• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAKAIAN BAHASA BALI DIKALANGAN SUAMI-ISTRI PADA GOLONGAN TRIWANGSA DI DAERAH PERKOTAAN: KAJIAN DIALEKTOLOGI GENDER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMAKAIAN BAHASA BALI DIKALANGAN SUAMI-ISTRI PADA GOLONGAN TRIWANGSA DI DAERAH PERKOTAAN: KAJIAN DIALEKTOLOGI GENDER"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

1

PEMAKAIAN BAHASA BALI DIKALANGAN SUAMI-ISTRI PADA GOLONGAN TRIWANGSA DI DAERAH PERKOTAAN: KAJIAN DIALEKTOLOGI GENDER

Oleh:

1. Putu Evi Wahyu Citrawati (eviwahyu78@gmail.com) 2. I.G.A Aryani (ig_aryani@yahoo.com)

3. Isnu Maharani (isnu.maharani@yahoo.com) RINGKASAN

Bahasa Bali dibedakan atas dua dialek, yaitu dialek Bali Aga, dan dialek bali Daratan, yang masing-masing memiliki ciri subdialek tersendiri. Berdasarkan dimensi sosial bahasa Bali mengenal adanya sistem sor-singgih yang erat kaitannya dengan perkembangan masyarakat bali yang mengenal adanya sistem wangsa yang dibedakan atas golongan triwangsa (Brahmana, Ksatria, dan Weisia), dan golongan Sudra. (Sulaga dkk, 1996:1-2).

Pada penelitian ini yang akan dibicarakan adalah tentang dialektologi sosial khususnya masalah gender, bukan tentang pemakaian bahasa dalam kelas sosial. Walaupun secara tidak langsung berhubungan dengan penelitian sosiolinguistik. Gender didefinisikan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun secara kultural (Fakih, 1996:9-10). Sebaliknya, melalui dialektika, konstruksi sosial gender yang terasosiasikan secara evolusional dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin.

Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak menimbulkan suatu ketidakadilan. Namun perbedaan gender dapat mengarah kepada ketidakadilan terutama perlakuan terhadap kaum perempuan. Perbedaan dalam pemilihan bahasa antara laki-laki dan perempuan berkisar pada pola-pola intonasi sampai pada leksikal spesifik. Penutur perempuan biasanya cenderung berbicara lebih benar, baik dari sudut gramatikalnya, maupun dari pemenuhan aturan sosial kebahasaanya.

Penelitian ini akan dilakukan pada golongan kaum tri wangsa di daerah perkotaan, terutama di daerah Gianyar. Sampel akan diambil di komplek perumahan yang ada di seputaran kota Gianyar.

Kata Kunci : Triwangsa, konstruksi sosial gender, dialektologi.

Abstract

Balinese language is one of local language in Indonesia are well maintain by Balinese society. The existence of Balinese language has quite complex variations because of the sor- singgih or the rules of language determined by the speaker. Sor-singgih or the roles system closely related to the development of Balinese society which known wangsa or clan system called group of triwangsa. Therefore, the use of language between triwangsa groups is different with the language outside of the group in Balinese society.

The study aimed at describe about social dialectology especially concerning with gender

case. Gender defined as a characteristic which stick on socially and culturally both male and

female. These constructions evolutionally would emerge a distinction for both of them. The

differentiation can be seen from the use of language. The language which is used by male is

(5)

2

different with the language that is used by female both from the grammar point of view and its intonation.

Keyword: Language, dialectology, gender.

PENDAHULUAN

Bahasa Bali adalah salah satu bahasa daerah di negara Indonesia yang dipelihara dengan baik oleh masyarakat penuturnya, yaitu etnis Bali. Bahasa Bali sebagai bahasa ibu atau bahasa pertama bagi sebagian masyarakat Bali, dipakai secara luas sebagai alat komunikasi dalam berbagai aktivitas si dalam rumah tangga dan di luar rumah tangga yang mencakupi berbagai aktivitas kehidupan sosial masyarakat Bali.

Keberadaan bahasa Bali memiliki variasi yang cukup rumit, karena adanya sor-singgih yang ditentukan oleh pembicara, lawan bicara, dan hal-hal yang dibicarakannya. Secara umum variasi bahasa Bali dapat dibedakan atas bahasa Bali Kuno atau yang sering disebut dengan bahasa Bali Mula atau bahasa Bali Aga, bahasa Bali Tengahan atau Kawi Bali, dan bahasa Bali Kepara yang sering disebut bahasa Bali Baru atau bahasa Bali Modern.

Secara regional bahasa Bali dibedakan atas dua dialek, yaitu dialek Bali Aga, dan dialek bali Daratan, yang masing-masing memiliki ciri subdialek tersendiri. Berdasarkan dimensi sosial bahasa Bali mengenal adanya sistem sor-singgih yang erat kaitannya dengan perkembangan masyarakat bali yang mengenal adanya sistem wangsa yang dibedakan atas golongan triwangsa (Brahmana, Ksatria, Weisia) dan golongan Sudra (Sulaga dkk, 1996:1-2).

Dengan adanya sistem wangsa seperti di atas, maka penggunaan bahasa Bali oleh masyarakat yang menduduki golongan Triwangsa akan berbeda dengan golongan masyarakat Sudra. Pada golongan triwangsa akan menggunakan bahasa Bali halus, sedangkan bagi masayarakat kebanyakan atau masyarakat sudra bahasa Bali yang digunakan adalah bahasa Bali kepara atau bahasa Bali kasar. Ada hal yang menarik di masyarakat Bali, apabila orang sudra berbicara dengan orang dari golongan triwangsa, maka kaum sudra biasanya akan menggunakan bahasa Bali halus, namun pada golongan triwangsa berbicara dengan kaum sudra tetap menggunakan bahasa Bali kasar.

