• Tidak ada hasil yang ditemukan

HALAMAN JUDUL - PENGARUH Glomus aggregatum Schenk & Smith emend. Koske YANG DIINOKULASIKAN PADA VETIVER (Chrysopogon zizanioides (L.) Roberty) DALAMMENURUNKAN TOTAL PETROLEUM HYDROCARBON - ITS Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HALAMAN JUDUL - PENGARUH Glomus aggregatum Schenk & Smith emend. Koske YANG DIINOKULASIKAN PADA VETIVER (Chrysopogon zizanioides (L.) Roberty) DALAMMENURUNKAN TOTAL PETROLEUM HYDROCARBON - ITS Repository"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

HALAMAN JUDUL TUGAS AKHIR – SB 091358

PENGARUH

Glomus aggregatum

Schenk &

Smith emend. Koske YANG DIINOKULASIKAN

PADA VETIVER (

Chrysopogon zizanioides

(L.)

Roberty)

DALAM

MENURUNKAN

TOTAL PETROLEUM HYDROCARBON

INDRAWAN TAUCHID NRP. 1507100004

DOSEN PEMBIMBING

Tutik Nurhidayati, S.Si., M.Si. Dr. Ir. Budhi Priyanto, M.Sc.

JURUSAN BIOLOGI

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember

(2)

HALAMAN JUDUL

FINAL PROJECT - SB 091358

EFFECT OF

Glomus aggregatum

Schenk &

Smith

emend.

Koske

INOCULATED

TO VETIVER (

Chrysopogon zizanioides

(L.)

Roberty)

FOR

DEGRADING

TOTAL PETROLEUM HYDROCARBON

INDRAWAN TAUCHID NRP. 1507100004

ADVISOR LECTURERS

Tutik Nurhidayati, S.Si., M.Si. Dr. Ir. Budhi Priyanto, M.Sc.

DEPARTMENT OF BIOLOGY

Faculty of Mathematics and Natural Sciences Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

(3)

v

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Petroleum Hydrocarbon (PHC) ... 5

2.2.1. Alifatik ... 7

2.2.2. Aromatik ... 7

2.2.3. Komponen Hidrokarbon yang Lain ... 8

2.2. Sifat Dari PHC ... 8

2.3. Dampak Lingkungan Akibat Kontaminasi PHC ... 9

2.4. Parameter Pengolahan Limbah PHC... 11

2.5. Fitoremediasi ... 12

2.6. Respon Tanaman pada Tanah yang Tekontaminasi PHC ... 14

2.6.1. Daun... 15

2.6.2. Akar ... 15

2.7. Tanaman Vetiver (Chrysopogon Zizanioides (L.) Roberty) ... 16

2.8. Tanah ... 19

(4)

vi

2.10. Interaksi CMA Terhadap Kontaminasi PHC pada

Tanah ... 21

2.11. Glomus Aggregatum Schenk & Smith Emend. Koske ... 24

BAB III METODOLOGI ... 27

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 27

3.2. Alat dan Bahan ... 27

3.2.1. Alat ... 27

3.2.2. Bahan ... 27

3.3. Cara Kerja ... 27

3.3.1. Tahap Persiapan ... 27

A. Uji Viabilitas Mikoriza ... 27

B. Penyiapan Tanaman ... 28

C. Penyiapan Media Tanam ... 29

D. Penentuan Water-Holding Capacity ... 29

E. Perbanyakan Bakteri Hidrokarbonoklastik ... 30

3.3.2. Pembuatan Bioreaktor dan Perawatan Tanaman .... 30

A. Pembuatan Bioreaktor ... 30

B. Pengairan dan Pemupukan ... 31

3.3.3. Pengukuran ... 31

A. Kelembaban Tanah ... 31

B. Analisis pH ... 32

C. Suhu Tanah ... 32

D. Perhitungan Biomassa ... 32

E. Perhitungan Jumlah Bakteri dengan Total Plate Count ... 32

F. Perhitungan Infeksi Akar In Vitro ... 33

G. Analisis Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) . 34 3.3.4. Rancangan Penelitian ... 35

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1. Analisis Data ... 37

4.1.1. Parameter Lingkungan ... 37

(5)

vii

4.1.3. Pengaruh Konsentrasi Crude Oil dan Penambahan G. aggregatum Terhadap Biomassa

C. zizanioides ... 40

4.1.4. Pengaruh Konsentrasi Crude Oil dan Penambahan G. aggregatum Terhadap Jumlah Tunas C. zizanioides ... 44

4.1.5. Pengaruh Konsentrasi Crude Oil dan Penambahan G. aggregatum Terhadap Panjang Tajuk C. zizanioides ... 45

4.1.6. Pengaruh Konsentrasi Crude Oil dan Penambahan G. aggregatum Terhadap Panjang Akar C. zizanioides ... 49

4.1.7. Pengaruh Konsentrasi Crude Oil dan Penambahan G. aggregatum Terhadap Jumlah Bakteri Bulk Soil dan Rizosfer C. zizanioides ... 52

4.1.8. Pengaruh Konsentrasi Crude Oil dan Penambahan G. aggregatum Terhadap Persentasi Infeksi Mikoriza pada C. zizanioides ... 55

4.2. Pembahasan ... 56

4.2.1. Efek Konsentrasi Crude Oil dan Penambahan G. aggregatum Terhadap Pertumbuhan C. zizanioides ... 56

4.2.2. Efek Penambahan G. aggregatum pada C. zizanioides dalam Cekaman Crude Oil ... 59

4.2.3. Efek Konsentrasi Crude Oil dan Penambahan G. aggregatum Terhadap Jumlah Bakteri Bulk Soil dan Rizosfer C. zizanioides ... 61

4.2.4. Efek Konsentrasi Crude Oil dan Penambahan G. aggregatum Terhadap Fitoremediasi PHC oleh C. zizanioides ... 63

BAB V KESIMPULAN ... 67

5.1. Kesimpulan ... 67

5.2. Saran ... 67

(6)

viii

(7)

x

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Parameter hasil bioremediasi tanah

terkontaminasi ... 11

Tabel 3.1 Uji viabilitas mikoriza ... 28

Tabel 3.2 Rancangan percobaan dua faktor ... 35

Tabel 4.1 Rerata pH perlakuan... 37

Tabel 4.2 Rerata kelembaban tanah perlakuan (skala 0-10) ... 38

Tabel 4.3 Rerata suhu perlakuan (°C) ... 38

Tabel 4.4 Nilai TPH pada pekan ke-12 masa penanaman C. zizanioides (%) ... 39

Tabel 4.5 Penurunan TPH pada pekan ke-12 setelah penanaman C. zizanioides (%) ... 40

Tabel 4.6 Biomassa C. zizanioides pada pekan ke-12 setelah penanaman (gram) ... 41

Tabel 4.7 Biomassa tajuk C. zizanioides pada pekan ke-12 setelah penanaman (gram) ... 42

Tabel 4.8 Biomassa akar C. zizanioides pada pekan ke-12 setelah penanaman (gram) ... 43

Tabel 4.9 Rasio biomassa tajuk:akar C. zizanioides pada pekan ke-12 setelah penanaman ... 43

Tabel 4.10 Jumlah tunas C. zizanioides pada pekan ke-12 setelah penanaman ... 45

Tabel 4.11 Panjang tajuk C. zizanioides pada pekan ke-12 setelah penanaman (cm) ... 46

Tabel 4.12 Panjang akar C. zizanioides pada pekan ke-12 setelah penanaman (cm) ... 49

Tabel 4.13 Jumlah bakteri bulk soil (x 106 CFU/gram tanah) ... 53

Tabel 4.14 Jumlah bakteri rizosfer C. zizanioides setelah pekan ke-12 penanaman (x 108 CFU/gram akar) .... 53

(8)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Klasifikasi senyawa TPH... 6

Gambar 2.2 Contoh jenis BTEX ... 8

Gambar 2.3 Hidrokarbon jenis PAH ... 8

Gambar 2.4 Berbagai mekanisme skematis penghilangan kontaminan oleh tanaman ... 14

Gambar 2.5 Proses biotik dan abiotik yang mempengaruhi degradasi kontaminan organik ... 14

Gambar 2.6 Tanaman vetiver (C. zizanioides). (a) tajuk, (b) akar, dan (c) bunga berbentuk panikula ... 17

Gambar 2.7 Kontrol rizosfer terhadap bioavailabilitas polutan organik ... 23

Gambar 2.8 Gambar hifa dan spora Glomus aggregatum ... 24

Gambar 3.1 Ilustrasi inokulasi mikoriza dengan menggunakan sistem lapisan ... 29

Gambar 3.2 Isolat bakteri hidrokarbonoklastik ... 30

Gambar 3.3 Bioreaktor berisi C. zizanioides ... 31

Gambar 3.4 Rangkaian Soxhlete apparatus ... 34

Gambar 4.1 Nilai TPH pada pekan ke-12 masa penanaman C. zizanioides ... 40

Gambar 4.2 Biomassa C. zizanioides setelah 12 pekan penanaman. ... 41

Gambar 4.3 Biomassa (a) tajuk dan (b) akar setelah 12 pekan penanaman ... 44

Gambar 4.4 Rasio biomassa tajuk:akar setelah 12 pekan penanaman ... 44

Gambar 4.5 Jumlah tunas C. zizanioides setelah 12 pekan penanaman ... 45

Gambar 4.6 Panjang tajuk C. zizanioides setelah 12 pekan penanaman ... 46

(9)

xiv

Gambar 4.8 Panjang tajuk C. zizanioides dengan

penambahan G. aggregatum setelah 12 pekan penanaman ... 48

Gambar 4.9 Panjang akar C. zizanioides setelah 12 pekan penanaman ... 49

Gambar 4.10 Akar C. zizanioides tanpa penambahan G. aggregatum setelah 12 pekan penanaman ... 50

