• Tidak ada hasil yang ditemukan

SYEKH MAULANA ISHAQ DAN ISLAMISASI DI DESA KEMANTREN PACIRAN LAMONGAN 1443-1485 M : SRUDI TENTANG DAKWAH DAN WARISAN AJARANNYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SYEKH MAULANA ISHAQ DAN ISLAMISASI DI DESA KEMANTREN PACIRAN LAMONGAN 1443-1485 M : SRUDI TENTANG DAKWAH DAN WARISAN AJARANNYA."

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

SYEKH MAULANA ISHAQ DAN ISLAMISASI DI DESA

KEMANTREN PACIRAN LAMONGAN 1443-1485 M

(Studi Tentang Dakwah dan Warisan Ajarannya)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana dalam Program Stara Satu (S-1)

Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh :

Ulum Fasih

NIM: A5.22.11.091

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SUNAN AMPEL SURABAYA

2015

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Syekh Maulana Ishaq Dan Islamisasi Di Desa Kemantren Paciran Lamongan 1443-1485 M (Studi Tentang Dakwah dan Warisan Ajarannya)”.

Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini, adalah: (1). Bagaimana riwayat hidup Syekh Maulana Ishaq? (2). Bagaimana dakwah Syekh Maulana Ishaq di desa Kemantren Paciran Lamongan? (3). Bagaimana warisan ajaran Syekh Maulana Ishaq dalam Islamisasi di desa Kemantren Paciran Lamongan?.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan historis dengan memakai teori perubahan sosial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang meliputi heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa Syekh Maulana Ishaq merupakan seorang ulama yang berasal dari Jedah Arabia, beliau merupakan anak dari Syekh Jamaluddin Akbar atau Syekh Jumadil Kubro dan keturunan ke-21 dari Rasul Muhammad SAW. Dakwah Syekh Maulana Ishaq di desa Kemantren Paciran Lamongan dilakukan dengan cara yang bijaksana (dakwah bil-hikmah) dengan menggunakan pendekatan dalam bidang pendidikan dan bidang kemasyarakatan. Warisan ajaran Syekh Maulana Ishaq terdiri dari ilmu fikih dan ilmu tasawuf, ajaran Syekh Maulana Ishaq dalam ilmu fikih sama seperti ajaran fikih imam As-Syafi’i (madzhab Imam As-Syafi’i), dan ajaran tasawuf Syekh maulana Ishaq berbentuk amalan dzikir-dzikir kalimah thayyibah untuk mendekatkan diri kepada Allah, kalimah thayyibah tersebut antara lain: Anjalāt,

namuhīn, tasyammahād, bisāl mahād, fayahīn wayayuhīn, dihalīin halhalāt,

(6)

ABSTRACT

This study entitled “Syekh Maulana Ishaq And Islamization In The Village Kemantren Paciran Lamongan 1443-1485 M (The Study Of Dakwah and His Precept Heritage)”.

This study examined the problems, are: (1). How the biography of Syekh Maulana Ishaq? (2). How is the propaganda of Syekh Maulana Ishaq in the village Kemantren of Paciran, Lamongan? (3). How is the precept heritage of Syekh Maulana Ishaq in Islamization process in the village Kemantren of Paciran, Lamongan? This study used a historical approach by using the theory of social change. This research used historical method that included heuristics, verification, interpretation, and historiography.

(7)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN ...ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ...iv

TRANSLITERASI ...v

PERSEMBAHAN ...vi

ABSTRAK ...vii

KATA PENGANTAR ...ix

DAFTAR ISI ...xi

BAB I: PENDAHULUAN A.Latar Belakang ...1

B.Rumusan Masalah ...10

C.Tujuan Penelitian ...10

D.Kegunaan Penelitian ...10

E.Pendekatan dan Kerangka Teori ...11

F. Penelitian Terdahulu...13

G.Metode Penelitian ...15

H.Sistematika Bahasan ...18

BAB II: RIWAYAT HIDUP SYEKH MAULANA ISHAQ A.Asal-Usul Syekh Maulana Ishaq ...20

B.Silsilah Syekh Maulana Ishaq ...22

C.Kedatangan Syekh Maulana Ishaq ke Jawa ...25

D.Syekh Maulana Ishaq Sebagai Walisongo ...26

(8)

BAB III: DAKWAH SYEKH MAULANA ISHAQ DI DESA KEMANTREN PACIRAN LAMONGAN

A.Kedatangan Syekh Maulana Ishaq ke desa Kemantren

Paciran Lamongan ...44

B.Kegiatan Dakwah Syekh Maulana Ishaq ...50

1.Bidang Pendidikan ...51

2.Bidang Kemasyarakatan ...53

BAB IV: WARISAN AJARAN SYEKH MAULANA ISHAQ DALAM ISLAMISASI DI DESA KEMANTREN PACIRAN LAMONGAN A.Ajaran Fikih ...55

B.Ajaran Tasawuf ...57

BAB V: PENUTUP A.Kesimpulan ...67

B.Saran ...68

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Agama Islam mulai masuk ke Nusantara pada zaman madya Indonesia

(abad ke-13 M) dengan mengganti agama-agama sebelumnya yang telah

dipeluk oleh masyarakat setempat. Agama Islam tersebar di Indonesia pertama

kali terjadi di Pulau Sumatera, hal ini terjadi terutama disebabkan oleh letak

geografis dan dalam alur pelayaran serta adanya pelabuhan yang menjadi

persinggahan para pedagang atau hanya untuk menunggu waktu datangnya

angin untuk balik.1

Masuknya Islam ke Nusantara sendiri, terjadi melalui dua proses.

Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan

kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia (Arab, India, Cina,

dan lain-lain) yang telah memeluk agama Islam tinggal secara tetap di suatu

wilayah Indonesia, kawin dengan penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup

lokal sedemikian rupa sehingga mereka sudah menjadi orang Jawa, melayu,

atau suku lainnya.2

Menurut de Graaf, seperti dikutip oleh Nur Syam dalam bukunya Islam

Pesisir, ada tiga metode penyebaran Islam. Pertama, pedagang muslim yang

datang dari India atau Arab yang sengaja bertujuan mengislamkan orang-orang

kafir. Kedua, meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman. Ketiga,

1

Sjamsudduha, Penyebaran Dan Perkembangan Islam, Katolik, Protestan Di Indonesia

(Surabaya: Usaha Nasional, 1987), 23.

2

(10)

2

dengan kekuasaan atau memaklumkan perang terhadap negara-negara

penyembah berhala. Jadi Islam disebarkan dengan cara perdagangan,

pendakwah sufi dan politik.3

Eksistensi Islam di Nusantara harus dilihat dari proses masuknya Islam

itu sendiri, namun berbagai kajian yang telah ada masih terlihat kabur dalam

menjelaskan tentang proses masuknya Islam di Nusantara, serta belum ada

kesepakatan secara pasti mengenai masuknya Islam di Nusantara. Perbedaan

pendapat masuknya Islam di Nusantara tersebut mengenai beberapa hal, yaitu

tempat asal kedatangan Islam pertama kali, pembawa pertama agama Islam,

waktu kedatangan Islam, tempat pertama di Nusantara yang didatangi Islam,

daerah tempat yang berkembang, identitas yang pertama masuk dan yang

berpengaruh dalam proses Islamisasi, dan mengapa masyarakat Indonesia

dengan cepat menganut agama Islam.4

Dalam hal ini terdapat dua teori, teori pertama berasal dari sarjana atau

sejarawan Pribumi Indonesia, dan teori kedua berasal dari para sarjana Barat.

Teori pertama dari Hamka, M.D. Mansur, H. Moh. Said, Tujimah, dan D.Q.

Nasution, yang dituangkan dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya Islam

ke Indonesia. Mereka menyatakan bahwa masuknya Islam ke wilayah

Nusantara (Indonesia) pada abad-abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 dan 8

Masehi. Pernyataan ini dibuktikan dengan catatan berita dari Tiongkok, bahwa

di Pulau Jawa abad ketujuh masehi terdapat sebuah kerajaan Hindu Holing

(Kalingga) yang diperintah oleh seorang ratu yang bernama Shima. Menurut

3

Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), 63.

4

Aksin Wijaya, Menusantarakan Islam: Menelusuri Jejak Pergumulan Islam Yang Tak Kunjung

(11)

3

berita tersebut keberadaan kerajaan ini terdengar oleh raja Ta-Chih yang

kemudian mengirim utusan ke kerajaan tersebut. Ta-Chih adalah sebutan bagi

orang Arab yang diberikan oleh orang-orang China.

Alasan lain mengatakan bahwa pada abad-abad ketujuh dan delapan para

pedagangn Arab telah menguasai rute pelayaran perdagangan dari Teluk Persia

(Arab) di barat sampai ke Asia Tenggara dan China di timur. Oleh karena

wilayah-wilayah teluk Persia, Indah (Gujarat) sudah lebih lama dikuasai oleh

umat Islam dan dapat dipastikan sebagian besar para pedagang beragama

Islam. Dengan demikian, kuat dugaan pada abad ketujuh tersebut banyak

orang-orang Arab yang berjumpa dengan orang Jawa maupun Sumatera.5 Dan

pembawa Islam itu sendiri merupakan orang-orang yang berasal dari Arab,

yang memang sengaja datang ke wilayah ini untuk tujuan dakwah Islam, salah

satu buktinya adalah dipakainya gelar “malik” oleh raja-raja pada masa awal

kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, yaitu raja kerajaan Perlak dan Pasai.6

Teori kedua diajukan oleh Snouck Hurgronye dan A.H. Jhons

mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi.

