• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TELAAH PUSTAKA, PENGEMBANGAN HIPOTESIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TELAAH PUSTAKA, PENGEMBANGAN HIPOTESIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TELAAH PUSTAKA, PENGEMBANGAN HIPOTESIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN

Bab ini membahas pendekatan Literatur Teoritis dan Literatur empiris untuk pengembangan kerangka konseptual penelitian dan hipotesis penelitian. Telaah teori menjelaskan pendekatan teori yang dipakai untuk menjelaskan hubungan antar variabel dan landasan teori variabel penelitian. Telaah empiris digunakan untuk membahas studi empiris sebelumnya yang telah dilakukan beserta kesenjangan-kesenjangan yang ada.

Telaah Teori dan empiris selanjutnya digunakan untuk pengembangan kerangka konseptual penelitian dan hipotesis penelitian.

2.1. Telaah Pustaka 2.1.1. Grand Theory

Penelitian ini menggunakan pendekatan teori Resource Base View (RBV) sebagai faktor internal organisasi untuk mendukung kinerja yang unggul. Resource Based View (RBV) merupakan teori yang mengungkapkan mengenai heterogenitas kompetensi dan kapabilitas suatu perusahaan berbasis sumber-sumber daya baik sumberdaya fisik, sumberdaya manusia dan sumberdaya organisasi (Barney, 1991). Pendekatan RBV menekankan pada pengembangan keunggulan kompetitif melalui efektifitas dan efisiensi perusahaan sehingga menghasilkan keunikan atau langka, tidak mudah ditiru, dan tidak dapat digantikan. Beberapa alasan RBV menjadi perhatian dan pertimbangan digunakan manajemen perusahaan menurut Grant & Grant (1996) antara lain: (a) kemampuan sumberdaya dalam perusahaan menawarkan arah strategis yang tepat, (b) kemampuan

(2)

sumberdaya perusahaan menjadi sumber utama keunggulan perusahaan. RBV perusahaan dapat membangun competitive advantage yang berkelanjutan dengan penggunaan sumber-sumber daya yang heterogen yaitu sumberdaya harus valuable (bernilai), rare (langka), imperfect immitable (tak dapat ditiru), dan didukung oleh keterampilan yang not substitutable atau proses organisasi yang kompleks secara sosial, dengan kriteria 'VRIN' dijelaskan sebagai berikut:

1. Valuable (V): Sumberdaya bernilai jika memberikan nilai strategis bagi perusahaan.

Sumberdaya memberikan nilai jika membantu perusahaan dalam mengeksploitasi peluang organisasi atau membantu mengurangi ancaman organisasi.

2. Rare (R): Sumberdaya harus sulit ditemukan di antara pesaing yang ada dan potensial dari perusahaan. Karenanya sumberdaya harus langka atau unik untuk menawarkan keunggulan kompetitif.

3. Imperfect Imitability (I): Imperfect imitability yang tidak sempurna berarti membuat salinan atau meniru sumberdaya tidak akan layak. Kemacetan untuk imitabilitas yang tidak sempurna bisa banyak yaitu, kesulitan dalam memperoleh sumberdaya, hubungan yang ambigu antara kemampuan dan keunggulan kompetitif atau kompleksitas sumberdaya. Sumberdaya dapat menjadi dasar keunggulan kompetitif yang berkelanjutan hanya jika perusahaan yang tidak memiliki sumberdaya ini tidak dapat memperolehnya;

4. Non-Substitutability (N): Non-subtitusi dari sumberdaya menyiratkan bahwa sumberdaya tidak dapat digantikan oleh sumberdaya alternatif lain. Di sini, pesaing tidak dapat mencapai kinerja yang sama dengan mengganti sumberdaya dengan sumberdaya alternatif lainnya.

(3)

RBV menekankan peran resource dan capability dalam membentuk dasar keunggulan kompetitif (Hart & Dowell, 2011) . Definisi resource telah diadopsi secara luas dalam literatur RBV yang berusaha untuk menghubungkan sumberdaya spesifik perusahaan dengan keunggulan kompetitif dan kinerja perusahaan. Sumberdaya diperoleh dari beberapa jenis baik berisfat fisik dan non fisik. Sumberdaya fisik seperti sumberdaya teknologi, keuangan, manusia, dan organisasi sedangkan sumbedaya non fisik seperti pengetahuan dan metode (Monteiro et al., 2017). Dijelaskan oleh Barney (1991) bahwa sumberdaya berharga ketika memungkinkan perusahaan untuk menyusun atau menerapkan strategi yang meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya.

Definisi Capability adalah sesuatu yang mampu dilakukan oleh suatu perusahaan, yang berasal dari sumberdaya termasuk sumberdaya pengetahuan (Knowledge) yang dalam perkembangannya menjadi sebuah strategi untuk meningkatkan kinerja yang unggul dengan pendekatan yang dikenal dengan pendekatan knowledge based view atau KBV ( Ooi, Cheah, Lin, & Teh, 2012).

Knowledge based View (KBV) (Grant, 1996) merupakan pengembangan dari konsep RBV yang berfokus pada aspek sumberdaya intelektual sebagai basis strategi untuk sumber keunggulan kompetitif organisasi dalam jangka panjang dan kinerja dalam jangka pendek. Pendekatan Knowledge Based View menganggab bahwa perusahaan sebagai lembaga yang menghasilkan, mengintegrasian, dan mendistribusikan pengetahuan (Grant, 1996). Kemampuan KBV untuk menciptakan nilai tidak hanya didasarkan pada banyaknya sumberdaya baik fisik maupun keuangan melainkan pada kemampuan berbasis pengetahuan yang tidak berwujud (integible knowledge based capability) sehingga keberhasilan pendekatan KBV persaingan diatur oleh kemampuan organisasi

(4)

yang digunakan untuk mengembangkan aset baru berbasis pengetahuan yang kemudian menghasilkan kompetensi inti. Anggapan yang mendasari KBV merupakan input penting dan sebagai sumberdaya utama dalam keunggulan kompetitif adalah nilai dari pengetahuan. Nonaka & Takeuchi, (1995) menjelaskan pandangan berbasis pengetahuan dapat memberikan upaya luas akan sifat dan pengertiannya termasuk cara mengelola proses penciptaan pengetahuan (Knowledge Creation).

Peran KBV dalam membangun keterlibatan modal manusia untuk beradaptasi pada berbagai kedinamisan perusahaan dengan lebih efektif dan efisien sehingga pengembangan sumberdaya manusia menjadi lebih dominan dan terstruktur (Chen &

Huang, 2009). Pandangan berbasis pengetahuan, perusahaan dapat mengambarkan pengetahuan baru yang penting untuk membangun keunggulan bersaing dari kombinasi unik pengetahuan itu sendiri sesuai dengan peran RBV bahwa perusahaan itu memiliki sumberdaya yang unik, tidak mudah ditiru dan tidak bisa digantikan (Barney, Wright, &

Ketchen, 2001).

Apabila dirujuk lebih jauh baik KBV dan RBV berasal dari Teori Structure- Conduct-Performance (SCP) dari Wasserman, (2008), menjelaskan bahwa unsur lingkungan organisasi mempengaruhi perilaku (strategi) yang akhirnya mempengaruhi kinerja. Pendekatan teori SCP digunakan pada perusahaan industri dengan berorientasi pada faktor eksternal industri salah satunya mempertimbangkan faktor lingkungan organisasi yang komplek. lKeberhasilan organisasi dalam lingkungan yang kompleks dan dinamis tergantung pada kemampuan keterlibatan dalam pengelolaan lingkungan untuk memahami perilaku dan perkembangan lingkungan. Pengolahan, pengumpulan dan analisis data lingkungan membutuhkan kompetensi dan keahlian manajerial dalam

(5)

menganalisis, merancang strategi dan mengambil keputusan yang berdampak pada kinerja namun kenyataannya sebagian besar organisasi tidak mempunyai perencanaan strategis karena mereka terlalu fokus pada operasional (Wasserman, 2008). Keterlibatan lingkungan dalam kinerja yang didukung dengan implementasi strategi maka dapat dibuat model seperti dalam Gambar 2.1.

2.1. Gambar

Model Konfigurasi Structure—Strategy-Performance (SSP) Sumber: Wasserman (2008)

Berbasis KBV dapat dijelaskan bahwa lingkungan dari kebanyakan organisasi makin kompleks dan dinamis. Keunggulan kompetitif tidak hanya dicapai melalui aset internal perusahaan namun juga mengikutsertakan lingkungan eksternal dari perusahaan.

Oganisasi harus mempunyai kapabilitas dinamis yang menjadi sebuah keunggulan bersaing itu sendiri merupakan sesuatu yang tidak stabil. Kemampuan perusahaan dalam menghadapi proses yang tidak stabil tersebut adalah suatu keunggulan bersaing dalam mencapai keberlanjutan perusahaan (Almarri & Gardiner, 2014). Adapun pihak yang terlibat dala lingkungan eksternal pada organisasi pendidikan tinggi adalah para stakeholder (pengguna lulusan) yaitu pemerintah, pelaku bisnis, masyarakat dan alumni.

Sedangkan faktor kedinamisan lingkungan yang menyebabkan ketidakpastian adalah terkait adanya kebijakan, deregulasi, sistem manajemen, politik, pandemi global dan bencana alam (Grant, 1996).

