Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah,
memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk
kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama
penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat
yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work
non-commercially, as long as you credit the origin creator
and license it on your new creations under the identical
terms.
LAMPIRAN TRANSKRIP WAWANCARA
INFORMAN I
Peneliti Bersama Komisioner Penyiaran Indoenesia (KPI) (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Nama : Hardly Stefano Fenelon Pariela, SE., M.KP. Lembaga : Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Jabatan : Komisioner
Bidang : Pengawasan isi siaran Wawancara : Senin, 06 Agustus 2018
Lokasi : Gedung Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Jl. Juanda No. 36, Jakarta Pusat
Keterangan : VJ = Vividha Jati Ariya Gotami HS = Hardly Stefano Fenelon Pariela
(Wawancara Senin, 06 Agustus 2018 jam 11.00 WIB di Gedung Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Jakarta Pusat)
VJ : Selamat siang pak HS : Siang mba..
VJ : Saya Vividha Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara yang sempat bertemu dan wawancara sebentar dengan bapak di Perpustakaan Nasional HS : Oo iya, soal berita apa ya kemarin?
VJ : Seputar fenomena berita viral yang digunakan sebagai sumber informasi pada beberapa stasiun televisi pak..
HS : Oh iya, jadi gimana tuh
VJ : Saya ingin lebih jelas mengetahui sikap KPI terhadap penggunaan video dari media sosial ke dalam pemberitaan lembaga penyiaran, khusunya swasta untuk saat ini, pak?
HS : Berita viral akan menjadi masalah jika tidak ada verifikasi. Jadi artinya apa, artinya tidak sesuai dengan kaidah jurnalistik itu. Hanya menyampaikan bahwa viral terjadi pemukulan guru terhadap siswa, lalu itu tidak ada bahasan pendalaman dan itu biasanya kenaknya itu pada titik kekerasan. Gambarnya sedikit sementara narasinya panjang, dipakai berulang – ulang. Kita tegur. Tetapi lebih dari itu engak ada. Kalau mau tau dititik mana, treatment yang kita buat, Gabot bisa tolong cariin. Kalo lebih baik lagi tau terkait pemberitaan apa.
VJ : Saya sudah ada daftarnya, pak
HS : Ada ? Nah kalo ada nanti Gabot boleh cek datanya. Ini kami nanti jadi masukan juga, selama ini yang kenak terkait dengan tampilan kekerasan. Hanya itu sih. Kalo terkait dengan kaidah jurnalistik memang belum, yang kami lakukan kaitan dengan jurnalistik lebih kepada penyampaian terhadap lisan kepada seluruh jurnalis televisi, bahwa sebaiknya itu tidak dilakukan. Harusnya ada kaidah jurnalistik, tetapi KPI belum pernah menggunakan pasal – pasal jurnalistik secara sepesifik di situ. Lalu kedua KPI juga belum spesifik mengatur tentang bagaimana penyampaian atau penyiaran yang sumbernya dari sesuatu yang viral itu secara spesifik dari KPI.
VJ : Nah kan kemarin pas wawancara sama bapak yang sebelumnya, bakal ada kedepanya untuk membentuk kebijakan bagi lembaga penyiaran yang menggunakan sumber viral, itu bagaimana?
HS : Kedepanya kita akan pikirkan itu. Kedepannya mencoba untuk mengatur lebih kepada kode etik jurnalistik maupun pasal – pasal yang sudah ada di P3SPS. Kita akan liat misalnya dengan apa, kejelasan yang disampaikan. Sumber kejelasan informasi, sumber informasi itu akan kita pakai sebagai dasar untuk mengabil kedepan. Tapi sekarang belum ada secara spesifik dan belum pernah ada pembahasan juga secara detail masalah ini. Kami ini kalo ada suatu masalah yang secara masif. Kita akan ambil kebijakan sesuai regulasi kita, apa regulasi kita sudah memadahi untuk masalah itu. Kedua, kalo kita menganggap regulasi kita belum cukup memadai kita akan biasanya akan melakukan kajian dilanjutkan dengan fokus group diskusi dengan beberapa stakeholder terkait, untuk kemudian merumuskan dalam bentuk edaran. Edaran itu yang akan mengatur lebih spesifik hal – hal yang belum bisa tercakup dalam regulasi yang sudah ada. Persoalan viral yang ditampilkan di pemberitaan itu ee.., temuan kami belum terlalu banyak kali yah.., sehingga kemudian menjadi masalah yang masif tapi tidak menutup kemungkinan dan harusnya segera kami lakukan pembahasan ini bersama dengan membangun kepentingan dengan dewan pers, ikatan jurnalis televisi.
