SD sebagai suatu sistem seperti dikemukan kedua ahli di atas, faktor guru memegang peranan penting. ”Dari paparan Michael J. Dunkin dan Bruce D. Biddle yang mereka namakan A model for the study of classroom teaching..., nampak jelas bahwa guru merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
dalam konteks pembelajaran di dalam kelas” (Sanjaya, 2002 : 14). Oleh karena itu, salah
Guru IPS SD yang selama ini terlalu berorientasi pada pendekatan ekspositori dengan menggunakan buku teks sebagai sumber utama perlu mengubah cara pandangnya dan orientasinya dalam pembelajaran. Pembelajaran harus mulai diorientasikan kepada siswa sebagai pusat. Siswa perlu dilibatkan secara penuh dalam proses pembelajaran dengan menggunakan segala sumber yang tersedia baik di sekolah maupun di lingkungan luar sekolah, termasuk budaya lokal. Pengintegrasian muatan budaya lokal pada proses pembelajaran IPS di SD akan membuat siswa tidak terasing dari budayanya.
Oleh karena itu, guru perlu menguasai berbagai pendekatan dan metodologi pembelajaran yang mengintegrasikan budaya lokal dalam pembelajaran di sekolah. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Kusumawijaya (2007 : 12) bahwa
”...menjadikan budaya dan seni sebagai bagian penting dalam proses pendidikan di
sekolah akan membuka lahan subur bagi tumbuhnya apresiasi budaya dan seni sejak dini dan melembaga”.
Di tengah bangsa Indonesia mengalami masa transisi demokratis, pendidikan melalui budaya dan seni memberikan kesempatan kepada siswa sejak dini dan melembaga untuk mengenal dan mengalami hakikat kehidupan secara positif, termasuk hakikat hidup ditengah kebhinekaan yang menjadi hal penting bagi kehidupan bangsa Indonesia. Pemahaman akan budaya merupakan wahana untuk mengasah kepekaan dan kemampuan dasar manusia. Oleh karenanya akan lebih signifikan bila diajarkan secara melembaga sedini mungkin melalui proses pembelajaran di sekolah, khususnya mata pelajaran IPS SD.
menarik dan membosankan dimana siswa tidak terlibat langsung secara holistik di dalamnya. Penggunaan sumber yang bervariasi, seperti menggunakan budaya lokal sebagai sumber pelajaran, diharapkan memberikan kemungkinan siswa terhubung langsung dengan dunia lingkungan disekitar kehidupannya sehingga pembelajaran menjadi lebih konkrit dan bermakna.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis bermaksud melaksanakan penelitian yang bertujuan mengembangkan model pembelajaran IPS di SD yang dapat memfasilitasi siswa menguasai materi pelajaran sebagai upaya meningkatkan apresiasinya terhadap budaya lokal. Oleh karena itu, rumusan masalah penelitian ini adalah model pembelajaran IPS SD yang bagaimana yang dapat memfasilitasi siswa menguasai materi pelajaran sebagai upaya meningkatkan apresiasinya terhadap budaya lokal.
2. Pembatasan Masalah
Agar masalah penelitian lebih fokus, ada beberapa variabel yang perlu dibatasi. Variabel-variabel tersebut antara lain adalah model pembelajaran, pelajaran IPS di SD dan budaya lokal.
2.1. Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan suatu istilah yang berhubungan erat dengan konsepsional dan operasional dari pembelajaran. Sebagaimana dikemukakan Sumantri (1999 : 42) :
”Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur
Oleh karena itu, seperti dikemukakan di atas, model pembelajaran juga merupakan suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum, merancang bahan-bahan pengajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain.
Beberapa istilah lain yang berhubungan dengan model pembelajaran, yakni pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran, dan metode pembelajaran. Sanjaya (2002 : 15-16) mengemukakan bahwa istilah pendekatan pembelajaran lebih menekankan pada pemeranan dalam pembelajaran. Pendekatan pembelajaran pada umumnya dibedakan dalam pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centered approachs) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (studetns-centered approaches). Sementara strategi pembelajaran lebih menekankan pada aktivitas guru dan siswa dalam suatu proses pembelajaran. Strategi pembelajaran merupakan pola umum perbuatan guru-siswa dalam perwujudan kegiatan belajar-mengajar. Mengaplikasikan suatu model pembelajaran dapat menggunakan berbagai macam strategi sesuai kondisi lingkungan dan kebutuhan. Selanjutnya Sanjaya mengemukakan bahwa strategi pada dasarnya merupakan pengerahan segala usaha guru dengan penerapan berbagai metode. Oleh sebab itu, metode pembelajaran sifatnya lebih praktis yang berorientasi pada teknik pelaksanaan.
