BAB IV
KONFLIK CINA -PRIBUMI TAHUN 1948 DAN DAMPAKNYA DI TRUSMI
A. Penyebab Terjadinya Konflik
Sejarah kerusuhan antara Pribumi Trusmi dengan orang Cina di Trusmi tahun 1948 sering menjadi bahan pembicaraan khalayak umum maupun kaum intelektul, namun masih belum banyak studi yang mengkaji peristiwa tersebut.
Hal yang menarik dalam kajian ini adalah mengapa terjadi pasang surut hubungan antar etnis Cina-Pribumi.
Pertama, orang-orang Cina sering menganggap diri mereka superior daripada orang-orang Pribumi, baik dalam kemampuan, kecerdasan, dan kekuatan. Mereka percaya bahwa kebudayaan tradisional dan hasil sejarah dari bangsa Cina jauh mengagumkan daripada kebudayaan tradisional dan hasil-hasil sejarah dari orang-orang Indonesia. Meskipun di antara mereka ada yang mempunyai ibu atau nenek orang Pribumi (peranakan), pada umumnya mereka cenderung dan berpegang pada kebudayaan Cina. Terlebih lagi, Pemerintah Cina berusaha menghilangkan jarak antara totok dan peranakan. Orang-orang Cina menunjukkan perasaan yang dalam tentang superioritas kebudayaan mereka.
Mereka cenderung melihat penduduk daerah tempat mereka bermukim lebih rendah. Mereka gagal dalam menyesuaikan diri dengan masyarakat, meskipun antara mereka dan golongan Pribumi memiliki hubungan ekonomi, namun mereka sulit menciptakan pembauran. Hal seperti ini kemudian memicu terjadinya konflik antara Cina-pribumi, apalagi jika melihat historisnya orang-orang Cina yang setatus Ekonominya lebih tinggih dari orang-orang pribumi,menjadikan mereka memiliki rasa superioritas yang menimbulkan sifat tertutup kepada golongan pribumi.1
1 Masyhuri, Bakar Pecian: Konflik Pribumi vs Cina di Kudus Tahun 1918, Jakarta:
Grafika Indah, 2006, hlm. Vii
Hubungan mereka yang terlihat Dari keduanya adalah ketika petani pribumi menjadi pedagang keliling yang setiap hari datang ke toko-toko Cina untuk menjajakan dagangannya dan disisilai2n orang Cina tersebut menjadi langganannya tetapi hal tersebut tidak pernah menjadi modal perekonomian yang lancar di antara mereka. Apalagi ketika di Trusmi terjadi pergeseran-pergeseran ekonomi orang-orang Cina yang telah menguasai perdagangan eceran seperti sembako dan lainnya, mereka mulai bergerak di bidang industri batik yang sebelumnya telah di geluti oleh orang-orang pribumi.3
Perlu dikemukakan di sini, bahwa sebagian besar orang-orang Cina telah bermukim secara permanen di Trusmi. Mereka bertempat tinggal secara terkonsentrasi di tempat-tempat tertentu di berbagai sudut Trusmi.
Pengelompokan ini dalam batas-batas tertentu menunjukkan sikap sombong golongan Cina secara mencolok. Pengelompokan pemukiman di bagian padat wilayah tertentu Trusmi seperti yang berada di sekitar sektor pasar dan pertokoan, memberikan kesan jumlah orang-orang Cina jauh lebih besar dari keadaan yang sebenarnya.