VJ : Dan sama saya juga ingin tahu pak, mekanisme dari KPI dengan Dewan Pers untuk melakukan pengawasan isi siaran itu seperti apa ya?
HS : Semua yang tampil di televisi dan radio sebenarnya ranah dari KPI, jadi tidak ada lagi lembaga lain yang punya andil disitu, jadi KPI dengan penilaian KPI bisa saja mengambil tindakan. Tetapi KPI ini juga menempatkan diri, bahwa dia bukan regulator yang tahu segala hal. Makanya dia harus berbicara dengan pemangku kepentingan lalu dalam hal itu koordinasi dengan Dewan Pers. Koordinasinya itu dalam konteks membahas beberapa isu. Isu viral itu pun pernah menjadi itu tapi katakanlah pemberitaan politik misalnya, lalu pemberitaan terkait dengan terorisme misalnya, itu kita kemudian berdiskusi lalu meminta pendapat dewan pers. Jadi meminta pendapat dari pemangku kepentingan lain di luar KPI yang terkait penyiaran itu sebatas meminta masukan pendapat, bukan putusan sanksi. Jadi putusan sanksi itu, KPI berdiri sendiri untuk memutuskan, dari masukan berbagai pihak sebelumnya. Jadi itu yang di lakukan KPI.
VJ : Berarti dari KPI, seperti yang bapak kemarin bilang sudah ada datanya kan ya pak, tv tv mana aja yang melakukan tindakan...
HS : Ada, tapi isunya itu adalah lebih banyak terkait dengan isu kekerasan. Jadi bukan terkait dengan isu spesifik jurnalistik bahwa harus punya sumber yang jelas. Tapi memang dalam konteks pemukulan siswa siswi oleh
tidak mendapatkan teguran dari KPI, sedangkan tv lain medapatkan. Itu karena tv yang tidak mendapat tindakan melakukan pendalaman. Terkait materi pemberitaan, kemudia bertemu apa..dengan dinas dan lain sebagainya yang lain tidak, dan kemudian kami melihat yang lain hanya mengeksploitasi karena isunya kekerasan jadi mengekspoitasi kekerasan. Nanti bisa dilihat pasal – pasalnya setelah diambilkan ya, daftarnya ada.. VJ : Oh..saya ada cuman ingin mengkonfirmasi gitu pak, apakah saya yang
keliru atau bagaimana. Jadi biar lebih jelas.
HS : Dengan adanya ini, penelitian ini lalu diskusi begini. Kalo ada di luar KPI yang mulai terusik dan mengangap bahwa hal seperti ini perlu menjadi perhatian KPI maka perlu akan mengambil pertimbangan juga untuk segera kedepan merumuskan tentang hal ini.
VJ : Soalnya saya melihat di beberapa tv kayaknya mulai dari CNN terus iNews sudah bikin yang kayak viral of the week gitu. Jadi memang ada programnya
HS : Oh iya?
VJ : Iya, jadi ada program viral of the week , jadi menurut saya pendapat independen saya sendiri berita – beritanya itu yang kayak news valuenya kurang. Apakah itu bermasalah ..
HS : Jangan – jangan dia masuk yang di program bukan jurnalistik ? jadi kalo dia di program non jurnalistik itu lalu tidak bisa dikenakan pasal – pasal. Cuman sempat juga ada beberapa kali diskusi kita adalah bagaimana bicara tentang sumber. Sumber data tayang kan. Sering kali courtesy-nya hanya youtube
VJ : Iya, tidak disebutkan sumber
HS : Sumbernya dari mana, itu sempat di telisik juga. Sempet jadi ini ya ee...perbincangan juga. Harusnya ketika berbicara sumber itu adalah sumber yang mengupload itu, jadi bukan cuman youtube.
VJ : Yang mmmm...
HS : Itu salah satu isunnya juga, terkait dengan hak cipta kan .. VJ : Hak siar ..
