Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau diarahkan pada penilaian terhadap: efektivitas perlindungan penyu hijau, kinerja pengelolaan penyu hijau dan kondisi populasi penyu hijau.
5.1 Efektivitas Perlindungan Penyu Hijau
Di tingkat internasional penyu hijau dilindungi oleh berbagai negara karena status endangered species dan dikelompokkan dalam Appendix I – CITES. Endangered species adalah status konservasi dalam IUCN Red Data Book dimana spesies yang dalam waktu dekat sangat beresiko mengalami kepunahan. Dalam CITES penyu hijau telah dikelompokkan dalam Appendix I bersama lebih dari 800 spesies yang dilarang diperdagangkan secara komersial. Jenis yang dimasukkan dalam Appendix I adalah jenis yang jumlahnya di alam sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan punah.
Di tingkat nasional penyu hijau telah dilindungi oleh pemerintah melalui penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 bersama 236 jenis satwa dan 58 jenis tumbuhan lain. Setelah delapan tahun perlindungan penyu hijau, eksploitasi penyu di tingkat lokal tidak terkendali baik yang dilakukan oleh masyarakat lokal maupun pihak yang mendapat konsesi pemanenan telur penyu melalui Surat Keputusan Menteri, Surat Keputusan Bupati dan Peraturan Daerah.
Eksploitasi penyu hijau di berbagai wilayah Indonesia mengindikasikan kegagalan kebijakan perlindungan penyu hijau. Penangkapan penyu dan pemanenan telur penyu merupakan permasalahan utama yang dihadapi pihak pengelola.
(i) Pemanenan telur penyu
Dari rekapitulasi data dapat dilaporkan bahwa pemanenan telur penyu terjadi di 24 UPT, yakni: BKSDA Sumbar; BKSDA Riau; BKSDA Sumsel; BKSDA Lampung; BKSDA Bengkulu; BKSDA Jabar I; BKSDA Jabar II; BKSDA Jateng; BKSDA DIY; BKSDA Jatim I; BKSDA Jatim II; BKSDA Bali; BKSDA NTB; BKSDA NTT I; BKSDA Kalbar; BKSDA Kaltim;
BKSDA Sulteng; BKSDA Ambon; BTN Siberut; BTN Bukit Barisan Selatan; BTN Ujung Kulon; BTN Karimunjawa; BTN Meru Betiri; BTN Teluk Cendrawasih. Pada Gambar 38 dapat diketahui lokasi UPT yang melaporkan ada pemanenan telur penyu di wilayah kerjanya.
Gambar 38. Lokasi ke-24 UPT yang ada pemanenan telur penyu Di beberapa UPT terdapat lokasi peneluran penyu ada yang dikonsesikan oleh Pemerintah Daerah untuk dijadikan obyek pajak. Pada Tabel 14 dapat dilihat beberapa lokasi pemanenan telur penyu yang di konsesi oleh pihak lain. Tabel 14. Lokasi peneluran penyu yang dikonsesikan Pemerintah Daerah
No. UPT LOKASI KONSESI
1. BKSDA NTB Lunyuk; Kawinda Toi; dan P. Medang
2. BKSDA Kaltim Kepulauan Derawan (P. Bilang-Bilang; P. Mataha;
P. Balembangan; P. Sambit).
3. BKSDA Sumsel Desa Gersik, Kec. Selat Nasik, Kab. Belitung.
4. BKSDA Jabar I Desa Gunung Batu, Kec. Ciracap, Kab. Sukabumi
5. BKSDA Riau Pulau Tambelan, Kepulauan Riau.
Legalitas yang mendasari penunjukan konsesi peneluran penyu adalah:
1) Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 750/Kpts-II/1999 mendasari eksploitasi telur di P. Tambelan, Kepulauan Riau;
2) Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi No. 2 tahun 2001 diperkuat Surat Keputusan Bupati No. 973/Kep171-BPKD/2001 mendasari eksploitasi telur penyu di Kabupaten Sukabumi;
3) Keputusan Bupati No. 36 tahun 2002 mendasari eksploitasi telur di Kabupaten Berau.