Pada periode 1930-an hingga 1950-an merupakan periode krusial dalam sejarah Indonesia. Dalam tiga dekade tersebut, masyarakat Indonesia mengalami berbagai peristiwa yang berdampak sangat penting dan mendasar bagi periode sejarah berikutnya. Diawali dengan meledaknya resesi ekonomi yang diikuti oleh bangkrut dan runtuhya negara Hindia Belanda, hadirnya kekuatan militer Jepang, proklamasi kemerdekaan, sampai pada sebuah revolusi sosial sebagai penutup periode-periode tersebut. Bagi masyarakat Cina dan Indonesia, periode tersebut merupakan masa-masa sulit yang suram, saat mereka mengalami banyak tekanan,
2 Hasil wawancara dengan Bapak Ono Sugiono di Rumahnya pada hari sabtu tanggal 16 juli 2016 jam 13:00
3 Masyhuri, Op.Cit hlm. 48-49
ancaman, dan aksi kekerasan, baik dari penguasa maupun dari kelompok masyarakat lainnya.4
Runtuhya kekuasaan kolonial Belanda di tangan Jepang pada tahun1942 dan kegagalan mereka untuk membangun kembali kekuasaannya setelah tahun 1945 menjadi titik balik yang menentukan dalam sejarah Indonesia. Peristiwa tersebut telah menghantarkan Indonesia ke dalam periode kekacauan sosial dan sebagai periode revolusi. Pada waktu itu, walaupun Indonesia secara politik berhasil memproklamasikan kemerdekannya dan memperoleh pengakuan dunia internasional, namun secara ekonomi belum mampu melepaskan diri seutuhnya dari kungkungan ekonomi kolonial. Oleh karena itu, dengan dilandasi semangat nasionalisme yang kuat, para pemimpin nasional Indonesia segera mengeluarkan kebijakan untuk segera keluar dari kungkungan tersebut dan berusaha membangun struktur perekonomian baru.
Pada tingkat negara, untuk memantapkan bangunan fondasi ekonomi nasional, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk mengambil alih berbagai instansi, fasilitas infrastruktur publik, dan perusahaan besar dan straregis milik pemerintah Hindia Belanda menjadi milik negara. Selain itu, untuk mendorong lahirnya pengusaha-pengusaha pribumi, pemerintah Indonesia memberikan hak-hak istimewa dan proteksi kepada mereka untuk berkompetisi dengan pengusaha dan modal asing dalam bisnis dan perdagangan. Berbagai kebijakan tersebut kemudian dikenal secara popular dengan sebutan Indonesianisasi. Sementara pada tingkat masyarakat, proses nasionalisasi aset ekonomi lokal yang disebut pribumisasi, lebih banyak dilakukan terhadap usaha, badan usaha, atau hak milik kelompok sosial non pribumi terutama Cina (Cina).
Meskipun dalam berbagai kasus sering kali diwarnai aksi kekerasan terhadap
4 Abdul Wahid, Dari Depresi Ekonomi Hingga Dekolonisasi: Pengusalah Cina dan Industri Batik Cirebon Tahun 1930-an – 1950 an dalam Sri Margana & Widya Fitrianingsih, Sejarah Indonesia Persfektif Lokal dan Global Persembahan untuk 70 Tahun Djoko Suryo, Yogyakarta: Ombak, 2010, hlm. 357-359
sesama kelompok pribumi yang didasari oleh semangat dekolonisasi dan tidak jarang sentimen primodial.5
Dalam perspektif sejarah ekonomi Indonesia, antara periode 1940-an sampai 1960-an selalu digambarkan sebagai periode yang penuh dengan kekacauan di bidang sosial dan politik, serta kemunduran di bidang ekonomi secara drastis. Kondisi tersebut ditandai dengan ekonomi kolonial yang akarnya dimulai sejak 1930-an ketika depresi ekonomi menghantam Indonesia, dilanjutkan dengan pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, revolusi dan perang sipil. Berbagai peristiwa tersebut menimbulkan kehancuran struktural yang berdampak langsung pada kinerja ekonomi nasional.
Dalam keseluruhan proses historis tersebut, masyarakat Cina di berbagai wilayah Nusantara harus mengalami berbagai penderitaan yang luar biasa berat.