HS : Hak siar, itu. Harusnya minta izinnya atau minta iniya adalah kepada yang mengupload pertama kali dan itu di Indonesia belum di atur. Bahkan menurut saya KPI bersama Dewan Pers sih bersama – sama mulai membincangkan masalah ini. Untuk sekrang memang belum.
INFORMAN II
Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Pengeakan Etika Pers (Sumber: Website Resmi Dewan Pers)
Nama : Imam Wahyudi Lembaga : Dewan Pers
Jabatan : Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Bidang : Pengawasan isi siaran
Wawancara : Senin, 17 September 2018
Lokasi : Gedung Dewan Pers, Lantai 7, Jl. Kebon Sirih 32 – 34, Jakarta Pusat
Keterangan : VJ = Vividha Jati Ariya Gotami IW = Imam Wahyudi
(Wawancara Senin, 17 September 2018 jam 13.00 WIB di Gedung Dewan Pers, Lantai 7, Jakarta Pusat)
VJ : Saya ingin tahu, pendapat dari Dewan Pers dalam melihat fenomena televisi saat ini kecenderungannya menggambil sumber informasinya dari media sosial.
IW : Ya, jadi begini prinsipnya adalah ini produk jurnalistik atau bukan produk jurnalistik. Nah ini yang penting ini. Sebenarnya menjadi penting. Jika produk itu ingin dianggap sebagai produk jurnalistik dan diperlakukan sebagai produk jurnalistik, maka dia harus taat pada prinsip – prinsip jurnalistik dan kode etik jurnalistik. Apa prinsip jurnalistik itu, yang paling penting itu adalah dia akurat. Artinya berarti ada verifikasi, kemudian harus berimbang, artinya bahwa dia ada upaya untuk melakukan keberimbangan bukan sekedar cover both side loh ya tapi keberimbangan itu harus proporsional. Ketiga dia harus clear, nah sekarang kembali ke persoalan media sosial. Sesungguhnya media sosial itu sama kalo zaman masih offline tuh adalah sama dengan omongan orang di warung kopi, sama dengan desas desus dan sebagainya. Sama saja itu intinya. Artinya segala informasi yang masih sumir itu harus di verifikasi. Itu yang paling penting kan. Nah sekarang kembali kepersoalan sekarang, bahwa televisi mengambil produk dari media sosial. Nah menjadi pertanyaan pada saat mengambil produk media sosial itu di verifikasi tidak, itu pertanyaan pertama. Kedua adalah ada keberimbangan tidak, seandanya misalnya bahwa produk yang dimuat itu menuduh tertentu, apakah ada keberimbangan?, kalo misalnya tidak di penuni itu patut diduga nantinya bisa tidak dianggap sebagai sebuah produk jurnalistik karena sekali lagi yang membedakan produk jurnalistik dengan non jurnalistik adalah penerapan asas – asas jurnalistik, prinsip – prinsip jurnalistik dan kode etik jurnalistik gitu. VJ : Nah yang saya temukan, itu disiarkan di stasiun televisi produk berita
gitu, pak
IW : Nah ini perlu, perlu dianu, perlu digaris bawahi dan dikoreksi. Jadi begini kami pernah menangani kasus waku itu kalo tidak salah rakyat merdeka online. Dia punya produk, saya lupa apa namanya media sosial atau apalah di salah satu halamannya dan kemudian dipersoalkan oleh pengadu. Nah kemudian kami sampaikan kepada RMOLE bahwa dia bilang bahwa ini kan media sosial, oke media sosial tapi kan sekarang anda mau ini diperlakukan sebagai produk jurnalistik atau tidak. Kalo
mau diperlakukan sebagai produk jurnalistik berarti harus ada proses verifikasi, engak bisa kemudian kita cuman sama seperti dulu ada selebaran gelap kita tayang – tayangin engga mungkin. Jadi harus ada proses verifikasi sehingga kemudian jelas dan ada proses keberimbangan. VJ : Pak, bagaimana ini langsung dari berita tersebut. Mereka melakukan verifikasi bukan kepada seperti Instansi Polisi, RT, RW gitu. Tapi malah pada masyarakat ..
IW : Jadi begini..
VJ : Apa menjadi masalah..