operasi hitungan. Anak pada usia SD masih melihat dirinya sebagai pusat lingkungan sebagai suatu keseluruhan dan belum mampu membedakan unsur-unsur. Oleh karena itu, Sobroto (2005 : 1.9) maupun Kartadinata (1996 : 68-71) mengatakan bahwa pengemasan pengalaman belajar yang memenuhi tuntutan anak usia SD tersebut adalah dalam bentuk pembelajaran terpadu.
Pembelajaran terpadu mengutamakan terjadinya kaitan-kaitan pengalaman belajar yang bermakna. Pembelajaran terpadu yang sering digunakan di sekolah-sekolah Indonesia antara lain adalah pembelajaran terpadu yang dimulai dengan tema. Pembelajaran terpadu seperti ini disebut Fogarty (1991) sebagai webbed model. ”Webbed model (model jaring laba-laba) sering digunakan dan sudah sangat dikenal oleh para pendidik umumnya dalam pembelajaran di sekolah-sekolah” (Suprayekti, 2004 : 6.8). Alasan mengapa model webbed ini banyak digunakan guru, dikemukakan Fogarty (1991 : 56) :
“An advantage of the webbed approach to curricular integration is the
motivational factor that results from selecting high-interest themes. In addition, the webbed model or unit-writing approach is familiar to seasoned teachers and is a fairly straightforward curriculum planning model for less experienced teachers
to grasp”.
membuat ”proses penyajian materi menarik dan tidak membosankan karena materi
diambil tidak hanya menggunakan buku saja, tetapi lingkungan juga dijadikan sumber
belajar atau masyarakat dijadikan laboratorium belajar”.
Lingkungan yang dapat dijadikan sumber belajar merupakan lingkungan dimana tempat proses pembelajaran berlangsung. Lingkungan ini dapat berupa lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Lingkungan juga dapat berupa lingkungan alam, sosial, budaya maupun ekonomi. Penelitian ini lebih menekankan pada lingkungan budaya lokal dimana sekolah berada. Oleh karena itu, model pembelajaran terpadu dalam penelitian ini merupakan model pembelajaran terpadu model webbed yang berbasis budaya. Hal ini relevan dengan yang dikemukakan Suprayekti (2004 : 4.3) :
”Sekolah merupakan salah satu tempat proses belajar terjadi. Sekolah merupakan tempat kebudayaan, karena pada dasarnya proses belajar merupakan proses pembudayaan. Dalam hal ini, proses pembudayaan di sekolah untuk pencapaian akademik siswa, untuk membudayakan sikap, pengetahuan, keterampilan dan tradisi yang ada dalam suatu komunitas budaya, serta untuk mengembangkan
budaya dalam suatu komunitas melalui pencapaian akademik siswa”.
Pandangan di atas pada dasarnya mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan proses pembudayaan. Namun kenyataannya, periode sekolah cenderung memisahkan seseorang dari komunitas budayanya, karena sekolah memiliki budaya sendiri, dan mata pelajaran yang diajarkan juga memperkenalkan budaya yang lain (atau bahkan bertentangan) dengan tradisi budaya komunitasnya. Tidak heran jika pada akhirnya dampak proses pendidikan formal adalah lulusan yang sama sekali tidak apresiatif terhadap kekayaan tradisional komunitas budayanya.
2.2. Pelajaran IPS di SD
IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan dimulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SD mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, siswa diarahkan untuk dapat menjadi warganegara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai.
Pada bagian terdahulu telah diuraikan bahwa siswa akan menghadapi tantangan berat karena kehidupan masyarakat global yang selalu mengalami perubahan setiap saat. Oleh karena itu mata pelajaran IPS dirancang untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki kehidupan bermasyarakat yang dinamis.
2.3. Budaya Lokal
Budaya mengandung pengertian (E. B. Taylor dalam Suprayekti : 2004 : 4.5)
sebagai berikut : ”a complex whole which includes knowledge, belief, art, law, morals,
customs, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”. Budaya merupakan suatu kesatuan utuh yang kompleks yang termasuk pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, moral, adat istiadat atau tradisi, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang dilakukan manusia sebagai seorang anggota dari suatu masyarakat.