Legalitas yang memberi ijin pemanenan telur penyu menyebabkan konflik kepentingan dengan Unit Pelaksana Teknis Ditjen PHKA.
(ii) Penangkapan penyu
Penangkapan penyu hijau dilaporkan oleh 27 UPT. Pada Gambar 39 dapat diketahui bahwa penangkapan penyu terjadi hampir merata di wilayah Indonesia. Dalam Tri Wibowo, E (1991), pengiriman penyu untuk memasok kebutuhan masyarakat P. Bali berasal dari 31 lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Ada kemiripan antara peta penangkapan penyu dari data tahun 2005 (Gambar 39) dengan peta pengangkutan penyu dari 31 lokasi di Indonesia dari data tahun 1990 (Gambar 11). Selama 15 tahun pola penangkapan penyu di wilayah Indonesia tidak pernah berubah walaupun pada tahun 1999 telah ditetapkan perlindungan penyu hijau.
Gambar 39. Lokasi ke-26 UPT yang ada penangkapan penyu
Dengan adanya UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 8 tahun 1999 melengkapi kebijakan perlindungan spesies agar pemerintah melaksanakan konservasi spesies melalui kegiatan pengawetan dan pemanfaatan spesies.
(1) Pengawetan spesies
Menurut UU No. 5 tahun 1990, bahwa: Pengawetan spesies dapat dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan suaka alam (Pasal 13). Selanjutnya PP No. 7 th 1999 menjelaskan bahwa : Pengawetan spesies dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam dan di luar habitatnya (Pasal 8).
− Pengelolaan di dalam habitatnya meliputi kegiatan: identifikasi; inventarisasi; pemantauan; pembinaan habitat dan populasinya; penyelamatan jenis; pengkajian, penelitian dan pengembangan.
− Pengelolaan di dalam habitatnya meliputi kegiatan: pemeliharaan; pengembangbiakan; pengkajian, penelitian dan pengembangan; rehabilitasi spesies; penyelamatan spesies.
Dari rekapitulasi data dapat diketahui bahwa sebagian besar (26 UPT) lingkup Ditjen PHKA tidak melaksanakan kegiatan pengawetan.
Gambar 40. UPT yang melaksanakan kegiatan pengawetan
(2) Pemanfaatan spesies
Menurut UU No. 5 tahun 1990, Pemanfaatan spesies dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman spesies (pasal 28). Pemanfaatan spesies dilaksanakan dalam bentuk : pengkajian, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran (Pasal 36). Selanjutnya PP No. 8 tahun 1999 menjelaskan pemanfaatan meliputi kegiatan: pengkajian, penelitian dan pengembangan; penangkaran; perburuan; perdagangan; peragaan; pertukaran; dan pemeliharaan untuk kesenangan.
Pemanfaatan penyu hijau belum dilaksanakan oleh UPT lingkup Ditjen PHKA. Pengembangan atraksi wisata penyu di beberapa UPT merupakan pemanfaatan jasa lingkungan penyu. Obyek wisata penyu berada di UPT BKSDA NTB, BKSDA Kaltim dan BTN Karimunjawa. Obyek wisata penyu yang dikelola oleh LSM bekerjasama dengan masyarakat lokal berada di BKSDA DIY dan BTN Taka Bonerate, sedangkan yang dikelola oleh masyarakat lokal berada di BKSDA NTB, BKSDA Kaltim dan BTN Karimunjawa.
5.2 Kinerja Pengelolaan Penyu Hijau
Sejak krisis ekonomi dan politik tahun 1997, terjadi penurunan secara drastis anggaran pemerintah pusat yang disediakan melalui APBN untuk konservasi (PHKA-Dephut, NRM/EPIQ, WWF-Wallacea, TNC, 2002). Pengalokasian dana pengelolaan penyu pada empat UPT, seperti: BTN Meru Betiri Rp.
