• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI ANALISIS YURIDIS PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA SURABAYA TERHADAP PEMBERIAN HADANAH KEPADA AYAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDI ANALISIS YURIDIS PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA SURABAYA TERHADAP PEMBERIAN HADANAH KEPADA AYAH."

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh: Nailil Maghfiroh NIM: C01212085

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

v

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan dengan judul Studi Analisis Yuridis Pendapat Hakim Pengadilan Agama Surabaya tentang Pemberian Had}a>nah Kepada Ayah. Rumusan masalah adalah: Apa Pendapat Hakim Pengadilan Agama Surabaya terhadap Pemberian Had}a>nah kepada Ayah? Bagaimana Analisis Yuridis terhadap pendapat Hakim Pengadilan Agama Surabaya tentang Pemberian Had}a>nah kepada Ayah?

Penelitian ini menggunakan Deskriptif Analisis yang menggambarkan secara sistematis segala fakta aktual yang ada dengan teknik interview, observasi, dan dokumentasi terkait permasalahan pemberian had}a>nah anak yang belum mumayyiz kepada ayah, kemudian di analisis dengan menggunakan analisis yuridis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapat hakim tentang pemberian had}a>nah anak yang belum mumayyiz kepada ayah adalah untuk menjamin kesejahteraan anak. Sekiranya ibu secara finansial dan moral yang tidak memungkinkan maka tidak dapat ditetapkan sebagai pengasuh terhadap anak tersebut. Hasil analisis yuridis menunjukkan bahwa pendapat hakim tersebut tidak seluruhnya mengacu pada aturan-aturan yuridis saja. Akan tetapi hakim dapat memutuskan sebuah perkara dengan prinsip dari tujuan hukum itu sendiri, yakni mengenai kepastian hukum (yuridis), kemanfaatan dari si anak itu sendiri, dan juga keadilan. Memutuskan terhadap pilihan anak tersebut harus melihat untuk kemaslahatan anak tersebut yang dalam hal ini bukan hanya kemaslahatan dunianya saja tetapi juga adalah akhir dari dunia ini yaitu akhiratnya.

(7)

x

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PERSEMBAHAN ... viii

MOTTO ... ix

DAFTAR ISI... ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 10

C. Rumusan Masalah ... 11

D. Kajian Pustaka ... 11

E. Tujuan Penelitian ... 13

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13

G. Definisi Operasional ... 14

H. Metode Penelitian ... 14

(8)

xi

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HAD}A>NAH

A. Had}anah dalam hukum islam ... 20

1. Pengertian had}a>nah dan dasar hukumnya ... 20

2. Syarat – syarat had}in ... 25 A. Sejarah berdirinya PA Surabaya ... 42

1. Wilayah Yuridiksi PA Surabaya ... 43

2. Letak Astronomis PA Surabaya ... 45

3. Tugas PA Surabaya ... 45

B. Deskripsi Perkara had}a>nah di PA Surabaya ... 46

C. Dasar pertimbangan hakim PA Surabaya ... 49

BAB IV : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA SURABAYA TENTANG PEMBERIAN HAD}A>NAH KEPADA AYAH A. Analisis terhadap perkara had}a>nah di PA Surabaya ... 56

B. Analisis yuridis terhadap pendapat hakim PA Surabaya tentang had}a>nah kepada ayah ... 60

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 63

(9)

xii

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(10)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada

semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.

Perkawinan suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi

manusia untuk beranak, setelah masing-masing pasangan siap melakukan

perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Tuhan tidak

mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas

mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara

anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan

martabat kemulyaan manusia, Allah SWT adakan hukum sesuai dengan

martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara

terhormat dan berdasarkan saling ridha, dengan upacara ijab qabul sebagai

lambang dari adanya rasa saling ridha, dan dengan dihadiri para saksi yang

menyaksikan bahwa kedua pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling

terikat.1

Tujuan pokok dari kehidupan rumah tangga, bahwa rumah tangga itu

dibangun di atas landasan cinta dan kasih sayang di antara suami istri serta di

atas prinsip keadilan dan saling pengertian, dimana masing-masing pihak dari

suami istri harus melaksanakan kewajibannya terhadap pasangannya, sehingga

(11)

kehidupan rumah tangga berdiri kokoh.2 Sebagaimana Allah SWT berfirman

Artinya: dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.3

Pasangan suami istri akan mampu menunaikan misi perkawinan

berikutnya, yaitu untuk menghasilkan keturunan yang tangguh dan

bermanfaat dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Karena kebahagiaan

sebuah keluarga tidak akan sempurna, bila belum memiliki generasi penerus

yang dapat membanggakan orang tua.4

Namun kenyataannya kadang-kadang pasangan suami isteri itu karena

kesibukan masing-masing, dan terjadilah apa yang sebenarnya tidak

dikehendaki serta paling dibenci Allah SWT yaitu putusnya hubungan

perkawinan antara suami isteri tersebut.5 Dalam perceraian pun diperkenankan

hubungan kembali dalam surat al-Baqarah: 229, yang berbunyi :