Oleh karenanya, budaya lokal dalam penelitian ini mengandung pengertian pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, moral, adat istiadat atau tradisi, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang dilakukan masyarakat Bengkulu yang hidup, terpelihara, dibina dan dilestarikan pada komunitas dimana proses pendidikan tersebut berlangsung. Budaya lokal ini akan mempengaruhi perilaku masyarakat Bengkulu dalam mengarungi kehidupan, baik kehidupannya secara individual, bermasyarakat maupun berbangsa dan bernegara.
Norman (1997 : 8-10) mengemukakan bahwa budaya tradisional masyarakat Bengkulu yang perlu dibina dan dikembangkan serta diintegrasikan dengan pendidikan anak agar tidak tergerus dari derasnya arus informasi dan globalisasi antara lain adalah tradisi Tabot. Selanjutnya Norman mengemukakan bahwa masyarakat Bengkulu adalah masyarakat Tabot. Ungkapan ini menjelaskan betapa pentingnya tradisi Tabot pada masyarakat Bengkulu.
Pada awalnya menurut Norman (1997 : 8): ”...perayaan Tabot di Bengkulu
dilaksanakan sebagai upacara berkabung atas meninggalnya cucu Nabi Muhammad
dan perkembangan masyarakat Bengkulu sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbaurnya tradisi asli Bengkulu dengan pendatang yang berasal dari berbagai macam lapisan masyarakat dan budaya, tradisi Tabot kemudian berkembang menjadi pesta tahunan budaya rakyat Bengkulu yang oleh pemerintah daerah dijadikan
”ikon” wisata baik lokal, nasional maupun internasional. Tradisi Tabot saat ini
dilaksanakan setiap tahun Hijriah pada bulan Muharam dengan perayaan kolosal yang penyelenggaraannya melibatkan serangkaian tradisi seperti ”mengambik tanah”, ”duduk penja”, ”menjara”, ”neradai”, ”arak penja’, ”arak serban”, ”gam”, ”arak gedang”, dan
”tabot tebuang”, serta diiringi musik tradisional Bengkulu yang disebut musik ”Dol”.
Setiap rangkaian kegiatan tradisi Tabot di atas mengandung nilai-nilai religius, sosial, politik dan ekonomi, seni maupun teknologi. Nilai-nilai budaya lokal inilah yang seharusnya diintegrasikan dengan sistem pendidikan formal di SD yang relevan,
khususnya pembelajaran IPS, agar siswa tidak tercabut dari ”akarnya” dan lebih
mengapresiasi budaya lokalnya.
Berdasarkan hal di atas, budaya lokal dalam penelitian ini dibatasi dengan tradisi Tabot yang merupakan pesta budaya kolosal rakyat Bengkulu dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, khususnya nilai-nilai sosial, politik dan ekonomi, seni maupun teknologi. Sementara yang berkaitan dengan nilai-nilai religius dari Tabot tidak dikaji karena relevansinya lebih ke pelajaran Agama.
C. Pertanyaan Penelitian
Permasalahan dalam penelitian ini akan dirumuskan pada beberapa fokus masalah yang berupa pertanyaan-pertanyaan penelitian. Namun sebelum itu, sebagaimana penelitian pengembangan, terlebih dahulu perlu dijelaskan pertanyaan penelitian yang berhubungan dengan studi pendahuluan melalui survei lapangan sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan model. Pra-survei difokuskan untuk mengungkap karakteristik (kondisi) lapangan dan iklim pembelajaran IPS SD yang ada saat ini. Data yang diharapkan diperoleh dalam kegiatan pra-survei lapangan ini melip[uti : (1) pandangan dan persepsi guru IPS SD tentang hakikat mengajar dan pembelajaran IPS di SD; (2) kondisi dan pola proses pembelajaran IPS SD yang saat ini dilaksanakan; (3) persepsi dan pola belajar dan pembelajaran siswa dalam pembelajaran IPS SD; (4) ketersediaan dan pemanfaatan sarana-prasarana dan lingkungan untuk pembelajaran IPS SD; serta (5) iklim sosial dan psikologis di SD selama ini.