46.725.000,-/tahun; BTN Ujung Kulon Rp. 70.000.000,-46.725.000,-/tahun; BTN Alas Purwo Rp. 18.000.000,-/tahun dan BKSDA Jawa Timur II Rp. 6.000.000,-/tahun telah
menimbulkan minimnya sarana prasarana dan rendahnya kemampuan sumberdaya manusia.
Kelemahan manajerial memberi gambaran pengelolaan penyu hijau yang dilaksanakan pemerintah sebagai skema kelembagaan yang terpusat (centralized-institutional arrangement) memiliki kewenangan di seluruh Indonesia namun lemah di dalam penanganan ancaman eksploitasi dan penegakan hukum.
Pengelolaan penyu hijau sebagai upaya konservasi spesies yang dilaksanakan di suatu UPT. Pelaksanaan pengelolaan penyu hijau ini tidak berdiri sendiri, tetapi dilaksanakan bersama dengan spesies lain (multi spesies) atau sebagai bagian dari pengelolaan kawasan (konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya).
Untuk mendapat gambaran tentang kegiatan pengelolaan penyu hijau yang ada di 50 UPT diperlukan jawaban atas beberapa pertanyaan, seperti: Apakah input pengelolaan suatu UPT mempengaruhi pengelolaan penyu hijau?; Bagaimana karakteristik pengelolaan penyu hijau dan ancaman terhadap penyu hijau?; Bagaimana peta permasalahan dan kinerja pengelolaan penyu hijau?.
5.2.1 Pengaruh input pengelolaan UPT terhadap pengelolaan penyu hijau Setiap UPT merupakan suatu organisasi/ lembaga/ institusi yang mendapat alokasi dana dan memiliki sumberdaya manusia (SDM) dan beberapa input pengelolaan UPT yang lain diduga mempengaruhi pengelolaan penyu hijau, yakni:
i) Tipe UPT
Tipe UPT dapat memberi gambaran tentang sarana-prasarana yang dimiliki suatu UPT. Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002 dan No. 6187/ Kpts-II/2002 menyebutkan bahwa UPT terdiri dari tiga tipe, yakni: UPT tipe A, UPT tipe B, dan UPT tipe C yang dibedakan oleh susunan organisasi.
Gambar 41. Struktur organisasi UPT tipe A, B, C
ii) Luas kawasan konservasi
Setiap UPT memiliki kawasan konservasi yang berbeda-beda bentuknya, seperti: Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Buru, Taman Wisata Alam, Taman Nasional yang berisi potensi flora dan fauna serta ekosistem yang dikelola oleh suatu UPT.
iii) Luas wilayah kerja
Luas wilayah kerja yang dapat dijadikan ukuran beban dan tanggung jawab pengelola UPT. Untuk UPT BTN diukur dari kawasan konservasi ditambah dengan wilayah teritori, sedangkan UPT BKSDA memiliki ukuran sama dengan luas wilayah admistratif.
iv) Jumlah nesting site penyu hijau di suatu UPT
v) Panjang garis pantai nesting site penyu hijau di suatu UPT.
Pengujian pengaruh input pengelolaan UPT terhadap pengelolaan penyu hijau digunakan Metode Categorical Regression (CATREG). Pada Lampiran 1 dapat dilihat pengujian hubungan antara variabel response (50 UPT) dengan sekelompok predictor (7 variabel dari input pengelolaan). Hasil pengujian dapat diketahui bahwa hubungan antara variabel response dengan sekelompok predictor dapat dijelaskan oleh model Regresi:
Y = 0,48 X1 + 0,425 X2 – 0,304 X3 – 0,253 X4 -0, 172 X5 + 0,114 X6 + 0,09 X7
dimana :
Y = UPT X3 = Dana X6 = Panjang Garis pantai
X1 = Tipe UPT X4 = SDM X7 = Jumlah Nesting site
X2 = Luas KK X5 = Luas Wilayah kerja
Koefisien determinasi: R2 = 0, 521, berarti 52,1% perbedaan UPT (response) yang mampu dijelaskan oleh regresi, sisanya (47,9%) dipengaruhi oleh faktor yang tidak diketahui.
