• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "1.1"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakan Masalah

Pemecahan masalah adalah menggunakan (yaitu mentransfer) pengetahuan dan keterampilan yang sudah ada untuk menjawab pertanyaan yang belum terjawab atau situasi yang sulit(Widyastuti, 2015). Hal ini penting bagi kehidupan, karena masalah adalah hal-hal yang kita jumpai setiap hari, apalagi dalam proses pembelajaran. Sejalan dengan itu menurut (Hadi & Radiyatul, 2014) pemecahan masalah sebagai upaya mencari jalan keluar yang dilakukan dalam mencapai tujuan. Juga memerlukan kesiapan, kreativitas, pengetahuan dan kemampuan serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu pemecahan masalah merupakan persoalan- persoalan yang belum dikenal serta mengandung pengertian sebagai proses berfikir tinggi dan penting dalam pembelajaran matematika.

Dalam pembelajaran matematika, pemecahan masalah merupakan hal yang sangat penting, bahkan dikatakan sebagai jantungnya matematika. Kita biasanya mengasosiasikan pemecahan masalah dengan matematika dan sains, namun sebenarnya pemecahan masalah itu dapat terjadi secara nyata pada semua domain konten (content domain). Pemecahan masalah matematika dapat membuat matematika tidak kehilangan maknanya karena suatu konsep atau prinsip akan bermakna kalau dapat diaplikasikan dalam pemecahan masalah. Hal ini sejalan dengan pendapat John A. Van De Walle penulis buku Elementary and Middle School Mathematics: Teaching Developmentally, yaitu Pemecahan masalah memainkan sebuah peran yang penting dalam pendidikan matematika dan sebagian besar pembelajaran terjadi sebagai hasil dari proses pemecahan

(2)

masalah. Pemecahan masalah adalah suatu proses terencana yang pengungkapannya perlu dilaksanakan agar memperoleh penyelesaian tertentu dari sebuah masalah. Pemecahan masalah adalah salah satu aspek utama dalam kurikulum matematika yang diperlukan siswa untuk menerapkan dan mengintegrasikan banyak konsep-konsep matematika dan keterampilan serta membuat keputusan.

Kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran diperlukan suatu prosedur tahapan-tahapan dalam menyelesaikan sebuah persoalan. Polya (1973), mengungkapkan beberapa langkah yang perlu diperhatikan dalam proses penyelesaian masalah, yaitu: (1) bagaimana siswa memahami masalah; (2) bagaimana siswa menyusun rencana penyelesaian; (3) bagaimana siswa melaksanakan rencana penyelesaiannya; dan (4) bagaimana mengevaluasi hasil dan penyelesaian yang dibuat(Yuwono et al., 2018). Berdasarkan teori tersebut, peneliti memilih metode polya disebabkan memang langkah dari metode polya yang lebih jelas.

Lalu apa itu kemampuan pemecahan masalah matematis? kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan megidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan, mampu membuat atau menyusun model matematika, dapat memilih dan mengembangkan strategi pemecahan, mampu menjelaskan dan memeriksa kebenaran jawaban yang diperoleh(Mawaddah & Hana, 2015). Bahkan negara maju telah mengimplementasikan pemecahan masalah matematis sebagai tujuan utama dari pembelajaran matematika di sekolah. Alasan dibalik implementasi ini adalah hasil prediksi yang dilakukan oleh negara- negara maju menunjukkan bahwa siswa yang memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis yang

(3)

baik akan memiliki sumbangsih dan kotribusi terhadap perkembangan ekonomi bangsanya.

Setelah peneliti berdiskusi dengan para guru mata pelajaran matematika di SMA Negeri 10 Bungo, peneliti menemukan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa belum optimal terutama pada materi barisan aritmatika dan barisan geometri. Dibandingkan dengan materi lainnya, siswa/i di SMA Negeri 10 bungo kurang menangkap konsep dari materi barisan aritmatika dan geometri. Hal ini diperkuat dengan hasil ulangan pada materi barisan aritmatika dan geometri siswa/i SMA Negeri 10 Bungo, dimana yang mendapat nilai di atas KKM hanya sebesar 47,16% saja sementara siswa/i yang mendapat nilai dibawah KKM sebesar 52,84%. Siswa belum bisa menjawab pertanyaan dengan baik dalam menyelesaikan permasalahan matematika tersebut.

