201
KADAR AIR DAN pH SILASE RUMPUT GAJAH PADA HARI KE - 21 DENGAN PENAMBAHAN JENIS ADDITIVE DAN BAKTERI ASAM LAKTAT
(MOISTURE AND pH OF ELEPHANT GRASS SILAGE ON 21ST DAY WITH THE TYPES OF ADDITIVE AND ADDITION OF LACTIC ACID BACTERIA)
Risna Esti Mugiawati, Suwarno, Nur Hidayat
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto kekehnose@yahoo.com
ABSTRAK
Silase rumput gajah merupakan pakan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi alami rumput gajah oleh bakteri asam laktat dengan kadar air yang tinggi (60%) dalam keadaan anaerob. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan bahan additive dan bakteri asam laktat terhadap perhitungan dari kadar air dan pH silase rumput gajah pada hari ke - 21. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), adapun perlakuannya adalah R1 = Penggunaan 2 Kg rumput gajah layu + 40 ml tetes + 20 ml bakteri asam laktat, R2 = Penggunaan 2 Kg rumput gajah layu + 40 ml tetes + 40 ml bakteri asam laktat, R3 = Penggunaan 2 Kg rumput gajah layu + 200 g onggok + 20 ml bakteri asam laktat, R4= Penggunaan 2 Kg rumput gajah layu + 200 g onggok + 40 ml bakteri asam laktat, R5 = Penggunaan 2 Kg rumput gajah layu + 200 g bekatul + 20 ml bakteri asam laktat dan R6 = Penggunaan 2 Kg rumput gajah layu + 200 g bekatul + 40 ml bakteri asam laktat. Tiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Peubah yang diukur adalah kadar air dan pH silase. Hasil analisis menunjukkan penambahan jenis additive dan bakteri asam laktat berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar air dan pH silase rumput gajah pada hari ke – 21. Hasil uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) menunjukkan kadar air R2 berbeda nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan kadar air R4, R5 dan R6. Pada pH uji BNJ menunjukkan R1 dan R2 berbeda nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan pH R3, R4, R5 dan R6. Kesimpulan berdasarkan penelitian yaitu penggunaan 40 ml tetes dan 40 ml bakteri asam laktat dapat menghasilkan kadar air yang cukup dan pH silase rumput gajah terendah.
Kata kunci : silase rumput gajah, additive, bakteri asam laktat, kadar air, pH
ABSTRACT
Elephant grass silage fodder is produced through a natural fermentation process in elephant grass by lactic acid bacteria with a high water moisture (60%) under anaerobic conditions. The research objective was to determine the effect of the addition of lactic acid bacteria and additives on grass silage and the effectiveness of the moisture of grass silage. The research used completely randomized design (CRD) with 6 treatments R1 = Usage of 2 Kg withered elephant grass + 40 ml molasses + 20 ml lactic acid bacteria, R2 = Usage of 2 Kg withered elephant grass + 40 ml molasses + 40 lactic acid bacteria, R3 = Usage of 2 Kg withered elephant grass + 200 g onggok + 20 ml lactic acid bacteria, R4 = Usage of 2 Kg withered elephant grass +200 g onggok + 40 ml lactic acid bacteria, R5 = Usage of 2 Kg withered elephant grass + 200 g bran + 20 ml lactic acid bacteria and R6 = Usage of 2 Kg withered elephant grass + 200 g bran + 40 ml lactic acid bacteria, every treatment was repeated 3 times. The variable that were analyzed were silage moisture and pH. The results showed that the types of additive and addition of lactic acid bacteria significantly affected (P<0.05) the moisture and pH of elephant grass silage at 21st day. The result of Honestly Significant Difference test (HSD) showed, the moisture of R2 was significantly higher (P<0.05) than R4, R5 and R6. The HSD of pH showed R1 and R2 were significantly lower (P<0.05) than R3, R4, R5
202
and R6. The conclusion based on the research was the usage of 40 ml of molasses and 40 ml of lactic acid bacteria produces enough moisture and lowest pH.