(6)

Di era persaingan yang ada saat ini, perusahaan bersaing dengan mengembangkan pengetahuan baru yang lebih cepat daripada pesaing (Curado , 2006). Hal ini melibatkan peran sumberdaya manusia dalam organisasi untuk mengembangkan pengetahuan khususnya modal intelektual untuk menghasilkan sesuatu yang unik sebagai ciri khas organisasi yang sulit ditiru pesaing. Berpijak pada KBV bahwa modal intelektual memenuhi kriteria sumberdaya yang unik untuk menciptakan nilai tambah. Teori berbasis pengetahuan organisasi memiliki karakteristik khusus diantaranya:

a. Pengetahuan memiliki arti yang paling strategis di perusahaan

b. Kegiatan dan proses produksi di perusahaan melibatkan penerapan pengetahuan c. Setiap individu organisasi bertanggung jawab untuk membuat, memegang dan

berbagi pengetahuan

Strategi sumberdaya pengetahuan digunakan untuk mendukung penciptaan keunggulan bersaing organisasi. Menurut Curado et al. (2007) selain itu strategi sumberdaya pengetahuan organisasi dapat diterapkan untuk tatakelola organisasi dengan berorientasi pada manajemen kualitas. Sumberdaya pengetahuan dalam pandangan Nonaka (1995) dapat dijelaskan bahwa strategi dalam pengelolaan pengetahuan merupakan proses menciptakan, menstransfer, membagikan, mengasimilasikan dan mengaplikasikan pengetahuan menjadi pengetahuan yang bernilai bagi organisasi.

Implementasi manajemen kualitas yang didukung dengan proses penciptaan pengetahuan organisasi akan menghasilkan kinerja organisasi (Linderman et al., 2004).

Selain pengetahuan faktor budaya dalam organisasi mempunyai peran yang kuat dala membangun sistem kerja yang kreatif, inovatif dan profesional untuk mencapai tujuan organisai yang unggul dan kompetitif (Curado et al. 2007). Kapabilitas budaya

(7)

organisasi dalam menghadapi kedinamisan dilakukan melalui kemampuan adaptasi, konsistensi, keterlibatan dan kekuatan misi organisasi (Denison, 2003). Dengan demikian kedua faktor ini ( internal dan eksternal) sangat mendukung untuk evaluasi dan perbaikan setiap organisasi sehingga pencapaian kinerja unggul dapat tercapai.

Konsep dan filosofi manajemen kualitas telah diterima oleh banyak organisasi yang sukses dan diakui sebagai alat strategis yang terus menghasilkan peningkatan kualitas dan karenanya, memberikan keunggulan kompetitif bagi organisasi (Homaid et al. 2015). Teori Resource-Based View (RBV) didasarkan pada keunggulan bersaing dan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam bidang strategi. Keterkaitan antara sistem practice quality management dan strategi terjadi pada level kapabilitas dari pada level pilihan strategi (Henri, 2006). Dengan demikian dalam penelitian ini menggunakan dasar pada teori Resource-Based View (RBV) yang dianggap sangat relevan untuk menjelaskan berbagai variabel yang terkait dalam penelitian ini.

2.1.2. Praktik Manajemen Kualitas (Quality Management Practice)

Manajemen kualitas didefinisikan sebagai suatu cara untuk meningkatkan kinerja secara berkelanjutan pada setiap tingkatan operasional dan dalam setiap area fungsional dari organisasi dengan pemanfaatan sumber sumber daya yang tersedia. Definisi tersebut diungkapkan oleh Juran, Godfrey, Hoogstoel, & Schilling, (1999); Deming, (1981);

Jaafreh & Al-abedallat, (2013); Nguyen et al. (2017) bahwa beberapa poin penting yang terkandung dalam definisi tersebut yaitu adanya perencanaan kualitas, pengendalian kualitas, jaminan kualitas, dan peningkatan kualitas.

(8)

Menurut Al Damen, (2017) memandang praktik manajemen kualitas sebagai interaksi masukan termasuk individu, metode, kebijakan dan instrumen untuk mencapai output berkualitas tinggi. Ini adalah filosofi manajemen dengan seperangkat alat dan pendekatan yang komprehensif untuk mencapai tujuan pelaksanaannya. Ahmad et al.

(2016) mengartikan bahwa praktek manajemen kualitas (QMP) sebagai program holistik, terintegrasi dan proses di seluruh perusahaan yang mempromosikan kualitas produk/layanan untuk memuaskan pelanggan. Definisi tersebut selaras dengan definisi Al Qohtani (2015) bahwa praktik manajemen kualitas sebagai strategi dasar yang bertujuan membangun dan menghasilkan produk atau layanan berkualitas tinggi untuk memenuhi permintaan pelanggan dan mencapai tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi. Bou-Llusar et al. (2009) mendefinisikan bahwa praktik manajemen kualitas merupakan suatu pendekatan manajemen yang memiliki karakteristik prinsip kerja sebagai pedoman atau panduan kerja untuk mencapai efektifitas tujuan dan peningkatan kinerja.

Menurut Fotopoulos & Psomas, (2009) menjelaskan konsep inti dari QMP dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori atau prinsip utama: QMP sosial atau soft , dan teknis atau hard. Pertama, Isu-isu sosial berpusat pada manajemen sumberdaya manusia dan menekankan kerjasama tim, pelatihan, dan keterlibatan karyawan. Masalah teknis berorientasi untuk memperbaiki metode produksi dan operasi dan berusaha untuk membangun metode kerja melalui pengembangan proses dan prosedur untuk perbaikan barang dan jasa secara berkelanjutan kepada pelanggan. Kedua, pengelolaan isu-isu QMP sosial atau teknis tidak dapat dilakukan secara terpisah. Dimensi sosial dan teknis saling terkait dan mendukung satu dengan lainnya yang mencerminkan karakter holistik QMP.

Karakter holistik ini juga diperluas untuk hasil yang diharapkan dari implementasi QMP.

(9)

Ketiga, literatur menunjukkan bahwa pengelolaan optimal dari konsep inti QMP menyebabkan kinerja organisasi yang lebih baik (Bou-Llusar et al. 2009).

Teori manajemen kualitas Deming (1981) mendalilkan bahwa perbaikan terus- menerus sistem dan proses organisasi yang mengadvokasi kepuasan pelanggan mengarah pada keunggulan dan kinerja organisasi. Teori ini juga memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana peran pemimpin perlu melibatkan orang-orang di semua tingkat organisasi termasuk terkait komitmen pimpinan sangat penting karena memberikan arahan (Ali Zwain, Teong, & Othman, 2014). Hubungan manusia pertama- tama muncul dalam pemikiran kepemimpinan. Deming, menekankan bahwa para pemimpin harus memahami hubungan karyawan dengan baik, memperlakukan orang- orang mereka secara adil dan terhormat dan memberi mereka kondisi kerja yang baik sehingga mereka dapat menggunakan semua kemampuan mereka, mengembangkan kompetensi mereka, merasa nyaman dan menikmati pekerjaan mereka. Pemimpin harus memberikan peluang untuk kerjasama, merangsang orang untuk bekerja sama, dan menghapus faktor sistem yang dapat menurunkan motivasi mereka untuk bekerja sama dalam tim (Deming, 1981).

Pendekatan QMP turut mendukung konsep Resource Base View (RBV) sebagai modal intelektual (baik modal manusia dan modal struktur organisasi) yang saling terintegrasi dalam implementasi manajemen kualitas, yang selanjutnya mengarah pada ketercapaian kinerja yang unggul dan mampu bersaing (Almarri & Gardiner, 2014).

Ketercapaian kinerja organisasi yang berbasis manajemen kualitas tidak lepas dari peran prinsip prinsip manajemen kualitas yang digunakan sehingga penentuan prinsip

(10)

manajemen kualitas yang efektif menjadi tolok ukur kesuksesan tercapainya kinerja (Parizi, Vafaeinasab, & Tofighi, 2014).

Prinsip Manajemen Kualitas

Sejumlah prinsip terpadu penerapann praktik manajemen kualitas oleh peneliti sebelumnya telah melakukan pengembangan penelitian dan pengembangan instrumen sesuai dengan keadaan, karakterisik, manajemen perusahaan dan tujuan perusahaan, seperti penelitian konseptual yang diusulkan Linderman et al. (2004) menjelaskan pandangannya bahwa praktik manajemen kualitas dengan mempertimbangkan orientasi konsumen, perbaikan berkelanjutan dan berbasis sistem akan mampu menciptakan pengetahuan yang dapat mendukung kinerja organisasi. Shan et al. (2013) mengungkapkan bahwa strategi peningkatan kualitas berampak pada penciptaan pengetahuan. Zhang, Waszink, & Wijngaard, (2000); Asif et al. (2013) menegaskan bahwa dimensi praktik manajemen kualitas dapat berkontribusi pada dimensi proses penciptaan pengetahuan. Jaafreh & Al Abedallat, (2013) berpendapat bahwa implementasi manajemen kualitas efektif berdampak pada kinerja organisasi, Al Qohtani (2015) menjelaskan bahwa manajemen kualitas merupakan strategi untuk mengeksplorasi hubungan antara implementasi QMP efektif dengan kinerja organisasi, Al Damen (2017) menunjukkan dampak positif dari penerapan manajemen kualitas total terhadap kinerja organisasi meskipun dari studi yang berbeda. Studi tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara penerapan QMP yang efektif dan kinerja organisasi, di mana ketika satu organisasi menerapkan praktik manajemen kualitas total yang efektif maka

(11)

kinerja organisasi dan karyawan sebagian besar akan meningkatkan produktivitasnya dan biaya operasionalnya akan menurun (Prajogo et al. 2006).

