1 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Selai
Salah satu produk olahan pangan yang bersifat awet yaitu produk selai, diolah melalui buah yang telah dihancurkan atau bubur buah ditambah dengan gula yang berasal dari dektrosa atau glukosa, serta penambahan air atau tanpa penambahan air hingga dihasilkan karakteristik tekstur gel yang lunak (Suryani dkk, 2004). Selai buah termasuk salah produk yang bersifat semi basah, hasil dari pengolahan buah dan gula yang terbuat dari campuran antara 45 bagian buah dan 55 bagian gula dengan atau tanpa penambahan bahan makanan yang diizinkan (Fatonah, 2002). Menurut Food & Drug Administration (FDA) mendefinisikan bahwa selai yang merupakan produk olahan buah-buahan, baik berasal dari bahan buah segar, buah beku, buah kaleng maupun campuran dari ketiganya. Bahan campuran tersebut akan dipekatkan sehingga menghasilkan hasil akhir yang mengandung padatan terlarut minimum 65%. Dilihat dari karakteristik tekstur kekentalannya, selai merupakan makanan semi padat atau bisa disebut makanan semi basah dengan kadar air sekitar 15-40% yang menyebabkan teksturnya menjadi lunak dan plastis, memiliki rasa dan aroma buah alami, sirkulasi bubur buah merata, selama proses penyimpanan selai tidak terjadi adanya sineresis dan kristalisasi (Suryani, 2004: 6).
Produk selai dengan memanfaatkan buah-buahan dapat meningkatkan nilai ekonomi sehingga dapat menghasilkan keuntungan. Hasil selai juga memiliki daya simpan dalam waktu yang lama (Yenrina dkk., 2009). Menurut Buckle, dkk (1987) dalam Sholihah (2018) kondisi optimum untuk pembentukan selai adalah pektin (0,75-1,5%), gula (65-70%), dan asam pH (3,2-3,4) serta air pada proses pemanasan dengan suhu tinggi. Pemasakan selai membutuhkan kontrol yang baik, karena dapat mempengaruhi karakteristik selai. Pemasakan yang terlalu lama akan menyebabkan tekstur selai keras sehingga kualitasnya kurang baik. Begitu pula sebaliknya, pemasakan yang kurang lama menghasilkan tekstur selai yang encer sehingga tidak terbentuk gel. Proses pembuatan selai biasa dilakukan pada suhu 103-105 oC, namun karakteristik dan jenis buah serta perbandingan gula dapat mempengaruhi variasi dari titik didih.
2 Berdasarkan hasil penelitian terdahulu tentang studi pemanfaatan buah pisang mas dan buah naga merah dalam pembuatan selai menghasilkan perlakuan terbaik dengan pemberian rasio 50:50 yang menghasilkan kadar air sebesar 39,60%, Ph sebesar 4,78, kadar padatan terlarut sukrosa sebesar 66,73%, kadar gula total sebesar 50,82% dan kadar serat kasar sebesar 0,34%. Dimana hasil analisis yang telah memenuhi standar SNI 3746: 2008 adalah padatan terlarut sukrosa dan kadar seratnya saja. Serta untuk uji sensori metode hedonik dan deskriptif terbaik pada perlakuan 50:50 (Herianto dkk, 2015).
Suatu produk pangan olahan pasti selalu memiliki penerapan syarat mutu sebagai acuan agar produk yang dihasilkan memiliki nilai kandungan gizi, kualitas yang baik maupun jaminan keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsinya. Mutu yang baik dari produk selai buah dapat diketahui dari syarat mutu selai berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3746-2008). Syarat mutu produk selai buah yang bisa dikatakan berkualitas baik dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat Mutu Selai Buah
Kriteria Uji Satuan Persyaratan Keadaan
Aroma - Normal
Warna - Normal
Rasa - Normal
Serat buah - Positif
Padatan terlarut % fraksi massa Min. 65 Cemaran logam
Timah (Sn) mg/kg Maks. 250*
Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 1,0
Cemaran mikroba
ALT Koloni/g Maks. 1x103
Coliform APM/g < 3
Staphylococcus aureus Koloni/g Maks. 2x101
Clostridium sp. Koloni/g < 10
Kapang/khamir Koloni/g Maks. 5x101
*dikemas dalam kaleng Sumber: SNI (2008)
2.2 Bahan-Bahan Pembuatan Selai
Adapun bahan-bahan dalam pembuatan selai meliputi buah, gula, pektin dan asam sitrat (Hasbullah, 2001 dalam Muryanti, 2011). Bahan-bahan baku tersebut
3 dipilih dengan kualitas yang baik agar menghasilkan selai dengan kualitas yang baik pula.