Selain karena mundurnya aktivitas ekonomi diberbagai sektor, banyak di antara mereka yang menjadi korban kekerasan politik, peperangan, dan konflik sosial sejak kedatangan Jepang sampai dengan meletusnya perang kemerdekaan dan revolusi. Dalam kajian tentang kekerasan pada masa revolusi, Abdul Wahid mengatakan bahwa kekerasan terhadap masyarakat minoritas terutama masyarakat Cina merupakan fenomena yang sangat signifikan dan banyak ditemukan di beberapa daerah di Jawa. Kondisi tersebut terjadi pula di Cirebon, khususnya di Trusmi. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa pada periode 1940-an dan 1950-an kekacaun dan peperangan telah menghancurkan sektor ekonomi non farm termasuk ekonomi batik yang sebelumnya berkembang cukup pesat, di mana pengusaha Cina menjadi bagian penting di dalamnya.6
Bercerita tentang konflik penduduk Pribumi dan Cina di Trusmi yang dipicu oleh persaingan perdagangan, bahwa asal mula industri batik yang ada di Trusmi diusahakan oleh penduduk Pribumi. Kemudian orang-orang Cina muncul
5 Ibid hlm. 358
6 Ibid, hlm. 359
menanamkan modalnya pada sektor tersebut. Sejak kapan orang-orang Cina mulai berusaha di bidang batik, penulis belum menemukan data atau informasi yang jelas dari nara sumber.7
Deskripsi persaingan dalam bidang industri batik di Trusmi antara pengusaha Pribumi dengan Cina yang makin lama makin kuat, dapat dilihat pada perkembangan industri batik milik pengusaha-pengusaha Cina yang semakin meningkat tajam.
Menurut penulis, karena adanya pengaruh sentimen-sentimen pribadi, persaingan yang terjadi antara pengusaha-pengusaha Pribumi dan pengusaha- pengusaha Cina menimbulkan keretakan antara kedua kelompok tersebut. Oleh karena kelompok-kelompok itu berakar dalam kepentingan yang saling bertentangan, maka kedua kelompok itu senantiasa berada di dalam situasi konflik pula.
Dengan demikian, sudah sangat jelas bahwa persaingan ekonomi dalam industri batik antara pribumi Trusmi, baik sebagai pengusaha maupun pengarajin berkontribusi pada terjadinya konflik dengan pengusaha batik Cina, sebagaimana yang diinformasikan oleh Kyai Toni.
Kedua, keberpihakannya etnis cina terhadap penguasa, pada masa belanda menjajah Indonesia orang-orang Cina itu mendapatkan gelar sosila tersendiri yang berbeda kedudukannya dengan pribumi mereka tergolong elit kedua setelah golongan Eropa.8
Dengan kejadian tersebut orang cina menganggap dirinya lebih tinggi dari orang pribumi baik secara ekonomi maupn secara politik dibandingkan dengan kedudukan pribumi yang di anggap lebih renda.
7 . Menurutnya mudah dipahami jika persaingan yang mengakibatkan kemerosotan pengusaha-pengusaha pribumi memunculkan rasa tidak senang di antara mereka terhadap pengusaha-pengusaha Cina. Dan ini dipertajam dengan praktek-praktek perdagangan orang-orang Cina yang tidak jujur dengan memainkan monopoli perdagangan, sehingga mereka menganggap orang Cina adalah penjajah ekonomi. Dan penjajah menurut mereka harus dibubarkan (Hasil wawancara dengan Kyai Toni, salah satu tokoh agama di Lingkungan Trusmi. Pada Tanggal 22 Juni Tahun 2016 di Rumahnya.)
8 .Mashuri, Op.Cit.hlm.16
Pendapat lain mengatakan bahwa golongan Cina sehubung dengan itu muncul sikap sombong di kalangan orang orang Cina karena kedudukan yang menguntungkan itu seringkali terlihat mencolok bagi warga pribumi, apalagi dengan keadaan tersebut semakin memberikan kebebasan tersendiri bagi orang- oramg Cina untuk mengidentikan dirinya dengan para penguasa barat,meskipun secara politis orang-orang Cina dinilai tidak setia karen secara politis mereka itu akan selalu berada pada pihak yang berkuasa.
Ketiga, sentimen keagamaan antara penduduk Pribumi dan Cina di Trusmi.
Konflik yang terjadi antara Cina Pribumi sebenarnya bukan kareana sentimen ke agamaan saja melainkan karena di dalamnya ada campur tangan pihak Belanda untuk memisahkan komunitas orang-orang Cina dengan Pribumi karena sebelum terjadinya konflik, mereka (Pribumi) dengan orang-orang Cina saling menghargai dan toleransi dalam masalah upacara keagamaan. Sebgaimana informasi yang disampaikan oleh Pak Sugono, selaku ketua RT di Blok Pengiwakan Desa Trusmi, beliau selalu ikut serta dalam mengamankan jalanya upacara keagamaan warganya yang beragama Cina Kristen ataupun Cina Konghucu sebagai bentuk toleransi antar umat beragama. Di Trusmi sendiri, orang Cina ada juga yang beragama Islam, yaitu mereka yang menikah dengan penduduk Pribumi Trusmi yang beragama Islam.9
B. Jalannya Konflik
Kekalahan tentara Jepang yang diikuti proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, menimbulkan antusiasme dan kegembiraan yang besar akan segera hilangnya kesulitan hihup di bawah kontrol tentara Jepang yang kejam.