Keduanya berasumsi bahwa setelah hancurnya Bagdad oleh tentara Mongol di

bawah pimpinan Holako Khan tahun 1258 M, para ulama dan pendakwah

secara berangsur-angsur bergerak ke timur dan Asia Tengah untuk mencari

perlindungan dan keselamatan dari serbuan tentara Mongol. Para ulama

tersebut, disamping mencari keselamat juga memiliki misi dakwah.7

Sedangkan pembawa Islam ke Nusantara adalah para pedagang yang berasal

5

Ahwan Mukarrom, Sejarah Islamisasi Nusantara (Surabaya: Jauhar, 2009), 58.

6

Ibid., 69.

7

(12)

4

dari Gujarat India.8 Pendapat ini pula didukung oleh berita dari Marcopolo.

Dalam muhibahnya ke Tiongkok Marcopolo singgah di Aceh Utara pada tahun

1292 M, dia melihat komunitas orang-orang India yang beragama Islam dan

giat menyiarkan Islam.9

Masyarakat di Jawa sebelum datangnya Islam merupakan masyarakat

yang memeluk agama Hindu dan Budha. Ajaran tentang kepercayaan kepada

dewa-dewa, tokoh yang didewakan, serta kepercayaan kepada benda-benda

yang dianggap memiliki kekuatan gaib merupakan ajaran agama Hindu dan

Budha yang berkembang dalam masyarakat Jawa tersebut. Sering kali dijumpai

bangunan-bangunan Hindu dan Budha di Jawa yang dahulu digunakan sebagai

tempat peribadatan. Kemudian Islam masuk ke wilayah ini dan sedikit demi

sedikit merubah masyarakat Hindu-Budha menjadi masyarakat Islam yang taat.

Para ahli sejarah bersepakat, bahwa Islam datang di Jawa pada masa

pemerintahan raja-raja Hindu. Keberadaan Islam di Jawa ditemukan dalam

prasasti makam di Leran Gresik, yaitu makam Fatimah binti Maimun, wafat

tahun 1087 M, yang diidentifikasi sebagai keturunan Nabi dan menjadi

penyebar Islam di daerah Gresik. Prasasti ini memberikan bukti autentik bahwa

Islam telah menyebar di Jawa, khususnya di Jawa Timur pada masa

pemerintahan Hindu, tepatnya raja Airlangga Kerajaan Kahuripan.10 Namun

agama Islam di Jawa secara intensif baru berlangsung sekitar abad ke-15, orang

pertama yang dianggap memulai usaha ini ialah Maulana Malik Ibrahim wafat

8

Ibid., 68.

9

Ibid., 63-65.

10

(13)

5

di Gresik tahun 822 H/ 1419 M, yang dakwahnya ternyata berhasil memikat

banyak pengikut.11

Dalam beberapa literatur sejarah disebutkan bahwa penyebar agama

Islam ke pulau Jawa diawali oleh Maulana Malik Ibrahim. Nur Syam

menyatakan bahwa penyebaran Islam di Jawa ditandai dengan hadirnya

beberapa ulama yaitu Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke tanah

Jawa, khususnya Jawa Timur, yang sebelumnya singgah di kerajaan Pasai.

Semasa kerajaan Aceh Besar, Sharif Hidayatullah juga datang ke Jawa, dan

bertemu dengan Sunan Ampel yang selanjutnya ditugaskan untuk menyebarkan

Islam di Jawa Barat.

Ketiga wali penyebar Islam di Jawa Timur ini (Maulana Malik Ibrahim,

Maulana Ishaq, dan Sunan Ampel) menjadi penyebar Islam semasa akhir

kerajaan majapahit yang sudah dalam keadaan compang-camping akibat

perang Paregreg yang menghabiskan energi kerajaan dan masyarakat. Maulana

Malik Ibrahim menjadi penyebar Islam di Gresik dan sekitarnya, Maulana

Ishaq ke Banyuwangi dan mengawini puteri raja Blambangan, Dewi

Sekardadu. Maulana Malik Ibrahim menetap dan meninggal di Gresik. Sunan

Ampel menyebarkan Islam di Surabaya. Semasa dengan Sunan Ampel adalah

Raden Santri dan Raden Burereh, yang ketiganya masih keponakan raja

Brawijaya dari Majapahit dari jalur istri, Dwarawati dari Campa.12

Penyebar dan penyiar agama Islam di Jawa pada zaman dahulu

dipelopori oleh para mubaligh Islam yang lebih dikenal dengan sebutan

11

Sjamsudduha, Penyebaran dan Perkembangan Islam, Katolik, Protestan, 24.

12

(14)

6

“walisongo” (sembilan wali) yang telah menyebarkan Islam secara intensif di

Jawa. Sembilan wali tersebut antara lain: Maulana Malik Ibrahim, Sunan

Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan

Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunungjati.13 Kegiatan-kegiatan mereka

dalam mengislamkan raja-raja atau penguasa dan masyarakat Jawa, khususnya

di wilayah pantai utara, sering kali dituturkan oleh hikayat, sejarah dan tradisi

lokal.14

Ada yang mengatakan bahwa Sunan Tembayat, Sunan Prawoto, Sunan

Ngudung, Sunan Geseng, Sunan Benang, Sunan Mojoagung, Syekh Siti Jenar,

Syekh Syubakhir, Syekh Maulana Ishaq, juga termasuk anggota dari

kesembilan wali tersebut. Namun yang terpopuler adalah sembilan wali yang

telah disebut di atas.15

Di pesisir pulau Jawa Islam disebarkan dengan baik oleh para

pendakwah, melintasi jalur laut salah satunya adalah Lamongan. Di daerah

Lamongan penyebaran Islam dilakukan oleh beberapa wali, antara lain Syekh

Maulana Ishaq (w. 1485 M), Sunan Drajat (w. 1522 M), dan Sunan Sendang

(w. 1585 M). Syekh Maulana Ishaq menyebarkan Islam di daerah Kemantren

Paciran Lamongan, Sunan Drajat meneyebarkan Islam di daerah Drajat Paciran

Lamongan, dan Sunan Sendang menyebarkan Islam di daerah Sendang Duwur

Paciran Lamongan. Keberadaan wilayah penyebaran Islam ini merupakan

wilayah pesisir Lamongan, yang pada saat itu mayoritas masyarakatnya

beragama Hindu-Budha. 13

Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), 315.

14

Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: KPG, 2009), 28.

15

(15)

7

Dari beberapa penyebar Islam di pesisir Lamongan tersebut, Syekh

Maulana Ishaq merupakan salah satu pelopor penyebaran Islam di wilayah ini.

Syekh Maulana Ishaq adalah keturunan ke-21 Rasulullah SAW dari Siti

Fatimah binti Rasulullah dengan silsilah sebagai berikut: Syekh Maulana Ishaq

bin Jamaluddin Akbar bin Ahmad bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alawi bin

Muhammad bin Shohibul Mirdad bin Ali Kholi Qosam bin Alawi bin

Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Muhajir bin Isa bin Muhammad

Al-Faqih bin Ali Al-Aridh bin Ja’far Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali

Zainal Abidin bin Husein binti Sayyidah Fatimah bin Sayyidina Muhammad

SAW.

Dikisahkan dalam sejarah bahwa Syekh Maulana Ishaq tiba di pesisir

Gresik tahun 1434 M, dan langsung meneruskan perjalanannya menuju ke

pedukuhan Ampel Denta, dan kebetulan yang menjadi penguasa sekaligus guru

pesantren Ampel Denta adalah Raden Rahmat Sunan Ampel yang merupakan

keponakannya sendiri, karena hubungan kerabat yang dekat serta memiliki misi

yang sama dalam menyebarkan Islam, maka Syekh Maulana Ishaq disambut

dengan baik. setelah itu Syekh Maulana Ishaq melanjutkan perjalanan ke

Gunung Slangu Blambangan dengan niat beruzlah dengan menekuni shalat

fardhu, puasa pada siang hari, shalat pada malam hari, agar lebih mendekatkan

diri kepada sang pencipta. Karena uzlah tersebut sehingga mendapat julukan

Resi Maulana Ishaq.

Ketika dalam keadaan uzlah di Blambangan tersebut kerajaan

(16)

8

yang sangat mengerikan, dan wabah itu juga menyerang penghuni istana,

bahkan putri Prabu Menak Sembuyu juga terserang wabah penyakit tersebut.

Raja sangat khawatir sehingga raja memanggil menteri, punggawa, bupati, dan

patih lalu bertitah “barang siapa yang bisa menyembuhkan putriku akan

menjadi suaminya dan akan ku bagi Negara Blambangan menjadi dua dan akan

ku angkat dia menjadi Prabu Anom”.

Mendengar sayembara tersebut, patih Blambangan memberitahu raja

bahwa ada seorang yang bertempat di Gunung Slangu yang perilakunya tidak

sama dengan perilaku orang pada umumnya, dengan memakai jubah dan

sorban, mendengar hal itu raja langsung memerintahkan anak buahnya untuk

mendatangkan orang yang dimaksud, yaitu Maulana Ishaq. Namun Maulana

Ishaq berkenan menyembuhkan puteri raja dengan syarat raja harus masuk

Islam. Akhirnya raja setuju dan putrinya pun sembuh.