Keywords : grass elephant silage, additive, lactic acid bacteria, moisture, pH
PENDAHULUAN Latar Belakang
Ketersediaan pakan hijauan sepanjang tahun adalah syarat mutlak pada usaha peternakan ruminansia. Produksi hijauan pada musim kemarau sangatlah rendah sehingga terjadi kekurangan hijauan, sedangkan pada musim hujan terjadi kelebihan hijauan. Kelebihan hijauan tersebut dapat dimanfaatkan untuk musim kemarau dalam bentuk silase.
Silase merupakan awetan segar yang disimpan dalam silo pada kondisi anaerob. Pada suasana tanpa udara tersebut akan mempercepat pertumbuhan bakteri anaerob untuk membentuk asam laktat. Penambahan karbohidrat tersedia seperti tetes, onggok dan bekatul untuk mempercepat terbentuknya asam laktat serta menyediakan sumber energi yang cepat tersedia bagi bakteri. Kelebihan dan kekurangan dari masing – masing bahan jenis additive dapat dilihat dari komposisi gizinya karena masing – masing memiliki komposisi gizi yang berbeda, sehingga diduga menghasilkan kualitas silase yang berbeda pula. Selain jenis additive bakteri asam laktat juga diduga berpengaruh terhadap kualitas silase. Hal ini sesuai pendapat Murni dkk. (2008) menyatakan selain penambahan karbohidrat, yang mempengaruhi kualitas silase antara lain spesies tanaman yang dibuat silase, fase pertumbuhan dan kandungan bahan kering saat panen dan mikroorganisme (bakteri asam laktat) yang terlibat.
Kadar air dan pH silase perlu diketahui karena merupakan tolak ukur dari keberhasilan silase. Setelah mengetahui kadar air dan pH silase diharapkan akan menghasilkan silase yang berkualitas sehingga disukai ternak.
Perumusan Masalah
Bahan additive yang berbeda dapat menghasilkan kualitas kimiawi silase yang berbeda. Masing – masing karbohidrat fermentable mempunyai kelebihan dan kekurangan pada komposisi gizinya sehingga kualitas yang dihasilkan berbeda diantaranya kadar air dan pH silase. Tetes yang kaya akan karbohidrat diduga berperan lebih dapat menurunkan pH silase dibandingkan bekatul dan onggok. Bekatul dan onggok memiliki kadar bahan kering yang tinggi dibandingkan tetes sehingga diduga dapat berperan menurunkan kadar air silase. Kadar air yang berlebih diduga dapat menyebabkan silase jadi cepat busuk dan mempersulit pemadatan dan hal tersebut terjadi karena adanya fermentasi karbohidrat dari bahan pengawet oleh bakteri asam laktat dengan hasil utama berupa asam laktat sehingga pH silase yang dihasilkan turun.
Bakteri asam laktat diperlukan dalam proses pembuatan silase hijauan karena berfungsi untuk mempercepat terbentuknya asam laktat pada pembuatan silase sehingga kualitas silase yang dihasilkan meningkat. Semakin banyak penambahan BAL dalam pemuatan silase maka semakin cepat proses ensilase, oleh karena itu diperlukan penelitian tentang sejauh mana perananan karbohidrat fermentable dan bakteri asam laktat terhadap kadar air dan pH silase.
203 TUJUAN PENELITIAN
Penelitian yang telah dilaksanakan bertujuan untuk mengetahui jenis additive dan level bakteri asam laktat yang terbaik terhadap kadar air dan pH silase rumput gajah.
METODE
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum) varietas hawai, tetes, bekatul, onggok dan bakteri asam laktat. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah pisau, pH meter, oven dan timbangan duduk tripel dan balance. Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah kadar air (%) dan pH. Jumlah perlakuan 6 macam dengan 3 kali ulangan. adapun perlakuannya adalah R1 = Penggunaan 2 Kg rumput gajah + 40 ml tetes + 20 ml bakteri asam laktat, R2 = Penggunaan 2 Kg rumput gajah + 40 ml tetes + 40 ml bakteri asam laktat, R3 = Penggunaan 2 Kg rumput gajah + 200 g onggok + 20 ml bakteri asam laktat, R4= Penggunaan 2 Kg rumput gajah + 200 g onggok + 40 ml bakteri asam laktat, R5 = Penggunaan 2 Kg rumput gajah + 200 g bekatul + 20 ml bakteri asam laktat dan R6 = Penggunaan 2 Kg rumput gajah + 200 g bekatul + 40 ml bakteri asam laktat. Data yang diperoleh ditabulasikan dalam tabel tabulasi, kemudian dianalisis menggunakan analisis variansi. Analisis variansi dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diuji. Apabila perlakuan berpengaruhnyata, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Jujur ( Steel dan Torrie, 1994).
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan jenis additive dan bakteri asam laktat berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar air. Rataan hasil penelitian kadar air dapat dilihat pada Tabel 2. Kadar air tertinggi pada perlakuan 40 ml tetes dan 40 ml bakteri asam laktat serta terendah pada perlakuan 200 g onggok dan 40 ml bakteri asam laktat.
Tabel 2. Rataan Kadar Air dengan Penambahan Jenis Additive dan Bakteri Asam Laktat
No Jenis Perlakuan Rataan Kadar Air
1 R1 76,53ab ± 0,58 2 R2 79,53a ± 1,66 3 R3 76,20ab ± 0,75 4 R4 74,93b ± 1,79 5 R5 75,87b ± 1,16 6 R6 75,33b ± 1,60
Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata
Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar air antara perlakuan R1, R2 dan R3 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Hal yang sama terjadi juga antara perlakuan R4, R5 dan R6 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Kadar air pada R2 berbeda nyata (P<0,05) jika dibandingkan dengan R4, R5 dan R6. Kadar air pada R2 lebih tinggi dibandingkan dengan R4, R5 dan R6, karena tetes merupakan bahan additive dengan kadar air tertinggi dibandingkan onggok dan bekatul. Menurut Sutardi (1981) kandungan kadar air tetes ialah 17,6% dan kadar air bekatul 12,3%, Suhayono(1982) menyatakan kadar air onggok 11,62%. Jadi dapat
204
disimpulkan bahwa semakin tinggi kadar air bahan – bahan yang digunakan untuk membuat silase maka semakin tinggi juga kadar air silase yang dihasilkan. Selain itu pada R2 menggunakan bakteri asam laktat 60 ml sehingga dengan bakteri asam laktat yang lebih banyak maka menghasilkan air yang lebih banyak juga, karena bakteri asam laktat dapat mengubah glukosa menjadi air. Sesuai pendapat Mc Donald (1981) selama proses ensilase berlangsung maka terjadi penurunan kandungan bahan kering (BK) dan peningkatan kadar air yang disebabkan oleh tahap ensilase pertama yaitu dimana respirasi masih terus berlangsung, glukosa diubah menjadi CO2, H2O dan
panas.
Kadar air silase pada perlakuan yang diberi onggok dengan perlakuan yang diberi bekatul manghasilkan nilai kadar air yang hampir sama. Hal ini disebabkan karena kadar air dari kedua bahan tersebut juga hampir sama yaitu kadar air onggok 11,62% dan kadar air bekatul 12,3%. Selisih kedua kadar air bahan hanyalah 0,68 saja.
Penambahan jenis additive berpengaruh nyata terhadap kadar air, hal ini sesuai pendapat Simanjuntak (1988) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa penambahan bahan tambahan berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air silase. Pada penelitian lain (Lado dkk., 2007) menunjukkan bahwa macam (molases, putak, dan dedak padi,) dan level aditif (0%, 2,5% dan 5%) memberikan pengaruh terhadap pH, kadar air, kadar asam laktat, BK, BO, SK, KcBK dan KcBO tetapi tidak memberikan pengaruh terhadap kadar PK.
Salah satu faktor yang mempengaruhi silase ialah kadar air hijauan dan bahan. Hal ini sesuai pendapat Pioner Development Foundation (1991) Kualitas silase yang dihasilkan akan dipengaruhi oleh tiga faktor dalam pembuatan silase antara lain: hijauan yang digunakan, zat aditif (aditif digunakan untuk meningkatkan kadar protein dan karbohidrat pada material pakan) dan kadar air bahan di dalam hijauan tersebut karena kadar air yang tinggi mendorong pertumbuhan jamur dan menghasilkan asam butirat, sedangkan kadar air yang rendah menyebabkan suhu di dalam silo lebih tinggi sehingga mempunyai resiko yang tinggi terhadap terjadinya kebakaran. Kadar air bahan yang tinggi mengakibatkan silase yang dihasilkan pun berkadar air air tinggi dan sebaliknya jika kadar air bahan yang digunakan untuk silase rendah maka menghasilkan silase berkadar air rendah. Pendapat ini juga didukung oleh Sapienza dan Bolsen (1993) bahwa semakin basah bahan/hijauan yang diensilase semakin banyak panas yang dibutuhkan untuk meningkatkan suhu silase dan semakin banyak kecepatan kehilangan bahan kering atau peningkatan kadar air.
Selama proses ensilase berlangsung terjadi peningkatan kadar air yang disebabkan oleh tahap respirasi yang mengubah glukosa menjadi H2O sesuai pendapat Mc Donald (1981) selama proses ensilase berlangsung maka terjadi penurunan kandungan bahan kering (BK) dan bahan organik (BO). Hal tersebut terjadi pada tahapan ensilase, sebagai berikut:
1. Tahap 1 dimana respirasi masih terus berlangsung, glukosa diubah menjadi CO2, H2O dan panas. Sehingga ada sebagian fraksi glukosa yang merupakan fraksi BK yang hilang dan kehilangan BK terbesar karena adanya oksidasi selama proses silase.
2. Tahap 2 fermentasi anaerob dimana glukosa diubah menjadi asam laktat, etanol dan CO2. Kehilangan BK dan BO akan lebih besar terjadi apabila aktifitas fermentasi didominasi oleh bakteri heterofermentatif.
205 Derajat Keasaman (pH)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan jenis additive dan bakteri asam laktat berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pH. Rataan pH silase dapat dilihat pada Tabel 3. Perlakuan 40 ml tetes dan 20 ml bakteri asam laktat memiliki pH terkecil (4,02 ± 0,043). Perlakuan 200 g onggok 20 ml bakteri asam laktat memiliki pH terbesar (5,36 ± 0,270).
Tabel 3. Rataan pH dengan Penambahan Jenis Additive dan Bakteri Asam Laktat
No Jenis Perlakuan Rataan pH
1 R1 4,02d ± 0,043 2 R2 4,06d ± 0,055 3 R3 5,36a ± 0,270 4 R4 5,15a ± 0,155 5 R5 4,69ab± 0,145 6 R6 4,65bc ± 0,360
Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa antara perlakuan R3, R4 dan R5 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Hal yang sama juga terjadi jika melakukan pembandingan R5 dengan R6 dan R1 dengan R2, maka tidak akan menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Pada pH perlakuan R1 dan R2 berbeda nyata (P<0,05) jika dibandingkan dengan R3, R4, R5 dan R6. Pada perlakuan R3 dan R4, pH menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) jika dibandingkan dengan perlakuan R1, R2 dan R6. Pada penambahan tetes (R1 dan R2) berbeda nyata dengan penambahan onggok (R3 dan R4) dan bekatul (R5 dan R6) hal ini erat kaitannya juga dengan glukosa bahan, Folley et al. (1972) menyatakan Bakteri asam laktat akan mengubah glukosa atau karbohidrat sederhana menjadi alkohol, asam asetat, asam karbonat dan asam laktat. Jadi jika glukosa atau karbohidrat yang terkandung dalam bahan tinggi maka akan menghasilkan pH yang lebih asam. Karbohidrat yang tetinggi pada tetes, menurut Kurnia (2010) tetes mengandung karbohidrat 48 - 68%, Rahmasari dan Putri (2009) karbohidrat onggok 40,26% dan Astrawan (2012) karbohidrat bekatul 51-55%.
Penambahan jenis additive berpengaruh terhadap pH silase yang dihasilkan sesuai pendapat Cherney et al. (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antar karbohidrat larut air dan pH. Karbohidrat larut air dibutuhkan oleh bakteri asam laktat hingga menyebabkan penurunan pH sampai 3,5 (Muck, 1997).
Beberapa tahapan yang menjadikan silase semakin asam sesuai yang dikemukakan Folley et al. (1972) yaitu :
1. Sel tanaman masih melakukan respirasi setelah hijauan dimasukkan dalam silo. Pada tahap ini karbohidrat sederhana diubah menjadi CO2, H2O dan panas. Bakteri dan jamur aktif pula
memecah karbohidrat sederhana menjadi alkohol, asam asetat, asam karbonat dan asam laktat. Disamping itu proses proteolisis juga terjadi pada tahap ini.
2. Asam asetat mulai dihasilkan.
3. Fermentasi karbohidrat sederhana menjadi asam laktat.
4. Terjadi penurunan pH sampai dibawah 4,2 sebagai akibat produksi asam laktat yang mencapai 1-1,5 % berat segar silase.
206
5. Apabila asam laktat yang terbentuk pada tahapan sebelumnya cukup, maka penguraian karbohidrat lebih lanjut tidak akan berlangsung dan kualitas silase dapat dipertahankan. Akan tetapi apabila asam laktat yang terbentuk tidak cukup, maka akan terjadi perombakan asam laktat yang telah terbentuk pada proses sebelumnya menjadi asam butirat. Peristiwa ini disertai dengan perombakan asam amino menjadi Volatile Fatty Acid (VFA) dan amonia dalam jumlah yang besar. Terkadang juga terjadi perombakan karbohidrat menjadi CO2, sehingga kualitas
silase tidak dapat dipertahankan.
Penurunan pH silase pada penelitian ini disebabkan oleh asam yang dihasilkan oleh BAL selama ensilase. Wallace dan Chesson (1995) menyatakan bahwa asam yang dihasilkan selama ensilase adalah asam laktat, propionate, formiat, suksinat dan butirat.
Edward (1983) rnenyatakan bahwa penarnbahan tetes atau jagung giling dapat menurunkan pH silase dibandingkan dengan kontrol (P<0,01), sehingga perlakuan dengan penambahan 40 ml tetes menghasilkan pH silase yang paling baik dan memenuhi kriteria silase yang baik menurut Direktorat Pakan Ternak (2009) yaitu berwarna hijau kekuningan; pH 3,8 - 4,2; tekstur lembut dan bila dikepal tidak keluar air dan bau; Kadar air 60 - 70% dan baunya wangi. Deptan (1980) juga membagi kriteria silase yang baik berdasarkan pH yaitu baik sekali 3,2 - 4,5; baik 4,2 - 4,5; sedang 4,5 - 4,8 dan buruk > 4,8. Berdasarkan pH maka perlakuan 40 ml tetes menghasilkan kualitas silase baik sekali, perlakuan 200 g bekatul menghasilkan kualitas sedang dan 200 g onggok mengahsilkan kualitas silase buruk. Sedangkan level atau konsentrasi dari bakteri asam laktat tidak berpengaruh secara signifikan jika dilihat dari bahan additive yang sama. Hal ini didukung oleh pendapat Ratnakomala dkk (2006) perlakuan konsentrasi inokulum tidak memberikan perbedaan nyata terhadap pH silase, sehingga konsentrasi paling kecil yaitu 1g yang dianjurkan untuk ditambahkan pada pembuatan silase.
KESIMPULAN
Berdasaarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan penggunaan 40 ml tetes dan 40 ml bakteri asam laktat dapat mempertahankan kadar air dan menurunkan pH silase rumput gajah.
DAFTAR PUSTAKA
Astrawan, M. 2012. Bekatul Kaya Gizi dan Menurunkan Kolesterol Darah. http://www.kabarsehat.com/bekatul-kaya-gizi-dan-menurunkan-kolesterol-darah.html. Diakses 26 Januari 2013.
Bolsen K.K dan Sapienza. 1993. Teknologi Silase : Penanaman, Pembuatan dan Pemberiannya pada Ternak. Pioner Seed. Kansas.
Cherney, D.J.R., J.H. Cherney, and L.E. Chase. 2004. Lactation Performance of Holstein Cows Fed Fescue, Orchardgrass, or Alfalfa Silage. Journal Dairy Science. 87:2268-2276. Bogor.
Direktorat Pakan Ternak. 2009. Silase. Direktorat Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan. Jakarta.
Edward, D. 1983. Pengaruh Panjang Pemotongan dan Penggunaan Pengawet terhadap Sifat Fisik dan Kimia Silase Rumput Gajah (Pennisetum purpureum. Schumacker & Thonn Strain Hawaii). IPB Press. Bogor.
207 Problems and Profits. Febringer. Philadelphia.
Kurnia. W. 2010. Pengolahan Dan Pemanfaatan Limbah Pabrik Gula Dalam Rangka Zero Emission. http://lordbroken.wordpress.com/2010/01/14/pemanfaatan-limbah-pabrik-gula/. Diakses 27 Januari 2013.
Lado, Lilo Jogbeth Merry Christna Kale. 2007. Evaluasi Kualitas Silase Rumput Sudan (Sorghum sudanense) pada Penambahan Berbagai Macam Aditif Karbohidrat Mudah Larut. Tesis. UGM Press. Jogjakarta.
Muck RE, L Kung. 1997. Effect of Silage Additives on Ensiling. Dalam. Proceeding Form The Silage: Proceeding FAO E- Conf. on Trops Silage. FAO Plant Production And Protection. hlm 151 164.
Murni, R., Suparjo, Akmal, B. L. Ginting. 2008. Buku Ajar Teknologi Pemanfaatan Limbah untuk Pakan. Laboraturium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Jambi.
Nursiam, Intan. 2012. Penggunaan Asam Organik dalam Pakan Ternak. http:/intannursiam.wordpress.com. Diakses 31 Maret 2012.
Pioner Development Foundation. 1991. Silage Technology. A.Trainers Manual. Pioner Development Foundation for Asia and The Pacific Inc. :15 – 24.
Rahmasari, S dan Putri, K. P. 2009. Pengaruh Hidrolisis Enzim pada Produksi Ethanol dari Limbah Padat Tepung Tapioka (Onggok). ITS Library. Surabaya.
Ratnakomala, S., R. Ridwan, G. Kartina, Y. Widyastuti. 2006. Pengaruh Inokulum Lactobacillus plantarum 1A-2 dan 1BL-2 terhadap Kualitas Silase Rumput Gajah (Pennisetum purpureum). LIPI. cibinong bogor.
Simanjuntak, G. 1988. Mempelajari Pembuatan Silase dari Pod Coklat secara Kimia dan Biologis. IPB. Bogor.
Steel, G. D. dan J. H. Torrie. 1994. Principles and Procedures of Statistics. Terjemahan oleh. Sumantri, B. Prinsip dan Prosedur Statistika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sutardi,T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Departemen Ilmu Makanan Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wallace, R.J. and C. Chesson. 1995. Biotechnology in Animal Feeds and Animal Feeding. Winheim. Ithaca and London.