2.2.1 Buah-Buahan
Bahan baku utama dalam pembuatan selai adalah buah-buahan. Buah dengan tingkat kematangan yang pas sangat berperan penting dalam menghasilkan aroma buah yang baik. Penggunaan buah yang benar-benar matang sangat diperlukan agar diperoleh pektin dalam pengolahan selai. Penggunaan buah naga merah dipilih dengan karakteristik fisik warna kulit yang merah merata, diameter buah 10-15 cm, tingkat kematangan pada usia panen 50-55 hari, kandungan pH buah 5,05-5,43, dan tingkat kemanisan buah sekitar 13-15 oBrix. Sedangkan penggunaan buah pisang ambon lumut dipilih dengan karakteristik fisik warna kulit hijau kekuningan dan terdapat bercak kecoklatan, tingkat kematangan 80-100 hari masak pohon, kandungan pH buah 5,62 dan tingkat kemanisan buah sekitar 28-31,4
oBrix.
a. Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus)
Buah naga merupakan salah satu buah yang dihasilkan oleh tanaman buah naga yang bukan berasal dari Indonesia melainkan berasal dari Meksiko, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Seiring dengan perkembangan zaman tanaman buah naga kini sudah banyak dibudidayakan di berbagai negara, salah satunya Indonesia. Buah naga memiliki karakteristik berbentuk bulat lonjong, warna kulit merah dihiasi sisik atau sulur seperti naga. Buah ini termasuk dalam keluarga kaktus, dengan batang berbentuk segitiga dan tumbuh menjalar keatas atau memanjat. Batang tanaman buah naga mempunyai duri pendek dan tidak tajam (Panjuantiningrum, 2009).
Buah naga terdiri dari empat jenis yaitu Hylocereus undatus (kulit berwarna merah dengan daging buah putih), Hylocereus polyrhizus (kulit buah berwarna merah dengan daging buah merah keunguan), Hylocereus costaricensis (kulit buah berwarna merah dengan daging buah lebih merah dibandingkan Hylocereus polyrhizus) dan Selenicereus megalanthus (kulit buah berwarna kuning dengan daging buah putih) (Kristanto, 2009). Buah naga merah berbentuk bulat. Jenis buah naga merah ini mampu menghasilkan bobot rata-rata hingga 500 g. Buah naga
4 merah memiliki tingkat kemanisan sukrosa mencapai 15o brix (Rahayu, 2014).
Menurut Herianto, dkk (2015) berdasarkan hasil analisis pH dalam penelitiannya menunjukkan bahwa nilai pH daging buah naga merah sebesar 5,43. Gambar buah naga merah dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus ) (Dokumentasi pribadi)
Klasifikasi tanaman buah naga berdasarkan segi taksonomi (Kristanto, 2008) : Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Kelas : Dicotyledonae (berkeping dua) Ordo : Cactales
Famili : Cactaceae Subfamili : Hylocereanea
Genus : Hylocereus polyrhizus
Buah naga merah mempunyai manfaat dan khasiat kesehatan manusia, karena buah ini mengandung zat bioaktif yang bermanfaat bagi tubuh diantaranya antioksidan (dalam asam askorbat, betakaroten, dan antosianin), serta mengandung serat pangan dalam bentuk pektin, meskipun kadar pektinnya termasuk dalam jumlah yang kecil dibandingkan dengan kandungan pektin dalam buah apel dan pisang. Buah naga merah juga mengandung vitamin seperti vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin C. Adapun beberapa kandungan mineral dalam buah naga merah seperti kalsium, fosfor, besi, dan lain-lain. (Fakhira dkk, 2013). Kandungan likopen, α-tokoferol, karotenoid, betanins, asam askorbat, dan polifenol menjadi sumber utama antioksidan alami pada buah naga merah. Hydroxycinnamate ialah senyawa
5 fenolik tertentu yang juga terdapat dalam buah naga merah dan putih (Mahattanatawee dkk, 2006). Kandungan-kandungan nutrisi dalam buah naga merah terdapat dalam Tabel 2.