Gambar 4.11Akar C. zizanioides dengan penambahan G. aggregatum setelah 12 pekan penanaman ... 51

Gambar 4.12Jumlah bakteri bulk soil (CFU) dalam media tanam C. zizanioides ... 54

Gambar 4.13Perbandingan jumlah bakteri a) rizosfer dan b) bulk soil (CFU) setelah 12 pekan penanaman C. zizanioides. ... 54

Gambar 4.14Persentasi infeksi mikoriza pada C. zizanioides setelah 12 minggu masa penanaman ... 56

(10)

ii

KATA PENGANTAR

Syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir. Sholawat serta salam terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW atas petunjuknya menuju ke jalan yang benar. dalam penulisan proposal tugas akhir ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Ikbal, M. Eng, selaku kepala Balai Teknologi Lingkungan yang telah memberikan kami izin untuk melakukan penelitian di Balai Teknologi Lingkungan BPPT PUSPIPTEK Serpong, Tangerang Selatan; Bapak Dr. Ir. Budhi Priyanto, M.Sc. selaku dosen pembimbing tugas akhir yang membimbing kami dengan penuh kesabaran; Bapak Dr. Ing. Abdul Kholik, M.Sc. atas informasi dan sarannya, Ibu Nida Sopiah, M.Si. dan Bapak Ir. Dominikus H. Akhadi atas kesediaanya untuk mengizinkan kami mengerjakan tugas akhir ini di laboratorium kimia analitik dan mikrobiologi. Bapak Atang, Ibu Sati Suyati, Bang Yunus, Bang Hidayatullah, Mas Mulyono S.Si, serta Ibu Esi Lisyastuti, S.Si., M.Kes, atas bantuannya selama penelitian, serta seluruh karyawan BTL-BPPT.

Terima kasih juga kami sampaikan kepada Ibu Dr. rer. nat. Ir. Maya Shovitri, M.Si selaku ketua Jurusan Biologi FMIPA ITS; Ibu Tutik Nurhidayati, S.Si., M.Si. selaku dosen pembimbing dari Biologi ITS; Bapak Mukhammad Muryono S.Si., M.Si. selaku koordinator tugas akhir; serta Bapak Mukhammad Muryono S.Si., M.Si. Ibu Dini Ermavitalini, S.Si., M.Si., dan Ibu Dr. rer. nat. Ir. Maya Shovitri, M.Si. selaku dosen penguji proposal tugas akhir.

(11)

iii

bantuannya; serta Ibu Dra. Nurlita Abdulgani, M.Si., selaku dosen wali penulis di Jurusan Biologi FMIPA ITS.

Kepada Saudari Efi Indra Yani selaku rekan dalam penyusunan tugas akhir; Rekan-rekan mahasiswa Biologi ITS, khususnya angkatan 2007 (Israizal Faris Febrian, Bari Akbar, Syaikhul Mahmud, Dzulfikar Ali Sauwibi, Listy Anggraeni, Ni Ketut Dewi Indrayati, Liza Febby Kurnianti, Nur Ismi Fauziah, Siti Sundari, serta teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu per satu); mahasiswa-mahasiswa PKL dan Tugas Akhir di BTL-BPPT (Andang Mulya Sari, Zaki, Aiman, Andri, dan Irwan), atas bantuan, dukungan, dan informasinya; serta pihak-pihak lainnya, kami sampaikan terima kasih.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan proposal tugas akhir ini terdapat banyak kekurangan, sehingga penulis mengharapkan adanya kritik dan saran membangun untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga proposal tugas akhir ini dapat memberikan kontribusi ilmu pengetahuan, khususnya bagi para pembaca.

Surabaya, 3 Februari 2012

(12)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Komposisi Media ... 75

Lampiran 2. Skema Kerja ... 76

Lampiran 3. Dokumentasi ... 81

(13)

iv

PENGARUH Glomus aggregatum Schenk & Smith emend. Koske YANG DIINOKULASIKAN PADA VETIVER

(Chrysopogon zizanioides (L.) Roberty) DALAM

MENURUNKAN TOTAL PETROLEUM HYDROCARBON

Nama Mahasiswa : Indrawan Tauchid

NRP : 1507 100 004

Jurusan : Biologi

Pembimbing : Tutik Nurhidayati, S.Si., M.Si.

: Dr. Ir. Budhi Priyanto, M.Sc.

Abstrak

Vetiver (Chrysopogon zizanioides (L.) Roberty) merupakan tanaman yang berpotensi untuk menurunkan Total Petroleum

Hydrocarbon (TPH) dalam tanah yang tercemar crude oil. C.

zizanioides mudah berasosiasi dengan mikoriza Glomus aggregatum Schenk & Smith emend. Koske. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi crude oil dan penambahan cendawan mikoriza arbuskula G. aggregatum terhadap kemampuan C. zizanioides dalam melakukan fitoremediasi tanah terkontaminasi PHC. Bioreaktor dibuat dari polybag yang diisi dengan campuran tanah dan pasir (2:3). Crude oil diambil dari industri rakyat pengeboran minyak bumi di Bojonegoro, Jawa Timur. Parameter pertumbuhan, infeksi mikoriza, jumlah bakteri bulk soil dan rizosfer, serta TPH diukur setelah 3 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi crude oil berpengaruh terhadap kemampuan C. zizanioides dalam menurunkan TPH dalam tanah. Namun, penambahan G. aggregatum tidak mempengaruhi penurunan TPH. Nilai penurunan TPH tertinggi (54,587 %) terjadi pada perlakuan penambahan crude oil 3% tanpa inokulasi G. aggregatum. Penambahan G. aggregatum memperbesar biomassa akar.

(14)

v

EFFECT OF Glomus aggregatum Schenk & Smith emend.

Koske INOCULATED TO VETIVER (Chrysopogon

zizanioides (L.) Roberty) FOR DEGRADING

TOTAL PETROLEUM HYDROCARBON

Student Name : Indrawan Tauchid

NRP. : 1507 100 004

Department : Biology

Advisor Lecturers : Tutik Nurhidayati, S.Si., M.Si.

: Dr. Ir. Budhi Priyanto, M.Sc.

Abstract

Vetiver (Chrysopogon zizanioides (L.) Roberty) is a potential plant for reducing Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) in Petroleum Hydrocarbon (PHC) contaminated soil. C. zizanioides is able to associate with Glomus aggregatum Schenk & Smith emend. Koske. This research aimed to know the effect of crude oil concentration and arbuscular mycorhizal fungi G. aggregatum on C. zizanioides potency to remediate PHC contaminated soil. Bioreactor were constructed using polybags filled with a mixture of fine soil and sand (2:3). Crude oil was taken from small scale crude oil drilling industry in Bojonegoro, East Java. Plant growth parameters, mycorrhizal infection, bacterial populations in bulk soils and rhizospheres, and TPH percentages were measured after 3 months. Result shows that C. zizanioides was able to reduce TPH concentration in the soil and this was affected by crude oil concentration. The presence of G. aggregatum addition had no effect on the reduction of TPH. Highest TPH reduction (54,486%) was achieved in the 3% crude oil treatment without G. aggregatum inoculation. However, root biomass of vetiver was higher in the G. aggregatum inoculated treatment.

(15)
(16)

67

Alarcón, A. (2006). The Physiology of Mycorrhizal Lolium multiflorum in the Phytoremediation of Petroleum Hydrocarbon-Contaminated Soil. Tesis. Texas A&M University.

Alkareji. (2008). Pemanfaatan Mycorrhizal Helper Bacterias (MHBs) dan Fungi Mikoriza Arbuskula (CMA) untuk Meningkatkan Pertumbuhan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) di Persemaian. Tugas Akhir, Institut Pertanian Bogor, Departemen Silvikultur, Bogor.

Anonim. (2010). Glomus aggregatum N.C. Schenck & G.S. Sm.

emend. Koske. Dipetik Desember 21, 2010,

dari http://www.agro.ar.szczecin.pl

Bagariang, E. N. (2008). Uji Kemampuan Kembang Kuning (Cassia surattensis) terhadap Degradasi Hidrokarbon Oil Spill Studi Kasus PT. Chevron Pacific Indonesia Riau. Tugas Akhir. Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Jurusan Teknik Lingkungan, Surabaya.

Bianciotto, V., & Bonfante, P. (2002). Arbuscular mycorrhizal fungi: A specialised niche for rhizospheric and endocellular bacteria. Antonie van Leeuwenhoek,81, (1-4), 365–371.

(17)

Brandt, R. (2003). Potential of vetiver (Vetiveria zizanioides (l.) Nash) for the use in phytoremediation of petroleum hydrocarbon-contaminated soils in Venezuela. Tugas Akhir, Westfälische Wilhelms-Universität Münster, Institut für Landschaftsökologie, Münster.

Cabello, M. N. (1997). Hydrocarbon pollution: its effect on native arbuscular mycorrhizal fungi (CMA). FEMS, Microbiol. Ecol. (22), 233-236.

Chasanah, D. (2008). Studi Awal Pemanfaatan Lumpur Lapindo Sidoarjo sebagai Media Tanam Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.) yang Berasosiasi dengan Mikoriza Versikula Arbuskula (MVA) Glomus aggregatum. Tugas Akhir, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Program Studi Biologi, Surabaya.

Davis, L., Castro-Diaz, S., Zhang, Q., & Erickson, L. (2002). Benefits of vegetation for soils with organic contaminants. Critical Rev. Plant Sci. (21), 457-491.