Namun, dewasa ini penggunaan bahasa Bali bagi golongan triwangsa sudah mengalami

pergeseran, dalam arti bahwa bagi mereka para golongan triwangsa sudah tidak terlalu fanatik

dalam menggunakan bahasa Bali halus apabila berbicara dengan lawan bicaranya yang bukan

(6)

3

berasal dari golongan mereka. Begitu pula dengan kaum sudra apabila berbicara dengan golongan triwangsa. Tetapi pada beberapa wilayah tertentu tradisi ini tetap berlaku, terutama di wilayah pedesaan, nuansa perbedaan anatara kedua kaum tersebut tetap kental.

Pada penelitian ini yang akan dibicarakan adalah tentang dialektologi sosial khususnya masalah gender, bukan tentang pemakaian bahasa dalam kelas sosial. Walaupun secara tidak langsung berhubungan dengan penelitian sosiolinguistik. Gender didefinisikan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun secara kultural (Fakih, 1996:9-10). Sebaliknya, melalui dialektika, konstruksi sosial gender yang terasosiasikan secara evolusional dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin.

Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketiadakadilan gender. Tetapi perbedaan gender dapat mengarah kepada ketidakadilan terutama perlakuan terhadap kaum perempuan. Perlakuan tersebut termanivestasi terutama dari bahasa yang digunakan. Bahasa yang digunakan laki-laki berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh perempuan.

Perbedaan dalam pilihan bahasa antara laki-laki dan perempuan berkisar dari pola-pola intonasi sampai pada leksikal spesifik (Lakoff, 1975). Penutur wanita cenderung berbicara secara benar, baik dari sudut aturan gramatikalnya maupun dari pemenuhan aturan sosiokulturalnya ( Trudgill, 1972). Selanjutnya Foley (1977), mengatakan bahwa dalam praktek kebahasaan perbedaan yang siginifikan muncul antara tuturan pria dan wanita.

Berdasarkan latar belakang di atas ada beberapa permasalahan yang perlu dijawab melalui penelitian ini. Masalah tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.

1) Bagaimanakah bentuk pemakaian bahasa Bali di kalangan suami-istri dari golongan triwangsa yang sama di daerah perkotaan?

2) Berapa persenkah perbandingan pemakaian bahasa Bali halus oleh Suami dibandingkan oleh para Istri?

TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN 1 Tinjauan Pustaka

Penelitian linguistik di beberapa masyarakat di dunia menunjukkan adanya bukti bahwa

bahasa laki-laki dan bahasa perempuan berbeda. Dalam beberapa kasus, perbedaan ini cukup

(7)

4

besar dan cukup jelas, namun perbedaan ini terkadang tidak tampak secara kasat mata. Hasil penelitian yang menunjukkan adanya perbedaan ini dianggap sebagai hal yang sah dan wajar.

Penelitian tentang bahasa gender telah banyak dilakukan oleh para peneliti baik dari dunia timur ataupun dunia barat. Ada beberapa peneliti yang telah meneliti tentang gender antara lain oleh Smith (1992), Trudgil (1983), Holmes (1992), dan yang terakhir adalah penelitian tentang pengkaitan bahasa Bali dan Gender (Padmadewi, 2005).

Smith (1992) melakukan penelitian di Jepang yang dilakukan terhadap wanita dengan tujuan untuk menganalisis penggunaan direktif bagi laki-laki dan perempuan yang ada dalam posisi pemimpin. Pengumpulan data dilakukan dengan cara interviu terhadap wanita profesional perkotaan. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa wanita tidak pernah punya kesulitan dalam berkomunikasi dengan bawahan baik itu pria maupun wanita sepanjang dia lembut, gentle, terbuka dan lebih menekankan solidaritas di atas kekuasaan.

Pengambilan data dalam penelitian Smith juga dilakukan terhadap tukang masak dan tukang kayu dalam televisi pendidikan. Data diambil dari dua pertunjukan yaitu (1) program acara masak dan (2) acara pekerjaan kayu untuk rumah. Program ini dipandu oleh instruktur perempuan, sedangkan program kayu untuk rumah dipandu oleh laki-laki yang sebaya dengan instruktur masak, dan keduanya berbahasa Jepang. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan video tape, segmen masing-masing 10 menit ditranskripsikan dan direktif yang digunakan oleh masing-masing instruktur dicatat dan dianalisis. Hasil temuannya berupa penggunaan direktif tidak langsung yang dipakai oleh instruktur wanita sangat sopan bahkan terlalu sopan. Jadi hipotesis bahwa wanita menggunakan bahasa lebih sopan didukung dalam penelitian ini. Instruktur laki-laki menggunakan perintah/ direktif jauh lebih langsung dibandingkan dengan instruktur perempuan.

Trudgill (1983) melakukan penelitain yang menghubungkan bahasa Inggris dengan pembicara laki-laki dan perempuan. Dinyatakan bahwa tampak adanya perbedaan yang menonjol tentang variasi bahasa Inggris berdasarkan jenis kelamin datang dari dialek urban di Inggris dan Amerika. Pembicara wanita bahasa Inggris menggunakan bentuk linguistik yang dianggap lebih baik dari laki-laki. Di Detroit, high class speaker menggunakan non-standard multiple negation lebih sedikit (misalnya: I don’t want none) dari lower class-speaker (Trudgil, 1983:84;

Padmadewi 2005:18). Trudgil mengasumsikan bahwa perempuan di dalam masyarakat secara

umum lebih sadar status dibandingakan dengan laki-laki, sehingga mereka menjadi lebih sensitif

(8)

5

terhadap signifikasi sosial dari variasi lingual yang berhubungan dengan kelas sosial. Di samping itu, ia juga melihat bahwa ujaran dari kelompok pekerja memiliki konotasi atau asosiasi dengan maskulinitas bahwa laki-laki lebih banyak menggunakan bahasa non-standar dibandingakan dengan perempuan.

