• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tim Penyusun Pedoman Penanganan dan Penyimpanan Biodiesel dan Campurannya (B30)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tim Penyusun Pedoman Penanganan dan Penyimpanan Biodiesel dan Campurannya (B30)"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Pengarah : Dadan Kusdiana (Dirjen EBTKE)

Penanggung Jawab : Andriah Feby Misna (Direktur Bioenergi)

Koordinator : Efendi Manurung (Kasubdit Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi Penyusun : Tim Penyusun Pedoman Penanganan dan Penyimpanan Biodiesel

dan Campuran Biodiesel (B30) – BTBRD - BPPT Dengan Sumber Daya dan

Narasumber dari

: - Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE)

- Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) - Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

- Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”

- Komite Teknis Bioenergi, Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI)

- PT Pertamina (Persero), PT AKR Corporindo Tbk, PT Shell Indonesia, PT Vopak Indonesia,

- PT PLN (Persero), PT KAI (Persero), PT Komatsu - Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI)

- Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), Asosiasi Industri Alat Berat Seluruh Indonesia (HINABI), Perkumpulan Perusahaan Pemegang Izin Niaga Umum Bahan Bakar Minyak (P3INU BBM)

Sekretariat

:

Hudha Wijayanto, Sigit Hargiyanto, Khristian Adi Santoso, Maslan Lamria, Chandra Kusraistianto, Mutia, Muh Aksa, Sindy Riskika Syafri, Benyamin Panneng, Murni, Dudi

Penerbit

DIREKTORAT BIOENERGI

DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU, TERBARUKAN DAN KONVERSI ENERGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

Gedung EBTKE – Lantai 5

Jl. Pegangsaan Timur No. 1, Menteng, Jakarta – 10320 Telp. (021) 39830077, Fax. (021) 31901087, 31924585 www.ebtke.esdm.go.id

(3)

Tim Penyusun Pedoman Penanganan dan Penyimpanan

Biodiesel dan Campurannya (B30)

Pengarah

Dr. Ir. Hammam Riza, M.Sc, IPU Kepala BPPT Prof. Dr. Eniya Listiani Dewi, B.Eng, M.Eng Deputi TIEM - BPPT

Dr. Ir. Arie Rahmadi, M.Eng.Sc. Kepala Balai Teknologi Bahan Bakar dan Rekayasa Disain – BPPT

Penyusun

Maharani Dewi Solikhah Group Leader/Kepala Program

Bina Restituta Barus Leader

Feri Karuana Anggota

Andrias Rahman Wimada Anggota

Khairil Amri Anggota

Reviewer/Penyunting

Eniya Listyani Dewi Deputi TIEM - BPPT

Andriah Feby Misna Direktur Bioenergi, Ditjen EBTKE-ESDM Efendi Manurung Kepala Subdit Keteknikan dan Lingkungan

Bioenergi, Ditjen EBTKE-ESDM

Nanang Hermawan P3TMGB “Lemigas” – ESDM

Tatang Hernas Soerawidjaja Institut Teknologi Bandung Tirto Prakoso Brodjonegoro Institut Teknologi Bandung

(4)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 i PENGANTAR

Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2015 telah menetapkan penggunaan bahan bakar campuran biodiesel sebesar 30% (B30) sebagai bahan bakar mesin diesel yang telah diimplementasikan mulai tanggal 1 Januari 2020. Hal ini mengukuhkan Indonesia sebagai pionir pengguna campuran biodiesel tertinggi di dunia. Untuk menjamin mutu dari bahan bakar biodiesel ini sampai pengguna akhir (end customer), diperlukan pedoman umum penanganan dan penyimpanan bahan bakar biodiesel (B100) dan campuran biodiesel (B30) sebagai acuan bagi seluruh pemangku kepentingan.

Dengan dukungan pendanaan Badan Penelitian Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM bekerja sama dengan Balai Teknologi Bahan Bakar dan Rekayasa Desain (BTBRD – BPPT) telah menyusun Buku Pedoman Umum Penanganan dan Penyimpanan Bahan Bakar Biodiesel (B100) dan Campurannya (B30). Tersusunnya pedoman ini juga didukung oleh PPPTMGB “Lemigas”, Komite Teknis Bioenergi, Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI), Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), PT Pertamina (Persero), PT Shell Indonesia, PT AKR Corporindo, PT Vopak Indonesia, PT Komatsu Indonesia dan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO).

Buku ini menyediakan berbagai informasi mengenai biodiesel dan B30, mulai dari teknologi produksi, spesifikasi dan standar mutu, sifat dan karakteristik biodiesel dan B30, tata cara penerimaan, pencampuran, penyimpanan, dan penyaluran biodiesel dan B30, aspek kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk rekomendasi umum mengenai untuk penyediaan B30 yang aman, handal, dan ramah lingkungan.

Pedoman ini merupakan pedoman yang bersifat umum yang dapat digunakan sebagai acuan untuk membuat pedoman yang bersifat khusus sesuai dengan kebutuhan dari pemangku kepentingan itu sendiri. Pedoman umum ini juga dapat digunakan sebagai acuan pembuatan Petunjuk Teknis maupun SOP yang lebih terinci sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing sektor.

Kami menyadari pedoman yang telah tersusun ini masih belum sempurna, untuk itu kami terbuka dalam menerima saran dan masukan untuk penyempurnaan pedoman ini ke depan. Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak atas perhatian, dukungan dan kerja sama dalam penyusunan Pedoman ini.

Jakarta, 10 November 2020

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konsservasi Energi

ttd

(5)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 ii EXECUTIVE SUMMARY

Bahan bakar yang dibuat dari sumber daya nabati, alias bahan bakar nabati (BBN, biofuels) dipandang sebagai bahan bakar cair alternatif paling tepat untuk mensubstitusi BBM, karena selain bersifat terbarukan dan lebih ramah lingkungan, juga seringkali dapat diproduksi dengan memanfaatkan sumber daya lokal. Biodiesel adalah yang paling maju pemanfaatannya di Indonesia. Biodiesel digunakan dalam bentuk campuran yang dikenal dengan istilah bahan bakar campuran biodiesel dan Indonesia telah menetapkan campuran 30% biodiesel di dalam minyak solar (B30).

Seiring dengan percepatan peningkatan pemanfaatan biodiesel di dalam negeri, muncul beberapa isu teknis dalam pengaplikasiannya di lapangan. Peningkatan kualitas melalui perbaikan standar atau spesifikasi menjadi syarat mutlak untuk kelangsungan pemanfaatan campuran biodiesel di segala sektor. Guna menjawab tuntutan pengguna, maka Pemerintah secara aktif mendorong peningkatan kualitas biodiesel dari sisi produsen biodiesel melalui peningkatan standar mutu pada beberapa parameter penting seperti kadar air, kadar monogliserida, CFPP, stabilitas oksidasi, kadar kontaminan, dan kadar logam alkali. Selanjutnya, untuk menjaga konsistensi kualitas, Pemerintah Indonesia berupaya memberikan suatu Pedoman dalam Pemanfaatan Bahan Bakar Biodiesel dan Campuran Biodiesel kepada pemangku kepentingan untuk mengenali dan mempelajari lebih dalam mengenai biodiesel dan campuran biodiesel serta hal-hal yang perlu diketahui dalam kelancaran proses penanganan termasuk pencampuran, penyimpanan, dan transportasi, serta teknik pemanfaatan campuran biodiesel yang aman bagi motor diesel.

Pedoman Umum ini menyediakan informasi teknis mengenai:

(1) Definisi Bahan Bakar Biodiesel, Minyak Solar, dan Campuran Biodiesel 30%,

(2) Standar Mutu Bahan Bakar Biodiesel, Minyak Solar, dan Campuran Biodiesel 30% yang dinilai „aman‟ bagi kendaraan mesin diesel yang digunakan oleh segala sektor di Indonesia,

(3) Sifat dan karakteristik biodiesel dan campuran biodiesel yang penting dalam proses penananganan dan penyimpanan biodiesel dan campuran biodiesel di lapangan,

(4) Prosedur penanganan dan penyimpanan biodiesel dan campuran biodiesel yang sesuai dengan sifat dan karakteristik biodiesel dan campuran biodiesel. Terdapat lima hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu:

a. Memilih material penyimpanan dan penyaluran yang sesuai dengan karakteristik biodiesel dan campuran biodiesel,

b. Memastikan manajemen penanganan dan penyimpanan biodiesel dan campuran biodiesel dilakukan dengan benar dan sesuai prosedur, termasuk memastikan moda pengangkutan maupun sarana penyimpanan dan penyaluran bebas dari kontaminasi.

c. Melakukan pengawasan (monitoring) kualitas biodiesel dan campuran biodiesel secara rutin dan berkala, mulai dari produsen hingga diterima oleh konsumen, d. Mengoptimalkan teknik pencampuran (blending) biodiesel dan minyak solar agar

(6)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 iii e. Melengkapi fasilitas penyimpanan dan penyaluran dengan beberapa instrumen

tambahan untuk menjaga konsisten mutu biodiesel dan campuran biodiesel seperti Automatic Tank Gauge (ATG), N2 blanketing system, draining valve, dan lainnya. (5) Kompetensi sumber daya manusia yang diperlukan oleh operator pelaksana di lapangan,

terutama pada personel pengambilan contoh atau sampel, dan pelaksana pengujian mutu bahan bakar di laboratorium.

(6) Penanganan keadaan darurat meliputi penanganan apabila terjadi permasalahan misalnya apabila terjadi tumpahan (oil spill) maupun jika terjadi kontaminasi air mulai dari skala kecil hingga besar yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan produk bahan bakar, baik biodiesel maupun campurannya.