Hasil nilai siswa dalam ulangan harian tentu bukan merupakan alat pengukur apakah siswa tersebut baik atau buruk dalam menyelesaikan masalah.

Peneliti memberikan tes berupa soal kemampuan pemecahan masalah untuk menguji apakah kemampuan pemecahan siswa/i baik atau buruk. Sebelum itu, peneliti harus memastikan apakah calon subjek pernah melakukan kegiatan penyelesaian masalah atau tidak. Sehingga peneliti berdiskusi dengan guru mata pelajaran matematika di SMA Negeri 10 Bungo. Dari wawancara tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa para siswa/i di SMA Negeri 10 bungo pernah mengerjakan tes kemampuan pemecahan masalah. Setelah peneliti mengetahui bahwa siswa/i di SMA Negeri 10 Bungo pernah melakukan kegiatan penyelesaian masalah, peneliti memberikan tes kepada calon subjek berupa soal kemampuan pemecahan masalah. Berikut salah satu hasil kemampuan pemecahan masalah yang dikerjakan oleh siswa :

(4)

gambar 1.1 hasil jawaban tes kemampuan pemecahan masalah siswa

Dari jawaban tersebut, peneliti menilai bahwa kemampuan pemecahan matematis siswa masih kurang, karena tidak memenuhi indikator kemampuan pemecahan masalah matematis yang meliputi : memahami masalah, merencanakan strategi penyelesaian, melaksanakan rencana, dan memeriksa kembali.

Seseorang dapat menyelesaikan atau memecahkan masalah yang ada dengan baik apabila didukung oleh kemampuan menyelesaikan masalah yang baik pula. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru di SMA 10, siswa/i disana mudah menyerah dalam berfikir, bahkan cenderung menjawab dengan asal- asalan, sehingga menyebabkan jawaban yang di berikan siswa kurang tepat, padahal materi barisan aritmatika dan geometri tergolong materi yang relatif mudah, karena meskipun siswa tidak menguasai konsep, namun mereka bisa menjawab dengan menghitung barisan secara manual tanpa rumus. Blanca dalam (Hadi & Radiyatul, 2014) menyatakan bahwa pentingnya kemampuan pemecahan masalah terbagi menjadi tiga yaitu : (1) kemampuan memecahkan masalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika; (2) kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan dasar dalam matematika; (3)

(5)

kemampuan pemecahan masalah meliputi metode, prosedur dan strategi menjadi proses inti dalam kurikulum matematika.

Kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengubah dan mengolah suatu permasalahan atau kesulitan yang terjadi dalam hidupnya dan menjadikan masalah tersebut menjadi suatu tantangan yang harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya dikenal dengan Adversity Quotient (AQ). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi (Permendiknas, 2016) menjelaskan siswa harus menunjukan sikap positif bermatematika: logis, cermat dan teliti, jujur, bertanggung jawab, dan tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan masalah, sebagai wujud implementasi kebiasaan dalam inkuiri dan eksplorasi matematika. Hal ini memperkuat aspek psikologis dalam pembelajaran matematika, salah satu diantara aspek psikologis tersebut adalah kecerdasan seseorang dalam menghadapi kesulitan yang dikenal dengan nama Adversity Quotient (AQ). Sedangkan AQ merupakan suatu kegigihan seseorang dalam menghadapi segala rintangan dalam mencapai keberhasilan. AQ dianggap sangat mendukung keberhasilan siswa dalam meningkatkan prestasi belajar

Menurut Stoltz (2004) yang dikutip dari (Hidayat, 2017) mengemukakan bahwa Adversity Quotient merupakan kesulitan yang dihadapi oleh seseorang sehingga tidak sedikit orang patah semangat menghadapi tantangan tersebut.