Rangkuman ragam dimensi praktik manajemen kualitas dari penelitian sebelumnya dalam beberapa tahun terakhir meliputi: dukungan pimpinan puncak/kepemimpinan, kepuasan konsumen, perbaikan berkelanjutan, keterlibatan karyawan/SDM, manajemen berbasis fakta, manajemen proses, manajemen kualitas strategis, keterlibatan pemasok, informasi dan analisis, teamwork, sanksi dan reward, perencanaan strategis, desain produk dan desain layanan.

Menurut Talib, Rahman, & Qureshi, (2010) beberapa literatur memberikan berbagai konsep tentang manajemen kualitas, namun semuanya memiliki elemen dasar yang sama. Salah satu contoh sebagian besar konsep praktik manajemen kualitas menganggap pelanggan sebagai fokus utama dalam strategi manajerial. Penelitian Gharakhani, Rahmati, Farrokhi, & Farahmandian, (2013) menjelaskan bahwa manajemen kualitas terpadu yang sebagian besar diterima disektor jasa adalah berbeda sebagai strategi manajerial yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kinerja organisasi.

Dalam penelitian Nguyen et al. (2017) melakukan penyederhanaan prinsip praktik manajemen kualitas menjadi 5 prinsip yaitu kepemimpinan, perencanaan strategis, mananajemen proses, sumber daya manusia dan fokus kepuasan konsumen.

Penyederhanaan ini dinilai sudah mencakup dan mewakil dari peran prinsip QMP yang meliputi upaya keterlibatan dan sikap akan perubahan sudah mencakup untuk peran kepemimpinan. Penentuan misi, tujuan, dan kebijakan yang berkualitas serta pengembangan & penerapan Strategi untuk mewakili peran perencanan strategis (Sila, 2007). Melakukan kontrol proses dan perbaikan berkelanjutan sebagai upaya dari peran

(12)

manajemen proses (Baird, Hu, & Reeve, 2011). Mendorong pelatihan & partisipasi karyawan adalah sebagai upaya dari peran SDM (Lakhal et al. 2006) dan meningkatkan frekuensi kontak dengan pelanggan dan kesediaan penanganan keluhan konsumen sebagai upaya yang mewakili dari peran fokus kepuaasan konsumen (Seth & Tripathi, 2005).

Bedasarkan penyederhanaan prinsip QMP yang dilakukan secara empiris pada penelitian sebelumnya maka kelima prinsip QMP tersebut diadopsi dan digunakan dalam penelitian Nguyen et al. (2017) sebagai pengukuran penelitian dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Kepemimpinan (Leadership)

Menurut Al-Damen, (2017), Kepemimpinan harus memainkan peran kunci dalam pembentukan visi fasilitas masa depan yang jelas, pengembangan nilai-nilai umum, keadilan dan model prinsip moral di semua tingkat fasilitas dan mempertahankannya, membangun kepercayaan dan menghilangkan ketakutan, dan mendukung personil dengan sumberdaya yang diperlukan dan pelatihan yang memadai memotivasi karyawan dan mendorong semangat antusiasme di dalamnya dan menghargai usaha positif, mendorong komunikasi terbuka, dan meningkatkan kesadaran, pendidikan, pelatihan pekerja, dan menunjukkan komitmen mereka terhadap kualitas melalui berbagai contoh. Komitmen yang kuat dari manajemen puncak sangat penting dalam manajemen kualitas dan mengarah pada kinerja kualitas yang lebih tinggi. Sadikoglu dan Olcay (2014) menjelaskan bahwa kepemimpinan sebagai suatu sistem, mendukung pengembangan karyawan;, membangun komunikasi multipoint antara karyawan, manajer, dan pelanggan; serta menggunakan informasi secara efektif dan efisien. Pimpinan turut mendorong

(13)

partisipasi karyawan dalam pengambilan keputusan dan memberdayakan karyawan.

Komitmen dan partisipasi pimpinan atau manajemen puncak dalam praktik manajemen kualitas menjadi faktor paling penting untuk keberhasilan praktik manajemen kualitas.

Di lingkungan pendidikan tinggi, Pimpinan prodi mempunyai tugas dan tanggungjwab dalam tata kelola khususnya ditingkat prodi atau jurusan sehingga memiliki kewajiban untuk menetapkan tujuan, mengimplementasikan kebijakan mutu, dan pemanfaatan sumberdaya termasuk turut memastikan sasaran kualitas strategis yang dikembangkan dan memanfaatkan sumber daya yang dibutuhkan untuk implementasi manajemen kualitas yang sukses. Namun, jika sumberdaya tidak tersedia dapat menyebabkan mengorbankan kinerja dan biasanya kepemimpinan yang baik akan dikaitkan dengan kinerja yang lebih tinggi (Wanza et al. 2017).

Kepemimpinan tertinggi pada perguruan tinggi adalah administrator teratas yang memegang posisi teratas di setiap unit kerja. Misalnya, ditingkat pusat ada wakil wakil rektor, ditingkat fakultas ada dekan dan wakil dekan, di tingkat prodi/juruasan ada ketua program studi, sedangkan di unit unit lain ada kepala bagian dan manajer sumberdaya manusia.

b. Perencanaan strategis (Strategic planing)

Perencanaan mutu strategis menurut Al Damen (2017) adalah proses yang oleh departemen mutu, manajer mutu dan profesional berkualitas dalam organisasi mereka untuk mengidentifikasi inisiatif kualitas yang benar untuk mengelola kualitas sebaik-baiknya hari ini dan masa depan. Terrmasuk kriteria analisis lingkungan

(14)

eksternal dan internal, pengembangan misi berkualitas, pengembangan kebijakan mutu, pengembangan sasaran strategis yang berkualitas, pengembangan rencana kualitas strategis, implementasi strategi mutu dan pemantauan dan evaluasi strategi mutu. Pada penelitian Sadikoglu dan Olcay (2014) perencanaan strategis: merupakan keterampilan atau keahlian yang memerlukan praktik; organisasi yang paling banyak berlatih keterampilan ini memiliki peluang lebih tinggi untuk meningkatkan kinerja.

Elemen ini berfokus pada bagaimana organisasi melakukan perumusan dan implementasi rencana mereka dengan fokus pada konsumen dan tenaga kerja.

Sadikoglu & Olcay (2014) juga menjelaskan bahwa QMP dibentuk dengan memperhatikan konsep kualitas. Dengan perencanaan strategis terkait kualitas yang efektif, upaya karyawan diambil sebagai masukan dalam mengembangkan visi, misi, strategi, dan tujuan. Ini memfasilitasi penerimaan dan dukungan rencana kualitas strategis oleh karyawan. Usaha-usaha perencanaan strategis yang sukses juga memperhitungkan kemungkinan dampak rencana tersebut terhadap lingkungan sebelum proses produksi. Hal ini akan memanifestasikan dan meningkatkan tanggung jawab sosial perusahaan.

Beberapa Studi sebelumnya menemukan bahwa perencanaan strategis secara positif berhubungan dengan kinerja kualitas sebagai pengukuran dari kinerja organisasi (Talib et al. 2010). Penelitian Nguyen et al. (2017) menemukan bahwa perencanaan strategis mempengaruhi kinerja organisasi. Penelitian Prajogo et al., (2006), yang menguji perbandingan perencanaan strategis di dua negara menjelaskan bahwa model pengukuran perencanaan strategis menunjukkan adanya varian kelompok antara kedua negara. Model pengukuran konstruk lainnya adalah semua

(15)

kelompok-invarian artinya sub-item hampir memiliki hubungan yang sama dengan konstruk terkait mereka di kedua negara. Dengan demikian, sebagian besar sifat manajemen kualitas yang diukur dalam penelitian ini berlaku di kedua negara. Ini juga memberikan dasar yang baik untuk uji kelompok-invarian model struktur berikutnya.

c. Manajemen Proses (Process Management)

Manajemen Proses Menurut Jaafreh & Al Abedallat (2013 didefinisikan tentang mendesain organisasi, mengelola dan meningkatkan prosesnya untuk mendukung kebijakan dan strategi yang sepenuhnya memuaskan, dan menghasilkan peningkatan nilai bagi pelanggan dan pemangku kepentingan lainnya. Al Damen (2017) menjelaskan terkait manajemen proses yang ingin dicapai dengan lebih efektif dan efisien apabila sumberdaya dan kegiatan dikelola sebagai proses dengan mengidentifikasi kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan, dan mengukur input dan output dari proses, dan untuk mengidentifikasi jalur komunikasi kegiatan utama bisnis, dan hasil penilaian risiko dan potensi dampak operasi pada pelanggan, pemasok dan pemangku kepentingan lainnya, menjelaskan tanggung jawab dan kewenangan pengelolaan kegiatan utama. Fokus dari manajemen proses adalah pada bagaimana merancang, mengelola dan memperbaiki proses agar benar-benar memuaskan, dan menghasilkan meningkatkan nilai bagi, pelanggan dan pemangku kepentingan lainnya (Al Damen, 2017).

