BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Induksi persalinan
Induksi dimaksudkan sebagai stimulasi kontraksi sebelum mulai terjadi persalinan spontan, dengan atau tanpa rupture membrane. Argumentasi merujuk pada stimulasi terhadap kontraksi spontan yang dianggap tidak adekuat karena kegagalan dilatasi serviks dan penurunan janin (Cunningham, 2013).
Induksi persalinan adalah upaya memulai persalinan dengan cara-cara buatan sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan dengan jalan merangsang timbulnya his (Sinclair, 2009).
Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini, kehamilan lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi berat, hipertensi akibat kehamilan, intrauterine fetal death (IUFD) dan pertumbuhan janin terhambat (PJT), insufisiensi plasenta, perdarahan antepartum, dan umbilical abnormal arteridoppler (Oxorn, 2010).
Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa kondisi/ persyaratan sebagai berikut:
a. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD).
b. Sebaiknya serviks uteri sudah matang yakni serviks sudah mendatar
dan menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel skor Bishop. Jika kondisi tersebut belum terpenuhi maka kita dapat melakukan pematangan serviks dengan menggunakan metode farmakologis atau dengan metode mekanis.
c. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin. d. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul
(Oxorn, 2010).
Apabila kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka induksi persalinan mungkin tidak memberikan hasil yang diharapkan. Untuk menilai keadaan serviks dapat dipakai skor Bishop. Berdasarkan kriteria Bishop, yakni:
a. Jika kondisi serviks baik (skor 5 atau lebih), persalinan biasanya berhasil diinduksi dengan hanya menggunakan induksi.
b. Jika kondisi serviks tidak baik (skor <5), matangkan serviks terlebih dahulu sebelum melakukan induksi (Yulianti, 2006 & Cunningham, 2013).
maka pada multi gravida induksi dinyatakan gagal, dan lahirkan janin dengan section caesar.
B. Sectio Caesarea 1. Pengertian
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut, sectio caesarea juga dapat didefinisikan sebagai suatu histerotomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Mochtar, 2011).
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina atau sectio caesarea adalah suatu histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Kristianasari, 2010).
Sectio caesarea atau bedah sesar adalah sebuah bentuk melahirkan anak dengan melakukan sebuah irisan pembedahan yang menembus abdomen seorang ibu (laparotomi) dan uterus (hiskotomi) untuk mengeluarkan satu bayi atau lebih (Dewi Y, 2007).
2. Etiologi
Menurut Nurarif dan Hardhi (2013), etiologi section caesarea ada 2 yaitu:
Etiologi yang berasal dari janin, yaitu fetal distress/ gawat janin, mal
presentasi dan mal posisi kedudukan janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil, kegagalan persalinan vakum atau forceps ekstraksi.
Etiologi yang berasal dari ibu, yaitu primigravida dengan kelainan
letak, primipara tua disertai kelainan letak ada, disporposi sefalo pelvic (disporposi janin/ panggu), ada sejarah kelahiran dan persalinan yang buruk, terdapat kesempitan panggul, solution plasenta tingkat 1-11, terdapat kesempitan panggul, lacenta previa terutama pada primigravida, komplikasi kehamilan yaitu preeklamsi-eklamsia, atas permintaan, kehamilan yang disertai penyakit, dan gangguan perjalanan persalinan.
3. Tanda dan Gejala
4. Anatomi Fisiologi
a. Genetalia Eksterna (bagian luar)
Gambar 2.1 Organ eksternal wanita (Winkjosastro, 1999).
Menurut Serri Hustahaean (2013) organ bagian luar sistem teproduksi antar lain:
Vulva
Vulva merupakan nama yang diberikan untuk struktur genetalia eksternal, yang artinya peneutup atau pembungkus. Vulva membentuk dari mons pubis disebelah anterior hingga perineum disebelah posterior dan pada masing-masing sisinya dibatasi oleh labia mayora. Dalam batas-batas ini terdapat labia minora, klitoris, vestibulum, dan fourchette. Lubang yang ada pada vestibulum, merupakan muara orifisum uretra serta orifisium vagina dan juga muara saluran kelenjar parauretralis (Skene) serta Bartholini.