Penelitian lainnya adalah penelitian Holmes (1992). Dia menemukan bahwa ada kencendrungan bahwa perempuan Maori memiliki jaringan sosial lebih tinggi dari laki-laki untuk mempertahankan bahasa etnisnya. Hal ini berhubungan dengan peran sosial yang dijalani oleh perempuan di masyarakat, yang lebih banyak berurusan dengan hal-hal domestik tidak hanya menjaga anak-anak sehubungan dengan nilai-nilai dan tradisi kesukuannya. Holmes melihat kekonservatifan ini disebabkan oleh sikap sosial perempuan yang kurang baur dengan masyarakat baru sehingga lebih mempertahankan bentuk bahasa yang lama. Fenomena ini secara universal menunjukkan bahwa secara umum wanita menggunakan bentuk yang lebih baik dibandingkan dengan laki-laki.

Sedangkan Padmadewi (2005) dalam disertasinya yang berjudul “Tuturan Masyarakat Buleleng dan Konstruksi Gender”. Penelitian ini menggunakan teori bahasa dan gender, teori tindak tutur, dan teori power, yang didukung oleh metode wawancara serta metode observasi partisipatori. Hasil yang di dapat menunjukkan bahwa dari strategi linguistik suami-istri menggunakan strategi linguistik yang berbeda untuk tujuan yang sama, strategi linguistik yang sama untuk tujuan yang berbeda, dan strategi linguistik yang sama untuk tujuan yang sama.

Belum ditemukan tulisan tentang upaya mengaitkan gender dengan bahasa Bali. Biasanya suami lebih cendrung menunjukkan posisi superordinat dalam komunikasi, tetapi kadang-kadang juga menunjukkan posisi subordinasi, sementara istri cenderung menunjukkan posisi subordinasi, tetapi juga kadang-kadang sebagai superordinasi. Superordinasi dan subordinasi berhubungan dengan pendidikan. Adanya interaksi pada suami-istri yang berpendidikan tinggi menunjukkan kontinum solidaritas, sedangkan pada suami-istri yang berpendidikan rendah lebih menunjukkan kontinum kekuatan (Padmadewi, 2005:690-693). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dominasi laki-laki pada kehidupan sosial budaya masyarakat Bali.

2 Metode Penelitian

1 Populasi dan Sampel

(9)

6

Populasi merupakan sekelompok orang, benda atau hal yang menjadi sumber pengambilan sampel, sekumpulan yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian (KBBI, 1988:659). Populasi penelitian ini adalah semua suami-istri yang ada di daerah perumahan Candra Asri yang berasal dari kalangan Triwangsa. Mengingat luasnya popolasi tersebut, maka perlu diadakan sampel. Sampel diambil dengan teknik purposive sampel, yaitu dengan cara memilih bagian populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 1982:82).

Sampel yang digunakan adalah percakapan suami-istri yang ada di puri candra asri yang bergolongan triwangsa yaitu antara suami-istri Anak Agung dengan Anak Agung, dan suami-istri Ida Bagus dengan Gusti. Dari keseluruhan populasi penutur, diharapkan mendapatkan informasi yang mewakili penggunaan bahasa Bali halus di daerah perkotaan.

2 Metode Pengumpulan Data

Setelah menentukan populasi dan sampel seperti uraian tersebut di atas, kegiatan selanjutnya adalah mengumpulkan dan mengadakan seleksi data. Pada fase ini dibicarakan metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, serta metode dan teknik penyajian hasil analisis data.

Pada tahap pengumpulan data, metode yang relevan yang digunakan adalah metode simak dengan teknik simak libat cakap dan teknik bebas libat cakap, metode cakap, baik dengan teknik cakap tansemuka maupun teknik vakap semuka. Sudaryanto (1988) mengatakan teknik simak libat cakap dapat disejajarkan dengan apa yang di dalam ilmu-ilmu sosial dikenal dengan istilah metode partisipan, sedangkan teknik simak bebas libat cakap dapat disejajarkan dengan metode observasi. Metode cakap dengan teknik cakap tansemuka dapat disejajarkan dengan metode kuisioner dan teknik cakap semuka dapat disejajarkan dengan metode wawancara.

Metode simak akan diperoleh data yang natural, yang menggambarkan pemakaian bahasa

secara wajar. Selain itu, juga dapat diamati secara langsung perilaku verbal dan perilaku sosial

budaya para penutur. Penerapan metode cakap dengan teknik cakap semuka sangat diperlukan

untuk memperoleh kelngkapan data. Wawancara dipandu oleh instrumen penelitian yang di

dalamnya terdapat sejumlah besar pertanyaan yang memerlukan kawaban secara singkat dan

langsung (wawancara tersktruktur), dan juga terdapat pertanyaan yang dirancang untuk

menghasilkan sejumlah percakapan yang cukup panjang atau pertanyaan-pertanyaan yang

bersifat terbuka, ayang akan terbangun suatu percakapan.

(10)

7

Pada tahap selanjutnya adalah menganalisis data. Data dianalisis dengan mengkombinasikan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Dalam melihat perbedaan pola sapaan berdasarkan gender diterapkan metode komparatif. Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian linguistik dan sosial budaya, maka analisis data ini memperhatikan prinsip-prinsip linguistik dan ilmu-ilmu sosial. Dalam perspektif dialektologi sosial, gender sebagai variabel primer, artinya bahwa perbedaan antara bahasa laki-laki dan perempuan dalam sebuah komunitas sosial dan regional menjadi lebih terfokus. Istilah gender digunakan, sebagai oposisi dari jenis kelamin, untuk memperoleh kompleksitas fenomena sosial, budaya, dan psikologikal, yang dikaitkan dengan jenis kelamin (Mc Connel-Ginet, 1988:78; Dhanawaty, 2005:11-12).