Menurut Emil (2011) selain rasanya yang segar dan enak, buah naga merah juga dapat memberikan manfaat bagi kesehatan karena memiliki kandungan zat antioksidan yang bagus untuk radikal bebas. Bagian-bagian buah naga terdiri dari kulit, daging buah dan biji. Pada umumnya seperti yang telah dilakukan pada penelitian terdahulu, kulit buah naga merah dimanfaatkan sebagai pewarna merah keunguan alami untuk makanan dan minuman, bagian daging buah naga yang biasanya dikonsumsi dalam bentuk segar maupun sudah diolah dan biji-bijinya dimanfaatkan untuk keperluan budidaya pengembangbiakan bibit secara generatif. Buah naga merah juga memiliki khasiat lain, seperti menguatkan ginjal dan liver, baik untuk perawatan kulit, dapat menjadi penyeimbang kadar gula darah, meningkatkan daya kerja otak, mencegah sembelit sehingga dapat memperlancar feses, meningkatkan ketajaman mata, baik untuk kesehatan mulut, pencegah kanker usus, mengurangi keluhan panas dalam, serta pengurang kolesterol, yang mana beberapa khasiat tersebut disebabkan oleh kandungan nutrisi dalam buah naga merah.
Tabel 2. Kandungan Nutrisi Buah Naga Merah dalam 100 g
Komponen Kadar Air (g) 82,5900 – 83,0000 Protein (g) 0,1590 – 0,2290 Lemak (g) 0,2100 – 0,6100 Serat (g) 0,7000 – 0,9000 Betakaroten (mg) 0,0005 – 0,0012 Kalsium (mg) 6,3000 – 8,8000 Fosfor (mg) 30,2000 – 36,1000 Besi (mg) 0,5500 – 0,6500 Vit. B1 (mg) 0,2800 – 0,0430 Vit. B2 (mg) 0,0430 – 0,0450 Vit. B3 (mg) 0,2970 – 0,4300
Sumber : Gunasena dan Pushpakumara (2007)
b. Buah Pisang Ambon Lumut (Musa acuminata Colla)
Pisang merupakan salah satu tanaman dengan berbagai jenisnya yang banyak ditemukan di Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh di kebun, bahkan dapat
6 tumbuh di daerah yang tandus dan dataran tinggi serta memiliki kemampuan mudah berbuah menjadikan tanaman pisang sebagai salah satu sumber devisa negara dan buahnya menjadi salah satu komoditas buah unggulan di Indonesia. Segala bagian dari tanaman ini dari bagian atas (bunga pisang) hingga bagian bawah (bonggol) dapat dimanfaatkan melalui metode dan proses yang sederhana. Hal tersebut yang membuat tanaman ini disebut sebagai tanaman serba guna. Terdapat lebih dari 200 jenis pisang di Indonesia yang memberi pulang untuk komersialisasi dan pemanfaatan pisang sesuai permintaan konsumen (Departemen Pertanian, 2005). Produksi buah pisang di Indonesia terbilang cukup tinggi, yaitu mencapai 6,28 juta ton pada tahun 2013 (Sekjen Kementerian Pertanian, 2014). Berdasarkan tingginya permintaan konsumen akan produksi buah pisang, maka ditentukanlah daerah dengan produksi pisang tertinggi yakni di Pulau Jawa yang tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebesar 2.821.773 ton atau 52,6% dari total produksi nasional (BPS, 2013). Salah satu jenis buah pisang yang paling banyak dijumpai adalah buah pisang ambon, dimana pisang ambon yang dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan adalah pisang ambon kuning, pisang ambon lumut dan pisang ambon putih (Cahyono, 2009).