Selain itu, peristiwa tersebut menimbulkan kebingungan sehingga disikapi secara berbeda oleh beberapa kelompok masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia.
Kehadirannya yang mendadak bagi masyarakat Cirebon selain menimbulkan kegembiraan juga menimbulkan kebingungan, terutama di kalangan birokrasi desa. Hal ini dapat disaksikan dari reaksi yang mereka tunjukkan, sebagian
9 Hasil wawancara dengan Pak Ono Sugiono, Pak Mul, dan Pak Idirasidi, masyarakat Desa Trusmi.
mereka yang menyambut gembira segera mengibarkan bendera merah putih, namun sebagian lainnya tetap mengibarkan bendera Jepang, bahkan ada pula yang tidak percaya bahwa kemerdekaan benar-benar telah di proklamasikan.
Nampaknya masalah komunikasi lebih menjadi penyebab terhambatnya penyebaran informasi tentang proklamasi kemerdekaan secara merata di tengah masyarakat. Terlebih dua hari sebelumnya, 15 Agustus 1945 terjadi kerusuhan di Desa Pesindangan10 yang disulut oleh ditangkapnya sekelompok aktivis pemuda Cirebon oleh tentara Jepang karena tercium tengah menyiapkan penyambutan proklamasi kemerdekaan di Cirebon. Dalam kerusuhan itu, meski tidak menimbulkan korban jiwa tapi cukup meningkatkan ketegangan dalam kehidupan masyarakat pedesaaan.11
Kondisi tersebut dalam skala kecil dan lokal juga terjadi di Desa Trusmi.
Segera setelah proklamasi kemerdekaan, sekelompok masyarakat desa Trusmi menuntut agar Kuwu (Kepala Desa) dan para pejabat pembantunya segera diganti, karena masyarakat beranggapan bahwa semua pegawai pemerintahan yang ada pada masa pemerintahan Kolonial Belanda itu termasuk antek antek Belanda . Kuwu pada saat itu adalah Ki Samita yang mulai menjabat sejak 1928.
Walaupun Ia merupakan figur yang disegani, selain berasal dari keluarga besar keturunan Ki Buyut Trusmi yang secara adat dinilai memiliki posisi yang sangat kuat, juga karena kepemimpinannya yang dianggap berhasil mengayomi masyarakat akan tetapi masyarakat menutut untuk menurunkan dia karena anggapan dia termasuk antek Belanda.
Kelompok masyarakat yang menuntut turun Ki Samita dipimpin oleh Majana, seorang yang tergolong kaya di Trusmi. Tidak jelas apa yang melatarbelakangi Majana mengajukan tuntutan itu, menurut informasi yang diperoleh karena didorong oleh kepentingan politik pribadinya yang berambisi menjadi Kuwu. Alasan utama yang diajukannya adalah bahwa Kuwu Ki Samita
10 Salah satu deasa yang ada di Cirebon yang posisinya berada di sebelah selatan situs makam kanjeng Sunan Gunung Jati
11 Sri Margana & Widya Fitrianingsih,Op.Cit hlm. 360-361
dan perangkatnya merupakan pejabat lama yang turut menikmati sistem pemerintahan kolonial dan menjadi bagian dari kelompok yang mendapatkan keuntungan darinya, sehingga harus disingkirkan. Akan tetapi upaya Majana akhirnya mengalami kegagalan kerana tidak didukung oleh masyarakat luas dan pengurus adat Trusmi.12
Peristiwa ini cukup menggemparkan dan mendorong meningkatnya ketegangan politik di Desa Trus mi. Beberapa bulan kemudian ketegangan politik semakin meningkat ketika Kuwu Samita memberhentikan Kyai Kumir, sep (juru kunci) makam keramat Trusmi secara tiba-tiba. Hal ini tentu saja merupakan sesuatu yang di luar kebiasaan, mengingat posisi sep yang tinggi dalam adat dan tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun termasuk Kuwu. Namun mengingat Kuwu Samita yang kuat secara adat dan kondisi sosial politik waktu itu, maka hal itu bisa terjadi dengan mudah.
