• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Drama adalah salah satu bentuk karya sastra. Drama mempunyai kelebihan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Drama adalah salah satu bentuk karya sastra. Drama mempunyai kelebihan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Drama adalah salah satu bentuk karya sastra. Drama mempunyai kelebihan dibandingkan dengan karya sastra lainnya yaitu unsur pementasan yang mengungkapkan isi cerita secara langsung dan dipertontonkan di depan umum. Menurut pendapat Harymawan via Dewojati (2012:7) secara etimologis, kata “drama” berasal dari kata yunani draomai yang berarti ‘berbuat’, ‘berlaku’, ‘bertindak’, ‘bereaksi’, dan sebagainya.

Adapun pendapat dari Hassanudin via Dewojati (2012:9) mengungkapkan bahwa drama adalah karya yang memiliki dua dimensi sastra (sebagai genre sastra) dan dimensi seni pertunjukan. Pengertian drama sebagai suatu genre sastra lebih terfokus sebagai suatu karya yang lebih berorientasi kepada seni pertunjukan dibandingkan sebagai genre sastra. Drama sebagai pertunjukan suatu lakon merupakan tempat pertemuan dari beberapa cabang kesenian yang lain seperti seni sastra, seni peran, seni tari, seni deklamasi, dan tak jarang seni suara (Ibrahim via Dewojati, 2012:9).

Karya sastra diciptakan sastrawan agar bisa dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Disisi lain, sastrawan adalah anggota masyarakat; dan terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang

(2)

menggunakan bahasa sebagai medium; bahasa merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang (Damono, 1984:1).

Dari dulu hingga sekarang, telah banyak terjadi berbagai masalah sosial yang semakin beragam dan rumit, salah satu-nya adalah peran sastra dalam masyarakat. Dalam hal ini, drama Korea yang berjudul The Moon Embraces The Sun sangat menarik untuk diteliti karena latar belakang sosial yang dicerminkan oleh masyarakat Korea. Dalam drama ini digambarkan bahwa masyarakat Korea mempercayai adanya shaman (peramal). Drama The Moon That Embraces The Sun merupakan drama yang menceritakan kehidupan Korea pada zaman dinasti Joseon. Penggambaran kehidupan masa itu adalah keadaan dimana raja dan rakyat yang mempercayai seorang shaman dalam melakukan hal yang diinginkan.

Drama ini sangat menarik untuk diteliti karena adanya intrik dan masalah sosial yang terjadi pada shaman. Kelompok shaman yang dianggap minoritas, sering mendapat ketidakadilan. Kehidupan sosial shaman yang berbeda dengan masyarakat Korea lainnya menjadikan penelitian ini menarik untuk diteliti lebih dalam.

Drama The Moon That Embraces The Sun atau dalam bahasa Koreanya 해를품은달 adalah salah satu drama terkenal di Korea Selatan. Drama televisi ini tayang pertama kali 4 Januari 2012 dan diperankan oleh beberapa artis ternama

(3)

antara lain Han Ga In, Kim Su Hyeon, Jung Il Woo, Kim Min Seo, dan lain-lain. Serial drama ini memiliki 20 episode dan mendapat rating tinggi pada masanya. Drama The Moon That Embraces The Sun mengangkat cerita dari sebuah novel yang berjudul sama karya dari Jung Eun Gwol dan pertama kali diterbitkan pada tanggal 29 Desember 2005.

The Moon That Embraces The Sun adalah drama televisi yang bernuansa tradisional, di dalam bahasa Korea disebut sageuk. Drama ini berkisah tentang percintaan anatara raja Lee Hwon dengan seorang shaman yang bernama Wol. Tokoh Wol memiliki nama asli Yeon Woo. Dulu tokoh Wol merupakan bagian dari keluarga kerajaan dan diangkat menjadi putri mahkota. Namun, tokoh Wol terjebak dalam intrik dan harus menghadapi eksekusi. Hingga akhirnya Wol menderita penyakit misterius yang menyebabkan tokoh Wol meninggal. Pembunuhan terhadap tokoh Wol sengaja dilakukan oleh shaman bernama Jang atas perintah ibu suri. Ibu suri melakukan hal itu karena tidak menyetujui jika tokoh Wol menjadi ratu kerajaan.