Dalam bab akhir Pedoman ini juga disampaikan mengenai rekomendasi teknis bagi produsen, pencampur, dan penyalur biodiesel dan campuran biodiesel yang dinilai dapat memberikan rambu-rambu penting dalam pelaksanaan penyediaan dan penyaluran di lapangan.

(7)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 iv DAFTAR ISI

PENGANTAR ... i

EXECUTIVE SUMMARY ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Maksud dan Tujuan ... 2

1.3 Ruang Lingkup ... 3

BAB II. DEFINISI BIODIESEL, MINYAK SOLAR, DAN CAMPURAN BIODIESEL ... 4

2.1 Biodiesel ... 4 2.1.1 Bahan Baku ... 4 2.1.2 Teknologi Produksi ... 5 2.1.3 Spesifikasi Biodiesel ... 6 2.2 Minyak Solar ... 10 2.2.1 Bahan Baku ... 10 2.2.2 Teknologi Produksi ... 10

2.2.3 Spesifikasi Minyak Solar ... 11

2.3 Campuran Biodiesel ... 16

2.3.1 Teknologi Produksi Campuran Biodiesel ... 16

2.3.2 Spesifikasi B30 ... 17

BAB III. SIFAT DAN KARAKTERISTIK BIODIESEL DAN CAMPURAN BIODIESEL19 3.1 Sifat dan Karakteristik Minyak Solar, Biodiesel, dan Campuran Biodiesel ... 19

3.1.1 Kemampuan Melarutkan (Solvency) ... 21

3.1.2 Kemampuan Menyerap Air ... 21

3.1.3 Stabilitas dan Pembentukan Deposit ... 22

3.1.4 Pengaruh pada Lingkungan dengan Temperatur Rendah ... 23

3.1.5 Kandungan Energi ... 24

3.1.6 Biodegradasi ... 24

3.2 Kesesuaian Material dengan Karakteristik Biodiesel dan Campuran Biodiesel 24 3.2.1 Material Logam Tangki Penyimpan dan Jalur Perpipaan ... 25

3.2.2 Material Elastomer ... 25

3.2.3 Material Polimer ... 27

(8)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 v BAB IV. TATA CARA PENERIMAAN, PENYIMPANAN, PENCAMPURAN, DAN

PENYALURAN BIODIESEL DAN B30 ... 28

4.1 Kelengkapan Dokumen ... 28

4.1.1 Material Safety Data Sheet (MSDS) ... 28

4.1.2 Sertifikat Produk ... 28

4.1.3 Sertifikat Kompetensi Petugas Pengambil Contoh (PPC) ... 29

4.2 Prosedur Pengambilan Contoh (Sampling) ... 29

4.2.1 Teknik Pengambilan Sampel (Sampling) ... 30

4.2.2 Peralatan Pengambilan Sampel (Sampling) ... 31

4.2.3 Sampling Bahan Bakar di Kompartemen Kapal/Tongkang ... 32

4.2.4 Sampling Bahan Bakar di Tangki Darat ... 33

4.2.5 Sampling Bahan Bakar pada Populasi Drum/Jerry-can/Truk ... 34

4.2.6 Contoh Per Tinggal (Retained Sample) ... 36

4.3 Pengujian Laboratorium ... 37

4.3.1 Uji Sebagian (Critical Test dan Short Test) ... 37

4.3.2 Uji Keseluruhan (Full Test) ... 38

4.3.3 Sertifikasi Laboratorium ... 38

4.4 Pembersihan Tangki (Tank Cleaning) ... 39

4.4.1 Tangki Penyimpan Darat ... 39

4.4.2 Kompartemen Truk/RTW dan Palka Kapal ... 43

4.4.3 Sertifikat Tank Cleaning ... 43

4.5 Rantai Pasokan Campuran Biodiesel ... 44

4.5.1 Produsen Biodiesel ... 44

4.5.2 Penyedia Minyak Solar ... 45

4.5.3 Pencampur (Blender) Biodiesel dan Minyak Solar ... 45

4.6 Tata Cara Pengiriman Biodiesel ... 47

4.6.1 Pengiriman Biodiesel dengan Moda Truk ... 47

4.6.2 Pengiriman Biodiesel dengan Pipa Penyalur (Pipelines) ... 48

4.6.3 Pengiriman Biodiesel dengan Kapal ... 48

4.7 Tata Cara Penerimaan Biodiesel ... 48

4.7.1 Penerimaan dari Moda Kapal... 49

4.7.2 Penerimaan di Discharge Jalur Perpipaan (Pipelines) ... 49

4.7.3 Penerimaan di Landasan/Filling Station/Bay/Gantry TBBM ... 50

4.7.4 Verifikasi Penerimaan/Penolakan Biodiesel ... 50

4.8 Tata Cara Penyimpanan Biodiesel dan B30 ... 51

4.8.1 Penyimpanan Biodiesel ... 51

4.8.2 Penyimpanan Minyak Solar ... 54

4.8.3 Penyimpanan Campuran Biodiesel (B30) ... 55

4.9 Tata Cara Pencampuran Biodiesel dan Minyak Solar ... 59

(9)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 vi

4.9.2 Sekuensial In-tank Blending ... 61

4.9.3 Sekuensial In-truck Blending ... 63

4.9.4 Sekuensial In-vessel Blending ... 65

4.9.5 Pertimbangan Pemilihan Metode Pencampuran ... 66

4.10 Tata Cara Penyaluran B30 ... 66

4.10.1 Pengiriman B30 dengan Truk dan RTW ... 67

4.10.2 Pengiriman B30 dengan Kapal ... 67

4.10.3 Pengiriman B30 dengan Sistem Perpipaan ... 70

4.11 Rekomendasi Tangki Penyimpan dan Aksesoris Pendukung ... 70

4.12 Aspek Keselamatan Kerja ... 76

4.13 Operator Pelaksana ... 77

4.14 Penanganan Keadaan Darurat ... 78

BAB V. REKOMENDASI UMUM ... 82

REFERENSI ... 85 LAMPIRAN 1. Material Safety Data Sheet (MSDS) Biodiesel

LAMPIRAN 2. Material Safety Data Sheet (MSDS) B30

LAMPIRAN 3. Certificate of Analysis (CoA)/Certificate of Quality (CoQ) Biodiesel LAMPIRAN 4. Certificate of Analysis (CoA)/Certificate of Quality (CoQ) B30 LAMPIRAN 5. Sertifikat Petugas Pengambil Contoh/Sampel

LAMPIRAN 6. Sertifikat Tank Cleaning

LAMPIRAN 7. Verifikasi Penerimaan atau Penolakan Biodiesel di BU BBM LAMPIRAN 8. Simulasi In-Line Blending dengan Static Mixer

(10)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 vii DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Perkembangan Standar Biodiesel di Indonesia ... 6

Tabel 2. 2 Standar Mutu dan Spesifikasi Minyak Solar di Indonesia ... 12

Tabel 2. 3 Standar Mutu dan Spesifikasi B30 yang Dipasarkan di Indonesia sesuai SK Dirjen Migas No. 0234.K/10/DJM.S/2019 ... 17

Tabel 3. 1 Perbedaan Sifat dan Karakteristik antara Biodiesel dan Minyak Solar ... 20

Tabel 3. 2 Konsekuensi dari Pencampuran Biodiesel dalam Minyak Solar ... 20

Tabel 3. 3 Kesesuaian Material Logam dengan Biodiesel ... 25

Tabel 3. 4 Kompatibilitas Berbagai Elastomer terhadap Biodiesel ... 26

Tabel 3. 5 Kompatibilitas Berbagai Elastomer terhadap B30 ... 27

Tabel 4. 1 Korelasi antara Jumlah Minimal Kompartemen dengan Spot Sampling ... 33

Tabel 4. 2 Spot Sampling di Tangki ... 34

Tabel 4. 3 Rasio Sampling Minimal untuk Populasi Drum/Jerry-can/Truk ... 35

Tabel 4. 4 Parameter yang Diujikan pada Critical Test/Short Test ... 37

Tabel 4. 5 Rujukan Parameter Uji ... 38 Tabel 4. 4 Penilaian Metode Pencampuran terhadap Capaian Persentase Biodiesel . 66

(11)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 viii DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Sumber Hayati untuk Bahan Baku Biodiesel (foto dari berbagai sumber) ... 5

Gambar 2. 2 Diagram Alir Proses Produksi Biodiesel ... 5

Gambar 2. 3 Pengolahan Minyak Bumi dengan Distilasi Bertingkat ... 11

Gambar 3. 1 Hasil Uji Startability di Tambi, Dataran Tinggi Dieng ... 24

Gambar 4. 1 Peralatan Pengambilan Sampel (a) Weighted Beaker, (b) Weighted Bottle Catcher, dan (c) Core Thief Trap (foto diambil dari berbagai sumber) ... 32

Gambar 4. 2 Ilustrasi Level Kompartemen yang menjadi Rujukan Teknik Sampling ... 33

Gambar 4. 3 Contoh Ilustrasi Spot Sampling pada Tongkang ... 33

Gambar 4. 4 Ketentuan Spot Sampling berdasarkan Kapasitas/Level Tangki Vertikal 35 Gambar 4. 5 Ketentuan Spot Sampling berdasarkan Kapasitas/Level Tangki Horizontal ... 35

Gambar 4. 6 Peta Sebaran Pabrik Biodiesel di Indonesia (Status 2019) ... 44

Gambar 4. 7 Peta Sebaran Unit Kilang PT Pertamina di Indonesia ... 45

Gambar 4. 8 Titik Penerimaan Biodiesel dan Kegiatan Pencampuran di Area Operasi PT Pertamina ... 46

Gambar 4. 9 Titik Penerimaan Biodiesel dan Kegiatan Pencampuran di Area Operasi BU BBM Swasta ... 47