Eapen, S., & D'Souza, S. F. (2004). Prospects of genetic engineering of plants for phytoremediation of toxic metals. Biotechnology Advances (23), 97-114.

Febriandita, C. S. (2008). Degradasi Hidrokarbon Petroleum pada Media Tumbuh Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan Mikoriza (Glomus aggregatum) Studi Kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo. Tugas Akhir, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Jurusan Teknik Lingkungan, Surabaya.

(18)

soil contaminants: Potential and challenges. Plant Science, 176, 20–30.

Hart, M. M., & Reader, R. J. (2002). Taxonomic basis for variation in the colonization strategy of arbuscular mycorrhizal fungi. New Phytologist, 153, 335-344.

Heinonsalo, J., Jorgensen, K. S., Haahtela, K., & Sen, R. (2000). Effects of Pinus sylvestris root growth and mycorrhizosphere development on bacterial carbon source utilization and hydrocarbon oxidation in forest and petroleum-contaminated soils. Can. J. Microbiol. , 46, 451–464.

Joner, E. J., & Leyval, C. (2001). Influence of arbuscular mycorrhiza on clover and ryegrass grown together in a soil spiked with polycyclic aromatic hydrocarbons. Mycorrhiza (10), 155-159.

Joner, E. J., Leyval, C., & Colpaert, J. V. (2006). Ectomycorrhizas impede phytoremediation of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) both within and beyond the rhizosphere. Environmental Pollution, 142, 34-38.

Kamath, R., Rentz, J., Schnoor, J., & Alvarez, P. 2004. Phytoremediation of hydrocarbon-contaminated soil: principles and applications. dalam Vazquez-Duhalt, R. dan Quintero-Ramirez, R. (Penyunting). Studies in Surface Science and Catalysis 151. Elsevier B.V.

(19)

Kirk, J., Klironomos, J., Lee, H., & Trevors, J. (2002). Phytotoxicity assay to assess plant species for phytoremediation of petroleum-contaminated soil. Bioremed. J. (6), 57-63.

Korade, D. L., dan Fulekar, M. H. (2008). Remediation of anthracene in mycorrhizospheric soil using ryegrass. African Journal of Environmental Science and Technology, 2 (9). 249-256.

Leaungvutiviroj, C., Piriyaprin, S., Limtong, P., Sasaki, K. (2010). Relationships between soil microorganisms and nutrient contents of Vetiveria zizanioides (L.) Nash and Chrysopogon nemoralis (A.) Camus in some problem soils from Thailand. Applied Soil Ecology, (46), 95–102.

Macinnis-Ng, C., & Ralph, P. (2003). In situ impact of petrochemicals on the photosynthesis of the seagrass Zostera capricorni. Mar. Pollut. Bull. (46), 1395-1407.

Malallah, G., Afzal, M., Gulshan, S., Abraham, D., Kurgan, M., & Dhabi, M. S. (1996). Vicia faba as a bioindicator of oil pollution. Environ. Pollut. (92), 213-217.

Mangkoediharjo, S. (2005). Remediation Technologies Selection for Oil-Polluted Marine Ecosystem. Makalah, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Jurusan Teknik Lingkungan, Surabaya.

(20)

Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Program Studi Biologi, Surabaya.

Merkl, N., Schultze-Kraft, R., & Infante, C. (2005). Phytoremediation in the tropics – influence of heavy crude oil on root morphological characteristics of graminoids. Environ. Pollut. , 138, 86-91.

Nalwaya, V., Tangtayakom, V., Piumsomboon, P., & Fogler, S. (1999). Studies on asphaltenes through analysis of polar fractions. Industrial & Engineering Chemistry Research , 38 (3), 964-972.

Ndimele, P. E. (2010). A review on the phytoremediation of petroleum hydrocarbon. Pakistan Journal of Biological Science, 13, (15), 715-722.

NRC. (1993). Vetiver grass: a thin green line against erosion. Board on Science and Technology for International Development, National Research Council. Washington D.C.: National Academy Press.

Parrish, Z., Banks, M., & Schwab, A. (2005). Assessment of contaminant lability during phytoremediation of polycyclic aromatic hydrocarbon impacted soil. Environmental Pollution , 137, 187–197.

(21)

Piriyaprin, S., Sunathapongsuk, V., Limtong, P., Leaungvutiviroj, C., & Pasda, N. (2002). Study on soil microbial biodiversity in rhizosphere of vetiver grass in degradating soil. Presentation paper on 17th WCSS. Thailand.

PPLI. (2010). IPOC and Senipah Waste Management Overview. Balikpapan.

Punamiya, P., Datta, R., Sarkar, D., Barber, S., Patel, M., & Das, P. (2010). Symbiotic role of Glomus mosseae in phytoextraction of lead in vetiver grass [Chrysopogon

zizanioides (L.)]. Journal of Hazardous Materials (177),

465–474.

Robertson, S. J., McGill, W. B., Massicotte, H. B., & Rutherford, P. M. (2007). Petroleum hydrocarbon contamination in boreal forest soil: a mycorrhizal ecosystems perspective. Biological Reviews (82), 213-240.

Salisbury, F. B., & Ross, C. W. (1992). Fisiologi Tumbuhan. Bandung: Penerbit ITB.

Salzer, P., Corbiere, H., & Boller, T. (1999). Hydrogen peroxide accumulation in Medicago truncatula roots colonized by the arbuscular mycorhizal-forming fungus Glomus intraradices. Planta (208), 319–325.

Sari, L. M. (2008). Keberadaan Mikoriza pada Areal Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Sungai Seruyan Kalimantan Tengah). Tugas Akhir, Institut Pertanian Bogor, Departemen Silvikultur, Bogor.

(22)

endophytic bacterial genotypes by plants in response to soil contamination. Appl. Environ. Microbiol. , 67, 2469-2475.

Siciliano, S., Germida, J., Banks, K., & Greer, C. (2003). Changes in microbial community composition and function during a polyaromatic hydrocarbon phytoremediation field trial. Applied and Environmental Microbiology ( 69), 483–489.

Suleimanov, R., Gabbasova, I., & Sitdikov, R. (2005). Changes in the properties of oily gray forest soil during biological reclamation. Biological Bulletin (32), 109–115.

Susarla, S., Medina, V. F., & McCutcheon, S. (2002). Phytoremediation: An ecological solution to organic chemical contamination. Ecol. Engineer. (18), 647-658.

Susilorukmi, A., & Sriwuryandari, L. (2006). Study on application of vetiver grass and enriched culture of microorganisms for phytoremediation of oil sludge on land site. The 4th International Symposium on Sustainable Sanitation. Bandung: LIPI-JST.

Tiquia, S., Lloyd, J., Herms, D., Hoitink, H., & Michel, F. (2002). Effects of mulching and fertilization on soil nutrients, microbial activity and rhizosphere bacterial community structure determined by analysis of TRFLPs of PCR-amplified 16S rRNA genes. Applied Soil Ecology , 21, 31–48.

(23)

Trofimov, S., & Rozanova, M. (2003). Transformation of soil properties under the impact of oil pollution. Eurasian Soil Science , 36, S82–S87.

Van Epps, A. 2006. Phytoremediation of Petroleum Hydrocarbon. U.S. Environmental Protection Agency, Washington DC.

Van Hamme, J., Singh, A., & Ward, O. (2003). Recent advances in petroleum microbiology. Microbiol. Mol. Biol. Rev. (67), 503-549.

Wenzel, W. W. (2008). Rhizosphere processes and management in plant-assisted bioremediation (phytoremediation) of soils. Plant Soil, 321, 385–408.

(24)

115

BIODATA PENULIS

(25)

1

1.1 Latar Belakang

Pertambangan petroleum baik berupa minyak bumi maupun gas alam merupakan salah satu usaha untuk memperoleh sumber energi dan turunannya. Pada proses pertambangan tersebut, tentunya ada hasil samping yang dapat menjadi polutan yang berbahaya bagi lingkungan, antara lain limbah hidrokarbon petroleum (petroleum hydrocarbon/PHC). Petroleum dan turunannya merupakan campuran dari hidrokarbon padat, cair, dan gas. Komponen yang secara alami terbentuk pada reservoir crude oil disebut hidrokarbon petroleum. Substansi ini bersifat toksik pada organisme tingkat tinggi (manusia, flora, fauna) dan organisme tingkat rendah seperti mikroorganisme (Atlas, 1981 dalam Ambarukmi dan Sriwuryandari, 2006).

Limbah PHC dapat ditanggulangi dengan bioremediasi. Bioremediasi adalah suatu teknik dengan menggunakan mikroorganisme atau tumbuhan untuk detoksifikasi kontaminan. Salah satu alternatif dalam proses bioremediasi adalah dengan menggunakan fitoremediasi. Fitoremediasi didefinisikan sebagai pencucian polutan yang dimediasi oleh tumbuhan, termasuk pohon, rumput-rumputan, dan tumbuhan air. Pencucian bisa berarti penghancuran, inaktivasi atau imobilisasi polutan ke bentuk yang tidak berbahaya (Alarcón, 2006; Robertson et al., 2007). Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai tanaman untuk fitoremediasi adalah Chrysopogon zizanioides.