Pisang ambon lumut (Musa acuminata colla) yaitu salah satu jenis pisang yang sudah tersebar di Indonesia. Kondisi tanah dan iklim di Indonesia sangat mendukung untuk budidaya penanaman pisang (Pujaratno, 2010). Ukuran buah pisang ambon lumut lebih kecil dibandingkan dengan pisang ambon kuning dan pisang ambon putih. Kulit pisang ambon lumut berwarna hijau, tetapi pada kondisi sangat matang kulit berwarna hijau kekuningan dengan bercak coklat kehitaman dan kulit lebih tebal dari pada pisang ambon putih dan pisang ambon kuning. Daging buah pisang ambon lumut berwarna putih kekuningan dan lebih keras, memiliki rasa lebih manis dan beraroma lebih halus dibandingkan dengan pisang ambon kuning dan pisang ambon putih. Terdapat 7-12 sisir buah pisang ambon lumut dalam satu tandan dengan berat 15-18 kg (Cahyono, 2009 dalam Malo, 2017).
Buah pisang ambon lumut memiliki bentuk panjang agak trapesium di sudutnya, kulitnya sedikit lebih tebal dari pisang ambon kuning, rasanya manis, aromanya khas harum, daging buahnya berwarna putih kekuningan, tekstur buah
7 lembut. Kematangan pada pisang ambon dapat dilihat dari kadar karbohidrat dalam buah, semakin tinggi kadar karbohidrat maka mutu buah pisang ambon semakin baik. Kadar karbohidrat untuk pisang ambon yaitu 25,6% dan tingkat kematangan 28-31,4 oBrix yang dicapai pada umur buah 124 hari. Gambar pisang ambon lumut dapat dilihat pada Gambar 2.
Tanaman buah pisang ambon lumut dilihat dari segi taksonomi dalam klasifikasi menurut Kaleka (2013).
Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Zingiberales Famili : musaceae Genus : musa
Spesies : Musa paradisiaca var. Acuminata colla
Gambar 2. Buah Pisang Ambon Lumut (Musa acuminata Colla) (Dokumentasi pribadi)
Pisang ambon lumut dapat dimanfaatkan sebagai olahan pangan seperti kue bolu, sale pisang, selai dan juga dapat dikonsumsi langsung (Gardjito, 2011). Menurut Herianto, dkk (2015) berdasarkan hasil analisis pH dalam penelitiannya menunjukkan bahwa nilai pH daging buah pisang sebesar 5,62. Adapun ciri-ciri pisang ambon lumut:
1) Memiliki ukuran buah yang lebih kecil dibanding jenis pisang ambon kuning. 2) Walaupun sudah matang tetapi warna kulitnya masih hijau, dan pada kondisi
yang sangat matang dapat berwarna hijau kekuningan dengan bercak coklat kehitaman dan lebih tebal dibandingkan pisang ambon kuning.
8 3) Memiliki daging buah berwarna putih kekuningan, agak keras, memiliki rasa
lebih manis dan aroma lebih harum.
4) Terdapat 7-12 sisir pisang dalam satu tandan dengan rata-rata per sisir 10-12 buah pisang.
5) Buah ini cocok dikonsumsi sebagai buah segar maupun diolah terlebih dahulu. Syarat mutu pisang ambon menurut BSN (2009) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Syarat Mutu Pisang Ambon
Karakteristik Satuan Mutu I Mutu II
Tingkat ketuaan buah % 70-80 < 70 dan > 80
Keseragaman kultivar - Seragam Seragam
Keseragaman ukuran - Seragam Seragam
Kadar kotoran % bobot/bobot 0 0
Tingkat kerusakan fisik/mekanis
% bobot/bobot 0 0
Kemulusan kulit - Kurang mulus Kurang mulus
Serangga - Bebas Bebas
Penyakit - Bebas Bebas
Sumber : BSN (2009)
Pisang ambon sangat bermanfaat dan berkhasiat bagi manusia, hal tersebuat karena pisang ambon memiliki hampir seluruh komponen zat gizi. Kandungan gizi pisang ambon dalam 100 g dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Gizi Buah Pisang 100 g buah pisang
Komponen kimia Jumlah
Kalori (kkal) 90 Lemak (g) 0,33 Karbohidrat (g) 22,84 Gula (g) 12,23 Serat (g) 2,26 Protein (g) 1,09 Vitamin A (μg) 3 Vitamin C (mg) 0,26
Sumber : USDA Nutrient database (2016)
Menurut Direktorat Gizi (1997) dalam Suryadi dan Supriyadi (2008) jenis pisang ambon mengandung 25,80% karbohidrat, 9 kalori, 72% kadar air dan 141 SI Vitamin A. Adapun gambar tingkat kematangan pisang berdasarkan indeks warnanya, menurut Indarto dan Murinto (2017) yang dapat dilihat pada Tabel 5.
