SKRIPSI
Oleh: Nailil Maghfiroh NIM: C01212085
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga SURABAYA
v
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan dengan judul Studi Analisis Yuridis Pendapat Hakim Pengadilan Agama Surabaya tentang Pemberian Had}a>nah Kepada Ayah. Rumusan masalah adalah: Apa Pendapat Hakim Pengadilan Agama Surabaya terhadap Pemberian Had}a>nah kepada Ayah? Bagaimana Analisis Yuridis terhadap pendapat Hakim Pengadilan Agama Surabaya tentang Pemberian Had}a>nah kepada Ayah?
Penelitian ini menggunakan Deskriptif Analisis yang menggambarkan secara sistematis segala fakta aktual yang ada dengan teknik interview, observasi, dan dokumentasi terkait permasalahan pemberian had}a>nah anak yang belum mumayyiz kepada ayah, kemudian di analisis dengan menggunakan analisis yuridis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapat hakim tentang pemberian had}a>nah anak yang belum mumayyiz kepada ayah adalah untuk menjamin kesejahteraan anak. Sekiranya ibu secara finansial dan moral yang tidak memungkinkan maka tidak dapat ditetapkan sebagai pengasuh terhadap anak tersebut. Hasil analisis yuridis menunjukkan bahwa pendapat hakim tersebut tidak seluruhnya mengacu pada aturan-aturan yuridis saja. Akan tetapi hakim dapat memutuskan sebuah perkara dengan prinsip dari tujuan hukum itu sendiri, yakni mengenai kepastian hukum (yuridis), kemanfaatan dari si anak itu sendiri, dan juga keadilan. Memutuskan terhadap pilihan anak tersebut harus melihat untuk kemaslahatan anak tersebut yang dalam hal ini bukan hanya kemaslahatan dunianya saja tetapi juga adalah akhir dari dunia ini yaitu akhiratnya.
x
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
PERSEMBAHAN ... viii
MOTTO ... ix
DAFTAR ISI... ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 10
C. Rumusan Masalah ... 11
D. Kajian Pustaka ... 11
E. Tujuan Penelitian ... 13
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13
G. Definisi Operasional ... 14
H. Metode Penelitian ... 14
xi
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HAD}A>NAH
A. Had}anah dalam hukum islam ... 20
1. Pengertian had}a>nah dan dasar hukumnya ... 20
2. Syarat – syarat had}in ... 25 A. Sejarah berdirinya PA Surabaya ... 42
1. Wilayah Yuridiksi PA Surabaya ... 43
2. Letak Astronomis PA Surabaya ... 45
3. Tugas PA Surabaya ... 45
B. Deskripsi Perkara had}a>nah di PA Surabaya ... 46
C. Dasar pertimbangan hakim PA Surabaya ... 49
BAB IV : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA SURABAYA TENTANG PEMBERIAN HAD}A>NAH KEPADA AYAH A. Analisis terhadap perkara had}a>nah di PA Surabaya ... 56
B. Analisis yuridis terhadap pendapat hakim PA Surabaya tentang had}a>nah kepada ayah ... 60
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 63
xii
DAFTAR PUSTAKA ... 65
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada
semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.
Perkawinan suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi
manusia untuk beranak, setelah masing-masing pasangan siap melakukan
perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Tuhan tidak
mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas
mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara
anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan
martabat kemulyaan manusia, Allah SWT adakan hukum sesuai dengan
martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara
terhormat dan berdasarkan saling ridha, dengan upacara ijab qabul sebagai
lambang dari adanya rasa saling ridha, dan dengan dihadiri para saksi yang
menyaksikan bahwa kedua pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling
terikat.1
Tujuan pokok dari kehidupan rumah tangga, bahwa rumah tangga itu
dibangun di atas landasan cinta dan kasih sayang di antara suami istri serta di
atas prinsip keadilan dan saling pengertian, dimana masing-masing pihak dari
suami istri harus melaksanakan kewajibannya terhadap pasangannya, sehingga
kehidupan rumah tangga berdiri kokoh.2 Sebagaimana Allah SWT berfirman
Artinya: dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.3
Pasangan suami istri akan mampu menunaikan misi perkawinan
berikutnya, yaitu untuk menghasilkan keturunan yang tangguh dan
bermanfaat dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Karena kebahagiaan
sebuah keluarga tidak akan sempurna, bila belum memiliki generasi penerus
yang dapat membanggakan orang tua.4
Namun kenyataannya kadang-kadang pasangan suami isteri itu karena
kesibukan masing-masing, dan terjadilah apa yang sebenarnya tidak
dikehendaki serta paling dibenci Allah SWT yaitu putusnya hubungan
perkawinan antara suami isteri tersebut.5 Dalam perceraian pun diperkenankan
hubungan kembali dalam surat al-Baqarah: 229, yang berbunyi :
2 Butsaniah as-Sayyid al-Iraqi, Menyingkap Tabir Perceraian terjemah “Asra>r fii Hayati al-Muthallaqot” penerjemah Abu Hilmi Kamaluddin, (Bandung: Pustaka Al Sofwa, 2005), 19.
3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Solo: PT Qomariyah Prima Publisher,
2007), 664.
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya, itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.6
Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena beberapa hal, yaitu
karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap isterinya, atau
karena perceraian yang terjadi antar keduanya, atau karena sebab-sebab lain7.
Adakalanya keretakan rumah tangga terjadi karena terjadinya pertengkaran
dan perselisihan yang sulit untuk di damaikan lagi.
Dengan demikian Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai
langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga8.Hal ini juga
dinyatakan Pada Pasal 39 ayat 2 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., 36.
7 Abdul Rahman Al-Ghozali, Fiqh Munakahat Cet 3, (Jakarta: Kencana, 2008), 191.
8 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Persepektif Fikih dan Hukum Positif),
1974 dijelaskan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan
bahwa antara suami istri tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
Ketentuan dalam Pasal 19 PP No. 1 tahun 1975 ini disebut juga dalam
KHI pada pasal 116 dengan rumusan yang sama dengan menambahkan dua
point baru, yakni point (g) suami melanggar taklik talak dan point (h)
peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga. Dengan terpenuhinya alasan atau alasan-alasan tersebut,
suami atau istri bisa mengajukan perceraian dengan alasan tersebut pada
Pengadilan Agama di mana mereka tinggal.
Suami istri yang telah resmi bercerai masih mempunyai hak dan
kewajiban masing-masing dalam merawat anak yang menjadi hak asuhnya.
Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah, dalam surat al-Baqarah ayat
(233) yang berbunyi:
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.9
Seorang anak memiliki peranan yang sangat penting dalam sebuah
kehidupan rumah tangga, karena tujuan melangsungkan perkawinan selain
untuk membangun mahlighay rumah tangga yang bahagia dan sejahtera juga
untuk mempersatukan keluarga dan meneruskan keturunan, Dan tujuan untuk
melakukan perkawinan yang lain adalah mempunyai keturunan yang shaleh
dan sholehah untuk orang tuanya dan untuk kalangan di sekitarnya. sehingga
tidak heran banyak pasangan suami istri yang baru melangsungkan
perkawinan begitu mendambakan kehadiran seorang anak dalam kehidupan
rumah tangganya, karena selain anak mempunyai cikal bakal penerus
keturunan bagi orang tuanya juga akan membuktikan kesempurnaan ikatan
cinta dan kasih sayang di antara mereka.10
Berusaha untuk mengasuh anak termasuk suatu yang sangat dianjurkan
oleh agama dan diutamakan, karena anak merupakan sambungan hidup orang
tuanya. Cita-cita atau usaha yang tidak sanggup orang tuanya melaksanakan,
diharapkan anaknya nanti yang akan melanjutkanya. Anak yang shaleh
merupakan amal orang tuanya.11 Anak merupakan sebuah anugerah yang
9 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., 37.
10 Witanto, Hukum Kelurga Hak dan Kedudukan Aanak Luar Kawin Pasca keluarnya Putusan MK tentang uji Materiil UU Perkawinan., (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2012), 1
11 M. Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, Penerjemah Idrus Al-Kaff, (Jakarta: PT. Lentera
diberikan oleh Allah SWT kepada manusia untuk menjaga dan mendidiknya
sampai dia mengerti apa yang mereka lakukan itu baik atau buruk.
Sesuai dengan pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyatakan : Akibat putusnya perkawinan karena perceraian
ialah :
a.Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi
keputusan.
b. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
isteri.
Ketentuan ini sejalan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 26 ayat (1) UU No. 23/ 2002
ditegaskan, Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk :
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya, dan
Kewajiban sebagai orang tua terhadap anaknya adalah sebagai
pengayom sekaligus pendidik bagi anak-anaknya. Semua perihal yang
dibutuhkan oleh anak baik berupa sandang, pangan, kesehatan serta
pendidikan harus ada dan diusahakan oleh mereka. Karena anak merupakan
investasi dunia dan akhirat untuk para orang tua, sehingga dalam
mengasuhnya harus diberikan yang terbaik sesuai dengan kemampuan mereka.
Pendidikan terbaik bagi seorang anak adalah apabila ia berada dibawah
asuhan kedua orang tuanya, yang membesarkannya dengan penuh cinta dan
kasih sayang dan memberinya pendidikan yang baik, sehingga tumbuh subur
dan sehat jasmaninya, demikian pula kecerdasan akalnya, keluhuran
akhlaknya, dan kehalusan perasaannya. Akan tetapi, seandainya kedua orang
tua berpisah (bercerai), maka terjadi pembagian pemeliharaan atau
pengasuhan anak dimana dalam Islam disebut dengan H}ad}a@@nah.12
Para ulama fikih mendefinisikan h}ad}a@@nah yaitu melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan,
atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang
menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan
merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri
sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. Dalam hal ini
terkandung pula pengertian pendidikan terhadap anak.13
12 M. Baghir Al-Habsyi, Fiqih Praktis menurut Al-Qur’an, As Sunnah, dan Pendapat Para Ulama,
(Bandung: Mizan, 2002), 237.
Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz menjadi hak ibunya untuk
mengasuh, dan jika si anak sudah dianggap mumayyiz , ia dipersilahkan
memilih antara ikut ayah ataupun ibunya. Diberikannya hak pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz kepada ibunya, mengingat bahwa seorang ibu
lebih berkemampuan mendidik dan memperhatikan keperluan anak dalam
usianya yang amat masih muda itu, dan juga lebih sabar dan teliti daripada si
ayah. Disamping itu, pada umumnya seorang ibu mempunyai waktu lebih
banyak untuk melakukan tugasnya itu daripada seorang ayah yang biasanya
sangat disibukkan dengan pekerjaannya.14
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 dijelaskan bahwa :
Dalam hal tejadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Selain pasal 105 KHI juga dijelaskan mengenai urutan-urutan siapa saja yang
berhak mengasuh anak, yaitu dalam pasal 156 huruf (a)15:
14 M. Baghir Al-Habsyi, Fiqih Praktis menurut Al-Qur’an, As Sunnah, dan Pendapat Para Ulama..., 237.
“Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan h}ad}}a<nah dari
ibunya, kecuali jika ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
2. Ayah
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu
6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.”
Sesuai dengan penjelasan diatas, maka berdasarkan dari 23 putusan
tentang hak asuh anak yang telah diputus oleh hakim di Pengadilan Agama
Surabaya, bahwasanya dalam putusannya hakim memberikan hak asuh anak
yang belum mumayyiz kepada ayahnya. Ini tidak sesuai dengan pasal 105 dan
pasal 156 KHI karena sesuai hukum normatifnya anak yang belum berumur 12
tahun hak asuhnya jatuh pada ibu. Namun dari 23 perkara yang telah diputus
oleh majelis hakim tentang hak asuh anak di pengadilan agama surabaya
selama tahun ini, yang terhitung mulai dari bulan Januari hingga bulan Juli
2016. Terdapat pula putusan dari Pengadilan Agama Surabaya pihak Pemohon
atau Termohon mengajukan banding hingga ke kasasi karena tidak puas
terhadap putusan yang telah ditetapkan oleh majelis hakim yakni hak asuh
anak yang belum mumayyiz diberikan kepada ayah.
Berangkat dari latar belakang di atas, penulis berkeinginan untuk
akhir-akhir ini seringkali terjadi perceraian yang pada ujungnya akan berakibat pada
anak, baik dalam peralihan hak asuh, dan nafkah yang biasanya banyak di
lalaikan. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul tentang “ Studi Analisis
Yuridis Pendapat Hakim Pengadilan Agama Surabaya Tentang Pemberian
Had}a<nah Kepada Ayah”. Dalam hal ini penulis akan lebih memperjelas
tentang pendapat hakim Pengadilan Agama Surabaya terhadap hak asuh anak
yang belum mumayyiz.
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Agar pembahasan skripsi ini tepat sasaran dan sesuai dengan yang
ditargetkan, maka dalam skripsi ini diperlukan identifikasi dan batasan
masalah. Berpijak dari latar belakang di atas, maka dalam kaitannya hak asuh
anak terkandung hal-hal sebagai berikut:
1. Pengertian Had}a@@nah atau hak asuh anak
2. Dasar hukum Had}a@@nah
3. Syarat-syarat Had}a@@nah
4. Pendapat hakim Pengadilan Agama Surabaya terhadap pemberian
had}a<nah kepada ayah.