Pada tahap terakhir adalah penyajian hasil analisis. Analisis data terakhir dengan ditemukannya kaidah-kaidah walaupun sifatnya sangat sedarhana. (Sudaryanto, 1982). Penyajian hasil analisis data ini menggunakan dua metode, yaitu metode formal dan metode informal.

Metode penyajian formal adalah berupa perumusan dengan tanda dan lambang seperti tambah, kurung, bintang, titik tiga, tanda tanya, tanda panah, kurung biasa, kurung kurawal, kurung siku berpasangan, huruf sebagai singkatan nama, diagram, dan sebagainya. Selanjutnya metode informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1986:16).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemakaian bahasa Bali suami-istri yang di bahas di sini terutama dalam bahasa sehari- hari dan dalam situasi yang tidak formal, sehingga mereka menggunakan bahasa Bali, baik bahasa Bali halus maupun bahasa Bali halus.

1) Suami : Gung, tindesang jep baju kantore!

“Gung, setrikakan sebentar baju kantornya”!

Istri : Nggih, jung jantos dumun, tiang kari ngematiang kompor Ya, Ajung! tunggu sebentar, saya masih mematikan kompor 2) Istri : Jung, kal ke swalayan ya?

“Ajung, mau ke swalayan ya?”

Suami : Ya... engken ada kal titip beli?

“Ia....bagaimana ada yang akan titip dibelikan?”

Istri : Nggih, tumbasang tiang roti siki “Ya, belikan saya roti satu.”

Suami : To gen, sing ade ne lenan kal beli?

“Itu aja, tidak ada yang lain yang mau di beli?

Istri : Nggih, men kenton tumbasang tiang siki susu kental manis

“Ya, kalau begitu belikan saya satu susu kental manis”

(11)

8 Suami : Cukup a besik?

“Cukup satu?”

Istri : Cukup

3) Suami : Gung, mani de be medagang, ajung kal mulih “Gung, besok jangan dah jualan, ajung mau pulang”

Istri : Ah, tiang jagi madolan manten, mase benjang tiang ten budal “Ah, saya mau jualan saja, juga besok saya tidak ikut pulang”

Suami : Engken seh gung, jeg bengkung sing dadi orin

“Bagaimana sih gung, bandel sekali tidak bisa dikasi tahu”

Istri : Nggih, men kenten benjang tiang sareng budal “Ya, kalau begitu besok saya ikut pulang”

Suami : Men alit-alite kan masuk mani, kal kalin ye?

“Kan anak-anak sekolah besok, bagaimana mau di tinggal mereka?”

Istri : Bangeyang alit-alite sareng Bu Ayu driki “Biarkan anak-anak bersama Bu Ayu di sini”

4) Istri : Jung, durus ngerereh tukang, niki di dapur bocor?

“Jung, jadi mencari tukang, ini di dapur bocor?

Suami : Payu. Mani “Jadi. Besok”

Istri : Sekalian niki ring warung mase bocor “Sekalian ini di warung juga bocor”

Suami : Ya

5) Suami : Nyen ne ngelah bajune mekacakan di ruang tamu?

“Siapa ini yang punya nasi berserakan di ruang tamu?

Istri : Niki kuacane alit-alite.

“Ini anak-anak baru habis makan”

Suami : Dong jemak anake

“Kenapa tidak dibereskan”

Istri : Nak wau alite-alite ambilang tiang ten kanggeyange “Tadi anak-anak saya ambilkan tidak mau”

Suami : Men be sing kanggoange jemakang ane lenan “Kalau sudah tidak mau ambilkan yang lain”

Istri : Oh ya, Jung benjang men ampun gajian tumbasang Gung Adi kaos “Oh ya, Jung besok kalau sudah gajian belikan Gung Adi kaos kaki, ragane ampun ten medue kaos kaki

“kaki, dia sudah tidak punya kaos kaki”

6) Suami : Bu, dije kal jang gulane?

“Bu, dimana ditaruh gulanya?”

Istri : Dije nggih, oh drike ring lemari gantunge ring pewaregan “ Dimana ya, oh di sana di lemari gantung di dapur”

Suami : Pak dijane? Jik be di paon ne, apa wadahne?

“Di mananya?” Ajik sudah di dapur ne

(12)

9

Istri : Nike napi ring pewaregan mewadah toples merah “Itu apa di dapur, yang tempatnya toples merah”

7)

Istri :

Jik, benjang Ajik ke sekolahne Gus De nggih, ada rapat Wali Murid

“Jik, besok Ajik ke sekolahnya Gus De ya, ada rapat wali murid”

Suami : Mani ajik sing ngidang, ada meeting di kantor semengan.

“Besok ajik tidak bisa, ada meeting di kantor pagi”

Istri : Tiang mase benjang ten ngidang, ada meeting di kantor pusat “Saya juga besok ndak bisa, ada rapat tutup buku di kantor pusat”

Suami : Men keto Manik telpon, ia orin ke sekolah “Kalau begitu Manik telpon, dia suruh ke sekolah Istri : Nggih

8) Suami : Bu, yen kal ke peken mani beliang ajik nasi kuning “Bu, kalau ke pasar besok belikan ajik nasi kuning”

Istri :

Nggih men tiang benjang ke pasar, mangkin uwon sajan bayun tiange

“Ya kalau saya besok ke pasar, sekarang lemes sekali badan saya”

Suami : Men engken, kal ke dokter atehange ye?

“Bagaimana, mau ke dokter ayo saya anter”

Istri : Ten men ben mani ten luungan wau atehang ke dokter “Tidak kalau besok belum baikan baru anter ke dokter”

Suami : Ae... men nyak mani luungan, men sing?

“ Ia... kalau besok mau baikan kalau tidak?”