Maka mulai saat itu Syekh Maulana Ishaq menjadi raja kerajaan

Blambangan dengan sebutan Prabu Anom dan menjadi pasangan dari Dewi

Sekardadu putri raja Blambangan. Oleh karena tidak sesuai dengan ajaran

kerajaan pada saat itu, maka Syekh Maulana Ishaq diusir keluar dari kerajaan

Blambangan. Beliau berpesan agar istrinya masih tetap tinggal di istana, dan

Syekh Maulana Ishaq berangkat untuk melanjutkan perjalanan hidup, tempat

yang beliau tuju adalah Pasai, namun tidak langsung ke Pasai, melainkan pergi

ke pantai segoro lor (Pantai Sepaku/Sepakis). Di barat pantai segoro lor

tersebut ada sebuah perkampungan yang berasal dari kata montro jopo montro

(17)

9

mengajarkan ajaran Islam di wilayah ini secara damai, menggunakan berbagai

sarana dakwah yang tidak bertentangan dengan adat tradisi yang ada. Dakwah

yang dilakukan oleh Syekh Maulana Ishaq dapat diterima dengan baik oleh

masyarakat desa Kemantren, sehingga mampu merubah agama masyarakat dari

Hindu-Budha menjadi Islam. Dalam penyebaran Islam di wilayah ini Syekh

Maulana Ishaq menggunakan berbagai bidang antara lain: bidang pendidikan

dan bidang kemasyarakatan.

Warisan ajaran Syekh Maulana Ishaq dalam menyebarkan Islam terdiri

dari beberapa ajaran, antara lain yang terdapat dalam manuskrip-manuskrip

peninggalan Syekh Maulana Ishaq yaitu ilmu fikih yang bersumber dalam

ajaran madzhab imam Syafi’i, ilmu tasawuf dalam bentuk wirid atau dzikir

-dzikir.

Keberadaan Syekh Mualana Ishaq di desa Kemantren Paciran Lamongan

ditandai dengan adanya makam Syekh Maulana Ishaq di desa Ini, makam

tersebut banyak diziarahi oleh peziarah. Disamping itu juga terdapat

benda-benda peninggalan Syekh Maulana Ishaq, antara lain: bayang gambang, sumur

sakincu, watu tumpang tumpuk, dan masjid.

Atas dasar itulah, maka penulis ingin melakukan kajian lebih mendalam

mengenai Syekh Maulana Ishaq dengan judul “Syekh Maulana Ishaq dan

Islamisasi Di Desa Kemantren Paciran Lamongan 1443-1485 M (Studi

(18)

10

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana riwayat hidup Syekh Maulana Ishaq?

2. Bagaimana dakwah Syekh Maulana Ishaq di desa Kemantren Paciran

Lamongan?

3. Bagaimana warisan ajaran Syekh Maulana Ishaq dalam Islamisasi di desa

Kemantren Paciran Lamongan?

C.Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui riwayat hidup Syekh Maulana Ishaq.

2. Untuk mengetahui bagaimana dakwah Syekh Maulana Ishaq di desa

Kemantren Paciran Lamongan.

3. Untuk mengetahui bagaimana warisan ajaran Syekh Maulana Ishaq dalam

Islamisasi di desa Kemantren Paciran Lamongan.

D.Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kegunaan, antara lain:

1. Untuk memperkaya khazanah sejarah sosial keagamaan agar menjadi

bacaan yang berguna bagi pembaca maupun masyarakat yang ingin

mengetahui lebih lanjut tentang dakwah Islamisasi Syekh Maulana Ishaq di

desa Kemantren Paciran Lamongan dan warisan ajarannya.

2. Membangkitkan kesadaran baru di kalangan umat Islam untuk memacu

(19)

11

E.Pendekatan dan Kerangka Teori 1. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi yang berjudul

“Syekh Maulana Ishaq dan Islamisasi Di Desa Kemantren Paciran

Lamongan 1443-1485 M (Studi Tentang Dakwah dan Warisan Ajarannya)”

ini adalah pendekatan historis (sejarah), dan pendekatan sosiologis.

Pendekatan historis digunakan untuk mengungkapkan riwayat hidup Syekh

Maulana Ishaq. Sedangkan pendekatan sosiologis digunakan sebagai alat

bantu, penggunaan pendekatan sosiologis tersebut akan dapat meneropong

segi-segi sosial peristiwa yang dikaji.16

2. Kerangka Teori

Kerangka teori yang digunakan adalah teori perubahan sosial dari E.B.

Taylor. Menurut E.B.Taylor sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto

bahwa perubahan sosial berhubungan erat dengan perubahan kebudayaan.

Perubahan kebudayaan merupakan suatu komplek yang mencakup

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat, dan setiap

kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat. Perubahan

yang terjadi dalam masyarakan merupakan perubahan yang terjadi dari

unsur-unsur tersebut.

Bentuk-bentuk perubahan yang terjadi dalam masyarakat adakalanya

terjadi secara lambat maupun cepat, perubahan yang pengaruhnya kecil

16

(20)

12

maupun besar, serta perubahan yang dikehendaki atau direncanakan dan

perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan.17

Perubahan secara lambat adalah perubahan yang memerlukan waktu

yang lama dan terdapat suatu rentetan perubahan-perubahan kecil yang

saling mengikuti dengan lambat. Perubahan secara cepat adalah perubahan

yang menyangkut sendi-sendi pokok dari kehidupan masyarakat dengan

waktu yang relatif cepat.

Perubahan yang kecil adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur

struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung bagi masyarakat.

Sedangkan perubahan yang besar adalah perubahan yang membawa

pengaruh besar bagi masyarakat.

Perubahan yang direncanakan merupakan perubahan yang dilakukan

oleh seseorang atau sekelompok orang yang telah dipercaya oleh

masyarakat untuk melakukan perubahan, sedangkan perubahan yang tidak

direncanakan merupakan perubahan yang dilakukan secara tidak disengaja.

Dari perubahan di atas, jika dikaitkan dengan perubahan yang terjadi

dalam penelitian ini adalah perubahan secara lambat dengan memiliki

pengaruh yang besar dan direncanakan. Hal ini terbukti dengan adanya

perubahan yang terjadi pada masyarakat desa Kemantren setelah Syekh

Maulana Ishaq berdakwah di desa ini. Dengan menggunakan teori

perubahan tersebut, maka dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk

penelitian ini.

17

(21)

13

F. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu tentang tema sejarah dan kebudayaan yang mirip

dengan penelitian ini, antara lain:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Mas’ud mahasiswa jurusan Perbandingan

Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga

tahun 2013 yang berjudul “Perilaku Keagamaan Peziarah Di Kompleks

Makam Syekh Maulana Ishaq Desa Kemantren Kec. Paciran kab.

Lamongan”. Skripsi ini membahas mengenai bentuk perilaku keagamaan

para peziarah di komplek makam Syekh Maulana Ishaq di desa Kemantren

Kec. Paciran kab. Lamongan.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Efendi mahasiswa Universitas

Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta yang berjudul “Tradisi Jajan Mangan

dalam masyarakat nelayan Desa Kemantren Kecamatan Paciran kabupaten

Lamongan Jawa Timur”. Skrispi ini berisi tentang tradisi jajan mangan yang

dilakukan oleh masyarakat nelayan yang ada di desa Kemantren Kecamatan

Paciran Kabupaten Lamongan terkait dengan bentuk pelaksanaan serta

makna dari tradisi tersebut.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Sumaiyah mahasiswa jurusan Sejarah

dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya tahun

2014 yang berjudul “Peranan Sunan Sendang (1520-1585 M) dalam

penyebaran Islam di desa Sendang Duwur Paciran Lamongan”. Skripsi ini

membahas tetang Islamisasi yang dilakukan oleh Sunan Sendang di desa

(22)

14

4. Penelitian yang dilakukan oleh Akh. Syaifuddin Zuhri mahasiswa jurusan

Sejarah dan Kebudayaan Islam fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya

tahun 2013 yang berjudul “Sunan Drajat dan perjuangannya Dalam

Islamisasi di kabuupaten Lamongan”. Skripsi ini membahas tentang

perjuangan Sunan Drajat dalam Islamisasi di kabupaten Lamongan.

5. Penelitian yang dilakukan oleh Amirul Akbar mahasiswa Universitas Negeri

Surabaya tahun 2007 yang berjudul “Peranan Maulana Ishaq Dalam

Menyebarkan Agama Islam Di Jawa (Blambangan) Abad XIV M”. Skripsi

ini berisi tentang peranan Maulana Ishaq dalam menyebarkan Agama Islam

di Jawa yaitu di Blambangan (saat ini Banyuwangi) pada adab XIV masehi.

Mulai dengan menyebarkan Islam di wilayah kerajaan sampai kepada rakyat

biasa di Blambangan.