5. Analisis yuridis terhadap pendapat hakim Pengadilan Agama Surabaya
Adapun batasan masalah adalah untuk membatasi permasalahan yang
akan diteliti agar nantinya tidak melebar dan tetap fokus. Masalah
dalam penelitian ini dibatasi tentang:
1.Pendapat hakim Pengadilan Agama Surabaya terhadap pemberian
had}a<nah kepada ayah?
2.Analisis yuridis terhadap pendapat hakim Pengadilan Agama tentang
pemberian had}a@@nah kepada ayah?
C. Rumusan Masalah
Agar lebih praktis dan operasional, maka masalah studi ini dibuat
dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat hakim Pengadilan Agama Surabaya terhadap
pemberian had}a<nah kepada ayah?
2. Bagaimana analisis yuridis terhadap pendapat hakim Pengadilan
Agama Surabaya tentang pemberian had}a@@nah kepada ayah?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pada penelitian ini, pada dasarnya untuk mendapatkan
gambaran topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang mungkin
pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya, sehingga diharapkan tidak
penulisan yang membahas tentang penolakan hak asuh anak bahkan secara
global pernah dikaji pada skripsi-skripsi sebelumnya di antaranya yaitu:
1. Study kasus terhadap putusan No.1361/Pdt.G/2006/PA.Sby tentang
sengketa hak asuh anak sebelum mumayiz akibat perceraian, oleh
Suprapto. pada perkara tersebut hakim menetapkan hak asuh anak
kepada ayah dikarenakan hal ini ibu tidak memenuhi syarat-syarat
sebagai had}hin yaitu tidak amanah dan tidak sederhana.16
2. Hak asuh anak yang mumayyiz oleh ayah setelah terjadi perceraian di
PA Gresik, oleh Miftachul Jannah. Skripsi ini menjelaskan tentang hak
h}ad}a@@nah yang diberikan kepada ayah dikarenakan pihak ibu telah
melakukan tindakan yang tidak terpuji (memiliki hubungan khusus /
selingkuh dengan pria lain).17
3. Argumentasi PA Surabaya dalam menolak hak pengasuhan ibu pada
anak yang belum mumayyiz, oleh Ahmad Tantowi.Skripsi yang ditulis
oleh Ahmad Tantowi ini membahas tentang hak h}ad}a@@nah yang
diberikan kepada ayah dengan alasan karena si ibu telah meninggalkan
keluarga selama 2 tahun.18
Persamaan dalam penelitian kali ini terletak pada landasan teorinya yakni
membahas tentang had}a@@nah. Yang menjadi perbedaan dalam penelitian kali ini
yakni peneliti akan meneliti tentang beberapa pendapat hakim mengenai kasus
16 Suprapto, “Study kasus terhadap putusan No.1361/Pdt.G/2006/PA.Sby tentang sengketa hak asuh anak sebelum mumayiz akibat perceraian”, (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2007).
17 Miftachul Jannah, “Hak Asuh Anak yang Mumayyiz oleh Ayah Setelah Terjadi Perceraian di PA Gresik”, (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2005).
pemberian hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada ayah di Pengadilan
Agama Surabaya.
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pendapat para hakim di Pengadilan agama Surabaya
tentang pemberian had}a<nah anak yang belum mumayyiz kepada ayah.
2. Mengetahui tinjauan hukumnya terhadap pendapat para hakim di
Pengadilan Agama Surabaya tentang pemberian had}a<nah anak yang
belum mumayyiz kepada ayah.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Aspek Teoritis : Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
upaya bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang
berhubungan dengan had}a<nah yang diberikan kepada ayah serta dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya yang
berkesinambungan dengan masalah had}a@@nah yang diberikan pada ayah.
2. Aspek Praktis : Hasil penelitian ini diharapakan dapat dijadikan sebagai
masukan bagi para hakim dalam menangani dan melaksanakan tugasnya
G. Definisi Operasional
Had}a>nah : Had}a>nah adalah pemeliharaan anak yang
sudah besar tetapi belum mu>mayyiz setelah
terjadinya perceraian.19
Analisis Yuridis : Menganalisis secara hukum positif menurut
undang undang dan ketentuan yang berlaku di
Indonesia. Dalam penelitian ini yang digunakan
dalam ketentuan Undang-undang perkawinan
nomor 1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam
(KHI), dan landasan-landasan hukum yang
dipakai hakim dalam memutuskan suatu
perkara.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) yaitu
penelitian yang dilakukan terhadap putusan hakim.20 Dalam hal ini penulis
melakukan penelitian di Pengadilan Agama Surabaya untuk mengkaji putusan
tentang penyerahan hak asuh anak yang belum mumayyiz pada ayah. Adapun
metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi iniadalah sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan penulis dalam penelitian ini terdiri dari:
19 Abdul Rahman al-Ghazali, Fiqh Munakahat..., 176.
a.Data tentang pendapat para hakim di Pengadilan Agama Surabaya
dalam putusan perkara pemberian had}a<nah kepada ayah.
b.Data tentang dasar hukum apa yang dipakai oleh hakim Pengadilan
Agama Surabaya dalam perkara pemberian had}a<nah pada ayah.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Sumber Data Primer: yaitu hakim Pengadilan Agama Surabaya
terkait pemberian had}a<nah pada ayah.
1. Drs. Mufi Ahmad Baihaqi, MH. (Hakim PA Surabaya)
2. Dra. Hj. Nurjaya, M.H. (Hakim PA Surabaya)
b. Sumber Data Sekunder: yaitu data yang diambil dan diperoleh dari
bahan pustaka seperti buku-buku.21 Dalam penelitian ini penulis
menggunakan data sekunder berupa buku-buku yang berkaitan
dengan pembahasan ini, yaitu:
1)Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Terjemah Moh. Thalib, Jilid 8,
Bandung: Al-Ma’afir, 1990.
2)Muhammad Jawad Mughniyah, Fiiqih Lima Madzhab, Terjemah
Idrus al-Kaff, Cet. 25, Jakarta: Lentera, 2010.
3)Imam Syafi’i, Al Umm Kitab Induk, Terjemah Ismail Yakub, Cet.
1, Jakarta: Faizan, 1983.
4)Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Kifayatul akhyar Terjemahan
Ringkas Fiqh Islam Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
21 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
5)Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak;
6)Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan;
7)Kompilasi Hukum Islam.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini sebagai berikut:
a. Dokumentasi, yaitu suatu cara memperoleh data dengan cara
mempelajari beberapa berkas perkara berupa putusan tentang
pemberian had}a@@nah pada ayah yang belum mumayyiz.
b. Wawancara (Interview), dalam hal ini wawancara dilakukan
terhadap beberapa hakim yang menangani perkara tentang
pemberian had}a@@nah kepada ayah. Dalam wawancara ini penulis
menggunakan pertanyaan yang telah terstruktur.
4. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah melalui
tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data yang diperoleh dengan
meliputi kesesuaian, keselarasan satu dengan yang lainnya, keaslian,
kejelasan serta relevansinya dengan permasalahan.22
b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sedemikian rupa
sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan
masalah.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dilakukan penulis dalam penelitian ini
sebagai berikut:
a. Teknik Deskriptif Analisis
Menggambarkan atau melukiskan secara sistematis segala fakta
aktual yang dihadapi, kemudian dianalisis sehingga memberikan
pembahasan yang konkrit, kemudian dapat ditarik kesimpulan. Dalam
hal dengan mengemukakan kasus yang terjadi di PA Surabaya dalam
perkara hak asuh anak yang diberikan kepada ayah yang belum
mumayyiz, kemudian dikaitkan dengan teori dan dalil-dalil yang
terdapat dalam literatur sebagai pisau analisis, sehingga dapat
mendapatkan suatu kesimpulan.
b. Pola Pikir Induktif
Pola pikir induktif adalah metode yang diawali dengan
mengemukakan teori-teori bersifat khusus yang berkenaan dengan hak
asuk anak. Untuk selanjutnya dikemukakan kenyataan yang bersifat
umum dari banyaknya fakta-fakta yang diuji menggunakan teori dan
22 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004),
dibentuk menjadi suatu analisis hasil penelitian pemberian hak asuh
anak di PA Surabaya untuk kemudian ditarik kesimpulan.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini maka penulis
membagi menjadi lima bab. Adapun sistematika penulisan skripsi ini sebagai
berikut:
Bab Pertama : Pendahuluan, dalam bab ini memuat bahasan
tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah,
rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian,
definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab Kedua : Membahas tentang landasan teori had}a@@nah yang terdiri
dari pengertian dan dasar hukum had}a@@nah, syarat-syarat had}in, urutan had}in,
berakhirnya masa had}a<nah serta biaya had}a@@nah menurut Hukum Islam dan
Kompilasi Hukum Islam serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan.
Bab Ketiga : Merupakan data penelitian yang memuat tentang
deskripsi perkara, pertimbangan analisis yuridis dan dasar hakim Pengadilan
Agama Surabaya dalam pemberian had}a@@nah kepada ayah.
Bab Keempat : Memuat tentang analisis terhadap pendapat hakim
Pengadilan Agama Surabaya dan analisis yuridis terhadap pemberian had}a<nah
Bab Kelima : Merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
20 BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAD}A<NAH
A. Had}a<nah Dalam Hukum Islam
1. Pengertian had}a<nah dan dasar hukumnya
Had}a<nah menurut Mahmud Yunus dalam kamus Arab Indonesia
“h}ad}a<na-yah}d}unu-h}adn}an”, yang berarti mengasuh anak, memeluk anak1.
Selain itu juga bermakna mendekap, memeluk, mengasuh dan merawat2.
Had}a<nah secara etimologis adalah al janbu berarti erat atau dekat
sebab h}ad}a<nah hakikatnya suatu usaha menghimpun anak-anak yang masih
kecil agar menjadi dekat dan erat3. Adapun secara terminologis adalah
memelihara anak-anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan,
atau menjaga kepentingannya karena belum dapat berdiri sendiri, serta
melindungi diri dari segala yang membahayakan dirinya sesuai dengan kadar
kemampuannya4.
Para ahli fiqh mendefinisikan had}a<nah adalah melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki atau perempuan atau
yang sudah besar, tetapi belum mumayyiz, tanpa perintah dari keluarganya,
menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga sesuatu yang
1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989), 105.
2 Ahmad Warson, Kamus Arab-Indonesia Al Munawir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 295. 3 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), 224.
menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar
mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya5.
Dalam buku fiqh munakahat karangan Abdul Rahman Al Ghazaliy,
h}ad}a<nah berarti pemeliharaan dan pendidikan anak sejak lahir sampai
sanggup berdiri sendiri dan mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat
itu6. Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah ekonomi,
pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan anak. Dalam konsep
islam tanggung jawab ekonomi berada pada suami sebagai kepala rumah
tangga, meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa isteri
dapat membantu suami menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena
itu yang terpenting adalah adanya kerjasama dan tolong menolong antara
suami isteri dalam memelihara anak dan menghantarkannya hingga anak
tersebut dewasa.7
Al Hamdani, mendefinisikan had}a<nah adalah pemeliharaan anak
laki-laki atau perempuan yang masih kecil atau anak dungu yang tidak dapat
membedakan sesuatu dan belum dapat berdiri sendiri, menjaga kepentingan
si anak, mendidik jasmani dan rohani serta akalnya agar anak mampu
berkembang dan dapat mengatasi persoalan hidup yang akan di hadapi.8
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa had}a<nah adalah
melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun
5 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Juz VII, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1980), 173 6 Abdul Rahman Ghazaliy, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), 175
perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum mumayyiz, tanpa adanya
perintah darinya, menyediakan sesuatu yang baik bagi si anak, menjaga dari
sesuatu yang menyakitinya dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan
akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul
tanggung jawabnya.
Dasar hukum had}a<nah telah di jelaskan dalam Al-Qur’an dan Al
Hadis, di antaranya firman Allah dalam Surat at – Tahrim ayat 6
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.9
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa orang tua diperintahkan oleh
Allah SWT untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan upaya
atau berusaha agar semua anggota keluarganya itu menjalankan semua
perintah-perintah dan larangan-larangan Allah SWT, termasuk anak.Dan
disebutkan juga dalam firman Allah yang lain yaitu pada surat al Baqarah
ayat 233 yang berbunyi :
9 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Solo: PT Qomariah Prima Publisher,
Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.10
Para fuqaha’ berpendapat bahwa ayat tersebut di atas maksudnya adalah
mewajibkan atas ayah untuk memberi nafkah kepada isteri yang di talak dalam
masa menyusui disebabkan adanya anak. Maka nafkah tersebut wajib atas
ayahnya, selagi anak itu masih kecil dan belum mencapai umur taqlif.11
Ibu mendapatkan prioritas utama untuk mengasuh anak selama anak
tersebut belum mumayyiz. Dan apabila si anak sudah mumayyiz maka anak
10 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., 37.
11 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawaiul Bayan II, M Zuhri, M Qodirun Nur, Tafsir Ayat-Ayat
disuruh memilih, kepada siapa di antara ayah dan ibunya dia akan ikut. Hadis
riwayat dari Abdullah ibn Amr menceritakan :
Artinya : Seorang perempuan berkata (kepada Rasulullah SAW.) : “Wahai
Rasulullah SAW anakku ini aku yang mengandungnya, air susuku yang diminumnya, dan di bilikku tempat kumpulnya (bersamaku), ayahnya
telah menceraikanku dan ingin memisahkannya dari aku”, maka
Rasulullah SAW bersabda : “Kamulah yang lebih berhak
(memelihara)nya, selama kamu tidak menikah (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim mensahihkannya).