IW : Oke baik, sekali lagi bahwa dalam pemberitaan itu seandainya ada misalnya namanya negative remark atau pernyataan negatif, maka yang harus diberi panggung adalah pihak yang di beri negative remark itu. Nah, ini adalah bagian dari proses keberimbangan. Nah kalo soal verifikasi, verifikasi itu kan soal menguji apakah informasi benar atau tidak. Sebagai contoh ya misalnya ada ee..taruhlah misalnya ada penculikan. Ya bahwa ada informasi ada penculikan, bahwa si A bahwa melakukan penculikan. Pertama kali kan yang harus dilakukan adalah melakukan verfikasi dulu. Apakah informasi ini memang bisa dipercaya. Nah, oh ternyata informasinya berasal dari polisi, bisa di percaya dong. Misalnya seperti itu, berarti itu bagian proses verifikasi, tetapi harus juga dikasih keberimbangan kepada pihak yang dituduh yang melakukan penculikan. Jadi sesungguhnya verifikasi awal itu tidak kemudian membuat bahwa keberimbangannya bisa diabaikan, tidak. Artinya bahwa yang diberi negative remark itu harus diberikan panggung secara proporsional jadi bukan ditanyakan iya dan tidak. Jadi misalnya polisi mengatakan bahwa ini si A melakukan penculikan, indikasinya a, b, c. Misalkan dia membawa seorang pria atau wanita selama sekian hari tanpa izin macem – macem a, b, c, d gitu. Kemudian keberimbangan ini dilakukan kepada pihak yang diberikan negative remark itu dengan melakukan pertanyaan pak apakah bapak benar melakukan penculikan?, bukan tapi apakah bapak melakukan a, b, c, d, itu baru profesional. VJ : Selama ini saya liat kaya kurang gitu
IW : Ya, bagus kalo anda sudah menilai bahwa bisa memberikan penilaian bahwa itu kurang. Berarti anda cukup literer untuk persoalan media. Soalnya itulah seharusnya publik yang harus tau. Jadi kalo publik tau,
publik juga tau bagaimana mengadu. Harus mengadu juga. Engak bisa dibiarkan begitu
VJ : Kemudian pak, apa sejauh ini Dewan Pers sudah pernah menegur stasiun tv mana yang melakukan pelanggaran
IW : Seingat saya belum ya, malah saya baru dengar dari anda. Saya jarang nonton tv bener untuk anu televisi. Sorry saya orang tv tapi agak jarang nonton tv ini. Tapi nanti saya akan cek.
VJ : Soalnya saya sudah sempat ke KPI, cuman tayangan berbentuk kekerasan gitu
IW : Cuman Dewan Pers yang bisa menelisik, nanti akan kita liat tapi itu sangat berbahaya ya. Jadi begini menggambil sesuatu terlepas dari mana sumbernya tanpa ada verifikasi itu sangat berbahaya karena sekali lagi bahwa yang membuat jurnalis itu atau profesi sebagai jurnalis dihormati kemudian mendapatkan dalam tanda petik ke istimewaan, itu sebenarnya ketaatan atau apakah dia komper terhadap prinsip jurnalistik dan kode etik jurnalistik itu. Jadi kan gini, pada saat sebuah produk itu dinyatakan sebagai sebuah produk jurnalistik maka kesalahan, seandainya ada terjadi kesalahan pada produk itu maka yang terjadi adalah sanksi hak jawab, hak koreksi dan minta maaf, tidak langsung di kriminalisasi karena diasumsikan bahwa produk jurnalisik itu dibuat dengan itikad baik untuk kepentingan umum dan kemudian di lakukan dengan prinsip – prinsip yang regret, sehingga dia produknya memang proper untuk kemudian dijadikan konsumsi publik gitu. Apa lagi? Habis?
VJ : Oh belum.. IW : Hahaha..
VJ : Mm pak, apa ee.. bentuk koordinasi Dewan Pers dengan KPI untuk menegur..
IW : Ya, untuk kasus – kasus tertentu KPI mendapat pengaduan dan saat itu terkait dengan jurnalistik maka dia akan koordinasi, mereka akan koordinasi dengan Dewan Pers, bagaimana penilaiannya karena kita rezim etik ya, bisa memberikan penilaian etik. Tapi kalo kita bisa menemukan sendiri kita bisa langsung sampaikan kepada media yang bersangkutan bahwa ini ada pelanggaran. Silahkan minum..
IW : Sorry nunggu lama ya..
VJ : Iya engak apa – apa pak, jadi sejauh ini dari Dewan Pers sendiri belum menelisik ..
