UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
DI PT. TATARASA PRIMATAMA
JALAN SUTERA NIAGA III NO. 1, ALAM SUTERA
SERPONG, TANGERANG 15325
PERIODE 03 MARET – 25 APRIL 2014
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
YURI NURDIANTAMI, S. Farm 1306344412
ANGKATAN LXXVIII
PROGRAM PROFESI APOTEKER
FAKULTASFARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
DI PT. TATARASA PRIMATAMA
JALAN SUTERA NIAGA III NO. 1, ALAM SUTERA
SERPONG, TANGERANG 15325
PERIODE 03 MARET – 25 APRIL 2014
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar apoteker
YURI NURDIANTAMI, S. Farm 1306344412
ANGKATAN LXXVIII
PROGRAM PROFESI APOTEKER
FAKULTASFARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, karena hanya atasberkat dan izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja ProfesiApoteker (PKPA) di PT. Tatarasa Primatama yang dilaksanakan pada rentangperiode 3 Maret sampai 25 April 2014. Penulisan Laporan inimerupakan bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan Praktek KerjaProfesi Apoteker (PKPA) yang dilaksanakan di PT. Tatarasa Primatama dandisusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program ProfesiApoteker di Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan laporan ini, sangatlah sulit bagi penulis untuk dapat menyelesaikannya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. Soekiandi Ali selaku Direktur yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan PKPA di PT. Tatarasa Primatama.
2. Bapak Mulyadi Sirin, S.Si., Apt. selaku Apoteker Penanggung Jawab PT. Tatarasa Primatama dan pembimbing lapangan di PT. Tatarasa Primatama atas waktu, ilmu, dan bimbingannya.
3. Bapak Catur Jatmika, M. Si., Apt., selaku pembimbing dari Fakultas Farmasi Universitas Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan.
4. Bapak Dr. Mahdi Jufri, M.Si., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
5. Bapak Dr. Hayun, M.Si., Apt., selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
6. Bapak dan Ibu staf pengajar Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia atas ilmu pengetahuan, bimbingan, dan arahan yang telah diberikan selama menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
7. Seluruh manager, staf, dan pegawai di PT. Tatarasa Primatama atas bantuan dan dukungan semangat selama penyusunan laporan ini.
8. Orang tua dan keluarga besar yang telah memberikan semangat, doa, dan bantuan serta dukungan baik secara moral dan material.
Apoteker angkatan LXXVIII.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang juga banyak berkontribusi dalam seluruh kegiatan PKPA ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan PKPA ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun demi tercapainya hasil yang lebih baik lagi. Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikansemua pihak yang telah membantu. Semoga ilmu pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh selama menjalani PKPA ini dapat memberikan manfaat sebagai wawasan bagi rekan-rekan sejawat dan pihak yang membutuhkan.
Depok, Juni 2014
Nama : Yuri Nurdiantami Program Studi : Apoteker
Judul : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker Di PT. Tatarasa Primatama Jalan Sutera Niaga III No. 1, Alam Sutera Serpong, Tangerang Periode
03 Maret – 25 April 2014
Praktik Kerja Profesi Apoteker di Apotek Kimia Farma bertujan agar calon apoteker dapat mengetahui peran PT. Tatarasa Primatama dalam pelaksanaan pekerjaan kefarmasian dan penerapan cara distribusi obat yang baik (CDOB) dalam distribusi bahan obat yang dilakukan oleh PT. Tatarasa Primatama serta Mempelajari peran serta tanggung jawab Apoteker Penanggung Jawab di Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat. Apoteker Penanggung Jawab pada sarana distribusi bertanggung jawab terhadap proses pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat yang dilakukan PBF. PT. Tatarasa Primatama merupakan PBF Bahan Obat yang berperan dalam pengadaan, penyimpanan serta penyaluran bahan obat yang memenuhi persyaratan mutu dan menerapkan CDOB sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan yang meliputi aspek manajemen mutu; organisasi, manajemen dan personalia; bangunan dan peralatan; operasional; inspeksi diri; keluhan; transportasi; fasilitas distribusi berdasarkan kontrak dan dokumentasi.
Kata kunci : Apoteker, CDOB, PBF, PT. Tatarasa Primatama xv + 97 halaman : 6 gambar; 13 tabel; 17 lampiran
Name : Yuri Nurdiantami Study program : Apothecary
Title : Report of Apothecary Profession Internship at PT. Tatarasa Primatama Jl. Sutera Niaga III No. 1 Alam Sutera Tangerang Period 3 March - 25 April 2014
Apothecary Profession Internship at PT. Tatarasa Primatama has an aim for prospective pharmacists can know the role PT. Tatarasa Primatama in the implementation and application of the work of pharmacy drug distribution a good way (CDOB) in the distribution of drugs conducted by PT. Tatarasa Primatama and Studying the roles and responsibilities Responsible Pharmacist in Large Pharmacy drug substances. Pharmacist in Charge at the distribution facility is responsible for the implementation of the provisions of the procurement, storage and distribution of drugs are performed PBF. PT. Tatarasa Primatama is PBF drug substances that play a role in the procurement, storage and distribution of medicinal ingredients that meet the quality requirements and implement CDOB as guidelines for the implementation of activities that include aspects of quality management; organization, management and personnel; buildings and equipment; operations; self inspection; complaints; transportation; distribution facility based contracts and documentation.
Keywords : Pharmacists, CDOB, PBF, PT. Tatarasa Primatama xv + 97 pages : 6 images; 13 tables; 17 attachments
Halaman
HALAMAN DEPAN...i
HALAMAN PENGESAHAN ...iii
KATA PENGANTAR ...iv
DAFTAR ISI ...vi
DAFTAR GAMBAR...vii
DAFTAR LAMPIRAN ...viii
BAB 1 PENDAHULUAN ...1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Tujuan ... 2
BAB 2 TINJAUAN UMUM ...3
2.1 Pedagang Besar Farmasi (PBF) ... 3
2.2 Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) ... 11
2.3 Importasi ... 22
BAB 3 TINJAUAN KHUSUS PT. TATARASA PRIMATAMA ... 31
3.1 PT. Tatarasa Primatama... 31
3.2 Sumber Daya Manusia PT. Tatarasa Primatama ... 33
3.3 Marketing PT. Tatarasa Primatama... 35
3.4 Alur Distribusi Bahan Obat PT. Tatarasa Primatama ... 37
BAB 4 PEMBAHASAN ...45
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ...51
5.1 Kesimpulan... 51
5.2 Saran... 51
DAFTAR ACUAN ...52
Halaman Gambar 3.1. Alur Pembelian barang oleh PBF...40 Gambar 3.2. Alur importasi barang ...43
Halaman Lampiran 1. Surat pesanan bahan obat Guaifenesin dari PT Konimex ke PT.
Tatarasa Primatama ...55
Lampiran 2. Surat pesanan bahan obat Guaifenesin dari PT. Tatarasa Primatama ke supplier Zhejiang Jianfeng International Trade Co., Ltd. ...56
Lampiran 3. Dokumen bill of ladingGuaifenesin ...57
Lampiran 4. Dokumen invoice Guaifenesin ... 58
Lampiran 5. Dokumen packing list Guaifenesin ... 59
Lampiran 6. Sertifikat analisis (CoA) Guaifenesin... 60
Lampiran 7. Dokumen sertifikat asuransi Guaifenesin ... 61
Lampiran 8. Dokumen pemberitahuan impor barang (PIB) Guaifenesin ... 62
Lampiran 9. Dokumen pemberitahuan impor barang (PIB) lanjutan Guaifenesin ... 63
Lampiran 10. Form E Guaifenesin... 64
Lampiran 11. Surat setoran pabean, cukai dan pajak (SSPCP) Guaifenesin .... 65
Lampiran 12. Dokumen bukti penerimaan negara impor Guaifenesin ... 66
Lampiran 13. Dokumen Informasi Kedatangan Barang Guaifenesin... 67
Lampiran 14. Good Arriving ReportGuaifenesin ... 68
Lampiran 15. Kartu Stok Guaifenesin ... 69
Lampiran 16. Surat jalan Guaifenesin... 70
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Farmasi merupakan salah satu bidang profesi kesehatan yang mempunyai tanggung jawab dalam memastikan efektivitas dan keamanan mutu obat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009, pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat dengan resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pelaksanaan dari pekerjaan kefarmasian tersebut meliputi pengadaan sediaan farmasi (obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika), produksi sediaan farmasi, distribusi atau penyaluran sediaan farmasi dan dalam pelayanan sediaan farmasi. Pekerjaan Kefarmasian tersebut harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan, yaitu tenaga kefarmasian yang telah memiliki STRA untuk apoteker.