Hadis tesebut menegaskan bahwa ibulah yang lebih berhak untuk
memelihara anaknya, selama ibunya tidak menikah dengan laki-laki lain. Apabila
ibunya menikah, maka praktis hak had}a<nah tersebut beralih kepada ayahnya.
Alasan yang dapat dikemukakan adalah bahwa apabila ibu anak tersebut
menikah, maka besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada suami yang
baru, dan mengalahkan atau bahkan mengorbankan anak kandungnya sendiri.13
Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah ra. menyatakan :
Artinya : Seorang perempuan berkata: “Wahai Rasulullah SAW suamiku
menghendaki pergi bersama anakku, sementara ia telah memberi manfaat
kepadaku dan mengambil air minum untukku dari sumur Abi ‘Inbah”. Maka datanglah suaminya, Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Wahai
anak kecil, ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan keduanya mana
yang kamu kehendaki”. Maka anak itu memgang tangan ibunya, lalu
perempuan itu pergi bersama anaknya (Riwayat Ahmad, Imam Empat, dan Tirmiz\i mansahihkannya)
12 Al-San’any, Subul al-Salam juz 3, (Kairo: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Araby, 1379 H/1960 M), 227
13
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 251.
14
Hadis inilah yang dijadikan acuan dari pasal 105 tersebut. Dengan
demikian, bagi anak yang sudah bisa memilih disuruh memilih. Namun pendapat
maz\hab Hanafiyah mengatakan bahwa ibu tetap lebih berhak untuk
memliharanya, karena seorang perempuan lebih besar kasih sayangnya kepada
anak.15 Kekuasaan orang tua dapat dicabut atau dialihkan apabila ada
alasan-alasan yang menuntut pengalihan tersebut seperti yang dijelaskan pada Pasal 49
UUP. Dalam sebuah hadis riwayat dari al-Barra>’ ibn A>zib ra. mengemukakan :
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW memutuskan (perkara had}a>nah) anak perempuan Hamzah kepada bibi (saudara perempuan ibunya), dan beliau
bersabda: “Saudara perempuan ibunya (al-khalah) ada (menepati) pada kedudukan ibu (Riwayat al-Bukhari)
2. Syarat – syarat Had}in
Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur
yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang
disebut h{a>d{in dan anak yang diasuh disebut mah{d}un. Keduanya harus
memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan
itu. Dalam ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajiban
untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya
perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu dan atau ayah
berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiri.17
Menurut Sayyid Sabiq, seorang had{inah yang menangani dan
menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu adanya
15
Ibid., 228
16
Ibid., 229
kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan kecakapan yang memerlukan
syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu
saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan Had{a>nahnya, syaratsyarat
bagi had{inah dan ha>d{in, yakni:
1) Berakal sehat, jadi bagi orang yang kurang akal dan gila, keduanya
tidak boleh menangani Had{a>nah. Karena mereka ini tidak dapat
mengurusi dirinya sendiri. Sebab itu ia tidak boleh diserahi
mengurusi orang lain. Sebab orang yang tidak punya apa-apa
tentulah ia tidak dapat memberi apa-apa kepada orang lain.
2) Dewasa, sebab anak kecil sekalipun mumayyiz, tetapi ia tetap
membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan
mengasuhnya. Karena itu dia tidak boleh menangani urusan orang
lain.
3) Mampu mendidik, karena itu tidak boleh menjadi pengasuh orang
yang buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan
jasmaninya untuk mengurus kepentingan anak kecil, tidak berusia
lanjut, yang bahkan ia sendiri perlu diurus, bukan orang yang
mengabaikan urusan rumahnya sehingga merugikan anak kecil
yang diurusnya, atau bukan orang yang tinggal bersama orang
yang sakit menular atau bersama orang yang suka marah kepada
anak-anak, sekalipun kerabat anak kecil itu sendiri, sehingga
akibat kemarahannya itu tidak bisa memperhatikan kepentingan si
4) Amanah dan berbudi, sebab orang yang curang tidak aman bagi
anak kecil dan tidak dapat dipercaya akan dapat menunaikan
kewajibannya dengan baik. Bahkan nantinya si anak dapat meniru
atau berkelakuan seperti kelakuan orang yang curang ini.
5) Islam, anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang
bukan muslim. Sebab H}ad}a>nah merupakan masalah perwalian.
Sedangkan Allah tidak membolehkan orang mu’min dibawah
perwalian orang kafir. Dalam firman Allah Q. S an-Nisa’ ayat 141:
Artinya: “...Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang
beriman...”18
Jadi Had{a>nah seperti perwalian dalam perkawinan atau harta
benda. Dan juga ditakutkan bahwa anak kecil yang diasuhnya itu
akan dibesarkan dengan agama pengasuhnya, di didik dengan
tradisi agamanya. Sehingga sukar bagi anak untuk meninggalkan
agamanya ini. Hal ini merupakan bahaya paling besar bagi anak
tersebut.
6) Ibunya belum kawin lagi, jika si ibu telah kawin lagi dengan laki-laki
lain maka hak Had{a>nahnya hilang. Dan juga karena hubungannya
dan kekerabatannya dengan anak kecil tersebut sehingga dengan
begitu akan bisa bersikap mengasihi serta memperhatikan haknya,
maka akan terjalin hubungan yang sempurna di dalam menjaga anak
kecil tersebut, antara ibu dengan suami yang baru.
7) Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan
urusanurusan dengan tuannya, sehingga ia tidak ada kesempatan
untuk mengasuh anak kecil.19
Para ulama madzhab sepakat bahwa dalam asuhan seperti itu
disyaratkan bahwa orang yang mengasuh berakal sehat, bisa dipercaya,
suci diri, bukan pelaku maksiat, dan bukan peminum khamr, serta tidak
mengabaikan anak yang diasuhnya. Tujuan dari keharusan adanya
sifat-sifat tersebut adalah untuk memelihara dan menjamin kesehatan anak dan
pertumbuhan moralnya. Syarat-syarat ini berlaku pula bagi pengasuh
laki-laki.
Ulama madzhab berbeda pendapat tentang status keagamaannya,
apakah islam termasuk syarat dalam asuhan.
Menurut syafi’i seorang kafir tidak boleh mengasuh anak yang
beragama islam. Sedangkan madzhab-madzhab lainnya tidak
mensyratkannya. Hanya saja ulama madzhab hanafi mengatakan bahwa
kemurtadan wanita atau laki-laki yang mengasuhnya, menggugurkan hak
asuhan.
Selanjutnya madzhab empat berpendapat bahwa apabila ibu si
anak dicerai suaminya, lalu dia kawin lagi dengan laki-laki, maka hak
asuhannya menjadi gugur. Akan tetapi bila laki-laki tersebut memiliki
kasih sayang pada si anak, maka hak asuhan bagi ibu tersebut tetap ada.