Sedangkan skripsi yang berjudul “Syekh Maulana Ishaq dan Islamisasi

Di Desa Kemantren Paciran Lamongan 1433-1485 M (Studi Tentang Dakwah

dan Warisan Ajarannya)” ini berbeda dengan skripsi atau penelitian yang telah

ada di atas, dengan kata lain bahwa penelitian ini merupakan penelitian yang

belum pernah disajikan sebelumnya. Dalam skripsi ini yang dibahas adalah

dakwah dan warisan ajaran Syekh Maulana Ishaq di desa Kemantren Paciran

Lamongan yang telah merubah masyarakat desa Kemantren dari Hindu-Budha

(23)

15

G.Metode Penelitian

Penulisan sejarah merupakan tujuan dari penelitian ini. Penulisan sejarah

adalah suatu rekonstruksi masa lalu yang berkaitan pada prosedur ilmiah.18

Sehingga untuk merekonstruksi masa lampau dari obyek yang diteliti,

dilakukan dengan menggunakan metode sejarah. Metode sejarah adalah

seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang sistematis untuk mengumpulkan

sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan menyajikan

sintesa dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tulisan.19 Adapun

penggunaan metode sejarah ini ditempuh dengan menggunakan empat tahap,

antara lain: heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber),

intepretasi (penafsiran), dan historiografi (penulisan).

1. Heuristik (Pengumpulan Sumber)

Heuristik adalah mencari dan mengumpulkan sumber-sumber atau

bahan. Suatu proses yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan

sumber-sumber, data-data, atau jejak sejarah. Sumber sejarah juga disebut

sebagai data sejarah. Untuk memperoleh sumber tersebut, maka penulis

mengutamakan sumber primer yang sesuai dengan penulisan skripsi ini,

sumber-sumber yang dipakai dalam penulisan ini adalah:

a. Sumber Primer

Sumber primer yang digunakan dalam penulisan ini ada yang

berasal dari sumber tulisan dan sumber lisan. Sumber tulisan yaitu Babad

Gresik, manuskrip kitab Mujāzul al-Alīm yang ditulis tahun 1450-an,

18

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001), 12.

19

(24)

16

manuskrip kitab Al-Musyafaqat al-Imān yang ditulis tahun 1430-an,

manuskrip kitab Al-Miqāt al-Mu’ad yang ditulis tahun 1420-an,

manuskrip kitab Al-Hijāz yang ditulis tahun 1426, manuskrip kitab

Al-Mughābir al-Aulā yang ditulis tahun 1412. Sedangkan sumber lisan

diperoleh dari sejarah lisan berupa cerita, dongeng, legenda, maupun

mitos yang beredar dalam masyarakat desa Kemantren tentang Syekh

Maulana Ishaq. Disamping sumber lisan dan tulisan, terdapat juga

sumber yang berupa artefak atau peninggalan-peninggalan Syekh

Maulana Ishaq, antara lain: Batu Tumpang Tumpuk (batu tersusun),

Bayang Gambang, dan Sumur.

b. Sumber Tersier

Sumber tersier merupakan sumber pelengkap yang digunakan

dalam penelitian ini yang berasal dari buku-buku, jurnal, majalah, dan

lain-lain yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Adapun sumber

buku yang digunakan antara lain: Buku Umar Hasyim, Sunan Giri

(Kudus: Menara Kudus, 1979). Buku Aminuddin Kasdi, Kepurbakalaan

Sunan Giri. (Surabaya: Unesa University Press, 2009). Buku Solichin

Salam, Sekitar Walisanga. (Kudus: Menara Kudus, 1960). Sertu

buku-buku lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Verifikasi

Verifikasi adalah penelitian atas keabsahan sumber. Dalam hal ini

sumber-sumber yang diperoleh oleh peneliti diuji keabsahannya.20 Apakah

20

(25)

17

sumber-sumber tersebut kredibel atau tidak.21 Proses inilah yang disebut

dalam metode sejarah sebagai kritik intern, adapun kritik intern untuk

mendapatkan sumber yang kredibel dengan cara membandingkan sumber

satu dengan sumber lainnya, dalam hal ini membandingkan sumber yang

ada di Babad Gresik dengan sumber yang ada di manuskrip kitab Mujāzul

al-Alīm, manuskrip kitab Al-Musyafaqat al-Imān, manuskrip kitab Al-Miqāt

al-Mu’ad, manuskrip kitab Al-Hijāz, manuskrip kitab Al-Mughābir al-Aulā.

yang kemudian ditarik sebuah kesimpulan yang bersifat rasional.

3. Intepretasi (Penafsiran)

Intepretasi atau penafsiran sering disebut juga dengan analisis sejarah.

Analisis berarti menguraikan, setelah data terkumpul dan dibandingkan lalu

disimpulkan untuk ditafsirkan.22 Dalam interpretasi ini dilakukan dengan

dua macam cara yaitu analisis (menguraikan), sintesis (menyatukan) data.

Analisis sejarah bertujuan untuk melakukan sintesis atas sejumlah fakta

yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah.23 Sehingga intepretasi bisa

dikatakan sebagai proses memaknai fakta-fakta sejarah.

Dalam hal ini peneliti melakukan interpretasi dengan cara mengaitkan

informasi yang diperoleh dari penelusuran sumber yang berhubungan

dengan menggunakan teori perubahan sosial dari E.B. Taylor sebagai pisau

analisis.

21

Nugroho Noto Susanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Jakarta: Yayasan Idayu, 1998), 36.

22

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, 100-102.

23

(26)

18

4. Historiografi

Sebagai tahap terakhir metode penulisan sejarah, historiografi adalah

penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian.24 Dalam hal ini

peneliti berusaha untuk merekonstruksi masa lampau berdasarkan data yang

diperoleh.25 Sehingga pada tahap ini menghasilkan suatu laporan penelitian

yang utuh mengenai dakwah dan warisan ajaran Syekh Maulana Ishaq

dalam Islamisasi di Desa Kemantren Paciran Lamongan dengan

menggunakan metode penulisan diakronis secara urut-urutan waktu terkait

dengan riwayat hidup dari Syekh Maulana Ishaq, serta menggunakan

metode sinkronis dengan menjelaskan tema-tema khusus terkait dengan

dakwah dan warisan ajaran Syekh Maulana Ishaq.

H.Sistematika Bahasan

Dalam penulisan skripsi ini disajikan dengan lima bab yang merupakan

satu rangkaian yang sistematis, sebab antara bab satu dengan bab yang lainnya

saling berkaitan, dan untuk mempermudah bahasan dalam skripsi ini, penulis

menyajikannya dalam satu bab pendahuluan tiga bab pembahasan dan satu bab

penutup yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

Bab I akan dipaparkan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teori,

penelitian terdahulu, metodologi penelitian, dan sisitematika pembahasan.

24

Ibid.,67.

25

(27)

19

Bab II akan dipaparkan mengenai riwayat hidup Syekh Maulana Ishaq,

tentang asal-usul Syekh Maulana Ishaq, silsilah Syekh Maulana Ishaq,

kedatangan Syekh Mualana Ishaq ke Jawa, Syekh Maulana Ishaq sebagai

Walisongo, serta perjalanan dakwah Syekh Maulana Ishaq.

Bab III akan dipaparkan mengenai Dakwah Syekh Maulana Ishaq di desa

Kemantren Paciran Lamongan terkait dengan kedatangan Syekh Maulana Ishaq

ke Kemantren Paciran Lamongan, serta kegiatan dakwah Syekh Maualana

Ishaq.

Bab IV akan dibahas mengenai warisan ajaran Syekh Maulana Ishaq

dalam Islamisasi di desa Kemantren Paciran Lamongan terkait dengan ajaran

ilmu fikih, dan ajaran ilmu tasawuf.

Bab V Dalam bab ini merupakan bab terakhir, yang berisi kesimpulan

(28)

BAB II

RIWAYAT HIDUP SYEKH MAULANA ISHAQ

A.Asal Usul Syekh Maulana Ishaq

Dari berbagai sumber yang ada, menyebutkan bahwa terdapat perbedaan

mengenai asal usul Syekh Maulana Ishaq. Dalam Babad Gresik dikemukakan

bahwa Syekh Maulana Ishaq putera Syekh Jumadil Kubra berasal dari Malaka

Hindu-Siyam, mendapat gelar Syekh Wali Lanang. Dalam Babad Tanah Jawa

menuturkan bahwa namanya sama yaitu Syekh Wali Lanang, namun berasal

dari negeri Juldah (Jeddah) Tanah Arab, yang agaknya sesuai dengan

pemberitaan Babad Gresik adalah Babad Demak (Pesisiran) yang menjelaskan

bahwa Syekh Maulana Ishaq merupakan paman dari Sunan Ampel, namun

berasal dari Pasai. Disamping itu pula ada versi berita yang tidak masuk akal

yaitu yang berasal dari Babad Tanah Jawi versi Wirjapanitra, yang

menjelaskan dengan tiba-tiba saja telah berada di bawah tanah dekat dengan

gapura kerajaan Blambangan, setelah digali, di bawah gapura keraton

Blambangan tadi, ternyata terdapat gua, di dalam gua itulah Syekh Maulana

Ishaq bertapa.1 Terdapat juga berita yang berasal dari Serat Kanda tentang

asal-usul Syekh Maulana Ishaq yang senada dengan berita Babat Tanah Jawa.