Untuk memenuhi kebutuhan obat tersebut, maka sangat diperlukan suatu sarana yang dapat menyalurkan obat yaitu melalui Pedagang Besar Farmasi (PBF). Hal ini dilakukan untuk melindungi masyarakat dari peredaran obat dan bahan obat yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan khasiat atau manfaat. Saat ini bahan obat di Indonesia sebagian besar berasal dari luar negeri, sehingga dibutuhkan suatu aturan penanganan yang baik untuk menjamin kualitas bahan obat yang diimpor agar tetap terjaga tanpa menghilangkan kualitas mutu obat tersebut hingga diterima dengan baik oleh PBF atau Industri Farmasi.
Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat (PBF BO) adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki ijin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan (Menteri Kesehatan, 2011). PBF BO dalam menyelenggarakan kegiatannya wajib menerapkan ketentuan dalam Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). CDOB adalah cara distribusi atau penyaluran obat dan/atau bahan obatyang bertujuan memastikan mutu sepanjang jalur distribusi atau penyaluran sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya (BPOM RI, 2012).
Setiap PBF sesuai undang-undang yang berlaku harus memiliki Apoteker Penanggung Jawab (APJ) yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran bahan obat. Apoteker tersebut harus memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai peraturan perundang-undangan. Disamping itu, juga harus memiliki pengetahuan dan telah mengikuti pelatihan CDOB yang memuat aspek keamanan, identifikasi bahan obat, deteksi dan pencegahan masuknya bahan obat palsu ke dalam rantaidistribusi (BPOM RI, 2012).
Dalam hal ini perlu adanya pemahaman mengenai peran apoteker yang sesuai dalam PBF meliputi penyediaan, penyimpanan dan penyaluran bahan obat apakah sudah berjalan dengan baik. Oleh karena itu, diadakan kerjasama dalam bentuk Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) antara program Profesi Apoteker Universitas Indonesia dengan PT. Tatarasa Primatama yang bergerak dalam bidang distribusi danpenyaluran bahan obat yang dilaksanakan pada tanggal 3 Maret – 25 April 2014. Melalui kegiatan ini diharapkan mahasiswa yang merupakan calon apoteker dapat mendapatkan ilmu, meningkatkan kemampuan dam kualitas para calon apoteker sehingga dapat semakin mengerti peran seorang apoteker di dalam PBF BO.
1.2 Tujuan
Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di PT. Tatarasa Primatama bertujuan untuk: a. Mengetahui peran PT. Tatarasa Primatama dalam pelaksanaan pekerjaan kefarmasian dan penerapan cara distribusi obat yang baik (CDOB) dalam distribusi bahan obat yang dilakukan oleh PT. Tatarasa Primatama.
b. Mempelajari peran serta tanggung jawab Apoteker Penanggung Jawab di Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat.
TINJAUAN UMUM
2.1 Pedagang Besar Farmasi (PBF) 2.1.1 Definisi PBF
Berdasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011, pedagang besar farmasi (PBF) adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. PBF dalam menyelenggarakan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran obat dan/atau bahan obat wajib menerapkan Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). CDOB adalah cara distribusi atau penyaluran obat dan/atau bahan obat yang bertujuan untuk memastikan bahwa mutu sepanjang jalur distribusi harus sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2012).
2.1.2 Landasan Hukum PBF
PBF memiliki landasan hukum yang diatur dalam:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. b. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang
Pedagang Besar Farmasi.
2.1.3 Tugas dan Fungsi PBF
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang PBF, tugas dan fungsi PBF yaitu:
a. Menyelenggarakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat. b. Sebagai tempat pendidikan dan pelatihan.
2.1.4 Persyaratan PBF
Suatu PBF dapat beroperasi setelah mendapat surat ijin. Selama PBF tersebut masih aktif melakukan kegiatan pengelolaan obat dan/atau bahan obat, maka
seluruh kegiatan yang dilaksanakan di PBF tersebut wajib berdasarkan kepada CDOB.
2.1.4.1 Tempat atau Lokasi
Lokasi PBF dapat dipilih dengan mempertimbangkan segi efisiensi dan efektivitas dalam pengadaan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat ke industri farmasi, sarana pelayanan kesehatan dan faktor-faktor lainnya.
2.1.4.2 Bangunan
Suatu PBF harus mempunyai luas bangunan yang cukup dan memenuhi persyaratan teknis, sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi PBF. Suatu PBF paling sedikit memiliki ruang tunggu, ruang penerimaan obat dan/atau bahan obat, ruang administrasi, ruang kerja apoteker, gudang obat jadi dan/atau bahan obat, ruang makan, dan kamar kecil. Bangunan PBF dilengkapi dengan sumber air yang memenuhi syarat kesehatan, pencahayaan yang memadai, alat pemadam kebakaran, ventilasi dan sanitasi yang baik. Bangunan harus dirancang dan disesuaikan untuk memastikan bahwa kondisi penyimpanan yang baik dapat dipertahankan, mempunyai keamanan yang memadai, kapasitas yang cukup untuk memungkinkan penyimpanan dan penanganan obat dan/atau bahan obat yang baik. Akses masuk ke area harus diperhatikan yang meliputi area penerimaan, penyimpanan dan pengiriman hanya diberikan kepada personil yang berwenang (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2012).
2.1.4.3 Perlengkapan PBF
PBF yang ingin beroperasi harus memiliki perlengkapan yang memadai agar dapat mendukung pendistribusian obat jadi dan/atau bahan obat. Perlengkapan yang harus dimiliki diantaranya peralatan penyimpanan obat dan/atau bahan obat dan perlengkapan administrasi. Peralatan dan tempat penyimpanan obat/bahan obat seperti rak, lemari pendingin, ruangan menyimpan produk kembalian, kontainer untuk pengiriman barang dan ice box untuk pengiriman obat dan/atau bahan obat dengan suhu penyimpanan rendah. Perlengkapan administrasi terkait dokumen
blanko tukar faktur, bilyet giro, blanko faktur pajak, blanko surat jalan, kartu stok obat, bukti penerimaan pembayaran, form retur, blanko faktur pajak dan stempel PBF. Perlengkapan administrasi lainnya yang juga diperlukan, yaitu buku-buku dan literatur standar yang diwajibkan, serta kumpulan perundang-undangan yang berhubungan dengan kegiatan di PBF.
2.1.5 Apoteker Penanggung Jawab untuk PBF
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian disebutkan bahwa setiap tenaga kefarmasian (Apoteker) dapat mengabdikan dirinya melalui beberapa bidang pekerjaan, yaitu pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan dan produksi sediaan farmasi (pabrik), distribusi atau penyaluran sediaan farmasi (PBF), dan pelayanan sediaan farmasi (rumah sakit, apotek, puskesmas, klinik, dll). Salah satu bidang yang dapat dimasuki oleh apoteker adalah bidang distribusi atau penyaluran, yang biasa dikenal sebagai Pedagang Besar Farmasi (PBF). Pada pasal 14 ayat 1 dijelaskan bahwa setiap fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi harus memiliki seorang Apoteker sebagai penanggung jawab. Apoteker Penanggung Jawab (APJ) dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau tenaga teknis kefarmasian. Apoteker yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian harus memenuhi persyaratan yang tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Pasal 35, 37, 39, 41 yaitu sebagai berikut:
a. Memiliki keahlian dan kewenangan; b. Menerapkan Standar Profesi;
c. Didasarkan pada Standar Kefarmasian dan Standar Operasional; d. Memiliki sertifikat kompetensi profesi; dan
e. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA).
Surat Tanda Registrasi (STRA) merupakan bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada apoteker yang telah diregistrasi. STRA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu lima tahun selama masih memenuhi persyaratan. Untuk memperoleh STRA, dimana Apoteker harus memenuhi persyaratan pasal 40 (Pemerintah Republik Indonesia, 2009):
a. Memiliki ijazah apoteker;
b. Memiliki sertifikat kompetensi profesi;
c. Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/ janji apoteker; d. Mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki
surat ijin praktek;
e. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. f. Pas foto terbaru berwama ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan ukuran
2 x 3 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
Setelah memenuhi persyaratan di atas seperti yang tertera pada pasal 52, Apoteker yang akan bekerja sebagai APJ di PBF wajib memiliki Surat Ijin Kerja Apoteker (SIKA). SIKA adalah surat ijin praktek yang diberikan kepada apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas produksi atau fasilitas distribusi atau penyaluran. SIKA hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas pekerjaan kefarmasian. Untuk memperoleh SIKA, Apoteker mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kabupaten/ Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilaksanakan, Kadinkes harus menerbitkan SIKA paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap. Berkas-berkas yang harus dilampirkan dalam permohonan SIKA yaitu: a. Fotokopi STRA yang dilegalisir oleh Komite Farmasi Nasional (KFN);
b. Surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau surat keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan fasilitas produksi atau distribusi/ penyaluran;
c. Surat rekomendasi dari organisasi profesi; dan
d. Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4 sebanyak 2 (dua) lembar.