2 Butsaniah as-Sayyid al-Iraqi, Menyingkap Tabir Perceraian terjemah “Asra>r fii Hayati al-Muthallaqot” penerjemah Abu Hilmi Kamaluddin, (Bandung: Pustaka Al Sofwa, 2005), 19.

3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Solo: PT Qomariyah Prima Publisher,

2007), 664.

(12)

Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya, itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.6

Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena beberapa hal, yaitu

karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap isterinya, atau

karena perceraian yang terjadi antar keduanya, atau karena sebab-sebab lain7.

Adakalanya keretakan rumah tangga terjadi karena terjadinya pertengkaran

dan perselisihan yang sulit untuk di damaikan lagi.

Dengan demikian Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai

langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga8.Hal ini juga

dinyatakan Pada Pasal 39 ayat 2 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., 36.

7 Abdul Rahman Al-Ghozali, Fiqh Munakahat Cet 3, (Jakarta: Kencana, 2008), 191.

8 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Persepektif Fikih dan Hukum Positif),

(13)

1974 dijelaskan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan

bahwa antara suami istri tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.

Ketentuan dalam Pasal 19 PP No. 1 tahun 1975 ini disebut juga dalam

KHI pada pasal 116 dengan rumusan yang sama dengan menambahkan dua

point baru, yakni point (g) suami melanggar taklik talak dan point (h)

peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan

dalam rumah tangga. Dengan terpenuhinya alasan atau alasan-alasan tersebut,

suami atau istri bisa mengajukan perceraian dengan alasan tersebut pada

Pengadilan Agama di mana mereka tinggal.

Suami istri yang telah resmi bercerai masih mempunyai hak dan

kewajiban masing-masing dalam merawat anak yang menjadi hak asuhnya.

Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah, dalam surat al-Baqarah ayat

(233) yang berbunyi:

(14)

(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.9

Seorang anak memiliki peranan yang sangat penting dalam sebuah

kehidupan rumah tangga, karena tujuan melangsungkan perkawinan selain

untuk membangun mahlighay rumah tangga yang bahagia dan sejahtera juga

untuk mempersatukan keluarga dan meneruskan keturunan, Dan tujuan untuk

melakukan perkawinan yang lain adalah mempunyai keturunan yang shaleh

dan sholehah untuk orang tuanya dan untuk kalangan di sekitarnya. sehingga

tidak heran banyak pasangan suami istri yang baru melangsungkan

perkawinan begitu mendambakan kehadiran seorang anak dalam kehidupan

rumah tangganya, karena selain anak mempunyai cikal bakal penerus

keturunan bagi orang tuanya juga akan membuktikan kesempurnaan ikatan

cinta dan kasih sayang di antara mereka.10

Berusaha untuk mengasuh anak termasuk suatu yang sangat dianjurkan

oleh agama dan diutamakan, karena anak merupakan sambungan hidup orang

tuanya. Cita-cita atau usaha yang tidak sanggup orang tuanya melaksanakan,

diharapkan anaknya nanti yang akan melanjutkanya. Anak yang shaleh

merupakan amal orang tuanya.11 Anak merupakan sebuah anugerah yang

9 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., 37.

10 Witanto, Hukum Kelurga Hak dan Kedudukan Aanak Luar Kawin Pasca keluarnya Putusan MK tentang uji Materiil UU Perkawinan., (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2012), 1

11 M. Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, Penerjemah Idrus Al-Kaff, (Jakarta: PT. Lentera

(15)

diberikan oleh Allah SWT kepada manusia untuk menjaga dan mendidiknya

sampai dia mengerti apa yang mereka lakukan itu baik atau buruk.

Sesuai dengan pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menyatakan : Akibat putusnya perkawinan karena perceraian

ialah :

a.Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada

perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi

keputusan.

b. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan

tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan

bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas

isteri.