Mons veneris
jaringan ikat, setelah dewasa tertutup oleh rambut yang bentuknya segitiga. Mons veneris berfungsi sebagai pantalan pada waktu melakukan hubungan seksual. Kulit mons veneris mengandung kelenjar keringat yang khusus dan sekresi kelenjar tersebut akan memberikan aroma yang khas. Sekresi ini dianggap mempunyai makna seksual tertentu pada laki-laki.
Labia Mayora
Labia mayora merupakan kelanjutan dari mons vrneris, berbentik lonjong. Labiya mayora ada dua bagian kiri dan kanan dengan panjang 7,5 cm. Kedua labia ini bertemu membentuk perineum. Labia mayora berfungsi sebagai pelindung karena kedua bibir ini menutupi lubang masuk vagina, sementara bantalan lemaknya bekerja sebagai bantalan saat melakukan hubungan seksual.
Labia Minora
Vestibulum
Vestibulum adalah nama yang diberikan pada rongga yang dikelilingi oleh labia minora. Vestibulum berada dibagian tengah labia mayora yang memiliki dua muara dari kelenjar bartolini dan kelenjar skene. Bagian lain yang juga bermuara pada vestibulum adalah orifisium vagina. Muara tersebut ditutupi oleh lipatan selaput tipis yang disebut hymen.
Klitoris
Klitoris merupakan bagian penting dari alat reproduksi wanita bagian luar yang bersifat erektil. Salah satu bagian dari organ reproduksi wanita ini mengandung banyak pembuluh darah dan saraf sensorik sehingga sangat sensitif. Klitoris pada wanita merupakan analog dengan penis pasa laki-laki.
Hymen
Hymen merupakan jaringan atau selaput tipis yang menutupi lubang vagina, bersifat rapuh dan mudah robek. Selaput tipis ini tidak menutupi seluruh lubang masuk vagina. Namun setelah terjadi sanggama yang pertama atau karena intervensi jari tangan atau insersi tampon, hymen biasanya terkoyak. Sesudah melahirkan anak, hymen akan menghilang dan hanya meninggalkan beberapa sisa kulit yang dinamakan carunculae myrtiformes.
uterus dan darah saat menstruasi bisa melewati organ hymen tersebut. Hymen yang tertutup merupakan kelainan organ reproduksi wanita yang disebut hymen occluvisium.
Kelenjar bartolini dan skene
Kelenjar bartolini dan skene merupakan kelenjar yang penting didaerah vulva dan vagina. Kelenjar ini mengeluarkan sekret berupa mukus yang bermanfaat pada saat koitus sebagai pelumas.
b. Genetalia Internal (bagian dalam)
Gambar 2.2 Organ internal wanita (Winkjosastro, 1999).
Pembagian organ genetalia interna menurut Serri Hutahaean (2013) terdiri dari :
Vagina (liang kemaluan)
kandung kemih dan rektum, dengan panjang bagian depannya (anterior) ± 9 cm dan dinding belakangnya (posterior) ±11 cm. Pada puncak vagina (bagian posterior vagina) menonjol serviks (leher rahim). Bagian serviks yang menonjol ke dalam vagina disebut partio (tonjolan). Vagina mengandunga glikogen yang menghasilkan asama pada vagina. Tingkatan keasaman vagina dipertahankan dalam kondisi asam (pH 3,5-4,5). Berikut merupakan fungsi vagina:
Sebagai saluran yang mengeluarkan lendir uterus dan darah
menstruasi.
Sebagai saluran saat melakukan hubunga seksual.
Sebagai temoat pengeluaran janin atau jalan lahir pada waktu
persalinan.
Dengan sekretnya yang asam, vagina merupakan barier untuk
menghalangi perjalanan infeksi.