(26)

zizanioides merupakan tanaman C4, termasuk tanaman perenial yang berumur panjang (10 tahun) dan mampu tumbuh pada rentang suhu -9 sampai 45°C serta toleran terhadap pH 4,5-10,5 (Kong et al., 2000 dalam Ambarukmi dan Sriwuryandari, 2006). C. zizanioides memiliki kemampuan untuk mengurangi polutan hidrokarbon dalam tanah serta mampu bertahan hidup dan menumbuhkan tunas baru pada tanah yang telah tercemar hidrokarbon. C. zizanioides juga menetralisasi alkalinitas dari tanah dan mempertahankan air (Ambarukmi dan Sriwuryandari, 2006). Selain itu, C. zizanioides mempunyai kemampuan untuk bersimbiosis dengan mikroflora tanah, yaitu bakteri rizosfer dan cendawan mikoriza arbuskular (CMA) (Leaungvutiviroj et al., 2010).

Mikoriza (akar-cendawan) merupakan gabungan simbiotik dan mutualistik antara cendawan bukan patogen atau patogen lemah dan sel akar hidup, terutama sel korteks dan sel epidermis (Robertson et al., 2007). Mikoriza diduga mampu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap lingkungan yang tercemar hidrokarbon dengan cara meningkatkan serapan nutrisi tanaman dan air pada tanah (Alarcón, 2006). Secara umum, fungi dianggap lebih toleran terhadap zat kimia polutan berkonsentrasi tinggi daripada bakteri, kemungkinan hal ini dikarenakan perbedaan struktur dinding selnya (Blakely et al. 2002, dalam Robertson, 2007). Salah satu contoh CMA adalah Glomus

aggregatum yang memiliki adaptasi yang lebih baik daripada

mikoriza lain terhadap tanah yang terkontaminasi minyak dan menunjukkan kapasitas kolonisasi yang tinggi (Cabello, 1997). Dengan penambahan G. aggregatum pada C. zizanioides diharapkan dapat meningkatkan sebaran akar sehingga diharapkan efek rizosfer bertambah.

1.2 Permasalahan

Permasalahan pada penelitian ini adalah

(27)

dalam melakukan fitoremediasi crude oil pada tanah yang terkontaminasi oleh PHC.

2. Bagaimanakah pengaruh penambahan crude oil terhadap kemampuan C. zizanioides dalam melakukan fitoremediasi crude oil pada tanah yang terkontaminasi oleh PHC.

3. Pada perlakuan manakah yang menunjukkan tingkat penurunan TPH yang paling banyak dalam masa pengamatan.

1.3 Batasan Masalah

Pengukuran efektivitas fitoremediasi dalam penelitian ini dibatasi pada pengukuran nilai penurunan TPH (Total Petroleum Hydrocarbon), parameter pertumbuhan C. zizanioides, jumlah bakteri bulk soil dan rizosfer C. zizanioides, serta persentasi infeksi mikoriza pada tanah yang terkontaminasi PHC dengan menggunakan agensia fitoremediasi C. zizanioides yang dimodifikasi dengan penambahan G. aggregatum selama 3 bulan.

1.4 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah

1. Mengetahui pengaruh penambahan cendawan mikoriza arbuskula G. aggregatum terhadap kemampuan C. zizanioides dalam melakukan fitoremediasi tanah yang terkontaminasi oleh PHC.

2. Mengetahui pengaruh penambahan crude oil terhadap kemampuan C. zizanioides dalam melakukan fitoremediasi tanah yang terkontaminasi oleh PHC.

3. Mengetahui perlakuan yang menunjukkan tingkat penurunan TPH yang paling banyak dalam masa pengamatan.

1.5 Manfaat

(28)

5

1.

2.1 Petroleum Hydrocarbon (PHC)

Petroleum dan turunannya merupakan campuran dari hidrokarbon padat, cair, dan gas. Komponen yang secara alami terbentuk pada reservoir minyak mentah disebut hidrokarbon petroleum. Deposit batuan sedimenter ini merupakan formasi baru yang berasal dari residu organik organisme kuno dan terbentuk di bawah panas, tekanan, dan kondisi anaerob tereduksi selama periode waktu geologis (Brandt, 2003). Petroleum merupakan senyawa kompleks, terdiri atas alkana, sikloalkana, dan hidrokarbon aromatik, juga hidrokarbon alifatik (Haramaya et al., 1998; Dutta dan Harayana, 2001 da lam Ambarukmi dan

Sriwuryandari, 2006). Senyawa ini mengandung persentase rendah pada senyawa sulfur, oksigen, dan nitrogen, dengan tambahan logam dan senyawa lain. Substansi ini bersifat toksik pada organisme tingkat tinggi (manusia, flora, fauna) dan organisme tingkat rendah seperti mikroorganisme (Atlas, 1981 dalam Ambarukmi dan Sriwuryandari, 2006). Pada tanah, toksisitas PHC (Petroleum Hydrocarbon) pada organisme tanah,

termasuk tanaman, terjadi bersamaan dengan perubahan fisik dan kimia pada tanah akibat kontaminasi PHC (Trofimov dan Rozanova, 2003).

Senyawa petroleum secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori komponen utama: hidrokarbon dan non-hidrokarbon. Hidrokarbon hampir meliputi semua komponen dalam produk petroleum dan merupakan senyawa yang utama (tetapi tidak selalu) diukur sebagai Total Petroleum Hydrocarbon

(29)

menjadi parafinik, aspaltik, dan campuran (Todd et al., 1999

dalam Brandt, 2003). Menurut Kamath et al. (2004), TPH dibagi

menjadi dua kategori. Gasoline range organics (GRO) terdiri atas

alkana berantai pendek (C6-C10) dengan titik didih rendah (60-170°C) seperti isopentana, 2,3-dimetil butana, butana dan n-pentana, dan senyawa aromatik yang mudah menguap seperti hidrokarbon monoaromatik benzena, toluena, etilbenzena, dan xilena (BTEX). Diesel range organics (DRO) termasuk alkana

berantai panjang (C10-C40) dan zat kimia hidrofobik seperti hidrokarbon aromatik polisiklik (polycyclic aromatic

hydrocarbons (PAH). Klasifikasi senyawa TPH dapat dilihat pada

gambar berikut:

Gambar 2.1 Klasifikasi senyawa TPH (Potter dan Simmons, 1998

dalam Brandt, 2003 dengan perubahan)

TPH dianggap polutan berbahaya dan mengandung senyawa yang bisa mengalami biokonsentrasi dan bioakumulasi dalam rantai makanan, merupakan toksik, dan beberapa fraksinya seperti benzena dan benzo[a]pirena diketahui sebagai mutagen dan karsinogen (Kamath, et al., 2004). Konstituen hidrokarbon

dapat dikelompokkan menjadi hidrokarbon jenuh, hidrokarbon tak jenuh, dan senyawa aromatik.

(30)

2.2.1 Alifatik

Alifatik dibagi lagi menjadi 4 kelas: parafin (alkana), olefin (alkena), asetilen (alkuna) dan naftan (sikloalkana). Parafin, olefin, dan asetilen merupakan hidrokarbon yang dibentuk dari rantai lurus atau bercabang. Parafin bersifat jenuh, sementara olefin dan asetilen merupakan hidrokarbon tidak jenuh karena masing-masing memiliki ikatan rangkap dua dan tiga. Naftan merupakan hidrokarbon jenuh dengan satu cincin atau lebih yang bisa dikombinasikan dengan satu rantai sisi parafin atau lebih. Hanya alifatik jenuh seperti parafin dan naftan yang berperan penting dalam analisis kualitas minyak mentah (Reis, 1996 dalam Brandt, 2003). Senyawa alifatik umumnya kurang toksik daripada aromatik dan toksisitasnya bervariasi tergantung pada ukuran senyawa (Edwards et al., 1998 dalam Brandt, 2003).

2.2.2 Aromatik

Komponen struktural dari molekul hidrokarbon aromatik adalah satu atau lebih cincin enam karbon (benzena) yang menunjukkan stabilitas kimiawi yang tinggi akibat adanya ikatan rangkap dua. Cincinnya terkadang dihubungkan dengan cincin naftan yang tersubstitusi atau rantai sisi parafin. Hidrokarbon aromatik dibagi menjadi hidrokarbon monoaromatik, dikromatik, dan poliaromatik. Monoaromatik memiliki satu cincin seperti benzena, toluena, etilbenzena, dan xilena, yang dikenal sebagai BTEX. Diaromatik memiliki 2 cincin benzena yang berfusi. Hidrokarbon poliaromatik (polyaromatic hydrocarbon/PAH)

(31)

Gambar 2.2 Contoh jenis BTEX (Kamath, et al., 2004)

Gambar 2.3 Hidrokarbon jenis PAH (Kamath, et al., 2004)

2.2.3 Komponen Hidrokarbon yang Lain

Lebih lanjut, aspal dan resin juga penting dalam analisis kualitas minyak mentah. Kedua senyawa tersebut didefinisikan sebagai fraksi polar petroleum (Diallo et al., 2000 dalam Brandt,

2003). Aspal merupakan hidrokarbon poliaromatik besar yang mengandung rantai alifatik pendek dan atom polar seperti sulfur, oksigen, nitrogen, dan berbagai macam logam (Nalwaya et al.,

1999).

2.2 Sifat dari PHC

(32)

lebih larut dan mudah menguap daripada senyawa berberat molekul tinggi. PHC memiliki berbagai isomer, jumlah isomernya bertambah sesuai dengan penambahan jumlah karbon, yang menghasilkan kompleksitas kimia yang tinggi (Potter dan Simmons, 1998 dalam Brandt, 2003).