Drama ini juga menceritakan bahwa pada zaman dahulu masyarakat Korea mempercayai seorang shaman. Shaman adalah peramal yang mempunyai kekuatan yang bisa memanggil roh, melihat masa depan dan hal-hal gaib lainnya. Kehidupan sosial shaman dalam drama ini yang menjadi fokus penelitian, karena dalam drama The Moon That Embraces The Sun banyak intrik yang terjadi pada shaman.

(4)

Drama televisi The Moon That Embraces The Sun sangat diminati para penonton, hal ini terbukti dari banyaknya penghargaan yang diterima oleh drama tersebut. Pada tanggal 26 April 2012, Baeksang Awards yang dikenal sebagai versi Golden Globe Korea Selatan membagikan berbagai penghargaan kepada insan pertelevisian. Drama The Moon That Embraces The Sun mendapat penghargaan sebagai drama terbaik. Selain itu, Kim Soo Hyun aktor utama drama ini juga memenangkan penghargaan sebagai aktor terbaik dan mengalahkan aktor senior di Korea Selatan. Drama ini tidak hanya berjaya di negaranya saja, drama The Moon That Embraces The Sun juga mendapat penghargaan dalam acara 46th Worldfest-Houston International Film and Video Festival di Amerika Serikat. Selain itu, Jung Il Woo sebagai aktor utama kedua dalam drama The Moon That Embraces The Sun juga mendapat penghargaan di acara Shanghai TV Festival yang ke-18.

Drama The Moon That Embraces The Sun ini berlatarkan pada dinasti Joseon. Dinasti Joseon merupakan dinasti terakhir sebelum Jepang masuk ke Korea. Zaman dahulu negara Korea bukan merupakan negara melainkan sebuah kerajaan. Kerajaan Joseon berdiri sejak tahun 1392-1910.

Kepercayaan Shamanisme merupakan kepercayaan asli rakyat Korea yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Dalam bahasa Korea, Shamanisme disebut mu (무) dan sang pemraktik disebut mudang (무당). Tugas mudang biasanya

(5)

Menurut Yuliawati Dwi Widyaningrum staf pengajar program DIII Bahasa Korea Fakultas Ilmu Budaya UGM dalam artikelnya yang berjudul Sekilas Tentang Shamanisme dan Konfusianisme di Korea, shaman adalah tokoh sentral yang dianggap sebagai sosok yang memiliki kekuatan supranatural melebihi manusia pada umumnya. Di Korea, shaman merupakan mediator penghubung antara manusia dan roh. Lewat ritual gut, seorang shaman dapat berhubungan dan berkomunikasi dengan roh. Ritual gut tersebut mengkombinasikan unsur teater musik dan tari.

Shamanisme sering digunakan untuk memohon kepada dewa supaya panen yang akan datang berlimpah, akan tetapi tidak hanya itu saja fungsi dari Shamanisme. Pada masa modern banyak sekali macam-macam upacara Shamanisme yang memilik fungsi selain memohon panen yang berlimpah. Shaman biasa diminta untuk meramal masa depan, pernikahan, kelahiran. Akan tetapi, kebanyakan masyarakat Korea meminta pendapat kepada shaman ketika mereka berada dalam kesulitan.

Dalam bukunya yang berjudul Gut, The Korean Shamanistic Ritual Kim Hyun Key (2009:147) mengatakan bahwa shaman terdiri dari dua jenis, yaitu gangsinmu dan seseummu. Shaman yang berjenis saseummu merupakan shaman yang mendapat kekuatan dari leluhur atau turun temurun. Sedangkan, shaman yang berjenis gangsinmu adalah shaman yang memiliki kekuatan secara tiba-tiba. Seorang shaman dalam melakukan ritualnya (gut) akan melakukan tarian-tarian yang akan memanggil roh, dan kemudian akan merasuki dirinya. Pada