Uterus
Struktur rahim dibagi atas fundus uteri (puncak rahim), korpus uteri (badan rahim) dan isthmus uteri (titik temu serviks dengan korpus uteri). Dinding uteri terbagi atas 3 lapisan, yaitu sebagai beriku: peritoneum (lapisan uteri bagian luar), miometrium (lapisan tengah/ otot endometrium), dan endometrium (laipsan uterus bagian dalam).Berikut adalah beberapa fungsi uterus:
Mempertahankan ovum yang telah dibuahi pada masa
perkembangannya.
Memberikan perlindunga dan nutrisi pada emrio/ janin sampai
mencapai maturitas.
Mendorong keluar janin dan plasenta pada saat persalinan.
Setelah persalinan, mengendalikan perdarahan dari tempat
perlekatan plasenta melalui kontraksi otot-otot rahim yang saling berjalan yang disebut jahitan hidup.
Tuba fallopi
sperma dan pars infundibulum/ umbai/ fimbriae yang berfungsi membawa ovum dari ovarium ke uterus. Berikut ini merupakan fungsi tuba fallopi yaitu sebagai berikut:
Menangkap ovum yang dilepaskan pada saat ovulasi.
Sebagai saluran spermatozoa bertemu dengan ovum.
Sebagai saluran dari hasil konsepsi menuju uterus.
Tempat terjadinya konsepsi.
Tempat pertemuan dan perkembangan hasil konsepsi sampai
mencapai bentuk blastula, yang siap mengadakan implantasi dalam endometrium.
Ovarium
Ovarium merupakan kelenjar kelamin (gonad), atau kelenjar seks wanita. Ovarium ada dua buah, yaitu ovarium bagian kiri dan kanan yang berada di dalam kavum abdomen di belakang ligamentum latum dekat ujung fimbriae tuba fallopi. Kedua ovarium melekat pada uterus lewat ligamentum ovari yang berjalan dari permukaan posterior uterus di dekat kornu uteri. Salah satu permukaan ovarium bersentuhan dengan permukaan posterior ligamentum latum. Titi temu ini disebut mesovarium. Pada bagian tengah mesovarium terdapat hilum dan melalui pintu masuk ini lewat pembuluh darah ovarium, saluran limfe, dan saraf.
dan darah yang disangga oleh jaringan ikat. Bagian lainnya adalah korteks yang ada pada ovarium eksternal. Korteks mengandung folikel-filikel ovarium atau sel-sel telur yang terbenam dalam stroma.
Ovarium tidak dibungkus oleh perimetrium sejati, namun ovarium mengandung bentuk peritoneum yang sudah mengalami modifikasi, yaitu epitelium germinalis. Berikut ini merupakan fungsi ovarium:
Memproduksi ovum.
Melepaskan ovum saat ovulasi.
Menyimpan seta mematangkan folikel-folikel ovarium.
Memproduksi hormon ovarium, yaitu estrogen dan progesteron.
c. Bagian Abdomen
Kulit
Gambar 2.4 Kulit (Widjanarko, 2010).
1) Lapisan Epidermis:Epidermis, lapisan luar, terutama terdiri dari epitel skuamosa bertingkat. Sel dibentuk oleh lapisan germinal dalam ketika didorong oleh sel terkikis oleh gesekan. Lapisan luar terdiri dari keratin, protein bertanduk, Jaringan ini tidak memiliki pembuluh darah dan sel selnya sangat rapat.
2) Lapisan Dermis, Dermis adalah lapisan yang terdiri dari kolagen jaringan fibrosa epidermis berupa sejumlah papilla kecil. Lapisan yang lebih dalamterletak pada jaringan subkutan dan fasia, lapisan ini mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan saraf.
disebut peritonium. Dalam tindakan SC, sayatan dilakukan dari kulit lapisan terluar (epidermis) sampai dinding uterus.
Fasia
Gambar 2.5 Fasia (Widjanarko, 2010).