Ketentuan ini sejalan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 26 ayat (1) UU No. 23/ 2002

ditegaskan, Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk :

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

b. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan

minatnya, dan

(16)

Kewajiban sebagai orang tua terhadap anaknya adalah sebagai

pengayom sekaligus pendidik bagi anak-anaknya. Semua perihal yang

dibutuhkan oleh anak baik berupa sandang, pangan, kesehatan serta

pendidikan harus ada dan diusahakan oleh mereka. Karena anak merupakan

investasi dunia dan akhirat untuk para orang tua, sehingga dalam

mengasuhnya harus diberikan yang terbaik sesuai dengan kemampuan mereka.

Pendidikan terbaik bagi seorang anak adalah apabila ia berada dibawah

asuhan kedua orang tuanya, yang membesarkannya dengan penuh cinta dan

kasih sayang dan memberinya pendidikan yang baik, sehingga tumbuh subur

dan sehat jasmaninya, demikian pula kecerdasan akalnya, keluhuran

akhlaknya, dan kehalusan perasaannya. Akan tetapi, seandainya kedua orang

tua berpisah (bercerai), maka terjadi pembagian pemeliharaan atau

pengasuhan anak dimana dalam Islam disebut dengan H}ad}a@@nah.12

Para ulama fikih mendefinisikan h}ad}a@@nah yaitu melakukan

pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan,

atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang

menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan

merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri

sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. Dalam hal ini

terkandung pula pengertian pendidikan terhadap anak.13

12 M. Baghir Al-Habsyi, Fiqih Praktis menurut Al-Qur’an, As Sunnah, dan Pendapat Para Ulama,

(Bandung: Mizan, 2002), 237.

(17)

Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz menjadi hak ibunya untuk

mengasuh, dan jika si anak sudah dianggap mumayyiz , ia dipersilahkan

memilih antara ikut ayah ataupun ibunya. Diberikannya hak pemeliharaan

anak yang belum mumayyiz kepada ibunya, mengingat bahwa seorang ibu

lebih berkemampuan mendidik dan memperhatikan keperluan anak dalam

usianya yang amat masih muda itu, dan juga lebih sabar dan teliti daripada si

ayah. Disamping itu, pada umumnya seorang ibu mempunyai waktu lebih

banyak untuk melakukan tugasnya itu daripada seorang ayah yang biasanya

sangat disibukkan dengan pekerjaannya.14

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 dijelaskan bahwa :

Dalam hal tejadinya perceraian :

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun

adalah hak ibunya.

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk

memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak

pemeliharaannya.

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Selain pasal 105 KHI juga dijelaskan mengenai urutan-urutan siapa saja yang

berhak mengasuh anak, yaitu dalam pasal 156 huruf (a)15:

14 M. Baghir Al-Habsyi, Fiqih Praktis menurut Al-Qur’an, As Sunnah, dan Pendapat Para Ulama..., 237.

(18)

“Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan h}ad}}a<nah dari

ibunya, kecuali jika ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya

digantikan oleh:

1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu

2. Ayah

3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu

6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.”

Sesuai dengan penjelasan diatas, maka berdasarkan dari 23 putusan

tentang hak asuh anak yang telah diputus oleh hakim di Pengadilan Agama

Surabaya, bahwasanya dalam putusannya hakim memberikan hak asuh anak

yang belum mumayyiz kepada ayahnya. Ini tidak sesuai dengan pasal 105 dan

pasal 156 KHI karena sesuai hukum normatifnya anak yang belum berumur 12

tahun hak asuhnya jatuh pada ibu. Namun dari 23 perkara yang telah diputus

oleh majelis hakim tentang hak asuh anak di pengadilan agama surabaya

selama tahun ini, yang terhitung mulai dari bulan Januari hingga bulan Juli

2016. Terdapat pula putusan dari Pengadilan Agama Surabaya pihak Pemohon

atau Termohon mengajukan banding hingga ke kasasi karena tidak puas

terhadap putusan yang telah ditetapkan oleh majelis hakim yakni hak asuh

anak yang belum mumayyiz diberikan kepada ayah.

Berangkat dari latar belakang di atas, penulis berkeinginan untuk

(19)

akhir-akhir ini seringkali terjadi perceraian yang pada ujungnya akan berakibat pada

anak, baik dalam peralihan hak asuh, dan nafkah yang biasanya banyak di

lalaikan. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul tentang “ Studi Analisis

Yuridis Pendapat Hakim Pengadilan Agama Surabaya Tentang Pemberian

Had}a<nah Kepada Ayah”. Dalam hal ini penulis akan lebih memperjelas

tentang pendapat hakim Pengadilan Agama Surabaya terhadap hak asuh anak

yang belum mumayyiz.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Agar pembahasan skripsi ini tepat sasaran dan sesuai dengan yang

ditargetkan, maka dalam skripsi ini diperlukan identifikasi dan batasan

masalah. Berpijak dari latar belakang di atas, maka dalam kaitannya hak asuh

anak terkandung hal-hal sebagai berikut:

1. Pengertian Had}a@@nah atau hak asuh anak

2. Dasar hukum Had}a@@nah

3. Syarat-syarat Had}a@@nah

4. Pendapat hakim Pengadilan Agama Surabaya terhadap pemberian

had}a<nah kepada ayah.