1

(29)

21

Serat Kanda menyebutkan bahwa Syekh Maualana Ishaq datang dari Jeddah

Arabia.2

Asal usul Syekh Maulana Ishaq sebagai tokoh penyebar Islam di Jawa

memang masih simpang siur, namun jika ditelusuri dari beberapa keluarga dari

Syekh Maulana Ishaq, maka dapat dipastikan bahwa Syekh Maulana Ishaq

merupakan orang luar pribumi Jawa, dan bahkan berasal dari luar Kepulauan

Nusantara. Asumsi tersebut sesuai dengan jaringan genealogis dari Syekh

Maulana Ishaq sendiri yang merupakan anak dari Syekh Jumadil Kubro yang

berasal dari Mesir.3 Juga merupakan saudara dari Syekh Maulana Ibrahim

Asmara yang berasal dari Samarkand. Menurut Wiji Saksono, asal nama

Asmara dimungkinkan berasal dari pendekatan nama Asmarkandi, yang

merupakan kesalahan pengucapan untuk nama Samarkand, nama kota di

Republik Uzbekistan.4 Serta Raden Rahmat Sunan Ampel yang merupakan

keponakan dari Syekh Maulana Ishaq yang berasal dari Campa.

Jaringan keluarga di atas memberikan penjelasan bahwa Syekh Maulana

Ishaq merupakan orang asing yang datang ke Nusantara ini untuk tujuan

dakwah menyebarkan agama Islam. Sumber tertulis yang berasal dari

manuskrip Islam Kemantren sendiri menuturkan bahwa Syekh Maulana Ishaq

berasal dari daerah Pasai yang pergi ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam.

Dari berbagai pernyataan tentang asal usul Syekh Maulana Ishaq dapat

disimpulkan bahwa Syekh Maulana Ishaq berasal dari Jeddah Arabia dan telah

2

Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam Di

Nusantara (Yogyakarta: LkiS, 2995), 104.

3Rofi’i Ariniro,

Panduan Lengkap Ziarah Wali Sanga (Jogjakarta: DIVA Press, 2012),19.

4

(30)

22

pergi ke Pasai terlebih dahulu sebelum ke Pulau Jawa. Maka tidak heran jika

beberapa sumber mengatakan bahwa Syekh Maulana Ishaq berasal dari Pasai,

sebab beliau telah tinggal lama di Pasai sebelum pergi ke Jawa. Sedangkan asal

usul beliau sebenarnya berasal dari Jeddah Arabia.

B.Silsilah Syekh Maulana Ishaq

Menurut berbagai sumber yang ada Syekh Maulana Ishaq merupakan

putra dari Syekh Jamaluddin Kubra atau Syekh Jamaluddin Jumadil Kubra.

Ada juga yang menamakan Sayyid Zainal Kubra atau Sayyid Zainal Akbar

yang memiliki silsilah sampai ke Sayyid Zainal Abidin putra Sayyidina Husein

putra Fatimah putri Rasulullah. Sebutan Sayyid atau Syyidina merupakan

sebutan yang khusus ditujukan untuk para keturunan Rasulullah. Dalam

Hikayat raja-raja Aceh, Syekh Maulana Ishaq disebut sebagai keturunan

Iskandar Zulkarnain.5

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Research Islam

Malang tahun 1975 mengenai silsilah Syekh Maulana Ishaq dari pihak ayah,

adalah sebagai berikut:

1. Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW

2. Sayyida Fatimah binti Muhammad SAW

3. Husein binti Fatimah

4. Ali Zainal Abidin bin Husein

5. Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin

5

R. Soedarsoeno, Beberapa Persamaan dan Perbedaan Babad di Asia Tenggara Dalam Bahasa,

(31)

23

6. Ja’far As-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir

7. Ali Al-Aridh bin Ja’far Shodiq

8. Muhammad Al-Faqih bin Ali

9. Isa bin Muhammad Al-Faqih

10. Ahmad Al-Muhajir bin Isa

11. Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir

12. Muhammad bin Abdullah

13. Alawi bin Muhammad

14. Ali Kholi Qosam bin Alawi

15. Shohibul Mirdad bin Ali Kholi Qosam

16. Muhammad bin Shohibul Mirdad

17. Alawi bin Muhammad

18. Abdul Malik bin Alawi

19. Abdullah bin Abdul Malik

20. Ahmad bin Abdullah

21. Jamaluddin Akbar bin Ahmad

22. Syekh Maulana Ishaq bin Jamaluddin Akbar6

Dari silsilah tersebut dapat diketahui bahwa Syekh Maulana Ishaq

sebenarnya merupakan anak dari Jamaluddin Akbar atau Syekh Jamaluddin

Jumadil Kubra dan merupakan keturunan ke-21 Rasulullah SAW.

6

Panitia Penelitian dan Pemugaran Makam Sunan Giri, Sejarah dan Dakwah Islamiyah Sunan

(32)

24

Oleh karena Syekh Maulana Ishaq sebagai putera dari Syekh Jumadil

Kubra, maka Syekh Maulana Ishaq masih termasuk keluarga dengan para wali

lainnya. Jelasnya, bahwa Syekh Jumadil Kubra memiliki tiga putera, yakni:

1. Syekh Maulana Ibrahim Asmara, yang memiliki dua orang putera yang

pertama bernama Sayid Ali Murtala yang berdakwah menyiarkan agama

Islam ke daerah Nusa Tenggara, Madura sampai ke Bima, di Bima ia

mendapat sebutan Raja Pandita Bima dan akhirnya di Gresik mendapat

sebutan Raden Santri. Kedua bernama Sayid Ali Rahmat mendirikan

pesantren di Ampel Denta dan mendapat sebutan Sunan Ampel. Sunan

Ampel memiliki putera antara lain: Maulana Ibrahim Sunan Bonang,

Maulana Hasyim Sunan Drajat, Maulana Ahmad Sunan Lamongan, Siti

Mutma’innah, Siti Alwiyah, Siti Asyikah yang menjadi istri Raden Fattah

Demak, Dewi Murtasiah yang menjadi istri Sunan Giri, dan Dewi Mursimah

yang menjadi istri Sunan Kalijaga.

2. Syekh Abdullah Asy’ari

3. Syekh Maulana Ishaq, yang memperistri Dewi Sekardadu puteri raja Menak

Sembuyu Blambangan, dan berputera Raden Paku Sunan Giri.

Dari jaringan genealogis tersebut, maka jelaslah bahwa Syekh Maualana

Ishaq memiliki ikatan kekeluargaan dengan wali lainnya, dengan Syekh

Ibrahim Asmara sebagai saudaranya, Sunan Ampel sebagai keponaknnya,

Sunan Giri sebagai anaknya, Sunan Bonang dan Sunan Drajat sebagai cucu

(33)

25

C.Kedatangan Syekh Maulana Ishaq ke Jawa

Kedatangan Syekh Maulana Ishaq ke Jawa tidak bisa diketahui secara

pasti, sebab tidak ada satupun sumber baik sumber tertulis berupa manuskrip

maupun sumber lain yang menjelaskan tentang kapan sebenarnya Syekh

Maulana Ishaq ke Jawa, namun ada petunjuk yang dapat menjelaskan

mengenai kapan kedatangan Syekh Maulana Ishaq ke Tanah Jawa sebenarnya,

yaitu keberadaan Sunan Ampel di Ampel Denta dan kelahiran Sunan Giri.

Sebelum Syekh Maulana Ishaq ke Jawa, Syekh Maulana Ishaq bersama

saudaranya yang tertua yang bernama Syekh Maulana Ibrahim Asmara diajak

oleh orang tuannya ke Pasai, Aceh, dan telah agak lama beliau bermukim

disana. Tidak lama setelah tinggal di Pasai Syekh Maulana Ishaq mendengar

berita bahwa di Jawa telah tersiar agama Islam, maka beliau segera berangkat

ke Jawa, tepatnya Jawa Timur. Dengan rute perjalanan laut dengan

menumpang perahu dagang milik orang Gresik.7 Setibanya di Gresik Syekh

Maulana Ishaq langsung melanjutkan perjalanannya, tempat yang dituju adalah

Ampel Denta. Sunan Ampel datang ke Tanah Jawa pada tahun 1419 M dengan

mengunjungi bibinya di Kerajaan Majapahit. Setelah itu tahun 1433 M Raden

Rahmat Sunan Ampel baru menetap di Ampel Denta dan menyebarkan Islam

disana. Sedangkan tahun lahirnya Sunan Giri sebagai putera dari Syekh

Maualan Ishaq adalah tahun 1443 M. Sehingga dari data tersebut bisa

dikatakan bahwa pada tahun-tahun setelah tahun 1433 M dan sebelum tahun

7

(34)

26

1443 M inilah Syekh Maulana Ishaq datang ke Jawa, tepatnya ke Ampel Denta

sebelum ke Blambangan.8

Sesampainya di Ampel, Maulana Ishaq bertemu dengan Raden Rahmat,

atau Sunan Ampel, dan ternyata Raden Rahmat telah mempunyai banyak santri

atau murid, sangat kebetulan sekali bagi Syekh Maulana Ishaq, karena Raden

Rahmat adalah keponakannya. Dalam Hikayat Hasanuddin menjelaskan bahwa

Maulana Ishaq sebagai Duul Islam (zul Islam), orang keramat yang datang

setelah Raden Rahmat menetap di Ampel.9

D.Syekh Maulana Ishaq Sebagai Walisongo

Proses masuknya dan penyebaran Islam di Indonesia secara umum, dan

di Jawa khususnya tidak bisa dilepaskan dari para pedagang Islam, ahli-ahli

agama Islam dan raja-raja atau para penguasa yang telah menganut Islam.10

Para penyebar Islam di Jawa umumnya dikenal oleh masyarakat dengan

sebutan wali atau sunan. Meskipun terdapat bukti arkeologis-epigrafis berupa

nisan bertuliskan kalimah thayyibah pada makam pembesar kerajaan Majapahit

di Troloyo, namun masyarakat di Jawa masih meyakini bahwa penyebar Islam

yang pertama adalah para wali atau sunan.

