• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Permenkes RI No. 75 Tahun 2014, Pusat Kesehatan Masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Permenkes RI No. 75 Tahun 2014, Pusat Kesehatan Masyarakat"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Pusat Kesehatan Masyarakat 2.1.1 Pengertian

Menurut Permenkes RI No. 75 Tahun 2014, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dilakukan secara terintegrasi dan berkesinambungan, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Puskesmas juga merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang: (a) memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat; (b) mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu; (c) hidup dalam lingkungan sehat; dan (d) memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.

2.1.2 Fungsi Puskesmas

Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Dalam melaksanakan tugas,

(2)

Puskesmas menyelenggarakan fungsi: (a) penyelenggaraan Upaya Kesehatan Masyarakat tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan (b) penyelenggaraan Upaya Kesehatan Perorangan tingkat pertama di wilayah kerjanya.

Dalam menyelenggarakan fungsi nya Puskesmas berwenang untuk:

(a) menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dasar secara komprehensif, berkesinambungan dan bermutu; (b) menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif; (c) menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.

Upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama meliputi upaya kesehatan masyarakat esensial dan upaya kesehatan masyarakat pengembangan.

Upaya kesehatan masyarakat esensial meliputi:

(a) pelayanan promosi kesehatan; (b) pelayanan kesehatan lingkungan; (c) pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana; (d) pelayanan gizi; dan (e) pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit.

Upaya kesehatan masyarakat esensial harus diselenggarakan oleh setiap puskesmas untuk mendukung pencapaian standar pelayanan minimal kabupaten/kota bidang kesehatan. Upaya kesehatan masyarakat pengembangan merupakan upaya kesehatan masyarakat yang kegiatannya memerlukan upaya yang sifatnya inovatif dan bersifat ekstensifikasi dan intensifikasi pelayanan, disesuaikan dengan prioritas masalah kesehatan, kekhususan wilayah kerja dan potensi sumber daya yang tersedia di masing-masing puskesmas.

(3)

Upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama dilaksanakan dalam bentuk : (a) rawat jalan; (b) pelayanan gawat darurat; (c) pelayanan satu hari (one day care); (d) home care; dan (e) rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan.

2.1.3 Pelayanan Puskesmas

Pelayanan puskesmas dibagi menjadi dua, yaitu puskesmas rawat jalan dan puskesmas rawat inap.

a. Pelayanan rawat jalan

Rawat Jalan merupakan salah satu unit kerja di puskesmas yang melayani pasien yang berobat jalan dan tidak lebih dari 24 jam pelayanan, termasuk seluruh prosedur diagnostik dan terapeutik. Pada waktu yang akan datang, rawat jalan merupakan bagian terbesar dari pelayanan kesehatan di Puskesmas.

b. Pelayanan rawat inap

Puskesmas rawat inap adalah puskesmas yang diberi tambahan ruangan dan fasilitas untuk menolong pasien gawat darurat, baik berupa tindakan operatif terbatas maupun asuhan keperawatan sementara dengan kapasitas kurang lebih 10 tempat tidur. Rawat inap itu sendiri berfungsi sebagai rujukan antara yang melayani pasien sebelum dirujuk ke institusi rujukan yang lebih mampu, atau dipulangkan kembali ke rumah. Kemudian mendapat asuhan perawatan tindak lanjut oleh petugas perawat kesehatan masyarakat dari puskesmas yang bersangkutan di rumah pasien.

(4)

Sumber : Panduan Praktis Pelayanan BPJS Kesehatan

(5)

2.1.4 Konsep Gatekeeper

Konsep Gatekeeper menurut Panduan Praktis Gate Keeper Concept

Faskes BPJS Kesehatan adalah konsep sistem pelayanan kesehatan dimana fasilitas kesehatan tingkat pertama yang berperan sebagai pemberi pelayanan kesehatan dasar berfungsi optimal sesuai standar kompetensinya dan memberikan pelayanan kesehatan sesuai standar pelayanan medik. Puskesmas sebagai

gatekeeper berfungsi sebagai kontak pertama pasien, penapis rujukan serta kendali mutu dan biaya.

Fasilitas kesehatan tingkat pertama yang berfungsi optimal sebagai gatekeeper biasanya akan memberikan iuran kualitas kesehatan yang lebih baik kepada peserta, akan mengurangi beban negara dalam pembiayaan kesehatan karena mampu menurunkan angka kesakitan dan mengurangi kunjungan ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan serta terdistribusi lebih besar dibandingkan dengan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan sehingga akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan lebih tinggi.