5. Analisis yuridis terhadap pendapat hakim Pengadilan Agama Surabaya

(20)

Adapun batasan masalah adalah untuk membatasi permasalahan yang

akan diteliti agar nantinya tidak melebar dan tetap fokus. Masalah

dalam penelitian ini dibatasi tentang:

1.Pendapat hakim Pengadilan Agama Surabaya terhadap pemberian

had}a<nah kepada ayah?

2.Analisis yuridis terhadap pendapat hakim Pengadilan Agama tentang

pemberian had}a@@nah kepada ayah?

C. Rumusan Masalah

Agar lebih praktis dan operasional, maka masalah studi ini dibuat

dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pendapat hakim Pengadilan Agama Surabaya terhadap

pemberian had}a<nah kepada ayah?

2. Bagaimana analisis yuridis terhadap pendapat hakim Pengadilan

Agama Surabaya tentang pemberian had}a@@nah kepada ayah?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada penelitian ini, pada dasarnya untuk mendapatkan

gambaran topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang mungkin

pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya, sehingga diharapkan tidak

(21)

penulisan yang membahas tentang penolakan hak asuh anak bahkan secara

global pernah dikaji pada skripsi-skripsi sebelumnya di antaranya yaitu:

1. Study kasus terhadap putusan No.1361/Pdt.G/2006/PA.Sby tentang

sengketa hak asuh anak sebelum mumayiz akibat perceraian, oleh

Suprapto. pada perkara tersebut hakim menetapkan hak asuh anak

kepada ayah dikarenakan hal ini ibu tidak memenuhi syarat-syarat

sebagai had}hin yaitu tidak amanah dan tidak sederhana.16

2. Hak asuh anak yang mumayyiz oleh ayah setelah terjadi perceraian di

PA Gresik, oleh Miftachul Jannah. Skripsi ini menjelaskan tentang hak

h}ad}a@@nah yang diberikan kepada ayah dikarenakan pihak ibu telah

melakukan tindakan yang tidak terpuji (memiliki hubungan khusus /

selingkuh dengan pria lain).17

3. Argumentasi PA Surabaya dalam menolak hak pengasuhan ibu pada

anak yang belum mumayyiz, oleh Ahmad Tantowi.Skripsi yang ditulis

oleh Ahmad Tantowi ini membahas tentang hak h}ad}a@@nah yang

diberikan kepada ayah dengan alasan karena si ibu telah meninggalkan

keluarga selama 2 tahun.18

Persamaan dalam penelitian kali ini terletak pada landasan teorinya yakni

membahas tentang had}a@@nah. Yang menjadi perbedaan dalam penelitian kali ini

yakni peneliti akan meneliti tentang beberapa pendapat hakim mengenai kasus

16 Suprapto, Study kasus terhadap putusan No.1361/Pdt.G/2006/PA.Sby tentang sengketa hak asuh anak sebelum mumayiz akibat perceraian”, (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2007).

17 Miftachul Jannah, Hak Asuh Anak yang Mumayyiz oleh Ayah Setelah Terjadi Perceraian di PA Gresik”, (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2005).

(22)

pemberian hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada ayah di Pengadilan

Agama Surabaya.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pendapat para hakim di Pengadilan agama Surabaya

tentang pemberian had}a<nah anak yang belum mumayyiz kepada ayah.

2. Mengetahui tinjauan hukumnya terhadap pendapat para hakim di

Pengadilan Agama Surabaya tentang pemberian had}a<nah anak yang

belum mumayyiz kepada ayah.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Aspek Teoritis : Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

upaya bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang

berhubungan dengan had}a<nah yang diberikan kepada ayah serta dapat

dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya yang

berkesinambungan dengan masalah had}a@@nah yang diberikan pada ayah.