Menurut Sabella, Kashou, & Omran, (2014) menjelaskan bahwa manajemen proses: dipandang sebagai sejumlah subsistem yang diintegrasikan

(16)

bersama untuk membuat keseluruhan sistem yang terpadu. Elemen manajemen kualitas ini bertanggung jawab untuk menilai bagaimana organisasi mendesain dan memperkenalkan produk dan layanan nya (Sabella et al. 2014).

d. Manajemen Sumber Daya Manusia ( Human Resourch Management)

Manajemen sumberdaya manusia merupakan elemen khusus yag membahas efektivitas sumberdaya manusia dalam organisasi terkait perekrutan, pelatihan dan pengembangan, komunikasi, keselamatan tenaga kerja, dan kepuasan (Sabela &

Kashou, 2014). Sumberdaya manusia memiliki dampak paling mendalam pada kinerja organisasi sehingga dalam penelitian Jaafreh & Al Abedallat (2013) menjelaskan bahwa faktor penting untuk mencapai tujuan di perusahaan adalah dengan manajemen sumberdaya manusia yang penekanannya pada pengakuan kinerja karyawan untuk kualitas; mendorong kerja tim; memberikan pelatihan; melibatkan karyawan dalam keputusan kualitas Sumberdaya manusia yang diindikasikan melalui pelatihan karyawan dan hubungan karyawan berhubungan positif dengan peningkatan kualitas.

e. Fokus Kepuasan Konsumen (Customer satisfaction)

Organisasi bergantung pada konsumen sehimgga harus memahami kebutuhan saat ini masa depan, dan mencapai kebutuhan konsumen, serta bekerja untuk melebihi harapan konsumen. Artinya melalui penelitian dan memahami semua kebutuhan harapan konsumen dalam hal produk/layanan, harga, keandalan, mengikuti cara memastikan keseimbangan antara kebutuhan dan harapan konsumen

(17)

/pemangku kepentingan lainnya, serta mengukur kepuasan dan hubungan dengan konsumen untuk mencapai kepentingan bersama. (Al Damen et al. 2017). Fokus pada kepuasan konsumen adalah tentang seberapa penuh perhatian organisasi terhadap kebutuhan dan harapan kosumen dan seberapa efektif organisasi dalam hal mengelola hubungan konsumen, sementara organisasi yang berorientasi konsumen telah menjadi salah satu tantangan utama yang dihadapi setiap organisasi dengan menyesuaikan dan menerapkan strategi yang ditujukan untuk meningkatkan kepuasan konsumen harus menjadi jantung dari organisasi mana pun (Sabela &

Kashou, 2014).

Ditegaskan dalam penelitian Sadikoglu & Olcay (2014) bahwa oganisasi harus mengetahui yang menjadi harapan dan persyaratan konsumen yang kemudian organisasi lanjut untuk menawarkan produk/layanan. Dengan upaya berfokus pada konsumen, produksi dapat diatur sehubungan dengan kebutuhan, harapan, dan keluhan konsumen. Upaya ini mendorong perusahaan untuk menghasilkan produk/

layanan yang berkualitas tinggi dan dapat diandalkan, tepat waktu dengan peningkatan efisiensi dan produktivitas (Sadikoglu & Olcay, 2014). Adapun keterkaitan praktik manajemen kualitas yang mempengaruhi kinerja organisasi yang didukung dengan dimensi dimensi QMP. Dimensi kepuasan karyawan yang merupakan salah satu dari unsur kepuasan konsumen organisasi adalah sebagai tolok ukur dari kepuasan pekerja yang menyukai pekerjaan dan lingkungan kerja seperti:

kondisi kerja, keamanan kerja dan sistem penghargaan dan pengembangan karir.

Terkait dengan konsumen pendidikan tinggi menurut pandangan Lewis &

Smith, (1994) dan beberapa pandangan yang dikutip dalam penelitian Taiwo, (2010)

(18)

menjelaskan bahwa ada dua konsumen pada institusi peniikan tinggi, yaitu konsumen internal dan konsumen eksternal. Konsumen internal terdiri dari mahasiswa, Staf pendidik (dosen) dan staf kependidikan (pegawai adminstrasi), sedangkan konsumen eksternal adalah pengguna lulusan (stakehlder baik perusahaan swasta maupun negeri), lembaga donatur, alumni, dan Badan Akreditasi Nasional. Lewis dan Smith (1994) secara spresifik menyebutkan mahasiwa sebagi konsumen internal membutuhkan pengetahuan, ketrampilan, kemampuan untuk mencapai tujuan pribadi dan tujuan professional, kenyamanan dalam belajar, dan layanan akademik. Begitu pula konsumen internal lainnya misalnya pendidik (dosen) dan kependidikan ( tenaga administrasi) tidak hanya sekedar menerima kompensasi atas kewajiban dan tanggungjawabnya namun memiliki kesempatan untuk mendapatkan peningkatan kompetensi (seperti pengetahuan, keahlian dan keterampilan), kesehatan, kenyamanan bekerja, kesempatan pengembangan karir serta aktualisasi diri. Selain itu lembaga harus memberi kesempatan pada mereka untuk mengembangkan potensi diri kerana karyawan tidak lagi sebagai faktor produksi melainkan sebagai aset untuk dikembangkan (Taiwo, 2010).

2.1.3. Penciptaan Pengetahuan ( Knowledge Creation)

Berpijak pada Teori penciptaan pengetahuan (Knowledge Creation/KC) Ikujiro Nonaka, (1994 dan 2009) menjelaskan bahwa pengetahuan diciptakan melalui proses yang berkelanjutan dari pengetahuan tacit (diam diam) dan eksplisit berinteraksi dan menimbulkan pengetahuan baru. Selanjutnya dikembangkankan hubungan teoritis antara kualitas dan pengetahuan membutuhkan definisi pengetahuan yang tepat. Salah satu

(19)

definisi umum dari pengetahuan adalah keyakinan yang dibenarkan benar (Alavi &

Leidner, 2001; Nonaka & Takeuchi, 1994). Dalam teori ini, pengetahuan adalah, pertama, kepercayaan sejati yang dibenarkan, artinya individu membenarkan kebenaran pengamatan mereka berdasarkan pengamatan dunia atau persepsi mereka. Oleh karena itu, pembenaran bergantung pada sudut pandang yang unik, sensibilitas dan pengalaman pribadi (Nonaka & Takeuchi, 1995). Kedua, kapasitas pengetahuan diorientasikan untuk mendefinisikan situasi agar bertindak dalam memecahkan masalah sesuai yang digambarkan atau direncanakan sebelumnya. Ketiga, pengetahuan bersifat eksplisit dan diam – diam. Artinya pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang telah atau dapat diartikulasikan, dikodifikasi, dan disimpan dalam media tertentu. Hal Ini dapat dengan mudah ditularkan ke orang lain. Pengetahuan yang bisa diucapkan, dirumuskan dalam kalimat, ditangkap dalam gambar dan tulisan, lebih bersifat eksplisit. Berbeda dengan pengetahuan tacit yang sulit untuk ditransfer ke orang lain melalui tulisan atau verbalisasi (Nonaka, 1994). Pengetahuan terkait dengan indera, keterampilan gerakan, pengalaman fisik, intuisi atau aturan praktis implisit, adalah pengetahuan diam-diam dan pengetahuan dapat meningkatkan kemampuan entitas untuk tindakan yang efektif (Sabherwal &

Becerra-Fernandez, 2003). Definisi pengetahuan menyoroti gagasan bahwa pengetahuan adalah tentang keyakinan dan komitmen, dimana kekuatan pengetahuan untuk mengatur definisi kerja dari manajemen kualitas, yang membantu membangun hubungan teoritis antara pengetahuan dan kualitas (Nonaka, 1994).

Keunggulan kompetitif perusahaan berakar pada pengetahuannya sendiri dan pengetahuan yang dapat diperolehnya (Casselman & Samson, 2007). Knowledge Creation (KC) ) merupakan kemampuan suatu organisasi secara keseluruhan untuk

(20)

menghasilkan pengetahuan baru, menyebarkannya ke seluruh organisasi, dan mewujudkannya dalam produk, layanan, ataupun sistem (Nonaka & Takeuchi, 1995).

Nonaka mengembangkan teori knowledge creation diklaim berlangsungnya melalui interaksi yang berkelanjutan antara dimensi epistemologis dan ontologis.

Pengetahuan eksplisit dan diam diam (tacit) mewakili dimensi epistemologis pengetahuan dimana pengetahuan eksplisit dikodifikasi dan dapat ditransfer melalui bahasa formal atau sistem komunikasi, sebaliknya pengetahuan tacit adalah konteks spesifik dan sulit untuk ditransfer. Tacit knowledge melibatkan elemen kognitif dan teknis, artinya elemen kognitif melibatkan model mental yang mencakup skema, paradigma, keyakinan, dan sudut pandang yang membantu individu mendefinisikan dan dan memberikan pemahaman. Di sisi lain, elemen teknis dari pengetahuan tacit melibatkan keterampilan dan kerajinan yang berlaku untuk konteks tertentu. Misalnya, kemampuan untuk mengendarai sepeda membutuhkan keterampilan prosedural mengayuh dan menjaga keseimbangan pada saat yang sama, yang merupakan komponen teknis dari pengetahuan tacit.

Dimensi ontologis pengetahuan dimulai dengan pengetahuan individu, dan kemudian pindah ke tingkat yang lebih tinggi termasuk kelompok, organisasi, dan antar organisasi. Organisasi mendukung individu dan memberikan konteks bagi mereka untuk menciptakan pengetahuan. Penciptaan pengetahuan organisasi terjadi dengan memperkuat pengetahuan yang diciptakan oleh individu dan mengkristalkannya untuk mencapai tingkat ontologis yang lebih tinggi, karena penciptaan pengetahuan sebagai proses interaksi yang saling menguatkan antara pengetahuan eksplisit dan tacit. Interaksi antara pengetahuan eksplisit dan tacit mengarah pada penciptaan pengetahuan baru. Kombinasi

(21)

dari dua kategori memungkinkan untuk mengonseptualisasikan empat pola konversi atau proses KC, yaitu Sosialisasi, Eksternalisasi, Kombinasi, dan Internalisasi (SECI), yang diilustrasikan pada Gambar. 2.2.