9) Istri : Jik, benjang taun baru ngiring je merike melancaran ke Bedugul “Jik, besok tahun baru ayo ke sana main ke Bedugul”

Suami : Aduh males macet, kal ngujang keme kaden be taen ke Bedugul “Aduh males macet, ngapain kesana kan sudah pernah ke Bedugul”

Istri : Mengenang masa lalu “Mengenang masa lalu”

Suami : Ingetang deh ragane suba tua, emangne melali jeg pang ke Bedugul “Inget dirimu sudah tua, memangnya kalau main biar ke Bedugul”

Istri : Emang kalau sudah tua ten dados mengenang masa lalu “Emang kalau sudah tua tidak boleh mengenang masa lalu”

Suami : Ha...ha...

10) Suami : Bu, mani tukange payu megae. Ingetang meli jaja jak be liunin

“Bu, besok tukangnya jadi bekerja. Ingetin beli jajan dan ikan yang banyak.”

Istri : Nas jinahe, tiang ten medue jinah.

“Minta uangnya, saya tidak punya uang”

Suami : Mare tanggal 25, be telah pise?

“Baru tanggal 25, sudah habis uangnya?”

Istri : Sing nawang engken jani mekejang be pade mael (ngomel sendiri)

“Tidak tahu apa sekarang semua sudah pada mahal”

(13)

10

Suami : Nah monto gen be ngomel, neh pis!. Men engken kuang?

Ya segitu aja sudah ngomel, nih uang!. Kalau segitu kurang?”

11) Istri : Jung, tolong jebos tiang, ambilang piring “Ajung, tolong saya sebentar, ambilkan piring”

Suami : Ape jemakang piring?

“Apa piring?”

Istri : Nggih, tiang jagi ngajeng.

“Ya, saya mau makan”.

Suami : Nah, milu sik ngajeng, ape bene?

“ Ya, ikut satu makan, apa ikannya?”

Istri : Tuni tiang masak ulam siap sit-sit “Tadi saya masak ikan ayam suir-suir”

12) Suami : Yu, cen kopine?

“Yu (Dayu), mana kopinya?”

Istri : Cen-cen niki, wau seduh tiang “ Mana-mana ini, baru saya seduh”

Suami : Sekalian jak jajanne ya?

“Sekalian sama jajannya ya?”

Istri : Nggih, tapi kanggeang sanganane godoh.

“Ya, tapi kanggoin jajanya pisang goreng”

13) Istri : Pak, tiang dot sareng rujak kuah pindang “Pak, saya pingin sama rujak kuah pindang”

Suami : Ben jep beliange je di Bu Agung, ape bin dotang?

“Sebentar saya belikan di Bu Agung, apa lagi yang diinginkan?”

Istri : Makasi “Makasi”.

14) Istri : Pak, tolong ateh tiang ke kantor nggih “Pak, tolong anter saya ke kantor ya”

Suami : Kok tumben nagih atehang.

“Kok tumben minta di anter”

Istri : Ia nih, awak tiange lemes ajan “ Ia nih, badan saya lemes sekali”

Suami : Ya, tapi nyanan sore tiang sing nyidang ngateh mulih, nyak “Ya, tapi nanti sore saya tidak bisa nganter pulang, mau ngantos kanti jam 8

menunggu sampe jam 8”

Istri : Nggih bangiang ampun, nyanan tiang budal ajak Santi “Ya biarin dah, nanti saya pulang bersama Santi”

Suami : Nah mai nae “Nah kesini”

15) Suami : Bu, tulungin jep gaenang mie goreng

“Bu, tolongin sebentar bikinkan mie goreng”

(14)

11

Istri : Nika tiang ken ampun ngerateng, malih mekarya mie?

“Itu saya kan sudah masak, lagi buat mie?”

Suami : Med, masak ane keto gen tiap hari “Bosan, masak seperti itu aja tiap hari”

Istri : Nggih, jantos jebos, dagingin jangan sareng taluh “ Ya tunggu sebentar, diisi sayur sama telor”

Suami : Jukut jak taluh be, pang jaen “Sayur dan telor, biar enak”

16) Suami : Man, gaenang jep kopi jak jaja ne beli busan di peken

“Man, tolong buatkan kopi dengan jajan yang di beli tadi di pasar”

Istri : Mangkin dumun, ten cingakin niki tiang kari nyiramin dayu gek, ampun tengai, pedalem nak alit ampun arip

“Sebentar dulu, tidak dilihat apa ini masih memandikan dayu gek sudah siang, kasian anak kecil (cucu nya) sudah mengantuk”

Suami : Nah kal ngae pedidi “ Ya akan buat sendiri”

Istri : O mare keto be ngambul, tut gaenang jebos gus aji wedang

“ O baru begitu saja sudah ngambek, tut tolong buatkan Gus Aji Kopi”

17) Istri : Jung, benjang tiang jagi tugas ke luar, mewakili Pak Kabid

“Jung, besok saya akan tugas ke luar (Jakarta), mewakili Pak Kabid”

Suami : Yeh men Ibu tugas ke luar, alit-alit sareng sira di Jero nak pada Ulangan, be meken kenaikan. Ajung bin puan ada tugas masi ke Surabaya?.

“Yee, kalau Ibu tugas ke luar, anak-anak dengan siapa di rumah, semua pada ulangan umum, akan kenaikan kelas. Ajung juga akan tugas ke Surabaya lagi 2 hari.”

Istri : Kudiang men Pak Kabid gelem, nah men keto malih jebos Ibu kal rereh tiang, pang wenten ngawasin alit-alit ulangan. Masi Gung Mirah nak cuti.