Menurut informasi yang diperoleh dari beberapa sumber lisan, sebab utama pemberhentian Kyai Kumir sebagai sep adalah perselisihannya dengan keluarga Kuwu Samita, meskipun tidak jelas apa subtansi masalahnya. Sebagai gantinya Kuwu Samita mengangkat Kyai Mahmud, seorang mursyid tarekat Qodariyah wan Naqsabandiyah, bapak dari Kyai Ahmad Abdurrohman, sep kramat Trusmi sekarang. Dalam peristiwa itu, yang menarik adalah bahwa Kyai Kumir sebenarnya dianggap sebagai sep ideal oleh penduduk Trusmi karena ia masih keturunan keluarga Buyut Trusmi, dia bukan penganut tarekat sehingga selama dia menjabat sebagai sep, posisi dan hubungan kelompok penganut tarekat dengan adat agak sedikit berjarak. Dan dengan diangkatnya Kyai Mahmud sebagai sep kramat Trusmi maka tarekat bisa berdampingan kembali dengan adat secara lebih dekat.13
Suasana semakin tegang dan tidak menentu, penduduk Trusmi semakin dicekam ketakutan ketika muncul gerombolan Karimuda14 di desa mereka. Di
12 . Ibid. hlm. 360-361
13. Ibid. hlm. 362.
14 . Kelompok ini biasanya banyak bermunculan di pulau Jawa bik daerah perkotaan atau perkampungan dan biasanya klompok ini di pimpin oleh seorang pemimpin informal yang mana
mata penduduk Trusmi kelompok ini pada awalnya dihormati dan tidaklah menakutkan karena mereka dianggap sebagai penjaga keamanan dan pejuang melawan Belanda. Selain itu, karena beberapa orang warga setempat bergabung di dalamnya diantaranya Majana, rival Kuwu Samita. Gerombolan Karimuda ini dipimpin oleh seorang pria bernama Dali dan sebagian besar anggotanya berasal dari Desa Megu dan Sumber.
Namun demikian, lama-kelamaan kelompok ini sering meminta bayaran dalam bentuk apa saja, baik uang maupun harta benda sebagai jaminan keamanan dan dengan alasan demi perjuangan. Kelompok pertama yang dimintai adalah orang Cina di Trusmi dan pengusaha-pengusaha batik, selanjutnya kepada semua penduduk Trusmi. Seiring situasi keamanan yang semakin memburuk, tindakan gerombolan ini pun semakin meningkat. Mereka melakukan perampasan harta penduduk dan bahkan tak segan melakukan pembunuhan. Sebagai contoh, pada akhir tahun 1945 gerombolan ini merampok, membunuh dan sekaligus membakar rumah seorang Cina dan keluarganya di Trusmi Wetan.
Pak Manan, mantan Heiho,(Mata-mata) yang pada saat itu diangkat oleh sebagai petugas keamanan desa, menginformasikan bahwa dalam menangani masalah pembakaran rumah-rumah orang Cina di Trusmi, pada saat itu pengurus desa sendiri relatif tidak berdaya karena tidak memiliki kekuatan yang membantu untuk menghadapi situasi seperti itu. Nyawa mereka sendiri terancam. Beberapa kali TNI dan Laskar datang mengunjungi Trusmi, namun kehadiran mereka tidak berlangsung lama.15
Suasana tidak menentu dan keamanan yang buruk terus mewarnai Trusmi selama masa perang gerilya, akibatnya banyak di antara penduduk desa yang pergi mengungsi ke tempat saudaranya di daerah lain. Pencurian dan kriminalitas merajalela dalam semua sektor kehidupan, terutama bidang perekonomia hampir pemimpin tersebut biasanya di panggil Jago/jagoan. Lihat di futnoot Abdul Wahid, Dari Depresi Ekonomi Hingga Dekolonisasi: Pengusalah Cina dan Industri Batik Cirebon Tahun 1930-an – 1950 an dalam Sri Margana & Widya Fitrianingsih, Sejarah Indonesia Persfektif Lokal dan Global Persembahan untuk 70 Tahun Djoko Suryo, Yogyakarta: Ombak, 2010. Hlm. 362
15 Ibid. hlm. 363-364
tidak berjalan. Demikian pula dengan para pengusaha batik, mereka tidak bisa lagi menjalankan usahanya karena kesulitan mendapatkan bahan-bahan produksi.