2. Aspek Praktis : Hasil penelitian ini diharapakan dapat dijadikan sebagai

masukan bagi para hakim dalam menangani dan melaksanakan tugasnya

(23)

G. Definisi Operasional

Had}a>nah : Had}a>nah adalah pemeliharaan anak yang

sudah besar tetapi belum mu>mayyiz setelah

terjadinya perceraian.19

Analisis Yuridis : Menganalisis secara hukum positif menurut

undang undang dan ketentuan yang berlaku di

Indonesia. Dalam penelitian ini yang digunakan

dalam ketentuan Undang-undang perkawinan

nomor 1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam

(KHI), dan landasan-landasan hukum yang

dipakai hakim dalam memutuskan suatu

perkara.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) yaitu

penelitian yang dilakukan terhadap putusan hakim.20 Dalam hal ini penulis

melakukan penelitian di Pengadilan Agama Surabaya untuk mengkaji putusan

tentang penyerahan hak asuh anak yang belum mumayyiz pada ayah. Adapun

metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi iniadalah sebagai berikut:

1. Data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan penulis dalam penelitian ini terdiri dari:

19 Abdul Rahman al-Ghazali, Fiqh Munakahat..., 176.

(24)

a.Data tentang pendapat para hakim di Pengadilan Agama Surabaya

dalam putusan perkara pemberian had}a<nah kepada ayah.

b.Data tentang dasar hukum apa yang dipakai oleh hakim Pengadilan

Agama Surabaya dalam perkara pemberian had}a<nah pada ayah.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Sumber Data Primer: yaitu hakim Pengadilan Agama Surabaya

terkait pemberian had}a<nah pada ayah.

1. Drs. Mufi Ahmad Baihaqi, MH. (Hakim PA Surabaya)

2. Dra. Hj. Nurjaya, M.H. (Hakim PA Surabaya)

b. Sumber Data Sekunder: yaitu data yang diambil dan diperoleh dari

bahan pustaka seperti buku-buku.21 Dalam penelitian ini penulis

menggunakan data sekunder berupa buku-buku yang berkaitan

dengan pembahasan ini, yaitu:

1)Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Terjemah Moh. Thalib, Jilid 8,

Bandung: Al-Ma’afir, 1990.

2)Muhammad Jawad Mughniyah, Fiiqih Lima Madzhab, Terjemah

Idrus al-Kaff, Cet. 25, Jakarta: Lentera, 2010.

3)Imam Syafi’i, Al Umm Kitab Induk, Terjemah Ismail Yakub, Cet.

1, Jakarta: Faizan, 1983.

4)Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Kifayatul akhyar Terjemahan

Ringkas Fiqh Islam Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.

21 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,

(25)

5)Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak;

6)Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan;

7)Kompilasi Hukum Islam.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam

penelitian ini sebagai berikut:

a. Dokumentasi, yaitu suatu cara memperoleh data dengan cara

mempelajari beberapa berkas perkara berupa putusan tentang

pemberian had}a@@nah pada ayah yang belum mumayyiz.

b. Wawancara (Interview), dalam hal ini wawancara dilakukan

terhadap beberapa hakim yang menangani perkara tentang

pemberian had}a@@nah kepada ayah. Dalam wawancara ini penulis

menggunakan pertanyaan yang telah terstruktur.

4. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah melalui

tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data yang diperoleh dengan

(26)

meliputi kesesuaian, keselarasan satu dengan yang lainnya, keaslian,

kejelasan serta relevansinya dengan permasalahan.22

b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sedemikian rupa

sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan

masalah.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan penulis dalam penelitian ini

sebagai berikut:

a. Teknik Deskriptif Analisis

Menggambarkan atau melukiskan secara sistematis segala fakta

aktual yang dihadapi, kemudian dianalisis sehingga memberikan

pembahasan yang konkrit, kemudian dapat ditarik kesimpulan. Dalam

hal dengan mengemukakan kasus yang terjadi di PA Surabaya dalam

perkara hak asuh anak yang diberikan kepada ayah yang belum

mumayyiz, kemudian dikaitkan dengan teori dan dalil-dalil yang

terdapat dalam literatur sebagai pisau analisis, sehingga dapat

mendapatkan suatu kesimpulan.

b. Pola Pikir Induktif

Pola pikir induktif adalah metode yang diawali dengan

mengemukakan teori-teori bersifat khusus yang berkenaan dengan hak

asuk anak. Untuk selanjutnya dikemukakan kenyataan yang bersifat

umum dari banyaknya fakta-fakta yang diuji menggunakan teori dan

22 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004),

(27)

dibentuk menjadi suatu analisis hasil penelitian pemberian hak asuh

anak di PA Surabaya untuk kemudian ditarik kesimpulan.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini maka penulis

membagi menjadi lima bab. Adapun sistematika penulisan skripsi ini sebagai

berikut:

Bab Pertama : Pendahuluan, dalam bab ini memuat bahasan

tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah,

rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian,

definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab Kedua : Membahas tentang landasan teori had}a@@nah yang terdiri

dari pengertian dan dasar hukum had}a@@nah, syarat-syarat had}in, urutan had}in,

berakhirnya masa had}a<nah serta biaya had}a@@nah menurut Hukum Islam dan

Kompilasi Hukum Islam serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1

tahun 1974 tentang Perkawinan.