Gambar 2. 2.

Model Proses Penciptaan Pengetahuan Sumber: (Nonaka, 1994).

Bedasarkan Gambar 2.2 dapat dijelaskan bahwa sosialisasi adalah proses konversi bertujuan berbagi pemikiran dan pengalaman dengan menciptakan pengetahuan tacit seperti model mental bersama dan keterampilan teknis. Model konversi pengetahuan ini mengharuskan individu berinteraksi satu sama lain, namun interaksi ini dapat terjadi tanpa menggunakan bahasa, misalnya mentoring, observasi, peniruan, dan praktik adalah cara untuk berbagi pengetahuan tacit. Setelah berbagi pengalaman maka individu dapat berempati satu sama lain dan menggabungkan perasaan dan keyakinannya dalam mempromosikan proses sosialisasi.

Eksternalisasi merupakan proses konversi berfokus pada menghubungkan pengetahuan tacit dengan pengetahuan eksplisit yang membantu dalam menciptakan pengetahuan baru, karena pengetahuan tacit bergerak melewati batas-batas dan menjadi kolektif pengetahuan kelompok. Proses eksternalisasi sering didorong oleh metafora,

(22)

analogi, dan model dimana lingkaran kualitas dibentuk di sektor manufaktur, yaitu para pekerja berupaya memperbaiki atau memecahkan masalah terkait proses.

Kombinasi adalah proses mengkonversi dan menggabungkan pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan eksplisit. Misalnya, kombinasi terjadi ketika prodi mengumpulkan semua laporan program kerja dari masing-masing sub kegiatan prodi dan menerbitkan laporan kinerja prodi tahunan. Contoh lain dari proses kombinasi termasuk memanfaatkan database secara kreatif untuk mengurutkan atau menggabungkan laporan hasil tracer alumni pada bidang kemahasisaan di prodi dan fakultas.

Internalisasi merupakan proses pengetahuan eksplisit dibuat menggunakan pengetahuan tacit dan dibagikan di seluruh organisasi maka pengetahuan tacit ini dibaca atau dipraktikkan oleh individu, itu memperluas spiral pembelajaran Knowledge Creation.

Organisasi dapat membuat inovasi ketika pengetahuan baru dibagikan dalam proses sosialisasi dengan memfasilitasi program pelatihan untuk karyawan. Dengan membaca manual pelatihan ini dan dokumen, karyawan menginternalisasi pengetahuan diam-diam dan mencoba untuk menciptakan pengetahuan baru setelah proses internalisasi.

Teori manajemen pengetahuan memperkaya pemahaman kita tentang keikutsertaan peranan manajemen kualitas. Proses KC terjadi melalui pendekatan sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi, dan internalisasi. Berbagai praktik manajemen kualitas mendukung proses konversi pengetahuan ini, misalnya membangun tim mendorong sosialisasi, sedangkan analisis data mempromosikan kombinasi. Ini menyiratkan bahwa organisasi dapat menciptakan lebih banyak pengetahuan dengan menerapkan praktik manajemen kualitas yang mendukung setiap proses penciptaan pengetahuan (Nonaka, 1994 dan 1995). Teori knowledge creation bisa menjelaskan

(23)

manajemen kualitas, dan berbagai praktik manajemen kualitas dapat mendukung proses konversi pengetahuan. Itu artinya organisasi akan dapat menciptakan lebih banyak pengetahuan dengan implementasi praktik manajemen kualitas yang mendukung proses knowledge creation (Linderman et al. 2004).

2.1.4. Budaya Organisasi (Organizational Culture)

Robbins, & Judge, (2008)) medefinisikan bahwa budaya organisasi (Organizational Culture) merupakan suatu sistem makna kebersamaan yang diselenggarakan oleh anggota yang membedakan organisasi dari organisasi lain. Budaya organisasi menurut Ravasi & Schultz, (2006) adalah representasi dari nilai-nilai kolektif, kepercayaan, dan prinsip-prinsip anggota organisasi. Artinya bahwa budaya organisasi adalah produk faktor termasuk sejarah, produk, pasar, teknologi dan strategi, jenis karyawan, gaya manajemen, serta budaya nasional. Budaya organisasi cenderung menjadi serangkaian asumsi mental bersama yang mengarahkan interpretasi dan tindakan dalam organisasi dengan menggambarkan perilaku yang tepat untuk berbagai posisi. Budaya positif dan kuat dapat membuat kinerja dan pencapaian individu rata-rata cemerlang, sedangkan budaya negatif dan lemah dapat mendemotivasi karyawan yang berprestasi untuk berkinerja buruk dan berakhir dengan tidak prestasi sehingga budaya organisasi memiliki peran aktif dalam manajemen kinerja ( Ahmad, 2012).

Terbentuknya budaya organisasi tidak terlepas dari dasar filosofinya, seperti yang diungkapkan dalam (Robbins, 2015) bahwa pembentukan budaya organisasi dilihat pada diturunkannya dari filsafat pendiri, selanjutnya budaya tersebut sangat mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam merekrut/memperkerjakan anggota organisasi dengan

(24)

mengidentifikasi dan mempekerjakan individu dengan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang nilai-nilai dasarnya konsisten setidaknya sesuai dengan sebagian yang baik dari organisasi. Tindakan manajemen puncak juga memiliki dampak yang besar pada budaya organisasi melalui kata-kata, sikap dan perilaku, eksekutif senior menetapkan norma-norma hingga mengalir ke bawah sepanjang organisasi. Anggota baru butuh bantuan beradaptasi dengan budaya yang berlaku. Bantuan tersebut dapat dilakukan melalui sosialisasi. Proses sosialiasi tidak peduli seberapa baik yang telah dilakukan organisasi itu dalam proses perekrutan dan seleksi, anggota baru tidak sepenuhnya diindoktrinasi dalam budaya organisasi. Keberhasilan dalam mensosialisasikan budaya organisasi tergantung pada kecocokan nilai-nilai anggota baru dengan nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi maupun pada preferensi manajemen puncak.

Dalam penelitian Bitsani, (2013) menjelaskan bahwa semua organisasi memiliki budaya, beberapa tampaknya memiliki budaya yang lebih kuat, lebih mengakar dibandingkan yang lain. Budaya yang kuat dikonseptualisasikan sebagai seperangkat keyakinan, nilai-nilai, asumsi, dan praktik yang koheren yang dianut oleh sebagian besar anggota organisasi. Penekanannya adalah pada (1) tingkat konsistensi kepercayaan, nilai- nilai, asumsi, dan praktik di antara anggota organisasi; dan (2) meluasnya (jumlah) kepercayaan, nilai, asumsi, dan praktik yang konsisten. Setiap pendukung awal budaya organisasi cenderung berasumsi bahwa budaya yang kuat dan meresap bermanfaat bagi semua organisasi karena memupuk motivasi, komitmen, identitas, solidaritas, dan kesamaan, yang pada gilirannya, memfasilitasi integrasi dan koordinasi internal (Bitsani.

2013). Beberapa orang menggarisbawahi bahwa budaya yang kuat lebih penting untuk beberapa jenis organisasi daripada yang lain. Misalnya, organisasi sukarelawan perlu

(25)

lebih menekankan budaya daripada organisasi bisnis. Alasan lainnya mengatakan bahwa potensi disfungsi budaya yang kuat, to the point menyarankan bahwa budaya yang kuat diasumsikan tidak selalu diinginkan. Sebagai contoh, budaya yang kuat dan adanya kontrol internal mengakibatkan individu organsasi dapat menempatkan tuntutan yang tidak terbatas pada diri sendiri, serta bertindak sebagai penghalang untuk adaptasi dan perubahan (Aliyu et al. 2015).

Dalam literatur manajemen strategis, peran budaya organisasi (OC) telah diakui secara luas sebagai faktor penting untuk menjelaskan bagaimana organisasi bekerja dan bagaimana strategi bisa efektif (Prajogo dan Sohal, 2001). Beberapa penelitian sebelumnya telah membuat kerangka konsep yang mengembangkan model eksplisit budaya dan efektivitas organisasi dan metode pengukuran yang divalidasi. Model ini didasarkan pada empat ciri budaya organisasi yang efektif yaitu budaya organisasi d yang dapat menciptakan kinerja yang tinggi didukung dengan indikator keterlibatan (Involvment), konsistensi (consistency), adaptasi (adaptability), dan Misi (Mision) (Denison, Haaland, & Goelzer, 2000; Wanjiku et al., 2014; Aliyu et al., 2015).

Teori keterlibatan didasarkan pada gagasan keikutsertaan dan partisipasi berkontribusi pada rasa tanggung jawab dan kepemilikan sehngga menghasilkan kinerja dan loyalitas organisasi (Nikpour, 2017). Selanjutnya keterlibatan djelaskan oleh Denison et al., (2003) bahwa budaya menunjukan partisipasi karyawan dalam proses pengambilan keputusan.

Teori Konsistensi organisasi cenderung efektif karena memiliki budaya kuat yang konsisten, terkoordinasi dan terintegrasi dengan baik (Davenport, 1993). Dukungan konsisntensi sebagai suatu perilaku organisasi yang cenderung efektif dan memiliki

(26)

keyakinan, penilaian dan sugesti yang kuat untuk tetap ajeg dan taat pada sesuatu hal yang berkitan dengan kontribusi pada organisasinya. Perilaku konsisten ini berakar pada serangkaian nilai-nilai inti dari para pemimpin dan pengikut untuk mencapai tujuan meskipun terkadang memiliki pandangan dan persepsi yang berbeda. (Wanjiku et al., 2014). Konsistensi menunjukan tingkat kesepakatan anggota organisasi pada asumsi dasar dan nilai nilai inti organisasi (Denison, 1998).