Puskesmas sebagai salah satu FKTP memiliki kewajiban untuk menjadi

gatekeeper terlebih lagi dalam era BPJS Kesehatan. Agar dapat mewujudkan tujuan-tujuan sebagai berikut : (1) Mengoptimalkan peran fasilitas kesehatan tingkat pertama dalam sistem pelayanan kesehatan (2) Mengoptimalkan fungsi fasilitas kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar kompetensinya (3) Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di fasiltias kesehatan tingkat lanjutan dengan melakukan penapisan pelayanan yang perlu

(6)

(5) Meningkatkan kepuasan peserta dengan memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Puskesmas memiliki empat fungsi pokok sebagai gatekeeper yaitu : 1. Kontak pertama pelayanan (First Contact)

Fasilitas kesehatan tingkat pertama merupakan tempat pertama yang dikunjungi peserta setiap kali mendapat masalah kesehatan.

2. Pelayanan berkelanjutan (Continuity)

Hubungan fasilitas kesehatan tingkat pertama dengan peserta dapat berlangsung secara berkelanjutan/kontinyu sehingga penanganan penyakit dapat berjalan optimal.

3. Pelayanan paripurna (Comprehensiveness)

Fasilitas kesehatan tingkat pertama memberikan pelayanan yang komprehensif terutama untuk pelayanan promotif dan preventif.

4. Koordinasi pelayanan (Coordination)

Fasilitas kesehatan tingkat pertama melakukan koordinasi pelayanan dengan penyelenggara kesehatan lainnya dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada peserta sesuai kebutuhannya (Gatekeeper Concept BPJS Kesehatan).

Menurut penelitian Suhartati (2015) dapat diketahui bahwa pemahaman Puskesmas 5 Ilir dan Puskesmas Merdeka sebagai gatekeeper sudah cukup baik dimana puskesmas sebagai kontak pertama dalam memberikan pelayanan kepada pasien, puskesmas sebagai pemberi pelayanan berkelanjutan dengan melakukan control ulang pada pasien, puskesmas sebagai pelayanan yang paripurna memberikan pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, dan

(7)

puskesmas sebagai koordinasi pelayanan dengan melakukan koordinasi antar FKTP, FKTL maupun dinkes. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ali (2014) bahwa pemahaman petugas puskesmas sebagi pintu masuk atau penapis rujukan (gatekeeper) di kota Ternate cukup baik.

2.1.5 Ketersedian Tenaga Kesehatan

Sumber daya manusia di puskesmas terdiri atas tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan dihitung berdasarkan analisis beban kerja, dengan mempertimbangkan jumlah pelayanan yang diselenggarakan, jumlah penduduk dan persebarannya, karakteristik wilayah kerja, luas wilayah kerja, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama lainnya di wilayah kerja, dan pembagian waktu kerja.

Tenaga kesehatan di puskesmas harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional, etika profesi, menghormati hak pasien, serta mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien dengan memperhatikan keselamatan dan kesehatan dirinya dalam bekerja. Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di puskesmas harus memiliki surat izin praktik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Permenkes No. 75 Tahun 2014).

Jenis tenaga kesehatan di puskesmas paling sedikit terdiri atas: a. dokter atau dokter layanan primer;

b. dokter gigi; c. perawat; d. bidan;

(8)

e. tenaga kesehatan masyarakat; f. tenaga kesehatan lingkungan; g. ahli teknologi laboratorium medik; h. tenaga gizi; dan

i. tenaga kefarmasian.

Tenaga non kesehatan di puskesmas harus dapat mendukung kegiatan ketatausahaan, administrasi keuangan, sistem informasi, dan kegiatan operasional lain di Puskesmas.

Menurut penelitian Gulo (2015) diketahui bahwa ketersediaan sumber daya manusia terhadap pelayanan kesehatan seperti dokter gigi, tenaga analis, tenaga kefarmasian tidak terpenuhi di Puskesmas Botombawo. Ketersediaan ini menyebabkan proses pelayanan pemeriksaan penunjang yang mendukung penegakkan diagnosa dokter tidak berjalan sesuai dengan prosedurnya dan terpaksa dirujuk sehingga menyebabkan terhadap peningkatan rujukan puskesmas

Setiap puskesmas terdapat 21–51 orang tenaga namun hanya 6 (enam) puskesmas yang memiliki dokter tetap. Jenis tenaga kesehatan terbanyak di masing-masing 8 (delapan) puskesmas adalah bidan dan tenaga perawat kesehatan sedangkan asisten apoteker, laborat dan ahli gizi masih kurang jumlahnya. Sebanyak 53,9% tenaga kesehatan mendapatkan tugas tambahan selain tupoksi dan menurut 56,6% tenaga kesehatan bahwa tugas tambahan tersebut dapat mengganggu tupoksi dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di puskesmas (Handayani, 2010).