9 Tabel 5. Indeks Kematangan Pisang Ambon Berdasarkan Perubahan Warna
Indeks Warna
Keadaan Buah Karakteristik
1 Seluruh permukaan buah hijau,
dan buah masih keras
2 Permukaan buah berwarna
hijau dengan semburat atau sedikit warna kuning
3 Warna hijau lebih dominan
daripada warna kuning
4 Kulit buah dengan warna
kuning lebih banyak daripada warna hijau
5 Seluruh permukaan kulit buah
berwarna kuning, bagian ujung berwarna hijau
6 Seluruh jari buah pisang
berwarna kuning
7 Buah pisang berwarna kuning
dengan sedikit bintik kecoklatan
8 Buah pisang berwarna kuning
dengan banyak bercak coklat
Sumber : Indarto dan Murinto (2017)
Kandungan zat gizi dalam buah pisang bisa dikatakan sangat baik karena mampu menyediakan energi yang cukup tinggi sebesar 88 kkal, karbohidrat 23 g, protein 1,2 g, dan lemak 0,2 g dari 100 g buah pisang (Mulyanti, 2005). Pisang ambon juga kaya akan vitamin A yaitu sebesar 146 SI dalam 100 g buah pisang (Astawan, 2008). Selain vitamin A, dalam buah pisang ambon juga terdapat mineral seperti kalium, magnesium, besi, fosfor dan kalsium, serta vitamin B6 dan vitamin C dengan kandungan serotonin aktif sebagai neurotransmitter untuk kecerdasan otak (Suyanti dan Supriyadi, 2008). Kandungan kalium dalam buah pisang ambon yang cukup tinggi menjadikan buah ini baik untuk menurunkan hipertensi (Fatmawati dkk, 2017).
10 Pisang memiliki beragam aktivitas farmakologi yaitu, aktivitas antimikroba, antihipertensi, antidiare, hipoglikemik, antiulseratif, hipokolesterolemik, dan efek pada antioksidan, diuretik, penyembuhan luka, aterosklerosis, antimalaria dan mutagen (Imam, 2011). Kandungan kalium dalam buah pisang ambon bermanfaat untuk menjaga keseimbangan air dalam tubuh, tekanan darah, membantu pengiriman oksigen ke otak dan kesehatan jantung, sehingga buah pisang sering digunakan sebagai makanan pemula pada bayi (Suyanti dan Supriyadi, 2008). Berdasarkan kandungan gizi dalam buah pisang ambon, ternyata juga kaya akan komponen bioaktif, yang memiliki efek positif pada kesehatan. Pada bagian buahnya diketahui memiliki kandungan saponin, glikosida, tanin, alkaloid, dan flavonoid (Anjani dkk, 2010).