Teori Adaptasi, menurut Denison, (2003)) merupakan segenap norma dan kepercayaan seluruh anggota organisasi guna meningkatkan kemampuan menerima, menafsirkan, dan mengartikan rangsangan yang datang dari lingkungan organisasi (baik secara eksternal dan internal organsasi). Dengan arti lain organisasi mampu menerima kedinamisan/perkembangan organisasi untuk keberlangsungan hidup organisasi.

termasuk pula dukungan teori kemampuan menunjukan tujuan inti organisasi yang menjadikan anggota organisasi yakin dan fokus pada apa yang dianggap penting bagi organisasi

Begitu pula teori misi menurut Baker (2002) sebagai rasa, tujuan, arah, dan strategi bersama yang dapat dikoordinasikan dan diarahkan pada anggota organisasi menuju tujuan kolektif. Menurut Denison (2003) menegaskan pendapatnya bahwa penciptaan misi menunjukan tujuan inti organisasi menjadikan anggota organisasi lebih yakin dan kuat pada apa yang dianggap penting dan bermanfaat bagi organisasi.

Teori budaya organisasi berorientasi pada berbagai aspek budaya dan fungsi budaya yang berbeda (Danison et al. 2003). Misalnya teori konsistensi dan teori misi lebih cenderung berorientasi pada stabilitas, teori keterlibatan dan teori adaptasi berorientasi pada membangun kepekaan adanya perubahan dan kemampuan

(27)

menyesuaikan. Pendapat lainnya bahwa teori keterlibatan dan teori konsistensi lebih berorientasi pada teori dinamika organisasi internal sementara teori misi dan teori adaptasi lebih melihat pada kemampuan budaya dalam menyikapi hubungan organisasi dengan lingkungan eksternal (Danison et al. 2003; Wanjiku & Agusioma, 2014; Aliyu et al. 2015).

2.1.5. Kinerja Organisasi

Pengukuran kinerja didefinisikan oleh Raponi, Martella, & Maruotti, (2016) sebagai proses mengukur efisiensi dan efektivitas tindakan. Hal ini dianggap sebagai langkah pertama bagi pembuat kebijakan untuk memastikan bahwa sumberdaya organisasi dialokasikan dengan benar. Pengukuran kinerja sangat penting untuk efektivitas organisasi yang diukur pada luaran yang diinginkan (tujuan dan sasaran).

Kinerja organisasi melibatkan aktivitas berulang untuk menetapkan tujuan organisasi, memonitor kemajuan menuju tujuan, dan melakukan penyesuaian untuk mencapai tujuan tersebut secara lebih efektif dan efisien dengan menggunakan kriteria penilaian yang dibangun berdasarkan 11 konsep dan tata nilai inti yang saling terkait, yaitu kepemimpinan yang visioner, keunggulan yang didasarkan kepentingan siswa dan stakeholder, pembelajaran organisasi dan karyawan, penghargaan karyawan dan mitra, kegesitan, fokus pada masa depan, pengelolaan inovasi, manajemen berdasarkan fakta, tanggung jawab kemasyarakatan, fokus pada hasil dan penciptaan nilai dan perspektif kekonsistenan (Al-Damen, 2017). Berdasarkan beberapa pendapat tersebut mengindikasikan bahwa untuk mencapai hasil kerja organisasi yang maksimal adalah dengan mengelola serta memanfaatkan sumber daya organisasi secara efektif dan efisien.

(28)

Penilaian kinerja prodi/ Jurusan sangat penting untuk mengevaluasi bidang pengajaran dan penelitian yang berkontribusi pada tujuan organisasi dan strategis, serta metode evaluasi dengan pengukuran finansial saja tidaklah tepat karena evaluasi kinerja prodi bisa beragam (Wanza et al. 2017). Beberapa penelitian sebelumnya pengukuran kinerja prodi telah menggunakan berbagai metode evaluasi kinerja diantaranya dengan produktivitas, pengajaran, penelitian, dan internasionalisasi (Raponi et al. 2016), produktivitas penelitian, komitmen karyawan dan kerjasama (Jamil & Lodhi, 2015), jumlah thesis, jumlah publikasi dan jumlah penelitian tiap kuartal (Fernández-López, et al., 2018). Pengukuran kinerja menurut (Lee & Lee, 2007) menggunakan kriteria Malcom Baldgride National Award meliputi kepemimpinan, informasi dan analisis, perencanaan kualitas strategis, pengembangan dan MSDM dan manajemen kualitas proses. Sedangkan Lee et al. (2006) menjelaskan bahwa pengukuran kinerja organisasi pendidikan tinggi menurut BSC (Balance Score Card) meliputi jaminan, konsumen, proses internal, pembelajaran dan perumbuhan.

Periset era saat ini mencoba mengidentifikasi mekanisme bagaimana kinerja organisasi dapat ditingkatkan Ooi, (2009) dan banyak faktor yang dapat mempengaruhi kinerja, diantaranya ada faktor budaya organisasi, komunikasi, manajemen kualitas, gaya kepemimpinan, motivasi, pembelajaran organisasi, pengetahuan, komitmen lingkungan, SDM dan kepuasan karyawan (Linderman et al. 2004; Al-Damen, 2017; Lakhal et al.

2006; Sadikoglu & Olcay, 2014; Fayzollahi, Shirmohammadi, & Latifian, 2013).

Implementasi manajemen kualitas yang efisien didukung dengan penciptaan pengetahuan organisasi dan budaya organisasi yang kondusif akan memberikan kontribusi terhadap kesuksesan kinerja. Kesuksesan kinerja dapat diukur dengan produktivitas penelitian,

(29)

komitmen karyawan dan hubungan dengan industri industri tenaga kerja (Jamil & Lodhi, 2015). Masing masing pengukuran kinerja tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Produktivitas penelitian

Burke & James, (2005) kinerja sumberdaya manusia di perguruan tinggi diukur dengan produktivitas penelitiannya selama bertahun-tahun secara berkala.

produktivitas penelitian dapat dilihat dari perspektif seseorang (baik motivasi, kemampuan, peluang) dan perspektif situasi (dukungan lingkungan kerja). artinya bahwa keterlibatan setiap individu organisasi untuk melakukan penelitian baik secara mandiri ataupun berkelompok dapat memberikan kontribusi bagi kinerja insitusi.

Sedangkan pada perspektif situasi dapat dijelaskan bahwa jenjang pendidikan peneliti dapat mendukung dan menjadi peluang pada keterlibatan berbagai penelitian.

Penelitian dinilai sebagai pusat untuk berkelanjutan konstruksi disiplin ilmu, pembelajaran siswa, praktik manajerial, dan secara keseluruhan reputasi institusi diharapkan dapat memaksimalkan kinerja (Burke & James, 2005). Hasil penelitian akan terus menjadi elemen inti dalam penilaian kinerja institusi secara keseluruhan dan untuk kualifikasi promosi (Shepherd, Carley, & Stuart, 2009).

b. Komitmen Karyawan

Komitmen karyawan didefinisikan oleh Jamil & Lodhi (2015) sebagai keterikatan dari psikologis yang dirasakan oleh karyawan untuk organisasi tempatnya bekerja. Karyawan yang berkomitmen pada organisasi memiliki kecenderungan untuk percaya dan menerima tujuan dan budaya organisasi. Mereka setia dengan organisasi dan termotivasi untuk menawarkan layanan terbaik kepada organisasi.

(30)

Organisasi yang berinvestasi untuk mengembangkan karyawan yang berkomitmen memiliki lebih banyak kepuasan pelanggan. Komitmen telah ditemukan terkait secara signifikan dengan kinerja karyawan dalam studi yang ada (Chen &

Huang, 2009). Karyawan yang berkomitmen mengembangkan rasa keterikatan psikologis dengan organisasi yang mendorongnya untuk berperilaku sesuai dengan tujuan dan sasaran organisasi.

c. Kerjasama Industri

Keterkaitan antara industri dan universitas telah mengubah peran perguruan tinggi dari waktu ke waktu. Sekarang perguruan tinggi ebih terlibat dalam kegiatan transfer teknologi seperti penciptaan usaha berbasis teknologi, paten, lisensi, konsultasi dan penelitian kolaboratif (Wright, Clarysse, Lockett, & Knockaert, 2008).

Perusahaan yang memiliki keuntungan sebagai tujuan utama berbeda dari universitas karena mereka memiliki pengajaran dan penelitian sebagai tujuan utama (Etzkowitz, 2003). Keterkaitan industri universitas dibentuk untuk menuai manfaat seperti mendapatkan akses ke pengetahuan vital (Caloghirou, Tsakanikas, & Vonortas, 2001), memungkinkan kemampuan pemecahan masalah (Cohen, Nelson, & Walsh, 2002), pengembangan teknologi baru dengan memungkinkan akses ke alat-alat baru dan teknik, meningkatkan reputasi perusahaan di antara mitra potensial dan di pasar tenaga kerja, (Grimaldi & Von Tunzelmann, 2002) .