Gambar 4. 10 Contoh Landasan di Lokasi Penerimaan ... 50

Gambar 4. 11 Ilustasi In-line Blending dengan Static Mixer ... 61

Gambar 4. 12 Ilustrasi Metode In-Tank Blending dengan Circulation Pump ... 63

Gambar 4. 13 Ilustrasi Metode Sekuensial In-Truck Blending ... 64

Gambar 4. 14 Ilustrasi Metode Sekuensial In-Vessel Blending ... 65

Gambar 4. 15 Moda Transportasi untuk B30 (dari berbagai sumber) ... 67

Gambar 4. 16 Penampang Kapal Pengangkut Bahan Bakar ... 68

Gambar 4. 17 Ilustrasi (a) Oil Tanker, (b) SPOB, (c) LCT(SP), dan (d) Tongkang (diambil dari berbagai sumber) ... 70

Gambar 4. 18 Contoh Konstruksi dan Kelengkapan Tangki Pencampur dan/atau ... 71

Gambar 4. 19 Tangki dengan Pelapisan Cat Reflektor (lokasi: PT Adaro Indonesia).. 72

Gambar 4. 20 Instalasi Air Pendingin untuk Pendinginan Tangki Penyimpan saat terjadi Peningkatan Temperatur (lokasi: PT Adaro Indonesia) ... 72

Gambar 4. 21 Area Bund Wall di Sekeliling Tangki Penyimpan (lokasi: PT Adaro Indonesia)... 73

Gambar 4. 22 Bak Penampungan untuk Air Buangan (lokasi: Dipo KAI Tarahan) ... 73

Gambar 4. 23 Visualisasi ATG dan Penempatannya pada Tangki Penyimpan ... 74

Gambar 4. 24 Jalur Perpipaan Gas N2 pada Kapal ... 74

Gambar 4. 25 Ilustrasi Suplai Gas N2 pada Kompartemen Kapal ... 75

Gambar 4. 26 Ilustrasi Tangki Penyimpan dengan Fasilitas N2 Blanketing ... 76

(12)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 ix DAFTAR SINGKATAN o C : Derajat Celcius o F : Derajat Fahrenheit

%-massa : Persentase dalam massa/berat %-vol : Persentase dalam volume APAR : Alat Pemadan Kebakaran APD : Alat Pelindung DIri

API : American Petroleum Institute

API RP : American Petroleum Institute Recommended Practices AOCS : American Oil Chemists Society

ATG : Automatic Tank Gauge

ASTM : American Standard Testing Materials bbls : Barrels (satuan)

B3 : Bahan Berbahaya dan Beracun (limbah) B100 : Biodiesel Murni

Bxx : Campuran Biodiesel

BBM : Bahan Bakar Minyak

BBN : Bahan Bakar Nabati

BPH Migas : Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas BU BBM : Badan Usaha Bahan Bakar Minyak BU BBN : Badan Usaha Bahan Bakar Nabati

Ca : Kalsium

CCI : Calculated Cetane Index CFPP : Cold Filter Plugging Point

CoQ/CoA : Certificate of Quality/Certificate of Analysis

COT : Cargo Oil Tank

CS : Carbon Steel

DJE : Direktorat Jenderal EBTKE DJM : Direktorat Jenderal Migas

EBTKE : Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi ESDM : Energi dan Sumber Daya Mineral

EMAL : Ester Metil Asam Lemak

EN : European Standard

ft : Feet (satuan panjang) FAME : Fatty Acid Methyl Esters FBP : Final Boiling Point

FS : Floating Storage

GT : Gross Tonnes

HDPE : High Density Poly Ethylene HFRR : High-Frequency Reciprocating Rig

HLA : High Level Alarm

(13)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 x

HSD : High Speed Diesel

IBP : Initial Boiling Point JSA : Job Safety Analysis

K : Kalium

kg : Kilogram (satuan massa) kL : Kilo Liter (satuan volume)

KOH : Kalium Hidroksida

LCT (SP) : The Landing Craft Tank (Self-Propelled) LPG : Liquefied Petroleum Gas

mg : Miligram (satuan massa)

Mg : Magnesium

MFO : Marine Fuel Oil

MSDS : Material Safety Data Sheet

N2 : Gas Nitrogen

Na : Natrium

NaOH : Natrium Hidroksida

NREL : National Renewable Energy Laboratory

O2 : Gas Oksigen

OEM : Original Equipment Manufacturer ppm : part per milions

P3K : Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan PERMEN : Peraturan Menteri

PLC : Programmable Logic Controller PPC : Petugas Pengambil Contoh PRV : Pressure Relief Valve rpm : Rotation per minute

RTW : Rail Train Wagon

SK : Surat Keputusan

SNI : Standar Nasional Indonesia

SPBU : Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum SPOB : Self-Propelled Oil Barge

TAN : Total Acid Number

(14)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 1

BAB

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dari sejak awal abad ini, pengembangan dan pemanfaatan bahan bakar cair alternatif pengganti bahan bakar minyak (BBM, petroleum fuels) merupakan kegiatan yang terus meningkat intensitasnya, karena didorong oleh kombinasi faktor-faktor berikut:

 Kebutuhan bahan bakar cair terus meningkat padahal cadangan dan produksi minyak bumi domestik kian menyusut;

 BBM merupakan sumber energi yang pemanfaatannya berdampak pemanasan global karena mengakibatkan akumulasi gas-gas rumah kaca di atmosfir bumi. Bahan bakar yang dibuat dari sumber daya nabati, alias bahan bakar nabati (BBN, biofuels) dipandang sebagai bahan bakar cair alternatif paling tepat untuk mensubstitusi BBM, karena selain bersifat terbarukan dan lebih ramah lingkungan, juga seringkali dapat diproduksi dengan memanfaatkan sumber daya lokal.

Dewasa ini dikenal dua kelompok BBN, yaitu :

1. bahan bakar nabati oksigenat (oxygenate biofuel), yakni bahan bakar nabati yang mengandung (atom-atom) oksigen, dengan anggota utama biodiesel dan bioetanol. dan

2. bahan bakar nabati biohidrokarbon (biohydrocarbon/drop-in biofuel), yakni bahan bahan bakar nabati yang bebas dari oksigen, karena hanya tersusun dari atom-atom karbon dan hidrogen; contoh-contoh utama dari BBN biohidrokarbon adalah bensin biohidrokarbon/nabati, bioavtur atau avtur biohidrokarbon/nabati, dan minyak diesel biohidrokarbon/nabati.

Di antara semua BBN yang terklasifikasi ke dalam 2 kelompok tersebut, biodiesel adalah yang paling maju pemanfaatannya di Indonesia. BBN oksigenat pencampur minyak diesel otomotif ini dalam terminologi teknis-ilmiahnya disebut ester metil asam lemak (EMAL) atau dalam bahasa Inggris, fatty acid methyl ester (FAME) dan dibuat dengan proses transesterifikasi minyak-lemak dengan metanol (atau metanolisis minyak-lemak). Salah satu faktor pendorong majunya pemanfaatan biodiesel di Indonesia adalah karena negara kita sekarang adalah produsen minyak-lemak terbesar di dunia, yaitu dalam bentuk minyak sawit (palm oil). Campuran xx %-volume biodiesel di dalam minyak diesel otiomotif diberi kode pengenal Bxx. Pemanfaatan biodiesel di Indonesia kini sudah mencapai B30, yang artinya campuran 30%-volum FAME di dalam minyak diesel otomotif.

Kebijakan pengembangan energi terbarukan termasuk bioenergi di Indonesia merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, dengan tujuan untuk mengarahkan upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri [1]. Sasaran pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN/biofuel) pada tahun 2025 yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut sebesar 8%. Dalam rangka mempercepat dan meningkatkan pemanfaatan BBN di dalam negeri, maka ditetapkanlah mandatori BBN yang dituangkan di dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai

(15)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 2 Bahan Bakar Lain, sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain [2]. Berdasarkan peraturan tersebut, mandatori pemanfaatan biodiesel dalam negeri meningkat dari 15% pada tahun 2015 menjadi 20% pada tahun 2016 dan 30% pada tahun 2020.

Seiring dengan percepatan peningkatan pemanfaatan biodiesel di dalam negeri, muncul beberapa isu teknis dalam pengaplikasiannya di lapangan. Peningkatan kualitas melalui perbaikan standar atau spesifikasi menjadi syarat mutlak untuk kelangsungan pemanfaatan campuran biodiesel di segala sektor. Utamanya tuntutan engine manufacturer mengenai kesetaraan kualitas biodiesel dan minyak solar, serta pembatasan campuran biodiesel maksimal yang diizinkan untuk dikonsumsi oleh mesin. Guna menjawab tuntutan pengguna, maka Pemerintah secara aktif mendorong peningkatan kualitas biodiesel dari sisi produsen biodiesel. Secara berkala, standar mutu biodiesel di Indonesia sudah ada sejak tahun 2006, seiring dengan makin meningkatnya persentase biodiesel didalam solar, maka mutu biodiesel diharuskan meningkat, untuk itu SNI juga selalu diperbaharui sehingga sesuai dengan penggunaan kadar tinggi didalam solar. SNI biodiesel pertama adalah SNI 7182-2006 yang diterbitkan pada tahun 2006 dan terus ditingkatkan dengan revisi menjadi SNI 7182-2015 [3] sampai saat ini menjadi SK Dirjen EBTKE No. 189.K/10/DJE/2019 [5].