Otot perut
Gambar 2.6 Otot perut (Widjanarko, 2010).
2) Otot dinding perut posterior Quadrates lumbolus adalah otot pendek persegi pada bagian belakang abdomen, dari costa kedua belas diatas ke crista iliaca (Widjanarko, 2010).
5. Patofisiologi
Etiologi dilakukannya Sectio caesareaada 2 antara lain etiologi yang berasal dari janin meliputi fetal distress/ gawat janin, mal presentasi dan mal posisi kedudukan janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil, kegagalan persalinan vakum atau forceps ekstraksi dan etiologi yang Ibu: primigravida dengan kelainan letak, primipara tua disertai kelainan letak ada, disporposi sefalo pelvic (disporposi janin/ panggu), ada sejarah kelahiran dan persalinan yang buruk, terdapat kesempitan panggul, solution plasenta tingkat 1-11, terdapat kesempitan panggul, placenta previa terutama pada primi gravida, komplikasi yang perjalanan persalinan.
Adanya kelainan dalam proses persalinan, sehingga harus dilakukan tindakan induksi, yang hasilnya tidak selalu berhasil. Induksi persalinan yang yang gagal harus dilakukan tindakan sectio caesarea untuk mengeluarkan janin dari dalam rahim.
Tindakan sectio caesarea dilakukan untuk melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut, sectio caesarea juga dapat didefinisikan sebagai suatu histerotomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Mochtar, 2011).
6. Pathway
Gambar 2.7 Pathway sectio caesarea (Nurarif dan Hardhi, 2015). Ibu: primigravida dengan kelainan letak,
primipara tua disertai kelainan letak ada, disporposi sefalo pelvic (disporposi janin/ panggu), ada sejarah kelahiran dan
persalinan yang buruk, terdapat kesempitan panggul, solution plasenta tingkat 1-11, terdapat kesempitan panggul, lacenta previa terutama pada primigravida, komplikasi yang perjalanan persalinan.
Janin: fetal distress/ gawat janin, mal presentasi dan
Taking in Taking Hold Letting go
No Diangosa Keperawatan Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) 1. Ketidakefektifan
pemberian ASI
Setelah dilakukanasuhan keperawatan diharapkan klien dapat menunjukkan respon breast feeding ineffective dengan kriteria hasil:
Kemantapan pemberian ASI.
Pemeliharaan pemberian ASI.
Diskontinuitas progesif pemberian AS.
Brestfeding Assistence Evaluasi pola menghisap.
Tentukan keinginan dan motivasi ibu untuk menyusui.
Evaluasi pemahaman ibu tentang isyarat menyusui dari bayi.
Kaji kemampuan bayi untuk latch on dan menghisap secara efektif.
Pantau ketrampilan ibu dalam menempelkan bayi keputing.
Pantau integritas kulit puting ibu.
Evaluasi pemahaman tentang sumbatan kelenjar susu dan mestitis.
Pantau kemampuan untuk mengurangi kongesti payudara dengan benar.
Pantau berat badan dan pola eliminasi bayi. Breast Examination
ASI.
Sediakan informasi tentang laktasi dan teknik memompa ASI.
Ajarkan pengasuh bayi mengenai topik-topik seperti cara menyimpan ASI.
Ajarkan orang tua mempersiapkan, menyimpan dan menghangatkan dalam kemungkinan pemberian tambahan susu formula.
Apabila penyapihan diperlukan, informasikan ibu mengenai kembalinya proses ovulasi dan seputar alat kontrasepsi.
Lactation Counseling
Sediakan informasi tentang keuntungan dan kerugian pemberian ASI.
Demonstrasikan latihan menghisap, jika perlu.
Diskusikan metode alternativ pemberian makan bayi.
2. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan klien dapat mengontrol nyeri sehingga nyeri dapat berkurang dengan
Pain Management
penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan).
Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri.
Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri).
Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
Tanda vital dalam rentang normal.
ketidaknyamanan.
Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien.
Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri.
Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau.
Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau.
Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan.
Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan.
Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan.
Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama dan setelah aktifitas.
Monitor kualitas dari nadi.
Monitor adanya pulsus paradoksus.
Monitor frekuensi dan irama pernafasan.
Monitor suara paru.
Monitor pola pernafasan abnormal.
Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit.
Monitor sianosis perifer.
Monitor adanya cushing triad.
Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign. 3. Defisiensi pengetahuan Setelah dilakukan asuhan keperawatan
diharapkan pengetahuan klien meningkat dengan kriteria hasil:
Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan.
Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar.
Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/ tim kesehatan
Teaching : Disease Process
Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik.
Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat.
Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat.
Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat.
Sediakan bagi keluarga atau SO informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat.
Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit.
Diskusikan pilihan terapi atau penanganan.
Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan.
Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepat.
Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat.
4. Intoleransi aktifitas Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan aktivitas klien kembali normal dengan kriteria hasil:
Berpartisipasi dalam aktifitas fisik
Activity Therapy
Kolaborasikan dengan tenaga rehabilitasi medik dalam merencanakan program terapi yang tepat.
Mampu melakukan aktivitas
sehari-sesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan sosial.
Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan.
Bantu untuk mendapatkan alat bantu aktivitas seperti kursi roda.
Bantu untuk mengidentifikasi aktifitas yang disukai.
Bantu untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang.
Bantu pasien/ keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas.
Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktifitas.
Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi dan penguatan.
dengan kriteria hasil:
Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi.
Jumlah leukosit dalam batas normal.
Menunjukkan perilaku hidup sehat.
lain.
Pertahankan teknik isolasi.
Batasi pengunjung bila perlu.
Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien.
Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan.
Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.
Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung.
Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat.
Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum.
Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing.
Tingkatkan intake nutrisi.
Berikan terapi antibiotik bila perlu.
Monitor kerentanan terhadap infeksi.
Batasi pengunjung.
Saring pengunjung terhadap penyakit menular.
Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko.
Pertahankan teknik isolasi k/p.
Berikan perawatan kuliat pada area epidema.
Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase.
Ispeksi kondisi luka / insisi bedah.
Dorong masukkan nutrisi yang cukup.
Dorong masukan cairan.
Dorong istirahat.
Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep.
Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi.
Ajarkan cara menghindari infeksi.
Laporkan kecurigaan infeksi.
kebutuhan tubuh kriteria hasil:
Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan.
Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan.
Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi.
Tidak ada tanda-tanda malnutrisi.
Menunjukan peningkatan fungsi pengecapan dan menelan.
Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti.
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe.
Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C.
Berikan substansi gula.
Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi.
Berikan makanan yang terpilih.
Ajarkan pasien bagaiman membuat catatan makanan harian.
Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi.
Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan.
Nutrition Monitoring
BB pasien dalam batas normal.
Monitor interaksi anak atau orang tua selama makan.
Monitor lingkungan selama makan.
Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama makan.
Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi.
Monitor turgor kulit.
Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah.
Monitor mual dan muntah.
Monitor kadar albumin, total protein,Hb, dan kadar Ht.
Monitor pertumbuhan dan perkembangan.
Monitor pucat, kemerahan dan kekeringan jaringan konjungtiva.
Monitor kalori dan intake nutrisi.
Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral.
dengan kriteria hasil:
Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT normal.
Tekanan darah, nadi, suhu tubuh, dalam batas normal.
Tidak ada tanda-tanda dehidrasi.
Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus
Berikan cairan IV pada suhu ruang.
Dorong masukan oral.
Berikan penggantian nesogatrik sesuai output.
Monitor tingkat Hb dan hematokrit.
Monitor tanda vital.
Monitor respon pasien terhadap penambahan cairan.
Monitor berat badan.
Dorong pasien untuk menambah intake oral.
Pemberian cairan IV monitor adanya tanda dan gejala kelebihan volume cairan.