(31)

2.2. Pengembangan Hipotesis

2.2.1. Pengaruh QMP Secara Langsung pada Kinerja Organisasi

Filosofi manajemen kualitas memperoleh kekuatan dari komitmen manajemen puncak atau pimpinan dalam penerapan manajemen kualitas total dalam berbagai kegiatan yang terorganisir (Al Damen, 2017). Kontribusi dari pemimpin berkualitas memiliki pengaruh atas studi tentang manajemen kualitas, dan secara bertahap mengembangkan, mengidentifikasi berbagai praktek untuk manajemen kualitas yang efektif (Jaafreh & Al Abedalat, 2013). Kepemimpinan merupakan faktor penting dalam manajemen kualitas artinya kepemimpinan sebagai suatu sistem, mendukung pengembangan karyawan, membangun komunikasi antara karyawan, manajer, dan pelanggan seta menggunakan informasi secara efektif dan efektif. Selain itu, para pemimpin mendorong partisipasi karyawan dalam pengambilan keputusan dan memberdayakan karyawan agar bersama sama berkomiten untuk pencapaian tujuan perusahaan (Sadikoglu & Olcay, 2014).

Manajemen puncak bertindak sebagai pendorong penerapan QMP, menetapkan nilai, tujuan, dan sistem untuk memuaskan pelanggan. Kemampuan manajemen puncak untuk membangun praktik, dan memimpin visi jangka panjang bagi perusahaan, didorong oleh perubahan kebutuhan pelanggan (Al Damen, 2017). Menurut Juran (1993) peran manajemen puncak diidentifikasi sebagai: menetapkan kebijakan kualitas, menetapkan dan menyebarkan sasaran kualitas, menyediakan sumberdaya, memberikan pelatihan berorientasi masalah, dan peningkatan skill (Al Qohtani et al. 2015).

Merujuk hasil penelitian sebelumnya terkait pengujian peran pimpinan pada kinerja menjelaskan bahwa praktik manajemen kualitas dengan implementasi

(32)

kepemimpinan dapat meningkatkan kinerja organisasi (Habtoor, 2016; Ahmad et al.

2016; Al Damen, 2017). Beberapa hasil penelitian lainya membuktikan bahwa kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan pada kinerja. Artinya faktor kepemimpinan relevan dalam manajemen kualitas pimpinan menerima tanggung jawab impelementasi kualitas, evaluasi kualitas, berpartisipasi dalam upaya peningkatan kualitas, membuat strategi dan sasaran untuk kualitas, keselarasan strategi dengan strategi bisnis, mempertimbangkan permintaan dan kebutuhan konsumen dan kinerja termasuk profitabilitas organisasi ( Prajogo et al., 2006; Jaafreh & Al Abedallat, 2013;

Fotopoulos & Psomas, 2009; Al-Qahtani et al., 2015; Ngambi & Nkemkiafu, 2015;

Habtoor, 2016; Ahmad et al., 2016; Al Damen, 2017 ). Berbeda dengan hasil penelitian Sadikoglu & Olcay, (2014) dan Nguyen & Ninh, (2017), menemukan bahwa kepemimpinan tidak berpengaruh pada kinerja.

Implementasi QMP terkait perencanaan strategis oleh Juran & Godfrey, (1998) dikatakan sebagai konsep inti artinya bahwa perencanaan kualitas strategis merupakan suatu proses terstruktur dalam menetapkan sasaran kualitas jangka panjang, pada level tertinggi organisasi, dan menjadi sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan dengan berorientasi pada aspek kualitas strategis yang diakui dan dianut oleh manajemen puncak dalam proses menyusun perencanaan strategis. Perencanaan srategis memungkinkan perusahaan untuk menetapkan prioritas yang jelas dan mengalokasikan sumberdaya untuk hal-hal yang paling penting. Fokus dari seorang praktisi QMP terkait perencnaan strategis meliputi visi pemimpin tentang keadaan masa depan yang diinginkan organisasi, menerjemahkan visi menjadi strategi, tujuan dan kebijakan, pengembangan strategi, dan strategi menjadi kenyataan (Sila & Ebrahimpour, 2005). Perencanaan strategis adalah

(33)

keterampilan yang membutuhkan latihan, organisasi yang memiliki paling banyak berlatih keterampilan berpeluang untuk meningkatkan kinerja. Elemen ini berfokus pada bagaimana organisasi melakukan perumusan dan implementasi rencana kualtas dengan fokus pada pelanggan dan tenaga kerja (Sabella & Kashou 2014).

Perencanaan strategis bertujuan untuk mempertajam keunggulan kompetitif dan tetap menjadi prioritas tinggi untuk pengembangan jangka panjang karena persyaratannya termasuk tujuan dan pendekatan yang berorientasi kualitas, pengembangan dan penentuan posisi strategis (Sila & Ebrahimpour, 2005).

Dalam penelitian Sadikoglu dan Olcay (2014) menjelaskan bahwa perencanaan kualitas strategis adalah mencakup visi, misi, dan nilai-nilai perusahaan atau organisasi.

Perencanaan kualitas strategis yang efektif menjadi upaya karyawan sebagai masukan dalam mengembangkan visi, misi, strategi, dan tujuan. Upaya-upaya perencanaan kualitas strategis yang berhasil juga memperhitungkan kemungkinan efek samping dari rencana terhadap lingkungan sebelum produksi. Ini akan memanifestasikan dan meningkatkan tanggung jawab sosial dari perusahaan.

Beberapa studi sebelumnya telah menemukan bahwa perencanaan kualitas strategis secara positif berhubungan dengan kinerja operasional, kinerja manajemen persediaan, kinerja publik, kinerja konsumen, dan kinerja pasar (Obeng & Ugboro, 2008 dan Nguyen et al. 2017). Tidak sepenuhnya perencanaan kualitas strategis berpengaruh pada kinerja, hal ini terlihat pada perencanaan strategis tidak berpengaruh pada kinerja keuangan, kinerja pasar, kinerja sosial, kinerja inovatif, kinerja manajemen persediaan dan kinerja operasional, sementara perencanaan strategis berpengaruh pada kinerja karyawan (Jafreh dan Al Abedallat, 2014).

(34)

Prinsip manajemen proses dianggap sebagai salah satu faktor kritis manajemen mutu (Saraph, Benson, & Schroeder, 1989). Manajemen proses melibatkan langkah pencegahan ke QMP yang berarti lebih sedikit ketergantungan pada inspeksi, lebih banyak konsentrasi pada pengujian otomatis, inspeksi diri karyawan dan diperlukan kejelasan distribusi kerja (Saraph et al., 1989). Manajemen proses menurut Allameh, Zare, & Davoodi, (2011) merupakan kualitas yang dimulai pada awal proyek dan berakhir pada pencapaian standar kualitas yang diinginkan. Setiap kali individu organisasi melakukan proses tugas maka harapan yang ada dalam pikiran individu organisasi adalah meyakini bahwa tugas tersebut tidak hanya sukses dan diselesaikan dalam waktu yang ditentukan, namun memiliki kesetaraan dengan standar kualitas tertinggi (Fotopoulos &

Psomas, 2009).

Tujuan dari manajemen proses adalah untuk mengurangi variasi proses dengan membangun kualitas ke dalam proses produksi (Flynn et al., 1995; Anderson et al., 1994). Hal itu menyebabkan peningkatan kualitas output serta mengurangi biaya seperti biaya pengerjaan ulang dan biaya pemborosan (Anderson et al., 1994). Pendekatan Deming menegaskan bahwa peningkatan kualitas produk tidak harus bergantung pada inspeksi massal, dan kualitas bukan berasal dari inspeksi, tetapi dari peningkatan proses produksi (Deming, 1986).

Beberapa hasil penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa manajemen proses dalam praktik manajemen kualitas telah berkontribusi yang siginifikan pada kinerja perusahaan (Prayogo et al, 2006; Kashou, 2014; Ahmad et al, 2016; Al Damen, 2017; Allameh et al, 2011). Sementara hasil penelitian lainnya menemukan bahwa

(35)

manajemen proses tidak berpengaruh pada kinerja perusahaan (Jaafreh & Al abedallat, 2013; Nguyen et al. 2017).

Prinsip Sumberdaya manusia oleh Jaafreh & Al Abedallat (2013) dijelaskan bahwa Human Resource Management (HRM) diilustrasikan sebagai pelatihan &

partisipasi karyawan terdiri dari 2 kegiatan penting yang mendukung kinerja organisasi yaitu pendidikan dan pelatihan serta hubungan kerja. Kedua indikator tersebut diperlihatkan sebagai elemen kritis manajemen kualitas (Saraph et al. 1989). Pertama, pelatihan terkait kualitas membantu mengubah karyawan normal menjadi pekerja produktif dan pemecah masalah kreatif (Flynn et al. 1994). Kedua, partisipasi karyawan terkait dengan peserta terbuka dalam keputusan kualitas dari karyawan; pengakuan dan tanggung jawab karyawan terhadap masalah kualitas; dan kesadaran kualitas karyawan yang berkelanjutan (Saraph et al. 1989).

Dalam penelitian Sabela dan Kashou (2014) menjelaskan bahwa manajemen sumberdaya manusia sebagai elemen khusus yang membahas efektivitas sumberdaya manusia dalam organisasi terkait perekrutan, pelatihan dan pengembangan, komunikasi, keselamatan tenaga kerja, dan kepuasan. (Garavan, 1993) berpendapat bahwa sumberdaya manusia memiliki dampak paling mendalam pada kinerja organisasi. Pendapat tersebut selaras dengan hasil penelitian sebelumnya yang membuktikan bahwa faktor sumberdaya manusia berpengaruh sangat kuat terhadap kinerja organisasi (Hoang, et al. 2010;

Feizollahi et al. 2013; Sadikoglu & Olcay 2014; Ngambi & Nkemkiafu, 2015; Al- Damen, 2017; K. Alzaedeen 2019). Penelitian lain menemukan bahwa prinsip manajemen sumberdaya manusia tidak berpengaruh langsung terhadap kinerja organisasi disebabkan oleh faktor lain yang memediasi atau memoderasi pengaruh prinsip manajemen

(36)

sumberdaya manusia terhadap kinerja organisasi (Sabela dan Kashou, 2014; Ahmad et al.