Selain peningkatan kualitas, upaya menjaga konsistensi kualitas juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini mengingat beberapa karakteristik bahan bakar biodiesel dan campuran biodiesel yang relatif mudah berubah dan terdegradasi akibat kondisi tertentu. Walaupun biodiesel memiliki sifat yang mirip dengan minyak solar, namun penanganan biodiesel tidak dapat disetarakan dengan minyak solar. Untuk itu, Pemerintah juga berupaya memberikan suatu Pedoman Umum Pemanfaatan Bahan Bakar Biodiesel dan Campuran Biodiesel kepada pemangku kepentingan untuk mengenali dan mempelajari lebih dalam mengenai biodiesel dan campuran biodiesel serta hal-hal yang perlu diketahui dalam kelancaran proses penanganan termasuk pencampuran, penyimpanan, dan transportasi, serta teknik pemanfaatan campuran biodiesel yang aman bagi motor diesel.

1.2 Maksud dan Tujuan

Buku Pedoman Penanganan dan Penyimpanan Bahan Bakar Biodiesel dan Campuran Biodiesel 30% (B30) ini dimaksudkan untuk menyediakan informasi teknis tentang bahan bakar biodiesel, minyak solar, dan campuran biodiesel 30%, termasuk teknik pencampuran, penanganan, dan penyimpanan, agar dapat dipergunakan oleh para pelaksana teknis di lapangan sebagai bagian dari upaya pengoperasian atau pengusahaan industri bioenergi yang handal, aman, dan ramah lingkungan.

(16)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 3 1.3 Ruang Lingkup

Pedoman ini terdiri dari beberapa bagian yang mengulas secara detail mengenai biodiesel dan B30, baik lingkup regulasi maupun karakteristik dan teknik operasional biodiesel dan B30 di lapangan.

Bab I - Biodiesel sebagai bahan bakar nabati oksigenat yang siap pakai, kebijakan implementasi B30 di Indonesia, tuntutan engine manufacturer terhadap kesetaraan B30 dengan minyak solar eksisting, upaya Pemerintah untuk memberikan informasi dan langkah solusi bagi pengguna B30 di Indonesia

Bab II - Biodiesel, Minyak Solar, dan Campuran Biodiesel ditinjau dari sisi bahan baku, teknik produksi, dan standar spesifikasi bahan bakar di Indonesia

Bab III - Sifat dan karakteristik biodiesel yang mempengaruhi B30 dan penggunaannya di lapangan

Bab IV

- Tata cara penerimaan, penyimpanan, pencampuran, dan penyaluran biodiesel dan B30 di Indonesia, termasuk sertifikat produk dan petugas sampling, teknik sampling bahan bakar, aspek keamanan dan keselamatan kerja, dan mitigasi terhadap keadaan darurat

Bab V - Rekomendasi umum untuk penyediaan B30 yang handal, aman, dan ramah lingkungan

(17)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 4 BAB II. DEFINISI BIODIESEL, MINYAK SOLAR, DAN CAMPURAN BIODIESEL

Berdasarkan tinjauan bahan baku produksi, istilah biodiesel merujuk pada bahan bakar motor diesel yang berasal dari sumber hayati atau “bio” yang terdiri dari ester alkil (metil, etil-, atau propil-) rantai panjang. Biodiesel diproduksi melalui konversi minyak nabati maupun lemak hewani dengan alkohol menjadi ester asam lemak. Apabila digunakan alkohol jenis metanol maka akan menghasilkan ester metil asam lemak (EMAL) atau fatty acid methyl esters (FAME). Biodiesel dapat digunakan sebagai bahan bakar motor diesel dalam bentuk murni ataupun dicampurkan dalam minyak solar dengan variasi persentase. Pemerintah Indonesia mensyaratkan penggunaan 30% biodiesel dalam campurannya dengan minyak solar, dikenal dengan sebutan teknis B30.

2.1 Biodiesel

Biodiesel adalah bahan bakar nabati untuk aplikasi mesin/motor diesel berupa ester metil asam lemak (fatty acid methyl ester, FAME) yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewani dan memenuhi standar mutu yang disyaratkan, di Indonesia spesifikasi teknis biodiesel diatur dalam SK Dirjen EBTKE No. 189.K/10/DJE/2019. Struktur generik molekul FAME ditampilkan pada Gambar 2.1 dan biodiesel murni dinotasikan sebagai B100, sedangkan campuran biodiesel dinotasikan dengan Bxx yang menyatakan persentase biodiesel dalam campurannya dengan minyak solar. Biodiesel (B100) memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang „mirip‟ dengan minyak solar sehingga campuran biodiesel (Bxx) dapat digunakan langsung pada motor diesel tanpa modifikasi atau dengan modifikasi minor.

Gambar 2.1 Struktur Generik Molekul Biodiesel 2.1.1 Bahan Baku

Sumber utama bahan baku minyak lemak biodiesel di Indonesia adalah kelapa sawit (Elaeis guineensis) dengan total produksi 42 juta ton per tahun [4], sumber tanaman potensial lainnya juga dapat dikembangkan sebagai bentuk diversifikasi bahan baku seperti kelapa (Cocos nucifera), nyamplung (Calophyllum inophyllum), malapari/kranji (Pongamia pinnata), jarak pagar (Jathropa curcas), dan lainnya. Gambar 2.2 menampilkan bagian-bagian tanaman penghasil minyak.

Ester Metil

O

(18)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 5 Gambar 2. 1 Sumber Hayati untuk Bahan Baku Biodiesel (foto dari berbagai sumber) 2.1.2 Teknologi Produksi

Produk biodiesel di Indonesia merujuk pada biodiesel generasi 1 yang diproduksi melalui reaksi transesterifikasi menggunakan metanol dan katalis basa seperti sodium methylate (Na-methylate), natrium hidroksida (NaOH), ataupun kalium hidroksida (KOH). Produk utama dari reaksi ini adalah biodiesel dengan produk ikutan (by-product) berupa gliserol. Reaksi transesterifikasi diperlihatkan pada Gambar 2.4.

3

Gambar 2. 2 Diagram Alir Proses Produksi Biodiesel

Kandungan asam lemak minyak nabati akan menentukan pemilihan reaksi yang digunakan, esterifikasi atau transesterifikasi. Apabila hasil pengujian asam lemak bebas minyak nabati menunjukkan bahwa kandungan yang tinggi (> 5%), maka perlu dilakukan reaksi esterifikasi dan dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi. Namun, apabila kandungan asam lemak bebas dalam minyak nabati rendah (< 5%), maka cukup dipilih reaksi transesterifikasi.

(19)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 6 2.1.3 Spesifikasi Biodiesel

Spesifikasi biodiesel merujuk pada SK Dirjen EBTKE No. 189.K/10/DJE/2019 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Jenis Biodiesel sebagai Bahan Bakar Lain yang Dipasarkan di Dalam Negeri [5]. Spesifikasi ini perlu dipenuhi produsen hingga ke titik serah.

Tabel 2. 1 Perkembangan Standar Biodiesel di Indonesia

SNI 7182 : 2006 SNI 7182 : 2012 SNI 7182 : 2015 SK Dirjen EBTKE No. 332/2018 SK Dirjen EBTKE No. 189/2019

1 Massa jenis (pada 40oC) kg/m3 850-890 850-890 850-890 850-890 850-890 SNI 7182 2 Viskositas kinematik (pada 40oC) cSt 2.3-6.0 2.3-6.0 2.3-6.0 2.3-6.0 2.3-6.0 SNI 7182

3 Angka setana min 51 51 51 51 51 SNI 7182

4 Titik nyala (mangkok tertutup) oC, min 100 100 100 100 130 SNI 7182 5 Titik kabut oC, maks 18 18 18 18 Ditiadakan SNI 7182

Residu karbon

- dalam per contoh asli, atau 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 - dalam 10% ampas distilasi 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30

7 Temperatur distilasi 90% oC, maks 360 360 360 360 360 SNI 7182 8 Abu tersulfatkan %-massa,

maks 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 SNI 7182 SNI 7182 SNI 7182 SNI 7182 SNI 7182 11 Kadar ester metil %-massa, min 96.5 96.5 96.5 96.5 96.5 SNI 7182 12 Angka iodium

%-massa (g-I2/100g),

maks

115 115 115 115 115 SNI 7182

Korosi lempeng tembaga (3 jam, 50oC)

14 Belerang mg/kg, maks 100 100 50 50 10 SNI 7182

15 Fosfor mg/kg, maks 10 10 4 4 4 SNI 7182

SNI 7182 SNI 7182 Kestabilan oksidasi

- Periode induksi metode rancimat menit, min - 300 480 480 600

- Petrooksi menit, min - 27 36 36 45

18 Monogliserida %-massa,

maks - - 0.8 0.8 0.55 SNI 7182

19 Kadar air mg/kg, maks - - - 500 350 ASTM D 6304

20 Cold Filter Plugging Point (CFPP) oC, maks - - - 16 15

21 Logam I (Na+K) mg/kg, maks - - - - 5 EN 14108

22 Logam II (Ca+Mg) mg/kg, maks - - - - 5 EN 14109

23 Total Kontaminan mg/l, maks - - - - 20 EN 12662

24 Uji Helphen Negatif Negatif Ditiadakan Ditiadakan Ditiadakan

25 Air dan sedimen %-vol, maks 0.05 0.05 0.05 0.05 Ditiadakan SNI 7182

26 Warna 3 3 ASTM D 1500

0.24

0.5 0.02 0.24

nomor 1 nomor 1 nomor 1 nomor 1 0.02

0.24

No. Parameter Uji Satuan Standar Uji

13 - SNI 7182

Perkembagan Standar Biodiesel di Indonesia

0.02 0.24 0.02 0.24 %-massa, maks

9 Gliserol bebas %-massa, maks

SNI 7182 SNI 7182

16 Angka asam mg-KOH/g,

maks 0.6 0.5

17

0.8 10 Gliserol total %-massa,

maks 6

nomor 3

0.4 0.02

(20)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 7 Parameter Kualitas Biodiesel [6]

a. Angka asam

Angka asam merupakan ukuran banyaknya asam mineral dan asam lemak bebas yang terkandung dalam biodiesel. Angka asam biodiesel dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti bahan baku, tahap produksi, dan juga durasi penyimpanan. Tingkat keasaman yang tinggi berkorelasi dengan korosi pada logam dan pembentukan deposit pada mesin, juga dapat merusak elastomer pada saluran sistem bahan bakar. Bagi produsen, angka asam produk biodiesel yang terlalu tinggi menunjukkan proses produksi yang kurang baik dan bagi pengguna angka asam yang terlalu tinggi menunjukan penyimpanan yang tidak memenuhi kaidah.