2.1.6 Tata Cara Perijinan PBF
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang PBF, setiap pendirian PBF wajib memiliki ijin dari Direktur Jenderal yang dapat diperoleh apabila pemohon mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan,
Formulir 1. Ijin PBF yang diberikan berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan. Untuk memperoleh ijin PBF, pemohon harus memenuhi persyaratan pada BAB II pasal 4 sebagai berikut:
a. Berbadan hukum berupa perseroan terbatas atau koperasi; b. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
c. Memiliki secara tetap Apoteker Warga Negara Indonesia sebagai penanggung jawab;
d. Komisaris/ dewan pengawas dan direksi/ pengurus tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundangundangan di bidang farmasi;
e. Menguasai bangunan dan sarana yang memadai untuk dapat melaksanakan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran obat serta dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi PBF;
f. Menguasai gudang sebagai tempat penyimpanan dengan perlengkapan yang dapat menjamin mutu serta keamanan obat yang disimpan; dan
g. Memiliki ruang penyimpanan obat yang terpisah dari ruangan lain sesuai CDOB. h. Memiliki laboratorium yang mempunyai kemampuan untuk pengujian bahan obat yang disalurkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Direktur Jenderal dan memiliki gudang khusus tempat penyimpanan bahan obat yang terpisah dari ruangan lain.
Tata cara mendapatkan izin PBF adalah dengan mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Balai POM. Permohonan harus ditandatangani oleh Direktur/Ketua dan Calon Apoteker Penanggung Jawab (APJ) disertai dengan kelengkapan administratif sesuai pada pasal 7 sebagai berikut :
a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas direktur/ketua; b. Susunan direksi/pengurus;
c. Pernyataan komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak pernah terlibat pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang farmasi;
d. Akta pendirian bahan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundangundangan;
f. Fotokopi Surat Ijin Usaha Perdagangan; g. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
h. Surat bukti penguasaan bangunan dan gudang; i. Peta lokasi dan denah bangunan;
j. Surat pernyataan kesediaan bekerja penuh APJ; k. Fotokopi Surat Tanda Registrasi APJ; dan
l. Surat bukti penguasaan laboratorium dan daftar peralatan (PBF Bahan Obat). Selain persyaratan di atas, dibutuhkan juga beberapa dokumen lainnya, seperti ijazah apoteker, surat perjanjian kerjasama antara pimpinan dan APJ yang disahkan oleh notaris, susunan organisasi berikut uraian tugas masing-masing, surat domisili perusahaan dari lurah/camat setempat, surat ijin tempat usaha berdasarkan UUG dari Dinas Satpol PP Provinsi, daftar pustaka (Farmakope edisi terakhir, peraturan perundang-undangan, dll), dan perlengkapan administrasi (kartu stok, faktur, surat pemesanan, surat jalan, dll).
Alur pengajuan ijin pendirian PBF adalah sebagai berikut :
a. Surat permohonan pengajuan ijin diajukan kepada Direktur Jenderal (Dirjen) dengan tembusan kepada Kepala Balai POM dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi;
b. Paling lambat dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya tembusan permohonan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi (DKP) melakukan verifikasi kelengkapan data administratif. Setelah dinyatakan memenuhi kelengkapan administratif tersebut, Kepala DKP mengeluarkan surat rekomendasi kepada Dirjen dengan tembusan Kepala Balai POM;
c. Paling lambat dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya tembusan permohonan, Kepala Balai POM melakukan audit pemenuhan persyaratan CDOB. Setelah dinyatakan memenuhi persyaratan CDOB, Kepala Balai POM mengeluarkan surat rekomendasi kepada Dirjen dengan tembusan Kepala Badan, Kepala DKP, dan pemohon;
d. Paling lambat dalam waktu 6 (enam) hari kerja setelah diterima surat rekomendasi dari Kepala DKP dan Kepala Balai POM, Dirjen mengeluarkan ijin PBF;
e. Apabila dalam batas waktu yang telah ditentukan, tidak dilakukan poin (b) dan (c), pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Dirjen dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala DKP dan Kepala Balai POM; dan
f. Paling lambat dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja sejak diterima surat pernyataan, Dirjen menerbitkan ijin PBF dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala DKP, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Kepala Balai POM
2.1.7 Pencabutan Ijin PBF
Ijin PBF dinyatakan tidak berlaku apabila: a. Masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang;
b. Dikenai sanksi berupa penghentian sementara kegiatan; atau c. Ijin PBF dicabut.
2.1.8 Penyelenggaraan PBF
Berdasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 yang mengatur Penyelenggaraan PBF menyebutkan bahwa PBF hanya dapat mengadakan, menyimpan dan menyalurkan obat dan/atau bahan obat yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri. PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dari industri farmasi dan/atau sesama PBF, sedangkan PBF cabang hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dan/ bahan obat dari PBF pusat. Setiap PBF harus memiliki APJ yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat dan/bahan obat, dimana APJ harus memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan, namun dilarang merangkap jabatan sebagai direksi/pengurus PBF. Jika terjadi pergantian APJ, direksi/pengurus PBF wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal atau Kepala Dinas Kesehatan Provinsi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) hari kerja. PBF dalam menyelenggarakan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran obat dan/atau bahan obat wajib menerapkan CDOB yang kemudian akan diberikan sertifikat CDOB (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2012).
2.1.8.1 Pengadaan
Kegiatan pengadaan obat dan/atau bahan obat di PBF, sebelumnya harus dilakukan kualifikasi yang tepat terhadap pemasok yang diinginkan. Pemilihan pemasok ini harus memiliki kriteria sendiri, termasuk kualifikasi dan persetujuan penunjukannya. Pemilihan pemasok harus dikendalikan dengan prosedur tertulis dan hasilnya didokumentasikan serta diperiksa ulang secara berkala. PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan bahan obat dari industri farmasi, sesama PBF, dan/atau melalui importasi. Obat dan/atau bahan obat yang diperoleh dari industri farmasi wajib dipastikan bahwa fasilitas distribusi pemasok tersebut telah mempunyai ijin serta menerapkan Prinsip dan Pedoman CPOB. Obat dan/atau bahan obat yang didapat dengan melalui importasi wajib dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-udangan. Pengadaan obat dan/atau bahan obat harus dikendalikan dengan prosedur tertulis dan rantai pasokan harus diidentifikasi serta didokumentasikan (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2012).
2.1.8.2 Penyaluran
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang PBF pada Pasal 21, PBF hanya dapat menyalurkan bahan obat kepada industri farmasi, PBF dan PBF Cabang lain, apotek, instalasi farmasi rumah sakit, dan lembaga ilmu pengetahuan. Proses penyaluran harus berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek atau APJ. Untuk lembaga ilmu pengetahuan, ditandatangani oleh pimpinan lembaga.
2.1.9 Pelaporan Kegiatan PBF
Dalam Pasal 30 menjelaskan bahwa setiap PBF wajib menyampaikan laporan kegiatan setiap 3 (tiga) bulan sekali namun dapat diminta setiap saat, meliputi kegiatan penerimaan dan penyaluran obat kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Balai POM.