2.2.2 Gula
Suatu karbohidrat sederhana dengan sifat yang dapat larut dalam air dan mudah diserap oleh tubuh dan kemudian akan diubah menjadi energi yaitu gula. Gula adalah salah satu bahan tambahan pemanis yang paling umum dikonsumsi oleh masyarakat. Biasanya gula digunakan sebagai pemanis pada makanan dan minuman, selain sebagai bahan pemanis, gula juga berperan sebagai stabilizer dan pengawet alami. Gula yang merupakan senyawa kimia dengan karakteristik rasa yang manis, berwarna putih kekuningan, dengan sifat anhidrat dan kelarutannya dalam air bisa mencapai 67,7% pada suhu 20oC. Penambahan gula pada produk pangan tidak hanya bertujuan untuk memberikan rasa manis, namun juga bertujuan untuk menambah cita rasa, sumber kalori, dan memperbaiki karakteristik tekstur kekentalan produk serta memiliki peran sebagai pengawet alami karena memiliki sifat-sifat yaitu daya larut dan daya mengikat air yang tinggi sehingga dapat mengurangi kelembaban (Darwin, 2013)
Menurut Pujimulyani (2009), pembentukan gel disebabkan oleh saling menempelnya rantai asam poligalakturonat sebagai penyusun pektin hingga terbentuk pola tiga dimensi , hal tersebut berkaitan dengan fungsi gula sebagai dehydrating agent. Konsentrasi gula yang tinggi dapat menyempurnakan proses dehidrasi, dimana konsentrasi dalam pembentukan gel yang baik adalah 60-65%. Semakin banyak gula yang ditambahkan, maka akan terbentuk gel yang semakin
11 tebal dan kokoh, namun terlalu banyak penambahan gula menyebabkan kristalisasi gula sehingga gel bersifat lekat dan keras. Sebaliknya, penambahan gula yang terlalu sedikit akan membentuk gel yang lunak.
2.2.3 Pektin
Pektin merupakan asam poligalakturonat, hasil degradasi protopektin selama proses pematangan buah yang secara alami terdapat dalam jaringan buah (Muchtadi dkk, 2013). Pektin merupakan salah satu zat pengental yang cukup banyak digunakan pada industri pangan. Pengaplikasian pektin pada produk selai, jelly dan kembang gula menjadi salah satu bahan tambahan makanan penting melihat kemampuannya yang dapat membentuk gel. Konsentrasi pektin yang dapat menentukan struktur suatu gel berkisar dari 0,5-1,5% berat pektin murni. Penggunaan bahan tambahan pektin pada bahan pangan harus dilarutkan seluruh bagiannya agar terbentuk gel yang merata. Cara melarutkan pektin bisa dilakukan dengan mencampurkannya dengan padatan yang mudah larut seperti gula, bikarbonat atau dispersi dalam alkohol, atau dilarutkan pada suhu 60-80oC hingga
kepekatan 10% dengan pengadukan cepat (Cahyadi, 2006).
2.2.4 Asam Sitrat
Asam sitrat yang merupakan asam organik dengan rumus kimia C6H8O7
memiliki rasa asam yang ditemukan di berbagai makanan dengan fungsi memberi rasa asam, mencegah kristalisasi gula, serta dapat menjernihkan gel yang dihasilkan (Belitz dkk., 2009). Penambahan asam pada pembuatan selai bertujuan untuk menambah cita rasa dari makanan, mengatur pH serta menghindari pengkristalan gula. Kadar pH optimum dalam pembuatan selai berkisar 3,10-3,46. Jenis asam yang biasa diaplikasikan dalam pembuatan selai adalah asam sitrat, asam tartrat, dan asam malat. Kadar asam yang terlalu tinggi dalam penambahannya akan menyebabkan terjadinya sineresis sehingga kekentalan selai akan berkurang atau bahkan tidak terbentuk gel sama sekali (Fachrudin, 2008). Berdasarkan beberapa jurnal seperti Agustina Winda, dkk (2016) tentang pengaruh penambahan wortel terhadap selai buah naga merah dan berdasarkan jurnal Hardita Putri, dkk (2015) tentang pengaruh rasio daging dan kulit buah naga terhadap karakteristik selai
12 menunjukkan penggunaan asam sitrat pada pembuatan selai buah naga sebagai variabel tetap sebesar 0,4% sesuai dengan peraturan badan POM Indonesia (2013). Sedangkan berdasarkan jurnal Herianto, dkk (2015) tentang pemanfaatan buah pisang mas dan buah naga merah dalam pembuatan selai menunjukkan penggunaan asam sitrat sebesar 0,3% dari berat total buah.