b. Gliserol

Gliserol Terikat, yaitu gliserol dalam bentuk mono-, di-, dan trigliserida yang tersisa dari proses konversi minyak nabati menjadi biodiesel. Kandungan gliserol terikat yang berlebih dapat menimbulkan masalah ketika berada di tangki penyimpan, yaitu gliserol ini akan terpisah dari biodiesel dan mengendap di dasar tangki akibat perbedaan densitas. Pada sistem bahan bakar, kandungan gliserol terikat khususnya monogliserida berpotensi menyebabkan masalah fouling pada injektor dan berperan dalam pembentukan deposit pada nozzle, piston, dan katup/valve. Gliserol Bebas, merupakan ukuran kesuksesan proses purifikasi biodiesel. Peningkatan kadar gliserol juga dapat terjadi akibat proses hidrolisa sisa mono-, di-, dan trigliserida dalam penyimpanan biodiesel. Gliserol yang terpisah selanjutnya mengendap, menarik senyawa polar lainnya seperti air, monogliserida, dan sabun, yang sangat berpotensi menyebabkan sistem injeksi. Selain itu, gugus hidroksi yang terkandung dalam gliserol dapat menyebabkan korosi pada logam tembaga dan seng. Endapan gliserol pada filter bahan bakar juga dapat menghasilkan emisi yang berasal dari senyawa aldehid.

Gliserol Total, menunjukkan banyaknya gliserol yang terkandung dalam biodiesel baik dalam bentuk gliserol bebas maupun gliserol terikat. Kandungan gliserol berkorelasi dengan nilai viskositas biodiesel, apabila dinyatakan kadar gliserol total suatu biodiesel tinggi, maka nilai viskositas dari biodiesel akan tinggi pula.

c. Kadar air

Pengujian kadar air dalam biodiesel dimaksudkan untuk menentukan ketepatan volume air bebas. Air dalam bahan bakar disinyalir dapat mengakibatkan kerusakan fasilitas dan sistem bahan bakar mesin. Air juga dapat mendorong terjadinya korosi pada tangki penyimpan, tangki bahan bakar, dan peralatan yang ada di sekitar sistem ruang bakar mesin. Keberadaan air juga merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba dalam sistem penyimpanan. Untuk mengetahui kandungan air dalam biodiesel, dapat dilakukan pengujian berdasarkan metode ASTM D 6304.

d. Abu Tersulfatkan

Merupakan jumlah kontaminan anorganik seperti padatan abrasif dan sisa katalis, serta konsentrasi logam terlarut dalam biodiesel. Senyawa ini dapat teroksidasi

(21)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 8 dalam proses pembakaran yang menyebabkan pembentukan sejumlah abu yang dapat menyebabkan terbentuknya deposit pada motor diesel.

e. Fosfor

Kandungan fosfor dalam biodiesel umumnya berasal dari fosfolipid yang terkandung dalam bahan baku minyak nabati. Proses penyiapan minyak nabati memegang peran penting untuk mereduksi kandungan fosfor tersebut. Dalam proses purifikasi biodiesel, fosfor akan terikut bersama dengan fasa gliserol-air. Untuk tahap penyempurnaan, kandungan fosfor dapat dieliminasi dengan bantuan kolom distilasi. Kandungan fosfor berlebih terbukti menghambat kemampuan sistem pengurangan emisi gas buang karena disinyalir meracuni katalitik konverter dan membentuk deposit pada kepala piston, katup dan injektor.

f. Belerang/Sulfur

Kandungan sulfur dalam biodiesel dinyatakan hampir nihil, kecuali dari sisa reaksi esterifikasi yang menggunakan katalis asam sulfat dan proses purifikasi tidak berlangsung sempurna. Kandungan sulfur di Indonesia dibatasi maksimum 2500 ppm, karena emisi gas buang SOx dapat merusak kesehatan dan lingkungan. Keberadaan sulfur dalam bahan bakar juga dapat menyebabkan keausan pada mesin karena menghasilkan bahan yang bersifat korosif dan menaikkan jumlah deposit di dalam ruang bakar dan piston. Sulfur dinilai dapat memberikan efek pelumasan bahan bakar, namun hal ini dapat digantikan dengan penggunaan biodiesel sebagai campuran bahan bakar, dengan tujuan untuk mengurangi emisi dan meningkatkan efek pelumasan pada motor diesel.

g. Angka Iodium

Angka iodium merupakan ukuran jumlah senyawa tak jenuh yang terkandung dalam minyak/lemak, juga senyawa dalam bentuk mono-, di-, dan trigliserida, serta senyawa poli- tak jenuh (polyunsaturated). Keberadaan senyawa tak jenuh ini ditandai dengan tingginya angka iodium. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya beberapa permasalahan sebagai berikut:

 Terjadinya polimerisasi dan pembentukan deposit pada nozzle injektor, cincin piston dan ulir cincin piston, ketika dalam kondisi panas.

 Penurunan stabilitas oksidasi biodiesel, yang nantinya menyebabkan pembentukan beragam produk degradasi yang memberikan dampak negatif dalam pengoperasian mesin.

 Penurunan kualitas pelumasan bahan bakar pada mesin.

Angka iodium juga berkorelasi dengan viskositas dan angka setana, apabila viskositas dan angka setana terukur rendah, maka hal ini merupakan indikasi tingginya kandungan poli tak jenuh dalam biodiesel tersebut.

h. Stabilitas Oksidasi

Karenakan sifat kimianya, biodiesel lebih mudah mengalami degradasi oksidatif dibandingkan minyak solar. Hal ini berkaitan dengan tingginya kandungan senyawa ester poli tak jenuh yang mengandung banyak ikatan rangkap dan rentan terhadap oksidasi. Rendahnya nilai stabilitas oksidasi dapat menyebabkan permasalahan pada elastomer khususnya pada sistem saluran bahan bakar.

(22)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 9 Produk oksidasi yaitu hidroperoksida mudah terpolimerisasi dengan radikal bebas yang akhirnya membentuk sedimen tidak terlarut dan gum, menyebabkan penyumbatan filter bahan bakar dan deposit pada sistem injeksi dan ruang bakar. Produk oksidasi lainnya seperti aldehid, keton, dan asam karboksilat rantai pendek dapat menyebabkan permasalahan korosi pada sistem injeksi. Hal ini juga didorong oleh kenaikan angka asam dan peningkatan angka peroksida. Biodiesel mudah teroksidasi selama penyimpanan dan transportasi, mendorong pembentukan senyawa peroksida, asam, gum, dan deposit. Pengujian akseleratif oksidasi (temperatur 110oC, flowrate 10 mL/menit) dengan bantuan alat uji Rancimat (EN 15751) mensyaratkan bahwa stabilitas oksidasi biodiesel berbasis kelapa sawit adalah selama 10 jam dan campuran biodiesel (B30) 35 jam.

i. Titik Nyala

Titik nyala adalah indikator keamanan penyimpanan akibat pengaruh panas. Semakin rendah titik nyala, maka penyimpanan bahan bakar tersebut dinyatakan tidak aman. Biodiesel umumnya memiliki titik nyala > 100oC sehingga penyimpanannya lebih aman dibandingkan minyak solar yang titik nyalanya minimal 52oC. Apabila diketahui titik nyala biodiesel kurang dari 100oC, maka hal ini merupakan indikator bahwa di dalam biodiesel masih terkandung sejumlah metanol.

j. Temperatur distilasi 90%

Nilai temperatur distilasi 90% menggambarkan sifat volatilitas bahan bakar hidrokarbon. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar konsentrasi senyawa ester/FAME yang terkandung dalam biodiesel. Biodiesel umumnya baru mulai teruapkan pada temperatur 360oC. Apabila kandungan trigliserida/asam lemak yang terkandung dalam bahan bakar masih tinggi, maka capaian temperatur distilasi akan lebih tinggi dari 360oC. Produsen biodiesel melakukan pengukuran parameter ini untuk menilai kesuksesan reaksi konversi. Dari sisi pengguna, kandungan asam lemak yang masih banyak dalam bahan bakar akan memberikan dampak sulitnya penyalaan mesin, utamanya pada cuaca dingin.

k. Kadar Logam

Keberadaan ion logam dalam biodiesel umumnya berasal dari proses produksi, seperti penggunaan katalis berbasis logam alkali dan pencucian biodiesel dengan tambahan bahan kimia berbasis logam alkali tanah. Natrium (Na) dan kalium (K) disinyalir dapat membentuk abu di dalam mesin, sedangkan sabun dalam bentuk kalsium dan magnesium menyebabkan permasalahan pada pompa injeksi. Parameter kadar logam ini berkorelasi dengan parameter kadar abu tersulfatkan dan residu karbon.

l. Total Kontaminan

Total kontaminan didefiniskan sebagai jumlah material tidak terlarut yang tersisa pada filter setelah sampel bahan bakar melalui filter 0,8 µm (EN 12662). Pada minyak solar, total kontaminan cenderung berasal dari sisa proses distilasi yang tidak terpisahkan dengan sempurna. Sedangkan pada biodiesel, tidak semua proses transesterifikasi berlangsung pada kolom distilasi. Kontaminasi yang tinggi pada biodiesel menyebabkan penyumbatan filter bahan bakar dan pompa injeksi.