2.2 Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) 2.2.1 Manajemen Mutu
Dalam manajemem mutu dimana fasilitas distribusi harus memastikan bahwa mutu obat dan/atau bahan obat dan integritas rantai distribusi harus dipertahankan selama proses distribusi. Seluruh kegiatan distribusi harus ditetapkan dengan jelas, dikaji secara sistematis dan semua tahapan kritis proses distribusi dan perubahan yang bermakna harus divalidasi dan didokumentasikan. Sistem mutu harus mencakup prinsip manajemen risiko mutu. Dalam suatu organisasi, pemastian mutu berfungsi sebagai alat manajemen. Harus adanya kebijakan mutu terdokumentasi yang menguraikan maksud keseluruhan dan persyaratan fasilitas distribusi yang berkaitan dengan mutu, sebagaimana dinyatakan dan disahkan secara resmi oleh manajemen yang mencakup struktur organisasi, prosedur, proses dan sumber daya, serta kegiatan yang diperlukan untuk memastikan bahwa obat dan/atau bahan obat yang dikirim tidak tercemar selama penyimpanan dan/atau transportasi. Totalitas dari tindakan ini digambarkan sebagai sistem mutu. Sistem mutu harus memastikan bahwa:
a. Obat dan/atau bahan obat diperoleh, disimpan, disediakan, dikirimkan atau diekspor dengan cara yang sesuai dengan persyaratan CDOB;
b. Tanggung jawab manajemen ditetapkan secara jelas;
c. Obat dan/atau bahan obat dikirimkan ke penerima yang tepat dalam jangkawaktu yang sesuai;
d. Kegiatan yang terkait dengan mutu dicatat pada saat kegiatan tersebut dilakukan; e. Penyimpangan terhadap prosedur yang sudah ditetapkan didokumentasikan
dan diselidiki; dan
f. Tindakan perbaikan dan pencegahan (Corrective Action Preventive
Action/CAPA) yang tepat dalam memperbaiki dan mencegah terjadinya
penyimpangan sesuai dengan prinsip manajemen risiko mutu.
Suatu sistem manajemen mutu harus mencakup pengendalian dan pengkajian berbagai kegiatan berdasarkan kontrak seperti mencakup manajemen risiko mutu yang meliputi penilaian terhadap kesesuaian dan kompetensi pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan kegiatan berdasarkan kontrak, penetapan
tanggung jawab dan proses komunikasi, pemantauan dan pengkajian secara teratur. Manajemen risiko mutu yang merupakan suatu proses sistematis untuk menilai, mengendalikan, mengkomunikasikan, dan mengkaji risiko terhadap mutu obat dan/atau bahan obat. Manajemen puncak harus mengkaji sistem manajemen mutu secara periodik. Kajian tersebut mencakup pengukuran pencapaian sasaran sistem manajemen mutu; penilaian indikator kinerja; peraturan, pedoman, dan hal baruyang berkaitan dengan mutu. Fasilitas distribusi harus melaksanakan penilaian risiko secara berkesinambungan untuk menilai risiko yang mungkin terjadi terhadap mutu dan integritas obat dan/atau bahan obat. Sistem mutu harus disusun dan diterapkan untuk menangani setiap potensi risiko yang teridentifikasi.
2.2.2 Organisasi, Manajemen, Personalia
Pelaksanaan dan pengelolaan sistem manajemen mutu yang baik serta distribusi obat dan/atau bahan obat yang benar sangat bergantung pada personil yang menjalankannya. Harus ada personil yang cukup dan kompeten untuk melaksanakan semua tugas yang menjadi tanggung jawab fasilitas distribusi. Di dalam perusahaan harus ada struktur organisasi untuk tiap bagian yang dilengkapi dengan bagan organisasi, tanggung jawab antar semua personil harus ditetapkan secara jelas. Manajemen puncak di fasilitas distribusi harus menunjuk seorang APJ yang memenuhi kualifikasi dan kompetensi sesuai peraturan perundang-undangan yang telah memiliki pengetahuan dan mengikuti pelatihan CDOB yang memuat aspek keamanan, identifikasi obat dan/atau bahan obat, deteksi dan pencegahan masuknya obat dan/atau bahan obat palsu ke dalam rantai distribusi. Penanggung jawab dalam pelaksanaan tugasnya harus memastikan bahwa fasilitas distribusi telah menerapkan CDOB. APJ memiliki tanggung jawab antara lain :
a. Menyusun, memastikan dan mempertahankan penerapan sistem manajemen mutu;
b. Fokus pada pengelolaan kegiatan yang menjadi kewenangannya serta menjaga akurasi dan mutu dokumentasi;
c. Menyusun dan/atau menyetujui program pelatihan mengenai CDOB untuk semua personil yang terkait dalam kegiatan distribusi;
d. Mengkoordinasikan dan melakukan dengan segera setiap kegiatan penarikan obat dan/atau bahan obat;
e. Memastikan bahwa keluhan pelanggan ditangani dengan efektif;
f. Melakukan kualifikasi dan persetujuan terhadap pemasok dan pelanggan; g. Meluluskan obat dan/atau bahan obat kembalian untuk dikembalikan ke dalam
stok obat dan/atau bahan obat yang memenuhi syarat jual;
h. Turut serta dalam pembuatan perjanjian antara pemberi kontrak dan penerika kontrak yang menjelaskan mengenai tanggung jawab masing-masing pihak yang berkaitan dengan distribusi dan/atau transportasi obat dan/atau bahan obat;
i. Memastikan inspeksi diri dilakukan secara berkala sesuai program dan tersedia tindakan perbaikan yang diperlukan;
j. Mendelegasikan tugasnya kepada Apoteker lain yang telah mendapatkan persetujuan dari instansi berwenang ketika sedang tidak berada di tempat dalam jangka waktu tertentu;
k. Turut serta dalam setiap pengambilan keputusan untuk mengkarantina atau memusnahkan obat dan/atau bahan obat kembalian, rusak, hasil penarikan kembali atau diduga palsu; dan
l. Memastikan pemenuhan persyaratan lain yang diwajibkan untuk obat dan/atau bahan obat tertentu sesuai peraturan perundang-undangan.
Setiap personil lainnya harus kompeten dan tersedia dalam jumlah yang memadai. Semua personil harus memahami prinsip CDOB dan harus menerima pelatihan yang sesuai dengan tanggung jawabnya. Selain itu, harus tersedia prosedur tertulis berkaitan dengan higiene personil yang relevan dengan kegiatannya mencakup kesehatan, higiene dan pakaian kerja.
2.2.3 Bangunan dan Peralatan
Fasilitas distribusi harus memiliki bangunan dan peralatan dalam menjamin perlindungan dan distribusi obat dan/atau bahan obat. Persyaratan bangunan dan peralatan antara lain:
a. Bangunan harus dirancang dan disesuaikan untuk memastikan bahwa kondisi penyimpanan yang baik dapat dipertahankan, mempunyai keamanan yang
memadai dan kapasitas yang cukup untuk memungkinkan penyimpanan dan penanganan obat yang baik, dan area penyimpanan dilengkapi dengan pencahayaan yang memadai untuk memungkinkan semua kegiatan dilaksanakan secara akurat;
b. Jika bangunan (termasuk sarana penunjang) bukan milik sendiri, maka harus tersedia kontrak tertulis dan pengelolaan bangunan tersebut;
c. Harus ada area terpisah dan terkunci antara obat dan/atau bahan obat yang menunggu keputusan lebih lanjut mengenai statusnya, meliputi obat dan/atau bahan obat yang diduga palsu, yang dikembalikan, yang ditolak, yang akan dimusnahkan, yang ditarik, dan yang kadaluwarsa dari obat dan/atau bahan obat yang dapat disalurkan;
d. Jika diperlukan area penyimpanan dengan kondisi khusus, harus dilakukan pengendalian yang memadai untuk menjaga agar semua bagian terkait dengan area penyimpanan berada dalam parameter suhu, kelembaban dan pencahayaan sesuai yang dipersyaratkan;
e. Harus tersedia kondisi penyimpanan khusus untuk obat dan/atau bahan obat yang membutuhkan penanganan dan kewenangan khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan (misalnya narkotika);
f. Harus tersedia area khusus untuk penyimpanan obat dan/atau bahan obat yang mengandung bahan radioaktif dan bahan berbahaya lain yang dapat menimbulkan risiko kebakaran atau ledakan (misalnya gas bertekanan, mudah terbakar, cairan dan padatan mudah menyala) sesuai persyaratan keselamatan dan keamanan;
g. Area penerimaan, penyimpanan dan pengiriman harus terpisah, terlindung dari kondisi cuaca, dan harus didesain dengan baik serta dilengkapi dengan peralatan yang memadai;
h. Akses masuk ke area penerimaan, penyimpanan dan pengiriman hanya diberikan kepada personil yang berwenang. Langkah pencegahan dapat berupa sistem alarm dan kontrol akses yang memadai;
i. Harus tersedia prosedur tertulis yang mengatur personil termasuk personil kontrak yang memiliki akses terhadap obat dan/atau bahan obat di area
penerimaan, penyimpanan dan pengiriman, untuk meminimalkan kemungkinan obat dan/atau bahan obat diberikan kepada pihak yang tidak berhak;
j. Bangunan dan fasilitas penyimpanan harus bersih dan bebas dari sampah dan debu. Harus tersedia prosedur tertulis, program pembersihan dan dokumentasi pelaksanaan pembersihan; peralatan pembersihan yang dipakai harus seuai agar tidak menjadi sumber kontaminasi terhadap obat dan/atau bahan obat dan ; k. Ruang istirahat, toilet dan kantin untuk personil harus terpisah dari area
penyimpanan.