AQ menjadi indikator untuk melibat seberapa kuat seseorang bertahan dalam mengadapi kesulitan, bagaimana seseorang dapat mengatasi masalah, apakah mampu keluar sebagai pemenang atau mundur sebagai orang yang gagal. Sejalan dengan teori tersebut (Afri, 2018) mengatakan bahwa semakin tinggi adversity quotient siswa, maka semakin tinggi juga

(6)

kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, demikian sebaliknya.

Dalam tingkatannya, AQ memiliki tiga jenis tipe yaitu quitters campers climbers. Tipe quitters cenderung menghindari dan menolak tantangan maupun masalah yang ada. Tipe campers memiliki mampu menerima perubahan dan memberikan ide-ide namun sebatas unruk mempertahankan kenyamanan yang telah diperoleh. Sedangkan tipe climbers adalah jenis orang yang dapat diandalkan, mampu menyambut baik kesempatan untuk bergerak maju dalam setiap usaha. Berdasarkan teori tersebut, dimana AQ merupakan suatu kegigihan seseorang dalam menghadapi segala rintangan dalam mencapai keberhasilan, membuat peneliti tertarik untuk menganalisis kemampuan penyelesaian masalah siswa yang di tinjau dari kecerdasan AQ yang dimiliki siswa.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti akan melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Di Tinjau Dari Adversity Quotient (AQ) Pada Materi barisan Aritmetika dan barisan Geometri Di Sma Negeri 10 Bungo”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas peneliti merumuskan masalah yang akan diteliti adalah :

1. Bagaimana kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas XII SMA Negeri 10 Bungo dalam menyelesaikan soal yang ditinjau dari Adversity Quotient siswa pada materi barisan Aritmatika dan barisan Geometri?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian

(7)

ini adalah sebagai berlkut:

1. Menganalisis kemampuan pemecahan masalah siswa, yang ditinjau dari kecerdasan adversity quotient siswa kelas XII SMA Negeri 10 Bungo pada materi deret Aritmatika dan Geometri

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dlharapkan dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak sebagai berikut:

1. Bagi Peneliti

a. Menambah pengetahuan peneliti dalam mengetahui dan menganalisis kemampuan pemecahan matematis siswa

b. Menambah pengetahuan peneliti dalam mengetahui Adversity quotient siswa terhadap pembelajaran matematika.

c. Menjadi bekal pengetahuan peneliti sebagai calon guru untuk mengembangkan kemampuan matematis siswa

2. Bagi Guru

Memberikan pengetahuan bagi guru terkait kemampuan pemecahan matematis siswa. Memberikan pengetahuan bagi guru terkait Adversity quotient siswa terhadap pembelajaran matematika.

3. Bagi Siswa

Siswa dapat mengetahui tingkat kemampuannya dalam memecahkan permasalahan matematis dan mengetahui strategi dalam menyelesaikan masalah.

Siswa dapat mengetahui Adversity quotient dan meningkatkan Adversity quotient dalam pembelajaran matematika.

Referensi

Dokumen terkait

Masyarakat atau pun pihak swasta yang dianggap telah melanggar perizinan mengenai pembangunan di kawasan hutan lindung di Bogor yang terdapat dalam Pasal 61 butir (a)

Pada penelitian ini penentuan debit rancangan (design flood) dilakukan dengan menggunakan Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu.. Jom FTEKNIK Volume 3 No. HSS Nakayasu

Bahan organik pupuk kandang sapi, ampas tebu, sekam padi, sekam bakar, dan jerami padi yang diaplikasikan dengan cara ditebar maupun dicampur dengan tanah memiliki

Rata-rata tinggi tanaman padi pada umur 15 HST dipengaruhi tidak nyata oleh pemberian urea dan arang aktif diduga karena unsur hara yang tersedia di dalam

5,396,796 5,066,256 Total profit (loss) before tax Pendapatan (beban) pajak ( 1,119,301 ) ( 1,039,051 ) Tax benefit (expenses) Jumlah laba (rugi) dari operasi.

Berdasarkan analisis data dan pembahasaan, maka dapat disimpulkan bahwa: Pembelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan kesehatan memberikan pengaruh yang berarti terhadap

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa (1) Perilaku keagamaan di SMP Negeri 7 Arut Selatan meliputi: (a) Membiasakan shalat