Secara epistimologi wali adalah singkatan dari kata waliyullah yang

berarti sahabat Allah atau wakil Allah. Dalam kehidupan sosial wali menurut

pandangan masyarakat adalah orang yang sangat cinta kepada Allah,

pengetahuannya tetang masalah-masalah agama sangat dalam, serta sanggup

8

Lihat Kasdi, Babad Gresik, LIX.

9

Hoesain Djajaningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten (Jakarta: Jambatan, 1983), 283.

10

(35)

27

mengorbankan jiwa raganya untuk kepentingan Islam. Sebagai orang yang

dekat dengan tuhan para wali mempunyai tenaga gaib, kekuatan batin yang

berlebih dan ilmu yang sangat tinggi, ahli dalam tasawuf.11

Secara umum para wali di Jawa dibedakan menjadi dua, yaitu wali yang

termasuk dalam Anggota walisongo, dan wali yang tidak termasuk

walisongo.12 Menurut tradisi, wali penyebar Islam di Pulau Jawa dikaitkan

dengan angka 9, walisongo sendiri sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan.13

Para walisongo tidak hidup dalam waktu yang sama, namun memiliki ikatan

erat dalam jaringan keluarga seperti Sunan Ampel dengan Sunan Drajat dan

Sunan Bonang, pernikahan seperti Sunan Giri yang menikah dengan puteri

Sunan Ampel, atau guru-murid seperti Sunan Ampel yang bermuridkan Sunan

Giri dan Sunan Bonang. Jika dalam periode tersebut ada anggota walisongo

yang wafat, maka akan digantikan oleh penggantinya, sehingga dalam tiap

periode jumlah anggota walisongo itu tetap sembilan.

Susunan wali songo tersebut, sebagai berikut:

1. Periode pertama (1404-1435 M), antara lain:

a. Maulana Malik Ibrahim di Gresik

b. Maulana Ishaq di Gresik

c. Maulana Ahmad Jumadil Kubro di Tralaya Trowulan

d. Maulana Muhammad Al-Maghribi Sunan Keseng-Klaten

e. Maulana Malik Israfil di Banten

11

Ibid., 27.

12

R. Pinoto, Warna Sari Sedjarah Indonesia Lama II (Malang: Aksams Club, 1969), 90.

13

Lihat Rachmad Abdullah, Walisongo Gelora Dakwah dan Jihat Di Tanah Jawa (1404-1482 M)

(36)

28

f. Maulana Hasanuddin di Banten

g. Mohammad Ali Akbar di Banten

h. Maulana Aliyuddin

i. Syekh Subakir14

2. Periode kedua (1435-1463 M), antara lain:

a. Sunan Ampel

b. Maulana Ishaq

c. Maulana Jumadil Kubro

d. Maulana Muhammad Al-Maghribi

e. Sunan Kudus

f. Sunan Bonang

g. Maulana Hasanuddin

h. Maulana Aliyuddin

i. Syekh Subakir15

3. Periode ketiga (1463-1678 M), antara lain:

a. Sunan Ampel (w.1481 M)

b. Sunan Giri (w.1506 M)

c. Sunan Drajat (w.1522 M)

d. Sunan Bonang (w.1525 M)

e. Sunan Kudus (w.1550 M)

f. Sunan kalijaga (w.1513 M)

g. Sunan Gunung Jati (w.1568 M)

14

Panitia Penelitian dan Pemugaran Makam Sunan Giri, Sejarah dan Dakwah Islamiyah Sunan Giri, 64-65.

15

(37)

29

h. Raden Patah (w.1518 M)

i. Raden Fatullah Khan16

Telah disebutkan sebelumnya, bahwa dakwah Islam di Jawa ditandai

dengan adanya dua ulama yang datang yaitu Maulana Malik Ibrahim dan

Syekh Maulana Ishaq, keduanya termasuk juga dalam kategori walisongo.

Dalam hal ini Syekh Maulana Ishaq sebagai anggota walisongo yang

menyebarkan agama Islam di Jawa pada periode awal.

E.Perjalanan Dakwah Syekh Maulana Ishaq

Perjalanan dakwah Syekh Maulana Ishaq dipenuhi dengan berbagai

liku-liku. Secara umum seperti yang dikemukan dalam Babad Gresik perjalanan

Syekh Maulana Ishaq dapat dijelaskan sebagai berikut:17

Pertama, perjalanan dari Pasai ke Jawa (Ampel Denta). Sesampainya

bertemu dengan Raden Rahmat Sunan Ampel di Ampel Denta, Syekh Maulana

Ishaq membicarakan berbagai masalah tentang penyiaran agama Islam dengan

Sunan Ampel, terkait dengan bagaimana caranya berdakwah kepada

orang-orang Jawa yang masih hidup di dalam alam animisme dan dinamisme, atau

masyarakat yang telah kuat memegang teguh agama Hindu pada saat itu.

Penyiaran agama Islam pada saat itu sulit, karena mulai dari raja sampai rakyat

kecil semua memeluk agama Hindu, kepercayaan animisme dan dinamisme

dengan kuat.18 Di Ampel Denta ini Syekh Maulana Ishaq hanya bertemu

16

Ibid., 55.

17

Lihat Panitia Hari Jadi Kota Gresik, Babad Gresik Jilid I Terj. Soekarman (Gresik: Radya Pustaka, 1990), 7-22.

18

(38)

30

dengan keponakannya Raden Rahmat Sunan Ampel yang kebetulan menjadi

guru di pesantren Ampel dan telah memiliki banyak pengikut.

Kedua, setelah dari Ampel Denta berlanjut ke Blambangan. Setelah

Raden Rahmat Sunan Ampel diberi wewenang oleh raja Majapahit untuk

memerintah daerah Ampel sebagai pegawai kerajaan, yang membawahi sekitar

3000 keluarga, dan pada akhirnya untuk dapat memimpin 3000 keluarga

tersebut Sunan Ampel mendirikan pesantren untuk mendidik dan memberikan

pengajaran tentang syariat Islam yang baik, sehingga 3000 keluarga tersebut

masuk Islam semuannya. Sejak saat itulah pengikut atau santri dari Sunan

Ampel secara berangsur-angsur menjadi lebih banyak.

Daerah Ampel kemudian menjadi pusat agama Islam, dan banyak

dikunjungi oleh para ulama, seperti Sayid Ishaq, paman Raden Rahmat sendiri,

Syarif Ibrahim atau Maulana Magribi, Sayid Ali (Sunan Geseng), dan Sayid

Akbar.19

Setelah Raden Rahmat merasa bahwa kader-kader dan santri serta

ulama-ulama yang datang ke Ampel Denta telah mumpuni dalam berdakwah, maka

mereka disebarkan ke beberapa tempat untuk menyebarkan Islam. Salah

satunya adalah Syekh Maulana Ishaq yang ditugaskan oleh Raden Rahmat

untuk menyebarkan Islam di Daerah Blambangan. Penduduk Blambangan pada

saat itu masih beragama Hindu di bawah kekuasaan kerajaan Hindu Majapahit

dengan penguasanya Menak Sembuyu yang merupakan putera dari Menak

Jingga (Wirabhumi) keturunan raja Hayam Wuruk.

19

(39)

31

Sampai di Blambangan beliau belum bisa berbuat apa-apa, kecuali

bertafakur, beruzlah, berdoa, shalat dengan penuh kekhusyu’an, memohon

pertolongan dan petunjuk kepada Allah agar mendapat jalan dalam menyiarkan

agama Islam, dan agar para penduduk Blambangan bersedia untuk menerima

ajaran agama Islam dengan hati yang lapang.20 Tempat yang digunakan sebagai

tempat untuk bertafakur dan beruzlah tersebut adalah Gunung Slanggu.

Pada saat melakukan tafakur dan beruzlah di Gunung Slangu tersebut, di

daerah kerajaan Blambangan yang diperintah oleh seorang raja yang bernama

Menak Sembuyu saat itu digegerkan dengan adanya wabah penyakit atau

pagebluk atau bahaya kelaparan yang telah berbulan-bulan melanda kerajaan

Blambangan. Telah banyak rakyat yang meninggal karena penyakit tersebut,

hampir tiap hari selalu ada orang yang meninggal karena penyakit tersebut,

bahkan keganasan penyakit tersebut, jika seorang sakit pada malam hari, pagi

harinya akan meninggal. Begitupun sebaliknya, jika seorang sakit pada pagi

hari malam akan meninggal.

Penyakit tersebut juga melanda istana, puteri dari raja Menak Sembuyu

yang bernama Dewi Sekardadu atau Raden Ayu Liyung Manoro, atau Raden

Ayu Sumbat Nyowo atau Raden Ayu Kusworo Dewi juga menderita sakit.

Melihat puterinya yang sakit tersebut, raja merasa khawatir, sehingga segala

usaha dilakukannya agar puterinya bisa sembuh dari penyakit tersebut, mulai

mencarikan obat agar puterinya bisa sembuh, sampai mendatangkan seluruh

dukun dan ahli-ahli pengobatan ke istana Blambangan untuk mengobati Dewi

20

(40)

32

Sekardadu, namun segala upaya itu sia-sia, Dewi Sekardadu masih belum bisa

sembuh.