(9)

Pelayanan paramedis (perawat/bidan) sangat dibutuhkan dalam membantu pekerjaan dokter pada suatu fasilitas kesehatan. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sitti (2012) mengenai faktor yang berhubungan dengan mutu pelayanan di Puskesmas Pamboang Kabupaten Majene Tahun 2012, menunjukkan bahwa sebanyak 14,3% pasien merasa pelayanan di puskesmas cukup tepat, namun mutu pelayanan yang diberikan kurang baik. Hal tersebut disebabkan karena dokter yang ada di puskesmas hanya satu dokter, sehingga apabila dokter ke luar kota maka yang menggantikan adalah perawat (Sitti, 2012).

Sedangkan hasil penelitian Suhartati (2015) bahwa ketersediaan dokter pada kedua puskesmas selalu ada di puskesmas dan apabila dokter yang bertugas tidak datang dapat digantikan dengan dokter lain sedangkan dari hasil pengamatan selama empat hari tiga minggu berturut-turut di Puskesmas 5 Ilir ketersediaan dokter belum baik karena ada satu dokter sering tidak masuk dikarenakan masih dalam tugas pendidikan S2 sehingga pelkes hanya di cover oleh 1 dokter. Adapun dokter yang telat datang ke puskesmas sehingga ketika pasien datang ke puskesmas dan meminta rujukan yang memberikan pelayanan serta rujukan tersebut adalah perawat. Ketersediaan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien sangatlah penting karena merupakan salah satu tugas pokok dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan.

2.1.6 Ketersediaan Sarana dan Fasilitas Kesehatan

Sarana dan fasilitas yang ada di pelayanan kesehatan menjadi salah satu faktor penting dalam mendukung terselenggaranya pelayanan yang berkualitas bagi masyarakat. Peralatan kesehatan di puskesmas harus sesuai dengan Kemenkes

(10)

No.118/Menkes/SK/IV/2014 Tentang Kompedium Alat Kesehatan, serta memenuhi persyaratan: (a) standar mutu, keamanan, keselamatan; (b) memiliki izin edar sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; dan (c) diuji dan dikalibrasi secara berkala oleh institusi penguji dan pengkalibrasi yang berwenang.

Berdasarkan hasil penelitian Gulo (2015) yang dilaksanakan di Puskesmas Botombawo didapat kelengkapan sarana dan prasarana puskesmas yang sangat terbatas sehingga akan mempengaruhi dokter dalam memberikan pelayanan dan terpaksa memberikan rujukan kepada pasien.

Lebih lanjut penelitian yang dilakukan Ali (2014) ketersediaan fasilitas alat kesehatan yang memadai dapat meningkatkan kinerja Puskesmas dalam melakukan pemeriksaan kepada pasien dan merupakan suatu keharusan untuk proses rujukan yang dilakukan akibat keterbatasan sarana tersebut, jika fasilitas dan sarana penunjang kesehatan kurang lengkap maka proses mendiagnosis pasien akan terganggu dan hal ini menyebabkan petugas kesehatan harus merujuk pasien kerumah sakit sehingga akan berdampak pada meningkatnya terjadi rujukan di rumah sakit.

Didukung oleh penelitian Suhartati (2015) bahwa ketersediaan fasilitas alat kesehatan di Puskesmas 5 Ilir dan Puskesmas Merdeka belum lengkap sehingga ketika pasien datang ke puskesmas dan ingin mendapatkan pelayanan kesehatan, puskesmas melakukan rujukan ke fasilitas tingkat lanjutan karena keterbatasan fasilitas alat kesehatan. Hal inilah yang akan menjadi kendala dalam pelaksanaan sistem rujukan karena dengan adanya keterbatasan fasilitas alat

(11)

kesehatan akan terganggunya proses mendiagnosa pasien dan akan menyebabkan petugas pasien untuk melakukan rujukan ke rumah sakit sehingga rasio rujukan di puskesmas tersebut menjadi tinggi. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kesumawati (2012) bahwa ketersediaan fasilitas alat kesehatan mempengaruhi pelaksanaan sistem rujukan.

2.1.7 Ketersediaan Obat-obatan

Berdasarkan Permenkes No. 28 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, pengadaan obat-obatan terutama untuk obat peserta JKN tidak terpisah dengan obat-obatan lain. Berdasarkan petunjuk teknis JKN ketersediaan obat di puskesmas harus selalu tersedia, karena dana kapitasi yang di bayarkan ke pusesmas 20 % di dalamnya sudah termasuk biaya pembelian obat-obatan sehingga pasien atau peserta program JKN tidak bisa di bebankan lagi untuk membeli obat. Pelayanan obat untuk peserta JKN di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di lakukan oleh apoteker.

Pelayanan obat untuk peserta JKN pada fasilitas kesehatan mengacu pada daftar obat sesuai dengan standar Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 159/Menkes/Sk/V/2014 Tentang Formularium Nasional dan harga obat yang tercantum dalam e-katalog obat. Obat-obatan tersebut diajukan oleh tiap Puskesmas ke Dinas Kesehatan berdasarkan pola konsumsi dimasing-masing Puskesmas. Penggunaan obat di luar dari Formularium nasional di FKTP dapat di gunakan apabila sesuai dengan indikasi medis dan sesuai dengan standar pelayanan kedokteran.

(12)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suhartati (2015) bahwa ketersediaan obat-obat yang ada di Puskesmas 5 Ilir belum lengkap sedangkan di Puskesmas Merdeka ketersediaan obat-obatannya sudah lengkap. Didukung dengan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti bahwa Puskesmas 5 Ilir tidak memiliki panduan Formularium Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 159/Menkes/Sk/V/2014 sedangkan di Puskesmas Merdeka memiliki panduan Formularium Nasional.

Lebih lanjut hasil penelitian Gulo (2015) di Puskemas Botombawo kebutuhan obat di puskesmas sebenarnya masih belum terpenuhi. Puskesmas melakukan proses perencanaan dengan mengajukan Lembar Permintaan dan Lembar Pemakaian Obat (LPLPO) kepada Bidang Yankes di Dinas Kesehatan Kabupaten Nias, kemudian pihak Dinas kesehatan melakukan verifikasi LPLPO dari puskesmas tersebut tetapi selama ini yang sering ditemui kendalanya perencanaan yang disampaikan oleh puskesmas terkadang tidak sesuai dengan permintaan obat oleh puskesmas sehingga pihak puskesmas dalam melakukan pelayanan kadang terkendala.

Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ali (2014), ketersediaan obat- obatan dan bahan habis pakai yang digunakan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien peserta di fasilitas pelayanan Kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama program Jaminan Kesehatatan Nasional di Kota Ternate dalam kategori cukup baik namun masih ada kendala keterlambatan serta sering terjadi kekosongan stok obat, sehingga sangat mempengaruhi pelayanan yang diberikan kepada masyarakat yang menjadi terhambat.

(13)

2.2 Sistem Rujukan 2.2.1 Pengertian

Dalam Peraturan Permenkes RI No. 001 Tahun 2012, Sistem Rujukan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggungjawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal. Sistem rujukan diwajibkan bagi pasien yang merupakan peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial dan pemberi pelayanan kesehatan. Peserta asuransi kesehatan komersial mengikuti aturan yang berlaku sesuai dengan ketentuan dalam polis asuransi dengan tetap mengikuti pelayanan kesehatan yang berjenjang.

2.2.2 Jenis Rujukan

Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal. Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.

Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.

Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila:

a. Pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik; b. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan

(14)

pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/ atau ketenagaan.

Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan pelayanan yang lebih rendah dilakukan apabila :

a. permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya; b. kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik

dalam menangani pasien tersebut;

c. pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi dan pelayanan jangka panjang; dan/atau

d. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan. 2.2.3 Tata Cara Pelaksanaan Rujukan Berjenjang

Menurut Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang BPJS Kesehatan Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang :

1. Sesuai kebutuhan medis, yaitu:

a. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama

b. Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua

c. Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat diberikan atas rujukan dari faskes primer.

(15)

d. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat diberikan atas rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer.

2. Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes tersier hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana terapinya, merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier. 3. Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi:

a. Terjadi keadaan gawat darurat; kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan yang berlaku

b. Bencana; kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah

c. Kekhususan permasalahan kesehatan pasien; untuk kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan

d. Pertimbangan geografis; dan e. Pertimbangan ketersediaan fasilitas 4. Pelayanan oleh bidan dan perawat

a. Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama kecuali dalam kondisi gawat darurat dan kekhususan permasalahan kesehatan

(16)

pasien, yaitu kondisi di luar kompetensi dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama

5. Rujukan Parsial

a. Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke pemberi pelayanan kesehatan lain dalam rangka menegakkan diagnosis atau pemberian terapi, yang merupakan satu rangkaian perawatan pasien di Faskes tersebut.

b. Rujukan parsial dapat berupa : (1) Pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang atau tindakan (2) Pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang;

c. Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan parsial, maka penjaminan pasien dilakukan oleh fasilitas kesehatan perujuk.

Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang

Sumber : Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang BPJS Kesehatan

Gambar 2.2

Pelayanan kesehatan sub spesialistik oleh dokter sub spesialis di Faskes tingkat lanjutan

Pelayanan kesehatan spesialistik oleh dokter sub spesialis di Faskes tingkat lanjutan

Pelayanan kesehatan dasar oleh Faskes tingkat Pertama Kasus yang sudah

ditegakkan diagnosis & rencana terapi, merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes primer

TINGKAT PERTAMA TINGKAT KEDUA

TINGKAT KETIGA

(17)

2.2.4 Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan

Pasien yang akan dirujuk harus sudah diperiksa dan layak untuk dirujuk. Adapun kriteria pasien yang dirujuk adalah apabila memenuhi salah satu dari :

1. Hasil pemeriksaan fisik sudah dapat dipastikan tidak mampu diatasi. 2. Hasil pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan penunjang medis ternyata

tidak mampu diatasi.

3. Memerlukan pemeriksaan penunjang medis yang lebih lengkap, tetapi pemeriksaan harus disertai pasien yang bersangkutan.

4. Apabila telah diobati dan dirawat ternyata memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan perawatan di sarana kesehatan yang lebih mampu.

Dalam prosedur merujuk dan menerima rujukan pasien ada dua pihak yang terlibat yaitu pihak yang merujuk dan pihak yang menerima rujukan dengan rincian beberapa prosedur sebagai berikut :

i. Prosedur standar merujuk pasien a. Prosedur Klinis

1. Melakukan anamesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medik 2. Menentukan diagnosa utama dan diagnosa banding.

3. Memberikan tindakan pra rujukan sesuai kasus 4. Memutuskan unit pelayanan tujuan rujukan

5. Untuk pasien gawat darurat harus didampingi petugas medis / paramedis yang berkompeten dibidangnya dan mengetahui kondisi pasien

6. Apabila pasien diantar dengan kendaraan puskesmas keliling atau ambulans, agar petugas dan kendaraan tetap menunggu pasien di IGD

(18)

tujuan sampai ada kepastian pasien tersebut mendapat pelayanan dan kesimpulan dirawat inap atau rawat jalan.

b. Prosedur Administratif

1. Dilakukan setelah pasien diberikan tindakan pra-rujukan 2. Membuat catatan rekam medis pasien

3. Memberi informed consent (persetujuan / penolakan informed rujukan) 4. Membuat surat rujukan pasien rangkap 2, lembar pertama dikirim ke

tempat rujukan bersama pasien yang bersangkutan. Lembar kedua disimpan sebagai arsip. Mencatat identitas pasien pada buku registrasi rujukan pasien.

5. Menyiapkan sarana transportasi dan sedapat mungkin menjalin komunikasi dengan tempat rujukan.

6. Pengiriman pasien sebaiknya dilaksanakan setelah diselesaikan administrasi yang bersangkutan

ii. Prosedur Standar Menerima Rujukan Pasien a. Prosedur Klinis

1. Segera menerima dan melakukan stabilisasi pasien rujukan.

2. Setelah stabil, meneruskan pasien keruang perawatan elektif untuk perawatan selanjutnya atau meneruskan ke sarana kesehatan yang lebih mampu untuk dirujuk lanjut.

(19)

b. Prosedur Administrative

1. Menerima, meneliti dan menandatangani surat rujukan pasien yang telah diterima untuk ditempelkan di kartu status pasien

2. Apabila pasien tersebut dapat diterima kemudian membuat tanda terima pasien sesuai aturan masing masing sarana.

3. Mengisi hasil pemeriksaan dan pengobatan serta perawatan pada kartu catatan medis dan diteruskan ke tepat perawatan selanjutnya sesuai kondisi pasien.

4. Membuat inform consent

5. Segera membrikan informasi tentang keputusan tindakan / perawatan yang akan dilakukan kepada petugas atau keluarga pasien yang mengantar 6. Apabila tidak sanggup menangani merujuk ke RSU yang lebih mampu

dengan mebuat surat rujukan rangkap 2. 7. Mencatat indentitas pasien

iii. Prosedur Standar Memberi Rujukan Balik Pasien a. Prosedur Klinis

1. Rumah Sakit atau Puskesmas yang menerima rujukan pasien wajib mengembalikan pasien ke RS / Puskesmas / Polindes / Poskesdes pengirim setelah dilakukan proses antara lain:

a. Sesudah pemeriksaan medis, diobati dan dirawat tetapi penyembuhan selanjutnya perlu di follow up oleh Rumah Sakit / Puskesmas / Polindes Poskesdes pengirim.

(20)

b. Sesudah pemeriksaan medis, diselesaikan tindakan kegawatan klinis tetapi pengobatan dan perawatan selanjutnya dapat dilakukan di Rumah Sakit / Puskesmas / Polindes / Poskesdes pengirim.

2. Melakukan pemeriksaan fisik dan mendiagnosa bahwa kondisi pasien sudah memungkinkan untuk keluar dari perawatan Rumah Sakit / Puskesmas tersebut dalam keadaan: (a) sehat atau sembuh; (b) sudah ada kemajuan klinis dan boleh rawat jalan; (c) belum ada kemajuan klinis dan harus dirujuk ke tempat lain ;(d) pasien sudah meninggal.

3. Rumah Sakit / Puskesmas yang menerima rujukan pasien harus memberikan laporan /informasi medis/balasan rujukan kepada Rumah Sakit / Puskesmas/ Polindes/ Poskesdes pengirim pasien mengenai kondisi klinis terahir pasien apabila pasien keluar dari Rumah Sakit / Puskesmas. b. Prosedur Administratif

1. Puskesmas yang merawat pasien berkewajiban memberi surat balasan rujukan untuk setiap pasien rujukan yang pernah diterimanya kepada Rumah Sakit/ Puskesmas/Polindes/Poskesdes yang mengirim pasien yang bersangkutan.

2. Surat balasan rujukan boleh dititip melalui keluarga pasien yang bersangkutan dan untuk memastikan informasi balik tersebut diterima petugas kesehatan yang dituju, dianjurkan berkabar lagi melalui sarana komunikasi yang memungkinkan seperti telepon,handphone, faksimili dan sebagainya

(21)

iv. Prosedur Standar Menerima Rujukan Balik Pasien a. Prosedur Klinis:

1. Melakukan kunjungan rumah pasien dan melakukan pemeriksaan fisik. 2. Memperhatikan anjuran tindakan yang disampaikan oleh Rumah Sakit /

Puskesmas yang terakhir merawat pasien tersebut

3. Melakukan tindak lanjut atau perawatan kesehatan masyarakat dan memantau (follow up) kondisi klinis pasien sampai sembuh.

b. Prosedur Administratif:

1. Meneliti isi surat balasan rujukan dan mencatat informasi tersebut di buku register pasien rujukan, kemudian menyimpannya pada rekam medis pasien yang bersangkutandan memberi tanda tanggal / jam telah ditindak lanjuti.

2. Segera memberi kabar kepada dokter pengirim bahwa surat balasan rujukan telah diterima.

2.3 Jaminan Kesehatan Nasional

Kata “Jaminan” secara bahasa dapat diartikan asuransi (insurance), peyakinan (assurance), janji (promise), dan dapat berarti pengamanan (security) kata Jaminan yang berarti asuransi di Indonesia berakar dari proses pengumpulan dana bersama untuk kepentingan bersama yang memiliki arti transfer resiko ( Thabrany, 2014).

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Berdasarkan UU

(22)

No. 40 Tahun 2004, Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib (mandatory). Seluruh penduduk di Indonesia wajib menjadi peserta dalam program JKN. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing (WNA) yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran (UU No. 24 Tahun 2011) . Dengan tujuan agar seluruh penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disebut BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan. Jaminan Kesehatan Nasional adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.

2.3.1 Prinsip-prinsip Jaminan Kesehatan Nasional

Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada prinsip-prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) berikut:

1. Prinsip kegotongroyongan

Dalam SJSN, prinsip gotong royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi, dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Hal ini terwujud karena kepesertaan SJSN bersifat wajib untuk seluruh penduduk, tanpa

(23)

pandang bulu. Dengan demikian, melalui prinsip gotong royong jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Prinsip nirlaba

Pengelolaan dana amanat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah nirlaba bukan untuk mencari laba (for profit oriented). Sebaliknya, tujuan utama adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana yang dikumpulkan dari masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil pengembangannya, akan di manfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.

3. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Prinsip prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.

4. Prinsip portabilitas

Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5. Prinsip kepesertaan bersifat wajib

Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi

(24)

peserta secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dapat mencakup seluruh rakyat.

6. Prinsip dana amanat

Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.

7. Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial

Dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta ( PMK No. 28 Tahun 2014).

2.3.2 Kapitasi

Kapitasi merupakan salah satu metode pembayaran fasilitas kesehatan yang dipilih untuk membayar fasilitas kesehatan primer (FKTP). Dalam Peraturan Presiden RI No. 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa dana kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan akan membayar kepada FKTP dengan sistem pembagian kapitasi. Membayar Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dengan menggunakan sistem kapitasi berarti PPK dibayar dimuka (praupaya) per bulan berdasarkan pada jumlah peserta yang terdaftar, tidak tergantung berdasarkan jumlah pelayanan yang diberikan.

(25)

Standar tarif kapitasi sebagaimana yang tertulis pada Peraturan BPJS No.2 Tahun 2015 ditetapkan sebagai berikut:

a. puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara sebesar Rp.3.000,00 (tiga ribu rupiah) sampai dengan Rp.6.000,00 (enam ribu rupiah);

b. rumah sakit Kelas D Pratama, klinik pratama, praktik dokter, atau fasilitas kesehatan yang setara sebesar Rp.8.000,00 (delapan ribu rupiah) sampai dengan Rp.10.000,00 (sepuluh ribu rupiah); dan

c. praktik perorangan dokter gigi sebesar Rp.2.000,00 (dua ribu rupiah).