Bab Ketiga : Merupakan data penelitian yang memuat tentang

deskripsi perkara, pertimbangan analisis yuridis dan dasar hakim Pengadilan

Agama Surabaya dalam pemberian had}a@@nah kepada ayah.

Bab Keempat : Memuat tentang analisis terhadap pendapat hakim

Pengadilan Agama Surabaya dan analisis yuridis terhadap pemberian had}a<nah

(28)

Bab Kelima : Merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan

(29)

20 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HAD}A<NAH

A. Had}a<nah Dalam Hukum Islam

1. Pengertian had}a<nah dan dasar hukumnya

Had}a<nah menurut Mahmud Yunus dalam kamus Arab Indonesia

“h}ad}a<na-yah}d}unu-h}adn}an”, yang berarti mengasuh anak, memeluk anak1.

Selain itu juga bermakna mendekap, memeluk, mengasuh dan merawat2.

Had}a<nah secara etimologis adalah al janbu berarti erat atau dekat

sebab h}ad}a<nah hakikatnya suatu usaha menghimpun anak-anak yang masih

kecil agar menjadi dekat dan erat3. Adapun secara terminologis adalah

memelihara anak-anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan,

atau menjaga kepentingannya karena belum dapat berdiri sendiri, serta

melindungi diri dari segala yang membahayakan dirinya sesuai dengan kadar

kemampuannya4.

Para ahli fiqh mendefinisikan had}a<nah adalah melakukan

pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki atau perempuan atau

yang sudah besar, tetapi belum mumayyiz, tanpa perintah dari keluarganya,

menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga sesuatu yang

1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989), 105.

2 Ahmad Warson, Kamus Arab-Indonesia Al Munawir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 295. 3 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), 224.

(30)

menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar

mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya5.

Dalam buku fiqh munakahat karangan Abdul Rahman Al Ghazaliy,

h}ad}a<nah berarti pemeliharaan dan pendidikan anak sejak lahir sampai

sanggup berdiri sendiri dan mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat

itu6. Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah ekonomi,

pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan anak. Dalam konsep

islam tanggung jawab ekonomi berada pada suami sebagai kepala rumah

tangga, meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa isteri

dapat membantu suami menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena

itu yang terpenting adalah adanya kerjasama dan tolong menolong antara

suami isteri dalam memelihara anak dan menghantarkannya hingga anak

tersebut dewasa.7

Al Hamdani, mendefinisikan had}a<nah adalah pemeliharaan anak

laki-laki atau perempuan yang masih kecil atau anak dungu yang tidak dapat

membedakan sesuatu dan belum dapat berdiri sendiri, menjaga kepentingan

si anak, mendidik jasmani dan rohani serta akalnya agar anak mampu

berkembang dan dapat mengatasi persoalan hidup yang akan di hadapi.8

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa had}a<nah adalah

melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun

5 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Juz VII, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1980), 173 6 Abdul Rahman Ghazaliy, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), 175

(31)

perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum mumayyiz, tanpa adanya

perintah darinya, menyediakan sesuatu yang baik bagi si anak, menjaga dari

sesuatu yang menyakitinya dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan

akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul

tanggung jawabnya.

Dasar hukum had}a<nah telah di jelaskan dalam Al-Qur’an dan Al

Hadis, di antaranya firman Allah dalam Surat at – Tahrim ayat 6

 keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.9

Pada ayat di atas dijelaskan bahwa orang tua diperintahkan oleh

Allah SWT untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan upaya

atau berusaha agar semua anggota keluarganya itu menjalankan semua

perintah-perintah dan larangan-larangan Allah SWT, termasuk anak.Dan

disebutkan juga dalam firman Allah yang lain yaitu pada surat al Baqarah

ayat 233 yang berbunyi :

9 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Solo: PT Qomariah Prima Publisher,

(32)

Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.10

Para fuqaha’ berpendapat bahwa ayat tersebut di atas maksudnya adalah

mewajibkan atas ayah untuk memberi nafkah kepada isteri yang di talak dalam

masa menyusui disebabkan adanya anak. Maka nafkah tersebut wajib atas

ayahnya, selagi anak itu masih kecil dan belum mencapai umur taqlif.11

Ibu mendapatkan prioritas utama untuk mengasuh anak selama anak

tersebut belum mumayyiz. Dan apabila si anak sudah mumayyiz maka anak

10 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., 37.