(23)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 10 Lebih lanjut, konsentrasi sabun dan sedimen yang tinggi menyebabkan kenaikan nilai kandungan abu.

m. Cold-Filter Plugging Temperature (CFPP)

CFPP didefinisikan sebagai temperatur terendah dari biodiesel, dimana biodiesel masih dapat mengalir melalui filter terstandarisasi dalam 60 detik sesuai ASTM D 6371.

2.2 Minyak Solar

Minyak solar biasa dikenal dengan nama Gasoil atau High Speed Diesel (HSD) merupakan bahan bakar minyak (BBM) yang memiliki angka performa angka setana 45 [7]. Minyak solar merupakan bahan bakar jenis distilat yang digunakan untuk motor diesel “compression ignition” yaitu mesin yang menggunakan sistem kompresi yang menimbulkan tekanan dan panas yang tinggi sehingga dapat membakar minyak solar yang disemprotkan oleh injektor di ruang bakar. Penggunaan minyak solar pada umumnya adalah untuk bahan bakar pada jenis minyak diesel putaran tinggi (di atas 1000 rpm).

2.2.1 Bahan Baku

Minyak solar merupakan hasil pengolahan minyak bumi, yaitu minyak mentah (crude oil) berwujud cairan kental berwarna hitam yang belum dapat dimanfaatkan. Kemudian agar dapat dimanfaatkan, minyak bumi harus mengalami proses pengolahan dahulu. Pengolahan minyak bumi dilakukan dengan kilang minyak yang melalui dua tahap. Pengolahan tahap pertama (primary processing) dilakukan dengan cara distilasi bertingkat dan pengolahan tahap kedua (secondary processing) dilakukan dengan berbagai cara.

2.2.2 Teknologi Produksi

Pengolahan minyak bumi tahap pertama dilakukan dengan distilasi bertingkat, yaitu proses distilasi berulang-ulang, sehingga didapatkan berbagai macam hasil berdasarkan perbedaan titik didihnya.

Hasil pada proses distilasi bertingkat ini meliputi:

1. Fraksi pertama menghasilkan gas yang pada akhirnya dicairkan kembali dan dikenal dengan nama elpiji atau LPG (Liquefied Petroleum Gas). LPG digunakan untuk bahan bakar kompor gas dan mobil BBG, atau diolah lebih lanjut menjadi bahan kimia lainnya. 2. Fraksi kedua disebut nafta. Nafta tidak dapat langsung digunakan, tetapi diolah lebih

lanjut pada tahap kedua menjadi bensin (premium) atau bahan petrokimia yang lain. 3. Fraksi ketiga atau fraksi tengah, selanjutnya dibuat menjadi kerosin (minyak

tanah) dan avtur (bahan bakar pesawat jet).

4. Fraksi keempat sering disebut solar yang digunakan sebagai bahan bakar motor diesel. 5. Fraksi kelima atau disebut juga residu yang berisi hidrokarbon rantai panjang dan dapat

diolah lebih lanjut pada tahap kedua menjadi berbagai senyawa karbon lainnya, dan sisanya sebagai aspal dan lilin.

(24)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 11 Gambar 2. 3 Pengolahan Minyak Bumi dengan Distilasi Bertingkat

Pada pengolahan minyak bumi tahap kedua, dilakukan berbagai proses lanjutan dari hasil penyulingan pada tahap pertama. Proses-proses tersebut meliputi:

1. Perengkahan (cracking): Pada proses perengkahan, dilakukan perubahan struktur kimia senyawa-senyawa hidrokarbon yang meliputi: pemecahan rantai, alkilasi (pembentukan alkil), polimerisasi (penggabungan rantai karbon), reformasi (perubahan struktur), dan isomerisasi (perubahan isomer).

2. Proses ekstraksi: Pembersihan produk dengan menggunakan pelarut sehingga didapatkan hasil lebih banyak dengan mutu lebih baik.

3. Proses kristalisasi: Proses pemisahan produk-produk melalui perbedaan titik cairnya. Misalnya, dari pemurnian solar melalui proses pendinginan, penekanan, dan penyaringan akan diperoleh produk sampingan lilin/wax.

4. Pembersihan dari kontaminasi (treating): Pada proses pengolahan tahap pertama dan tahap kedua sering terjadi kontaminasi (pengotoran). Kotoran-kotoran ini harus dibersihkan dengan cara menambahkan soda kaustik (NaOH), clay, atau hidrogenasi. Hasil proses tahap kedua ini dapat dikelompokan berdasarkan titik didih dan jumlah atom karbon pembentuk rantai karbonnya.

2.2.3 Spesifikasi Minyak Solar

Standar dan mutu (spesifikasi) bahan bakar minyak jenis minyak solar murni (B-0) dengan angka setana 48 serta standar dan mutu (spesifikasi) bahan bakar minyak jenis minyak solar murni (B-0) dengan angka setana 51 ditetapkan dalam SK Dirjen Migas No. 146.K/10/DJM/2020 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar yang Dipasarkan di Dalam Negeri [8]. Tujuan standar ini adalah untuk mendapatkan kepastian mutu agar spesifikasi solar murni yang ditetapkan pemerintah dapat digunakan sesuai dengan kondisi dan iklim di Indonesia.

(25)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 12 Tabel 2. 2 Standar Mutu dan Spesifikasi Minyak Solar di Indonesia

No Karakteristik Satuan Spesifikasi Minyak Solar 48 Spesifikasi Minyak Solar 51 Metode Uji

Min Max Min Max

1

Bilangan Setana: Angka Setana atau Indeks Setana

48 51 ASTM D 613

45 48 ASTM D 4737

2 Berat Jenis pada 15°C kg/m³ 815 870 810 850 ASTM D 4052 / ASTM D1298 3 Viskositas pada 40°C mm²/s 2,0 4,5 2,0 ASTM D 445

4 Kandungan Sulfur % m/m 0,25 0,05 1⁾ 0,005 2⁾ 0,05 0,005 1⁾ ASTM D 4294 / ASTM D 5453 / ASTM D2622 5 Distilasi: 90 % vol. Penguapan °C 370 370 ASTM D 86

6 Titik Nyala °C 52 55 ASTM D 93

7

Titik Kabut °C 18 18 ASTM D 2500 /

ASTM D 5773

Titik Tuang °C 18 18 ASTM D 97 /

ASTM D 5949

8 Residu Karbon % m/m 0,1 0,1 ASTM D 189 /

ASTM D 5430

9 Kandungan Air mg/kg 400 280 ASTM D 6304 /

ASTM D 1744 10 Korosi Bilah Tembaga merit Kelas 1 Kelas 1 ASTM D 130 11 Kandungan Abu % m/m 0,01 0,01 ASTM D 482 /

ISO 6245 12 Kandungan Sedimen % m/m 0,01 0,01 ASTM D 473 13 Bilangan Asam Kuat mg

KOH/gr 0 0 ASTM D 664

14 Bilangan Asam Total mg

KOH/gr 0,6 0,3 ASTM D 664

15 Penampilan Visual - Jernih dan Terang Jernih dan Terang Visual

16 Warna No. ASTM 3 1 ASTM D 1500

17 Lubrisitas (HFRR wear

scar dia @60C) mikron 460 3

⁾ 460 ASTM D 6079

(26)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 13 Parameter Spesifik untuk Kualitas Minyak Solar

a. Angka Setana (Metode ASTM D 613)

Angka setana (angka setana) adalah sebuah ukuran unjuk kerja penyalaan bahan bakar minyak diesel yang diperoleh dengan membandingkannya terhadap bahan bakar acuan (reference fuels) di dalam mesin uji yang telah distandarisasi. Pengertian unjuk kerja penyalaan adalah waktu kelambatan penyalaan bahan bakar sebagai ditetapkan di dalam mesin uji standar pada kondisi tertentu dalam hal kecepatan aliran bahan bakar, waktu injeksi, dan kompresi. Rasio kompresi adalah perbandingan volume ruang pembakaran termasuk ruang pembakaran awal (precombustion) dengan piston pada titik mati bawah terhadap volume dengan piston pada titik api atas.

Kelambatan penyalaan (delay ignition) adalah periode waktu dinyatakan dalam derajad sudut putaran poros engkol antara bahan bakar mulai diinjeksikan dan bahan bakar mulai menyala. Waktu injeksi adalah waktu awal dalam satu siklus pembakaran diukur dalam derajat putaran poros engkol dimana bahan bakar diinjeksikan ke dalam ruang bakar.