Pengelolaan penyu hijau di 50 UPT tidak dipengaruhi oleh input pengelolaan suatu UPT. Jika akan meningkatkan kuantitas UPT yang mengelola penyu tidak dapat dilakukan dengan peningkatan input pengelolaan, seperti: Tipe UPT, Dana, Jumlah SDM, Luas Kawasan Konservasi, Luas Wilayah Kerja, Panjang Garis Pantai dan Jumlah Nesting Site.
5.2.2 Karakteristik pengelolaan dan ancaman terhadap penyu hijau
Penentuan karakteristik pengelolaan dan ancaman terhadap penyu hijau menggunakan analisis Metode Hierarchical Clustering. Analisis cluster ini mengklasifikasikan data menjasi beberapa kelompok yang memiliki kesamaan (similarity/homogeneous). Analisis Hierarchical Clustering dapat diperiksa pada Lampiran 2. Dendrogram merupakan hasil pengelompokan UPT yang menunjukkan karakteristik pengelolaan (Gambar 42) dan karakteristik ancaman terhadap penyu hijau (Gambar 43).
Gambar 42. Karakteristik pengelolaan penyu hijau
Dari Gambar 42 dapat diketahui bahwa karakteristik pengelolaan terdiri dari tiga cluster, dimana:
Cluster 1 adalah 26 UPT dimana sebagian UPT memiliki nesting site penyu dan tidak mengelola penyu.
Cluster 2 adalah 20 UPT dimana semua UPT memiliki nesting site penyu dan pengelolaannya berbasis pemerintah.
Cluster 3 adalah 4 UPT dimana semua UPT memiliki nesting site penyu dan pengelolaannya berbasis masyarakat.
Gambar 43. Karakteristik ancaman pengelolaan penyu hijau
Pada Gambar 43 dapat diketahui bahwa karakteristik ancaman terhadap penyu hijau ada tiga cluster, yakni:
Cluster 1 adalah 24 UPT yang terdapat ancaman ringan dimana sebagian kecil UPT terdapat penangkapan induk, eksploitasi telur, perdagangan opsetan dan tidak ada konsumsi daging.
Cluster 2 adalah 17 UPT yang terdapat ancaman sedang dimana sebagian besar UPT terdapat penangkapan induk, eksploitasi telur dan konsumsi daging dan tidak ada perdagangan opsetan.
Cluster 3 adalah sembilan UPT yang terdapat ancaman berat dimana semua UPT terdapat penangkapan induk, eksploitasi telur, konsumsi daging dan perdagangan opsetan.
Ada dugaan pengelolaan penyu hijau berkaitan dengan P. Bali, dimana konsumsi daging penyu di P. Bali pernah menimbulkan protes internasional pada tahun 80-an. Karenanya peneliti melakukan pengukuran jarak antara ke-50 Tingkat Kedudukan (TK) UPT terhadap kota Denpasar. Hasil pengukuran dikelompokkan dalam tiga peringkat melalui prosedur recode pada software package SPSS version 13. Hasil pengelompokan dapat dilihat pada Gambar 44.
Gambar 44. Pengelompokan UPT berdasarkan peringkat jarak dari Bali
5.2.3 Memperbandingkan setiap UPT dalam mengelola penyu hijau
Pengelolaan penyu hijau yang berada di 50 UPT lingkup Ditjen PHKA yang akan diperbandingkan satu sama lain dengan metode Multidimensional Scaling (MDS). Pada Lampiran 3 dapat diperiksa hasil analisis Multidimensional Scaling (MDS). Penggunaan dua jenis data, yakni: Matriks Distance tempat kedudukan UPT dan Matriks Dissimilarity UPT akan menghasilkan tampilan yang berbeda, antara lain:
i) Pemetaan permasalahan pengelolaan penyu hijau
Pemetaan permasalahan pengelolaan penyu hijau menggunakan data distance antar Tempat Kedudukan (TK) UPT. Hasil analisis Multidimensional Scaling dari matriks distance antar TK-UPT menghasilkan koordinat TK-UPT dalam 2 dimensi. Dari nilai Stress < 0,01 diketahui bahwa solusi 2 dimensi adalah terbaik karena penambahan Normalized Raw Stress terjadi pada iterasi/ dimensi 1 ke 2 sedangkan iterasi/ dimensi 2 ke 3 tidak ada lagi penambahan Normalized Raw Stress. Jika koordinat TK-UPT tersebut divisualisasikan
melalui prosedur 3D-plot pada software XLSTAT 2006 menghasilkan peta TK-UPT pada ruang euclidean yang menyerupai peta geometrik (Gambar 45).