Setiap Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan harus memenuhi persyaratan:

(a) memiliki perawat; (b) memiliki bidan dan/atau jejaring bidan; (c)memiliki tenaga administrasi; (d) memenuhi kriteria kredensialing atau rekredensialing; (e) memberikan pelayanan rawat jalan tingkat pertama sesuai peraturan perundang-undangan; (f) memberikan pelayanan obat; (g) memberikan pelayanan laboratorium tingkat pratama; (h) membuka waktu pelayanan minimal 8 (delapan) jam setiap hari kerja; dan (i) memberikan pelayanan darurat di luar jam pelayanan.

Penetapan besaran tarif kapitasi bagi masing-masing FKTP dilakukan oleh BPJS Kesehatan dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berdasarkan seleksi dan kredensialing dengan mempertimbangkan:

1. sumber daya manusia;

2. kelengkapan sarana dan prasarana; 3. lingkup pelayanan; dan

(26)

4. komitmen pelayanan.

1. Pertimbangan sumber daya manusia meliputi:

a. ketersediaan dokter berdasarkan rasio perbandingan jumlah dokter dengan jumlah peserta terdaftar; dan

b. ketersediaan dokter gigi, perawat, bidan termasuk jejaring bidan dan tenaga administrasi.

2. Pertimbangan kelengkapan sarana dan prasarana meliputi :

a. kelengkapan sarana prasarana FKTP yang diperlukan dalam memberikan pelayanan; dan

b. waktu pelayanan di FKTP.

3. Pertimbangan lingkup pelayanan meliputi:

a. pelayanan rawat jalan tingkat pertama sesuai peraturan perundang-undangan; b. pelayanan obat; dan

c. pelayanan laboratorium tingkat pratama.

Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara yang telah memenuhi persyaratan tersebut memperoleh pembayaran dengan besaran tarif kapitasi yang didasarkan pada jumlah dokter, rasio jumlah dokter dengan jumlah peserta, ada atau tidaknya dokter gigi, dan waktu pelayanan. Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara memperoleh kapitasi sebesar Rp.6.000,00 (enam ribu rupiah) apabila memiliki dokter paling sedikit 3 (tiga) orang dengan perbandingan 1 (satu) orang dokter berbanding dengan paling banyak 5.000 (lima ribu) Peserta, memiliki dokter gigi paling sedikit 1 (satu) orang, dan membuka waktu pelayanan 24 (dua puluh empat) jam setiap hari.

(27)

Konsep dasar sistem pembayaran kapitasi dikembangkan dari tiga prinsip pokok yaitu:

a. Prinsip kemungkinan timbulnya risiko (risk probability) b. Prinsip membagi risiko (risk sharing)

c. Prinsip pelayanan yang profesional (professionalism)

Tiga prinsip risk probability, risk sharing dan professionalism ini yang terkadang belum dipahami secara menyeluruh, sehingga dampak negative pembayaran kapitasi bisa muncul yaitu, faskes akan mengurangi waktu pelayanan atau mempercepat waktu pelayanan, faskes tidak berusaha memperbaiki kualitas pelayanan dan faskes akan meningkatkan rujukan ke faskes sekunder atau faskes tingkat lanjut. Padahal metode pembayaran kapitasi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan peran pelayanan kesehatan primer sebagai gate keeper

dalam mengendalikan mutu dan mengendalikan biaya pelayanan kesehatan. Pembayaran kapitasi diharapkan menjadi lebih sederhana, penghasilan faskes lebih stabil dan merata, pelayanan kesehatan lebih efektif dan efisien, dapat mencegah kunjungan pasien yang berulang atau berlebihan dengan usaha promotif preventif (Kuncoro, 2015).

Pembayaran kepada tenaga kesehatan dengan konsep kapitasi juga dapat menimbulkan ketidakpuasan dari tenaga kesehatan dikarenakan besaran jasa pelayanan yang diterima oleh tenaga kesehatan berdasarkan pada besaran dana kapitasi yang diterima oleh puskesmas. Apabila besaran kapitasi yang diterima oleh puskesmas kecil maka akan berdampak pada besaran jasa pelayanan yang diterima oleh tenaga kesehatan dikarenakan tenaga kesehatan akan mendapatkan

(28)

jumlah jasa pelayanan yang rendah. Hasil penelitian Wintera & Hendrartini (2005) menunjukkan bahwa 57,7% dokter puskesmas mempunyai tingkat kepuasan yang rendah terhadap sistem pembayaran kapitasi. Hasil penelitian tersebut dipertegas dengan keluhan dari beberapa dokter puskesmas yang menyatakan tidak puas dengan sistem pembayaran kapitasi, dimana selain karena jumlahnya kecil, pembayarannya terlambat dan juga tidak tahu jumlah riil peserta di lapangan.