Selain itu harus tersedia prosedur tertulis dan peralatan yang sesuai untuk mengendalikan lingkungan selama penyimpanan obat dan/atau bahan obat. Semua peralatan untuk penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat harus didesain, diletakkan dan dipelihara sesuai dengan standar yang ditetapkan. Harus tersedia program perawatan untuk peralatan vital, seperti termometer, genset, dan
chiller. Peralatan yang digunakan untuk mengendalikan atau memonitor lingkungan
penyimpanan harus dikalibrasi, serta kebenaran dan kesesuaian tujuan penggunaan diverifikasi secara berkala dengan metodologi yang tepat. Seluruh kegiatan tersebut harus terdokumentasi, baik secara manual ataupun komputerisasi untuk kegiatan perbaikan, pemeliharaan dan kalibrasi peralatan.
2.2.4 Operasional
Tahapan dalam operasional adalah hubungan pemasok dan kualifikasi. Fasilitas distribusi harus memperoleh pasokan obat dan/atau bahan obat dari pemasok yang mempunyai ijin sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika obat dan/atau bahan obat diperoleh dari fasilitas distribusi lain, perlu dipastikan bahwa pemasok tersebut mempunyai ijin dan menerapkan prinsip dan pedoman CDOB. Kualifikasi pemasok ini dilakukan sebelum memulai kerjasama guna memastikan calon pemasok tersebut sesuai, kompeten, dan dipercaya untuk memasok obat dan/atau bahan obat. Selain melakukan kualifikasi pemasok, fasilitas distribusi juga harus memastikan bahwa obat dan/atau bahan obat hanya disalurkan kepada pihak yang berhak atau berwenang.
Pada proses penerimaan obat dan/atau bahan obat harus dipastikan bahwa obat dan/atau bahan obat yang diterima benar, berasal dari pemasok yang disetujui,
tidak rusak atau tidak mengalami perubahan selama transportasi. Selain itu, nomor bets dan tanggal kadaluwarsa obat dan/atau bahan obat harus dicatat pada saat penerimaan, agar mempermudah penelusuran. Jika ditemukan obat dan/atau bahan obat diduga palsu, bets tersebut harus segera dipisahkan dan dilaporkan ke instansi berwenang, dan ke pemegang ijin edar. Pengiriman obat dan/atau bahan obat yang diterima dari sarana transportasi harus diperiksa sebagai bentuk verifikasi terhadap keutuhan kontainer/ sistem penutup, fisik dan fitur kemasan serta label kemasan.
Proses penyimpanan dan penanganan obat dan/atau bahan obat harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dimana kondisi penyimpanan untuk obat dan/atau bahan obat harus sesuai dengan rekomendasi dari industri farmasi atau non-farmasi yang memproduksi bahan obat standar mutu farmasi. Obat dan/atau bahan obat harus disimpan terpisah dari produk selain obat dan/atau bahan obat dan terlindung dari dampak yang tidak diinginkan akibat paparan cahaya matahari, suhu, kelembaban atau faktor eksternal lain. Perhatian khusus harus diberikan terhadap obat dan/atau bahan obat yang membutuhkan kondisi penyimpanan khusus. Kegiatan yang terkait dengan penyimpanan obat dan/atau bahan obat harus memastikan terpenuhinya kondisi penyimpanan yang dipersyaratkan dan memungkinkan penyimpanan secara teratur sesuai kategorinya; obat dan/atau bahan obat dalam status karantina, diluluskan, ditolak, dikembalikan, ditarik atau diduga palsu. Harus diambil langkah-langkah untuk memastikan stok sesuai dengan tanggal kadaluwarsa obat dan/atau bahan obat mengikuti sistem First
Expired First Out (FEFO). Obat dan/atau bahan obat harus ditangani dan disimpan
untuk mencegah tumpahan, kerusakan, kontaminasi, campur-baur dan tidak boleh langsung diletakkan di lantai. Obat dan/atau bahan obat yang kadaluwarsa harus segera ditarik, dipisahkan secara fisik dan diblokir secara elektronik. Penarikan secara fisik untuk obat dan/atau bahan obat kadaluwarsa harus dilakukan secara berkala. Dalam menjaga akurasi persediaan stok, harus dilakukan stock opname secara berkala. Perbedaan stok harus diselidiki sesuai dengan prosedur tertulis yang ditentukan untuk memeriksa ada tidaknya campur-baur, kesalahan keluar-masuk, pencurian, penyalahgunaan obat dan/atau bahan obat. Dokumentasi yang berkaitan dengan penyelidikan harus disimpan untuk jangka waktu yang telah ditentukan.
Obat dan/atau bahan obat yang dipisahkan harus disimpan di tempat khusus dengan label yang jelas, aman, terkunci dan akses masuk yang dibatasi hanya untuk personil yang berwenang. Pemusnahan obat dan/atau bahan obat dilaksanakan terhadap obat dan/atau bahan obat yang tidak memenuhi syarat untuk didistribusikan. Obat dan/atau bahan obat yang akan dimusnahkan harus diidentifikasi secara tepat, diberi label yang jelas, disimpan secara terpisah dan terkunci serta ditangani sesuai dengan prosedur tertulis. Prosedur tertulis tersebut harus memperhatikan dampak terhadap kesehatan, pencegahan pencemaran lingkungan dan kebocoran/ penyimpangan obat dan/atau bahan obat kepada pihak yang tidak berwenang. Proses pengambilan obat dan/atau bahan obat harus dilakukan dengan tepat sesuai dengan dokumen yang tersedia untuk memastikan obat dan/atau bahan obat yang diambil benar. Obat dan/atau bahan obat yang diambil harus memiliki masa simpan yang cukup sebelum kadaluwarsa dan berdasarkan sistem FEFO. Nomor bets obat dan/atau bahan obat harus dicatat. Pengecualian dapat diijinkan jika ada kontrol yang memadai untuk mencegah pendistribusian obat dan/atau bahan obat kadaluwarsa.
Pengiriman obat dan/atau bahan obat harus ditujukan kepada pelanggan, harus dilengkapi dengan dokumen agar mampu ditelusuri. Proses pengiriman dan kondisi penyimpanan harus sesuai dengan persyaratan obat dan/atau bahan obat dari industri farmasi. Dokumen untuk pengiriman obat dan/atau bahan obat harus disiapkan dan harus mencakup sekurangkurangnya informasi berikut:
a. Tanggal pengiriman;
b. Nama lengkap, alamat (tanpa akronim), nomor telepon dan status dari penerima (misalnya Apotek, rumah sakit atau klinik);
c. Deskripsi obat dan/atau bahan obat, misalnya nama, bentuk sediaan dan kekuatan (jika perlu);
d. Nomor bets dan tanggal kedaluwarsa;
e. Kuantitas obat dan/atau bahan obat, yaitu jumlah kontainer dan kuantitas per kontainer (jika perlu);
f. Nomor dokumen untuk identifikasi order pengiriman; dan
g. Transportasi yang digunakan harus mencantumkan nama dan alamat perusahaan ekspedisi serta tanda tangan dan nama jelas personil ekspedisi yang menerima
(jika menggunakan jasa ekspedisi) dan kondisi penyimpanan. Kegiatan operasional yang terakhir adalah ekspor dan impor. Ekspor obat dan/atau bahan obat dapat dilakukan oleh fasilitas distribusi yang memiliki ijin. Pengadaan obat dan/atau bahan obat melalui importasi dilaksanakan sesuai peraturan perundang- undangan.
2.2.5 Inspeksi Diri
Inspeksi diri harus dilakukan dalam rangka memantau pelaksanaan dan kepatuhan terhadap pemenuhan CDOB dan tindak lanjut yang diperlukan terhadap bahan. Program inspeksi diri harus dilaksanakan dalam jangka waktu yang ditetapkan dan mencakup semua aspek CDOB serta kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, pedoman dan prosedur tertulis. Inspeksi diri harus dilakukan dengan cara yang independen dan rinci oleh personil yang kompeten dan ditunjuk oleh perusahaan. Semua pelaksanaan inspeksi diri harus dicatat dan laporan harus berisi semua pengamatan yang dilakukan selama inspeksi. Salinan laporan tersebut harus disampaikan kepada manajemen dan pihak terkait lainnya. Jika dalam pengamatan ditemukan adanya penyimpangan dan/atau kekurangan, maka penyebabnya harus diidentifikasi dan dibuat CAPA yang harus didokumentasikan dan ditindaklanjuti.