Kurikulum IPS SD
Bagan 1.2. Pemetaan Operasional dan Pembatasan Masalah Penelitian
Masalah penelitian pengembangan model, sebagai inti dari proses penelitian, terdiri dari tiga fokus masalah, yakni :
1. Fokus masalah pertama : Desain model pembelajaran IPS SD yang bagaimana yang dapat dikembangkan guna memfasilitasi siswa menguasai materi pelajaran IPS sebagai upaya meningkatkan apresiasinya terhadap budaya lokal ?. Pertanyaan penelitiannya adalah :
a. Desain pembelajaran bagaimana yang dapat memfasilitasi siswa menguasai materi pelajaran IPS SD sebagai upaya meningkatkan apresiasinya terhadap budaya lokal ?
b. Implementasi pembelajaran bagaimana yang dapat memfasilitasi siswa menguasai materi pelajaran IPS SD sebagai upaya meningkatkan apresiasinya terhadap budaya lokal ?
c. Penilaian pembelajaran bagaimana yang dapat memfasilitasi siswa menguasai materi pelajaran IPS SD sebagai upaya meningkatkan apresiasinya terhadap budaya lokal ?
2. Fokus masalah kedua : Bagaimana efektifitas keberhasilan implementasi model pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa menguasai materi pelajaran IPS SD sebagai upaya meningkatkan apresiasinya terhadap budaya lokal bila dibandingkan model pembelajaran yang selama ini digunakan guru ?. Pertanyaan penelitian dalam fokus ini adalah :
dengan model pembelajaran yang selama ini digunakan guru dalam pembelajaran IPS SD ?
b. Bagaimana efektifitas keberhasilan model pembelajaran yang dikembangkan dalam meningkatkan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran bila dibandingkan dengan model pembelajaran yang selama ini digunakan guru dalam pelajaran IPS SD ?
3. Fokus masalah ketiga : Apa saja faktor pendukung dan penghambat pengembangan model pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa menguasai materi pelajaran IPS SD sebagai upaya meningkatkan apresiasinya terhadap budaya lokal ?
D. Definisi Operasional
Sebagai upaya menyamakan persepsi tentang variabel yang digunakan dalam penelitian ini, ada dua hal pokok yang perlu didefinisikan, yakni pengembangan model pembelajaran dan apresiasi siswa terhadap budaya lokal.
1. Pengembangan Model Pembelajaran
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, mengenai
pengertian model pembelajaran, Sumantri (1999 : 42) mengemukakan bahwa :
”model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar-mengajar”.
pada mata pelajaran IPS SD untuk meningkatkan apresiasi siswa terhadap budaya lokal yang dapat dijadikan pedoman dalam perencanaan dan pelaksanaan aktivitas belajar-mengajar.
Pengembangan model pembelajaran dilakukan dengan pendekatan penelitian dan pengembangan (research and development). Oleh karena itu, efektifitas model pembelajaran hasil pengembangan dalam meningkatkan apresiasi siswa terhadap budaya lokal diketahui melalui uji validasi model dengan membandingkannya dengan model pembelajaran konvensional yang selama ini digunakan guru. Pengujian dilakukan dengan metode eksperimen. Instrumen pengukuran yang digunakan adalah instrumen apresiasi dan hasil belajar.
2. Apresiasi Siswa terhadap Budaya Lokal
Pembahasan pada bagian ini akan diawali dengan penjelasan tentang pengertian istilah apresiasi dan budaya. Philip dan Phil (Wangsih, 2002 : 26) mengemukakan
”apresiasi dapat diartikan sebagai penghargaan dan pemahaman atas suatu hasil seni atau
budaya serta menimbang suatu nilai, merasakan bahwa benda itu baik dan mengerti
mengapa baik”. Suryatin (1997 : 50), berkaitan dengan pengertian apresiasi ini
Konsep budaya sendiri mengandung pengertian (E. B. Taylor dalam Suprayekti :
2004 : 4.5) sebagai berikut : ”a complex whole which includes knowledge, belief, art,
law, morals, customs, and any other capabilities and habits acquired by man as a member
of society”. Budaya merupakan suatu kesatuan utuh yang kompleks yang termasuk
pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, moral, adat istiadat atau tradisi, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang dilakukan manusia sebagai seorang anggota dari suatu masyarakat.