11 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawaiul Bayan II, M Zuhri, M Qodirun Nur, Tafsir Ayat-Ayat

(33)

disuruh memilih, kepada siapa di antara ayah dan ibunya dia akan ikut. Hadis

riwayat dari Abdullah ibn Amr menceritakan :

Artinya : Seorang perempuan berkata (kepada Rasulullah SAW.) : “Wahai

Rasulullah SAW anakku ini aku yang mengandungnya, air susuku yang diminumnya, dan di bilikku tempat kumpulnya (bersamaku), ayahnya

telah menceraikanku dan ingin memisahkannya dari aku”, maka

Rasulullah SAW bersabda : “Kamulah yang lebih berhak

(memelihara)nya, selama kamu tidak menikah (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim mensahihkannya).

Hadis tesebut menegaskan bahwa ibulah yang lebih berhak untuk

memelihara anaknya, selama ibunya tidak menikah dengan laki-laki lain. Apabila

ibunya menikah, maka praktis hak had}a<nah tersebut beralih kepada ayahnya.

Alasan yang dapat dikemukakan adalah bahwa apabila ibu anak tersebut

menikah, maka besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada suami yang

baru, dan mengalahkan atau bahkan mengorbankan anak kandungnya sendiri.13

Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah ra. menyatakan :

Artinya : Seorang perempuan berkata: “Wahai Rasulullah SAW suamiku

menghendaki pergi bersama anakku, sementara ia telah memberi manfaat

kepadaku dan mengambil air minum untukku dari sumur Abi ‘Inbah”. Maka datanglah suaminya, Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Wahai

anak kecil, ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan keduanya mana

yang kamu kehendaki”. Maka anak itu memgang tangan ibunya, lalu

perempuan itu pergi bersama anaknya (Riwayat Ahmad, Imam Empat, dan Tirmiz\i mansahihkannya)

12 Al-San’any, Subul al-Salam juz 3, (Kairo: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Araby, 1379 H/1960 M), 227

13

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 251.

14

(34)

Hadis inilah yang dijadikan acuan dari pasal 105 tersebut. Dengan

demikian, bagi anak yang sudah bisa memilih disuruh memilih. Namun pendapat

maz\hab Hanafiyah mengatakan bahwa ibu tetap lebih berhak untuk

memliharanya, karena seorang perempuan lebih besar kasih sayangnya kepada

anak.15 Kekuasaan orang tua dapat dicabut atau dialihkan apabila ada

alasan-alasan yang menuntut pengalihan tersebut seperti yang dijelaskan pada Pasal 49

UUP. Dalam sebuah hadis riwayat dari al-Barra>’ ibn A>zib ra. mengemukakan :

Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW memutuskan (perkara had}a>nah) anak perempuan Hamzah kepada bibi (saudara perempuan ibunya), dan beliau

bersabda: “Saudara perempuan ibunya (al-khalah) ada (menepati) pada kedudukan ibu (Riwayat al-Bukhari)

2. Syarat – syarat Had}in

Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur

yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang

disebut h{a>d{in dan anak yang diasuh disebut mah{d}un. Keduanya harus

memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan

itu. Dalam ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajiban

untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya

perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu dan atau ayah

berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiri.17

Menurut Sayyid Sabiq, seorang had{inah yang menangani dan

menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu adanya

15

Ibid., 228

16

Ibid., 229

(35)

kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan kecakapan yang memerlukan

syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu

saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan Had{a>nahnya, syaratsyarat

bagi had{inah dan ha>d{in, yakni:

1) Berakal sehat, jadi bagi orang yang kurang akal dan gila, keduanya

tidak boleh menangani Had{a>nah. Karena mereka ini tidak dapat

mengurusi dirinya sendiri. Sebab itu ia tidak boleh diserahi

mengurusi orang lain. Sebab orang yang tidak punya apa-apa

tentulah ia tidak dapat memberi apa-apa kepada orang lain.

2) Dewasa, sebab anak kecil sekalipun mumayyiz, tetapi ia tetap

membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan

mengasuhnya. Karena itu dia tidak boleh menangani urusan orang

lain.