2.2.6 Keluhan, Obat dan/atau Bahan Obat Kembalian, Diduga Palsu, dan Penarikan Kembali
Penanganan keluhan, kembalian, duduga palsu harus memiliki prosedur tertulis. Harus dibedakan antara keluhan tentang kualitas obat dan/atau bahan obat dan keluhan yang berkaitan dengan distribusi. Keluhan tentang kualitas obat dan/atau bahan obat harus diberitahukan sesegera mungkin kepada industri farmasi dan/atau pemegang izin edar. Catatan terhadap penanganan keluhan termasuk waktu yang diperlukan harus tersedia untuk tindak lanjutnya dan didokumentasikan. Harus ada personil yang ditunjuk untuk menangani keluhan. Jika terjadi keluhan maka semua keluhan dan informasi lain tentang obat dan/atau bahan obat berpotensi rusak harus dikumpulkan, dikaji dan diselidiki sesuai dengan prosedur tertulis serta
keluhan termasuk pengembalian dan penarikan kembali serta dilaporkan kepada pihak yang berwenang. Mengenai obat dan/atau bahan obat kembalian, harus tersedia prosedur tertulis untuk penanganan dan penerimaannya yang harus memperhatikan bahwa penerimaan obat dan/atau bahan obat kembalian harus berdasarkan surat pengiriman barang dari sarana yang mengembalikan serta jumlah dan identifikasi obat harus dicatat dalam catatan penerimaan dan pengembalian barang. Obat dan/atau bahan obat kembalian harus disimpan terpisah dari obat dan/atau bahan obat yang memenuhi syarat jual dan dalam area terkunci serta diberi label yang jelas sampai ada keputusan tindak lanjut dari personil yang berwenang. Obat dan/atau bahan obat dapat dijual kembali melalui persetujuan dari personil yang bertanggung jawab sesuai dengan kewenangannya. Adapun persyaratan obat dan/atau bahan obat yang layak dijual kembali, antara lain jika:
a. Obat dan/atau bahan obat dalam kemasan asli dan kondisi yang memenuhi syarat serta memenuhi ketentuan;
b. Obat dan/atau bahan obat kembalian selama pengiriman dan penyimpanan ditangani sesuai dengan kondisi yang dipersyaratkan;
c. Obat dan/atau bahan obat kembalian diperiksa dan dinilai oleh penanggung jawab atau personil yang terlatih, kompeten dan berwenang; dan
d. Fasilitas distribusi mempunyai bukti dokumentasi tentang kebenaran asal-usul obat dan/atau bahan obat termasuk identitas obat dan/atau bahan obat untuk memastikan bahwa obat dan/atau bahan obat kembalian tersebut bukan obat dan/atau bahan obat palsu.
Obat dan/atau bahan obat tidak dapat dikembalikan apabila memerlukan kondisi penyimpanan dengan suhu rendah. Semua penanganan obat dan / atau bahan obat kembalian harus mendapat persetujuan penanggung jawab dan terdokumentasi. Sedangkan untuk obat dan/atau bahan obat diduga palsu dimana harus tersedia prosedur tertulis sebelumnya untuk penanganan dan penerimaan obat dan/atau bahan obat yang diduga palsu dan penyalurannya harus dihentikan, segera dilaporkan ke instansi terkait dan menunggu tindak lanjut dari yang berwenang. Setelah ada pemastian bahwa obat dan/atau bahan obat tersebut palsu, maka harus segera ditindak lanjuti sesuai dengan instruksi dari instansi yang berwenang.
2.2.7 Transportasi
Selama proses transportasi, harus diterapkan metode transportasi yang memadai. Obat dan/atau bahan obat harus diangkut dengan kondisi penyimpanan sesuai dengan informasi pada kemasan. Metode transportasi yang tepat harus digunakan meliputi transportasi melalui darat, laut, udara atau kombinasi. Apapun metoda transportasi yang dipilih, harus dapat menjamin bahwa obat dan/atau bahan obat tidak mengalami perubahan kondisi selama transportasi yang dapat mengurangi mutu. Pendekatan berbasis risiko harus digunakan ketika merencanakan rute transportasi. Kendaraan dan personil yang terlibat dalam pengiriman harus dilengkapi dengan peralatan keamanan tambahan yang sesuai untuk mencegah pencurian obat dan/atau bahan obat dan penyelewengan lainnya selama transportasi. Pengiriman obat dan/atau bahan obat harus dipilih yang aman dan dilengkapi dengan dokumentasi yang sesuai untuk mempermudah identifikasi dan verifikasi kepatuhan terhadap persyaratan yang ditetapkan. Kondisi penyimpanan yang dipersyaratkan untuk obat dan/atau bahan obat harus dipertahankan selama transportasi sesuai dengan yang ditetapkan pada informasi kemasan. Jadwal pengiriman dan rencana perjalanan harus disiapkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat. Obat dan/atau bahan obat harus disimpan dan diangkut sesuai prosedur, agar :
a. Identitas obat dan/atau bahan obat tidak hilang;
b. Produk tidak mencemari dan tidak terkontaminasi oleh produk lain;
c. Ada tindakan pencegahan yang memadai apabila terjadi tumpahan, penyalahgunaan, kerusakan, dan pencurian; dan
d. Kondisi lingkungan tetap dipertahankan, misalnya menggunakan rantai dingin untuk produk termolabil. Apabila menggunakan kendaraan berpendingin, alat pemantau suhu selama transportasi harus dipelihara dan dikalibrasi secara berkala atau minimal setahun sekali dan harus mempertimbangkan variasi musim. Jika diperlukan, pelanggan dapat memperoleh dokumen data suhu untuk menunjukkan bahwa obat dan/atau bahan obat tetap dalam kondisi suhu penyimpanan yang dipersyaratkan selama transportasi.
2.2.8 Fasilitas Distribusi Berdasarkan Kontrak
Cakupan kegiatan kontrak terutama yang terkait dengan keamanan, khasiat dan mutu obat dan/atau bahan obat meliputi kontrak antar fasilitas distribusi dan kontrak antara fasilitas distribusi dengan pihak penyedia jasa antara lain transportasi, pengendalian hama, pergudangan, kebersihan dan sebagainya. Semua kegiatan kontrak harus tertulis antara pemberi kontrak dan penerima kontrak serta setiap kegiatan harus sesuai dengan persyaratan CDOB. Pemberi kontrak bertanggung jawab untuk menilai kompetensi yang diperlukan oleh penerima kontrak dengan cara dilakukan audit. Pemberi kontrak harus melakukan pengawasan terhadap penerima kontrak dalam melaksanakan tugas yang dikontrakkan sesuai dengan prinsip dan pedoman CDOB. Penerima kontrak harus memiliki tempat, personil yang kompeten, peralatan, pengetahuan dan pengalaman dalam melaksanakan tugas yang dikontrakkan oleh pemberi kontrak. Penerima kontrak tidak diperbolehkan untuk mengalihkan pekerjaan yang dipercayakan oleh pemberi kontrak kepada pihak ketiga sebelum dilakukannya evaluasi, dan mendapatkan persetujuan dari pemberi kontrak serta dilakukannya audit ke pihak ketiga tersebut.
2.2.9 Dokumentasi
Dokumentasi merupakan bagian terpenting dimana dokumen tertulis terkait dengan distribusi (pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan pelaporan), prosedur tertulis dan dokumen lain yang terkait dengan pemastian mutu. Dokumentasi tertulis harus jelas untuk mencegah kesalahan dari komunikasi lisan dan harus dibuat pada saat kegiatan berlangsung untuk memudahkan penelusuran. Dokumentasi terdiri dari semua prosedur tertulis, petunjuk, kontrak, catatan dan data, dalam bentuk kertas maupun elektronik. Dokumentasi yang jelas dan rinci merupakan dasar untuk memastikan bahwa setiap personil melaksanakan kegiatan, sesuai uraian tugas sehingga memperkecil risiko kesalahan.
Dokumentasi distribusi harus mencakup informasi berikut: a. Tanggal;
b. Nama obat dan/atau bahan obat; c. Nomor bets;
d. Tanggal kedaluwarsa;
e. Jumlah yang diterima/ disalurkan; dan f. Nama dan alamat pemasok/ pelanggan.