IW : Belum, kalo seingat saya belum loh. Sepegetahuan saya belum. Ini bagus informasinya ini saya cek. Jadi tidak ada proses verifikasi di situ?
VJ : Informasinya malah ada yang tidak wawancara, ada juga yang wawancara cuman kepada masyarakat dan bagaimana pendapat masyarakat melihat kejadian tersebut
IW : Sementara masyarakatnya tidak tahu menau VJ : Iya, cuman..
IW : Masyarakat disini, netizen VJ : Cuman melihat saja gitu.. IW : Clear – clear
VJ : Itu menjadi persoalan atau bagaimana?
IW : Ya mungkin sekarang pada dasarnya belum menjadi persoalan, tapi nanti pada saatnya kemudian nanti kita akan kita balikkan apa ini produk jurnalistik atau tidak. Artinya gini produk jurnalistik artinya produk yang di kerjakan dengan prinsip – prinsip jurnalisme atau tidak.
VJ : Kemudian saya melihat beberapa, yang saya lihat gitu, melanggar P3SPS dan Kode Etik Jurnalistik begitu, jadi sanksi dari Dewan Pers sendiri untuk yang melakukan pelanggaran itu..
IW : Kalo ada pelanggaran tentu Dewan Pers akan tergantung tahapannya. Seandainya ada yang menggadu dan kemudian ada yang dirugikan tentu akan diprosesnya hak jawab, hak koreksi atau minta maaf. Nah kalo seandainya belum ada yang menggadu, kita sendiri akan melakukan peringatan bahwa ini engak bisa dilakukan terus menerus gitu. Begitu.. VJ : Berarti ada surat pernyataanya gitu, pak?
IW : Oh tidak – tidak kita memberikan teguran, nah ini biasanya karena ini sekali lagi, bahwa Dewan Pers ini adalah rezim etik..
IW : Biasanya, media profesional segera melakukan perbaikan. Umumnya selama ini begitu karena konsekuensinya kalo seandainya pelanggaran iu dilakukan terus menerus, kita bisa melihat bahwa tidak ada etikat dia untuk menjadi media yang profesional. Media pers yang profesional. Kalo kemudian tidak ada etikat untuk menjadi media pers yang profesional maka bukan tidak mungkin bahwa seandainya ada aduan terkait media yang bersangkutan, kita tidak anggap itu sebagai produk jurnalistik nah kalo itu tidak produk jurnalistik maka penyelesaiannya di tempat lain apakah di Pengadilan atau di Kantor Polisi gitu..
VJ : Sebelumnya, saya ingin tanya apakah sudah ada regulasi yang mengatur kayak aa..sumber dari media sosial, itu boleh digunakan atau tidak.. IW : Gini prinsipnya jurnalistik itu dari dulu sama saja, mau ada media sosial
atau ada media sosial. Prinsipnyakan sangat mendasar jurnalisme itu. Jadi perinsip akurasi itu dalam kontek apa pun, Nah persoalan media sosialnya itu persoalan fenomena platform ya. Artinya bahwa mau sumbernya dari manapun, mau bentuknya apapun itu tetap kan dalam jurnalisme harus verifikasi. Jadi jangan terjebak bahwa oh gara – gara ada media baru harus diatur. Enggak perlu diatur. Prinsip sekali jurnalisme itu. Sangat mendasar.
VJ : Berarti sah – sah aja kan digunakan atau.. IW : Sepanjang ada verifikasi, sah – sah saja..
VJ : Berarti lagi - lagi berpaku pada KEJ dan P3SPS..
IW : Heeh, yang namanya jurnalisme ya berpegang pada prinsip – prinsip jurnalistik dan kode etik. Sekali lagi prinsip – prinsip itu lah yang membuat jurnalisme mendapat keistimewaan. Orang udah jelas keliru, masa engak bisa dipidana, gitu kan?, Kok enak banget sanksinya cuman hak jawab, hak koreksi. Ya karena asumsinya dia melakukan itu dengan niat baik untuk kepentingan publik dan dilakukan bukan dengan asal – asalan tapi ada mekanisme prosedur yang proper gitu.
IW : Apalagi ..
VJ : Faktor – faktor yang kenapa jadi banyak informasi yang agak keliru di luaran sana, itu faktornya apakah dari karena wartawan sendiri atau bagaiama...