“ Bagaimana dong Pak kabid sakit, ya kalau begitu sebentar saya akan jemput Ibu, biar ada yang mengawasi anak-anak belajar ulangan. Toh juga Gung Mirah cuti”

Suami : Nah dadi masi, pedalem nik-nike bakat kalin jak dua nak nu ulangan

“Ya boleh juga, kasian anak-anak di tinggal berdua, karena masih ulangan umum”

18) Suami : Sak, mai enggalin nak mebelanja rame, ne susuk jep pis ne

“ Sak (Desak), sini cepetan orang belanja rame, ini ambilkan kembalian uang nya”

Istri : Duh uyut gen ne Dewa Aji, sing nawang nak nu ngadukang lawar apa di paon, jeg nguel gen gaene

“ Duh ribut aja kerjaan nya Dewa Aji ini, gak tau apa saya di belakang lagi mencampur lawar di dapur, ngomel aja kerjaan nya”

Suami : Kaden je ngudiang, ngingkrek di paon ngorta tepuk, nah ne susuk malu sing ada

pis cenik dini

(15)

12

“ Kirain ngapain, diem di dapur tak liat ngobrol, ya ini carikan kembalian uang kecil, di warung tidak ada uang kecil untuk kembalian”

19) Istri : Jung, benjang tiang jak Gung Gek kal kundangan ke Puri Grenceng, banggiang ampun Supir ne ngiring, uwon tiang jak Jung, to alit-alite cerewet ajan, ked ditu megenep tagihe

“ Ajung, besok saya akan kundangan dengan Gung Gek ke Puri Grenceng, biarkan dah supir yang mengantarkan, malas saya ngajak Ajung, anak-anak begitu cerewetnya malas saya, tar sampai di sana minta belanja macam-macam”

Suami : Nah to alit ajak, nak mani ye sing luas. Tamune be tuni semeng cek out

“ Ya itu alit suruh nemenin, besok dia tiang pergi. Tamu nya sudah tadi pagi cek out”

Istri : Ye alit ajak tiang, gung wah nyen nyemput. Keto Ibu ne kal ajak kundangan, nak alit gen ne cager nyemput.

“ Ye kalau alit saya ajak pergi, siapa yang akan menjemput Gung Wah, dia aja yang paling handal di suruh jemput”

Suami : Nah, mani tiang ne nyemput Gung Wah

“ Nah, besok saya yang akan jemput Gung Wah”

Istri : Men di kantor mani sing ada gae?

“ Trus di Kantor tidak ada kerjaan?

Suami : Kalin je malu kejep, jeg lebihan itunan kene sing keto sing

“ Tinggal dulu sebentar, kebanyakan perhitungan, ini tidak, itu juga tidak”

Istri : Nggih, nggih pang beneh gen, pang sing mani tiang mejalan ajung uyut kene keto

“ Ya...ya... biar bener saja, biar besok saya jalan ajung ribut begini begitu”

20) Suami : Bu, be lebeng nasi ne? Busan ugas kalin ke kamar mandi nak be ngecuk nasi. Be lue ne, kal mejalan nagih.

“ Bu, sudah matang kah nasi ya? Tadi sewaktu tak tinggal ke kamar mandi, sudah ngecuk nasi. Sudah laper banget ne, sudah mau jalan nagih”

Istri : Ten uning, nu ngae jukut ne. Cingakin pedidi.

“ Gak tau, masih buat sayur. Liat sendiri”

Suami : Haruh apa kaden gaene uli tuni, jeg ngae jukut jak be gen atiban

“ Aduh apa aja sih yang di buat, dari tadi buat sayur dan lauk saja lama banget”

Istri : Niki didian masak, pang tawang ken-ken rasane masak anggon jak liu

“ Ne masak sendiri, biar tahu bagaimana rasa nya masak untuk banyak orang”

21) Istri : Ngurah benjang kal tamasya, ajik bisa nemenin soalnya dik Ita agak anget

“ Ngurah, besok akan tamasya, Ajik bisa nemenin soalnya adik Ita agak demam badannya”

Suami : Emang harus atehang apa? Uwon ajan, ngajak Ibu-ibu didian bapak-bapak

“ Emang harus di anterin apa? Malas banget, dengan Ibu-ibu sendirian Bapak- bapak.

Istri : Men anak TK masak di lepas sendiri?

“Men anak TK masak sendirian?

Suami : Bu gek ne orin ngateh napa sing dadi?

(16)

13

“ Bu gek nya di suruh nemenin bagaimana, tidak bisa kah?

Istri : Dadi, ngudiang sing yang penting ada ne ngateh gen

“ Boleh, kenapa tidak yang penting ada yang menemani”

22) Suami : Man, tuni bu Yanti mai, mani mesen jaja lapis jak pastel, engken nyidaang ngaenang?

“Man, tadi Bu Yanti datang besok pesen jajan lapis dengan pastel. Bagaimana bisa buatin?

Istri : Kude kone ngae? Jam kude kal juange?

“ Berapa katanya pesen? Jam berapa akan diambil.

Suami : Jam 12

“ Jam 12”

Istri : Nggih “ Ya”

23) Istri : Jik, benjang tolong Ibu anter ke Wangaya kontrol, tensine menek kayakne nika, nak sirep gen uli tuni sanja, nak nikaang duurne sakit.

“Ajik (bapak), tolong besok anterin Ibu ke rumah sakit Wangaya, kayaknya tensinya turun itu, dari tadi sore tidur aja

Suami : Nggih, Ibu ne nyemput Gung Dika sing tawang jam kude mani kaden suud di rumah sakit

“ Ya, tapi Ibu besok yang jemput Gung Dika. Gak tahu besok jam berapa akan selesai di rumah sakit”

Istri : Nggih, sambilang tiang kal meli baju sekolah ne Gung Dika sampun kelet

“Ya, sekalian saya akan beli seragam sekolahnya Gung Dika semua sudah sesek”

24) Suami : Sak de, mani ada pesenan nasi beguling bungkus 50, nasi betutu 25, jak jaja campur 100. Pegawai Pemda ada acara ulang tahun. Jam 11 ingetin lawarne pisah, pang sing masem.