Dokumentasi harus komprehensif mencakup ruang lingkup kegiatan fasilitas distribusi dan ditulis dalam bahasa yang jelas, dimengerti oleh personil. Prosedur tertulis harus disetujui, ditandatangani dan diberi tanggal oleh personil yang berwenang. Setiap perubahan yang dibuat dalam dokumentasi harus ditandatangani, diberi tanggal dan memungkinkan pembacaan informasi yang asli dan bila diperlukan alasan perubahan harus dicatat. Semua dokumentasi harus mudah didapat kembali, disimpan dan dipelihara pada tempat yang aman untuk mencegah dari perubahan yang tidak sah, kerusakan dan/atau kehilangan dokumen. Dokumen yang dibuat harus disimpan dalam waktu sekurang-kurangnya 5 tahun dari tanggal pembuatan dokumen. Dokumen yang dibuat harus dikaji ulang secara berkala dan dijaga agar selalu up to date. Jika suatu dokumen direvisi, harus dijalankan suatu sistem untuk menghindarkan penggunaan dokumen yang sudah tidak berlaku.
2.3 Importasi
Berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia terkait importasi yang tercantum pada UU No. 17 tahun 2006 dan Per KBPOM No. 28 tahun 2013. Di dalam UU No. 17 tahun 2006, yang dimaksud dengan impor merupakan kegiatan memasukan barang ke dalam daerah pabean, yaitu wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat - tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan. Kegiatan impor merupakan salah satu kegiatan yang paling penting dilakukan oleh PBF BO karena hampir seluruh bahan obat diproduksi/berasal dari luar negeri. Bahan Obat yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia harus memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu, serta memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang impor (BPOM RI, 2013).
Peraturan terbaru yang berlaku saat ini mengenai kegiatan ekspor-impor adalah peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Penggunaan Sistem
Elektronik dalam rangka Indonesia National Single Window (INSW) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2012. Latar belakang dari penerapan INSW tersebut adalah didorong adanya kepentingan nasional untuk meningkatkan kelancaran arus barang dan kinerja pelayanan ekspor-impor serta sebagai wujud nyata komitmen Indonesia untuk menjalankan kesepakatan di tingkat Regional ASEAN. Dimana terjadi kondisi kinerja pelayanan lalu lintas barang ekspor-impor seperti lead time (release-time) atau waktu penanganan barang impor yang masih terlalu lama dan masih banyaknya Point ofServices (titik- titik pelayanan) dalam kegiatan ekspor-impor yang mengakibatkan adanya banyaknya biaya-biaya tambahan atau high cost economy. Di samping itu juga dilandasi karena kepentingan nasional untuk mengontrol lalu-lintas barang negara, terutama terkait dengan isu terorisme, perdagangan gelap narkoba, aktivitas impor ilegal, dan perlindungan konsumen. Sistem INSW memungkinkan dilakukannya suatu penyampaian data dan informasi secara tunggal, proses data, sinkron, dan pembuatan keputusan secara tunggal untuk pemberian ijin kepabeanan dan pengeluaran barang. Sistem tersebut terintegrasi secara nasional dan dapat diakses melalui jaringan Internet, yang akan melakukan integrasi informasi berkaitan dengan proses penanganan dokumen kepabeanan dan dokumen lain yang terkait dengan ekspor-impor, menjamin keamanan data dan informasi serta memadukan alur dan proses informasi antar sistem internal secara otomatis, yang meliputi sistem kepabeanan, perijinan, kepelabuhanan/ kebandarudaraan, dan sistem lain yang terkait dengan proses pelayanan dan pengawasan kegiatan ekspor-impor. INSW ini telah diimplementasikan pada lima belas instansi pemerintah (diantaranya: Badan POM, Ditjen Bea Cukai, Kemenkes), sehingga sangat memudahkan untuk mengurus perijinan dalam melakukan kegiatan impor bahan obat. Layanan portal INSW meliputi :
a. Penerimaan dokumen Pemberitahuan Pabean oleh Importir/PPJK.
b. Penerimaan dokumen perijinan yang dikeluarkan oleh instansi teknis terkait. c. Proses otomasi layanan Customs Release dan Cargo Clearance.
d. Proses tracking dokumen Pemberitahuan Pabean dan Dokumen Perijinan Berdasarkan pada peraturan BPOM No. 28 tahun 2013 Mengenai pemasukan bahan obat di wilayah indonesia, dimana pemasukan bahan obat yang akan
dilakukan oleh PBF harus mendapat persetujuan dari kepala BPOM berupa SKI (Surat Keterangan Impor) yang hanya berlaku untuk 1 kali pemasukan. Pemohon yang akan mengajukan permohonan SKI harus melakukan pendaftaran dengan mekanisme Single Sign On untuk mendapatkan akun pemohon berupa user ID dan password sehingga dapat memperoleh akses login di inhouse Badan POM (termasuk Balai Besar/Balai POM) dan Portal Indonesia National Single Window. Pendaftaran dilakukan melalui website http://www.e-bpom.pom.go.id dengan melakukan entry data dan dilengkapi dengan dokumen pendukung yang diupload ke dalam aplikasi e-bpom. Dokumen tersebut antara lain :
a. Asli Surat Permohonan yang ditandatangani oleh Direktur atau Kuasa Direksi dan bermaterai;
a. Asli Surat Pernyataan Penanggung Jawab dan bermaterai; b. Fotokopi Angka Pengenal Impor (API);
c. Fotokopi Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP); d. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
e. Fotokopi Surat Kuasa Pemasukan yang dibuat dalam bentuk Akta Umum oleh Notaris, dalam hal pemohon merupakan perusahaan yang diberi kuasa untuk mengimpor;
b. Ijin Industri Farmasi atau Ijin PBF Penyalur Bahan Obat, dalam hal pemasukan Bahan Obat; dan
c. Daftar HS Code (Harmonized System Code merupakan suatu daftar penggolongan barang yang dibuat secara sistematis dengan tujuan mempermudah penarifan, transaksi perdagangan, pengangkutan dan statistik yang telah diperbaiki dari sistem klasifikasi sebelumnya) bahan obat yang akan diimpor. Untuk keperluan verifikasi dokumen, pemohon harus memperlihatkan dokumen asli untuk diperiksa. Setelah dinyatakan lengkap dan benar, pemohon akan mendapatkan user ID dan password yang digunakan untuk mengajukan permohonan SKI melalui website BPOM.
Dalam melakukan permohonan SKI terhadap bahan obat yang diimpor harus disertakan dokumen elektronik sebagai berikut :
b. Lembar data keamanan dan/atau spesifikasi bahan; d. Surat pernyataan tujuan penggunaan;
e. Faktur (invoice); f. Packing list;
g. Bill of Lading (B/L) untuk pengiriman dengan kapal atau Air Way Bill (AWB)
untuk pengiriman dengan pesawat;
h. Bukti pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP); dan
i. Sertifikat CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) yang masih berlaku dari Badan Otoritas setempat.
Dokumen yang diajukan tersebut akan dievaluasi melalui beberapa tahapan evaluasi untuk pemenuhan persyaratan administratif dan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu. Hasil evaluasi dapat berupa persetujuan atau penolakan. Jika hasil evaluasi berupa penolakan karena kekurangan data, paling lama dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, pemohon dapat mengajukan permohonan kembali tanpa dikenai biaya. Jika permohonan kembali diajukan setelah lewat jangka waktu 30 hari, pemohon dapat mengajukan kembali sebagai pemohon baru. SKI diterbitkan dalam bentuk elektronik paling lama 1 hari kerja setelah dokumen dinyatakan lengkap dan benar dan SKI dapat dicetak oleh pemohon atau instansi lain yang berkepentingan melalui sistem Indonesia National
Single Window (INSW).