(6)

awalnya shaman akan mengalami hal yang bernama shinbyeong. Shinbyeong merupakan gejala awal dari kesurupan, shaman akan mengalami insomnia (penyakit susah untuk tidur) dan selalu merasa kesakitan. Gejala shinbyeong beragam, bergantung dari latar belakang dan lingkungannya. Seringkali gejala yang terjadi adalah shaman tersebut tidak bisa makan dan mengalami penurunan kesehatan tubuh dan jiwa. Selain itu, terkadang seorang shaman diikuti sakit secara fisik dan gangguan jiwa, dan ada pula yang mengalami kegoncangan mental akibat kejutan. Gejala shinbyeong dapat bertahan dalam waktu lama, rata-rata 8 tahun dan paling lama 30 tahun. Kebanyakan dari mereka akan kehilangan selera makan, mengalami gangguan pencernaan karena sedikit makan. Tubuh mereka akan melemah dan kejang-kejang. Selain itu, shaman juga akan mengalami sakit jiwa dan halusinasi dengan pikiran yang sangat lelah karena mengalami kontak dengan alam gaib. Dalam beberapa kasus, penyakit jiwa tersebut menjadi sangat berbahaya. Shaman yang mengalami penyakit tersebut lari dari rumah dan berkeliaran di gunung atau sawah. Gejala ini konon tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan modern, karena hal itu akan memperparah sakit jiwanya. Untuk menyembuhkan gejala shinbyeong, shaman tersebut harus melakukan ritual gut dan dibantu oleh shaman yang lain.

Dalam bukunya Kim Hyun Hey juga mengatakan ada lima alasan seseorang menjadi shaman, yaitu 1) seseorang tersebut mudah dirasuki oleh roh, 2) seseorang tersebut memiliki kecerdasan di atas rata-rata, 3) seseorang yang butuh untuk disukai , 4) kekuatan yang merupakan turun-temurun, 5) menjadi shaman merupakan jalan untuk melarikan diri dari kehidupan yang suram.

(7)

Pada masa lalu, ketika ilmu kedoteran dan teknologi belum semaju sekarang, kebanyakan orang meminta bantuan kepada shaman untuk mengatasi semua permasalahan yang sedang dihadapinya. Shaman akan melaksanakan ritual gut sebagai jalan keluar untuk orang tersebut. Shaman bisa mengadukan permasalahan tersebut pada dewa. Ketika sedang melakukan gut, seorang shaman akan menyampaikan keinginan orang yang meminta bantuan kepada dewa yang merasuki tubuhnya. Kemudian, dengan petunjuk dari dewa, shaman akan menyampaikan hal yang harus dilakukan oleh orang yang meminta bantuan tersebut. Selain itu, ritul gut juga dilaksanakan untuk roh orang yang sudah meninggal, dengan tujuan agar roh orang yang sudah meninggal tersebut bisa mendapatkan tempat yang lebih baik dan lebih nyaman. Ada 3 buah elemen dari gut. Pertama roh dan dewa-dewa adalah objek dari pemujaan, kedua para pengikut akan memohon berkat kepada mereka, dan terakhir, kedua hal itu akan dihubungkan oleh shaman.

Dalam bukunya yang berjudul Gut, The Korean Shamanistic Ritual Kim Hyun Key (2009:50) mengatakan banyak bahasa Korea yang mengadaptasi dari bahasa China, tapi kata gut tidak mengambil dari karakter China. Nenghwa mengartikan gut berdasarkan bahasa asli Korea. Gut lebih fokus dalam menyelesaikan sebuah masalah atau ketidakberuntungan, penyakit, dan kematian. Oleh karena itu, gut terkadang juga disebut puri, yaitu penyelesaian atau pengusiran hal-hal yang buruk.

Kim Hyun Key juga memaparkan tujuan dari gut yaitu untuk membawa kebahagiaan atau keberuntungan. Saat ini ritual Shamanisme dijadikan sebagai

(8)

sebuah tontonan sehingga makna gut pada zaman modern ini menjadi bias. Oleh karena itu, saat ini sulit dibedakan antara ritual asli dengan pertunjukan gut sebagai sebuah hiburan. Gut terdiri dari beberapa jenis, yaitu :

1. Gut yang dilakukan untuk orang meninggal: jinogi gut ini dipraktekkan di daerah sekitar Seoul, ssikgim gut dipraktekkan di daerah sekitar Jeolla-do dan Chungcheong-do, ogu gut dipraktekkan di daerah sekitar pesisir timur Korea, siwang maji dipraktekkan di daerah sekitar Jeju-do, siwang gut dan dari gut di daerah sekitar utara Korea, neok geonjigi gut/sumang gut (gut yang dilakukan untuk orang yang meninggal tanpa sebab dan ada hubungannya dengan makhluk halus)

2. Gut yang dilakukan untuk penyembuhan : jenis gut ini terdiri dari byeong gut/uhwan gut, michin gut, gwisin puri, sal puri, pudakgeori 3. Gut yang dilakukan untuk shaman : jenis gut ini terdiri dari naerimgut

(sebuah ritual yang dilakukan untuk menjadi shaman) dan jinjeokgut (ritual yang dilakukan untuk persembahan kepada arwah yang melindungi mereka)

4. Gut yang dilakukan untuk memohon keberuntungan : gut yang bersifat pribadi terdiri dari jaesugut, seoungju maji (ritual yang dilakukan untuk pindahan rumah), honin yetam (ritual yang dilakukan saat sebelum menikah), dosin gut dan jeolgigut ( ritual yang dilakukan secara musiman). Gut untuk kepentingan masyarakat yang terdiri dari daedong gut, byeolsin gut, bugunje, dodang gut, dangsan gut,

(9)

yeongdeung gut, pungeoje, yeonsin gut (ritual yang dilakukan di atas kapal ikan).

Seperti banyak bangsa di Asia Timur lainnya, rakyat Korea mudah untuk memeluk agama. Pandangan religius mereka tidak tertanam pada satu agama saja. Namun, berbagai kombinasi kepercayaan dan agama diimpor ke Korea. Masuknya berbagai agama ke Korea tidak menyebabkan ditinggalkannya kepercayaan dan praktik-praktik Shamanisme. Masyarakat tetap menerima unsur-unsur keyakinan tradisional tersebut sebagai salah satu aspek penting kebudayaan Korea. Oleh karena itu, hingga kini Shamanisme masih tetap eksis di dalam kehidupan masyarakat Korea1.

Di Korea, kepercayaan terhadap Shamanisme atau alam gaib merupakan bentuk paling awal dari kehidupan spiritual masyarakat Korea. Kepercayaan ini telah dipraktikkan sejak zaman prasejarah. Shamanisme Korea berakar dari kebudayaan masyarakat pedalaman daratan yang telah berusia lebih dari 40 ribu tahun. Kata shaman disamakan dengan “dukun, “tabib”, “psychopomp”, mistik, dan puitis (Eliade, 1974).

Di Korea, meskipun shaman di dominasi oleh perempuan, namun ada juga shaman laki-laki yang disebut paksu. Shaman sering mendapat diskriminasi dari masyarakat setempat. Shaman juga merupakan kelompok minoritas, karena        1  http://www.google.com/url?sa=t&source=web&cd=5ved=0CC8QFjAE&url=http%3A%2F%2Felisa 1.ugm.ac.id%2Ffiles%2Fsuray_daryl%FHscuwpcz%2FConfucianism.Doc&rct=j&q=shaman%20di% 20korea&ei=PtlNVPjXB‐XDmQWhi4KwBA&usg=AFQjCNEQIiWhlRC3_fUM6LpJfg4XfV‐oJQ&sig2=‐ M2lf1BlKwPcdoQCotFpHg&bvm=bv.77880786,d.dGY 

(10)

jumlah penganut mereka lebih sedikit dibanding penganut kepercayaan lain. Kehidupan sosial para shaman tersebutlah yang menjadi daya tarik bagi penulis untuk meneliti lebih jauh, karena apabila kita melihat drama Korea yang sedang booming saat ini lebih banyak menceritakan tentang percintaan remaja. Kehadiran. Drama The Moon That Embraces The Sun yang memiliki tema kehidupan sosial shaman memberikan warna baru dalam sejarah drama Korea.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori sosiologi sastra Swingwood yang mana teori tersebut mengacu kepada masalah sosial. Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature, Swingwood (1972) mendefinisikan sosiologi sastra sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial (Faruk, 2003:1). Teori Swingwood ini sepadan dengan masalah yang terjadi dalam penelitian ini mengenai masalah sosial kehidupan shaman dalam drama The Moon That Embraces The Sun.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini ada masalah yang akan menjadi fokus penelitian, yaitu representasi kehidupan dan pengaruh shaman dalam drama The Moon That Embrace The Sun.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian difokuskan pada kehidupan para shaman dalam drama The Moon That Embarces The Sun. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi

(11)

representasi kehidupan dan pengaruh shaman dalam drama The Moon That Embrace The Sun.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah menambah pengetahuan terhadap kehidupan sosial shaman dalam drama Korea. Selain itu, pembaca diharapkan mampu memperkaya pengetahuan mengenai aplikasi teori sosiologi sastra Swingwood melalui penelitian ini.

Tujuan praktis penelitian ini adalah memberikan informasi kepada pembaca tentang bentuk kehidupan sosial para shaman di Korea pada zaman Joseon. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan tinjauan bagi peneliti berikutnya.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian yang menggunakan teori sosiologi sastra telah banyak dilakukan sebelumnya. Di Jurusan Bahasa Korea UGM, ada beberapa penelitian yang menggunakan teori ini, yaitu skripsi dari Norwegia Sinaga yang berjudul Realita Masyarakat pada masa Penjajahan Jepang dalam Antalogi Puisi buat Rakyat Indonesia Pendekatan Sosiologi Sastra”. Dalam skripsinya, hal yang diungkapkan adalah mengenai unsur-unsur kepuitisan dalam antalogi puisi. Kehidupan masyarakat Korea pada masa penjajahan Jepang yang diceritakan dalam antalogi puisi. Selain itu, skripsi ini juga membahas kehidupan masyarakat Korea sebenarnya pada masa penjajahan Jepang.

(12)

Skripsi lain yang menggunakan teori sosiologi sastra adalah Nyoman Mirah Trinipastika dengan judul skripsinya Representasi Modernisasi di Korea : Kajian Sosiologi sastra dalam Film The Way Home. Dalam skripsi tersebut, diungkapkan mengenai modernisasi atau perubahan bentuk fisik berupa benda-benda dan bentuk non-fisik berupa bahasa, interaksi sosial dan pola pikir masyarakat modern.

Selain itu, penulis juga meneliti skripsi dari jurusan Sastra Indonesia UGM yang menggunakan teori sosiologi sastra. Wahyu Budi Utomo menulis skripsi berjudul Gerakan Mahasiswa Angkatan 66 dalam Skenario Film GIE Karya Riri Riza. Skripsi ini menjelaskan tentang konteks sosial pengarang dan kondisi sosial yang melatar belakangi penciptaan skenario Gie.

Dari tinjuan pustaka yang telah dikumpulkan diatas, dapat dianalisis beberapa perbedaan dan pembaharuan penelitian yang dilakukan oleh masing-masing penulis. Dari ketiga tinjauan pustaka diatas, belum ada yang pernah membahas tentang kehidupan sosial shaman di drama Korea. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa penelitian mengenai kehidupan shaman didalam drama Korea belum pernah dilakukan.

1.6 Landasan Teori

Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Sosiologi Sastra. Hal itu terjadi karena kehidupan sosial shaman dalam drama The Moon That Embraces The Sun merupakan fakta sosial yang terjadi di Korea. Sosiologi adalah satu kajian mengenai manusia dalam hubungan dengan kelompoknya. Oleh

(13)

karena itu, ia mengkaji hubungan saling tindakan didalam dan diantara kelompok manusia (J.S Roucek dan R.I Warren 1984: 3). Hubungan antara sastra dan sosiologi menurut Wellek dan Warren (1990:109) adalah sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial.

Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature, Swingwood (1972) mendefinisikan sosiologi sastra sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial (Faruk, 2003:1). Swingwood mengatakan lewat penelitian yang ketat mengenai lembaga-lembaga sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga, yang secara bersama sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial, sosiologi, dikatakan memperoleh gambaran mengenai cara-cara manusia menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kulturural, yang dengannya individu-individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam struktur sosial (Faruk 2003:1).

Menurut Swingwood (1972:11) menyatakan bahwa sosiologi merupakan studi yang ilmiah dan objektif, mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga sosial dan proses sosial. Swingwood juga memaparkan bahwa sastra dan sosiologi memiliki objek yang sama, yaitu manusia dan lingkungannya. Sama halnya dengan sosiologi, sastra juga peduli akan dunia sosial manusia, mengadaptasinya, dan ada keinginan untuk merubahnya.

(14)

Dalam bukunya, Swingwood menjabarkan tiga pendekatan yang berkaitan dengan penelitian sosiologi sastra. Ketiga hal tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

a. Pendekatan yang menangkap karya sastra sebagai cerminan sosial, yang merefleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan

b. Pendekatan yang menyoroti situasi penulisnya

c. Pendekatan yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dalam sebuah keadaan sosial tertentu

Ketiga teori ini dapat berdiri sendiri atau diungkapkan sekaligus dalam sebuah penelitian. Teori ini menitikberatkan pada penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dalam sebuah keadaan sosial budaya tertentu.

Jadi, penelitian ini akan menggunakan teori sosiologi Swingwood karena teori tersebut banyak membahas masyarakat dan kehidupannya. Hal ini sangat relevan dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi kehidupan para shaman di dalam drama The Moon That Embraces The Sun.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap penelitian, yaitu

1. Melakukan studi pustaka untuk menentukan objek material, peneliti menentukan objek material yaitu drama The Moon That Embraces That Sun.

(15)

2. Menonton, memahami, dan mengamati hal-hal yang menarik untuk diangkat dalam objek formal dalam drama The Moon That Embraces That Sun.

3. Menentukan objek formal yang sesuai untuk melakukan penelitian, yaitu teori sosiologi sastra milik Swingwood.

4. Menyusun rancangan penelitian berupa pembuatan outline dan rencana penelitian.

5. Melakukan analisis data dengan menggunakan teori sosiologi sastra Swingwood.

6. Menarik kesimpulan dari hasil analisis data yang telah dilakukan sebelumnya.

7. Menyusun dan menyajikan hasil analisis data.

1.8 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari tiga bab. Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjaun pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian. Bab II berisi tentang paparan analisis mengenai representasi kehidupan dan pengaruh shaman dalam drama The Moon That Embrace The Sun. Selanjutnya bab III adalah kesimpulan

Referensi

Dokumen terkait

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis keluhan pasien berupa gatal terutama pada sela jari, dan pergelangan tangan, terutama

Bangun Samudra jangan sampai menyekutukan Allah dalam bentuk tandingan apapun, kita wajib iman kepada Allah. Sehingga kita tidak termasuk umat yang musyrik. jadi

(3).Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara

Pendidikan karakter melalui musik merupakan salah satu cara yang memuat potensi besar dalam mendidik manusia di zaman sekarang, namun perlu diteliti lebih lanjut jenis musik

- Pemberian terapi kombinasi metformin dan oksigen hiperbarik meningkatkan ketebalan ukuran kolagen di jaringan kulit yang terinfeksi bakteri anaerob ( Pseudomonas

Tentunya, hasil pengujian betentangan dengan teori legitimasi dimana semakin besar ukuran industri maka semakin besar tingkat pengungkapan aktivitas sosial yang dilakukan

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nafisa Chorul Mar’ati, (2014) yang meneliti “Pengaruh Kualitas Pelayanan (X1) dan harga (X2) terhadap

produktif yang dinilai berdasarkan kolektibilitasnya. Berdasarkan Kolektibilitas kredit dapat digolongkan menjadi: kredit lancer, kredit kurang lancer, kredit diragukan dan