Gambar 45. Visualisasi koordinat TK-UPT dalam dua dimensi
Untuk memperbandingkan setiap UPT maka koordinat TK-UPT (Gambar 45) dikombinasikan dengan karakteristik ancaman, karakteristik pengelolaan dan zona sehingga dihasilkan pemetaan pengelolaan penyu secara geometrik.
1. Jika koordinat TK-UPT dikombinasikan dengan karakteristik pengelolaan dan karakteristik ancaman.
Gambar 46. Visualisasi koordinat TK-UPT yang dikombinasikan dengan
Karakteristik ancaman dialokasikan pada sumbu z (vertikal) sebagai dimensi ke-3 dan Karakteristik pengelolaan menggunakan spektrum warna sebagai dimensi ke-4.
Tabel 15. Hubungan antara karakteristik pengelolaan dan karakteristik ancaman Tidak ada pengelolaan Pengelolaan berbasis pemerintah Pengelolaan berbasis masyarakat Proporsi Ancaman ringan 4 4 1 18% Ancaman sedang 7 9 1 34% Ancaman berat 15 7 2 48% Proporsi 52% 40% 8%
Dari Gambar 46 dan Tabel 15 dapat diketahui bahwa: ‘Semakin berat ancaman terhadap populasi penyu, semakin banyak UPT yang tidak mengelola penyu’. Peningkatan kuantitas UPT yang mengelola penyu hijau dapat menurunkan ancaman.
2. Jika koordinat TK-UPT dikombinasikan dengan zona dan karakteristik ancaman
Gambar 47. Visualisasi koordinat TK-UPT yang dikombinasikan dengan
Karakteristik pengelolaan dialokasikan pada sumbu z (vertikal) sebagai dimensi ke-3 dan zona menggunakan spektrum warna sebagai dimensi ke-4.
Tabel 16. Hubungan antara zona dan karakteristik pengelolaan Tidak ada pengelolaan Pengelolaan berbasis pemerintah Pengelolaan berbasis masyarakat Proporsi Zona 1 10 10 4 48% Zona 2 11 8 0 38% Zona 3 5 2 0 14% Proporsi 52% 40% 8%
Setelah mempelajari Gambar 47 dan Tabel 16 dapat dinyatakan bahwa semakin dekat jarak UPT dengan P. Bali semakin banyak UPT yang mengelola penyu hijau. Pengelolaan penyu hijau dipengaruhi protes internasional yang berkaitan dengan isu pembantaian penyu yang pernah dialamatkan ke masyarakat adat Bali tahun 80-an.
ii) Penampilan lembaga UPT dalam mengelola penyu hijau
Untuk penilaian kinerja UPT digunakan matriks Dissimilarity antar obyek berasal dari variabel-variabel input pengelolaan. Koordinat UPT yang ada pada ruang eucledian adalah penampilan (performance) lembaga UPT yang diwarnai oleh variabel Dana, SDM, Sarana-prasarana, Luas kawasan konservasi, Luas wilayah kerja, Tipe UPT, Jumlah nesting site dan Panjang garis pantai.