Aspal disebut sebagai “bahan organik berat”, karena merupakan fraksi yang paling polar dari minyak mentah. Sehingga aspal lebih tidak larut pada n-alkana ringan tetapi larut pada pelarut aromatik. Walaupun memiliki polaritas yang tinggi, aspal bisa distabilkan pada fraksi non-polar dari minyak mentah (Nalwaya et al., 1999). Teori tradisional dari kestabilan aspal

dalam minyak mentah adalah akibat adanya resin yang merupakan komponen polar netral, aspal mengabsorpsinya pada permukaan, membentuk lapisan resin yang polar netral atau sedikit polar. Partikel aspal kemudian berdispersi ke dalam minyak mentah dengan inti yang sangat polar dari aspal poliaromatik dan sedikit pora pada lapisan resinnya. Bagaimanapun, partikel aspal bisa didestabilisasi oleh berbagai faktor seperti perubahan temperatur dan tekanan atau perubahan rasio komponen pada minyak mentah yang berdampak pada agregasi, flokulasi, dan presipitasi aspal (Nalwaya et al., 1999).

2.3 Dampak Lingkungan Akibat Kontaminasi PHC

Blakely et al., (2002) menemukan bahwa kreosot

berdampak pada jaring makanan pada tanah dan proses dekomposisi dengan mengubah habitat mikroinvertebrata dan mangsanya (seperti fungi dan bakteri) daripada melalui toksisitas kimiawi langsung. Kirk et al.,(2005) menyebutkan bahwa PHC

mempengaruhi komunikasi antara tanaman dan fungi dengan mengubah pola eksudasi akar atau mengubah lingkungan tanah seperti pencegahan perpindahan sinyal kimia (flavonoid, auksin, dan lain-lain) secara difusi. Konstituen PHC ditemukan dalam bentuk mobile, berfiksasi dalam pori dan retakan tanah,

(33)

zat kimia berada dalam tanah, semakin sulit untuk dilakukan desorpsi dan biodegradasi (Robertson, et al., 2007). Banyak

dampak utama PHC terhadap biota tanah dan tanaman pada ekosistem hutan diasosiasikan dengan gangguan pada pasokan air, nutrisi, dan oksigen yang berhubungan dengan hidrofobisitas dan fluiditas produk minyak (Trofimov dan Rozanova, 2003). Toksisitas dari kontaminan organik hidrofobik diketahui lebih sedikit berpengaruh pada organisme tanah dengan kandungan humus yang tinggi (Salminen dan Haimi, 1997 dalam Robertson, 2007). Pada tanah yang terkontaminasi PHC, pasokan C (energi) meningkat sehingga memicu aktivitas metabolik pada sebagian mikroorganisme yang secara tidak langsung dihambat oleh PHC dan bersamaan dengan itu, rasio C : N meningkat. Kapasitas tampungan (Carrying capacity) tanah adalah tingkat maksimum

dari aktivitas mikrobial yang bisa didukung oleh kondisi lingkungannya, yang tergantung pada ukuran populasi, ketersediaan O2 atau nutrisi, temperatur, dan ketersediaan air.

Kapasitas tampungan tanah mungkin meningkat akibat masukan unsur C yang cukup banyak dari PHC (Miller dan Herman, 1997 dalam Robertson, 2007).

Pertumbuhan intensif dari mikroorganisme pengurai PHC sebagai hasil dari meningkatnya ketersediaan unsur C bersama dengan konsumsi nutrisi tanah, mengakibatkan penurunan ketersediaan nutrisi untuk tanaman (Tiquia et al., 2002).

Penurunan ketersediaan unsur N bisa juga terjadi akibat inhibisi proses nitrifikasi dan amonifikasi atau akibat kehilangan nitrat (Suleimanov et al., 2005). Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa bakteri nitrifikasi tidak ditemukan pada tanah yang baru terkontaminasi, tetapi proses nitrifikasi kemudian bertambah; material organik stabil dan kandungan N total meningkat signifikan setelah kontaminasi PHC. Peningkatan N total terjadi akibat peningkatan fiksasi N2 dari atmosfer selama biodegradasi

(34)

meningkat (Nicolotti dan Egli, 1998 dalam Robertson, 2007). Di bawah gangguan air dan pembatasan O2 yang ekstrim, P akan

direduksi dan lepas ke atmosfer sebagai hidrogen fosfida (Suleimanov et al., 2005).

2.4 Parameter Pengolahan Limbah PHC

Pengolahan limbah tanah yang terkontaminasi PHC didasarkan pada kriteria yang dikeluarkan oleh menteri negara lingkungan hidup tentang prosedur dan teknik untuk pengolahan limbah minyak dan tanah tercemar minyak secara biologis.

Tabel 2.1 Parameter hasil bioremediasi tanah terkontaminasi

Parameter Nilai Satuan

(Keputusan Menteri Lingkungan Hidup, No. 128 tahun 2003 dalam PPLI, 2010)

2.5 Fitoremediasi

(35)

inaktivasi atau imobilisasi polutan ke bentuk yang tidak berbahaya (Alarcón, 2003; Robertson et al., 2007).

Proses fitoremediasi secara umum dibedakan berdasarkan mekanisme fungsi dan struktur tumbuhan. Secara umum membuat klasifikasi proses sebagai berikut:

1) Fitostabilisasi (phytostabilization). Akar tumbuhan

melakukan imobilisasi polutan dengan cara mengakumulasi, mengadsorpsi pada permukaan akar dan mengendapkan presipitat polutan dalam zona akar. Proses ini secara tipikal digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik yang terkandung minyak yaitu sulfur, nitrogen, dan beberapa logam berat (Susarla et al., 2002).

2) Fitoekstraksi atau fitoakumulasi (phytoextraction atau

phytoaccumulation). Fitoekstraksi adalah penggunaan

tanaman pengakumulasi logam yang bisa memindahkan dan mengonsentrasikan logam dari tanah ke tunas yang dipanen dengan metode konvensional (Eapen dan D’Souza, 2004). 3) Rizofiltrasi (rhizofiltration). Akar tumbuhan mengadsorpsi

atau presipitasi pada zona akar atau mengabsorpsi larutan polutan sekitar akar ke dalam akar. Proses ini digunakan untuk bahan larutan yang mengandung bahan organik maupun anorganik (Mangkoedihardjo, 2002).

4) Fitodegradasi atau fitotransformasi (phytodegradation atau

phytotransformation). Organ tumbuhan menguraikan polutan

yang diserap melalui proses metabolisme tumbuhan atau secara enzimatik (Susarla et al., 2002).

5) Rizodegradasi (rhizodegradation atau enhanced rhizosphere

biodegradation atau phytostimulation atau plant-assisted

bioremediation atau degradation). Polutan diuraikan oleh

(36)

organik secara signifikan dilakukan dengan eksudasi akar (efek rizosfer) yang menstimulasi aktivitas mikrobial dan keberadaan asosiasi mikroba-tanaman yang bersifat simbiotik dan fakultatif. Keberadaan tanaman menciptakan kondisi yang sesuai untuk akumulasi keberadaan nutrien dan seresah, sekresi eksudat akar, dan oksigenasi yang bertambah, yang cocok untuk aktivitas mikrobial yang bertanggung jawab untuk memulai degradasi kontaminan organik (Alarcón, 2006).

6) Fitovolatilisasi (Phytovolatilization). Penyerapan polutan oleh

tumbuhan dan dikeluarkan dalam bentuk uap cair ke atmosfer. Kontaminan bisa mengalami transformasi sebelum lepas ke atmosfer. Kontaminan zat-zat organik adalah tepat menggunakan proses ini. Tanaman mengekstraksi logam mudah menguap (seperti merkuri) dari tanah dan menguapkannya lewat daun (Susarla et al., 2002).

Davis et al. (2002) menekankan pada keuntungan

signifikan da ri tanaman pada fitoremediasi molekul organik kompleks yang diturunkan dari sumber yang berbeda. Tanaman menunjukkan mekanisme fisiologi untuk meningkatkan proses remediasi seperti fitoekstraksi/fitoakumulasi (phytomining),

phytopumping, kontrol keseimbangan air, fitostabilisasi,

fitotransformasi/fitodegradasi, fitovolatilisasi, dan rhizodegradasi (Susarla et al., 2002). Fitoremediasi tanah terkontaminasi PHC

(37)

Gambar 2.4 Berbagai mekanisme skematis penghilangan kontaminan

oleh tanaman (Schnoor et al., 1995 dalam Kamath et al., 2004 dengan

perubahan).

2.6 Respon Tanaman pada Tanah yang Tekontaminasi

PHC

Gambar 2.5 Proses biotik dan abiotik yang mempengaruhi degradasi

(38)

PHC pada tanah menimbulkan lingkungan yang mencekam tanaman. Efek negatif PHC pada tanaman terjadi di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah. Beberapa pengaruh terhadap fisiologi tanaman yang dipaparkan pada PAH berhubungan dengan modifikasi sintesis enzim spesifik seperti lakkase, dehalogenase, nitroreduktase, nitrilase, dan peroksidase) yang berkontribusi pada oksidasi inisial dan degradasi PAH pada rizosfer (Alarcón, 2006).

2.6.1 Daun

Efek di atas permukaan tanah termasuk deposisi PHC pada daun yang menyebabkan gangguan fisiologis yang memicu kematian tanaman. PHC pada permukaan daun mengurangi pertukaran gas (fotosintesis dan transpirasi) dengan menutup atau menghalangi stomata, merusak membran kloroplas, dan inhibisi terinduksi dengan mengakumulasi racun intermediet (Macinnis-Ng dan Ralph, 2003). Sebagai tambahan, respirasi meningkat akibat kerusakan mitokondria, yang secara potensial menyebabkan tekanan oksidatif (Torres dan Dangl, 2005). Tergantung pada komposisi minyak mentah seperti senyawa alkana, sikloalkana, aromatik, alkena, asam naftanik, sulfur, nitrogen dan sedikit logam seperti vanadium dan nikel, efek fitotoksik bisa diklasifikasikan dari akut sampai sangat berbahaya (Van Hamme et al., 2003). Efek PHC di bawah permukaan tanah

yang berbahaya sedikit diteliti. Kebanyakan dampak negatif PHC pada tanah berhubungan dengan sifat hidrofobik dan lipofilik dari PHC (Alarcón, 2006).