Menurut Hanafi, Syafi’i, dan Hambali apabila ibu si anak bercerai pula
dengan suaminya yang kedua, maka larangan bagi haknya untuk
mengasuh si anak dicabut kembali, dan hak itu dikembalikan sesudah
sebelumnya menjadi gugur karena perkawinannya dengan laki-laki yang
kedua itu. Sedangkan maliki mengatakan bahwa haknya tersebut tidak
bisa kembali dengan adanya perceraian itu.20
3. Urutan Had}in
Menurut ketentuan hukum perkawinan meskipun telah terjadi
perceraian antara suami istri, mereka masih tetap berkewajiban memlihara
dan mendidik anak-anak mereka semata-mata ditujukan bagi kepentingan
anak. Dalam hal pemeliharaan tersebut walaupun pada praktiknya dijalankan
oleh salah seorang dari mereka, tidak berarti bahwa pihak lainnya terlepas
dari tanggungjawab terhadap pemeliharaan tersebut.21
Menurut hanafi, hak itu secara berturut-turut dialihkan dari ibu
kepada ibunya ibu, ibunya ayah, saudara-saudara perempuan kandung,
saudara-saudara perempuan seibu, saudara-saudara perempuan seayah, anak
perempuan dari saudara seibu, dan demikian seterusnya hingga pada bibi dari
pihak ibu dan ayah.
20 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Penerjemah Idrus Al-Kaff, (Jakarta: PT.
Lentera Baristama, 1996), 416-417.
21 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada,
Menurut maliki, hak asuhan itu berturut-turut dialihkan dari ibu
kepada ibunya ibu dan seterusnya ke atas, saudara perempuan ibu sekandung,
saudara perempuan ibu seibu, saudara perempuan nenek perempuan dari
pihak ibu, saudara perempuan kakek dari pihak ibu, saudara perempuan
kakek dari pihak ayah, ibu ibunya ayah, ibu bapaknya ayah dan seterusnya.
Menurut syafi’i, hak atas asuhan secara berturut-turut adalah ibu,
ibunya ibu dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat mereka itu adalah
pewaris-pewaris si anak. Sesudah itu adalah ayah, ibunya ayah, ibu dari
ibunya ayah, dan seterusnya hingga ke atas, dengan syarat mereka adalah
pewaris-pewarisnya pula. Selanjutnya adalah kerabat-kerabat dari pihak ibu,
dan disusul kerabat-kerabat dari ayah.
Menurut hambali, hak asuh itu berturut-turut berada pada ibu, ibunya
ibu, ibu dari ibunya ibu, ayah, ibu-ibunya, kakek, ibu-ibu dari kakek, saudara
perempuan kandung, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah,
saudara perempuan ayah sekandung, seibu dan seterusnya.22
Dengan demikian jelas bahwa jika terjadi perceraian, maka yang
berhak memelihara anak yang belum mumayyiz tersebut adalah dari pihak
istri karena sebagai ibu ikatan batin dan kasih sayang dengan anak
cenderung selalu melibihi kasih sayang sang ayah, dan derita keterpisahan
seorang ibu akan lebih berat dibanding keterpisahannya seorang anak dengan
ayahnya.
22 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Penerjemah Idrus Al-Kaff, (Jakarta: PT.
4. Masa Ha>d}anah
Tidak terdapat ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang menerangkan
dengan tegas tentang masa Had}a>nah, hanya terdapat isyarat-isyarat yang
menerangkan ayat tersebut. Karena itu para ulamaberijtihad sendiri-sendiri dalam
menetapkannya dengan berpedoman kepada isyarat-isyarat itu. 23
Hanafi berpendapat bahwa masa asuhan adalah tujuh tahun untuk
laki-laki dan sembilan tahun untuk wanita.
Syafi’i mengatakan bahwa tidak ada batasan tertentu bagi asuhan.
Anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan
apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Jika si anak sudah sampai pada
tingkat ini, dia disuruh memilih untuk tinggal bersama ibunya atau ayahnya.
Maliki berpendapat bahwa masa asuh anak laki-laki adalah sejak
dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga menikah.
Hambali berpendapat bahwa masa asuh anak laki-laki dan perempuan
adalah tujuh tahun, dan sesudah itu si anak disuruh memilih apakah tinggal
bersama ibu atau ayahnya, lalu sianak tinggal bersama orang yang
dipilihnya.24
5. Biaya Had}a>nah
Upah Had}a>nah, seperti upah menyusui. Ibu tidak berhak atas upah
h}ad}a>nah, selama ia menjadi isteri dari ayah anak kecil itu, atau selama masih
23
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat..., 185
dalam massa ‘iddah. Karena dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai
nafkah sebagai isteri atau nafkah massa ‘iddah.25
Allah SWT berfirman:
Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf....
“26
Adapun sesudah habis masa iddahnya maka ia berhak atas upah itu seperti
haknya kepada upah menyusui. Allah SWT berfirman:
Artinya : Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalain, kemudian jika mereka menyusukan (anak – anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawaralah di antara kamu (segala sesuat) dengan baik, dan jika kamu menemuai kesulitan maka perempuan lain boleh menyusuhkan (anak itu) untuknya.27
Perempuan selain ibunya boleh menerima upah had}a>nah, sejak saat
menangani had}a>nahnya, seperti halnya perempuan penyusu yang bekerja
menyusui anak kecil dengan bayaran (upah). Seperti halnya ayah wajib
membayar upah penyusuan dan had}a>nah ia juga wajib membayar ongkos sewa
rumah atau perlengkapannya jika sekiranya si ibu tidak memiliki rumah
sendiri sebagai tempat mengasuh anak kecilnya. Ayah berkewajiban
25 Slamet Abidin Amminuddin, Fiqih Munakahat II, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1991), 181. 26 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 57.
membayar gaji pembantu rumah tangga atau penyediaan pembantu tersebut
jika si ibu membutuhkannya dan ayah ada kemampuan. Tetapi ini hanya wajib
dikeluarkannya di saat ha>d}inah menangani asuhannya. Gaji (upah) ini menjadi
hutang yang ditanggung oleh ayah dan baru ia bisa terlepas dari tanggungan
ini kalau dilunasi atau dibebaskan.