Dari nilai stress 0,1 s/d 0,4 diketahui bahwa solusi 2 dimensi masih cukup baik walaupun solusi terbaiknya 3 dimensi. Penambahan Normalized Raw Stress terjadi pada iterasi/ dimensi 1 ke 2 dan iterasi/ dimensi 2 ke 3, sedangkan iterasi/ dimensi ke 3 ke atas tidak ada lagi penambahan Normalized Raw Stress. Jika koordinat UPT dalam 2 dimensi divisualisasikan melalui prosedur 3D-plot pada software package XLSTAT 2006 akan menghasilkan tampilan (performance) institusi ke 50 UPT pada ruang euclidean pada Gambar 48.
Gambar 48. Visualisasi koordinat lembaga UPT dalam 2 dimensi
Jika koordinat lembaga UPT (Gambar 48) dikombinasikan dengan dua preference, yakni: Karakteristik pengelolaan dan karakteristik ancaman, maka akan diperoleh tampilan lembaga pengelolaan penyu hijau pada Gambar 49.
Gambar 49. Visualisasi koordinat 4 dimensi dari lembaga UPT setelah dikombinasikan dengan karakteristik pengelolaan dan ancaman
Dengan mempelajari Gambar 49 dapat dilakukan penilaian kinerja UPT, sebagai berikut :
− Ideal point adalah asumsi posisi ideal suatu UPT yang didasarkan pada pertimbangan Karakteristik pengelolaan dan Karakteristik ancaman. UPT Taka Bonerate menempati posisi ideal dimana pengelolaan penyu dilaksanakan berbasis masyarakat dan ancaman terhadap penyu yang tergolong ringan.
− Posisi sebaliknya adalah: UPT BKSDA Jateng; BKSDA Jatim I; BKSDA Maluku dan BTN Siberut. Keempat UPT ini memerlukan perhatian khusus karena tidak ada pengelolaan penyu hijau walaupun terdapat ancaman yang berat.
5.3 Penilaian Kondisi Populasi Penyu Hijau
Sebagai satwa migran, sebagian besar siklus hidup penyu hijau berada di laut lepas. Keberadaan penyu hijau mudah diamati di daerah peneluran dan perairan laut sekitarnya. Sebaran daerah peneluran penyu hijau mengindikasikan bahwa perairan laut Indonesia merupakan daerah pengembaraan dan jalur migrasi penting. Unit Pelaksana Teknis yang melaporkan memiliki daerah peneluran penyu hijau dapat dilihat pada Gambar 50.
Dari hasil rekapitulasi data diketahui sebaran daerah peneluran (nesting site) penyu hijau terdapat 147 lokasi dengan panjang garis pantai sepanjang 27.364,2 km. Jumlah nesting site tertinggi secara berurutan berada di Kepulauan Karimunjawa, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tenggara.
Penilaian terhadap kondisi populasi penyu hijau dapat diidentifikasi dari trend dari jumlah penyu yang datang bertelur, jumlah telur yang dihasilkan dan prosentasi penetasan telur. Hasil analisis Time Series pada Lampiran 4 menggunakan data dari UPT BTN Meru Betiri; BKSDA Kaltim dan BTN Alas Purwo.
5.3.1 Balai Taman Nasional Meru Betiri (1) Penyu yang datang bertelur
Hasil analisis Time Series dengan prosedur Seasonal Decomposition (software package SPSS) memberi gambaran tentang trend; rata-rata bergerak (moving average) dan variasi musiman dari jumlah penyu dan telur penyu. Selama 24 tahun penurunan penyu hijau di BTN Meru Betiri mengikuti persamaan regresi linear y = - 17,046 x + 746,32 yang diperkirakan ± 17 ekor/ tahun.
Gambar 51. Kurva jumlah penyu di BTN Meru Betiri selama 1980-2004
Rata-rata bergerak (Moving average) yang menggambarkan gerakan deret berkala secara rata-rata. Penghitungan rata-rata bergerak dengan mencari nilai rata-rata beberapa tahun secara berturut-turut sehingga diperoleh nilai rata-rata bergerak secara teratur.
Gambar 52. Rata-rata bergerak dari kurva jumlah penyu di BTN Meru Betiri
Pada Gambar 53 diketahui bahwa jumlah penyu yang berfluktuasi secara teratur menunjukkan bahwa kedatangan penyu tertinggi pada bulan Januari, kemudian menurun dan terrendah pada bulan September. Variasi musiman dapat digunakan sebagai indikator pengamanan daerah pantai peneluran, dimana saat bulan Nopember s/d Maret pengamanan pantai ditingkatkan karena jumlah penyu yang datang tergolong tinggi.
Gambar 53. Variasi musiman jumlah penyu yang mendarat di BTN Meru Betiri
(2) Telur penyu yang ada di Pantai Sukamade
Jumlah telur yang ditinggal induk di Pantai Sukamade BTN Meru Betiri mengalami penurunan. Dari Gambar 54 dapat diketahui bahwa
penurunan telur penyu mengikuti trend persamaan regresi y = - 1335,7 x + 68067 yang diperkirakan ± 1336 butir/ tahun.
Gambar 54. Penurunan telur penyu yang ada di Pantai Sukamade BTN Meru Betiri selama tahun 1980-2003
Telur penyu hijau yang ditinggal induk di pantai selanjutnya diamankan oleh pihak pengelola dengan dua jenis perlakuan yakni: menetaskan secara alami dan secara semi alami. Penetasan alami, pihak pengelola akan memberi pagar, menandai sarang dan membiarkan telur menetas. Pada penetasan semi alami dilakukan pemindahan telur ke lokasi penetasan, menandai timbunan pasir yang berisi telur dan membiarkan telur menetas secara alami. Pemilihan kedua perlakuan tersebut tergantung pada tingkat kerawanan telur dari pemangsaan predator dan pemanenan yang dilakukan masyarakat.
Gambar 55. Kurva jumlah telur yang ada dan yang menetas di Pantai Sukamade BTN Meru Betiri selama tahun 1980-2003
Dari Gambar 55 dapat diketahui bahwa sebagian telur tidak menetas. Prosentase penetasan telur merupakan indikator dari keberhasilan perlakuan terhadap telur penyu baik secara alami maupun semi alami. Pada Gambar 56 diketahui terdapat gangguan penetasan telur pada kurun waktu antara tahun 1997 s/d 1999.
Gambar 56. Kurva penetasan telur bulanan di BTN Meru Betiri
5.3.2 Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur
Analisis terhadap jumlah penyu dilakukan berdasarkan data yang berasal dari sumber yang berbeda, yakni : Data penyu tahun 1940-an dan tahun 1970-an dari Lindsay and Watson (1995), Data penyu tahun 1993 dari Tomascik et al (1997), dan Data penyu tahun 2002-2003 dari WWF-Indonesia (Adnyana, 2005)
Penurunan jumlah penyu hijau cukup tinggi di Balai KSDA Kalimantan Timur. Dari tahun 1940 hingga tahun 2003 terjadi penurunan hingga 191 ekor di Kepulauan Derawan. Namun jika hanya menganalisis data yang berasal dari WWF-Indonesia (Adnyana, 2005) diketahui bahwa penurunan populasi penyu hijau di Kepulauan Derawan diperkirakan ± 2 ekor per bulan .
Gambar 58. Penurunan jumlah penyu hijau bulanan di BKSDA Kaltim
Sebaran penyu hijau tidak merata di Kepulauan Derawan. Pada Gambar 59 dapat diketahui jumlah penyu tertinggi berada di P. Sangalaki.
Gambar 59. Proporsi jumlah penyu yang mendarat di Kep. Derawan (Sumber : Hitipeuw-WWF Indonesia, 2001 dalam Adnyana, 2005)
5.3.3 Balai Taman Nasional Alas Purwo
Data penyu yang ada di Balai Taman Nasional Alas Purwo tidak digunakan karena penyu hijau hanya menduduki proporsi 2%. Dari semua jenis penyu laut yang datang untuk bertelur di BTN Alas Purwo, sebagian besar adalah jenis penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea).
Gambar 60. Diagram proporsi keempat spesies penyu laut di BTN Alas Purwo