C. Masa Nifas
Masa nifas disebut juga masa post partum atau puerperium yaitu masa atau waktu sejak bayi dilahirkan dan plasenta keluar lepas dari rahim, sampai enam minggu berikutnya, disertai dengan pulihnya kembali organ–organ yang berkaitan dengan kandungan, yang mengalami perubahan seperti perlukaan dan lain sebagainya berkaitan saat melahirkan (Suherni, 2009).
Periode masa nifas (puerperium) adalah periode waktu selama 6-8 minggu setelah persalinan. Proses ini dimulai setelah selesainya persalinan dan berakhir setelah alat-alat reproduksi kembali seperti keadaan sebelum hamil/ tidak hamil sebagai akibat dari adanya perubahan fisiologi dan psikologi karena proses persalinan (Saleha, 2009).
1. Tahap Masa Nifas
Tahapan yang terjadi pada masa nifas adalah sebagai berikut : a. Periode immediate postpartum
Masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam. Pada masa ini sering terdapat banyak masalah, misalnya pendarahan karena atonia uteri. Oleh karena itu, bidan dengan teratur harus melakukan pemeriksaan kontraksi uterus, pengeluaran lochea, tekanan darah, dan suhu.
b. Periode early post partum (24 jam-1 minggu)
demam, ibu cukup mendapatkan makanan dan cairan, serta ibu dapat menyusui dengan baik.
c. Periode late post partum (1 minggu- 5 minggu)
Pada periode ini bidan tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan sehari-hari serta konseling KB (Saleha, 2009).
2. Perubahan fisiologis pada masa nifas a. Perubahan sistem reproduksi
Selama masa nifas alat-alat genetalia interna maupun eksterna akan berangsur-angsur pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil. Perubahan-perubahan alat genital ini dalam keseluruhan disebut involusi. Disamping involusi ini, terjadi juga perubahan-perubahan penting lain, yakni hemo konsentrasi dan timbulnya laktasi. Yang terakhir ini karena pengaruh lactogenic hormone dari kelenjer hipofisis terhadap kelenjar-kelenjar mamma.
implantasi plasenta merupakan suatu luka yang kasar dan menonjol ke dalam kavum uteri, segera setelah persalinan. Penonjolan tersebut, dengan diameter kurang lebih 7,5 cm, sering disangka sebagai suatu bagian plasenta yang tertinggal. Sesudah 2 minggu diameternya menjadi 3,5 cm dan pada 6 minggu telah mencapai 2,4 cm.
Uterus gravidus aterm beratnya kira-kira 1000 gram. Satu
minggu post partum berat uterus akan menjadi kurang lebih 500 gram, 2 minggu post partum menjadi 300 gram, dan setelah 6 minggu post partum, berat uterus menjadi 40 sampai 60 gram (berat uterus normal kurang lebih 30 gram). otot-otot uterus berkontraksi segera postpartum. pembuluh-pembuluh darah yang berada diantara anyaman otot-otot uterus akan terjepit. proses ini akan menghentikan pendarahan setelah plasenta dilahirkan.
Lochea adalah darah yang dibuang dari rahim yang kini telah
Endometrium
Perubahan pada endometrium adalah trombosis, degenerasi, dan nekrosis ditempat implantasi plasenta. Pada hari pertama tebal endometrium 2,5 mm, mempunyai permukaan yang kasar akibat pelepasan desidua, dan selaput janin. Setelah tiga hari mulai rata, sehingga tidak ada pembentukan jaringan parut pada bekas implantasi plasenta (Saleha, 2009).