Karena segala usaha telah dilakukan dan hanya sia-sia saja, maka sang

raja Menak Sembuyu menggumpulkan para bawahan serta keluarganya, dan

menggumumkan sayembara dengan bertitah: “Eh ta sayembaraningsun sapa

-sapa kang bisa marasake larane putraningsun nini putri dadiya jatu kramane

lan manira paringi separone nagara ing Blambangan, jumenengo prabu

anom”, artinya: Perhatian, saya sayembarakan barang siapa yang dapat

menyembuhkan sakitnya puteriku, bila ia seorang laki-laki akan menjadi

suaminya, dan saya berkenan memberikan separuh dari kerajaan Blambangan,

dengan menjadi raja muda.21 Sayembara tersebut telah tersiar ke seluruh

penjuru negeri, tapi tidak seorangpun ada yang mengikuti sayembara tersebut.

Maka patih Blambangan memberi tahu raja Menak Sembuyu bahwa ada

seorang pendeta yang sedang bertapa di puncak gunung, pendeta tersebut

memiliki tingkah laku yang sangat berbeda, tidak mau menyembah dewa dan

raja, ibadahnya juga tidak sama dengan rakyat pada umumnya, dia melakukan

sujud dan rukuk dengan memakai jubah serta tutup kepala dan cara

menyembah tuhannya dengan menghadap ke barat, mungkin dia bisa

menyembuhkan Dewi Sekardadu.

Setelah raja Menak Sembuyu mendengar berita tersebut, maka raja

memerintahkan patihnya yang bernama Bajulsengara untuk menemui pertapa

21

(41)

33

yang sakti tersebut, meminta pertolongan agar dia dapat mengobati sakitnya

Dewi Sekardadu.

Patih Bajulsengara lalu mencarinya di puncak sebuah bukit di Gunung

Slangu. Di tempat itulah Patih Bajulsengara melihat ada seorang yang sedang

sujud di atas sajadah, dengan memakai pakaian yang serba putih, dan setelah

bangun dari sujud, orang itupun duduk bertafakur dengan khusyuk. Ternyata

orang tersebut adalah Syekh Maulana Ishaq.22

Setelah bertemu dengan Syekh Maulana Ishaq patih Bajulsengara lalu

menjelaskan tentang maksud kedatangannya kepada Syekh Maulana Ishaq,

bahwa raja meminta bantuan kepada Syekh Maulana Ishaq agar dapat

menyembuhkan puteri Dewi Sekardadu. Mendengar maksud kedatangan

tersebut Syekh Maulana Ishaq berkata” Insya Allah, jika Allah menghendaki,

saya akan berusaha untuk menyembuhkan penyakit tuan puteri, karena manusia

hanya mampu untuk berusaha, dan hanya Allahlah yang nanti akan

menentukan, namun bila nanti putri raja bisa sembuh, saya meminta satu

persyaratan yang harus dipenuhi oleh raja, syarat tersebut adalah raja Menak

Sembuyu harus memeluk agama Islam”. Demikianlah perkataan Syekh

Maulana Ishaq kepada patih Bajulsengara utusan raja Menak Sembuyu.

Setelah itu patih Bajulsengara kembali ke istana Blambangan dan

melaporkan semua itu kepada raja, terutama tentang syarat yang diminta oleh

Syekh Mualana Ishaq agar jika nanti putri Dewi Sekardadu dapat sembuh raja

harus masuk agama Islam. Tentu saja hal ini merasa berat bagi raja, karena

22

(42)

34

harus melepaskan agama yang telah lama dipeluknya, namun atas dasar cinta

dan kasih sayang kepada putrinya, maka raja menyanggupi syarat yang diminta

oleh Syekh Maulana Ishaq tersebut.

Maka mulailah Syekh Maulana Ishaq mengobati putri raja Menak

Sembuyu tersebut, dengan memanjatkan doa, memohon kepada Allah agar

penyakit yang diderita oleh Dewi Sekardadu dapat sembuh, maka atas izin

Allah Dewi Sekardadu sembuh dari penyakitnya.

Alangkah bahagiannya raja Menak Sembuyu melihat putrinya sembuh

seperti sedia kala, dan akhirnya raja menepati janjinya. Dewi Sekardadu

kemudian dijodohkan dengan Syekh Maulana Ishaq. Setelah menjadi istri

Syekh Maulana Ishaq, Dewi Sekardadu menjadi seorang muslimah yang taat

dalam menjalankan syariat Islam. Begitu juga dengan janjinya yang kedua,

bahwa akan memberikan setengah dari kerajaan Blambangan, dan janji tersebut

juga ditepati oleh sang raja, mulailah pada saat itu Syekh Maulana Ishaq

menjadi seorang raja kerajaan Blambangan dengan gelar Prabu Anom. Begitu

juga dengan syarat yang dibebankan kepada raja, bahwa raja harus masuk

agama Islam, raja Menak Sembuyu yang beragama Hindu itu kemudian

memeluk agama Islam.23

Setelah berhasil menyembuhkan Dewi Sekardadu, Syekh Maulana Ishaq

dianggap oleh masyarakat Blambangan sebagai seorang yang sakti, dan

kesaktian tersebut telah tersiar keseluruh pelosok negeri Blambangan. Maka,

23

(43)

35

banyak rakyat yang tertarik dan kemudian memeluk agama Islam dengan

kesadaran sendiri.

Sejak saat itulah Syekh Maulana Ishaq berdakwah menyebarkan agama

Islam ke masyarakat Blambangan, yang pada saat itu masih memeluk agama

Hindu. Hal paling awal yang dilakukan oleh Syekh Maulana Ishaq dalam

berdakwah di Blambangan adalah membuat masjid, masjid tersebut

digunakannya untuk shalat berjamaah dan shalat jum’at dengan para

pengikutnya.

Pada saat Blambangan diperintah oleh Syekh Maulana Ishaq negeri

merasa makmur dan tentram, dan hal ini semakin menarik simpati masyarakat

untuk mengikuti ajaran yang dibawa oleh Syekh Maualana Ishaq, dari tua

muda, pria maupun wanita berbondong-bondong masuk Islam.

Semakin hari jumlah pengikut Syekh Maulana Ishaq semakin banyak,

penduduk Blambangan yang sebelumnya beragama Hindu berganti memeluk

agama Islam, sehingga agama Hindu semakin lama semakin terdesak,

pemeluknya semakin menipis dan berkurang, bahkan orang-orang istana,

keluarga raja sendiri dan para pembesar kerajaan telah banyak yang tertarik

kepada agama Islam yang disebarkan oleh Syekh Maulana Ishaq.

Para pembesar kerajaan lama-lama khawatir, termasuk sang raja Menak

Sembuyu sendiri yang hatinya merasa tidak enak, dan cemas melihat

perkembangan agama Islam yang disebarkan oleh Syekh Maulana Ishaq

menantunya yang mendesak agama Hindu. Walaupun raja telah masuk Islam,

(44)

36

saja, dan sebenarnya raja tidak bersungguh-sunggu memeluk Islam, semuanya

hanya dibibir saja dan lain dihati. Karena mungkin keinginan raja Menak

Sembuyu agar putrinya dahulu yang sembuh dari penyakit yang gawat itu,

maka untuk mewujudkan itu syarat dari Syekh Maulana Ishaq diterima dengan

hanya pura-pura saja, dan setelah putrinya sembuh, raja Menak Sembuyu

masuk agama Islam tetapi raja berkhianat. Sebenarnya raja masih memegang

erat ajaran-ajaran agama Hindu yang dipeluknya, namun raja tidak berani

secara terang-terangan dihadapan Syekh Maulana Ishaq yang merupakan

menantunya itu.

Hal ini terdapat dalam Babad Gresik, sebagai berikut:

Sasampunipun lami-lami sang Maulana sowan dhateng sang prabu matur:pukulun atur kawula, sampun sang prabu nembah dewa ratu, awit punika brahala. Prayogi anuta ing sarengat nabi Mukamad sinelir. Punika lampang ingkang rahayu, ing donya dumugi ngakir. Angucapa kalimah kalih: “lailaha ilal(l)ah muha(m)mad rasulullah”. Sang nata langkung duka, ngendika dhatengingkang putra wusana bisu gaduwel lan lesanipun. Sagunge bupati, punggawa, mantri sami ajrih wilalating pandhita, lajeng lumpuh astanipun, kuranggeyan. Sang prabu lajeng kabekta lumebet dhateng kedhaton (t)atangisan tiyang ing dalem pura, sang pandhita ngiringaken malebet ing kedhaton ngaturri pariksa saking solah tingkahipun sang prabu. Prameswari gawok langkung ajrih dhatengsang pandhita. Angandika: “Lah tuwan ngapura saking sisipo rama tuwan.”Maulana nenedha, katrima pandongane. Sang Nata sinemburan jambe lajeng waluya. Sang pandhita lajeng anembah pamit mantuk ing dalemipun.

Artinya: Setelah semantara waktu Maulana Ishaq menghadap raja, dan

berkata: “baginda ikutilah perkataan hamba, janganlah baginda menyembah

dewa raja, sebab itu adalah berhala belaka. Janganlah baginda. Seyogyanya

ikutilah ajaran Nabi Muhammad. Itulah laku yang menyelamatkan di dunia dan

akhirat. Ucapkanlah dua kalimat: lailaha ilallah muhammad rasulullah”.

