1
PEMAKAIAN BAHASA BALI DIKALANGAN SUAMI-ISTRI PADA GOLONGAN TRIWANGSA DI DAERAH PERKOTAAN: KAJIAN DIALEKTOLOGI GENDER
Oleh:
1. Putu Evi Wahyu Citrawati (eviwahyu78@gmail.com) 2. I.G.A Aryani (ig_aryani@yahoo.com)
3. Isnu Maharani (isnu.maharani@yahoo.com) RINGKASAN
Bahasa Bali dibedakan atas dua dialek, yaitu dialek Bali Aga, dan dialek bali Daratan, yang masing-masing memiliki ciri subdialek tersendiri. Berdasarkan dimensi sosial bahasa Bali mengenal adanya sistem sor-singgih yang erat kaitannya dengan perkembangan masyarakat bali yang mengenal adanya sistem wangsa yang dibedakan atas golongan triwangsa (Brahmana, Ksatria, dan Weisia), dan golongan Sudra. (Sulaga dkk, 1996:1-2).
Pada penelitian ini yang akan dibicarakan adalah tentang dialektologi sosial khususnya masalah gender, bukan tentang pemakaian bahasa dalam kelas sosial. Walaupun secara tidak langsung berhubungan dengan penelitian sosiolinguistik. Gender didefinisikan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun secara kultural (Fakih, 1996:9-10). Sebaliknya, melalui dialektika, konstruksi sosial gender yang terasosiasikan secara evolusional dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin.
Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak menimbulkan suatu ketidakadilan. Namun perbedaan gender dapat mengarah kepada ketidakadilan terutama perlakuan terhadap kaum perempuan. Perbedaan dalam pemilihan bahasa antara laki-laki dan perempuan berkisar pada pola-pola intonasi sampai pada leksikal spesifik. Penutur perempuan biasanya cenderung berbicara lebih benar, baik dari sudut gramatikalnya, maupun dari pemenuhan aturan sosial kebahasaanya.
Penelitian ini akan dilakukan pada golongan kaum tri wangsa di daerah perkotaan, terutama di daerah Gianyar. Sampel akan diambil di komplek perumahan yang ada di seputaran kota Gianyar.
Kata Kunci : Triwangsa, konstruksi sosial gender, dialektologi.
Abstract
Balinese language is one of local language in Indonesia are well maintain by Balinese society. The existence of Balinese language has quite complex variations because of the sor- singgih or the rules of language determined by the speaker. Sor-singgih or the roles system closely related to the development of Balinese society which known wangsa or clan system called group of triwangsa. Therefore, the use of language between triwangsa groups is different with the language outside of the group in Balinese society.
The study aimed at describe about social dialectology especially concerning with gender
case. Gender defined as a characteristic which stick on socially and culturally both male and
female. These constructions evolutionally would emerge a distinction for both of them. The
differentiation can be seen from the use of language. The language which is used by male is
2
different with the language that is used by female both from the grammar point of view and its intonation.
Keyword: Language, dialectology, gender.
PENDAHULUAN
Bahasa Bali adalah salah satu bahasa daerah di negara Indonesia yang dipelihara dengan baik oleh masyarakat penuturnya, yaitu etnis Bali. Bahasa Bali sebagai bahasa ibu atau bahasa pertama bagi sebagian masyarakat Bali, dipakai secara luas sebagai alat komunikasi dalam berbagai aktivitas si dalam rumah tangga dan di luar rumah tangga yang mencakupi berbagai aktivitas kehidupan sosial masyarakat Bali.
Keberadaan bahasa Bali memiliki variasi yang cukup rumit, karena adanya sor-singgih yang ditentukan oleh pembicara, lawan bicara, dan hal-hal yang dibicarakannya. Secara umum variasi bahasa Bali dapat dibedakan atas bahasa Bali Kuno atau yang sering disebut dengan bahasa Bali Mula atau bahasa Bali Aga, bahasa Bali Tengahan atau Kawi Bali, dan bahasa Bali Kepara yang sering disebut bahasa Bali Baru atau bahasa Bali Modern.