Jika diantara kerabat anak kecil ada orang yang pandai mengasuhnya
dan melakukannya dengan sukarela, sedangkan ibunya tidak mau kecuali
kalau dibayar, maka jika ayahnya mampu, dia boleh dipaksa untuk membayar
upah kepada ibunya tersebut dan ia tidak boleh menyerahkan kepada
kerabatnya perempuan yan mau mengasuhnya dengan sukarela, bahkan si anak
kecil harus tetap pada ibunya. Sebab asuhan ibunya lebih baik untuknya
apabila ayahnya mampu membayar untuk upah ibunya. Apabila ayah tidak
mampu untuk memberi upah pada ibunya maka hak asuhnya dapat diberikan
kepada kerabatnya dengan alasan kerabatnya tersebut sudah pandai dalam
mengasuhnya.28
B. Had}a>nah dalam KHI dan UU No. 1 Tahun 1974
Dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan bagian upaya dalam
rangka mencari pola fikih yang bersifat khas Indonesia atau fikih yang bersifat
kontekstual, masalah hadanah diatur dalam Pasal 105 dan Pasal 156 :
Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian :
28
a) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya;
b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak
untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya;
c) Biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya.
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan had}a>nah dari
ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukannya digantikan oleh :
1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu;
2. Ayah;
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari
ibu;wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping
dari ayah.
b) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
had}a>nah dari ayah atau ibunya;
Jadi menurut Kompilasi Hukum Islam, anak yang belum mumayyiz
mumayyiz, anak dapat memilih untuk mendapatkan had}a>nah dari ayah
atau ibunya.
Akhir masa Pengasuhan, Jika anak sudah tidak memerlukan bantuan
orang lain untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sehari-hari dan sudah
mencapai usia tamyiz, Maka masa pengasuhan telah berakhir. Setelah
berakhir masa pengasuhan, si anak tersebut diperbolehkan memilih untuk
menetap tinggal bersama salah satu dari kedua orangtuanya bila kedua
orang tuanya bercerai; atau sesuai dengan keputusan pengadilan.
Imam Syafi’i berpendapat, bahwa pengurusan anak tidak ada batasan
yang jelas kapan berakhirnya. Namun, bila ia telah dewasa dipersilahkan
baginya untuk memilih kepadaibu atau bapakknhya. Meskipun pilihan
jatuh pada ibunya, bapakknya tetap yang menanggung beban pembiayaan,
sesuai dengan ketentuan pengadilan.
Sedangkan yang tertuah pada UU No. 1 Tahun 1974 yang
menyangkut kewajiban orang tua terhadap anak terdapat pada bab X
mulaipasal 45 - 49 :
Pasal 45
1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya
2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku
Pasal 46
a) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka
yang baik
b) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya,
orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu
memerlukan bantuannya
Pasal 47
1) Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya
2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam
dan di luar pengadilan
Pasal 48
Orang tua tidak di perbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun
atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak
itu menghendakinya.
Pasal 49
a) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya
terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke
atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
b. Ia berkelakuan buruk sekali Meskipun orang tua dicabut
kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi
biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.29
Pasal-pasal diatas, jelas menyatakan kepentingan anak tetap di atas
segala-galanya. Artinya semangat UUP sebenarnya berpihak kepada kepentingan
dan masa depan anak. Hanya saja UUP hanya menyentuh aspek tanggungjawab
pemeliharaan yang masih bersifat material saja dan kurang memberi penekanan
pada aspek pengasuhan nonmaterialnya.30
Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
menurut KHI dan UU No.1 Tahun 1974, kedua orang tua mempunyai kewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai kawin atau mempunyai atau
mampu berdiri sendiri. Ayah yang bertanggung jawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan. Dalam hal ini pengadilan dapat menentukan
hal-hal yang berkenaan dengan masalah had}a>nah, baik kepada ayah maupun ibu.
Kewajiban had}a>nah yang dimaksud di atas adalah tetap berlaku meskipun
perkawinan di antara kedua orang tua putus (cerai).
C. Had{a>nah dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk
menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya
29 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), 94 30 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal T, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis
demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan
sosial.31 Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu
masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai
bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik kaitannya
dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Menurut Arif Gosita
kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan
anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak
diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.
Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah:32
1) Dasar Filosofis: pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan
keluarga, bermasyarakat, bernegara dan berbangsa serta dasar filosofis
pelaksanaan perlindungan anak.
2) Dasar Etis: pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi
yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan
kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.
3) Dasar Yuridis: pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD
1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Penerapan yuridis ini harus secara integratif yaitu penerapan terpadu
menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang
berkaitan.
31 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak; Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 20060, 33.
Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung maksudnya kegiatannya langsung ditujukan kepada
anak yang menjadi sasaran pelanggaran langsung. Kegiatan seperti ini dapat
dengan cara melindungi anak dari berbagai ancaman dari luar dan dalam
seperti mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara.
Perlindungan anak secara tidak langsung yaitu kegiatan tidak langung
ditujukan kepada anak, tetapi orang lain yang melakukan atau terlibat dalam
usaha perlindungan anak.33 Usaha perlindungan demikian biasanya dilakukan
oleh orang tua atau sesuatu yang terlibat terhadap perlindungan anak terhadap
berbagai ancaman dari luar maupun dalam diri anak.
Dalam UU NO. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak disebutkan:
Pasal 1
(2) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 13
1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan
pemberatan hukuman.
Pasal 16
1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 26
b. Menumbuh kembangkam anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan
minatnya.
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak34
Pasal 36
1) Dalam hal wali yang ditunjuk ternyata di kemudian hari tidak cakap
melakukan perbuatan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya
sebagai wali, maka status perwaliannya dicabut dan ditunjuk orang lain
sebagai wali melalui penetapan pengadilan.
2) Dalam hal wali meninggal dunia, ditunjuk orang lain sebagai wali melalui
penetapan pengadilan.
Berdasarkan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga
disebutkan hak dan kewajiban anak, dalam Undang-undang ini perlindungan
anak sangat lebih diutamakan, dimana hal ini tetap harus dilakukan meskipun
diantara ibu atau ayahnya yang bersengketa salah satunya berkeyakinan di
luar Islam, atau diantara mereka berlainan bangsa, namun dalam memutuskan
terhadap pilihan anak tersebut harus melihat untuk kemaslahatan anak
tersebut yang dalam hal ini bukan hanya kemaslahatan dunianya saja tetapi
juga adalah akhir dari dunia ini yaitu akhiratnya.
42 BAB III
DESKRIPSI TENTANG PENDAPAT HAKIM
PENGADILAN AGAMA SURABAYA
A. Sejarah berdirinya PA Surabaya
Peradilan agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara
tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Kekuasaan kehakiman di lingkungan
Peradilan Agama dilaksanakan oleh Peradilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan Negara Tertinggi.
Pengadilan Agama Surabaya adalah Pengadilan Agama Tingkat
Pertama kelas 1A merupakan Yurisdiksi dari Pengadilan Tinggi Agama
Surabaya. Pengadilan Agama Surabaya terletak di Jl. Ketintang Madya
VI/3 Surabaya yang mempunyai yurisdiksi 160 (seratus enam puluh)
kelurahan dan 31 (tiga puluh satu) kecamatan, dengan luas wilayah
33.306,30 Km² dan jumlah penduduk 2.864.343 jiwa.
Dasar Hukum berdirinya Pengadilan Agama Surabaya adalah
Staatblad 1882 No. 152 Jo STBL tahun 1937 nomor 116 dan 610, Sejak
berdirinya Pengadilan Agama Surabaya belum memiliki kantor yang
permanen dan terletak jadi satu dengan Masjid Ampel Surabaya
anggaran 1997/1998 dengan dana proyek ABPN dibangunlah kantor
Pengadilan Agama Surabaya terletak di jl. Gadung III / 10 Surabaya
seluas ± 250 m².
Pada tahun 1990 Pengadilan Agama Surabaya mendapatkan dana
dari DIPA Kementrian Agama untuk pengadaan tanah dan pembangunan
gedung kantor sehingga akhirnya Pengadilan Agama surabaya pindah
alamat ke J. Ketintang Madya VI/3 Surabaya dengan menepati gedung
kantor yang sederhana diatas tanah berukuran ± 1480 M².
Pada tahun 2006, 2008 dan 2009 Pengadilan Agama Surabaya
mendapat Dana dari DIPA Mahkamah Agung RI untuk pembangunan
Gedung kantor secara bertahap hingga menjadi bangunan gedung
berlantai 2 seperti sekarang ini, walaupun belum sesuai dengan Prototype
Gedung Pengadilan Agama Kelas 1A.
Gedung Pengadilan Agama Surabaya yang terletak di Jl.
Ketintang Madya VI/3 Kecamatan Jambangan Kota Surabaya diresmikan
pada tanggal 16 Juli 2008 oleh Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., MCL.
1. Wilayah Yuridiksi PA Surabaya
Wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Surabaya Kelas 1A meliputi 31
Kecamatan yaitu:
1. Kecamatan jambangan
3. Kecamatan Wiyung
4. Kecamatan Wonokromo
5. Kecamatan Wonocolo
6. Kecamatan Pabean Cantikan
7. Kecamatan Semampir
8. Kecamatan Kenjeran
9. Kecamatan Bulak
10.Kecamatan Gubeng
11.Kecamatan Gununganyar
12.Kecamatan Mulyorejo
13.Kecamatan Rungkut
14.Kecamatan Sukolilo
15.Kecamatan Tambaksari
16.Kecamatan Tenggilis Mejoyo
17.Kecamatan Dukuh Pakis
18.Kecamatan Karangpilang
19.Kecamatan Sawahan
20.Kecamatan Asemrowo
21.Kecamatan Benowo
22.Kecamatan Pakal
23.Kecamatan Lakarsantri
24.Kecamatan Sambikerep
26.Kecamatan Tandes
27.Kecamatan Tegalsari
28.Kecamatan Bubutan
29.Kecamatan Genteng
30.Kecamatan Simokerto
31.Kecamatan Krembangan
2. Letak Astronomis PA Surabaya
Secara Astronomis Kota Surabaya terletak pada 07.12 -›
-112.54 lintang selatan dan 112.36 -› -112.54 bujur timur. Secara
Geografis Kabupaten berbatasan sebagai berikut :
1. Sebelah Utara dengan Selat Madura.
2. Sebelah Timur dengan Selat Madura.
3. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Sidoarjo.
4. Sebelah Barat dengan kabupaten Gresik.
3. Tugas PA Surabaya
Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman ditingkat pertama
yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakan
Hukum dan Keadilan, Peradilan Agama adalah salah satu Badan
Peradilan dibawah Mahkamah Agung RI yang memiliki peranan
penting dalam mewujudkan visi Mahkamah Agung RI untuk
Agama Surabaya mengacu pada visi Mahkamah Agung RI dan
Pengadilan Tinggi Agama Surabaya adalah sebagai berikut :
“Terwujudnya Kesatuan Hukum dan Aparatur Pengadilan
Agama Surabaya yang Profesional, dan Akuntabel menuju Badan
Peradilan Indonesia yang Agung”
Untuk mencapai visi tersebut di atas, maka Pengadilan Agama
Surabaya menetapkan misi-misi sebagai berikut :
1. Menjaga Kemandirian Aparatur Pengadilan Agama;
2. Meningkatkan kualitas pelayanan hukum yang berkeadilan,
kredibel, dan transparan;
3. Mewujudkan kesatuan hukum sehingga diperoleh kepastian
hukum bagi masyarakat.
4. Meningkatkan pengaasan dan pembinaan;
Struktur Pengadilan Agama Surabaya Kelas 1A meliputi :
Ketua, Wakil Ketua, 30 Hakim, 1 Panitera, 1 Wakil Panitera, 1
Panitera Muda Gugatan dengan 6 Staf, 1 Panitera Muda Permohonan
dengan 8 Staf, 1 Panitera Muda Hukum dengan 7 Staf, 19 Panitera
Pengganti, 11 Jurusita/Jurusita Pengganti, 1 Sekretaris, 1 Subbagian
Perencanaan dengan 4 Staf, 1 Subbagian Kepegawaian dengan 1
Staf, serta 1 Subbagian Umum dan Keuangan dengan 8 Staf.
B. Deskripsi Perkara had}a>nah di PA Surabaya
Perkara yang di bahas oleh penulis kali ini yaitu perkara tentang
Dalam perkara ini Hakim menetapkan bahwa hak asuh anak tersebut
diberikan kepada ayahnya, dengan alasan Ibunya tidak mampu untuk
mengurus anaknya, seperti sering menelantarkan anak dan lain
sebagainya.
Perkara yang telah diterima pada tahun 2016 yang terhitung mulai
dari bulan Januari hingga bulan Juli ini di Pengadilan Agama Surabaya
tentang hak asuh anak terdapat 34 perkara yang masuk, akan tetapi
perkara yang sudah diputus sampai dengan bulan Juli 2016 terdapat 23
perkara.
Perkara yang terjadi di Pengadilan Agama Surabaya tentang
had}a>nah yang diberikan kepada ayah terdapat kasus ibu yang tidak sesuai
dengan syarat-syarat menjadi pengasuh. Seperti yang telah kita ketahui
bahwasanya wanita dalam masa sekarang ini lebih suka bekerja atau
menjadi wanita karir. Sehingga istri melupakan atau menelantarkan
anaknya. Pada dasarnya anak berhak mendapatkan pelayanan kesehatan
dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan
sosial. Selanjutnya anak tidak berhak mendapatkan diskriminasi,
penelantaran, kekejaman serta ketidakadilan. Maka dalam hal ini ibu
sering menelantarkan anakya karena beberapa tugas dari pekerjaannya.
Maka dalam kasus tersebut hakim memberikan hak asuh anak kepada
ayah. Karena kesibukannya pula anak lebih sering berkumpul atau dekat