Dikatakan angka setana karena dari hasil pengujian diperoleh angka pada mesin CFR No.F5 yang menunjukkan sifat kelambatan pembakaran dari bahan bakar. Makin tinggi nilai angka setana, menunjukkan bahwa bahan bakar mutunya makin tinggi, sebab semakin pendek kelambatan pembakaran. Ini berarti jumlah bahan bakar yang digunakan semakin sedikit sehigga mesin mempunyai efisiensi tinggi. Karena itu angka setana yang tinggi memberikan kenaikkan tekanan yang cepat dan tekanan maksimum yang rendah, sehingga mengurangi suara pembakaran. b. Indeks Setana (Metode ASTM D 4737)

Calculated Cetane Index (CCI) adalah suatu cara untuk memprediksi nilai angka setana dari minyak solar dengan menggunakan suatu rumusan. Rumusan perhitungan ini tidak dapat digunakan untuk bahan bakar yang mengandung aditif yang menunjukkan kecenderungan menaik dan juga tidak dapat digunakan untuk senyawa hidrokarbon murni, bahan bakar sintetis misalnya shale oil dan tar sands, alkilat atau produk-produk coal–tar. Data yang diperlukan untuk perhitungan adalah API gravity ASTM D 1298 atau ASTM D 287, distilasi ASTM D 86 dan densitas pada 15oC ASTM D 1298. Disamping itu calculated cetane index untuk bahan bakar distilat dapat diturunkan secara konvensional dengan menggunakan nomograf.

c. Berat Jenis @ 15oC (Metode ASTM D 1298/D 4052)

Densitas adalah berat cairan per unit volume pada 15oC dan 101,325kPa dengan satuan standar pengukuran misalnya kg/m3. Sedangkan Specific Gravity (Relative density) adalah perbandingan massa sejumlah volume zat pada suhu tertentu terhadap massa air murni dengan volume yang sama pada suhu yang sama atau suhu yang berbeda.

Oleh sebab itu specific gravity dinyatakan dengan dua angka suhu. Angka pertama menunjukkan suhu zat, sedang angka kedua menunjukkan suhu air. Umumnya suhu acuan meliputi 60/60oF, 20/20oC, 20/4oC. Kedua suhu acuan harus dinyatakan secara eksplisit.

(27)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 14 d. Viskositas @ 40oC (Metode ASTM D 445)

Viskositas dinamik biasa disebut koefisien viskositas dinamik atau lebih sederhana disebut viskositas. Viskositas dinamik adalah ukuran tahanan untuk mengalir atau perubahan bentuk dari suatu cairan. Istilah viskositas dinamik juga dapat digunakan dalam suatu konteks yang berbeda untuk menunjukkan suatu kuantitas yang tergantung frekuensi dimana tegangan geser dan kecepatan geser mempunyai ketergantungan terhadap waktu sinusoidal. Viskositas kinematik adalah tahanan cairan untuk mengalir karena gaya berat. Untuk aliran gaya berat pada suatu ketinggian hidrostatik tertentu, ketinggian tekanan suatu cairan proporsional dengan kerapatannya. Analisis viskositas dilakukan untuk mengetahui kemudahan mengalir dari bahan bakar.

e. Kandungan Sulfur (Metode ASTM D 2622)

Senyawaan sulfur dalam minyak bumi dan produk turunannya terdiri dari beberapa jenis, antara lain hidrogen sulfida (H2S), merkaptan (RSH), sulfida (RSR), disulfida (RSSR), siklo sulfida (CH2)5S, alkil sulfat (R2SO4), asam sulfonat (RSO2OH), sulfoksida (RSOR), sulfona (RSO2R), tiofena (C4H4S) dan benzotiofena (C8H6S). Oleh sebab itu dalam pengujiannya dikatakan sebagai total sulfur. Sulfur dalam bahan bakar minyak dapat meyebabkan bau, ikut membentuk gum dan sludge dalam penyimpanan, serta dalam pembakaran akan menimbulkan asap yang bersifat korosif. Tidak semua akibat sulfur merugikan. Sulfur yang ada dalam aditif bersifat sebagai penghambat oksidasi (oxidation inhibitor) dalam minyak lumas, senyawa sulfur juga berfungsi sebagai penghambat korosi dalam lumas gear atau sebagai extreem pressure properties untuk cutting oil. Kandungan sulfur dalam bahan bakar dibatasi pada nilai maksimalnya, sehingga analisis parameter ini penting untuk dilakukan.

f. Distilasi (Metode ASTM D 86)

Distilasi pada dasarnya adalah menguapkan cairan dengan cara dipanaskan, kemudian uapnya didinginkan untuk menghasilkan distilat. Analisis distilasi dilakukan untuk mengetahui karakteristik penguapan bahan bakar yang digunakan. beberapa pengertian yang penting dalam analisis distilasi adalah:

- Initial Boiling Point (IBP) adalah pembacaan termometer pada saat tetesan kondensat pertama jatuh yang terlihat pada ujung tabung kondenser.

- Persen evaporated adalah jumlah persen antara cairan yang diperoleh dan persen yang hilang

- Persen recovered adalah persen maksimum yang diperoleh dari suatu distilasi, terbaca pada tabung (gelas ukur) penampung distilat.

- End point dan Final Boiling Point (FBP) adalah pembacaan suhu maksimum selama distilasi berlangsung. lni terjadi setelah cairan dalam tabung distilasi teruapkan semua. Juga disebut suhu maksimum.

g. Titik Nyala (Metode ASTM D 93)

Titik nyala (flash point) adalah suhu terendah pada kondisi tekanan barometer 101,3kPa (760mmHg), dimana dengan penyalaan tertentu menyebabkan uap contoh terbakar pada kondisi pengujian. Tinggi/rendahnya titik nyala sangat bergantung pada komponen hidrokarbon dalam bahan bakar. Parafin akan lebih

(28)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 15 mudah terbakar dari pada olefin, olefin lebih mudah terbakar dari pada naften, dan aromat paling sulit terbakar. Makin tinggi fraksi minyak bumi makin tinggi pula titik nyalanya, produk dengan titik nyala rendah makin mudah menguap sehingga mudah terbakar. Titik nyala sangat erat kaitannya dengan faktor keselamatan pada penanganan bahan bakar.

h. Titik Tuang (Metode ASTM D 97)

Pour point (titik tuang) adalah suhu terendah dimana bahan bakar minyak masih dapat mengalir dengan sendirinya pada kondisi pengujian. Kemudahan mengalir minyak solar dipengaruhi oleh komposisi hidrokarbon dalam bahan bakar itu. Kegagalan untuk mengalir pada titik tuang umumnya berhubungan dengan kandungan lilin dari minyak; tetapi dapat juga karena pengaruh viskositas minyak yang sangat kental. Bahan bakar yang banyak mengandung parafin (lilin) akan lebih mudah membeku dibanding dengan bahan bakar kandungan parafinnya rendah. Struktur lilin yang berhubungan dengan pendinginan minyak, dapat diatasi dengan cara diberi tekanan yang relatif kecil.

i. Residu Karbon (Metode ASTM D 4530)

Residu karbon (carbon residue) adalah residu yang terbentuk dari penguapan dan degradasi panas dari suatu bahan yang mengandung karbon. Dibedakan antara residu karbon dan coke. Residu karbon tidak seluruhnya karbon sedang coke berasal pengubahan karbon karena proses pirolisis. Terdapat hubungan antara residu karbon dan API-gravity minyak dan juga konstituen aspaltik. Untuk residu karbon (% massa) tinggi, makin tinggi pula kandungan aspaltik (% massa), berarti minyak tersebut tidak mudah menguap (non volatil). Pengujian residu karbon digunakan untuk evaluasi karakteristik deposit oleh karbon dalam peralatan jenis pembakaran minyak (oil burning) dan mesin internal combustion.

j. Kandungan Air (Metode ASTM D 1744)

Keberadaan air di dalam bahan bakar minyak adalah air yang terlarut dalam bahan bakar dan air yang tak terlarut dalam bahan bakar. Air yang tak terlarut (air bebas) dalam bahan bakar dapat dipisahkan dengan cara pengendapan dan selanjutnya penurasan. Terdapatnya air akan menyebabkan turunnya panas pembakaran, busa dan bersifat korosif. Bahan mudah menguap yang terlarut dalam air, dapat diukur sebagai air. Bila suhu dingin, air dapat mengkristal sehingga menyumbat saluran bahan bakar.

k. Analisis Korosi Bilah Tembaga (Metode ASTM D 130)

Sifat korosif mogas disebabkan oleh sulfur bebas, dan senyawaan sulfur reaktif (terutama merkaptan dan hidrogen sulfida). Senyawaan sulfur ini reaktif terhadap tembaga, menghasilkan noda kupri-merkaptida yang berwarna merah kecoklatan. Merkaptan diklasifikasikan atas merkaptan ringan dan merkaptan berat. Bahan bakar yang mengandung merkaptan berlebihan perlu diolah dengan proses soda washing. Proses ini hanya menghilangkan merkaptan ringan, sedang merkaptan berat tidak hilang oleh proses ini. Pengujian korosif ini sebagai uji kualitatif, sedang uji kuantitatifnya ditetapkan sebagai merkaptan sulfur.

(29)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 16 Abu dari minyak solar dapat berasal dari senyawaan logam yang larut dalam air, aditif sabun surfaktan sebagai bahan untuk netralisasi asam bahan bakar, atau dari padatan ikutan lain seperti debu dan produk pengkaratan.

Metode uji yang digunakan adalah gravimetri yaitu analisis kimia dengan cara pembakaran, pemijaran, pendinginan, dan penimbangan. Karena gravimetri, maka penimbangan dilakukan sampai diperoleh berat konstan artinya selisih dua penimbangan 0,2 mg.

m. Analisis Kandungan Sedimen (Metode ASTM D 473)

Terdapatnya sedimen dalam bahan bakar minyak dikhawatirkan akan menyumbat saringan bahan bakar. Disamping itu sedimen dapat membentuk endapan pada sistem injeksi atau ruang pembakaran. Saat bahan bakar minyak terbakar, endapan ini akan membara, menghasilkan endapan (deposit) dalam keadaan dingin.

n. Analisis Warna (Metode ASTM D 1500)

Analisis ini digunakan umumnya untuk keperluan kontrol produksi dan terutama kualitas produk bahan bakar. Pada beberapa kasus, warna menjadi indikator penting kebersihan dari bahan bakar yang digunakan. Jika rentang warna dari produk sudah ditetapkan, maka pentimpangan warna dari rentang yang ditetapkan dapat menjadi indikasi terjadinya kontaminasi produk lain. Namun demikian, warna tetap tidak dapat digunakan sebagai acuan baku untuk menentukan kualitas suatu produk bahan bakar.