Oleh karenanya, apresiasi siswa terhadap budaya lokal mengandung pengertian kemampuan siswa memahami, menginterpretasi dan menilai/menghargai pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, moral, adat istiadat atau tradisi, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang dilakukan manusia sebagai seorang anggota dari suatu masyarakat lokal yang hidup, terpelihara, dibina dan dilestarikan pada komunitas tertentu dimana proses pendidikan tersebut berlangsung. Budaya lokal ini akan mempengaruhi perilaku masyarakatnya dalam mengarungi kehidupan, baik kehidupannya secara individual, bermasyarakat maupun berbangsa dan bernegara. Budaya lokal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tradisi Tabot di Bengkulu.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, yang dimaksud dengan apresiasi siswa terhadap budaya lokal dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa memahami, menginterpretasi dan menilai/menghargai tradisi Tabot sebagai budaya lokal Bengkulu.
kepada orang-orang yang diukur; dan (3) dengan tes. Namun juga diakui oleh Atmazaki bahwa sampai sekarang belum ada tes apresiasi yang baku, setiap peneliti biasanya merancang tes sendiri-sendiri untuk kepentingan penelitiannya.
Berdasarkan tiga indikator apresiasi, yakni pemahaman, penginterpretasian serta penilaian/penghargaan, maka pengukuran apresiasi siswa terhadap budaya lokal dalam penelitian ini akan menggunakan kombinasi ketiga pendekatan tersebut di atas yang dirancang sesuai dengan karakteristik serta tingkat perkembangan dan kematangan siswa SD.
Pendekatan observasi akan digunakan selama proses pengembangan model pembelajaran. Tes digunakan untuk mengukur aspek pemahaman, sementara kuesioner untuk mengukur aspek penginterpretasian dan penilaian/penghargaan dari apresiasi siswa terhadap budaya lokal. Instrumen tes dan kuesioner apresiasi digunakan pada uji validasi model pembelajaran hasil pengembangan.
E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum Penelitian
2. Tujuan Khusus Penelitian
Secara khusus, tujuan penelitian dan pengembangan ini adalah :
a. Menemukan desain model pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa menguasai materi pelajaran IPS SD sebagai upaya meningkatkan apresiasinya terhadap budaya lokal ?
b. Mengetahui efektifitas keberhasilan implementasi model pembelajaran hasil pengembangan dalam memfasilitasi siswa menguasai materi pelajaran IPS SD sebagai upaya meningkatkan apresiasinya terhadap budaya lokal bila dibandingkan dengan model pembelajaran yang selama ini digunakan guru
c. Menemukan faktor-faktor pendukung dan penghambat pengembangan model pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa menguasai materi pelajaran IPS SD sebagai upaya meningkatkan apresiasinya terhadap budaya lokal.
F. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai dua kegunaan, yakni kegunaan praktis dan kegunaan teoritis.
1. Kegunaan Praktis
a. Bagi pihak pengambil keputusan, hasil penelitian ini dapat dijadikan alternatif untuk didesiminasikan pada proses pembelajaran IPS SD, dalam rangka memperbaiki kualitas pembelajaran, khususnya memfasilitasi siswa menguasai materi pelajaran IPS SD sebagai upaya meningkatkan apresiasinya terhadap budaya lokal. b. Bagi guru, penggunaan model pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa menguasai materi pelajaran IPS SD sebagai upaya meningkatkan apresiasinya terhadap budaya lokal ini, diharapkan dapat memperbaiki proses pembelajarannya. Perbaikan proses pembelajaran tersebut dimulai dari desain kurikulum, desain pembelajaran sampai pelaksanaannya. Secara tidak langsung juga diharapkan terjadi peningkatan kinerja dan kemampuan profesional guru, khususnya dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran.
c. Bagi siswa, penggunaan model pembelajaran hasil pengembangan dalam penelitian ini, diharapkan memberikan pengalaman-pengalaman belajar yang lebih bermakna. Pengalaman belajar yang mampu memfasilitasinya menguasai materi pelajaran IPS SD sebagai upaya meningkatkan apresiasi terhadap budaya lokal.
d. Bagi LPTK, hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribussi konseptual baru dalam mempersiapkan calon-calon guru SD.
2. Kegunaan Teoritis
G. Asumsi Penelitian
Asumsi-asumsi yang menjadi anggapan dasar dalam penelitian ini adalah :
1. Karakteristik anak usia Sekolah Dasar yang masih memandang dirinya sebagai pusat lingkungan yang merupakan suatu keseluruhan yang belum jelas unsur-unsurnya membutuhkan pendidikan terpadu dan konkrit.
2. Individu akan mencapai perkembangan secara optimal bila terjadi interaksi yang sehat antara individu dengan lingkungannya.
3. Penggunaan sumber daya lokal pada kurikulum dan pembelajaran akan mendukung terselenggaranya pendidikan yang kontekstual dan bermakna.