“ Sak Ade, besok ada pesanan nasi babi gulin g 50 bungkus, nasi betutu 25 bungkus, dan jajan campur 100 kotak. Pegawai Pemda ada acara ulang tahun.

Jam 11 diambil, inget lawar nya dipisahkan biar tidak basi”

Istri : Nggih “ Ya”

25) Istri : Jung, benjang hari minggu nak gotong royong di pura. Mekira tetoyan nak mereresik di Pura, ibu-ibuk ne ngayah nyait.

“Ajung, besok hari minggu akan ada gotong royong di Pura. Karena akan ada odalan, jadi bersih-bersih di Pura, ibu-ibu nya kerja buat banten”

Suami : Nggih be nawang telpune san jak Pak Darma.

“Ya sudah di telpun tadi oleh Pak Darma”

Istri : O ampun ye uning, kaden tiang nak durung nawang

“O sudah tau toh, saya kira belum tau”

Berdasarkan data di atas, maka dapat dilihat bahwa percakapan suami-istri sehari-hari di

kalangan triwangsa lebih banyak menggunakan bahasa Bali halus, walaupun penggunaan bahasa

(17)

14

Bali halus lebih banyak digunakan oleh para istri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 1 Penggunaan bahasa Bali Halus oleh Suami-Istri

No Suami Istri Makna Sama Beda

1 Jep Jantos Tunggu - +

2 Beli Tumbasang Belikan - +

3 A besik Siki Satu - +

4 Mani Benjang Besok - +

5 Budal Budal Pulang + -

6 Alit-alit Alit-alit Anak-anak + -

7 Payu Durus Jadi - +

8 Ngelah Medue Punya - +

9 Baju Kuace Baju - +

10 Dije Dije Dimana + -

11 Paon Pewaregan Dapur - +

12 Ngidang Ngidang Bisa +

13 Ateh Ateh Antar + -

14 Luungan Luungan Baikan + -

15 Keme Merike Ke sana - +

16 Melali Melancaran Melancong - +

17 Pis Jinah Uang - +

18 Jemakang Ambilang Ambilkan - +

19 Medagang Madolan Berjualan - +

20 Ngajeng Ngajeng Makan + -

21 Cen Cen Mana + -

22 Be Ulam Ikan - +

23 Dot Dot Pingin - +

24 Nyanan Nyanan Nanti + -

25 Mulih Budal Pulang - +

26 Gaenang Mekarya Buat - +

(18)

15

27 Jukut Jangan Sayur - +

28 Taluh Taluh Telur + -

29 Masak Ngerateng Masak - +

30 Jaja Sanganan Jajan - +

31 Nawang Uning Tahu - +

32 Mani Benjang Besok - +

33 Ngateh Ngateh antar + +

Berdasarkan ke tiga puluh (33) data di atas, maka dapat dilihat bahwa beda bicara antara suami dan istri adalah (23) atau sebesar 66,6 %, sedangkan sisanya (10) atau sebesar 33,3 % percakapan antara suami-istri tersebut menggunakan bahasa Bali halus atau bahasa yang sama yang diucapkan keduanya.

Tabel 2 Penggunaan Bahasa Indonesia-Inggris pada Suami-Istri

No Suami Istri Makna Sama Beda

1 Swalayan Swalayan Swalayan + -

2 Ya Ya Ya + -

3 Cukup Cukup Cukup + -

4 Kantor Kantor Kantor + -

5 Meeting Meeting Rapat + -

Jika di lihat dari tabel di atas, maka penggunaan bahasa Indonesia dalam percakapan

sehari-hari antara pasangan suami-istri cukup banyak, dan hampir semua perkataan mereka

sama. Namun tidak menutup kemungkinan yang lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia

dalam kehidupan sehari-hari adalah kaum Istri. Ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya

pergaulan Istri lebih luas dibandingkan Suami, atau Istri lebih cepat menerima perubahan, dan

yang terakhir status dan pendidikan Istri lebih tinggi dibandingkan Suami. Belakangan ini,

penggunaan bahasa Bali terutama bahasa Bali halus sudah sangat jarang digunakan. Ini

disebabkan karena adanya arus perubahan yang cukup pesat, meskipun mereka berasal dari kaum

yang berkasta (triwangsa). Kebiasaan yang di dengar oleh anak-anak mereka dalam pergaulan

sehari-hari yang menggunakan bahasa Indonesia mengakibatkan sebagian besar anak-anak di

(19)

16

daerah perkotaan ataupun daerah pedesaan sudah sangat jarang menggunakan bahasa Bali. Jika dilihat lebih jauh, maka kebanyakan Istri secara disadari atau tidak lebih banyak menggunakan bahasa atau tuturan yang lebih sopan dalam berbicara baik dengan suami ataupun dengan anggota keluarga yang lain.

Penelitian tentang penggunaan bahasa Suami-Istri pada golongan triwangsa ini merupakan penelitian dialektologi. Namun jika dilihat dari percakapan seperti pada contoh 1—

15, maka penelitian ini mirip dengan penelitian sosiolonguistik. Karena dalam penelitian ini merupakan penelitian interseksi antara kajian linguistik dan kajian sosial budaya. Berdasarkan pertimbangan di atas maka contoh-contoh di atas dapat pula di analisis secara sosiolinguistik.

Dari 15 data di atas akan dibahas beberapa contoh analisis data secara sosiolinguistik, agar dapat dilihat perbedaannya. Berikut ini penjelasannya.

Pada contoh (1) percakapan antara suami-istri agung merupakan bentuk perintah langsung, suami kepada istrinya yang menyuruh istrinya untuk menyetrika baju kantor. Padahal pada saat percakapan itu terjadi istrinya sedang memasak sarapan untuk anak pertama mereka.