Serviks
Perubahan yang terjadi pada servik ialah bentuk servik agak mengangah seperti corong, segera setelah bayi lahir. Bentuk ini disebabkan oleh corpus uteri yang dapat mengadakan kontraksi, sedangkan servik tidak berkontraksi sehingga seolah-olah pada perbatasan antara korvus dan servik berbentuk semacam cincin (Sulistyawati, 2009).
b. Perubahan sistem pencernaan
c. Perubahan perkemihan
Saluran kencing kembali normal dalam waktu 2-8 minggu, tergantung pada keadaan sebelum persalinan, lamanya partus kala dua dilalui, besarnya tekanan kepala yang menekan pada saat persalinan.
d. Perubahan sistem muskuloskeletal
Otot-otot uterus berkontraksi segera setelah partus. Pembuluh-pembuluh darah yang berada diantara anyaman otot-otot uterus akan terjepit. Proses ini akan menghentikan pendarahan setelah plasenta dilahirkan. Ligamen-ligamen, diafragma pelvis, serta fasia yang meregang pada waktu persalinan, secara berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih kembali sehingga tak jarang uterus jatuh kebelakang dan menjadi retropleksi karena ligamentum rotundum menjadi kendor. Tidak jarang pula wanita mengeluh kandungannya turun setelah melahirkan karena ligamen, fasia, jaringan penunjang alat genetalia menjadi kendor. Stabilisasi secara sempurna terjadi pada 6-8 minggu setelah persalinan (Sulistyawati, 2009).
e. Perubahan tanda-tanda vital
Suhu tubuh wanita inpartu tidak lebih dari 37,2 derajat celsius.
akan kembali normal. Nila suhu lebih dari 38 derajat celsius, mungkin terjadi infeksi pada klien.
Nadi berkisar antara 60-80 denyutan permenit setelah partus,
dan dapat terjadi Bradikardia. Bila terdapat takikardia dan suhu tubuh tidak panas. Mungkin ada pendarahan belebihan atau ada vitium kordis pada penderita pada masa nifas umumnya denyut nadi labil dibandingkan dengan suhu tubuh, sedangkan pernafasan akan sedikit meningkat setelah partus kemudian kembali seperti keadaan semula.
Tekanan darah pada beberapa kasus ditemukan keadaan
hipertensi postpartum akan menghilang dengan sendirinya apabila tidak terdapat penyakit-penyakit lain yang menyertainya dalam setengah bulan tanpa pengobatan (Saleha, 2009).
D. Nyeri
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri. Hal ini sangat penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang baik.
a. Usia
Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Anakanak kesulitan untuk memahami nyeri dan beranggapan kalau apa yang dilakukan perawat dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak yang belum mempunyai kosakata yang banyak, mempunyai kesulitan mendeskripsikan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau perawat. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri, 2007).
b. Jenis kelamin
c. Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien dari budaya lain. Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan, seperti menangis atau meringis yang berlebihan. Pasien dengan latar belakang budaya yang lain bisa berekspresi secara berbeda, seperti diam seribu bahasa ketimbang mengekspresikan nyeri klien dan bukan perilaku nyeri karena perilaku berbeda dari satu pasien ke pasien lain. Mengenali nilai-nilai budaya yang memiliki seseorang dan memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan harapan dan nilai budaya seseorang. d. Ansietas
Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri.
e. Pengalaman masa lalu dengan nyeri
Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri, akibatnya ia ingin nyerinya segera reda sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah. Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mengetahui ketakutan dapat meningkatkan nyeri dan pengobatan yang tidak adekuat. Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan, seperti padda nyeri berkepanjangan atau kronis dan persisten. Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman sebelumnya menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada terhadap pengalaman masa lalu pasien dengan nyeri.
f. Efek plasebo
medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali makin banyak petunjuk yang diterima pasien tentang keefektifan intervensi, makin efektif intervensi tersebut nantinya. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi diperkirakan dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan nyeri dibanding dengan pasien yang diberitahu bahwa medikasi yang didapatnya tidak mempunyai efek apapun.
g. Pola koping
2. Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri dibagi menjadi dua yaitu nyeri secara umum dan nyeri dalam persalinan sebagai berikut :
a. Klasifikasi nyeri secara umum, antara lain adalah nyeri akut yaitu nyeri yang timbul segera setelah rangsangan dan hilang setelah penyembuhan, dan nyeri kronik yaitu nyeri yang menetap selama lebih dari 3 bulan walaupun proses penyembuhan sudah selesai. b. Klasifikasi nyeri persalinan dibagi beberapa nyeri yaitu :
Nyeri Viseral bersifat lambat dalam yang tidak terlokalisir.