2.3 Proses Pembuatan Selai
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses pembuatan selai seperti suhu dan waktu pemasakan, penambahan konsentrasi gula dan bahan tambahan pengental, proses pengadukan. Menurut Sabariman dkk (2002) dalam Murni dan Lilis (2009) mengatakan bahwa secara garis besar proses pembuatan selai meliputi pemasakan, pengemasan dalam jar atau wadah tertentu yang telah disterilisasi. Tahapan pembuatan selai buah sebagai berikut :
2.3.1 Sortasi dan Pencucian Buah
Pencucian dan pemotongan merupakan tahapan awal yang perlu dilakukan untuk menghasilkan mutu yang baik. Buah yang akan digunakan disortasi terlebih dahulu kemudian dicuci. Proses pencucian membantu menghilangkan kotoran yang melekat pada buah, tahap ini dilakukan dengan menggunakan air mengalir dan air yang mengandung kaporit untuk menghilangkan mikroorganisme patogen (Kumalaningsih, 2006).
2.3.2 Pemotongan dan Pemisahan Buah dari Kulit
Proses pemisahan dan pembuangan bagian tertentu seperti kulit dan biji yang tidak diinginkan karena akan mengganggu proses pengolahan tahap selanjutnya. Proses pemotongan berfungsi untuk memperoleh potongan-potongan daging buah sehingga nantinya akan didapatkan bubur buah yang halus dan lembut.
2.3.3 Blanching
Blanching adalah suatu proses pemanasan terhadap suatu bahan dengan tujuan untuk menginaktivasi enzim, melunakkan jaringan, memperbaiki tekstur, dan mengurangi kontaminasi mikroorganisme patogen (Winarno, 1997 dalam
13 Isnaini dan Aniswatul, 2009). Menurut Muchtadi (1989) dalam Sudrajad (2004), suhu pemanasan yang digunakan dalam proses blanching kurang lebih 100oC selama 10 menit dengan tujuan menginaktivasi enzim poliphenolase. Penerapan proses blanching juga dapat memperbaiki kualitas produk yang diolah, serta menghilangkan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan akibat proses enzimatik dan oksidasi dalam bahan pangan (Sudrajad, 2004). Metode blanching yang biasa diterapkan adalah blanching dengan air panas (hot water blanching) dan dengan uap air panas (steam blanching) (Isnaini dan Aniswatul, 2009).
a) Blanching dengan Air Panas (Hot Water Blanching) ialah metode yang hampir serupa dengan proses perebusan dalam air. Metode ini cukup efektif, tetapi memiliki kelemahan yaitu hilangnya komponen bahan pangan yang mudah larut dalam air dan tidak tahan terhadap suhu tinggi.
b) Blanching dengan Uap Air Panas (Steam Blanching) ialah metode yang banyak diterapkan. Metode ini dapat mengurangi hilangnya komponen yang tidak tahan suhu tinggi.
2.3.4 Penghancuran Buah
Penghancuran bahan pangan sebelum dilakukan proses selanjutnya menjadi produk jadi sering diterapkan pada pengolahan produk selai, sari buah dan lain-lain. Proses penghancuran pada umumnya dapat dilakukan menggunakan blender atau chopper dengan kecepatan rendah selama ±3 menit untuk memperoleh bubur buah yang lembut (Mirna dan Lilis, 2009). Tujuan dari penghancuran buah ini yakni untuk mempermudah proses pemasakan dan pencampuran selai, selain itu juga bertujuan untuk menghasilkan tekstur halus layaknya selai pada umumnya.
2.3.5 Pemasakan (Pemanasan) Bubur Buah
Menurut Winarno (2004), pengolahan pangan dengan menggunakan pemanasan biasa disebut dengan proses pemasakan yaitu proses pemanasan bahan pangan dengan dengan suhu 100oC atau lebih dengan tujuan mendapatkan karakteristik rasa yang lebih enak, aroma lebih baik, tekstur lebih lunak, serta untuk mematikan mikroba dan menginaktivasi semua enzim. Proses pemasakan diperlukan sebelum mengkonsumsi suatu makanan. Proses pembuatan selai memerlukan kontrol yang
14 baik. Pemasakan yang berlebihan akan menyebabkan tekstur selai menjadi keras dan kental, sedangkan jika pemanasannya kurang maka selai yang dihasilkan akan bertekstur encer. Pembuatan selai biasanya dilakukan pada suhu 103-105 oC (Wiraatmadja, 1988).