Secara regional bahasa Bali dibedakan atas dua dialek, yaitu dialek Bali Aga, dan dialek bali Daratan, yang masing-masing memiliki ciri subdialek tersendiri. Berdasarkan dimensi sosial bahasa Bali mengenal adanya sistem sor-singgih yang erat kaitannya dengan perkembangan masyarakat bali yang mengenal adanya sistem wangsa yang dibedakan atas golongan triwangsa (Brahmana, Ksatria, Weisia) dan golongan Sudra (Sulaga dkk, 1996:1-2).
Dengan adanya sistem wangsa seperti di atas, maka penggunaan bahasa Bali oleh masyarakat yang menduduki golongan Triwangsa akan berbeda dengan golongan masyarakat Sudra. Pada golongan triwangsa akan menggunakan bahasa Bali halus, sedangkan bagi masayarakat kebanyakan atau masyarakat sudra bahasa Bali yang digunakan adalah bahasa Bali kepara atau bahasa Bali kasar. Ada hal yang menarik di masyarakat Bali, apabila orang sudra berbicara dengan orang dari golongan triwangsa, maka kaum sudra biasanya akan menggunakan bahasa Bali halus, namun pada golongan triwangsa berbicara dengan kaum sudra tetap menggunakan bahasa Bali kasar.
Namun, dewasa ini penggunaan bahasa Bali bagi golongan triwangsa sudah mengalami
pergeseran, dalam arti bahwa bagi mereka para golongan triwangsa sudah tidak terlalu fanatik
dalam menggunakan bahasa Bali halus apabila berbicara dengan lawan bicaranya yang bukan
3
berasal dari golongan mereka. Begitu pula dengan kaum sudra apabila berbicara dengan golongan triwangsa. Tetapi pada beberapa wilayah tertentu tradisi ini tetap berlaku, terutama di wilayah pedesaan, nuansa perbedaan anatara kedua kaum tersebut tetap kental.
Pada penelitian ini yang akan dibicarakan adalah tentang dialektologi sosial khususnya masalah gender, bukan tentang pemakaian bahasa dalam kelas sosial. Walaupun secara tidak langsung berhubungan dengan penelitian sosiolinguistik. Gender didefinisikan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun secara kultural (Fakih, 1996:9-10). Sebaliknya, melalui dialektika, konstruksi sosial gender yang terasosiasikan secara evolusional dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin.
Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketiadakadilan gender. Tetapi perbedaan gender dapat mengarah kepada ketidakadilan terutama perlakuan terhadap kaum perempuan. Perlakuan tersebut termanivestasi terutama dari bahasa yang digunakan. Bahasa yang digunakan laki-laki berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh perempuan.
Perbedaan dalam pilihan bahasa antara laki-laki dan perempuan berkisar dari pola-pola intonasi sampai pada leksikal spesifik (Lakoff, 1975). Penutur wanita cenderung berbicara secara benar, baik dari sudut aturan gramatikalnya maupun dari pemenuhan aturan sosiokulturalnya ( Trudgill, 1972). Selanjutnya Foley (1977), mengatakan bahwa dalam praktek kebahasaan perbedaan yang siginifikan muncul antara tuturan pria dan wanita.
Berdasarkan latar belakang di atas ada beberapa permasalahan yang perlu dijawab melalui penelitian ini. Masalah tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.
1) Bagaimanakah bentuk pemakaian bahasa Bali di kalangan suami-istri dari golongan triwangsa yang sama di daerah perkotaan?
2) Berapa persenkah perbandingan pemakaian bahasa Bali halus oleh Suami dibandingkan oleh para Istri?
TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN 1 Tinjauan Pustaka
Penelitian linguistik di beberapa masyarakat di dunia menunjukkan adanya bukti bahwa
bahasa laki-laki dan bahasa perempuan berbeda. Dalam beberapa kasus, perbedaan ini cukup
4
besar dan cukup jelas, namun perbedaan ini terkadang tidak tampak secara kasat mata. Hasil penelitian yang menunjukkan adanya perbedaan ini dianggap sebagai hal yang sah dan wajar.
Penelitian tentang bahasa gender telah banyak dilakukan oleh para peneliti baik dari dunia timur ataupun dunia barat. Ada beberapa peneliti yang telah meneliti tentang gender antara lain oleh Smith (1992), Trudgil (1983), Holmes (1992), dan yang terakhir adalah penelitian tentang pengkaitan bahasa Bali dan Gender (Padmadewi, 2005).
Smith (1992) melakukan penelitian di Jepang yang dilakukan terhadap wanita dengan tujuan untuk menganalisis penggunaan direktif bagi laki-laki dan perempuan yang ada dalam posisi pemimpin. Pengumpulan data dilakukan dengan cara interviu terhadap wanita profesional perkotaan. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa wanita tidak pernah punya kesulitan dalam berkomunikasi dengan bawahan baik itu pria maupun wanita sepanjang dia lembut, gentle, terbuka dan lebih menekankan solidaritas di atas kekuasaan.
Pengambilan data dalam penelitian Smith juga dilakukan terhadap tukang masak dan tukang kayu dalam televisi pendidikan. Data diambil dari dua pertunjukan yaitu (1) program acara masak dan (2) acara pekerjaan kayu untuk rumah. Program ini dipandu oleh instruktur perempuan, sedangkan program kayu untuk rumah dipandu oleh laki-laki yang sebaya dengan instruktur masak, dan keduanya berbahasa Jepang. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan video tape, segmen masing-masing 10 menit ditranskripsikan dan direktif yang digunakan oleh masing-masing instruktur dicatat dan dianalisis. Hasil temuannya berupa penggunaan direktif tidak langsung yang dipakai oleh instruktur wanita sangat sopan bahkan terlalu sopan. Jadi hipotesis bahwa wanita menggunakan bahasa lebih sopan didukung dalam penelitian ini. Instruktur laki-laki menggunakan perintah/ direktif jauh lebih langsung dibandingkan dengan instruktur perempuan.
Trudgill (1983) melakukan penelitain yang menghubungkan bahasa Inggris dengan pembicara laki-laki dan perempuan. Dinyatakan bahwa tampak adanya perbedaan yang menonjol tentang variasi bahasa Inggris berdasarkan jenis kelamin datang dari dialek urban di Inggris dan Amerika. Pembicara wanita bahasa Inggris menggunakan bentuk linguistik yang dianggap lebih baik dari laki-laki. Di Detroit, high class speaker menggunakan non-standard multiple negation lebih sedikit (misalnya: I don’t want none) dari lower class-speaker (Trudgil, 1983:84;
Padmadewi 2005:18). Trudgil mengasumsikan bahwa perempuan di dalam masyarakat secara
umum lebih sadar status dibandingakan dengan laki-laki, sehingga mereka menjadi lebih sensitif
5
terhadap signifikasi sosial dari variasi lingual yang berhubungan dengan kelas sosial. Di samping itu, ia juga melihat bahwa ujaran dari kelompok pekerja memiliki konotasi atau asosiasi dengan maskulinitas bahwa laki-laki lebih banyak menggunakan bahasa non-standar dibandingakan dengan perempuan.
Penelitian lainnya adalah penelitian Holmes (1992). Dia menemukan bahwa ada kencendrungan bahwa perempuan Maori memiliki jaringan sosial lebih tinggi dari laki-laki untuk mempertahankan bahasa etnisnya. Hal ini berhubungan dengan peran sosial yang dijalani oleh perempuan di masyarakat, yang lebih banyak berurusan dengan hal-hal domestik tidak hanya menjaga anak-anak sehubungan dengan nilai-nilai dan tradisi kesukuannya. Holmes melihat kekonservatifan ini disebabkan oleh sikap sosial perempuan yang kurang baur dengan masyarakat baru sehingga lebih mempertahankan bentuk bahasa yang lama. Fenomena ini secara universal menunjukkan bahwa secara umum wanita menggunakan bentuk yang lebih baik dibandingkan dengan laki-laki.
Sedangkan Padmadewi (2005) dalam disertasinya yang berjudul “Tuturan Masyarakat Buleleng dan Konstruksi Gender”. Penelitian ini menggunakan teori bahasa dan gender, teori tindak tutur, dan teori power, yang didukung oleh metode wawancara serta metode observasi partisipatori. Hasil yang di dapat menunjukkan bahwa dari strategi linguistik suami-istri menggunakan strategi linguistik yang berbeda untuk tujuan yang sama, strategi linguistik yang sama untuk tujuan yang berbeda, dan strategi linguistik yang sama untuk tujuan yang sama.
Belum ditemukan tulisan tentang upaya mengaitkan gender dengan bahasa Bali. Biasanya suami lebih cendrung menunjukkan posisi superordinat dalam komunikasi, tetapi kadang-kadang juga menunjukkan posisi subordinasi, sementara istri cenderung menunjukkan posisi subordinasi, tetapi juga kadang-kadang sebagai superordinasi. Superordinasi dan subordinasi berhubungan dengan pendidikan. Adanya interaksi pada suami-istri yang berpendidikan tinggi menunjukkan kontinum solidaritas, sedangkan pada suami-istri yang berpendidikan rendah lebih menunjukkan kontinum kekuatan (Padmadewi, 2005:690-693). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dominasi laki-laki pada kehidupan sosial budaya masyarakat Bali.
2 Metode Penelitian
1 Populasi dan Sampel
6
Populasi merupakan sekelompok orang, benda atau hal yang menjadi sumber pengambilan sampel, sekumpulan yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian (KBBI, 1988:659). Populasi penelitian ini adalah semua suami-istri yang ada di daerah perumahan Candra Asri yang berasal dari kalangan Triwangsa. Mengingat luasnya popolasi tersebut, maka perlu diadakan sampel. Sampel diambil dengan teknik purposive sampel, yaitu dengan cara memilih bagian populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 1982:82).
Sampel yang digunakan adalah percakapan suami-istri yang ada di puri candra asri yang bergolongan triwangsa yaitu antara suami-istri Anak Agung dengan Anak Agung, dan suami-istri Ida Bagus dengan Gusti. Dari keseluruhan populasi penutur, diharapkan mendapatkan informasi yang mewakili penggunaan bahasa Bali halus di daerah perkotaan.
2 Metode Pengumpulan Data
Setelah menentukan populasi dan sampel seperti uraian tersebut di atas, kegiatan selanjutnya adalah mengumpulkan dan mengadakan seleksi data. Pada fase ini dibicarakan metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, serta metode dan teknik penyajian hasil analisis data.
Pada tahap pengumpulan data, metode yang relevan yang digunakan adalah metode simak dengan teknik simak libat cakap dan teknik bebas libat cakap, metode cakap, baik dengan teknik cakap tansemuka maupun teknik vakap semuka. Sudaryanto (1988) mengatakan teknik simak libat cakap dapat disejajarkan dengan apa yang di dalam ilmu-ilmu sosial dikenal dengan istilah metode partisipan, sedangkan teknik simak bebas libat cakap dapat disejajarkan dengan metode observasi. Metode cakap dengan teknik cakap tansemuka dapat disejajarkan dengan metode kuisioner dan teknik cakap semuka dapat disejajarkan dengan metode wawancara.
Metode simak akan diperoleh data yang natural, yang menggambarkan pemakaian bahasa
secara wajar. Selain itu, juga dapat diamati secara langsung perilaku verbal dan perilaku sosial
budaya para penutur. Penerapan metode cakap dengan teknik cakap semuka sangat diperlukan
untuk memperoleh kelngkapan data. Wawancara dipandu oleh instrumen penelitian yang di
dalamnya terdapat sejumlah besar pertanyaan yang memerlukan kawaban secara singkat dan
langsung (wawancara tersktruktur), dan juga terdapat pertanyaan yang dirancang untuk
menghasilkan sejumlah percakapan yang cukup panjang atau pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat terbuka, ayang akan terbangun suatu percakapan.
7
Pada tahap selanjutnya adalah menganalisis data. Data dianalisis dengan mengkombinasikan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Dalam melihat perbedaan pola sapaan berdasarkan gender diterapkan metode komparatif. Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian linguistik dan sosial budaya, maka analisis data ini memperhatikan prinsip-prinsip linguistik dan ilmu-ilmu sosial. Dalam perspektif dialektologi sosial, gender sebagai variabel primer, artinya bahwa perbedaan antara bahasa laki-laki dan perempuan dalam sebuah komunitas sosial dan regional menjadi lebih terfokus. Istilah gender digunakan, sebagai oposisi dari jenis kelamin, untuk memperoleh kompleksitas fenomena sosial, budaya, dan psikologikal, yang dikaitkan dengan jenis kelamin (Mc Connel-Ginet, 1988:78; Dhanawaty, 2005:11-12).
Pada tahap terakhir adalah penyajian hasil analisis. Analisis data terakhir dengan ditemukannya kaidah-kaidah walaupun sifatnya sangat sedarhana. (Sudaryanto, 1982). Penyajian hasil analisis data ini menggunakan dua metode, yaitu metode formal dan metode informal.
Metode penyajian formal adalah berupa perumusan dengan tanda dan lambang seperti tambah, kurung, bintang, titik tiga, tanda tanya, tanda panah, kurung biasa, kurung kurawal, kurung siku berpasangan, huruf sebagai singkatan nama, diagram, dan sebagainya. Selanjutnya metode informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1986:16).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemakaian bahasa Bali suami-istri yang di bahas di sini terutama dalam bahasa sehari- hari dan dalam situasi yang tidak formal, sehingga mereka menggunakan bahasa Bali, baik bahasa Bali halus maupun bahasa Bali halus.
1) Suami : Gung, tindesang jep baju kantore!
“Gung, setrikakan sebentar baju kantornya”!
Istri : Nggih, jung jantos dumun, tiang kari ngematiang kompor Ya, Ajung! tunggu sebentar, saya masih mematikan kompor 2) Istri : Jung, kal ke swalayan ya?
“Ajung, mau ke swalayan ya?”
Suami : Ya... engken ada kal titip beli?
“Ia....bagaimana ada yang akan titip dibelikan?”
Istri : Nggih, tumbasang tiang roti siki “Ya, belikan saya roti satu.”
Suami : To gen, sing ade ne lenan kal beli?
“Itu aja, tidak ada yang lain yang mau di beli?
Istri : Nggih, men kenton tumbasang tiang siki susu kental manis
“Ya, kalau begitu belikan saya satu susu kental manis”
8 Suami : Cukup a besik?
“Cukup satu?”
Istri : Cukup
3) Suami : Gung, mani de be medagang, ajung kal mulih “Gung, besok jangan dah jualan, ajung mau pulang”
Istri : Ah, tiang jagi madolan manten, mase benjang tiang ten budal “Ah, saya mau jualan saja, juga besok saya tidak ikut pulang”
Suami : Engken seh gung, jeg bengkung sing dadi orin
“Bagaimana sih gung, bandel sekali tidak bisa dikasi tahu”
Istri : Nggih, men kenten benjang tiang sareng budal “Ya, kalau begitu besok saya ikut pulang”
Suami : Men alit-alite kan masuk mani, kal kalin ye?
“Kan anak-anak sekolah besok, bagaimana mau di tinggal mereka?”
Istri : Bangeyang alit-alite sareng Bu Ayu driki “Biarkan anak-anak bersama Bu Ayu di sini”
4) Istri : Jung, durus ngerereh tukang, niki di dapur bocor?
“Jung, jadi mencari tukang, ini di dapur bocor?
Suami : Payu. Mani “Jadi. Besok”
Istri : Sekalian niki ring warung mase bocor “Sekalian ini di warung juga bocor”
Suami : Ya
5) Suami : Nyen ne ngelah bajune mekacakan di ruang tamu?
“Siapa ini yang punya nasi berserakan di ruang tamu?
Istri : Niki kuacane alit-alite.
“Ini anak-anak baru habis makan”
Suami : Dong jemak anake
“Kenapa tidak dibereskan”
Istri : Nak wau alite-alite ambilang tiang ten kanggeyange “Tadi anak-anak saya ambilkan tidak mau”
Suami : Men be sing kanggoange jemakang ane lenan “Kalau sudah tidak mau ambilkan yang lain”
Istri : Oh ya, Jung benjang men ampun gajian tumbasang Gung Adi kaos “Oh ya, Jung besok kalau sudah gajian belikan Gung Adi kaos kaki, ragane ampun ten medue kaos kaki
“kaki, dia sudah tidak punya kaos kaki”
6) Suami : Bu, dije kal jang gulane?
“Bu, dimana ditaruh gulanya?”
Istri : Dije nggih, oh drike ring lemari gantunge ring pewaregan “ Dimana ya, oh di sana di lemari gantung di dapur”
Suami : Pak dijane? Jik be di paon ne, apa wadahne?
“Di mananya?” Ajik sudah di dapur ne
9
Istri : Nike napi ring pewaregan mewadah toples merah “Itu apa di dapur, yang tempatnya toples merah”
7)