2016; Habtoor, 2016; Ngunyen et al. 2017).

Prinsip fokus pada kepuasan pelanggan didefinisikan sebagai seberapa baik produk atau layanan perusahaan dapat memenuhi kebutuhan pelanggannya (Anderson et al. 1994). Menurut Deming (1986), kualitas harus ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen saat ini dan masa depan. Dengan demikian, bisnis dapat mencapai tingkat profitabilitas yang tinggi melalui kepuasan pelanggan dengan menyediakan produk berkualitas tinggi (Sila & Ebrahimpour, 2005). Selain itu, membangun hubungan jangka panjang dengan pelanggan, meningkatkan derajat survei pelanggan dan pemanfaatan umpan balik akan sesuai untuk memperkaya tingkat kepuasan (Ahire, Golhar, & Waller, 1996). Penelitian Taiwo (2010) menjelaskan secara sederhana bahwa Organisasi perguruan tinggi yang digerakkan pelanggan efektif (mahasiswa, tenaga pendidik dan kependidikan) karena mereka telah berkomitmen penuh untuk memuaskan dan mengantisipasi kebutuhan pelanggannya. Keberhasilan masa depan perguruan tinggi akan semakin ditentukan oleh bagaimana mereka mengidentifikasi dan memuaskan berbagai pelanggan mereka. Ini membuktikan bahwa kepuasan pelanggan dalam hal pemenuhan kebutuhan dan keinginan terbukti berdampak pada pencapaian kinerja.

Bedasarkan peran prinsip QMP yang diuraikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara komprehensif QMP berpengaruh terhadap kinerja (Jaafreh & Al- Abedallat, 2013; Sadikoglu & Olcay, 2014; Al Damen, 2016; Wanza et al.,2017; Nguyen

& Ninh, 2017; Al – Ali & Rumman, 2019). Namun sebaliknya beberapa penelitian lain menemukan bahwa QMP tidak berpengaruh pada kinerja (Saosa & Voss, 2003; Shan et al. 2013; Al Qohtani, 2015; Nguyen & Ninh, 2017). Kesenjangan dari hasil penelitian

(37)

tersebut menjadi temuan, sedangkan hasil yang menunjukkan QMP berpengaruh pada kinerja selaras dengan pandangan teori Deming (1981) bahwa pengelolaan manajemen berbasis QMP efektif mengarah pada pengaruh yang kuat terhadap kinerja sehingga dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut:

H1: QMP Berpengaruh Positif Pada Kinerja Organisasi

2.2.2. Pengaruh QMP Secara Langsung pada Knowledge Creation

Penelitian Wong, (2005) terkait prinsip QMP menjelaskan bahwa pimpinan manajemen harus menggambarkan contoh yang baik secara bebas guna menyumbangkan pengetahuan, memperkenalkan arti penting pegelolaan pengetahuan kepada pekerja lain dan turut menumbuhkan budaya berbagi dan knowledge creation (selanjutnya disebut KC). Peran pemimpin sangatlah penting, karena tugas mereka untuk mendukung proses yang muncul dan berkomitmen dengan tanggung jawab penuh pada kegiatan yang mendorong penciptaan pengetahuan (Nonaka & Konno, 1998). Peran lainnya terkait dengan suasana saling percaya, adanya empati, rasa peduli, dan perhatian sangat penting untuk penciptaan pengetahuan, sehingga kehadiran seorang pemimpin dalam tim mana pun akan membantu dalam penciptaan lingkungan seperti itu. Begitu juga penelitian Singh, Kumar, & Singh, (2018) menegaskan bahwa peran kepemimpinan dalam pengembangan interaksi sosial di antara anggota tim yang dipisahkan oleh batas geografis: mereka berpendapat bahwa, dengan mengembangkan jejaring sosial yang membantu secara sistematis mengkatalisasi interaksi sosial lintas batas, para pemimpin membantu memfasilitasi proses berbagi pengetahuan.

Banyak penelitian telah menegaskan bahwa pimpinan memainkan peran penting untuk mengendalikan tingkat keberhasilan untuk kegiatan pengelolaan knowledge serta

(38)

meningkatkan proses pengelolaan organisasi (Bryant, 2003), yang selanjutnya menyebutkan bahwa desain misi, motivasi, sistem dan struktur untuk berbagai kegiatan perusahaan yang menyediakan sarana untuk memperdagangkan ilmu harus berasal dari pimpinan manajemen. Peranan pimpinan senior sebagai penolong dalam mendukung praktik manajemen pengetahuan dalam tim, yaitu akuisisi pengetahuan, penyebaran pengetahuan dan berbagi pengetahuan sangat penting untuk pengembangan dan peningkatan kemampuan belajar kolektif dalam organisasi (Ooi, 2014).

Begitu pula perencanaan strategis menurut Ooi (2014) memiliki pengaruh pada distribusi pengetahuan yang merupakan salah satu unsur dari pengelolaan pengetahuan.

Penulis berpendapat bahwa visi ini (perencanaan strategis) adalah yang mudah dipahami dan dicapai untuk mendorong pekerja untuk lebih partisipatif. Begitu pula pernyataan misi yang jelas dari perencanaan strategis yang telah ditetapkan dan komunikasikan ke seluruh perusahaan dapat membangkitkan partisipasi karyawan untuk menginformasikan pengetahuan dan secara tidak langsung membantu perusahaan untuk mencapai tujuan, sasaran, dan visi yang telah ditetapkan.

Salah satu faktor utama keberhasilan pengelolaan knowledge adalah memiliki strategi yang dipikirkan dengan baik, karena strategi ini memberikan landasan perusahaan dan perusahaan dapat mengatur kemampuan dan sumberdaya untuk mencapai tujuannya (Ooi, 2012 dan 2014). Dari kedua penelitian Ooi tersebut menunjukkan bahwa perencanaan strategis sebagai prinsip dalam manajemen kualitas secara signfikan berpengaruh pada proses pengelolaan pengetahuan (seperti penciptaan, pengakuisisian, pembagian, penyebaran, pengasimiliasikan dan pengaplikasian).

(39)

Selanjutnya manajemen proses didefinisikan sebagai prinsip perilaku dan sistematis yang penting untuk mengelola proses daripada hasil (Anderson et al. 1994 dan Ooi, 2009). Hal ini juga menunjukkan bagaimana bisnis berusaha untuk menjadi sukses dengan mendorong suatu kebutuhan untuk inovasi pengetahuan dan kreativitas dalam peningkatan dan optimasi proses. Manajemen proses berorientasi pada nilai yang menambah proses, meningkatkan produktivitas setiap karyawan dan meningkatkan kualitas perusahaan sehngga persyaratan inu menjad dasar untuk menurunkan biaya, meningkatkan efisiensi dan mengurangi waktu siklus, yang semuanya dapat diterapkan untuk perilaku proses KC (Ooi, 2014). Begitu pula pernyataan Edvardsson, (2008) menjelaskan bahwa manajemen proses berusaha untuk melaksanakan kemampuan proses, memastikan hasil yang konsisten dan bahwa pelanggan kebutuhan dan harapan terpenuhi.

Kualitas dan struktur diasumsikan sebagai hal-hal yang dapat ditangani dan dikendalikan oleh organisasi. Karena persepsi ini, seseorang dapat berasumsi bahwa perusahaan mengadopsi ting pendekatan manajemen proses pada saat yang sama akan menerapkan pendekatan struktural untuk knowledge creation. Diperkuat oleh proposisi yang dibuat oleh Lee, Zuckweiler, & Trimi, (2006) bahwa manajemen proses yang efektif berpengaruh pada kinerja kualitas.

Keberhasilan pengelolaan sumberdaya manusia dalam organisasi berhubungan dengan knowledge, karena keduanya mencakup aktivitas intelektual dari KC hingga menggerakan pengetahuan dalam pengelolaan good corporate governance (Har, In, Phaik, & Hsien, 2010). Adanya transformasi peran dan fungsi sumberdaya manusia akan mampu mewujudkan sistem tata kelola perusahaan yang baik dan memenuhi prinsip good corporate governance. Berdasarkan hasil empiris, mengungkapkan bahwa kegiatan SDM

Referensi

Dokumen terkait

Di sini beliau mengungkapkan lima paragraf dalam konteks penurunan dalam ayat yang sama, sebagai ayat yang artinya: "Allah telah mendengar pembicaraan wanita

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bank Daerah Karanganyar (Lembaran

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Hasil penelitian Widiastuti (2002) yang menyatakan bahwa luas pengungkapan sukarela da- lam laporan tahunan berpengaruh positif terhadap ERC dengan tingkat signifikan 10%,

Metode yang digunakan pada karya ilmiah ini adalah proses pembuatan pupuk cair organik dengan cara fermentasi tanpa bantuan sinar matahari atau berlangsung secara anaerob (

Perbedaan yang tampak antara media baru dan yang lama adalah dari segi penggunaan secara individual yaitu melalui tingkat interaktif penggunaan media yang diindikasikan oleh

Pada mikrokontroler ATMega 16 mempunyai fitur berupa internal ADC yang digunakan untuk mengonversi data analog dari masukan sensor berat berupa nilai tegangan

Berdasarkan hasil pembahasan yang dikemukakan dalam laporan akhir ini, kesimpulan yang didapatkan ialah untuk tingkat likuiditas perusahaan dianggap likuid tetapi