Suhartati (2015) mengatakan pemahaman pihak Puskesmas 5 Ilir dan Puskesmas Merdeka masih belum mengetahui tentang pengaruh risiko keuangan yang dihadapi dokter apabila rasio rujukan melebihi dari standar BPJS Kesehatan. Dengan tidak ditegakkannya kebijakan mengenai risiko finansial PPK, akan menyebabkan banyaknya PPK yang akan melakukan rujukan sehingga PPK mengurangi jumlah konsumsi pelayanan untuk mendapatkan laba yang memadai dengan menurunkan mutu pelayanan.

Konsep kapitasi digunakan oleh dokter pelayanan primer karena risiko yang dihadapi relatif kecil. Akan tetapi kontrak kapitasi ini mempunyai risiko rujukan yang sangat tinggi karena untuk mengurangi beban yang dihadapi oleh dokter, dokter cenderung memaksimalkan pendapatannya dengan merujuk pasien yang mempunyai kondisi penyakit relatif sulit dan memerlukan biaya mahal. Akibatnya pengendalian biaya dan efisiensi yang diharapkan dari pembayaran kapitasi tidak tercapai karena meningkatnya pelayanan rujukan di rumah sakit (Wintera & Hedrartini).

(29)

2.4 Kerangka Pikir

Berdasarkan landasan teori yang telah ada maka kerangka pikir untuk penelitian ini dapat ditunjukkan dalam skema berikut ini :

Angka Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama di Puskesmas Mandala Gambar 2.3

1. Input/ Masukan berupa semua sumber daya yang diperlukan yaitu man, money, materials, market, method, machine. Dalam penelitian ini input yang digunakan yaitu ketersediaan tenaga kesehatan (man), pemahaman tentang dana kapitasi dan gatekeeper (method), ketersediaan obat-obatan (materials) dan fasilitas sarana kesehatan (machine).

2. Proses adalah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini adalah proses yang diperlukan seorang pasien dari awal datang sampai mendapatkan surat rujukan.

3. Output/Keluaran adalah hasil dari suatu pekerjaan , yaitu angka rujukan rawat jalan tingkat pertama di Puskesmas Mandala.

Level Analisis

Input Proses

Masyarakat Tenaga Kesehatan, Obat-obatan, Fasilitas Sarana Kesehatan,

Gatekeeper

Pendaftaran, Pemeriksaan, Mendapatkan Resep Obat, Pemeriksaan Penunjang Dasar, Pemeriksaan Lanjutan Diterbitkan Surat Rujukan

Puskesmas Tenaga Kesehatan, Obat-obatan, Fasilitas Sarana Kesehatan, Dana Kapitasi, Gatekeeper Pendaftaran, Pemeriksaan, Mendapatkan Resep Obat, Pemeriksaan Penunjang Dasar, Pemeriksaan Lanjutan Diterbitkan Surat Rujukan

Referensi

Dokumen terkait

Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola Menunjukkan manfaat mata pelajaran Ekonomi Disajikan data koefisien elastisitas harga, peserta.. pikirkeilmuan yang mendukung mata

Dalam mengatasi kondisi ekonomi yang buruk pada masa Demokrasi Liberal Sumitra Joyohadikusuma ingin mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi

Sehingga dengan memodifikasi apa yang disampaikan Davis tentang definisi Sistem Informasi Manajemen, maka Sistem Informasi (Manajemen) Perpustakaan dapat

bahwa parameter fisika-kimia pada kedalaman 1 m yang berkorelasi dengan struktur komunitas fitoplankton adalah turbiditas dan klorofil-a, sedangkan parameter oseanografi

Bagi sekolah yang menerapkan sistem paket, kegiatan tugas terstruktur tidak dicantumkan dalam jadwal pelajaran namun dirancang oleh guru dalam silabus

Ruhiyah Pendidik adalah semangat, spirit atau energi yang dimiliki pendidik yang bisa mendorong anak didik mengerjakan apa yang disampaikan oleh pendidik, menjadikan apa

Karena itu guna memastikan penggunaan TIK mendukung tujuan penyelenggaraan Good Governance dan meningkatkan layanan publik yang efektif, efisien, transparan dan

Lateks Alam KKK 60 dapat digunakan sebagai bahan tambah untuk meningkatkan kualitas aspal minyak agar memiliki sifat reologi yang lebih baik, yaitu lebih elastis, lebih kaku, lebih