Implus nyeri selama kala I pada persalinan di trasmisi melalui T11-T12 segment saraf spinal dan bagian bawah thorak dan bagian atas lumbal saraf simpatis, dimana uterus dan serviks terjadi pada kala I akibat dari kontraksi uterus dan pembukaan serviks. Lokasi nyeri ini meliputi bagian segmen abdomen dan menjalar kedaerah lumbal bagian belakang dan turun sampai dengan paha.
Nyeri somatic bersifat lebih cepat dan tajam menusuk dan lokasi
After pain nyeri selama kala II dimana uterus mengecil, sobek
dari hasil distensi dan laserasi dari serviks, vagina dan jaringan perinal nyeri yang dirasakan seperti awal kala I dan kala II (Regina, 2011).
3. Klasifikasi nyeri dibagi menjadi dua yaitu nyeri secara umum dan nyeri dalam persalinan sebagai berikut :
a. Klasifikasi nyeri secara umum, antara lain adalah
Nyeri akut yaitu nyeri yang timbul segera setelah rangsangan dan
hilang setelah penyembuhan.
Nyeri kronik yaitu nyeri yang menetap selama lebih dari 3 bulan
walaupun proses penyembuhan sudah selesai. b. Klasifikasi nyeri persalinan dibagi beberapa nyeri yaitu :
Nyeri Viseral bersifat lambat dalam yang tidak terlokalisir. Implus
nyeri selama kala I pada persalinan di trasmisi melalui T11-T12 segment saraf spinal dan bagian bawah thorak dan bagian atas lumbal saraf simpatis, dimana uterus dan serviks terjadi pada kala I akibat dari kontraksi uterus dan pembukaan serviks. Lokasi nyeri ini meliputi bagian segmen abdomen dan menjalar kedaerah lumbal bagian belakang dan turun sampai dengan paha.
Nyeri somatic bersifat lebih cepat dan tajam menusuk dan lokasi
penurunan kepala janin yang menekan jaringan - jaringan maternal dan tarikan perinium dan Utercocervical selama kontraksi.
After pain nyeri selama kala II dimana uterus mengecil, sobek dari
hasil distensi dan laserasi dari serviks, vagina dan jaringan perinal nyeri yang dirasakan seperti awal kala I dan kala II (Regina, 2011).
4. Faktor - faktor yang mempengaruhi nyeri
Faktor yang mempengaruh nyeri ada 2 macam yaitu faktor nyeri secara umum dan faktor nyeri dalam persalinan sebagai berikut :
a. Beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri sebagai berikut :
Arti nyeri merupakan arti yang negatif, seperti membahayakan,
merusak dan lain-lain. Keadaan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, jenis kelamin, latar belakang sosial, kultural, lingkungan dan pengalaman.
Persepsi nyeri merupakan panilaian yang sangat subjektif tepatnya
pada korteks (pada fungsi evaluatif kognitif). Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor yang dapat memicu stimulasi nociceptor.
Toleransi nyeri erat dihubungkan dengan adanya intensitas nyeri
Reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk respon seseorang
terhadap nyeri, seperti ketakutan, gelisah, cemas, menangis, dan menjerit (Hidayat, 2006).
b. Beberapa faktor mempengaruhi nyeri pesalinan adalah 1) Faktor fisiologi nyeri
Pembukaan dan penipisan serviks
[Segmen bawah rahim tegang
Ligamen uterus meregang
Periotonium tertarik
Kandung kemih tertekan
Hipoksia
Vagina tertekan
Multi/primpara
2) Faktor Psikologis
Ketakutan
Panik
Harga diri rendah
Marah pada bayi
Takut hamil ganguan aktifitas seksual
3) Faktor persepsi dan toleransi terhadap nyeri
Intensitas persalinan
Kematangan serviks