2.6.2 Akar

(39)

termodifikasi dengan ciri akar yang lebih kasar, pendek, dan tebal. Karakteristik ini berhubungan dengan degradasi PHC yang lebih tinggi (Merkl et al., 2005) dan peningkatan penyerapan air dan

nutrisi untuk mendukung pertumbuhan tanaman di bawah kontaminasi tanah. Efek negatif PHC pada respon fisiologi tanaman dan morfologi akar bervariasi berdasarkan spesies tanaman, tipe dan sifat tanah, komposisi mikroba, dan tipe, komposisi, dan konsentrasi petroleum (Siciliano et al., 2001).

Spesies rumput-rumputan dianggap kurang terpengaruh oleh keberadaan PHC di tanah daripada spesies polong-polongan (Kirk et al., 2002) dan beberapa polong-polongan berpotensi

sebagai indikator fitotoksisitas yang diinduksi oleh PHC dalam tanah (Malallah et al., 1996)

2.7 Tanaman Vetiver (Chrysopogon zizanioides (L.) Roberty)

Tanaman vetiver (Chrysopogon zizanioides) merupakan

rumput-rumputan perenial, dengan helai daun yang padat, dikarakterisasikan dengan batang yang kuat dan tegak dengan helai daun mencapai panjang 75 cm dan lebar 8 cm (World Bank, 1993 dalam Brandt, 2003). C. zizanioides adalah salah satu

spesies pada genus Chrysopogon dengan klasifikasi berikut:

Domain : Eukaryota Regnum : Plantae Divisio : Tracheophyta Classis : Liliopsida Ordo : Poales Familia : Poaceae Genus : Chrysopogon

Species : Chrysopogon zizanioides (L.) Roberty

(40)

Gambar 2.6 Tanaman vetiver (C. zizanioides). (a) tajuk, (b) akar, dan (c)

bunga berbentuk panikula (NRC, 1993 dalam Brandt, 2003).

C. zizanioides dikenal juga dengan nama tanaman kuskus

atau tanaman akar wangi. Semua spesies Chrysopogon awalnya terdistribusi di wilayah tropis dunia lama. C. zizanioides

dipercaya berasal dari India utara, yang umumnya ditemukan tumbuh liar atau dibudidayakan secara tradisional pada lahan basah pada dataran rendah (NRC, 1993 dalam Brandt, 2003). Struktur morfologi yang mencolok pada tanaman akar wangi adalah sistem perakaran yang masif. Pada kondisi optimal, spesies ini mampu tumbuh cepat, mencapai 4 m pada kedalaman akar di tahun pertama. Akar vetiver menunjukkan kekuatan penetrasi yang sangat baik, akar vetiver mampu menembus tanah padat, termasuk tanah aspal. Tanaman ini tidak memiliki stolon ataupun rhizoma, sehingga mudah dikontrol. Umumnya, sistem perakarannya tumbuh lurus ke bawah tanpa berkompetisi dengan vegetasi di sekitarnya. Sehingga, tanaman ini memungkinkan untuk ditanam pada wilayah pertanian (Greenfield, 2000 dalam Brandt, 2003). Menurut Nanakorn et al. (2000) dalam Brandt

(c)

(a)

(41)

(2003), akar vetiver saling berikatan membentuk lapisan seperti dinding, yang memungkinkan tanaman ini mempertahankan air dan kelembaban, sehingga menciptakan lingkungan yang cocok untuk diversitas mikroorganisme di tanah. Selain itu, C.

zizanioides mempunyai kemampuan untuk bersimbiosis dengan

mikroflora tanah, yaitu cendawan mikoriza arbuskular (CMA) (Leaungvutiviroj et al., 2010).

C. zizanioides memiliki kapabilitas spesifik dalam

mereduksi material organik seperti COD, BOD, amonia, dan juga logam seperti Zn (90%), As (60%), Pb (30-71%), dan Hg (13-15%). C. zizanioides termasuk tanaman perenial yang berumur

panjang (10 tahun) dan mampu tumbuh pada rentang suhu -9 sampai 45°C serta toleran terhadap pH 4,5-10,5 (Kong et al.,

2000 dalam Ambarukmi dan Sriwuryandari, 2006). C. zizanioides

juga mampu bertahan pada kekeringan, api, banjir, dan perendaman. Setelah berada pada kondisi cekaman, tanaman segera memulihkan metabolismenya kembali (Greenfield, 2000 dalam Brandt, 2003). Spesies ini menunjukkan toleransi pada berbagai faktor edafik tingkat ekstrim. Truong dan Baker (1997) dalam Brandt (2003), membuktikan toleransinya pada cakupan luas untuk pH tanah (3,3 sampai 9,5) dan tingkat tinggi untuk alkalinitas (33% Na), magnesisitas (20 Cmol/kg Mg), dan salinitas (47,5 mS/cm). C. zizanioides juga menunjukkan

ketahanan tinggi terhadap logam berat pada tanah seperti aluminium (68%-87%), arsenik (100-250 ppm), kadmium (20 ppm Cd), tembaga (50-100 ppm Cu), kromium (200-600 ppm Cr), nikel (50-100 ppm Ni) dan mangan (Mn > 578 ppm).

C. zizanioides termasuk kelompok tanaman fotosintesis

C4. Jadi, spesies ini mampu bertahan dan berkompetisi di bawah

kondisi kering dengan curah hujan tahunan minimum sekitar 200

mm. C. zizanioides membutuhkan ruangan terbuka yang terkena

sinar matahari untuk hidup (NRC, 1993). Terdapat 2 t ipe C.

zizanioides: bentuk liar yang asli dari India Utara yang berbunga

(42)

biji, dan dipercaya steril, propagasi dari tipe India Selatan terjadi secara vegetatif melalui pemisahan akar. Jadi, kultivasinya lebih mudah dikontrol dan tidak menghasilkan resiko ekologi. Hanya tipe India Selatan yang digunakan untuk praktek konservasi, termasuk fitoremediasi (NRC, 1993).

Sejumlah penelitian yang berhasil terdapat di Australia dan Afrika Selatan, C. zizanioides digunakan untuk rehabilitasi

emas, platina, batubara, dan hasil pertambangan lain (Truong, 1999 dalam Brandt, 2003). Investigasi di Cina menunjukkan efek positif C. zizanioides dalam memurifikasi limbah cair sampah

perkotaan pada tanah (Xia et al., 1997) dan secara efisien

menghilangkan fosfor dan nitrogen dari perairan eutrofik (Zheng, 1997 dalam Brandt, 2003). Di Thailand, efek dekontaminasi vetiver pada pestisida untuk mencegah akumulasi pestisida pada tanaman pertanian dan bagian lain dari agroekosistem yang telah terbukti pada penelitian sebelumnya oleh Pinthong et al. (1996).

Menurut penelitian Brandt (2003), C. zizanioides yang dipaparkan

selama 6 bulan mengalami penurunan kadar TOG (total oil and

grease) yang lebih banyak daripada tanah yang tidak ditumbuhi C.

zizanioides.

2.8 Tanah

Tanah merupakan sistem yang hidup, terbuka, dan dinamis. Tanah mengandung matriks-matriks yang terstruktur dan homogen, secara umum menyimpan nutrisi dan energi dan mendukung diversitas dan biomassa mikroba yang tinggi (Robertson, et al., 2007). Untuk tumbuh, mikroorganisme tanah

harus memobilisasi energi dan nutrisi dalam tanah. Struktur tanah menyediakan habitat bagi mikroba, dari lokasi yang kaya energi sampai miskin energi, aerob dan anaerob, hanya dalam jarak mikrometer. Struktur tanah ditentukan oleh agregasi tanah yang terjadi ketika partikel tanah dalam suatu agregat lebih kohesif satu sama lain daripada dengan agregat yang lain (Hartel, 1998, dalam Robertson, et al., 2007). Agregat terdiri atas tanah, silt, dan

(43)

mengendapkan material anorganik, mikroorganisme dan produk hasil aktivitas metaboliknya (Griffiths dan Caldwell, 1992; Hartel, 1998 dalam Robertson et al., 2007). Agregat bersifat dinamis,

secara konstan terbentuk dan terdisintegrasi. Substrat organik dan residu tanaman terperangkap dan terlindungi selama pembentukan agregat dan terlepas selama disintegrasi agregat (Plante dan McGill, 2002 dalam Robertson et al., 2007).

2.9 Mikoriza

Mikoriza (akar-cendawan) merupakan gabungan simbiotik dan mutualistik antara cendawan bukan patogen atau patogen lemah dan sel akar hidup, terutama sel korteks dan sel epidermis. Umumnya hanya akar muda yang lunak saja yang terinfeksi cendawan itu. Tanaman yang bersimbiosis dengan jamur, membutuhkan nitrogen (N), fosfor (P), dan nutrisi lain dari lingkungan tanah dan melakukan pertukaran nutrisi dengan senyawa karbon yang diturunkan dari hasil fotosintesis sebagai sumber energi metabolisme fungi. Sifat struktural dari mikoriza berhubungan dengan fungsi primernya dalam pertukaran nutrisi dan hal ini mendasari klasifikasi secara luas ke dalam tujuh kelompok yang diketahui: ektomikoriza, mikoriza erikoid, ektendomikoriza, mikoriza arbuskular, mikoriza arbutoid, mikoriza monotropoid, dan mikoriza anggrek (Peterson et al.