IW : Mm itu buuanyak sekali faktornya, misalnya soal pemberitaan yang kemudian keliru termasuk juga mengutip dari media sosial itu, itu antara
lain faktor kompetisi, faktor ego bisa juga. Ada loh. Aku udah lama jadi wartawan ada ego itu cepet – cepetan, macem – macem gitu. Tetapi sekali lagi bahwa profesi ini tidak memberi ruang untuk ee..apa ee..menangnya ego terhadap kebenaran. Tidak bisa. Kemudian yang lain, tentu engak ada asap kalo egak ada api, apinya kan yang berkembang di media sosial itu kemudian yang cepet viral dan sebagainya. Itu mungkin banyak kecenderungannya. Itu ada kecenderungan mungkin dia ingin menjadi yang pertama, ingin menunjukkan, kan begitu modelnya begitu, sehingga dia engak keburu cek, kemudian menjadi viral. Ada juga aspek yang lain, aspek – aspek rekayasa. Kita kan bisa menjadikan sesuatu menjadi trending topic. Dengan mekanisme tertentu kita bisa menjadi trending topic. Tetapi yang penting adalah mau diluaran beredar ribuan jutaan pesan – pesan seperti apa, sepanjang jurnalis itu taat prinsip – prinsip jurnalistik dan kode etik, saya pikir itu akan ditepis karena yang penting dalam jurnalisme itu adalah bahwa dia bisa menjadi rujukan publik untuk menemukan kebenaran, kalo kemudian jurnalis juga ikut – ikut andil dalam pacuan kuda, model pacuan kuda kan. Menang – menangan lebih dulu tanpa ada verifikasi, ya dia gagal menjadi menjalankan profesi itu. Apalagi ..
VJ : Saya melihat ada dua puluh berita gitu, kaya hampir rata – rata ya wawancaranya bukan langsung kepada yang seharunya dituju gitu loh, kenapa pihak luar
IW : Ada hal lain ya yang aku tangkap ini, ini anu aja. Kekesalanku aja sekarang banyak sekali aku temukan kawan – kawantu yang malas, malas untuk melakukan verifikasi ya. Verifikasi itu susah ya maksudnya perlu ada effort bergitu, jadi maunya menikmati statusnya sebagai jurnalis tapi tidak mau menjalankan kewajibannya. Ingat ya bahwa ada pepatah Noblesse Oblige, tidak ada keistimewaan tanpa kewajiban demikian jurnalis. Jadi jalankan dong kewajibanya. Gitu, mahasiswa juga Noblesse Oblige..
VJ : Hahaha.. iya saya lagi verifikasi data untuk skripsi... IW : Hahaha, apa lagi..
VJ : Konfirmasi terkait pasal – pasal dalam KEJ begitu..
IW : Kalo dalam prinsip kode etik jurnalistik itu sebatas satu, dua, dan tiga lah. Enggak jauh – jauh itu. Konfirmasi, keberimbangan, dependensi, asas praduga tak bersalah. Apalagi..
VJ : Saya denger - denger soal regulasi tersebut, pas wawancara ke KPI katanya DPR ya, bakal menentukan apakah ada regulasi
IW : Ya memang DPR sebagai anu pembuat perundang – undangan..
VJ : Tapi untuk membentuk tersebut apakag KPI bekerja sama dengan Dewan Pers atau bagaimana..
IW : Kalo saya sih, Indonesia tidak perlu lagi membuat peraturan yang lain, engak usah bikin. Udah cukup. Kalo ekspresinya di media pers berarti yang berlaku adalah Undang – Undang 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sudah jelas. Kalo bukan Pers berarti undang – undang yang lain. Apakah Undang – Undang ITE atau undang – undang kemerdekaan menyampaikan pendapat depan umum atau KUHP, perdata. Semua ada. Engga perlu dibikin peraturan lagi. Semua ada kok, makanya sekarang harus jelas barisannya, televisi ini. Kamu mau Pers bukan, itu aja. Kamu umat Pers, berbaris ikutin Pers, jangan Pers lari lagi ke non Pers. Itu engak bisa, abu – abu. Kalo kaya gitu jelas ini, hidup itu lebih gampang. Ini kan engak, ada yang abal – abal maunya Pers, kalo untuk punya masalah maunya Pers tapi kalo kelakuannya, kelakukan bukan Pers. Wah itu saenake mbah e, kalo kaya gitu.