(45)

37

akhirnya menjadi bisu mulut dan lidahnya. Seluruh bupati, penggawa dan

mantri-mantri sangat takut terhadap kutukan sang pendeta. Baginda justru

bertambah murkanya, mencabut pedang akan memedang sang pendeta.

Kemudian menjadi lumpuh tangannya menyahut-nyahut. Baginda di bawah

masuk istana, ditangisi oleh semua orang. Sang pendeta mengiringi masuk ke

istana memberi tahu akan segala tingkah laku sang baginda. Sang permaisur

heran serta sangatlah takut kepada sang pendeta. Berkatalah permaisuri: “Ya

tuan maafkanlah kesalahan ayahanda tuan”. Maulana memohon kepada Tuhan,

diterima doanya. Baginda dihembus dengan pinang, terus sembuh seketika.

Sang pendeta kemudian menyembah, serta minta ijin kembali kerumahnya.24

Berdasarkan petikan cerita dalam Babad Gresik tersebut menandakan

bahwa raja Menak Sembuyu tidak mau masuk Islam, dan bahkan ingin

memusuhi Syekh Maulana Ishaq. Oleh karena pengaruh Maulana Ishaq

semakin mendalam di hati rakyat, maka hati Menak Sembuyu merasa cemburu,

kalah pamor dengan Syekh Maulana Ishaq, dan takut kalau agama Hindu

tergeser oleh Islam. Kemudian raja Menak Sembuyu berusaha

menghalang-halangi tersiarnya agama Islam di Blambangan, namun usaha raja Menak

Sembuyu hanya sia-sia belaka, sebab masih banyak yang memeluk Islam.

Merasa usahanya untuk menghalangi Syekh Maualan Ishaq dalam

menyiarkan Islam sia-sia, maka sang raja menaruh dendam dan murka

terhadapnya, sehingga raja mengutus seseorang untuk membinasakan Syekh

Maulana Ishaq, namun hal itu tidak berjalan dengan mulus, Syekh Maulana

24

(46)

38

Ishaq diselamatkan oleh Allah dan lolos dalam penyerbuan dan usaha

pembunuhan yang telah direncanakan.

Kemudian Syekh Maulana Ishaq pergi meninggalkan kerajaan

Blambangan sendirian, pada saat itu istrinya Dewi Sekardadu sedang hamil 7

bulan. Sebelum pergi beliau berpesan kepada istrinya agar dia berada di istana

saja, dan jika kelak anak yang dikandungnya lahir, maka kelak diberi nama

Raden Paku jika laki-laki, jika perempuan maka diberi nama sesuai dengan

keinginan Dewi Sekardadu sendiri.25 Cerita tutur masyarakat Kemantren

menyebutkan bahwa setelah memutuskan untuk pergi dari Blambangan Syekh

Maulana Ishaq memberikan pesan rahasia kepada Dewi Sekardadu jika ingin

mencarinya di pinggir jalan akan ada sandi (pesan rahasia) berupa batu

tumpang tumpuk di wilayah itulah Syekh Maulana Ishaq berada.

Tentang kepergian Syekh Maulana Ishaq ini, merupakan suatu usaha

untuk menenangkan situasi, Syekh Maualana Ishaq mengetahui jika beliau

masih berada di Blambangan maka akan ada pertumpahan darah. Sehingga

jalan satu-satunya adalah pergi dari kerajaan Blambangan, dan meneruskan

perjalan dakwah Islamiyah.

Setelah Syekh Maulana Ishaq pergi dari kerajaan Blambangan, wabah

penyakit yang dahulu melanda masyarakat Blambangan kembali lagi. Rakyat

banyak yang meninggal akibat penyakit itu. Akhirnya raja merasa risau, dan

menganggap bahwa bencana penyakit yang melanda negeri Blambangan

diakibatkan oleh bayi yang dikandung oleh Dewi Sekaradadu. Maka dari itu,

25

(47)

39

ketika bayi yang dikandung oleh Dewi Sekardadu tersebut lahir, maka akan

dibunuh. Hal ini sesuai dengan isi Babad Gresik:

Nagari Blambangan kadhatengan sesakit ageng, tiyang sakit enjeng sonten pejah, sakit dalu enjeng pejah. Sang prabu Blambangan langkung ngungun kesahipun maulana. Sang nata nimbali nujum, dhukun, juru tenung, wewasi. Sami dhateng, boten saget anyirnakaken. Sesakit angsaya andadra. Sang prabu ing Blambangan boten kersa dhahar, lan sare. Panggalia(h)annipun sang prabu : “apa baya anakingsun sang putri bobotane kang kinandhut agawe gara-gara. Besuk saengga lairingsun buwang ing bsegara.

Artinya: Negeri Blambangan yang terkena musibah berupa sakit yang

merajalela. Orang yang sakit pagi, sore meninggal, sakit malam pagi

meninggal. Baginda raja Blambangan sangat binggung akibat perginya

Maulana. Baginda kemudian memanggil ahli nujum, dukun, dan juru tenung

serta para wasi. Semuannya datang, namun semuanya tidak mampu

menyirnakannya, penyakit semakin menjadi jadi. Baginda tidak tidur, dan tidak

makan. Terbesit dalam kalbu baginda: “Apa kira-kira kandungan anakku putri

yang menjadi sebab terjadinya geger. Bila demikian besok bila telah lahir akan

saya buang ke laut”.26

Namun hal itu tidak terjadi, karena raja merasa kasihan terhadap

cucunya, sehingga raja tidak membunuh bayi tersebut, raja memasukkan bayi

tersebut kedalam peti emas dan membuangnya ke samudera, sebagai upaya

untuk menghilangkan wabah penyakit yang melanda negeri Blambangan yang

menurutnya diakibatkan dari bayi tersebut. Akhirnya bayi tersebut di temukan

oleh seseorang pedagang dan diasuh oleh Nyai Ageng Pinatih seorang saudagar

perempuan di Gresik, bayi tersebut kelak menjadi Sunan Giri. Cerita tutur

26

(48)

40

masyarakat Kemantren sendiri menyebutkan bahwa setelah Syekh Maulana

Ishaq pergi Dewi Sekardadu kemudian mencarinya sesuai dengan sandi (pesan

rahasia) yang pernah disampaikan kepadanya, setelah menemukan sandi

tersebut kemudian Dewi Sekardadu bertemu dengan Syekh Maulana Ishaq dan

satu bulan setelahnya Dewi Sekardadu melahirkan anaknya, dan anak tersebut

diberi nama Raden paku, karena lahir di pantai Sepaku. Setelah kelahiran bayi

tersebut Dewi Sekardadu nampak murung sehingga dia bercerita kepada Syekh

Maulana Ishaq bahwa sebenarnya bayi yang baru lahir tersebut akan dibunuh

oleh raja Menak Sembuyu. Mendengar hal itu, kemudian Syekh Maulana Ishaq

memohon petunjuk dari Allah dan akhirnya mendapat petunjuk, bahwa untuk

menyelamatkan bayi tersebut dari pembunuhan raja Menak Sembuyu maka

bayi tersebut harus dimasukkan kedalam peti dan dihanyutkan ke laut. Dan

akhirnya bayi tersebut ditemukan oleh pedagang dan di asuh oleh Nyia Ageng

Pinatih.

Secara umum perjalanan dakwah Syekh Maulana Ishaq di Blambangan

berhasil mengislamkan penduduk atau rakyat kecil, namun di lingkungan

kerajaan Blambangan Syekh Maulana Ishaq dalam aktifitas dakwahnya

berhadapan langsung dengan kekuasaan raja Menak Sembuyu yang tidak

menginginkan Islam masuk ke daerahnya, sehingga dakwah menyebarkan

Islam ke sang raja tidak berhasil, padahal jika pada saat itu raja berhasil masuk

Islam, maka dapat dipastikan seluruh penduduknya akan beragama Islam,

(49)

41

seorang rajanya. Peribahasa Arab mengatakan “al-nāsu ala dīni mulukihi”,

namun usaha mengislamkan raja Menak Sembuyu tersebut tidak berhasil.

Keberhasilan dalam menyebarkan Islam di Blambangan dilakukannya

dengan menggunakan sarana dakwah melalui perkawinan dengan menikahi

Dewi Sekardadu yang dari pernikahan tersebut menjadikan Syekh Maulana

Ishaq terkenal sebagai seorang yang sakti yang dapat mengobati penyakit yang

melanda pada saat itu, sehingga dapat menarik banyak minat masyarakat untuk

ikut memeluk agama Islam tanpa paksaan. Sarana lainnya melalui pendidikan

di masjid dengan melakukan pengajaran agama Islam di masjid yang dibangun

di Blambangan tersebut.

Ketiga, perjalanan Syekh Maulana Ishaq keluar dari Blambangan ke

Ampel Denta lagi. Setelah memutuskan pergi dari kerajaan Blambangan Syekh

Maulana Ishaq kemudian melanjutkan perjalanannya ke Ampel Denta

Surabaya, beliau disini tidak melakukan usaha dakwah Islamiyah sama sekali,

beliau disini hanya ingin bertemu dengan Raden Rahmat Sunan Ampel.

Setelah bertemu dengan Raden Rahmat Sunan Ampel di Ampel Denta, beliau

menceritakan seluruh pengalaman yang telah dialaminya di Blambangan,

<

Referensi

Dokumen terkait