2004 dalam Robertson et al., 2007). Namun ada dua kelompok

(44)

ke tanah untuk menyerap air dan garam mineral (Salisbury dan Ross, 1992).

Mikoriza tersebar dari arktik-tundra sampai ke daerah tropis dan dari daerah bergurun pasir sampai ke hutan hujan yang melibatkan 80% jenis tumbuhan yang ada. Cendawan mikoriza arbuskular (CMA) merupakan simbion obligat pada sistem perakaran yang hidup. CMA termasuk dalam filum Glomeromycota (Schüßler et al., 2001). Kondisi lingkungan

tanah yang cocok untuk perkecambahan biji juga cocok untuk perkecambahan spora mikoriza. Demikian pula kondisi edafik yang dapat mendorong pertumbuhan akar juga sesuai untuk perkembangan hifa. Mikoriza memenetrasi epidermis akar melalui tekanan mekanis dan aktivitas enzim, yang selanjutnya tumbuh menuju korteks. Pertumbuhan hifa secara eksternal terjadi jika hifa internal tumbuh dari korteks melalui epidermis. Pertumbuhan hifa secara eksternal tersebut terus berlangsung sampai tidak memungkinkan untuk terjadi pertumbuhan lagi. Mikoriza mendapatkan karbon berfiksasi hasil fotosintesis, dan menyediakan mineral, nutrisi, air, dan meningkatkan ketahanan terhadap tekanan, termasuk patogen, pembatasan air, dan polutan lingkungan (David-Schwartz et al., 2003; Dodd, 2000; Smith dan

Read, 1997 dalam Kirk et al., 2005). K ebanyakan Glomaceae

melakukan kolonisasi akar sebelum Acaulosporaceae dan Gigasporaceae. Koloni tercepat terkadang juga yang paling ekstensif (Hart dan Reader, 2002).

2.10 Interaksi CMA Terhadap Kontaminasi PHC pada

Tanah

(45)

(2000) dalam Kirk et al. (2005) mengobservasi peningkatan

kesintasan tanaman yang berasosiasi dengan mikoriza Glomus

mosseae yang dipaparkan pada anthracene dan campuran 8

hidrokarbon aromatik polisiklik yang dibandingkan dengan tanaman yang tidak berasosiasi dengan mikoriza.

Miselia fungi mikoriza dan tanah di sekitarnya (disebut mikorizosfer) menyediakan habitat yang cocok untuk komunitas mikroorganisme yang beraneka ragam karena peningkatan ketersediaan substrat metabolik berenergi tinggi dan permukaan untuk kolonisasi (Sarand et al., 2000; Sen, 2003; Heinonsalo,

Humme dan Sen 2003 da lam Robertson et al., 2007). Hal ini

meningkatkan dekomposisi bakteri terhadap material tanaman karena miselia menyediakan jalurnya, bersama dengan lapisan tipis air di sekitarnya sehingga bakteri bisa bermigrasi ke substrat di mikropori. Sinergisme metabolisme antara fungi dan anggota bakteri pada komunitas tanah memastikan bahwa sebenarnya secara keseluruhan seluruh senyawa organik merupakan subyek dari biotransformasi (jika tersedia organisme dekomposernya) dan pertukaran nutrisi dan senyawa kaya energi ini terjadi antara tanaman dan lingkungan tanah melalui jaringan fungi mikoriza (Simard et al., 1997; Read dan Perez-Moreno, 2003; Díaz, 2004;

Heinonsalo et al., 2004 dalam Robertson, 2007).Tanaman dan

mikorizosfer yang berasosiasi meningkatkan aktivitas organisme pendegradasi PHC, baik melalui peningkatan secara umum (seperti efek mikorizosfer) atau melalui proliferasi kelompok mikroba tertentu (seperti mengubah komponen fungsional dari komunitas mikroba) (Siciliano et al., 2003). Mikoriza juga

(46)

Gambar 2.7 Kontrol rizosfer terhadap bioavailabilitas polutan organik

(Wenzel, 2008)

Pada tanah yang tercemar petroleum, pertumbuhan tanaman terbatasi oleh keberadaan nitrogen dan fosfor sebagai akibat melimpahnya kadar karbon yang berasal dari hidrokarbon petroleum. Sebagai tambahan, karena sifat hidrofobik dari kontaminan, maka air dan nutrisi yang larut air terbatasi (Joner dan Leyval, 2001). CMA mungkin menguntungkan untuk sistem fitoremediasi petroleum dengan mengurangi cekaman tanaman melalui peningkatan ketersediaan air dan memacu produksi enzim oksidatif (Salzer et al., 1999), sehingga peningkatan penyerapan

(47)

2.11 Glomus aggregatum Schenk & Smith emend. Koske

Klasifikasi dari Glomus aggregatum adalah:

Domain : Eukaryota Regnum : Fungi

Divisio : Zygomycetes Classis : Glomeromycetes Ordo : Glomales Familia : Glomaceae Genus : Glomus

Species : Glomus aggregatum Schenk & Smith emend. Koske

(Hart dan Reader, 2002) Spora G. aggregatum terbentuk tunggal di tanah,

bebatuan, dan akar. Spora berwarna kuning pastel sampai coklat kekuningan, kebanyakan berbentuk globosa sampai subglobosa dengan diameter 40-150 μm, jarang berbentuk piriformis atau tak beraturan. Biasanya terdapat satu hifa yang memanjang, jarang terdapat dua. Hifa berwarna kuning pastel sampai coklat kekuningan, berbentuk lurus atau melingkar, silindris atau berbentuk corong, jarang memendek pada dasar spora. Lebar 6,4-21,6 μm pada dasar spora. (Anonim, 2010).

Gambar 2.8 Gambar hifa dan spora Glomus aggregatum (Anonim,

(48)

G. aggregatum memiliki adaptasi yang lebih baik

daripada mikoriza lain terhadap tanah yang terkontaminasi minyak dan menunjukkan kapasitas kolonisasi yang tinggi (Cabello, 1997) dan dari 12 i solat CMA yang diteliti oleh Hart dan Reader (2002), G. aggregatum merupakan CMA yang

tercepat dalam melakukan kolonisasi inisial yaitu membutuhkan 2 pekan. Pemberian 10 gram G. aggregatum dapat meningkatkan

serapan unsur hara dan tingkat pertumbuhan Graminae pada tanaman jagung (Zea mays) (Sinwin dan Dewi, 2008 dalam

(49)

27

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2011 sampai Januari 2012. Crude oil didapatkan dari hasil eksplorasi dan

produksi petroleum di Bojonegoro, Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan di Balai Teknologi Lingkungan - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BTL-BPPT), Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK), Tangerang Selatan, Banten.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan adalah polybag, ember, termometer,

soil tester, pipet volumetrik dan pipet gondok, termometer, vortex, erlenmeyer, tabung reaksi, cawan petri, aerator, neraca analitik, saringan, soxhlet, inkubator, oven, tabung reaksi, rotary evaporator, still pot.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan adalah tanah latosol, pasir, crude oil, spora cendawan mikoriza arbuskular (CMA) Glomus

aggregatum, tanaman vetiver (Chrysopogon zizanioides), pepton,

agar-agar, meat extract, NaCl, aquades, n-hexana, aseton,

Natrium sulfat (Na2SO4), dan glass wool.

3.3 Cara Kerja

3.3.1 Tahap Persiapan

A. Uji Viabilitas Mikoriza

(50)

inokulum murni (100). Seri pengenceran 10-1, diambil 10 gram

inokulum dan dicampurkan dengan 90 gram tanah steril, di atasnya ditumbuhkan tanaman inang. Seri pengenceran 10-2,

diambil 10 g ram dari inokulum pengenceran 10-1 dan

dicampurkan dengan 90 gram tanah steril, di atasnya ditumbuhkan tanaman inang. Seri pengenceran dilakukan hingga 10-10. Setelah ± 1 bulan, tanaman diambil dari media tanam dan

dibersihkan perakarannya dari tanah. Selanjutnya, dilakukan pengamatan infeksi akar dengan menggunakan mikroskop binokuler pada tiap pengenceran. (Budi, 1999 dalam Martiyaningrum, 2009).

Tabel 3.11Uji viabilitas mikoriza

Pengenceran Pengamatan ke- Frekuensi

infeksi

Keterangan: n = jumlah akar yang terinfeksi; 0 = akar tidak terinfeksi;

1 = akar terinfeksi

B. Penyiapan Tanaman

Tunas C. zizanioides, yang didapatkan dari BALITTRO,

Bogor, dipisahkan dari tanaman induk dan dipotong dengan ukuran yang sama (daun dengan panjang 20 cm dan akar dengan panjang 2 cm), kemudian ditanam dalam compound pot dengan

(51)

penambahan mikoriza, tunas C. zizanioides diinfeksi dengan spora

G. aggregatum yangdidapatkan dari BIOTROP, Bogor. Inokulasi

mikoriza dilakukan dengan menggunakan sistem lapisan. Media tanam (zeolit) diambil dengan ketebalan 1 cm, kemudian di atasnya dilapisi inokulan mikoriza 4 gram yang telah di campur dengan pasir dan dilapisi lagi dengan media tanam. Tanaman ditumbuhkan pada rumah kaca. Penyiraman dilakukan setiap hari dan diberi pupuk Hyponex® dosis 1 gram/liter.