Semua ketegangan itu akhirnya mencapai puncaknya pada pertengahan Desember 1948, ketika sekelompok masyarakat melakukan penyerangan terhadap orang- orang Cina yang tinggal di Trusmi dan Karang Tengah.16 Penyerangan itu dipicu oleh berkembangnya isu bahwa salah seorang anggota komunitas Cina dianggap sebagai mata-mata Belanda. Para penyerang itu menjarah harta benda orang Cina, mengusir, membakar rumah-rumah dan toko-tokonya, bahkan sebagian dari mereka dibunuh. Orang-orang Cina yang selamat segera meninggalkan Trusmi, sebagian pergi ke kota Cirebon dan beberapa lainnya tersebar di sekitar wilayah Cirebon.17 Peristiwa penyerangan, pengusiran, pembakaran, dan penjarahan terhadap hak milik orang-orang Cina, oleh penduduk Trusmi disebut gedoran,(Memukul Mukul) sampai pada tahun 1967 Trusmi sudah bersih dari orang-orang Cina.18
Tentang siapa sebenarnya kelompok masyarakat yang melakukan penyerangan, terdapat beberapa pendapat yang berbeda, yaitu:
1. Pendapat pertama diinformasikan oleh beberapa penduduk Trusmi diantaranya Ki Lebe Jali, Ki Turjani, dan Pak Badawi, mereka mengatakan bahwa pelaku penyerangan, pembakaran, dan pembunuhan itu adalah gerombolan Karimuda bersama-sama dengan sebagian penduduk Trusmi.
2. Sementara pendapat kedua diinformasikan oleh Pak Manan dan Pak Sulaihan, menurut nya peristiwa itu dilakukan oleh penduduk Trusmi yang dipelopori oleh kalangan pemuda pejuang. Bahkan Pak Manan sendiri mengakui secara jujur bahwa dia ikut serta dalam penyerangan tersebut.19
16 Karang Tengah adalah salah satu desa yang berada persisi disebelah Timur desa Trusmi
17 Ibid hlm. 363-364
18 Informan yang berpendapat seperti ini di antaranya Pak Iman, Kyai Toni, Pak Mul, Pak Idirasidi dan Pak Sugono.
19 Sri Margana & Widya Fitrianingsih,Op.Cit hlm. 364
3. Pendapat ketiga sebagaimana diinformasikan oleh Pak Iman dan Pak Mul, bahwa yang melakukan penyerangan, pembakaran dan pembunuhan terhadap orang Cina di Trusmi adalah gerombolan DI (Darul Islam) pimpinan Kartosuwiryo bersama beberapa penduduk Trusmi yang telah termakan provokasi mereka.
4. Sedangkan pendapat keempat sebagaiman diinformasikan oleh Kyai Toni dan Pak Idirasidi, bahwa yang melakukan peristiwa tersebut adalah kelompok maling durjana (merampok bukan untuk kepentingan sendiri) yang berasal dari penduduk Trusmi itu sendiri.20
Meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang pelaku penyerangan tersebut, sumber-sumber lisan dari beberapa pendapat yang berbeda itu memiliki kesamaan pendapat tentang sebab dan alasan yang melatarbelakangi dilakukannya penyerangan itu, yaitu:
1. Bahwa orang-orang Cina itu adalah penghianat revolusi, mereka adalah mata- mata Belanda yang mendukung kembalinya kekuasaan Belanda di Indonesia.
2. Bahwa orang-orang Cina itu adalah penjajah ekonomi. Selama masa kolonial, mereka banyak memperoleh keuntungan ekonomi melalui hak-hak istimewa yang diberikan oleh penguasa Belanda. Mereka memonopoli usaha batik melalui praktek-praktek kerja sama yang curang dan merugikan perajin batik Trusmi.