2.3 Campuran Biodiesel

Biodiesel memiliki sifat fisika yang mirip dengan minyak solar sehingga memudahkan proses pencampuran. Bahan bakar campuran biodiesel dinotasikan dengan Bxx di mana „XX‟ menunjukkan besarnya persentase biodiesel yang ditambahkan dalam minyak solar. Bahan bakar campuran biodiesel diproduksi dengan cara pencampuran atau blending. Proses pencampuran ini umumnya berlangsung di terminal bahan bakar minyak (TBBM) atau dilakukan sendiri oleh pihak pengguna di fasilitas yang tersedia.

2.3.1 Teknologi Produksi Campuran Biodiesel

Sebelum dilakukan pencampuran, pastikan biodiesel dan minyak solar memiliki temperatur yang sama untuk mendapatkan campuran yang homogen. Selain itu, pastikan temperatur di lokasi pencampuran di atas titik kabut biodiesel untuk menghindari terjadinya pembentukan presipitasi biodiesel yang nantinya akan mengendap pada dasar tangki penyimpan atau tangki bahan bakar dan menyebabkan penyumbatan filter bahan bakar [9].

Pencampuran biodiesel dengan minyak solar harus memperhatikan ketepatan konsentrasi biodiesel yang ditargetkan. Pencampuran dapat dilakukan menggunakan beberapa metode, antara lain in-line blending, sekuensial in-tank blending, sekuensial

(30)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 17 in-truck blending, dan sekuensial in-vessel blending, yang akan dijelaskan secara detail pada subbab 4.8.

Pencampuran biodiesel dengan solar berbasis bahan bakar fosil adalah produk yang paling banyak didistribusikan untuk digunakan. Secara umum dan sebagian besar dunia menggunakan sistem yang dikenal sebagai "B30" faktor untuk menyatakan jumlah biodiesel dalam campuran bahan bakar yang digunakan dalam berbagai konsentrasi yang berbeda, yaitu:

- 100% biodiesel disebut sebagai B100

- 30% biodiesel, 70% bahan bakar solar diberi nama dengan B30 - 20% biodiesel, 80% bahan bakar solar diberi nama dengan B20 2.3.2 Spesifikasi B30

Standar dan mutu (spesifikasi) bahan bakar minyak jenis minyak solar dengan campuran biodiesel 30% (B30) ditetapkan dalam SK Dirjen Migas No. 146.K/10/DJM/2020 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Jenis Solar yang Dipasarkan dalam Negeri [8], seperti yang ditampilkan dalam Tabel 2.3. Toleransi persentase BBN jenis biodiesel dan BBM jenis minyak solar telah diatur dalam SK Dirjen Migas No. 0262.K/10/DJM.S/2018 yaitu sebesar ± 5% dari pencampuran BBN jenis biodiesel. Sebagai contoh, untuk pencampuran B30, rentang pencampuran yang diizinkan adalah 28,5%-31,5%).

Tabel 2. 3 Standar Mutu dan Spesifikasi B30 yang Dipasarkan di Indonesia

No Karakteristik Satuan

B30 Solar 48 B30 Solar 51

Metode Uji Min Max Min Max

1

Bilangan Setana: Angka Setana atau Indeks Setana

48 51 ASTM D 613

45 48 ASTM D 4737

2 Berat Jenis pada 15°C kg/m³ 815 880 810 850 ASTM D 4052 / ASTM D1298 3 Viskositas pada 40°C mm²/s 2,0 4,5 2,0 ASTM D 445

4 Kandungan Sulfur % m/m 0,25 0,2 1⁾ 0,05 2⁾ 0,005 3⁾ 0,05 0,005 1⁾ ASTM D 4294 / ASTM D 5453 / ASTM D2622 5 Distilasi: 90 % vol. Penguapan °C 370 370 ASTM D 86

6 Titik Nyala °C 52 55 ASTM D 93

7 Titik Kabut, atau °C 18 18 ASTM D 2500 /

(31)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 18 ASTM D 5773 / ASTM D 7683 Titik Tuang °C 18 18 ASTM D 97 / ASTM D 5949 / ASTM D 5950 / ASTM D 6749

8 Residu Karbon % m/m 0,1 0,1 ASTM D 189 /

ASTM D 4530

9 Kandungan Air mg/kg 425 280 ASTM D 6304

10 Kandungan FAME % v/v 30 4⁾ ASTM D 7371 /

ASTM D 7806 11 Korosi Bilah Tembaga merit Kelas 1 Kelas 1 ASTM D 130 12 Kandungan Abu % m/m 0,01 0,01 ASTM D 482 /

ISO EN 6245 13 Kandungan Sedimen % m/m 0,01 0,01 ASTM D 473 14 Bilangan Asam Kuat mg

KOH/gr 0 0 ASTM D 664

15 Bilangan Asam Total mg

KOH/gr 0,6 0,3 ASTM D 664

16 Penampilan Visual - Jernih dan Terang

Jernih dan

Terang Visual

17 Warna No. ASTM 3 1 ASTM D 1500

18 Lubrisitas (HFRR wear

scar dia @60C) mikron 460 5 ⁾ 460 ASTM D 6079 19 Kestabilan Oksidasi jam 35 EN 15751 menit 45 ASTM D 7545 / EN 16091 20 Kontaminasi Partikulat mg/l Tidak Diatur 10 ASTM D 6217 /

(32)

PEDOMAN UMUM PENANGANAN DAN PENYIMPANAN BIODIESEL & B30 19 BAB III. SIFAT DAN KARAKTERISTIK BIODIESEL DAN CAMPURAN BIODIESEL

Secara umum, biodiesel bersifat mudah terdegradasi (biodegradable), tidak mengandung senyawa aromatik dan sulfur, sehingga dipastikan emisi gas buang yang dihasilkan lebih baik dibandingkan minyak solar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa B20 memiliki emisi gas buang 10-20% lebih rendah dibandingkan minyak solar. Sedangkan B30 menghasilkan emisi gas buang lebih rendah 0,1-0,2 gr/km atau 5-20% dibandingkan B20.

3.1 Sifat dan Karakteristik Minyak Solar, Biodiesel, dan Campuran Biodiesel

Senyawa hidrokarbon adalah sebuah senyawa yang terdiri dari unsur karbon (C) dan hidrogen (H). Seluruh hidrokarbon memiliki rantai karbon atom-atom hidrogen yang berikatan dengan rantai tersebut. Berdasarkan bentuk rantai kabon dan jenis ikatannya, minyak solar tergolong hidrokarbon alifatik yang memiliki rantai terbuka dengan ikatan tunggal (jenuh) ataupun ikatan rangkap (tak jenuh). Minyak solar diproduksi dari minyak bumi melalui proses distilasi menghasilkan minyak dengan warna sedikit kekuningan dan tidak mudah menguap pada temperatur ruang.

Beberapa sifat minyak solar yang penting antara lain: (1) kualitas penyalaan, terkait komposisi hidrokarbon penyusun, (2) volatilitas sebagai faktor penting untuk menilai kesuksesan pembakaran, (3) viskositas berkaitan dengan proses pengabutan bahan bakar menuju ruang bakar, dan (4) titik tuang dan titik kabut, berhubungan dengan kemampuan mengalir bebas pada temperatur rendah [6].

Dalam ilmu kimia, ester adalah suatu senyawa organik yang terbentuk melalui penggantian satu (atau lebih) atom hidrogen pada gugus karboksil dengan suatu gugus organik (biasa dilambangkan dengan R‟). Senyawa ester dapat dimanfaatkan sebagai pembersih kotoran, misalnya kerak pada dinding tangki penyimpan, dan karena baunya seperti buah-buahan sering dijadikan perasa dan aroma buatan.

Biodiesel merupakan salah satu senyawa ester (ester metil asam lemak atau fatty acid methyl esters) yang juga memiliki sifat dan karakteristik mirip dengan minyak solar sehingga apabila dicampurkan dengan minyak solar dapat meningkatkan kualitas minyak solar, seperti: (1) Meningkatkan kualitas penyalaan ditandai dengan peningkatan angka setana, minyak

solar murni memiliki angka setana sekitar 48 – 51, penambahan 30% biodiesel meningkatkan angka setana menjadi 50 – 52,5.

(2) Menurunkan emisi CO, COx, dan SOx karena penambahan biodiesel meningkatkan kesempurnaan pembakaran. Selain itu, dalam produksi biodiesel tidak digunakan dan tidak diproduksi senyawa yang mengandung sulfur. Penambahan 30% biodiesel akan menurunkan kandungan sulfur hingga 30% dibandingkan minyak solar.

Selanjutnya, sifat, karakteristik, dan kualitas bahan bakar campuran biodiesel (misalnya B30), sangat dipengaruhi oleh faktor berikut ini:

a. Sifat, karakteristik dan kualitas biodiesel dan minyak solar. Semakin tinggi kandungan biodiesel dalam campurannya, maka sifat dan karakteristiknya akan semakin mirip dengan biodiesel;

Gambar

Gambar 2. 2 Diagram Alir Proses Produksi Biodiesel
Tabel 2. 1 Perkembangan Standar Biodiesel di Indonesia
Tabel 2. 3 Standar Mutu dan Spesifikasi B30 yang Dipasarkan di Indonesia
Tabel 3. 1 Perbedaan Sifat dan Karakteristik antara Biodiesel dan Minyak Solar  BIODIESEL (B100)  MINYAK SOLAR (B0)
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait