HUKUM WARIS ADAT BADUY: MENGUNGKAP KEARIFAN LOKAL BUDAYA DAN MATEMATIKA
(Sebuah Kajian Ethnomathematics)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian
dari Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Matematika
Oleh
Salwa Nursyahida
0900700
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG
Hukum Waris Adat Baduy:
Mengungkap Kearifan Lokal Budaya
dan Matematika
(Sebuah Kajian
Ethnomathematics
)
Oleh Salwa Nursyahida
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
© Salwa Nursyahida 2013 Universitas Pendidikan Indonesia
Juni 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
ABSTRAK
Penelitian Ethnomathematics tentang hukum waris adat Baduy ini bertujuan untuk menunjukkan hubungan yang terjadi secara timbal balik antara matematika dengan budaya dan berfungsi untuk mereduksi anggapan bahwa matematika itu bersifat final, permanen, absolut, dan unik, serta mengilustrasikan perkembangan intelektual dari masyarakat Baduy itu sendiri. Metode ethnography dan mutual interrogation dikombinasikan untuk memperoleh hasil penelitian yang tetap menjaga kealamian matematika yang berasal dari pelaku budaya dan menghindari terjadinya dual danger (dekontekstualisasi dan kolonialisasi). Dua sudut pandang yang digunakan untuk mengungkap kearifan lokal budaya dan matematika dalam penelitian ini yaitu penggunaan matematika dan budaya sebagai kerangka acuan dalam proses interogasi sehingga dapat memperkaya hasil yang diperoleh. Penelitian ini mendemonstrasikan bagaimana pengetahuan dalam hukum waris adat Baduy dapat digunakan untuk menginterogasi gagasan-gagasan konvensional yang matematis, sehingga potensi mutual interogation dalam perluasan konsep matematika, yang mana merupakan tujuan dari ethnomathematics itu sendiri terlihat dengan jelas.
ABSTRACT
Ethnomathematics study of the Baduy inheritance laws aims to show the interplay between mathematics and culture, and to reduce assumption that mathematics is final, permanent, absolute and unique, along illustrates the intellectual development from Baduy society itself. Ethnography method and mutual interrogation are adopted and combined to achieve the best result that also keep the naturalness of Baduy’s mathematics and avoid the dual danger (decontextualization and colonization). Two points of view in this study that used are mathematic and culture as a frame of reference in an interrogation process to reveal culture’s and mathematics’s local knowledge. They endeavor to show the
existence of mathematics’s alternative concepts and ideas so may enrich the result that acquired. This research demonstrated how knowledge in Baduy inheritance laws may use to interrogate mathematic’s conventional idea, The study shows the potential of mutual interrogation in broadening the conception of mathematics, which is one of the goals of ethnomathematics
DAFTAR ISI
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat/Signifikansi Penelitian ... 9
E. Struktur Organisasi Skripsi ... 9
BAB II KAJIAN PUSATAKA ... 12
A. Ethnomathematics ... 12
1. Sejarah Ethnomathematics ... 12
2. Paradigma dan Perkembangan Ethnomathematics ... 15
3. Ethnomathematics ... 20
B. Ethnomathematics Mengungkap Budaya dan Matematika ... 23
C. Hukum Adat dan Hukum Waris Adat ... 28
1. Hukum Adat ... 28
2. Hukum Waris Adat ... 29
D. Kehidupan Komunitas Adat Baduy Sebagai Konteks Penelitian ... 31
1. Wilayah Desa Kanekes ... 31
2. Latar Belakang Historis... 36
3. Kondisi Kehidupan Masyarakat Baduy ... 40
BAB III METODE PENELITIAN ... 54
A. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 55
B. Desain Penelitian ... 55
1. Road Map Penelitian ... 56
2. Kerangka Penelitian ... 59
3. Tahapan-tahapan Penelitian ... 61
D. Definisi Operasional... 66
E. Instrumen Penelitian... 67
F. Teknik Pengumpulan Data ... 68
1. Observasi ... 68
Wawancara ... 70
2. Studi Dokumentasi ... 71
3. Studi Literatur ... 72
G. Analisis Data Penelitian ... 73
1. Reduksi Data ... 73
2. Penyajian Data ... 73
3. Interpretasi Data ... 73
H. Validasi Data Penelitian ... 74
1. Triangulasi... 75
2. Kredibilitas Peneliti ... 75
3. Member Check ... 75
4. Audit Trail ... 75
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN PENDAHULUAN.... 76
A. Pemaparan Hasil Penelitian ... 76
1. Pikukuh Masyarakat Adat Baduy ... 76
2. Hukum Waris Adat Baduy ... 89
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 107
1. Kesejajaran Elemen-Elemen Budaya dalam Aturan dan Praktik Hukum Waris Adat ... 111
2. Menggali Konsep Dasar pada Aturan Dan Praktik Hukum Waris Adat Baduy 3. Membuat Model Matematika ... 115
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 131
A. Kesimpulan ... 131
B. Rekomendasi ... 134
DAFTAR PUSTAKA ... 135
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 141
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Penelitian
Pendidikan adalah hal esensial yang sangat berpengaruh hampir di semua
sektor pembangunan suatu negara. Ketika suatu negara memiliki tingkat
pendidikan yang rendah maka hal tersebut akan menghambat rencana dan
kebebasan pembangunan yang berkelanjutan (UNESCO, 2006). Karena salah satu
upaya untuk melahirkan kepedulian dari seluruh elemen masyarakat adalah
sesuatu yang dimediasi oleh pendidikan (Ulum et al., 2013). Salah satu yang
dianggap cukup berpengaruh adalah pendidikan matematika, karena sebuah
negara yang sedang berkembang khususnya dalam perekonomian, membutuhkan
matematika agar dapat secara efisien meletakkan sains dan teknologi di barisan
terdepan pembangunan nasional (Ugwa & Agwu, 2012).
Matematika merupakan pemahaman, perkiraan dan perhitungan
menggunakan data kotemporer, tren dan perkembangan lingkungan (Institute for
Environmental Studies, 1999), sehingga kegiatan melatih pemahaman dan
kemampuan matematika pun perlu dilakukan sebagai salah satu bentuk kontribusi
terhadap pembangunan yang berkelanjutkan. Sebagai salah satu negara yang
berkembang, Indonesia juga perlu membenahi sektor pendidikan termasuk
pendidikan matematikanya. Berdasarkan Programme for International Student
Assessment (PISA) terakhir, kemampuan literasi matematika siswa Indonesia
sangat rendah yaitu hanya menempati peringkat ke-61 dari 65 negara (Nurfuadah,
2013).
Kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan lokal yang bersifat bijaksana,
penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya (Sartini, 2004). Kearifan lokal juga diartikan sebagai pandangan
hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas
pemenuhan kebutuhan mereka (Departemen Sosial RI, 2006). Kearifan lokal
berfungsi dan bermakna dalam masyarakat baik dalam pelestarian sumber daya
alam dan manusia, pemertahanan adat dan budaya, serta bermanfaat untuk
kehidupan (Permana et al., 2011). Education for Sustainable Development (ESD)
atau pendidikan untuk pembangungan yang berkelanjutan bermaksud untuk
memajukan pembelajaran dengan tetap menghormati pengetahuan alami dan
tradisional (kearifan lokal) yang berasal dari suatu budaya, dan bahkan pandangan
serta perpektif alamiah tersebut harus dintegrasikan terhadap program pendidikan
pada semua tingkat yang relevan (UNESCO).
Matematika adalah pertemuan antara ESD dengan realita (Allfrey, 2001).
Pendidikan matematika yang ada di Indonesia pada saat ini bukan berasal dari
budaya Indonesia sendiri, melainkan mayoritas substansi dan teknik
pembelajarannya mengadopsi dari negara luar yang dianggap lebih maju
(western). Padahal memanfaatkan pengetahuan lokal sebagai wadah keunikan
suatu budaya dan kunci pemahaman terhadap lingkungan merupakan kebijakan
yang sesuai dalam pendidikan termasuk pendidikan matematika (UNESCO).
Indonesia sebagai negara multikultur dan multietnik pun memiliki peluang
meningkatkan kualitas matematika dengan mengemasnya melalui budaya.
Pernyataan Alangui (2010) dengan memikirkan berbagai sudut pandang
mendukung tujuan ESD untuk mengintegrasikan antara matematika dan budaya
yaitu:
1. Untuk alasan sosial; di dalam kajian-kajian Sains dan Teknologi sangat sulit
ditemukan sistem pengetahuan matematika yang berasal dari negara-negara
non-Western.
2. Untuk alasan sejarah; matematika hasil pemikiran ilmuwan-ilmuwan Eropa
telah dipaksakan masuk ke dalam pengajaran di negara-negara jajahan, dan
mengesampingkan terjadinya konflik budaya. Lahirnya ide untuk mengkaji
sejarah matematika adalah salah satu bentuk penolakan terhadap kolonialisme
tersebut.
3. Untuk alasan budaya; hasil-hasil dokumentasi dan investigasi terhadap
matematika yang “lain” yang berbeda dengan matematika hasil pemikiran
negara-negara Western.
4. Untuk alasan politik dan pendidikan, melibatkan aspek sosial di dalam
pembelajaran tidak cukup dengan hanya menyinggungnya secara sepintas,
tetapi juga perlu untuk memberikan ruang demokrasi di dalam kelas
matematika. Sehingga terjadi semacam dialog kritis dan terbuka di antara guru
dan siswa dalam rangka memfasilitasi berkembangnya tingkat kreatifitas siswa
untuk memecahkan permasalahan-permasalahan matematis.
Seperti halnya pendidikan, banyak budaya Indonesia yang terkikis oleh
pengaruh-pengaruh budaya asing yang masuk sehingga kealamiannya pun tidak
utuh lagi. Suku Baduy adalah sebuah komunitas adat di Indonesia yang hingga
kini masih mempertahankan proses enkulturasi keutuhan nilai-nilai budaya dasar
yang mereka miliki dan yakini. Mereka menolak semua perubahan yang dianggap
akan mengkontaminasi adat mereka termasuk pendidikan formal, dan segala jenis
bentuk perusakan lingkungan. Pandangan mereka dalam kelestarian lingkungan,
sama dengan pemikiran dalam pembangunan berkelanjutan dimana mereka
beranggapan bahwa kerusakan lingkungan atau perubahan terhadap bentuk
lingkungan akan mengancam sumber kehidupan mereka yang berakibat pada
kelaparan dan kekurangan secara ekonomi (Prihantoro, 2006).
Semua masyarakat Baduy tidak mengenyam pendidikan atau tidak sekolah
karena larangan adat yang mengikat mereka (Triyanto, 2009). Meskipun tidak
seperti masyarakat Indonesia pada umumnya yang mendapatkan pembelajaran
matematika di sekolah, di dalam kehidupan sehari-hari mereka dimungkinkan
adanya unsur-unsur matematika (Nursyahida, 2012). Proteksi diri mereka
terhadap pengaruh luar membuat kearifan budaya dan matematika mereka pun
cenderung masih terjaga dengan baik. Hal ini menjadi objek penelitian yang
menarik untuk mengungkap kearifan tersebut.
Untuk mengintegrasikan budaya ke dalam matematika dapat dilakukan
melalui penelitian Ethnomathematics, yaitu suatu kajian yang meneliti cara
sekelompok orang pada budaya tertentu dalam memahami, mengekspresikan, dan
digambarkan oleh peneliti sebagai sesuatu yang matematis (Barton, 1994).
Ethnomathematics dapat membantu perkembangan ESD sebagai sebuah
paradigma baru dibidang pendidikan (formal, nonformal dan informal) yang
mempertimbangkan 3 dimensi yaitu kesinambungan ekonomi, keadilan sosial
(termasuk kultur dan budaya), dan kelestarian lingkungan secara simultan,
seimbang dan berkelanjutan (Sudibyo, 2009). D’ Ambrosio (2002) menyatakan
terdapat dua alasan utama penggunaan ethnomathematics dalam pendidikan:
1. Untuk mereduksi anggapan bahwa matematika itu bersifat final, permanen,
absolut (pasti), dan unik (tertentu),
2. Mengilustrasikan perkembangan intelektual dari berbagai macam kebudayaan,
profesi, jender, dan lain-lain.
Penelitian Ethnomathematics di Baduy, akan mengilustrasikan
perkembangan intelektual masyarakat Indonesia khususnya Baduy itu sendiri.
Berdasarkan pengamatan aktivitas matematika yang dilakukan pada aktivitas adat
yaitu sistem kepercayaan, upacara dan ritual adat, pikukuh, dan hukum waris adat
Baduy bahwa dimungkinkannya dilakukan penelitian Ethnomathematics di Baduy
(Nursyahida, 2012). Peneliti mengerucutkan objek kajiannya hanya pada hukum
waris adat masyarakat Baduy, karena hukum adat termasuk di dalamnya hukum
waris adat mengatur secara eksplisit menggunakan kearifan lokal budaya dan
matematika yang mereka punya untuk mempertahankan kestabilitasan lingkungan
yaitu mencakup pembagian lahan, dan sumber daya alam yang terkandung di
dalamnya, dan selanjutnya agar dengan adil dapat dikelola ahli waris. Sehingga
secara tidak langsung hukum waris adat Baduy ikut turut mendukung
pembangunan yang berkelanjutan. Sebagaimana dikatakan oleh Jonny Purba
(2005) bahwa ada 5 prinsip utama dalam pembangunan berkelanjutan yaitu:
1. Keadilan antar generasi, maksudnya generasi sekarang menguasai sumber daya
alam yang ada dibumi sebagai titipan untuk digunakan generasi mendatang. Ini
menuntut tanggungjawab kepada generasi sekarang untuk memelihara atau
menjaga peninggalan (warisan) seperti halnya kita menikmati berbagai hak
2. Keadilan dalam satu generasi merupakan prinsip yang berbicara tentang
keadilan antara satu atau sesama generasi yakni tidak adanya kesenjangan antar
individu atau kelompok masyarakat dalam hal pemenuhan kualitas hidup.
3. Pencegahan dini, maksudnya jika terdapat ancaman terjadinya kerusakan
lingkungan yang tidak dapat dipulihkan, tidak ada alasan untuk menunda
upaya-upaya untuk mencegah kerusakan tersebut.
4. Perlindungan keanekaragaman hayati sebagai sumber kesejahteraan manusia.
5. Internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif, biaya lingkungan dan
sosial diintegrasikan kedalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan penggunaan sumber sumber alam.
Dengan adanya matematika dalam kehidupan masyarakat Baduy, maka hal
ini semakin mendukung pernyataan Sumardyono (2004) yang mengatakan bahwa
matematika adalah bagian dari kebudayaan, yang menyebabkan matematika
bersifat universal dan milik semua umat manusia. Namun saat ini di masyarakat
dunia terdapat pandangan keliru tentang matematika yang mengatakan bahwa
matematika sebagai ilmu pengetahuan yang sempurna dan absolut dengan
kebenaran yang objektif, jauh dari urusan kehidupan manusia (Turmudi, 2009).
Pandangan ini membuat matematika seolah-olah menjadi sesuatu yang bahkan
terlepas dari budaya itu sendiri. Faktanya (Turmudi, 2010),
1. Matematika adalah objek yang ditemukan dan diciptakan oleh manusia;
2. Matematika itu diciptakan dan bukan jatuh dengan sendirinya namun muncul
dari aktivitas yang objeknya telah tersedia serta dari keperluan sains dan
kehidupan keseharian; dan
3. Sekali diciptakan objek matematika memiliki sifat-sifat yang ditentukan
secara baik.
Sebuah analisis phenomenograpic terhadap transkip wawancara dengan 22
mahasiswa jurusan matematika sains dilakukan oleh Anna Reid dan Peter Petocz
(2003) untuk mengungkapkan tiga konsep kualitatif yang berbeda tentang
matematika, berikut diurutkan dari yang tersempit hingga batas terluas dari
1. Matematika adalah komponen, mereka memandang matematika sebagai
penyusun dari komponen individu. Mereka fokuskan perhatian mereka
terhadap aktivitas matematika atau aspek matematika yang berlainan, termasuk
dugaan perhitungan, terinterpretasi dalam kegunaan secara umum, namun
komponen tersebut terlihat sebagai bagian investigasi matematika, sebagai
contoh komponen statistik pada sensus penduduk.
2. Matematika sebagai model, mereka melihat matematika sesuatu yang
membangun dan menciptakan model, menerjemahkan beberapa asepek dari
kenyataan terhadap bentuk matematika. Dalam satu sisi, matematika sebagai
model untuk merepresentasikan situasi yang spesifik, misal dalam ranah
produksi, di kasus lain model adalah prinsip yang universal, seperti hukum
gravitasi.
3. Matematika adalah kehidupan, mereka melihat matematika melalui sebuah
pendekatan tentang kehidupan dan sebuah proses berpikir. Mereka percaya
bahwa kenyataan dapat direpresentasikan sebagai sesuatu yang matematis, dan
cara mereka berpikir tentang kenyataan dimediasi oleh matematika. Mereka
membuat koneksi personal yang kuat antara matematika dan kehidupan
mereka.
Penelitian sebelumnya, Anna Reid dan Peter Petocz (2002) menyatakan
bahwa lebih sempit dari pandangan matematika sebagai komponen, terdapat
pandangan lain tentang matematika yaitu:
4. Matematika sebagai teknik, mereka fokus pada matematika atau statistika
yang berisi tentang teknik matematika dan statistika yang terisolasi.
Maksudnya tanpa koneksi antara teknik dan makna pengunaannya dalam
permasalahan matematika atau statistika.
Hal ini mendukung hasil dari penelitian K. Crawford, S. Gordon, J.
Nicholas, and M. Prosser (1994) terhadap siswa sekolah menengah atas yang
hampir sebagian besar dari mereka tidak berencana kuliah di jurusan matematika
mengatakan bahwa pandangan tersempit dari matematika adalah matematika
Bahaya dari pandangan sempit dari matematika akan merambat kepada
pembelajaran Matematika di sekolah sebagai bagian matematika itu sendiri.
Berbagai karaktersitik dan intrepretasi matematika dari berbagai sudut pandang
memainkan peranan dalam pembelajaran Matematika (Sumardyono, 2004).
Kompeksitas masalah pemahaman yang tidak utuh terhadap matematika akan
sering memunculkan sikap yang kurang tepat, bahkan dapat memunculkan sikap
negatif terhadap matematika. Akibatnya pandangan dan pemahaman yang benar
akan matematika harus diperoleh secara menyeluruh apalagi bagi seorang guru
Matematika. Peran guru baik di dalam maupun di luar kelas harus menunjukkan
betapa dekatnya matematika dalam kehidupan dan budaya anak didiknya, atau
dengan kata lain pandangan seorang guru matematika terhadap matematika itu
sendiri harus benar dan menyeluruh agar pembelajaran matematika di dalam kelas
lebih optimal.
Urgensi Ethnomathematics dijelaskan oleh Alan J. Bishop (1997) yang
mengemukan bahwa Ethnomathematics dapat membuat pendidik Matematika
berpikir tentang beberapa gagasan penting sebagai berikut:
1. Interaksi manusia. Ethnomathematics fokus pada aktivitas matematika
dalam masyarakat yang mana sangat luas di luar lingkup sekolah, dan
dapat menggambarkan perhatian terhadap peranan orang-orang selain
pendidik dan siswa yang juga berada di ranah pendidikan matematika
2. Nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Ethnomathematics
menciptakan kesadaran akan aktivtas matematis yang melibatkan
nilai-nilai, kepercayaan, dan pilihan-pilihan yang bersifat pribadi.
3. Interaksi antara matematika dan bahasa, karena bahasa berperan sebagai
jembatan utama ide-ide matematis.
4. Sejarah Matematika. Perspektif budaya terhadap matematika
menghadirkan suasana sejarah matematis yang berbeda dalam
masyarakat yang berbeda pula.
5. Akar dari Kebudayan. Ethnomathematics sebagai titik awal terciptanya
Pada awalnya, alasan melakukan penelitian ini hanya sederhana yaitu rasa
penasaran yang cukup tinggi untuk mengetahui bagaimana matematika dapat
muncul dari sebuah budaya yang merupakan bagian dari ilmu sosial. Ternyata
ketertarikan ini membawa kepada fakta-fakta yang tak terbayangkan sebelumnya
bahwa budaya sangat memainkan peranan penting dan sangat bermakna dalam
matematika bahkan ke dalam pendidikan. Ethnomathematics dipandang dapat
menjembatani antara budaya dan pendidikan sehingga keduanya dapat saling
berperan dalam pengembangan satu sama lain (Ulum et al., 2013).
Ethomathematics berusaha mengungkap fakta-fakta tersebut, Barton (1994)
menyarankan dua tahapan yang harus dilalui yaitu:
1. Menginvestigasi aktivitas matematika yang terdapat dalam kelompok budaya
tertentu,
2. Mengungkap konsep matematis yang terdapat dalam aktivitas tersebut.
Bahkan dalam penelitian terhadap hukum waris adat Baduy ini peneliti
mendapat tantangan baru, yaitu mengungkap konsep matematis dari ranah yang
merupakan irisan antar dua displin ilmu yaitu ilmu hukum dan budaya itu sendiri.
Hukum adat Baduy merupakan bagian dari budaya mereka, namun hukum adat
baduy juga yang mengatur sejauh mana budaya mereka dapat berkembang.
Tantangan ini semakin mengguggah peneliti untuk terjun ke dalamnya, tentunya
dengan harapan akan lahir sebuah solusi terbaik dari permasalahan pendidikan
matematika. Peneliti ingin menunjukkan kepada masyarakat gambaran matematis
yang diperoleh melalui penelitian ini sehingga dapat membuka secara lebar mata
dan pikiran masyarakat, khususnya peneliti sendiri.
B.Identifikasi dan Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang penelitan di atas, serta berdasarkan hasil
pengamatan peneliti sebelumnya yang menyatakan bahwa memungkinkan untuk
dilakukannya pencatatan, pendokumentasian, serta pembukuan tentang nilai-nilai
matematika dan nilai-nilai pendidikan matematika pada pembagian harta waris
masyarakat adat Baduy, maka penelitian ini disusun dengan menggunakan bentuk
budaya yang terdapat pada aturan dan praktik hukum waris adat masyarakat
Baduy?”
C.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap kearifan lokal
matematika yang terdapat pada aturan dan praktik hukum waris adat masyarakat
Baduy.
D.Manfaat/Signifikansi Penelitian
1. Dari segi teori, penelitian ini diharapkan akan memberikan konstribusi
terhadap peneltian Ethnomathematics di Indonesia, dalam hal
mengintegrasikan antara matematika dan budaya asli Indonesia.
2. Dari segi kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi perubahan
subtansi dari kurikulum pendidikan matematika sekolah berdasarkan budaya
lokal setempat yang berasal dari setiap suku di Indonesia, sehingga dapat
meningkatkan indeks literasi matematika Indonesia.
3. Dari segi praktik, penelitian ini dapat menjadi panduan bagi peneliti lain yang
tertarik meneliti pada domain ethnomathematics, baik pada konteks hukum
adat Baduy maupun pada konteks yang lain.
4. Dari segi isu serta aksi sosial, selain penelitian ini bertujuan untuk
mengilustrasikan perkembangan intelektual dari masyarakat adat Baduy
sehingga dapat mereduksi pandangan negatif umum masyarakat terhadap
Baduy, mereduksi paradigma absolut tentang matematika, terutama dalam
pembelajaran matematika, serta yang utama dapat mendukung kontribusi
pembelajaran matematika terhadap pembangunan nasional yang
berkelanjutan.
E. Stuktur Organisasi Skripsi
Struktur organisasi skripsi yang akan dilakukan penulis dalam melakukan
Bab I Pendahuluan, dalam bab ini akan diuraikan tentang Latar Belakang
Penelitian, Identifikasi dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat/Signifikansi Penelitian, dan Stuktur Organisasi Skripsi.
Bab II Kajian Pustaka ini dibagi kedalam empat bagian yang penting.
Pertama akan dijelaskan tentang ethnomethematics mulai dari sejarah
ethnomathematics, definisi ethnomathematics, dan paradigma dan perkembangan
ethnomathematics. Bagian kedua akan menjelaskan tentang bagaimana
ethnomathematics mengungkap budaya dan matematika. Bagian ketiga secara
komperhenship akan menjelaskan tentang hukum adat dan hukum waris adat.
Bagian terakhir akan menuntun peneliti untuk mengkaji lebih dalam tentang
komunitas adat Baduy sebagai konteks penelitian ini. Penjelasan dilakukan secara
menyeluruh agar menyakinkan bahwa peneliti telah mengenal subjek
penelitiannya dengan baik. Bagian keempat ini dimulai dengan penjelasan
mengenai wilayah desa Kanekes, Kependudukan masyarakat Baduy, asal mula
kata Baduy, landasan historis Baduy, dan kondisi kehidupan masyarakat Baduy
secara menyeluruh mulai kondisi lingkungan, sistem pemerintahan, kondisi
kehidupan sosial dan budaya, kondisi kehidupan ekonomi, kondisi pendidikan,
serta tak luput untuk mengenal kondisi kehidupan beragama
Bab III Metodologi Penelitian, dalam bab ini mendeskripsikan
langkah-langkah penelitian yang dilakukan oleh penulis dimulai dari lokasi dan subjek
penelitian, desain penelitian, metode penelitian, definisi operasional, instrumen
penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data penelitian, dan validasi data
penelitian. Dalam desain penelitian akan dibahas tentang roadmap penelitian,
kerangka penelitian dan tahapan-tahapan penelitian.
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan akan diawali dengan pemaparan
data penelitian yaitu tentang hukum adat Baduy dan hukum waris adat Baduy.
Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan hasil pemaparan dengan menggunakan
teknik analisis yang dipaparkan dalam bab sebelumnya.
Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi, pada bab ini penulis akan menyajikan
keterbatasan yang termuat dalam laporan penelitian ini, dan rekomendasi untuk
54 Salwa Nursyahidah, 2013
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam tentang
kebiasaan alamiah (natural) yang terjadi pada kelompok budaya tertentu (dalam
hal ini adalah kebiasaan alamiah pada aktivitas pembagian harta waris masyarakat
Baduy). Kajian penelitian kualitatif adalah hal yang esensial untuk digunakan oleh
peneliti dalam menyelami gejala alami yang terjadi. Kumpulan kejadian-kejadian
yang diperoleh melalui sumber utama pengetahuan akan situasi di lokasi
penelitan. (Singleton et al., 1988, p.11). Untuk itu maka penelitian ini sangat tepat
menggunakan pendekatan kualitatif. Hal tersebut menggarisbawahi identifikasi selanjutnya dari kajian penelitian kualitatif yaitu dengan ‟eksplorasi‟ dan „deskripsi (1988, p.296) dan kombinasi keduanya digunakan „ketika salah satunya hanya mendapatkan informasi yang relatif sedikit terhadap subjek yang
diinvestigasi (1988, p.298-289). Menurut Creswell (1985, p.5):
Qualitative research is inquiry process of understanding based on distinct
methodological traditions of inquiry that explore a social or human
problem, the researcher builds a complex, holistic picture, analyze words,
report detailed view of informants, and conducts, the study is a natural
setting.
Sama halnya dengan pendapat Lincoln dan Guba (1985, p.9) mengatakan
bahwa penelitan kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial
yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dan kawasannya
sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan
dalam peristilahannya. Nasution (1996, p.5) menjelaskan bahwa pada hakikatnya
penelitian kualitatif merupakan kegiatan mengamati orang dalam lingkungan
hidupnya, berinteraksi dengan merekan, berusaha memahami bahasa dan tafsiran
Ericson (Sugiyono, 2012, p.16) menjelaskan bahwa pendekatan kualitatif
memiliki ciri-ciri yaitu penelitian dilakukan secara intensif, peneliti ikut
berpartisipasi lama di lapangan, mencatat secara hati-hati apa yang terjadii,
peneliti melakukan analisis reflektif terhadap berbagai dokumen yang ditemukan
di lapangan, dan membuat laporan penelitian secara mendetail. Lapangan/ lokasi
dan subjek yang dipilih dalam penelitian kualitatif ini akan dijelaskan selanjutnya.
A. Lokasi dan Subjek Sampel Penelitian
Penentuan lokasi dan subjek sampel dalam penelitian ini menggunakan
purposive sampling (cara pengambilan sampel yang sengaja). Denzin dan Lincoln mengatakan bahwa „penelitian kualitatif cenderung menggunakan metode purposive and not random sampling. Mereka mencari kelompok, setting dan
individu yang prosesnya dapat dipelajari sebagai suatu hal yang sangat mungkin terjadi‟ (Lincoln & Denzim, 1994, p.202).
Sampel subjek penelitian kualitatif ini adalah sub-kelompok representatif
yang dipilih secara purposive berdasarkan criterion sampling (sampel dipilih
berdasarkan kriteria tertentu). Dalam kasus ini, kriteria yang diambil adalah
pemahaman tentang hukum waris adat Baduy, sehingga sampel sumber data yang
dianggap sesuai adalah para kokolot Adat, hakim waris, dan masyarakat Baduy
yang pernah menjalani proses pembagian harta waris. Sedangkan pemilihan lokasi
telah jelas yaitu Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten
B. Desain Penelitian
Untuk memperkaya desain penelitian, sub bab ini dibagi ke dalam tiga bagian
penting yaitu road map penelitian, kerangka penelirian dan tahapan-tahapan
penelitian. Road map penelitian ethnomathematis bertujuan untuk melihat posisi
penelitian yang dilakukan ini terhadap penelitian-penelitian sebelumnya pada
wilayah penelitian ethnomathematics. Kerangka penelitian adalah gambaran yang
akan dilakukan dalam melakukan penelitian untuk memudahkan penyusun dalam
melakukan penelitian. Sedangkan tahapan penelitian adalah tahapan-tahapan
Salwa Nursyahidah, 2013
1. Road Map Penelitian
Untuk menggambarkan road map penelitian ini, peneliti menggunakan
Fishbone Diagrams (diagram tulang ikan). Fishbone Diagrams (WBI Evaluation
Group, 2007) adalah sebuah diagram sebab-akibat yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi potensi apa (yang aktual) yang dapat menjadi penyebab lahirnya
suatu kebutuhan (masalah). Fishbone Diagrams menyediakan sebuah struktur
kelompok-kelompok diskusi di sekitar potensi (aktual) penyebab lahirnya
kebutuhan (masalah). WBI Evaluation Group (2007) menjelaskan beberapa
keuntungan yang diperoleh dengan dibuatnya Fishbone Diagrams adalah:
1. Diagram ini memungkinkan lahirnya analisis yang peka sehingga terhindar
dari pengamatan yang tidak perlu terhadap kemungkinan-kemungkinan akar
masalah yang harus diselesaikan.
2. Teknik Fishbone ini mudah untuk diimplementasikan dan menciptakan
kemudahan untuk memahami representasi penyebab masalah (lahirnya
kebutuhan) secara visual, bahkan hingga kepada kategori-kategori
penyebab, dan apa yang harus diselesaikan.
3. Dengan menggunakan Fishbone Diagrams, di dalam sebuah “gambar yang besar” kita masih bisa fokus terhadap kemungkinan penyebab lahirnya kebutuhan (masalah) atau fokus kepada faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi lahirnya suatu kebutuhan (masalah).
4. Bahkan setelah dipetakan dengan jelas bagaimana kondisi kebutuhan
(masalah), Fishbone Diagrams tetap akan memperlihatkan area of weakness
(area yang masih kurang), yang sekalinya area tersebut ditunjukkan, akan
sangat mungkin (menarik pihak-pihak lain) melakukan revisi-revisi dan
membentuk diagram baru sehingga kesulitan-kesulitan lanjutan yang
mungkin muncul akan dapat diantisipasi.
Prosedur umum pembuatan Fishbone Diagrams dijelaskan pada delapan
1. Lakukan identifikasi kesenjangan (celah, gap) yang perlu untuk dicapai
dengan sempurna melalui hasil project (program) yang sedang dijalani.
2. Perjelaslah, dengan menggunakan kalimat yang singkat tentang apa yang
menjadi kebutuhan (masalah). Pastikan bahwa setiap orang di dalam
kelompok project (program) setuju dengan kalimat yang menggambarkan
kebutuhan (masalah) tersebut.
3. Menggunakan selembar kertas yang panjang, gambar garis horizontal sepanjang kertas. Garis tersebut akan menjadi “tulang belakang ikan”. Tuliskanlah kalimat singkat yang menjadi kebutuhan (masalah) di sepanjang “tulang belakang ikan” di sebelah kiri tangan.
4. Identifikasi hal-hal yang melenceng sebagai kategori penyebab lahirnya suatu
kebutuhan (masalah). Teknik yang efektif untuk bisa mengidentifikasi
kategori penyebab lahirnya kebutuhan (masalah) adalah dengan teknik
brainstorming. Untuk setiap kategori penyebab, gambarlah sebuah “tulang” berupa garis yang membentuk sudut 45 derajat terhadap “tulang belakang ikan”. Beri label pada setiap “tulang” tersebut.
5. Bentuk kelompok-kelompok brainstorm untuk mengidentifikasi faktor-faktor
yang menjadi mempengaruhi lahirnya penyebab dan kebutuhan (masalah).
Untuk setiap kategori penyebab, kelompok-kelompok itu harus bertanya: “Mengapa hal ini dapat terjadi?” Tambahkan pula “alasan mengapa” di dalam diagram.
6. Ulangi prosedur bertanya “Mengapa hal ini dapat terjadi” untuk setiap
jawaban yang telah ditemukan, hingga pertanyaan yang diajukan sudah tidak
lagi berarti untuk dijawab.
7. Ketika kelompok telah sepakat dengan isi diagram yang telah cukup memuat
informasi, analisislah diagram. Khususnya, temukan/lihat bagian penyebab
yang muncul lebih dari satu kali pada bagian diagram.
8. Lingkari apapun yang terlihat menjadi akar penyebab lahirnya kebutuhan
(masalah). Prioritaskan akar penyebab tersebut dan tentukan sikap apa yang
harus diambil. Pengambilan sikap tersebut mungkin akan menyangkut kepada
Salwa Nursyahidah, 2013
Sebagai gambaran, WBI Evaluation Group (2007) memberikan contoh
pembuatan Fishbone Diagrams sebagai berikut:
Bagan 2. Fish Bone Diagram
Berdasarkan kepada penjelasan, dan pedoman membuat Fishbone
Diagrams, serta kajian pustaka yang menggambarkan perkembangan penelitian
ethnomathematics, maka peneliti kemudian menyusun Fishbone Diagrams
penelitian ethnomathematics. Diagram berikut digunakan pula untuk
menggambarkan road map penelitian ethnomathematics. Kebutuhan yang perlu
untuk dipenuhi dengan menggunakan (program) study ethnomathematics adalah
perlunya memandang matematika memiliki hubungan timbal balik dengan
Bagan 3. Fishbone Diagrams penelitian ethnomathematics
Diagram di atas digunakan pula untuk menggambarkan road map
penelitian ethnomathematics. Kebutuhan yang perlu untuk dipenuhi dengan
menggunakan (program) study ethnomathematics adalah perlunya memandang
matematika memiliki hubungan timbal balik dengan budaya, dan sosial.
2. Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian ethnomathematics yang memfokuskan kepada
praktik budaya, berdasarkan Alangui (2010, p.63) dibangun dengan empat
pertanyaan umum berikut ini:
1. Dimana kita harus memulai pengamatan?
2. Bagaimana cara mengamatinya?
3. Bagaimana cara untuk mengetahui bahwa kita telah menemukan sesuatu yang
signifikan?
4. Terhadap apa-apa yang telah kita temukan, bagaimana cara kita untuk
Salwa Nursyahidah, 2013
Berdasarkan empat pertanyaan umum di atas, maka penelitian ini disusun
dengan kerangka penelitian sebagaimana tergambar pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Kerangka penelitian study ethnomathematics pada Hukum Waris
Adat Baduy
Budaya Melakukan dialog dan wawancara kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan atau pelaku hukum waris adat Baduy.
3. Tahapan-tahapan penelitian
Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1) Tahap Penelitian Pendahuluan
Tahap penelitian pendahuluan ini dilakukan di lapangan dan luar lapangan.
Tahap ini dimulai dengan studi literatur, menemukan masalah umum
penelitian pendahuluan, tujuan umum, eksplorasi menyeluruh tentang
masalah tersebut di lapangan.
2) Tahap Persiapan
Tahap persiapan ini terdiri dari mengindentifikasi masalah dan informasinya
yang ditemui pada tahap penelitian pendahuluan, pengerucutan masalah,
pemilihan masalah, penentuan tujuan penelitian, menyiapkan instrumen (studi
literatur, studi dokumentasi, diskusi dengan pembimbing dan anggota tim
penelitan), validitas instrumen (mengevaluasi kesiapan peneliti)
3) Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksaan ini terdiri dari pemilihan subjek penelitian yang sesuai
dengan kriteria, pemilihan lokasi penelitian di lapangan, pengumpulan data
melalui observasi, wawancara dan catatan lapangan.
4) Tahap Pengujian
Tahap pengujian ini adalah tahap memverifikasi kealamian data yang diambil
dari sumber data primer. Pengujian ini dilakukan dengan menverifikasi hasil
pengumpulan data secara langsung terhadap subjek penelitian, baik verifikasi
hasil observasi, wawancara, maupun catatan lapangan.
5) Tahap Analisis Data
Tahapan analisis data ini terdiri dari analisis selama di lapangan, dan setelah
di lapangan. Selama di lapangan, analisis dan validasi hasil analisis data
dilakukan berkesinambungan oleh peneliti, anggota tim lainnya, dan subjek
penelitian terhadap data yang diperoleh selama di lapangan. Setelah keluar
lapangan analisis dan validasi hasil analisis data dilakukan secara mendalam
Salwa Nursyahidah, 2013
Tahapan penelitian di atas secara jelas akan digambarkan melalui diagram alir
berikut:
Mulai
Literatur
Pemilihan masalah, dan tujuan secara umum
Eksplorasi Masalah di Lapangan Data hasil eksplorasi
Mengerucutkan masalah, menentukan tujuan
Menyiapkan instrumen peneltian
Validasi Instrumen Studi literatur
Pemilihan subjek dan lokasi penelitian, serta pengumpulan data
Verifikasi Data
Analisis Data Penelitian
Validasi Hasil
Selesai
Data
Penelitian
C. Metode Penelitian
Penelitian Ethnomathematics pada dasarnya menggunakan metode
ethnography, tetapi karena perkembangan ethnomathematics terkini telah
memunculkan istilah mutual interogation. Mutual interogation digunakan sebagai
metode yang menjaga kealamian hasil dari ethnography. Mutual interogation
lebih ditekankan menjaga kealamian matematika yang berasal dari pelaku budaya.
Mutual interogation lebih rincinya telah dijelaskan di Bab II Kajian pustaka
sebagai perkembangan termutakhir dari metode yang digunakan dalam
ethnomathematics Metode penelitian ini pun kemudian menggabungkan antara
metode ethnography dan mutual interogation untuk memperoleh hasil penelitian
yang baik.
Creswell (2009) mengklasifikasikan metode penelitian menjadi lima jenis
yaitu phenomenological research, grounded theory, ethnography, case study and
narrative research. Creswell mengatakan bahwa ethnography merupakan salah
satu jenis penelitian kualitatif dimana peneliti melakukan studi terhadap budaya
kelompok dalam kondisi yang alamiah melalui proses observasi dan wawancara.
(Spradley, 2007) mengatakan ethnography merupakan pekerjaan mendeskripsikan
suatu kebuadayaan. Sedangkan Wolcott (1988) mengatakan
Ethnography means, literally a picture the “way of life” of some
identifiable group of people. Conceivable, these people could be any culture
bearing group, in any time, place ... Particular individuals, customs, institutions,
or event are anthropological interest as they relate to generalized description of
the life-way of a social interacting group.
Ethnography adalah kajian yang mendalam tentang kebiasaan yang secara
natural terjadi di dalam suatu budaya atau kelompok sosial tertentu. Ini berarti
upaya untuk memahami hubungan antara budaya beserta kebiasaannya di satu
sisi, dengan budaya pada keyakinan tertentu, atau nilai-nilai tertentu,
konsep-konsep, praktik-praktik, hingga sikap-sikap dari sekelompok masyarakat yang
spesifik di sisi lainnya. Metode ethnography berarti mengkaji apa yang dilakukan
oleh masyarakat dan menginterpretasi mengapa mereka melakukan hal tersebut.
Salwa Nursyahidah, 2013
berinteraksi dengan konteks-konteks yang ada? Kajian ethnoghraphy meyakini
bahwa suatu kelompok masyarakat tertentu saat dimanapun dan apapun kegiatan
keseharian yang dilakukan oleh mereka tidak akan pernah lepas dari suatu
keyakinan dalam budayanya (Ary, 2010, p.459).
Istilah ethnography digunakan untuk menyebutkan dua hal, yaitu mengkaji
budaya serta hasil akhir dari penelitian. Ethnography telah beralih dari
antropologi ke berbagai disiplin ilmu lain, seperti pendidikan, yang mana hal
tersebut telah menjadi suatu alat yang sangat berguna dalam memahami proses
belajar di sekolah. Splinder dan Hammond (Ary, 2010, p.460) menuliskan bahwa
ethnography dapat membantu para pendidik untuk memisahkan nilai-nilai
kebudayaan yang dianut dengan nilai-nilai kebudayaan para siswa sehingga para
pendidik dapat melihat dengan jelas (objektif) sehingga dapat memahami
pendapat dari yang lain. “Apa saja pola-pola yang ada dalam budaya serta
bagaimana perspektif yang digunakan kelompok budaya itu di dalam setting yang natural?” adalah pertanyaan yang mendasari penelitian-penelitian dengan metode ethnography. (Ary, 2010, p.459).
Dalam catatan Gubrium dan Holstein terlihat posisi non teoritis dari
ethnographer yang diperoleh dari sebuah teori: the directive to “minimize
presumptions” in order to witness subjects; world on their own term is key to
naturalistic inquiry (Silverman, 1997, p.34). Para ethnographer melakukan
penelitian tanpa menggunakan hipotesis utama (a priori hypotheses) untuk
menghindari kesimpulan awal tentang apa yang dihasilkan dari observasi atau
informasi apa yang diberikan oleh informan. Seorang ethnographer menggali dan
menguji hipotesis tetapi hipotesis tersebut berkembang (lebih luas) dari kajian di
lapangan. Ethnographer menyebut orang-orang yang memberikan informasi sebagai “informan”, bukan partisipan, dan mereka lebih mengkaji “situs” daripada individual. Kesuksesan peneliti dalam melakukan ethnography bergantung kepada
kemampuan peneliti dalam membangun suatu laporan serta mampu menunjukkan
dengan pantas bagaimana kebiasaan-kebiasaan yang terjadi pada setting tertentu.
Peneliti harus membangun rasa kepercayaan dan penerimaan yang tinggi dengan
Dari definisi di atas (Salim, 2006, p.128) ethnography memiliki ciri-ciri
berikut :
a. Menekankan eksplorasi tentang hakikat suatu fenomena sosial tertentu dan
bukan menguji hipotesis tentang fenomena tersebut
b. Kecenderungan bekerja dengan data yang tidak terstruktur yakni data yang
belum di-coding di saat pengumpulannya, berdasarkan seperaangkat kategori
analisis yang tertutup
c. Investigasi terhadap sejumlah kecil kasus, bahkan sangat memungkinkan hanya
satu kasus, namun dilakukan secara rinci, dan
d. Analisis data melibatkan penafsiran langsung terhadap makna dan fungsi
tindakan manusia. Hasil analisis ini umumnya mengambil bentuk deskripsi dan
penjelasan verbal. Pada saat yang sama kuantifikasi dan analisis statistik
memainkan peran yang sangat kecil
Kemudian, terkait dengan strategi untuk meningkatkan validitas suatu
interpretasi, dalam ethnography hal tersebut berkaitan erat dengan hal-hal yang
bersifat rahasia, anonim, isu-isu yang timbal balik, serta kepemilikan data.
Splinder dan Hammond (Ary, 2010, p.461) menggambarkan beberapa
karakteristik dari suatu penelitian ethnography yang baik, yaitu (1) memperluas
observasi terhadap partisipan; (2) lamanya waktu berada di tempat yang sedang “diselami”; (3) mengoleksi banyak materi seperti catatan-catatan, artefak, rekaman audio dan video, dan seterusnya; (4) keterbukaan, yang berarti tidak
memiliki hipotesis yang spesifik atau bahkan kategori spesifik yang digunakan
ketika memulai observasi.
Sementara itu, penyelidikan-penyelidikan kualitatif (Ary, 2010, p.420)
dimulai ketika adanya asumsi-asumsi yang berbeda. Para penyelidik kualitatif
berpendapat bahwa kebiasaan manusia selalu terikat oleh konteks dimana
kebiasaan tersebut terjadi, dan memandang realitas sosial tidak bisa seperti
memandang realitas non-sosial yang bisa direduksi ke dalam beberapa variabel.
Sehingga hal yang paling penting dalam disiplin ilmu sosial adalah memahami
dan memotret makna yang dikembangkan oleh partisipan dalam suatu setting atau
Salwa Nursyahidah, 2013
Kebiasaan manusia selalu terikat kepada sejarah, sosial, rentang waktu,
dan konteks budaya. Pendekatan kualitatif mencoba untuk menginterpretasi
perilaku manusia, institusi yang terlibat, peristiwa, norma-norma, dan kebiasaan,
dan para peneliti yang menggunakan pendekatan ini berarti membaca atau
memotret hal-hal yang dikaji tersebut. Tujuan akhir dari penelitian dengan
pendekatan ini adalah untuk mendapatkan gambaran secara detail dan mendalam
terkati pola-pola kompleks yang menjadi kajian sehingga orang lain yang tidak
memiliki pengalaman tentang hal tersebut dapat memahaminya. Beberapa hal
yang dilakukan oleh peneliti kualitatif ketika mengkaji hal-hal yang dimaksud di
atas adalah dengan memilih salah satu dari tiga hal berikut: (1) membangun
sebuah pola berdasarkan hasil analisis dan resintesis; (2) menginterpretasi makna
sosial dari suatu peristiwa; atau (3) menganalisis hubungan antara suatu peristiwa
dengan faktor-faktor eksternal (Ary, 2010, p.421).
D. Definisi Operasional
1. Hukum Waris Adat: hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang
sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris, dan waris
serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan
pemilikannya dari pewaris kepada waris
2. Kearifan lokal: pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi
kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal
dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka
3. Kearifan Budaya Lokal/ Kerafian Lokal Budaya : Budaya yang dimiliki oleh
sekelompok masyarakat tertentu yang merupakan kearifan lokal.
4. Kearifan Lokal Matematika: kearifan lokal yang berupa pengetahuan
matematika, pandangan hidup yang matematis, dan strategi matematis.
5. Ethnomathematics: sebuah field study yang meneliti cara sekelompok orang
pada budaya tertentu dalam memahami, mengartikulasi, dan menggunakan
konsep serta praktik budaya yang digambarkan oleh peneliti sebagai sesuatu
6. Masyarakat Adat Baduy: suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di
Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten
E. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen penelitian utama,
(Moleong, 2006) menyebutkan bahwa pencari tahu alamiah dalam pengumpulan
data lebih banyak bergantung pada dirinya sebagai pengumpul data selanjutnya
Moleong menjelaskan (1989, p.132) kedudukan peneliti dalam penelitian cukup
rumit. Ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana, pengumpul data, analis,
penafsir data, dan pada akhirnya ia pelapor hasi penelitian. Penelitian kualitatif
sebagai human instrument berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih
informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualita
data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas tamuan
(Sugiyono, 2010). Peneliti sebagai instrument menurut Nasution (2003) cocok
untuk tradisi penelitian kualitatif karena:
1. Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari
lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi peneliti.
Tidak ada alat penelitian lain yang dapat bereaksi dan berinteraksi terhadap
banyak faktor dalam situasi yang senantiasi berubah-ubah.
2. Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan
dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus. Tidak ada alat
penelitian lain seperti yang digunakan dalam bermacam-macam situasi yang
serupa.
3. Tiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada instrumen berupa tes atau
angket yang mengungkap keseluruhan situasi, kecuali manusia. Hanya
manusia sebagai instrumen dapat memahami situasi dalam segala seluk
beluknya
4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia tidak dapat dipahami dengan
pengetahuan semata. Untuk memahaminya diperlukan untuk merasakannya,
menyelaminya berdasarkan pengetahuan.
Salwa Nursyahidah, 2013
6. Hanya manusia sebagi instrumen yang dapat mengambil kesimpulan dari data
yang dikumpulkan pada suatu saat dan menggunakan segera sebagai balikan
untuk memperoleh penegasan, perubahan dan perbaikan.
7. Dengan manusia sebagai instrumen, respon yang aneh, yang menyimpang
justru mendapat perhatian. Respon yang lain dari yang lain, bahkan
bertententang dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan
pemahaman mengenai aspek yang diteliti.
Tentang validasi terhadap instrumen yaitu peneliti, menurut Sugiyono
(2010, p.305) meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif,
penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan peneliti memasuki
objek penelitian, baik secara akademik maupun logistik. Validasi ini sangat
penting untuk mendapat hasil penelitian yang baik. Validasi instrumen penelitian
kualitatif dilakukan oleh peneliti melalui evaluasi diri. Ini dilakukan karena
penelitilah yang mengetahu kesiapan atau ketidaksiapan melakukan penelitian
yang dimaksud.
F. Teknik Pengumpulan Data
Metode ethnography lebih menekankan terhadap teknik pengumpulan data
observasi dan ethnographic note (catatan lapangan). untuk menggambarkan,
menganalisis, hingga menginterpretasi budaya. Hasil akhirnya adalah berupa
potret kebudayaan yang menyertakan suatu cara pandang yang tidak berbeda
dengan cara pandang dari partisipan (kelompok yang diteliti) (Ary, 2010, p.459).
Sedangkan mutual interogation cenderung menekankan terhadap
dialog-dialog kritis yaitu melalui wawancara agar menjaga kealamian budaya yang
diterliti. Untuk memperkaya data penelitian, peneliti memilih menggunkan teknik
yang komperensif agar saling melengkapi dan menutup celah-celah kelemahan
masing-masing teknik. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
observasi, wawancara, studi dokumentasi, dan studi literatur
1. Observasi
Observasi adalah penelitaian dan pengamtan sistematis dan terencana yang
diniati untuk perolehan data yang dikontrol validitas adan realibilitasnya
adalah pengamatan terhadap suatu objek yang diteliti baik langsung maupun tidak
langsung untuk memperoleh adata yang harus dikumpulkan dalam penelitian.
Pengamatan secara langsung yang dimaksud adalah terjun ke lapangan, sedang
secara tidak langsung adalah mengamatan yang dibantu melalui alat visual atau
audio visual, misalnya teleskop, handycam, dan lain-lain (Satori dan Komariah,
2010, p.105). Alat bantu yang digunakan dalam observasi ini adalah buku catatan
untuk menuliskan apa yang diamati secara langsung dan camera digital untuk
mengamati baik melalui gambar maupun video, agar dapat dilakukan observasi
tidak langsung untuk meyakinkan hasil observasi langsung di lapangan.
Pendekatan observasi yang digunakan adalah interaction kinesics. Melalui
kinesics, akan ditelaah gerakan-gerakan isyarat badan (gesture) masyarakat Baduy
dalam mengkomunikasikan suatu hal tentang pembagian harta waris. Sementara
beberapa prinsip yang akan digunakan dalam observasi, yaitu prinsip participant
as observer (peneliti ikut merasakan bagaimana menghitung pembagian harta
waris) serta prinsip observer as participant (peneliti berinteraksi dengan
masyarakat Baduy yang menjadi subjek penelitian serta menjalin hubungan yang
baik namun tidak menjadi bagian yang utama dalam pembagian harta waris).
Teknik observasi dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu observasi
deskriptif, observasi terfokus, dan observasi terseleksi. Tahapan pertama, yaitu
observasi deskriptif, pada tahap ini peneliti memasuki situasi sosial tertentu
sebagai objek penelitian. Peneliti melakukan deskripsi terhadap semua yang
dilihat, didengar dan dirasakan saat melakukan penjelajahan umum dan
menyeluruh pada komunitas adat Baduy ini. Semua data direkam, sehingga hasil
dari observasi ini disimpulkan dalam bentuk yang belum tertata.
Tahap observasi kedua, yaitu observasi terfokus. Pada hahap ini peneliti memfokuskan diri melihat secara menyeluruh „kekayaan‟ masyarakat Baduy. Tahapan observasi ketiga yaitu observasi terseleksi. Peneliti memperinci data
berdasarkan kategori-kategori yang telah didapatkan pada observasi terseleksi
Salwa Nursyahidah, 2013
2. Wawancara
Sudjana (2000, p.234) menjelaskan bahwa wawancara adalah proses
pengumpulan data atau informasi melalui tatap muka antara pihak penanya
(interviewer) dengan yang ditanya atau penjawab (intervewee). Satori dan
Komariah (2010, p.130) mendefinisikan wawancara sebagai teknik pengumpulan
data untuk mendapatkan informasi yang digali dari sumber data primer melalu
percakapan atau tanya jawab.
Wawancara memiliki dua sifat yaitu wawancara mendalam (in-depth
interview) dan wawancara bertahap. Metode ethnography maupun mutual
interogation karena bertujuan mendapatkan konsep kebudayaan secara
keseluruhan dan untuh maka teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian
ini adalah in-depth interview. Sedangkan untuk menghindari kehilangan data
karena faktor kekakuan dalam wawancara antara interviewer dan interviewee
maka jenis wawancara yang digunakan tidak terstruktur.
Tujuan wawancara dalam penelitian ini adalah untuk memastikan dan
mengecek informasi yang diperoleh sebelumnya, memberikan data dalam lingkup
yang lebih luas dan dapat dipertanggungjawabkan, serta untuk melakukan
pengecekan dan verifikasi data yang diperoleh dari sumber-sumber informasi
sekunder. Secara garis besar, tahapan wawancara mendalam dalam penelitian ini
adalah
1) Menyiapkan pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan untuk
dilakukannya wawancara;
2) Menetapkan narasumber yang akan diwawancarai;
3) Memulai wawancara;
4) Memverifikasi iktisar hasil wawancara dan skaligus mengakhiri wawancara;
5) Menuliskan hasil wawancara ke dalam bentuk catatan lapangan;
6) Mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah diperoleh.
Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh data melalui lisan (ucapan)
berupa opini, kepercayaan, dan perasaan tentang suatu situasi. Wawancara
digunakan terutama untuk memverifikasi hasil observasi atau mengungkap hal-hal
dilakukan dalam tiga tahapan, pertama wawancara tentang hukum waris adat
Baduy berikut dengan aturan pembagian harta waris. Kedua, wawancara untuk
merekonstruksi secara detail bagaimana cara masyarakat baduy membagi harta
waris. Wawancara ketiga dilakukan untuk mengungkap ide matematis yang
terkandung dalam konteks pembagian harta waris masyarakat Baduy. Pertanyaan
dalam wawancara pada penelitian ini meliputi pertanyaan yang berkaitan dengan
pengalaman, pendapat, perasaan, pengetahuan, indera, dan latar belakang atau
demografi dari narasumber berkaitan dengan hukum waris adat Baduy.
Alat bantu yang digunakan dalam wawancara adalah pedoman wawancara
tidak terstruktur, audio-recording untuk merekam percakapan wawancara, camera
digital untuk mengabadikan wawancara dalam bentuk video, serta buku catatan
untuk menuliskan jawaban serta sekaligus sebagai catatan observasi terhadap
interviewee.
3. Studi Dokumentasi
Satori dan Komariah (2010, p.149) menyebutkan bahwa studi dokumetasi
adalah kegiatan mengumpulkan dokumen dan data yang diperlukan dalam
permasalahan penelitian, kemudian ditelaah secara intens sehingga dapat
mendukung dan menambah kepercayaan dan pembuktian suatu kejadian. Studi
dokumen atau teks merupakan kajian yang menitik beratkan pada analisis atau
interpretasi bahan tertulis berdasarkan konteksnya. Bahan bisa berupa catatan
yang terpublikasikan, buku teks, surat kabar, majalah, surat-surat, film, catatan
harian, naskah, artikel, dan sejenisnya. Untuk memperoleh kredibilitas yang tinggi
peneliti dokumen harus yakin bahwa naskah-naskah itu otentik. Penelitian jenis
ini bisa juga untuk menggali pikiran seseorang yang tertuang di dalam buku atau
naskah-naskah yang terpublikasikan.
Dokumen dibedakan menjadi tiga jenis yaitu dokumen primer adalah
dokumen yang berisi informasi penelitian langsung dari sumbernya, dokumen
sekunder adalah dokumen yang berisikan informasi mengenai literatur primer, dan
dokumen tertier, adalah dokumen yang berisikan informasi mengenai literatur
sekunder. Sedangkan dari segi ruang lingkup dan bentuk fisiknya dokumen terdiri
Salwa Nursyahidah, 2013
a. Dokumen lateral, adalah dokumen yang terjadi akibat dicetak, ditulis,
digambar, atau direkam seperti: buku, majalah, koran, pita kaset, film, dan
lain-lain. Titik berat dokumen literal adalah informasi yang terdapat pada
benda.
b. Dokumen corporal, adalah dokumen berwujud benda sejarah. Seperti benda-benda seni dan benda-benda-benda-benda kuno yang meliputi: keris, arca, batu pualam,
pakaian adat, mata uang kuno, dan lain-lain.
c. Dokumen privat, adalah dokumen yang berwujud surat menyurat/arsip.
Dalam penelitian ini akan digunakan dokumen literal yang akan dikaji
lebih mendalam pada studi literatur, dokumen corporal yang terkait dengan
hukum waris adat baduy dan dokumen-dokumen peribadi berupa buku harian
riset, surat-surat, dan dokumen resmi. Selain dokumen-dokumen tersebut peneliti
juga akan mengambil researcher-generated documents (subjek penelitian akan
diminta untuk mengilustrasikan atau mengambarakan tentang apa yang menjadi
ide dalam pembagian harta waris).
4. Studi Literatur
Studi literatur dilakukan sebagai alat pengumpulan data untuk
mengungkap informasi baik berupa teori maupun informasi lain yang relevan.
Studi literatur diperlukan untuk memperoleh gambaran tentang
penelitian-penelitian lain yang berhubungan dengan penelitian-penelitian ini, menghubungkan
penelitian dengan cakupan pembicaraan yang lebih luas dan berkesinambungan
tentang topik yang sama, dan memberi kerangka untuk melakukan analisis
terhadap topik penelitian.
Teknik yang digunakan adalah dengan cara mempelajari sejumlah literatur
baik cetak maupun elektronik. Literatur yang dipelajari adalah buku-buku, video,
artikel, prosiding, hasil penelitian lain yang relevan. Dengan mempelajari
berbagai literatur, gambaran yang diperoleh peneliti digunakan untuk meakukan
penggalian data lebih mendalam yang bersesuaian dengan masalah dan tujian
G.Analisis Data Penelitian
Miles dan Huberman (1992, p.12) mengemukakan bahwa aktivitas dalam
analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus menerus,
samapai datanya jenuh. Analisis data kualitatif bahkan telah dilakukan sebelum
sampai di lapangan. Aktivitas analisis data tersebut adalah reduksi data, penyajian
data, dan interpretasi data.
1. Reduksi data
Reduksi data adalah proses memilih dan memusatkan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data yang muncul dari catatan
lapangan. Reduksi data menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang
yang tidak diperlukan, dan mengorganisasikan data, sehingga dapat menarik
kesimpulan dan verifikasi. Untuk itu semua catatan tentang hukum waris adat
Baduy akan dipilah-pilah sesuai tujuan, agar memudahkan ketika melakukan
Penyajian data.
2. Penyajian Data
Setelah seluruh data yang dibutuhkan dipilih, penyajian data dilakukan
dengan menguraikan data-data tersebut ke dalam bentuk narasi, bagan, hubungan
antara data. Penulis akan mencoba menjelaskan data hukum waris adat ini secara
umum terlebih dahulu kemudian dikhususkan ke sub-sub bagian yang lebih kecil,
agar memudahkan peneliti dan juga pembaca untuk melihat keterhubungan antara
semua data yang ada.
3. Interpretasi Data
Proses interpretasi data, peneliti tidak melakukannya seorang diri tetapi
dibantu oleh pelaku budaya sebagai subjek penelitian, anggota tim penelitian, dan
para ahli yang terkait. Hal ini dilakukan melalui Critical Dialogues melalui
prinsip mutual interrogation. Menurut Alangui (2010, p.87) proses pelaksanaan
critical dialogues dapat dilakukan sebagai berikut:
1) Merancang lahirnya dialog yang kritis antara pelaku budaya (mewakili sistem
pengetahuan budaya) dan matematikawan (mewakili sistem pengetahuan
Salwa Nursyahidah, 2013
2) Gambarkan kesejajaran posisi antar keduanya, yaitu dengan menggunakan
elemen-elemen yang terdapat pada satu sistem pengetahuan untuk ditanyakan
kepada sistem pengetahuan yang lain.
3) Libatkan proses refleksi secara terus menerus untuk mempertanyakan
konsepsi-konsepsi matematika.
4) Gali alternatif konsep yang dapat ditemukan.
Diharapkan melalui Critical Dialogues ini, kandungan kekayaan yang
terdapat dari data yang diperoleh dapat terungkap secara optimal dan menyeluruh.
H. Validasi Data Penelitian
Bagan 5. Validasi hasil analisis data penelitian
Validasi data dilakukan agar memastikan bahwa data yang didapat dapat
dipercaya kebenrannya, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya
interpretasi data yang membias. Validasi data dapat dilakukan dengan :
1. Triangulasi
Triangulasi data adalah salah satu uji kredibilitas data. Triangulasi yang
dilakukan peneliti adalah pengecekan data dengan ketiga jenis triangulasi yang
ada yaitu triangulasi sumber, triangualsi waktu, dan triangulasi teknik. Triangulasi
sumber dilakukan dengan memperbanyakan objek observasi dan informan.
memberikan jeda setiap wawancara. Triangulasi teknik jelas dilakukan dengan
memperbanyakan teknik pengumpulan data yaitu wawancara, observasi, catatan
lapangan, dan dokumentasi .
2. Kredibilitas Peneliti
Pengujian kredibilitas peneliti dilakukan dengan evaluasi diri dan evaluasi
tim peneliti tentang kesiapan peneliti baik secara logistik maupun pengetahuan
tentang peneltiian ini. Peneliti melakukan peningkatan ketekunan, peneliti
menyikapinya dengan membekali diri dengan membaca berbagai referensi yang
terkait dan relevan. Peneliti mengamati pula secara lebih seksama
dokumentasi-dokumetasi milik peneliti saat melakukan pengamatan pendahuluan.
3. Member Check
Tujuan digunakan member check adalah agar informasi yang peneliti
peroleh dan gunakan dalam penulisan laporan ini sesuai dengan apa yang
dimaksudkan oleh sumber data. Member Check diadakan dalam rangka uji
transferability kebenaran data yang diperoleh. Dilakukan dengan membacakan
hasil catatan lapangan peneliti serta meminta tanggapan subjek penelitian yaitu
Informan dan masyarakat pada lingkungan sektitar tempat observasi. Member
check dilakukan sebelum dan sesudah penyajian data.
4. Audit Trail
Tahap ini merupakan pemantapan untuk membuktikan kebenaran data
yang disajikan, baik setelah penyajian data, maupun laporan penelitian. Tahap ini
mencakup data dan hasil analisis kemudian diperiksa dan diteliti kebenenaran dan
keakuratannya oleh peneliti dan anggota tim penelitian lainnya. Diskusi penelitian
ini dijadwalkan satu kali setiap satu pekan, terus menerus sejak bulan Maret 2012
hingga Juni 2013. Topik diskusi adalah seputar kajian sejarah hingga
perkembangan ethnomathematics, pendekatan penelitian kualitatinf, metodologi
penelitian dalam ethnomathematics, hingga teknik analisis data yang dilakukan
oleh para ethnomathematician. Dalam audit trail juga melibatkan expert opinion
ini adalah pengecekan dan konsultasi temuan penelitian kepada ahli dibidangnya
termasuk pembimbing. Hal ini merupakan upaya untuk Uji Dependability dan Uji
131 BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Dua alasan utama penelitian ethnomathematics di Baduy ini adalah untuk
mereduksi anggapan bahwa matematika itu bersifat final, permanen, absolut,
dan unik (tertentu), serta mengilustrasikan perkembangan intelektual
masyarakat Indonesia khususnya Baduy itu sendiri. Penelitian hukum waris
adat Baduy yang dilakukan dengan mengkombinasikan dua metode yaitu
metode ethnography dan mutual interogation ini mengantarkan kepada
penemuan kearifan lokal budaya dan matematika masyarakat Baduy. Penelitian
ethnomathematics ini menggunakan dua sudut pandang secara komperhensif
yaitu matematika sebagai kerangka acauan dan budaya sebagai kerangka acuan
untuk membahas hasil temuannya.
Kearifan lokal budaya dan matematika masyarakat Baduy yang berhasil
diungkapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Terdapat kesejajaran yang menarik antara para pelaku budaya yang
terlibat dalam praktik hukum waris adat baduy dengan
matematikawan, yaitu cara bagaimana mereka diakui, dihormati dan
dipandang dalam komunitasnya masing-masing.
2. Aturan dan praktik hukum waris adat baduy memperlihatkan
keistimewaan dan karakteristik dari kedudukan matematika dalam
sebuah komunitas sosial. Hal ini jelas terlihat bahwa pelaku budaya
dalam hukum waris adat tidaklah menciptakan pengetahuan matematis
melalui sebuah proses, melainkan melalui bagaimana mereka berpikir,
berkomunikasi, dan melakukan praktik hukum waris adat yang sejajar
dengan cara matematikawan berpikir, berkomunikasi dan melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan penyelesaian