3. Bahwa orang-orang Cina adalah orang asing, pendatang, yang tidak memahami adat Trusmi karenanya bukan bagian dari masyarakat Trusmi.21 Namun demikian, dibandingkan dengan dua alasan lainnya, alasan ketiga ini adalah yang paling lemah validitasnya karena hanya dikemukakan oleh Ki Lebe jali dan Ki Turjani, keduanya adalah pengurus kramat Trusmi. Tetapi bisa jadi paling menarik, karena dijadikan isu primodialisme (agama dan ras) dan adat sebagai pembenar untuk melakukan aksi kekerasan tersebut.
20 Hasil Wawancara dengan Pak Iman, Kyai Toni, Pak Mul, Pak Idirasidi dan Pak Sugono.
21 Sri Margana & Widya Fitrianingsih, Op.Cit hlm. 365
Untuk membuktikan siapa atau kelompok mana yang bertanggung jawab atas peristiwa kriminal terhadap orang-orang Cina di Trusmi tentu jawabannya sangat serba kemungkinan, mengingat sumber data yang diambil dari nara sumber adalah data tradisi lisan (ingatan kolektif), kecuali informasi yang disampaikan oleh Pak Sulaihan yang beliau sendiri mengaku secara jujur ikut serta dengan barisan kelompok Pemuda Pejuang dalam kerusuhan itu.
Penulis sendiri berbendapat, mungkin saja pelaku peristiwa kriminal di Trusmi terhadap orang-orang Cina adalah satu kelompok yang memiliki beberapa nama, mengingat kelompok-kelompok tersebut memiliki motif dan tujuan yang sama, yaitu menciptakan kekacauan terhadap orang-orang Cina di Trusmi. Jadi kelompok maling durjana, pemuda pejuang, mereka adalah sama orangnya, yaitu gerombolan karimuda. Kecuali yang berpendapat gerombolan DI karena pendapatnya dianggap lemah.
Abdul Wahid22 menuliskan, terlepas siapa sebenarnya pelaku penyerangan, pembakaran, dan pembunuhan itu, bahwa peristiwa itu telah memberikan dampak penting bagi kehidupan masyarakat setempat dan dapat dimaknai secara beragam. Peristiwa tersebut selain merupakan bagian dari ekspresi ekstrim upaya dekolonisasi pada tingkat masyarakat yang banyak pula terjadi di daerah lain pada masa itu, juga merupakan puncak keteganagn kultural antara kelompok pendatang dan kelompok pribumi yang secara laten telah dirasakan sejak akhir periode kolonial, di mana faktor etnik dan agama memainkan peran dalam mendorong masyarakat setempat untuk melakukan aksi kekerasan tersebut. Dari sudut pandang ekonomis, peristiwa tersebut meskipun tidak digerakkan oleh motivasi ekonomis, telah menjadi berkah tersembunyi bagi kehidupan ekonomi masyarakat setempat. Kondisi ini terutama berlaku bagi para pengusaha batik, karena dengan terusirnya orang-orang Cina dari Trusmi dan Karang Tengah maka mereka bisa dengan mudah mengambil alih dan menjalankan usaha batik tanpa harus bersaing lagi dengan orang-orang Cina.
22 Ibid, hlm. 365-366
Peristiwa kerusuhan tersebut, seakan menjadi episode penutup dari lembaran sejarah revolusi di Cirebon,23Kehidupan masyarakat Trusmi pun perlahan-lahan kembali berjalan normal, meskipun kriminalitas masih kadang terjadi, namun pemerintah desa berjalan kembali dan roda ekonomi mulai membaik.
C. Dampak yang ditimbulkan setelah terjadinya konflik
Abdul Wahid24 mengatakan, bahwa pasca pembakaran terhadap rumah dan usaha batik milik orang-orang Cina pada akhir 1948 , otomatis produksi batik terhenti total. Kondisi itu berlangsung kurang lebih 3-4 tahun, para pengrajin batik setempat merasa kesulitan memperoleh bahan baku kain dan lainnya. Pada tahun 1952 kegiatan membatik mulai berjalan kembali, yang diawali dengan membatik ulang kain-kain batik yang masih tersisa. Kegiatan ini dikenal dengan istilah nyadon. Hasil kegiatan nyadon dijual di pasaran lokal dengan harga yang rendah, sehingga hasil yang diperoleh para pengrajin pun tidak seberapa. Meskipun hasil dan keuntungan yang diperoleh dari kegiatan ini tidak terlalu signifikan, namun kegiatan ini berhasil membangkitkan kembali gairah masyarakat Trusmi untuk memproduksi kain batik.
Sementara itu, para pengusaha Cina yang terusir setelah kerusuhan pada 1948, sebagian dari mereka datang kembali ke Trusmi untuk mengurus rumahnya, namun sebagian besar lainnya tidak pernah kembali. Mereka yang datang kembali ke desa itu, kemudian menjual tanah dan rumah mereka kepada penduduk setempat dengan harga yang murah. Sedangkan rumah-rumah yang tidak diurus pemiliknya, dikuasai oleh desa untuk kemudian dijual kepada yang berminat.
Setelah 1950-an semua orang Cina di Trusmi telah benar-benar meninggalkan desa dan semua hal yang berkaitan dengan mereka telah diselesaikan secara
23 karena satu tahun kemudian tepatnya 27 Desember 1949 Ratu Julian secara resmi menandatangani piagam penyerahan kedaulatan Indonesia secara resmi di hadapan Mohammad Hatta. Sejak itu, satu persatu negara federasi, termasuk negara Pasundan, menyatakan diri bergabung dengan Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Dengan demikian, pada 17 Agustus 1950 Indonesia telah kembali menjadi Republik Kesatuan yang merdeka seperti yang diproklamasikan lima tahun sebelumnya.
24 Ibid., hlm. 366
tuntas. Sebagian kecil rumah di Trusmi sampai saat ini masih mempertahankan arsitektur khas perumahan Cina, namun sebagian besar telah berubah dan hampir semua unsur kebudayaan Cina di Trusmi telah hilang.
Seiring meningkatnya aktivitas nyadon, aktivitas produksi dan pemasaran batik di Trusmi secara perlahan kembali berjalan ke titik normal, namun kondisi itu tidak diimbangi dengan tersedianya bahan baku kain dan alat pewarna, akibantnya seringkali para pengrajin harus bekerja ekstra untuk mendapatkan bahan baku tersebut. Ironisanya adalah para penyuplai bahan baku dan mata rantai pemasaran produk batik pada waktu itu masih dikuasai oleh para pedagang Cina di Kota Cirebon, yang sebagian dari mereka pernah terusir (gedoran) dari Trusmi. Oleh karena itu, para pengrajin batik tidak punya pilihan selain kembali bekerja sama dengan mereka, dan kerja sama sambilan yang berkembang pada masa sebelumnya kembali dihidupkan. Kondisi tersebut dalam beberapa hal tidak membuat nyaman para pengrajin batik Trusmi sehingga berusaha mencari jalan alternatif guna memperoleh bahan baku usahanya.
Salah satu upaya yang dilakukan para pengrajin batik untuk mengatasi kesulitan memperoleh bahan baku produksinya adalah dengan membentuk sebuah koperasi. Pada 1955 dibentuklah sebuah koperasi yang mewadahi hampir seluruh pengrajin batik di Trusmi dan Karang Tengah. Koperasi itu diberi nama koperasi Budi Tresna dengan Masina terpilih sebagai ketuan yang pertama. Pada dasarnya koperasi ini merupakan penggabungan dari dua koperasi yang pernah berkembang sebelumnya, yaitu koperasi batik Trusmi yang berdiri 1936 dan koperasi batik Karang Tengah yang berdiri 1937. Setelah berdirinya koperasi itu, lambat laun kesulitan penyediaan bahan baku batik terutama kain mori dapat teratasi. Selain itu, koperasi juga mulai bisa membantu memasarkan produksi anggotanya. Menurut informan, pada waktu itu penjualan batik terfokus ke Jakarta, sekitar 75% dijual ke Tanah Abang dan sisanya ke daerah sekitar Cirebon.25
25 Ibid, 367