Namun suaminya menginginkan menggunakan baju yang lain. Sedangkan pada contoh (2) merupakan bentuk perintah yang tak langsung dari istri kepada suaminya. Istri menayakan mau kemana kepada suaminya. Dan istrinya mengharapkan dibelikan roti di swalayan. Dari kedua percakapan di atas terlihat bahwa meskipun di antara suami-istri tersebut berasal dari golongan yang sama dan memiliki hubungan persaudaraan yaitu Anak Agung, tetap saja ada perbedaan penggunaan bahasa antara suami dan istri. Istri menggunakan bahasa yang lebih halus jika hendak berbicara dengan suaminya, namun tidak demikian halnya dengan sang suami

Pada contoh 3 dan 10 di atas dapat dilihat bahwa percakapan tersebut terjadi ketika Suami pulang kantor dan menginginkan istrinya agar tidak berjualan besok pagi, sebab ia (suami) akan pulang kampung ke Gianyar. Namun istrinya tetap menghendaki berjualan dengan alasan ia tidak ikut pulang kampung. Sehingga suami menyebut istrinya bengkung “bandel”.

Bentuk kata ini menunjukkan bahwa adanya pernyataan yang bertentangan dengan disertai intonasi nada yang tinggi. Sama halnya dengan contoh 10, percakapan itu terjadi ketika suami mengatakan kepada istri bahwa besok akan ada tukang yang berkerja memperbaiki rumah.

Suami menginginkan istri membeli jajan dan daging yang banyak, namun istri membantah secara

halus sambil ngomel dengan mengatakan ‘nas jinahe, tiang ten medue jinah’ “minta uangnya,

saya tidak punya uang”. Hal yang sama ditanggapi oleh suami sambil menjawab dengan nada

(20)

17

dan intonsi yang tinggi dengan mengatakan mare tanggal 25 be telah pise? “baru tanggal 25 sudah habis uangnya?”. Namun setelah mendengar omelan istrinya, maka suami akhirnya memberikan uang yang diminta oleh istrinya.

SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN

Penelitian ini merupakan penelitian tentang dialektologi terutama dialektologi sosial yang membahas tentang gender. Jika di lihat berdasarkan data-data di atas yang menggunakan bahasa sehari-hari antara pasangan suami istri, maka penelitian ini sekilas mirip dengan penelitian sosiolonguistik sehingga terjadi ketumpang tindihan antara keduanya. Ini disebabkan karena kajian ini merupakan bentuk kajian interseksi antara kajian linguistik dan kajian sosial budaya.

Dalam dialektologi sosial, gender diperlakukan sebagai variabel primer, artinya bahwa adanya perbedaan antara bahasa laki-laki dan perempuan yang dijadikan fokus dalam suatu komunitas sosial dan regional.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat dilihat bahwa perbedaan penggunaan bahasa pada Suami-Istri terutama pada kalangan triwangsa yang menggunakan bahasa Bali Halus sangat besar. Hal ini terbukti bahwa pada bahasa yang digunakan oleh suami ketika berbicara kepada istri lebih banyak menggunakan bahasa Bali biasa, sedangkan pada istri lebih banyak menggunakan bahasa Bali halus. Perbedaan dalam pilihan bahasa antara laki-laki dan perempuan berkisar dari pola-pola intonasi sampai pada leksikal spesifik (Lakoff, 1975). Penutur wanita cenderung berbicara secara benar, baik dari sudut aturan gramatikalnya maupun dari pemenuhan aturan sosiokulturalnya ( Trudgill, 1972). Selanjutnya Foley (1977), mengatakan bahwa dalam praktek kebahasaan perbedaan yang siginifikan muncul antara tuturan pria dan wanita.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya perbedaan penggunaan bahasa di antara keduanya yaitu (1) pergaulan Istri lebih luas dibandingkan Suami, (2) Istri lebih cepat menerima perubahan, dan yang terakhir (3) status dan pendidikan Istri lebih tinggi dibandingkan Suami.

4.2 SARAN

Penelitian tentang pemakaian bahasa di kalangan suami-istri yang memiliki status sama

yaitu kaum triwangsa merupakan penelitian yang baru. Dikatakan baru karena yang selama ini

(21)

18

meneliti tentang pemakaian bahasa sehari-hari di kalangan suami istri dilakukan oleh para peneliti linguistik terutama oleh kaum sosiolonguis.

Di sadari atau tidak penelitian ini sangat jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik yang membangun penulis butuhkan untuk kesempurnaannya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bawa, I Wayan. 1983. “Bahasa Bali di Daerah Propinsi Bali: Sebuah Analisis Geografi Dialek”.

Disertasi. Jakarta:Universitas Indonesia

Dhanawaty, Ni Made. 2002. “Variasi Dialektal Bahasa Bali di Lampung Tengah”. Disertasi:

Program Pasca Sarjana UGM Yogyakarta.

Dhanawaty, Ni Made. 2005. “Sekilas tentang Lingkup Kajian Dialektologi”. Linguistika, Maret 2005 Vol. 12 Denpasar.

Dhanawaty, Ni Made dkk. 2005. “Cerminan Jender Dalam Sistem Sapaan Bahasa Bali. Laporan Penelitian. Pusat Studi Wanita. Denpasar.

Fakih, Mansour Dr. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Sudaryanto. 1982. Metode Linguistik dan Kedudukannya, Aneka Jenisnya dan Faktor Penentu Wujudnya. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.

Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

(22)

19

Gambar

Tabel 1 Penggunaan bahasa Bali Halus oleh Suami-Istri
Tabel 2 Penggunaan Bahasa Indonesia-Inggris pada Suami-Istri

Referensi

Dokumen terkait