• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. Penulis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KATA PENGANTAR. Penulis"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas kurnia-Nya, karya ilmiah ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada pembimbing dr. I Made Pande Dwipayana, SpPD-KEMD, FINASIM yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti program SP1, Khususnya dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam/ FK Unud RSUP Sanglah Denpasar Prof. Dr. dr. I D.N. Wibawa, SpPD-KGEH atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Studi Pendidikan Spesialis pada Prodi Ilmu Penyakit Dalam FK Unud RSUP Sanglah Denpasar. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan pula kepada Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar Dr.dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM, FINASIM atas fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian karya ilmiah ini.

(3)

DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar………….………... i Daftar Isi ……….……….. ii Pendahuluan……… ……….. 1 Epidemiologi ………...… …..………. ………... 2 Diabetes Mellitus …………...………..2 Tuberkulosis………. ………… ….……… 3

Hubungan DM dengan Infeksi TB……….………. 7

Manifestasi Klinis Infeksi TB pada DM……….9

Jenis Infeksi TB pada Penderita DM ………. 10

Pemeriksaan radiologi pasien TB dengan DM ……….10

Sputan BTA pasien TB dengan DM ……….. 10

Deteksi dini dan pencegahan aktivasi TB laten……….. 11

Resiko Multi Drug Resistant Tuberkulosis Pada DM ………11

Tatalaksana ……….12

Prognosis ……… 14

Ringkasan ………... 14

Daftar pustaka ………15

(4)

Dwiputra Yogi P, Pande Dwipayana, Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP

Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Prevalensi diabetes mellitus (DM) meningkat diseluruh dunia, terutama di kawasan Asia. Jumlah pasien DM di dunia diperkirakan meningkat menjadi 366 juta kasus pada tahun 2030. Prevalensi DM di Indonesia mencapai 6,6% pada laki-laki dan 7,1% pada perempuan, dengan prevalensi untuk total populasi sebesar 6,9% (1).

Data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa DM akan meningkatkan risiko infeksi tuberkulosis (TB) tiga kali lebih besar dari populasi normal. Peningkatan kasus DM merupakan faktor resiko untuk terinfeksi TB, hal ini akan memiliki dampak yang penting dalam pengendalian TB dan perawatan pasien dengan komorbid DM TB. Sejumlah orang dengan TB atau DM tidak terdiagnosis atau terlambat didiagnosis. Pasien DM yang didiagnosis TB memiliki risiko kematian lebih tinggi selama pengobatan TB dan risiko kambuh setelah selesai pengobatan (2,3).

Indonesia menjadi negara dengan pasien TB tertinggi ke-3 pada tahun 2007 dan menjadi yang kelima pada tahun 2010. Kecenderungan penurunan kasus TB secara global belum mencapai target ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya tambahan untuk meningkatkan deteksi TB dan kesuksesan terapi melalui peninjauan pada populasi khusus dengan faktor risiko TB, di antaranya DM (3).

Banyaknya pasien DM yang mengalami TB dapat meningkatkan morbiditas maupun mortalitas TB maupun DM. Dengan demikian penting untuk diketahui lebih lanjut epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, maupun pengobatan kasus TB yang terjadi pada pasien DM.

(5)

Epidemiologi

Sampai saat ini DM telah menjadi pandemic yang terus meningkat. Jumlah pasien DM di dunia diperkirakan meningkat menjadi 366 juta pada 2030 dengan peningkatan tercepat pada negara berpendapatan rendah dan menengah. Lebih dari 350 juta orang di seluruh dunia menderita DM dan lebih dari 80% kematian karena DM terjadi di negara pendapatan rendah dan menengah (3).

Sekitar sepertiga penduduk dunia diperkirakan menderita infeksi laten

Mycobacterium TB dan 95% tersebar di negara berkembang. Data tahun 2012

tercatat 8,6 juta orang menderita TB dimana 1,3 juta meninggal akibat penyakit ini. Jumlah kasus TB yang terjadi di dunia setiap tahun masih terus bertambah, meskipun tingkat peningkatannya melambat. Satu per tiga orang di dunia terinfeksi TB laten. Orang dengan TB laten memiliki kemungkinan jangka panjang menjadi TB aktif terutama pada penderita dengan gangguan sistem imun (3).

Pandemi DM semakin meningkat dengan sepertiganya diperkirakan menderita TB laten. Delapan dari sepuluh negara dengan insidens DM tertinggi juga merupakan negara dengan infeksi TB tertinggi. Pada penderita DM dengan infeksi TB laten akan menjadi TB aktif sebesar 10 % (4).

Alisjahbana dkk. dari Indonesia melakukan penelitian kohort yang menunjukkan bahwa prevalensi DM pada penderita TB adalah 14,8% dibandingkan 3,2% pada populasi normal. Pada tahun 2008, Jeon dan Murray melakukan studi metaanalisis dari 13 penelitian dengan hasil bahwa penderita DM memiliki risiko 3,11 kali lebih besar terkena TB dibandikan tanpa DM. Penyakit DM sangat mungkin meningkatkan epidemi TB secara bermakna dan menjadi masalah besar di masa yang akan datang (5,6,7).

Diabetes melitus

DM diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM tipe khusus yang lain, dan DM pada kehamilan. Secara klinis, berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien DM, baik keluhan klasik maupun keluhan tambahan. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak

(6)

dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan tambahan lainnya berupa lemah badan, kesemutan, gatal, pandangan kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita (8).

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan maka pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, bila keluhan klasik ditemukan dan pemeriksaan glukosa darah puasa >126 mg/ dL, maka pasien dapat didiagnosis DM. Ketiga, dengan Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Berdasarkan standar WHO, tes tersebut dilakukan setelah pasien puasa minimal delapan jam lalu diberikan beban glukosa 75 g yang dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam lima menit. Bila pemeriksaan glukosa darah setelah dua jam pemberian glukosa ini >200 mg/dL, maka diagnose DM dapat ditegakkan (8).

Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium

tuberculosis complex. Gejala klinis yang dapat timbul, antara lain demam dan

keringat malam, penurunan berat badan, batuk lebih dari 2 minggu, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara napas yang melemah, dan rhonki basah. Diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium TB dalam sputum atau jaringan paru biakan. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan pencitraan radiologi, pemeriksaan BACTEC, Polymerase Chain Reaction (PCR), Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA), Immunochromatographic

Tuberculosis (ICT), Mycodot, Peroksidase Anti Peroksidase (PAP) (9).

Semua Pasien dengan TB harus dilakukan penapisan DM. Penapisan TB pada pasien DM juga harus dilakukan terutama pada negara dengan prevalensi TB yang tinggi seperti Indonesia.(3).

Penularan TB umumnya terjadi melalui droplet yang terhirup akan membentuk sarang pneumonia atau sarang primer. Dari sarang primer dapat terjadi peradangan saluran getah bening (limfangitis lokal) yang diikuti pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Kompleks primer ini dapat sembuh tanpa meninggalkan cacat, sembuh dengan meninggalkan fibrotik atau kalsifikasi, ataupun menyebar secara perkontinuitatum,

(7)

bronkogen, limfogen, maupun hematogen. Kejadian tersebut merupakan perjalanan tuberculosis primer (9,10).

Tuberkulosis pasca primer diawali dengan pembentukkan sarang pneumonia, umumnya di segmen apical lobus superior maupun inferior. Sarang pneumonia tersebut dapat diresorbsi dan sembuh tanpa cacat, meluas dan menyembuh dengan fibrotik dan perkapuran, atau meluas dan mengalami nekrosis kaseosa membentuk kavitas. Kavitas tersebut dapat meluas dan membentuk sarang pneumonia baru, membentuk tuberkuloma, atau menyembuh membentuk kavitas terbuka yang sembuh (9,10).

Baik imunitas alamiah maupun imunitas adaptif berperan dalam mekanisme pertahanan terhadap Mycobacterium TB. Imunitas alamiah yang diawali oleh ikatan antara Mycobacterium TB dengan reseptor fagosit dan masuknya Mycobacterium TB ke dalam makrofag alveolar, sel dendrit, maupun monosit, merupakan kunci untuk terbentuknya imunitas adaptif terhadap

Mycobacterium TB. Imunitas adaptif berupa imunitas yang diperantarai oleh sel,

akan menimbulkan resistensi terhadap Mycobacterium TB dan menyebabkan terbentuknya hipersensitivitas terhadap antigen TB (11).

Terdapat tiga kemungkinan hasil akhir paparan Mycobacterium TB. Pertama, Kuman TB ini segera dieliminasi oleh pejamu setelah inhalasi. Kemungkinan kedua menghasilkan infeksi laten yang dapat mengalami aktivasi seperti pada kondisi imunokompromais. Ketiga, mengakibatkan terjadi infeksi primer (11).

Rangkaian interaksi antara makrofag dengan kuman TB dan peran makrofag sebagai respons pejamu diawali dengan ikatan M. tuberculosis pada permukaan makrofag, kemudian dilanjutkan dengan fusi fagosom-lisosom, hambatan pertumbuhan kuman TB, perekrutan sel imun tambahan untuk respons inflamasi lokal, dan presentasi antigen kepada sel T untuk perkembangan imunitas adaptif (10,11).

Fagositosis Mycobacterium TB oleh makrofag alveolar yang belum teraktivasi merupakan peristiwa pertama yang terjadi dalam hubungan pejamu dengan patogen. Mycobacterium TB masuk ke dalam makrofag alveolar dengan

(8)

cara endositosis. Yang diperantarai oleh sejumlah reseptor yang terdapat di permukaan makrofag. Reseptor komplemen (CR1, CR2, CR3, dan CR4), reseptor mannose (MR), dan molekul reseptor yang lain (CD14, scavenger receptor) memainkan peranan penting dalam terjadinya ikatan antara kuman dengan fagosit. Sejumlah sitokin mempengaruhi ekspresi dari reseptor permukaan sel tersebut. Prostaglandin E2 (PGE2) dan interleukin (IL)-4 meningkatkan ekspresi reseptor komplemen dan reseptor mannosa, sedangkan interferon- g (IFN-g) menurunkan ekspresi reseptor dan menyebabkan berkurangnya kemampuan mikobakteria untuk melekat pada makrofag (10,11).

Stadium awal TB primer ditandai oleh proliferasi M. tuberculosis di dalam makrofag alveolar. Proliferasi ini pada akhirnya dapat menyebabkan lisis makrofag. Lisisnya makrofag melepaskan berbagai kemoatraktan, seperti komplemen, molekul bakteri, dan sitokin yang merekrut dan mengaktivasi lebih banyak makrofag imatur, termasuk sel dendrit. Makrofag-makrofag tersebut kemudian bermigrasi ke dalam aliran limfatik dan mempresentasikan antigen

Mycobacterium TB pada limfosit T, dengan perantara MHC kelas II. Pada saat ini,

pembentukan imunitas yang diperantarai sel dimulai (10,11).

Toll like receptor (TLR) juga diperkirakan memiliki peranan dalam pembentukan imunitas adaptif terhadap Mycobacterium TB. Akibat utama dari interaksi antara TLR pada makrofag dan sel dendrit dengan M. tuberculosis adalah terjadinya sekresi sitokin dan kemokin. Sitokin dan kemokin ini selanjutnya bertanggung jawab dalam pembentukan respon imun adaptif terhadap

Mycobacterium TB (10,11).

Limfosit T CD4 merupakan sel yang memainkan peran paling penting dalam respon imun adaptif terhadap Mycobacterium TB. Apoptosis atau lisis sel-sel yang terinfeksi oleh sel-sel T CD4 juga dapat memainkan peranan dalam mengontrol infeksi. Limfosit T CD4 ini akan berdiferensiasi menjadi sel Th1 dan Th2, yang memproduksi sitokin. Th1 memproduksi IFN-g dan IL-2 dan berperan pada timbulnya imunitas humoral (10,11).

Limfosit T CD8 juga memiliki peranan dalam proteksi terhadap TB. Sel CD8 juga memiliki kemampuan untuk mensekresi sitokin, seperti IFN-g dan IL-4.

(9)

IFN-g merupakan molekul efektor penting yang menyebabkan makrofag mampu menahan infeksi Mycobacterium TB. Sitokin ini dapat meningkatkan presentasi antigen, sehingga merekrut lebih banyak limfosit T CD4 dan atau limfosit T sitotoksik yang akan berpartisipasi pada pembunuhan Mycobacterium TB (10,11).

IFN-g juga menstimulasi pembentukan fagolisosom pada makrofag yang terinfeksi dan memaparkan kuman pada suatu lingkungan yang sangat asam. Selain itu, IFN-g menstimulasi ekspresi dari inducible nitric oxide synthase (iNOS) yang menghasikan nitric oxide (NO). NO menyebabkan timbulnya

reactive nitrogen intermediates dan radikal bebas lainnya yang mampu

menyebabkan destruksi oksidatif pada bagian-bagian kuman, mulai dari dinding sel hingga DNA. Selain menstimulasi makrofag untuk membunuh M. tuberculosis, respons Th juga merancang pembentukan granuloma dan nekrosis kaseosa (10,11).

(10)

Hubungan DM dengan infeksi TB

Hubungan antara TB dan DM sudah lama diketahui. Orang dengan sistem imun rendah karena penyakit kronik seperti DM memiliki risiko lebih tinggi berkembangnya TB laten menjadi TB aktif. Pasien DM memiliki 2 sampai 3 kali risiko untuk menderita TB dibanding orang tanpa DM. Sistem kekebalan tubuh bawaan terganggu oleh tingginya tingkat glukosa darah. Kadar hemoglobin terglikasi (HbA 1C) ≥ 7% memiliki risiko relatif TB sebesar 3 kali dibanding dengan mereka dengan HbA 1C <7% (3).

Paru pada penderita DM akan mengalami perubahan patologis, seperti penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang merupakan akibat sekunder dari komplikasi mikroangopati sama seperti yang terjadi pada retinopati dan nefropati. Gangguan neuropati dari saraf otonom dapat berupa hipoventilasi sentral dan sleep apneu. Selain itu juga dapat terjadi penurunan elastisitas rekoil paru, penurunan kapasitas difusi karbon monoksida, dan peningkatan endogen produksi karbondioksida (13).

Kejadian infeksi paru pada penderita DM merupakan akibat kegagalan sistem pertahanan tubuh, dalam hal ini paru mengalami gangguan fungsi pada epitel pernapasan dan juga motilitas silia. Gangguan fungsi dari endotel kapiler vaskular paru, kekakuan korpus sel darah merah, perubahan kurva disosiasi oksigen akibat kondisi hiperglikemia yang lama menjadi faktor kegagalan mekanisme pertahanan melawan infeksi (14).

Peningkatan risiko TB aktif pada penderita DM diduga akibat dari gangguan sistem imun yang ada pada penderita DM, peningkatan daya lekat kuman

Mycobacterium TB pada sel penderita DM, adanya komplikasi mikroangiopati,

makroangiopati dan neuropati, dan banyaknya intervensi medis pada pasien tersebut (15).

Terdapat sejumlah hipotesis yang menjelaskan meningkatnya insiden TB paru pada pengidap diabetes adalah mengenai peran sitokin sebagai suatu molekul yang penting dalam mekanisme pertahanan manusia terhadap TB. Selain itu, ditemukan juga aktivitas bakterisidal leukosit yang berkurang pada pasien DM, terutama pada mereka yang memiliki kontrol gula darah yang buruk (5). Meningkatnya risiko TB pada pasien DM diperkirakan disebabkan oleh defek pada makrofag alveolar atau limfosit T. Wang et al. mengemukakan adanya

(11)

peningkatan jumlah makrofag alveolar matur pada pasien TB paru aktif. Namun, tidak ditemukan perbedaan jumlah limfosit T yang signifikan antara pasien TB dengan DM dan pasien TB saja. Proporsi makrofag alveolar matur yang lebih rendah pada pasien TB yang disertai DM, seperti yang ditemukan dalam penelitian ini, dianggap bertanggungjawab terhadap lebih hebatnya perluasan TB dan jumlah bakteri dalam sputum pasien TB dengan DM (16).

Kadar sitokin TNF- alfa dan IFN- g meningkat pada pasien dengan TB dan DM, kedua sitokin ini penting untuk aktivasi makrofag dan membatasi infeksi. Hal ini menunjukkan bahwa respons sel imun selular menurun dan membutuhkan rangsangan yang lebih tinggi untuk optimalisasi respons imun (17).

(12)

Gambar2. Respon imun terhadap mycobacterium tuberculosis (18).

Manifestasi klinis infeksi TB pada DM

Pada pasien TB yang juga menderita DM dapat ditemukan gejala, seperti batuk lebih dari 2 minggu, batuk berdarah, sesak nafas, demam, keringat malam, dan penurunan berat badan, namun gejala cenderung lebih banyak dan keadaan umum lebih buruk dan memiliki risiko penularan TB yang lebih tinggi. Infeksi TB paru dengan DM dapat memberikan gambaran infiltrat di lobus manapun daripada pola klasik di bagian segmen apeks posterior (4). Hal ini didukung oleh beberapa laporan penelitian oleh Park dkk. dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan

(13)

gejala antara pasien TB yang menderita DM dan non-DM. Alisjahbana dkk. dalam penelitiannya di Indonesia menunjukkan bahwa pasien TB dengan DM sebelum mendapatkan terapi memiliki gejala yang lebih banyak dibandingkan pasien TB tanpa DM. Wang et al. menemukan bahwa pasien DM dengan TB paru menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi terhadap demam, hemoptisis, pewarnaan sputum BTA yang positif, lesi konsolidasi, kavitasi, dan lapangan paru bawah, serta angka kematian yang lebih tinggi (2,3,19).

Jenis infeksi TB pada penderita DM

Gangguan imunitas seluler pada DM menyebabkan gambaran infeksi TB paru yang atipikal. Supresi sistem imunitas meningkatkan risiko infeksi TB ekstra paru. DM dengan gangguan imunitas seluler sangat mungkin meningkatkan risiko kejadian ekstra paru, namun hal ini tidak didukung oleh hasil penelitian yang ada. Nissapatom dkk. menunjukkan bahwa TB ekstra paru didapatkan 4,6% pada penderita dengan DM dan 13% pada penderita tanpa DM. Sedangkan penelitian di Guinea, Meksiko, Texas dan Amerika juga menunjukkan persentase yang lebih besar pada penderita non DM (20).

Pemeriksaan radiologi pasien TB dengan DM

Pada beberapa penelitian gambaran radiologi penderita TB paru dengan DM telah dideskripsikan sebagai gambaran yang atipikal, kebanyakannya melibatkan lobus bawah paru dengan gambaran kavitas. Park dkk. menemukan bahwa terdapat perbedaan gambaran foto toraks antara pasien DM dan non-DM dimana Pasien didapatkan kavitas lebih banyak pada pasien DM yang terdiagnosis TB (3). Patel dkk. pada penelitiannya di India melaporkan bahwa didapatkan 84% pasien TB dengan DM yang menunjukkan gambaran TB pada lobus bawah dan hanya 16% pada bagian atas paru. 32% menunjukkan keterlibatan kedua bagian paru, dan 68% hanya di satu sisi paru. Perbedaan gambaran radiologis tersebut disebabkan oleh karena penderita DM memiliki gangguan pada imunitas selular dan disfungsi sel PMN (21).

Sputum BTA pasien TB dengan DM

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penderita TB dengan DM memiliki persentasi BTA sputum lebih tinggi, konversi BTA lebih lama dan lebih

(14)

cenderung mengalami resistensi teradap OAT. Hal ini menunjukkan bahwa penderita TB dengan DM sangat mungkin dalam kondisi yang lebih parah dan memiliki risiko penularan TB yang lebih tinggi (4).

Alisjahbana dkk. mendapatkan bahwa setelah terapi TB selama 6 bulan, ditemukan hasil kutur yang masih positif 7,65 kali lebih tinggi pada pasien yang juga menderita DM dibandingkan penderita tanpa DM. penelitian ini memberikan kesimpulan peningkatan risiko waktu konversi untuk kultur sputum pada penderita TB dengan DM (7).

Deteksi dini dan Pencegahan aktivasi TB laten

WHO merekomendasikan untuk deteksi dini adanya infeksi TB pada pasien DM, demikian sebaliknya mendeteksi adanya DM pada pasien TB. Pada pasien yang terdiagnosis DM, para dokter disarankan mengevaluasi secara rutin akan adanya keluhan seperti batuk > 2 minggu, demam yang terus menerus, penurunan berat badan dan keringat malam. Bila ditemukan gejala tersebut disarankan melakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengevaluasi adanya infeksi TB (22).

Pemberian profilaksis terapi bagi yang menderita TB laten dengan menggunakan isoniazid selama 9 bulan. Terapi ini harus disertai pemberian vitamin B6 untuk mengurangi efek samping neuropati perifer. Namun pemberian terapi profilaksis hanya diindikasikan pada populasi yang berisiko, seperti penderita DM yang tinggal atau kontak terus menerus dengan penderita TB (23). Risiko multi drug resistant tuberculosis pada DM

Beberapa studi menyebutkan tidak ada hubungan resiko peningkatan resiko

multi drug resistant (MDR) pada pasien DM dengan TB namun terdapat beberapa

studi lain yang menyebutkan adanya kaitan antara MDR pada pasien dengan DM koinfeksi TB. Jenis obat yang pernah dilaporkan mengalami resistensi adalah rifampisin dan isoniazid. Tidak ada penjelasan pasti yang menerangkan hubungan DM pada kejadian MDR. Salah satu hipotesis meyebutkan hubungan katG gen yang berperan dalam perlindungan mycobacterium terhadap penghancuran oksidatif dan juga dalam mengkode enzim yang mengubah isoniazid menjadi

(15)

bentuk aktif. Pada DM tipe 2, produksi oksigen reaktif mengalami gangguan, sehingga strain dengan mutasi KatG mungkin akan dapat bertahan hidup (23). Tatalaksana

WHO merekomendasikan terapi pada penderita TB dengan DM harus ditangani secara serius. Terapi TB pada pasien dengan DM juga tidak mudah, terdapat interaksi farmakologis antara terapi TB dengan DM. Selain itu terjadi peningkatan risiko hepatotoksik karena terapi OAT pada pasien TB dengan DM (15). Setelah diperkenalkan terapi insulin pada tahun 1922, TB masih tetap menjadi ancaman yang serius dan mematikan pada pasien DM. Namun, dengan pengobatan anti-TB yang efektif, prognosisnya akan jauh lebih baik. Prinsip pengobatan TB paru pada pasien DM serupa dengan yang bukan pasien DM, dengan syarat kadar gula darah terkontrol. Panduan dari perhimpunan dokter paru Indonesia (PDPI) menyarankan paduan OAT dan lama pengobatan yang pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan sarat gula darah terkontrol dengan baik. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan. Jenis kombinasi dan lama pengobatan TB paru tergantung dari kasus TB paru yang diderita pasien dan disesuaikan dengan kategori pengobatan TB (9).

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan pengobatan TB paru pada pasien DM, salah satunya adalah kontrol kadar gula darah dan efek samping OAT. Obat lini pertama yang biasa digunakan adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol ,dan streptomicin (9,24).

Penggunaan isoniazid pada pasien TB dengan DM harus lebih ketat dipantau efek neuropati perifer. Efek samping pemberian isoniazid adalah berupa gejala-gejala pada saraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki, dan nyeri otot. Keadaan ini terkait dengan terjadinya defisiensi piridoxin (Vit B6) sehingga dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 10 mg/ hari atau dengan vitamin B kompleks (9,24).

Keadaan yang perlu diperhatikan ialah pemberian rifampisin pada pasien DM yang menggunakan obat oral antidiabetes sulfonilurea karena dapat mengurangi efektivitas obat tersebut. golongan obat sulfonilurea dimetabolisme di

(16)

hati oleh enzim sitokrom P450, dan enzim ini diinduksi oleh rifampisin. Kadar obat antidiabetik tersebut kadarnya akan mengalami penurunan jika diberikan bersama rifampisin. Sehingga pada pasien DM, pemberian sulfonilurea harus dengan dosis yang ditingkatkan. Belum diketahui efek rifampisin dan INH terhadap metabolisme insulin, namun diduga tidak berpengaruh oleh karena insulin di degradasi di hati melalui hidrolisis disulfida antara rantai A dan B oleh

insulin degrading enzyme (IDE) (9,22,24).

Metformin tidak dipengaruhi oleh rifampisin, sehingga bisa menjadi obat alternatif yang baik, selain itu metformin juga murah dan menjadi pilihan utama pasien dengan DM tipe 2. Namun jika dikombinasi dengan OAT maka efek samping gastrointestinal meningkat sampai dengan 30%, sehingga dapat menurunkan kepatuhan penderita untuk melanjutkan pengobatan TB atau DM (25).

Penggunaan etambutol pada pasien DM harus hati-hati karena efek sampingnya terhadap mata seperti berkurangnya ketajaman, serta buta warna hijau dan merah , padahal pasien DM sering mengalami komplikasi penyakit berupa kelainan pada mata (9,24).

Pada pasien DM, untuk mengontrol kadar gula darah dilakukan pengobatan sesuai standar pengobatan DM yang dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani selama beberapa waktu. Bila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat oral anti diabetes dan atau dengan suntikan insulin. American Diabetes Association (ADA) pada tahun 2011 memberikan rekomendasi target kendali Glukosa darah yaitu target HbA1C kurang dari 7 atau setara dengan glukosa darah sebesar 154 mg/dl (26). Pasien DM dengan TBC perlu dilakukan penanganan secara agresif untuk mendaptkan kontrol gula darah yang baik sehingga memberikan hasil pengobatan TB yang optimal. Karena besarnya interaksi obat oral antidiabetes dengan obat TB menyebabkan hasil yang tidak optimal, sehingga disini pemberian terapi insulin harus segera dimulai pada pasien DM dengan TB (27).

Dalam praktek, pasien TB dengan DM memiliki berat badan yang lebih tinggi, sehingga sebenarnya perlu diperhitungkan kembali dosis OAT selama

(17)

terapi terutama pada fase lanjut dimana kondisi pasien mulai membaik dan berat badan mulai naik (25).

Prognosis

Pasien dengan DM dan TB memiliki risiko kematian yang lebih tinggi selama terapi juga peningkatan risiko kekambuhan setelah pengobatan, juga dapat memberikan risiko penularan yang lebih besar. Baker dkk. memberikan kesimpulan bahwa DM meningkatkan risiko kegagalan terapi dan kematian sekaligus, kematian saja, dan angka kekambuhan pada penderita TB. Hal ini menekankan akan kebutuhan perhatian yang lebih lanjut mengenai uji saring terhadap DM dan TB di kedua populasi, perbaikan kadar gula darah, panduan terapi, peningkatan monitoring klinik dan terapi (28,29).

Ringkasan

Penderita dengan sistem imun rendah karena penyakit kronik seperti DM memiliki risiko lebih tinggi berkembangnya TB laten menjadi TB aktif. Pasien DM memiliki 2 sampai 3 kali risiko untuk menderita TB dibandingkan orang tanpa DM. Penapisan TB pada pasien DM juga harus dilakukan terutama pada negara dengan prevalensi TB yang tinggi seperti Indonesia. Diperlukan evaluasi rutin penderita DM, dimana bila ditemukan gejala seperti batuk > 2 minggu, demam yang terus menerus, penurunan berat badan dan keringat malam perlu dievaluasi kemungkina terinfeksi TB. Penderita TB dengan DM memeiliki gejala yang sama diabandingkan penderita TB tanpa DM, namun gejala cenderung lebih banyak dan keadaan umum lebih buruk dan memiliki risiko penularan TB yang lebih tinggi. Gambaran radiologi penderita TB paru dengan DM menunjukan gambaran yang atipikal, kebanyakannya melibatkan lobus bawah paru dengan gambaran kavitas. Penderita DM dengan TB memiliki persentasi BTA sputum lebih tinggi, konversi BTA lebih lama dan lebih cenderung mengalami resistensi teradap OAT. Prognosis pasien DM dan TB lebih buruk dimana risiko kematian dan kegagalan yang lebih tinggi, peningkatan risiko kekambuhan setelah pengobatan. Karena buruknya prognosis diperlukan deteksi dini dan penatalaksannaa yang baik pada penderita DM TB dengan pemberian OAT dan mengontrol gula darah sebaik

(18)

mungkin. Pemberian insulin menjadi pilihan terbaik dalam mengontrol gula darah penderita DM dengan TB dikarenakan banyaknya iteraksi antara obat diabetes oral dengan OAT yang memungkinkan meberikan hasil akhir pengobatan yang tidak optimal. Pemberian profilaksis terapi bagi penderita DM dengan pemberian isoniazid diindikasikan pada populasi yang berisiko, seperti penderita DM yang tinggal atau kontak lama dengan penderita TB aktif.

Daftar Pustaka

1. World Health Organization. World Health Statistic 2011. Geneva: WHO Press ; 2011.

2. Alisjahbana B, Crevel RV, Sahiratmadja E, Heijer MD, Maya A, Istriana E, et all. Diabetes mellitus is strongly associated with tuberculosis in Indonesia. Int J Tuber Lung Disc. 2006; 10(6): 696-700.

3. Wijiyanto A, Burhan E, Nawas A, Rochismandoko. Pulmonary tuberculosis in patients with diabetes mellitus type 2. J Respir Indo. 2015; 35 : 1-11

4. Restrepo BI. Convergence of the tuberculosis and diabetes epidemics: Renewal of old acquaintances.Clin Infect Dis. 2007; 45:436-8.

5. Jeon CY, Murray BM. Diabetes mellitus increases the risk of active tuberculosis: Asystematic review of 13 observational studies. Plos Med.2008;5:e152.

6. Guptan A, Shah A. Tuberculosis and diabetes: An appraisal. Ind J Tub. 2000; 47:3-8.

7. Alisjahbana B, Sahiratmadja E, Nelwan EJ, Purwa AM, Ahmad Y, Ottenhoff THM, et al. The effect of type 2 diabetes mellitus on the presentation and treatment response of pulmonary tuberculosis. Clin Infect Dis. 2007; 45:428-35.

8. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Jakarta: PB PERKENI; 2006.

(19)

9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006.

10. Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. Dalam: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. penyunting. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi ke-17. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2008.h.1006-20.

11. Stalenhoef JE, Alisjahbana B, Nelwan EJ, Ven-Jongekrijg VD, Ottenhoff THM, Meer JWM, et al. The role of interferon gamma in the increased tuberculosis risk in type 2 diabetes mellitus. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2008;27:97-103.

12. Ellorriaga G, Pineda DR. Type 2 diabetes mellitus as a risk factor for tuberculosis. J Mycobac Dis. 2014;4 :2

13. Prakash UBS, King TEJr. Endocrine and metabolic disorders. In: Crapo JD, Glassroth J, Karlinsky JB, editors. Baum's textbook of pulmonary diseases. 7th eds. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilson; 2004.

14. Ljubiae S, Balachandran A, Pavliæ-Renar I, Barada A. Pulmonary infections in diabetes mellitus. Diabetologia Croatica. 2004; 33(4): 115-24.

15. Geerlings SE, Hoepelman AIM. Immune dysfunction in patients with diabetes mellitus. FEMS Immunol Med Microbiol. 1999; 26: 259-65.

16. Stalenhoef JE, Alisjahbana B, Nelwan EJ, van der Ven-Jongekrijg, Ottenhoff THM, van der Meer JWM, et al. The role of interferon gamma in the increased tuberculosis risk in type 2 diabetes mellitus. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2008; 27: 97-103.

17. Restrepo BI, Fisher-Hoch SP, Pino PA, Salinas A, Rahbar MH, Mora F, et al. Tuberculosis in poorly controlled type 2 diabetes: Altered cytokine expression in peripheral white blood cells. Clin Infect Dis. 2008; 47:634-41.

18. Martinez N, Kornfeld H. Diabetes and immunity to tuberculosis. Eur J Immunol. 2014;44 : 617-626

19. Wang CS, Yang CJ, Chen HC, Chuang SH, Chong IW, Hwang JJ, et al. Impact of type 2 diabetes on manifestations and treatment outcome of pulmonary tuberculosis. Epidemiol Infect. 2009; 137: 203-10.

(20)

21. Patel AK, Rami KC, Ghanchi FD. Radiological presentation of patients of pulmonary tuberculosis with diabetes mellitus. Lung India. 2011;28(1):70. 22. Reid MJA, McFadden N, Tsima BM. Clinical challenges in the

co-management of diabetes mellitus and tuberculosis in southern Africa. Jemdsa. 2013:18(3);135-140

23. Baghaei P, Marjani M, Javanmard P, Tabarsi P, Masjedi MR. Diabetes mellitus and tuberculosisfact and controversies. Journal of diabetes & metabolic disorder. 2013: 12;58

24. Alisjahbana B, Sahiratmadja E, Nelwan EJ, Purwa AM, Ahmad Y, Ottenhoff THM, et al. The effect of type 2 diabetes mellitus on the presentation and treatment response of pulmonary tuberculosis.J Clin Infect Dis. 2007;45:428-35.

25. Ruslami R, Aarnoutse RE, Alisjahbana B, van der Ven AJAM, van Crevel. Implications of the global increase of diabetes for tuberculosis control and patient care. Trop Med Int Health. 2010;15(11): 1289-99.

26. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes. Diabetes Care. 2011;34:511-61.

27. Niazi AK, Kalra S. diabetes and tuberculosis : a riview of the role of optimal glycemic control. Journal of diabetic & metabolic disorder. 2012: 11;28

28. Dooley KE, Tang T, Golub JE, Dorman SE, Cronin W. Impact of diabetes mellitus on treatment outcomes of patients with active tuberculosis. Am J Trop Med Hyg. 2009;80: 634-9.

29. Baker MA, Harries AD, Jeon CY, Hart JE, Kapur A, Lönnroth K, et al. The impact of diabetes on tuberculosis treatment outcomes: A systemati review. BMC Medicine. 2011; 9:81.

(21)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian adalah ingin menganalisis band L’Arc~en~Ciel untuk mengetahui mengapa mereka bisa populer hingga saat ini dan memberi pengaruh kepada pendengarnya, dengan

dipersembahkan pada petugas lapangan, pada para mahout yang tetap setia mendampingi gajah dampingannya, para polisi hutan yang setia melakukan patroli kawasan, aparat penegak

Laporan Keuangan Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2013 yang terdiri dari: Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan

Hasil uji statistik menggunakan chi square diketahui nilai p-value sebesar 0,013, dimana nilai tersebut lebih kecil dari nilai  0,05 yang berarti bahwa

Hal ini dikarenakan seluruh item instrumen ini memenuhi kriteria-kriteria sebagai item yang baik, yaitu (1) memiliki muatan faktor positif, (2) valid (signifikan,

Najuma’s Tailor menawarkan perkhidmatan menjahit pakaian wanita untuk pelbagai fesyen dan stail pakaian.. 4.2

Namun demikian, untuk menetapkan sebuah tingkat kredibilitas dengan pembaca, saya hanya ingin mengatakan bahwa informasi yang terdapat dalam buku

Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif yang merupakan penelitian ilmiah sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya. Pada penelitian