Gambar 3.11Ilustrasi inokulasi mikoriza dengan menggunakan sistem lapisan

C. Penyiapan Media Tanam

Media yang digunakan adalah tanah dan pasir. Tanah latosol dikeringanginkan selama 3 hari kemudian digiling hingga halus dan diayak kasar. Pasir dikeringanginkan selama 3 hari dan diayak dengan saringan mesh 500 μm.

D. Penentuan Water-Holding Capacity

Media tanam berkomposisi pasir:tanah (3:2) dimasukkan ke dalam tabung yang bagian bawahnya berpori. Tabung tersebut dimasukkan ke dalam bak berisi air sehingga sebagian tabung berada di bawah permukaan air dan didiamkan selama 1 x 24 jam. Pada bagian bawah tabung ditambahkan penopang agar bagian bawah tabung tidak menempel pada permukaan bak. Setelah didiamkan 1 x 24 jam, massa ditimbang. Kemudian media tanam tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 100°C selama 1 x 24

Lapisan mikoriza

Media tanam

(52)

jam dan setelah kering massa kembali ditimbang. Water-Holding

Capacity (WHC) dihitung dengan rumus:

WHC (%)=Sampel basah (gr) - Sampel kering (gr)

Sampel basah (gr) ×100%

(Schilchting et al, 1995 dalam Brandt, 2003).

E. Perbanyakan Bakteri Hidrokarbonoklastik

Bakteri hidrokarbonoklastik koleksi dari BTL-BPPT sebanyak 3 isolat masing-masing di pindahkan ke dalam 200 ml Nutrient Broth (NB) dan diinkubasi dalam inkubator selama 1 x 24 jam. Masing-masing kultur dipindahkan ke dalam 0,75 liter NB dan diaerasi. Setiap 1 x 24 jam diperkirakan populasinya dengan menggunakan optical density (OD) pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 680 nm. Bakteri siap ditambahkan ke media tanam setelah nilai OD di atas 1.

Gambar 3.22Isolat bakteri hidrokarbonoklastik dari BTL-BPPT

3.3.2 Pembuatan bioreaktor dan perawatan tanaman

A. Pembuatan bioreaktor

(53)

polybag tanpa lubang dan dimasukkan 2 tanaman vetiver yang telah disiapkan sesuai perlakuan (lihat tabel 3.2). Konsorsium bakteri ditambahkan ke tiap polybag sebanyak 120 ml. Polybag dimasukkan ke dalam pot yang telah diisi dengan pasir basah sehingga tinggi pasir basah hampir sama dengan tinggi media tanah dalam polybag.

Gambar 3.33Bioreaktor berisi C. zizanioides dalam green house

B. Pengairan dan pemupukan

Seluruh bioreaktor disirami air sebanyak 100 ml setiap pengairan. Pemupukan dengan pupuk anorganik Hyponex® setelah

2 minggu penanaman tanaman. Pemupukan dilakukan bersamaan dengan pengairan.

3.3.3 Pengukuran

A. Kelembaban Tanah

Nilai kelembaban pada penelitian ini diperoleh dari hasil pengukuran dengan alat soil tester. Soil tester ini berupa alat yang

dapat mengukur nilai kelembaban tanah dengan cara menancapkan bagian ujung yang runcing dari soil tester,

(54)

kelembaban dalam sampel. Sehingga didapatkan nilai kelembabannya (Febriandita, 2008).

B. Analisis pH

Nilai pH pada penelitian ini diperoleh dari hasil pengukuran dengan alat soil tester. Soil tester ini berupa alat yang

dapat mengukur nilai pH tanah dengan membaca jarum penunjuk yang bergerak pada saat soil tester ditancapkan pada bioreaktor.

Jarum akan bergerak sesuai dengan kandungan pH dalam bioreaktor (Febriandita, 2008).

C. Suhu Tanah

Pengukuran suhu pada bioreaktor dilakukan dengan alat termometer. Pengukuran suhu dengan termometer ini dilakukan langsung pada bioreaktor tanaman C. zizanioides yang ada di

dalam ruang kaca. Termometer ditancapkan pada bioreaktor kemudian tunggu hingga ±5 menit lalu lakukan pembacaan skala suhu yang tertera pada termometer (Bagariang, 2008).

D. Perhitungan Biomassa

Pengukuran biomassa dilakukan setelah 3 bulan masa penanaman. Tajuk dipisah dari akar. Tajuk dan akar dikeringkan dalam oven pada suhu 60°C sekitar 3 hari, dan ditimbang setelah dikeluarkan dari oven (Brandt, 2003), kemudian dihitung biomassa keringnya.

E. Perhitungan Jumlah Bakteri dengan Total Plate Count

Jumlah bakteri diperkirakan dengan menggunakan metode

Total Plate Count (Angka Lempeng Total). Untuk perhitungan

jumlah bakteri tanah, sampel diambil dari tanah yang jauh dari akar. Sedangkan untuk perhitungan jumlah bakteri rizosfer, sampel diambil dari akar dan tanah sekitarnya. Sebanyak 1 gram sampel ditambahkan ke dalam 9 ml media BH kemudian di vorteks sampai terbentuk suspensi sebagai seri pengenceran 10-1.

(55)

suspensi ke dalam 9 ml media BH sebagai seri pengenceran 10-2

dan dilakukan seri pengenceran berikutnya sampai 10-6. Aliquot

yang didapatkan dari pengenceran 10-4 sampai 10-6 diambil 100 μl

untuk diperkirakan Colony Forming Units (CFU) bakteri dan

diratakan ke dalam cawan petri berisi media Nutrient Agar. Cawan Petri diinkubasi selama 24 jam pada suhu 28°C dalam posisi terbalik. CFU yang dihitung hanya antara 30 sampai 300 CFU (Alarcon, 2006).

F. Perhitungan Infeksi Akar In Vitro

Perhitungan infeksi akar in vitro dilakukan setelah 3 bulan masa tanam. Infeksi akar dapat dihitung menggunakan metode pembersihan dan pewarnaan akar. Akar dipotong sepanjang 1 cm secara acak, kemudian akar dicuci dengan air, setelah itu dimasukkan ke dalam tabung film lalu direndam dengan KOH 2,5 % dan dimasukkan ke oven selama 10 m enit dengan suhu 90°C. Setelah 10 menit dan akar telah berwarna kuning, larutan KOH dibuang dan dicuci lagi dengan air, setelah itu direndam dengan larutan HCl 2 % selama 10 menit, tanpa di oven. Setelah 10 menit akar tidak dicuci lagi dan langsung diganti dengan larutan staining

(gliserin dan aquades dengan perbandingan 70 : 30 %), ditambah dengan trypan blue 0.25 % selanjutnya di oven selama 10 menit

dengan suhu 90°C. Larutan staining dibuang dan diganti dengan

larutan distaining (larutan staining tanpa Trypan blue yaitu

gliserin dan aquades dengan perbandingan 1 : 1) selama semalam. Potongan akar disusun pada kaca preparat sebanyak 10 potong akar. Potongan akar diamati pada kaca preparat untuk setiap bidang pandang. Bidang pandang yang terinfeksi ditunjukkan dengan adanya tanda seperti hifa, arbuskula maupun vesikula. Persentase akar terinfeksi dihitung dengan rumus:

(56)

The Institute of Mycorhizal Research and Development,

USDA forest service telah membuat klasifikasi banyaknya infeksi

oleh endomikoriza menjadi 5 kelas yaitu 0-5% = kelas 1, 6-25% = kelas 2, 26-50% = kelas 3, 51-75% = kelas 4 dan 76-100% = kelas 5 (Sari, 2008).

G. Analisis Total Petroleum Hydrocarbon (TPH)

Sampel tanah ditimbang seberat ±5 gram dan ditambahkan Natrium sulfat, kemudian dimasukkan ke dalam

Whatman® cellulose thimble dan ditutupi dengan glass wool

secukupnya. 75 ml heksana dan 75 ml aseton dimasukkan ke dalam still pot dan dirangkai dalam soxhlet apparatus. Soxhlet

aparatus dinyalakan selama 4 jam. Minyak yang telah terekstraksi

dialirkan seluruhnya ke still pot. Berat kosong still pot ditimbang.

Pelarut yang ada dalam still pot diuapkan dengan rotary

evaporator selama 5 menit dengan suhu 80°C sampai pelarut

menguap dan tertinggal minyak saja. Still pot ditimbang kembali

setelah suhu stabil.

Gambar 3.44Rangkaian Soxhlete apparatus untuk ekstraksi TPH

(57)

Pengukuran kadar minyak yang dilaporkan adalah penurunan kadar minyak yang dinyatakan dalam persentase (%). Pengukuran kadar minyak tersebut menggunakan rumus:

PM = A – BA × 100% Keterangan:

PM = penurunan kadar minyak (%) A = kadar minyak awal (mg/kg)

B = kadar minyak setelah fitoremediasi (mg/kg)

(Bagariang, 2008)

3.3.4 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Berblok 4 x 2 yang diulang sebanyak 3 kali.

Tabel 3.22Rancangan percobaan dua faktor

Perbandingan

Dua faktor dalam penelitian ini adalah:

1. Faktor perbandingan konsentrasi tanah terdiri dari 4 taraf M0 = tanpa penambahan crude oil

M1 = dengan penambahan crude oil 1%

M3 = dengan penambahan crude oil 3%

M10 = dengan penambahan crude oil 10%

2. Faktor pemberian mikoriza G0 = tanpa penambahan CMA

Gambar

gambar berikut:
Gambar 2.2 Contoh jenis BTEX (Kamath, et al., 2004)
Tabel 2.1 Parameter hasil bioremediasi tanah terkontaminasi
Gambar 2.4   Berbagai mekanisme skematis penghilangan kontaminan
+7

Referensi

Dokumen terkait