VJ : Berarti tinggal balik lagi kan pak ke Kode Etik Jurnalistik dan P3SPS IW : Iya iya, engak susah kok sebenarnya..
VJ : Hehehe...
IW : Engak perlu regulasi itu, kepanjangan regulasi. Tahu engak kamu, kenapa di Indonesia ini undang – undang aja belum jadi aja udah di perkosa apalagi sudah jadi. Sering kan terjadi kan. Indonesia kebanyakan peraturan malah. Sudah clear kok itu..
INFORMAN III
Peneliti Bersama Produser iNews yang Juga Menjabat Pembaca Berita (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Nama : Aulia Nurmalasari Pane / Uli Lembaga : iNews
Jabatan : News Producer dan News Anchor iNews Program : iNews Siang
Wawancara : Senin, 24 September 2018
Lokasi : Ruang Redaksi iNews TV, Lantai 9, Kebon Sirih, Jakarta Pusat Keterangan : VJ = Vividha Jati Ariya Gotami
(Wawancara Senin, 24 September 2018 jam 14.00 WIB di Gedung Redaksi iNews TV, Lantai 9, Jakarta Pusat)
VJ : Adakah kriteria pemilihan berita viral di media sosial, sebagai sumber informasi berita di iNews? itu seperti apa?
AP : Untuk yang pertama pemilihan media sosial itu sering banget, kita justru melihat dari media sosial. Terlebih lagi kita punya namanya segmen Top Viral. Top Viral itu malem tayangnya sekitar19.00 malam, itu berdasarkan dari berita – berita yang ada di medsos.
VJ : Bagaimana bentuk verifikasi informasi yang dilakukan iNews dalam menggunakan sumber dari media sosial?
AP : Dan kita juga melakukan verifikasi informasi nah yang bedanya mana media sosial yang hanya blush aja soal berita, katakanlah yang jenazah aja kita minta polisinya. SOP-wawancara polisinya. Ketika itu jenazah itu dilihat bahwa pertama ada polisi kan yang ngelihat dia. Itu kita cari tahu, Polisinya yang mana sih. Kalo engga salah berada di bawah naungan Polres Jambi. Kita wawancara Kapolresnya, karena jauh biasanya kita pakai skype, kalo skype engak bisa kita live by phone. Itu verifikasi yang pertama, dijelaskan polisinya jelasnya seperti apa. Yang kedua adalah rumah sakit, kita konfirmasi, pasti harus cover both side kan, rumah sakit kita klarifikasi juga. Apakah betul memang dia engak, rumah sakit itu tidak menyediakan ambulance orang miskin.. itu kita klarifikasi. Itu satu contoh, kedua itu baru – baru ini naikin soal anak yang lintas negara, tahu engga?
VJ : Oh yang jalan kaki..
AP : Heeh, yang jalan kaki itu kita konfirmasi ke imigrasi belu,, ah aku lupa dah. Pokoknya imigrasi sana. Kita slalu konfirmasi dan verifikasi menggenai berita itu. Itu yang memang bedain medsos sama tv. Kalo tv kita pakai setelah berita itu di blush atau di tayangkan kita ada komfirmasi dua belah pihak. Gitu…
VJ : Media sosial mana saja yang biasanya di gunakan iNews sebagai sumber berita?
AP : Kita itu dari Instagram sama dari Youtube yang paling banyak viewersnya atau paling banyak yang diliat. Apalagi saya di iNews yang Siang sering banget pake yang dari Instagram yang viral. Misalnya
seperti waktu itu jenazah yang diangkat karena dia engak punya uang, engak mampu untuk ke apa…. menyewa ambulance dan naik motor itu kan viral kan kayak gitu..,selalu kita naikkan. Belum lagi kita juga seperti Asian Games kayak Jojo lalu ada menyita perhatian public dari medsos itu pasti kita naikin..
VJ : Biasanya berapa banyak sumber informasi viral yang diproduksi menjadi berita oleh iNews dalam setiap segmennya?
AP : Tergantung.. tergantung sih heeh, tergantung lagi hype-nya apa. Kalo berita regular, aku namanya berita regular berita pagi siang sore itu biasanya enggak terlalu banyak, itu yang menarik – menarik aja. Tapi kalo di program top viral itu semua. Itu yang viral dalam durasi selama satu jam.
VJ : Tapi top viral bisa dikatakan produk jurnalistik atau tidak?