2.3.1 Proses pengeluaran barang impor
Proses pengeluaran barang impor diatur berdasarkan Peraturan Dirjen Bea dan Cukai No. P- 42/BC/2008, dimana pengeluaran Barang Impor dari Kawasan Pabean wajib diberitahukan dengan Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang disampaikan ke Kantor Pabean. Importir wajib melakukan pembayaran PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) atas pelayanan PIB melalui bank devisa atau Kantor Pabean paling lambat pada saat penyampaian PIB. PIB dibuat oleh Importir berdasarkan dokumen pelengkap pabean (meliputi : Invoice, Packing List, Bill of
Lading/Airway Bill dan dokumen pemenuhan persyaratan Impor, dan dokumen
lainnya yang dipersyaratkan) dan dokumen pemesanan pita cukai dengan menghitung sendiri bea masuk, cukai, dan PDRI (Pajak Dalam Rangka Impor) yang
harus dibayar. Pembayaran tersebut dilakukan dengan menggunakan SSPCP (Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak) yang sekaligus digunakan sebagai bukti bayar jika telah dilakukan pembayaran. Penyampaian PIB ke Kantor Pabean harus mencantumkan Nomor Transaksi Bank. Hal ini dilakukan untuk setiap pengimporan dalam bentuk data elektronik ataupun dalam formulir. Data elektronik disampaikan melalui sistem PDE (Pertukaran Data Elektronik) kepabeanan atau menggunakan media penyimpan data elektronik. Selanjutnya PIB, dokumen pelengkap pabean dan bukti pembayaran bea masuk, cukai dan PDRI disampaikan kepada Pejabat di Kantor Pabean tempat pengeluaran barang. Untuk PIB yang disampaikan melalui sistem PDE Kepabeanan, PIB, dokumen pelengkap pabean, dan bukti pelunasan bea masuk, cukai, PDRI, PNBP, dan dokumen pemesanan pita cukai harus disampaikan kepada Pejabat di Kantor Pabean tempatpengeluaran barang dalam jangka waktu 3 hari setelah dikeluarkannya Surat Pemberitahuan Jalur Merah (SPJM) untuk jalur merah; Surat Pemberitahuan Jalur Kuning (SPJK) untuk jalur kuning; SPPB (Surat Perintah Pengeluaran Barang) untuk jalur hijau dan 5 (lima) hari kerja setelah tanggal SPPB untuk jalur MITA Prioritas dan jalur MITA Non Prioritas. Terhadap Barang Impor yang telah diajukan PIB akan dilakukan pemeriksaan pabean oleh pejabat bea cukai secara selektif meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang. Untuk memudahkan pemeriksaan tersebut dilakukan penetapan jalur pengeluaran Barang Impor yang meliputi :
a. Jalur Merah dilakukan penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang (dapat dilakukan dengan pemindaian peti kemas menggunakan sinar X ataupun melalui uji laboratorium jika diperlukan) yang dilakukan 3 hari setelah dikeluarkan SPJM;
b. Jalur Kuning, proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran Barang Impor dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan penelitian dokumen sebelum penerbitan SPPB;
c. Jalur Hijau hanya dilakukan penelitian dokumen seterlah pener bitan SPPB; d. Jalur MITA Non-Prioritas; dan
Salah satu pemeriksaan dokumen yang dilakukan adalah penelitian terhadap tarif dan nilai pabean yang diberitahukan oleh importir akan selesai dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran PIB. Jika ditemukan terdapat kekurangan pembayaran bea masuk, cukai, dan PDRI, Pejabat akan menerbitkan Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP). Importir dapat mengajukan keberatan secara tertulis atas penetapan yang telah dilakukan oleh pejabat bea cukai. Pengeluaran barang impor dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari sistem komputer pelayanan atau Pejabat. Berikutmerupakan alur pengeluaran barang untuk PIB yang disampaikan melalui sistem PDE kepabeanan : A. Pendaftaran PIB
1. Importir mengisi PIB secara lengkap dengan menggunakan program aplikasi PIB, dengan mendasarkan pada data dan informasi dari dokumen pelengkap pabean.
2. Importir melakukan pembayaran bea masuk (BM), cukai, PDRI, dan PNBP melalui Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi yang telah terhubung dengan sistem PDE Kepabeanan, kecuali untuk Importir yang menggunakan fasilitas pembayaran berkala.
3. Importir mengirim data PIB secara elektronik ke Sistem Komputer Pelayanan (SKP) di Kantor Pabenan melalui portal INSW.
a. Portal INSW melakukan penelitian tentang pemenuhan ketentuan larangan/pembatasan atas Barang Impor yang diberitahukan.
b. Apabila hasil penelitian menunjukkan barang impor yang diberitahukan terkena ketentuan larangan/pembatasan dan persyaratannya belum dipenuhi, portal INSW mengembalikan data PIB kepada importir untuk diajukan kembali setelah dipenuhi.
c. Apabila hasil penelitian menunjukkan barang yang diimpor tidak terkena ketentuan larangan/pembatasan atau ketentuan larangan/pembatasannya telah dipenuhi, portal INSW meneruskan data PIB ke SKP di Kantor Pabean untuk diproses lebih lanjut.
5. SKP di Kantor Pabean menerima data PIB dan melakukan penelitian ada atau tidaknya pemblokiran Importir dan PPJK.
6. Apabila hasil penelitian menunjukkan Importir diblokir, SKP menerbitkan respons penolakan
7. Apabila hasil penelitian menunjukan Importir tidak diblokir, maka SKP akan melakukan penelitan data PIB meliputi:
a. Kelengkapan pengisian data PIB; b. Pembayaran BM, cukai, dan PDRI; c. Pembayaran PNBP;
d. Nomor dan tanggal B/L, AWB atau nomor pengajuan tidak berulang; e. Kesesuaian PIB dengan BC 1.1. meliputi:
1. Nomor dan tanggal BC 1.1., pos/sub pos BC 1.1., host B/L, jumlah container, nomor container, dan ukuran container untuk impor melalui pelabuhan laut; 2. Nomor dan tanggal BC 1.1., pos/sub pos BC 1.1. dan host AWB untuk impor
melalui bandara;
f. Kode dan nilai tukar valuta asing ada dalam data NDPBM
g. Pos tarif yang tercantum dalam BTBMI (Buku Tarif Bea Masuk Indonesia) h. Importir memiliki Nomor Identitas Kepabean ( NIK) untuk selain importasi pertama atau importir yang dikecualikan dari NIK
i. Bukti penerimaan jaminan, dalam hal importasi memerlukan jaminan j. PPJK memiliki Nomor Pokok PPJK ( NP PPJK) dan
k. Jumlah jaminan yang dipertaruhkan oleh PPJK.
8. Apabila pengisian data PIB tidak sesuai, maka SKP akan mengirim respons penolakan. Importir wajib melakukan perbaikan data PIB sesuai respons penolakan dan mengirimkan kembali data PIB yang telah diperbaiki.
9. Apabila hal pengisian data PIB telah sesuai, SKP meneruskan data PIB yang memerlukan penelitian lebih lanjut terkait dengan ketentuan larangan/pembatasan kepada Pejabat yang menangani penelitian barang larangan/pembatasan untuk dilakukan penelitian.
10. Apabila hasil penelitian menunjukkan barang impor tidak terkena ketentuan larangan/pembatasan, pejabat yang menangani penelitian barang
SKP memberikan nomor pendaftaran PIB dan dilakukan penetapan jalur pelayanan impor.
11. Apabila hasil penelitian menunjukkan barang impor terkena ketentuan larangan/pembatasan dan persyaratannya belum dipenuhi pejabat yang menangani penelitian dalam SKP akan menerbitkan respons Nota Pemberitahuan Barang Larangan/Pembatasan (NPBL) dengan tembusan kepada unit pengawasan. Importir akan menerima yang respons NPBL wajib menyerahkan dokumen yang dipersyaratkan dilampiri dengan hasil cetak NPBL kepada Pejabat yang menangani penelitian barang larangan/pembatasan melalui Pejabat penerima dokumen. Jika dokumen yang dipersyaratkan telah sesuai selanjutnya SKP memberikan nomor pendaftaran PIB dan dilakukan penetapan jalur pelayanan impor.
B. Penetapan Jalur Pelayanan Impor
Pengeluaran barang dilakukan berdasarkan penetapan jalur pelayanan impor, yaitu :
a. Untuk pengeluaran Barang Impor yang ditetapkan melalui Jalur MITA Prioritas:
1. SKP mengirim respons SPPB kepada Importir.
2. Importir menerima respons SPPB dan mencetak SPPB untuk pengeluaran barang dari Kawasan Pabean.
b. Untuk pengeluaran Barang Impor yang ditetapkan melalui Jalur MITA Non- Prioritas:
1. SKP mengirim respons SPPB atau SPPF kepada Importir. 2. Importir menerima respons berupa:
1. SPPB dan mencetaknya untuk pengeluaran barang dari Kawasan Pabean; atau
2. SPPF (Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Fisik) dan mencetaknya sebagai ijin pengeluaran barang dari Kawasan Pabean untuk dilakukan pemeriksaan fisik di tempat Importir.
c. Untuk pengeluaran Barang Impor yang ditetapkan melalui Jalur Hijau: 1. SKP mengirim respons SPPB kepada Importir.
2. Importir menerima respons SPPB dan mencetaknya untuk pengeluaran barang dari Kawasan Pabean.
C. Pengeluaran Barang Impor
1. Importir menyerahkan SPPB kepada Pejabat yang mengawasi pengeluaran barang.
2. Pejabat mengawasi pengeluaran barang dari Kawasan Pabean atau TPS oleh Importir berdasarkan SPPB atau berdasarkan SPPF untuk MITA Non Prioritas.
3. Importir menerima SPPB atau SPPF yang diberikan catatan oleh Pejabat yang mengawasi pengeluaran barang.