AP : Jika ada konfirmasinya itu jadi produk jurnalistik dan kita selalu mengutamakan kaidah jurnalistik karena kita selalu minta konfirmasi seperti yang aku bilang itu…
VJ : Apakah sejauh ini iNews pernah terkena teguran dari KPI atau Dewan Pers dalam penanyangan berita yang bersumber dari medsos…
AP : Setahu ku kalo video viral ini kita selalu mengedepankan, gini ada beberapa yang kita pegang adalah ketika melibatkan anak – anak atau kekerasan – kekerasan yang ringan atau sedang, kita selalu di blur. Anak – anak selalu di blur ini kita masih konsern banget. Ada gambar darah selalu pasti hitam putih. Ini menurutku belum sih, karena aku baru setahun sih disini. setahu ku sih enggak pernah sih kena teguran yang berarti, mungkin teguran ringan iya tapi teguran ringan itu mungkin bilang ke bos gambarnya gini…, tapi melalui surat, enggak. Itu kalo terguran sedang atau berat.
VJ : Gambaran proses kerja hingga tersajinya tayangan berita di iNews TV untuk berita reguler dan pada proogram Top Viral, hal itu seperti apa? Mulai dari perencanaan atau perancangan ide berita, produksi berita hingga penayangan berita di televisi?
AP : Proses pengerjaan program super viral tidak jauh berbeda dari program buletin. Produser mengumpulkan data-data berita apa saja yang viral atau yang masih terus diupdate perkembangannya selama satu pekan. Lalu berita diolah semenarik mungkin dan dibuat sedikit berbeda dgn berita
buletin, salah satunya dengan penggunaan kata-kata yang ringan dan tidak sulit dimengerti penonton. Selanjutnya seperti biasa setelah diolah produser, berita masuk proses editing. Di proses editing, biasanya jika ada berita viral yang lucu sering ditambahkan efek-efek atau backsound suara.
VJ : Tim yang terlibat siapa saja?, selama proses pebuatan berita reguler di iNews dan Top Viral berlangsung, hingga tayang di televisi?
AP : Tim yang terlibat adalah tim Super Viral dibantu dengan tim Inews Sore. Dibantu juga dengan tim grafis serta tentunya tim editor.
VJ : Pada segmen berapa (contohnya seperti di iNews Siang) menayangkan berita yang bersumber dari media sosial, terutama penggunaan video viral?
AP : Berita-berita viral dari sosial media biasanya ditampilkan di segmen awal. Dilanjutkan dengan berita-berita reguler yang terus di update perkembangannya.
VJ : Dalam satu episode berita reguler dan juga di Top Viral, ada berapa jumlah video viral yang digunakan?
AP : Untuk video/berita viral yang dipakai dalam satu episode super viral tergantung dari banyaknya berita yg viral selama sepekan. Karena dalam sepekan berita/video viral tidak selalu ada dalam jumlah yang banyak. VJ : Dalam penggunaan video viral, apakah durasi video digunakan secara
utuh atau ada pemotongan durasi?
AP : Untuk durasi video apakah digunakan utuh tergantung kebutuhan produsernya. Terkadang ada video viral yang memiliki durasi lama tapi tidak langsung ke inti beritanya. Disaat itulah produser memotong durasi agar gambar video yang diambil adalah gambar yang sesuai dengan inti berita.
VJ : Apakah memakan waktu yang lama dalam membuat paket berita reguler dan juga berita di program Top Viral?
AP : Durasi pembuatan berita super viral tak jauh berbeda dengan berita reguler. Tapi super viral butuh lebih banyak gambar menarik, serta terkadang butuh data-data dari media sosial. Hal itu lah yg terkadang membuat durasi pembuatan berita super viral sedikit lama dari berita reguler.
VJ : Kriteria pemilihan video atau berita viral di media sosial itu seperti apa? Terutama pada program berita di iNews dan Top Viral.
AP : Kriteria pemilihan berita viral biasanya diambil yang video-video amatir dari masyarakat. Video-video lucu atau situasi saat terjadinya sebuah kejadian viral.
VJ : Adakah batasan dalam pemilihan video viral di media sosial, yang nantinya dijadikan sumber informasi berita?
AP : Yang pastinya berita viral yang diambil tidak mengandung SARA atau bersifat pornografi dan aksi kekerasan.