3) Mampu mendidik, karena itu tidak boleh menjadi pengasuh orang

yang buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan

jasmaninya untuk mengurus kepentingan anak kecil, tidak berusia

lanjut, yang bahkan ia sendiri perlu diurus, bukan orang yang

mengabaikan urusan rumahnya sehingga merugikan anak kecil

yang diurusnya, atau bukan orang yang tinggal bersama orang

yang sakit menular atau bersama orang yang suka marah kepada

anak-anak, sekalipun kerabat anak kecil itu sendiri, sehingga

akibat kemarahannya itu tidak bisa memperhatikan kepentingan si

(36)

4) Amanah dan berbudi, sebab orang yang curang tidak aman bagi

anak kecil dan tidak dapat dipercaya akan dapat menunaikan

kewajibannya dengan baik. Bahkan nantinya si anak dapat meniru

atau berkelakuan seperti kelakuan orang yang curang ini.

5) Islam, anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang

bukan muslim. Sebab H}ad}a>nah merupakan masalah perwalian.

Sedangkan Allah tidak membolehkan orang mu’min dibawah

perwalian orang kafir. Dalam firman Allah Q. S an-Nisa’ ayat 141:



Artinya: “...Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang

beriman...”18

Jadi Had{a>nah seperti perwalian dalam perkawinan atau harta

benda. Dan juga ditakutkan bahwa anak kecil yang diasuhnya itu

akan dibesarkan dengan agama pengasuhnya, di didik dengan

tradisi agamanya. Sehingga sukar bagi anak untuk meninggalkan

agamanya ini. Hal ini merupakan bahaya paling besar bagi anak

tersebut.

6) Ibunya belum kawin lagi, jika si ibu telah kawin lagi dengan laki-laki

lain maka hak Had{a>nahnya hilang. Dan juga karena hubungannya

dan kekerabatannya dengan anak kecil tersebut sehingga dengan

(37)

begitu akan bisa bersikap mengasihi serta memperhatikan haknya,

maka akan terjalin hubungan yang sempurna di dalam menjaga anak

kecil tersebut, antara ibu dengan suami yang baru.

7) Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan

urusanurusan dengan tuannya, sehingga ia tidak ada kesempatan

untuk mengasuh anak kecil.19

Para ulama madzhab sepakat bahwa dalam asuhan seperti itu

disyaratkan bahwa orang yang mengasuh berakal sehat, bisa dipercaya,

suci diri, bukan pelaku maksiat, dan bukan peminum khamr, serta tidak

mengabaikan anak yang diasuhnya. Tujuan dari keharusan adanya

sifat-sifat tersebut adalah untuk memelihara dan menjamin kesehatan anak dan

pertumbuhan moralnya. Syarat-syarat ini berlaku pula bagi pengasuh

laki-laki.

Ulama madzhab berbeda pendapat tentang status keagamaannya,

apakah islam termasuk syarat dalam asuhan.

Menurut syafi’i seorang kafir tidak boleh mengasuh anak yang

beragama islam. Sedangkan madzhab-madzhab lainnya tidak

mensyratkannya. Hanya saja ulama madzhab hanafi mengatakan bahwa

kemurtadan wanita atau laki-laki yang mengasuhnya, menggugurkan hak

asuhan.

Selanjutnya madzhab empat berpendapat bahwa apabila ibu si

anak dicerai suaminya, lalu dia kawin lagi dengan laki-laki, maka hak

(38)

asuhannya menjadi gugur. Akan tetapi bila laki-laki tersebut memiliki

kasih sayang pada si anak, maka hak asuhan bagi ibu tersebut tetap ada.

Menurut Hanafi, Syafi’i, dan Hambali apabila ibu si anak bercerai pula

dengan suaminya yang kedua, maka larangan bagi haknya untuk

mengasuh si anak dicabut kembali, dan hak itu dikembalikan sesudah

sebelumnya menjadi gugur karena perkawinannya dengan laki-laki yang

kedua itu. Sedangkan maliki mengatakan bahwa haknya tersebut tidak

bisa kembali dengan adanya perceraian itu.20

3. Urutan Had}in

Menurut ketentuan hukum perkawinan meskipun telah terjadi

perceraian antara suami istri, mereka masih tetap berkewajiban memlihara

dan mendidik anak-anak mereka semata-mata ditujukan bagi kepentingan

anak. Dalam hal pemeliharaan tersebut walaupun pada praktiknya dijalankan

oleh salah seorang dari mereka, tidak berarti bahwa pihak lainnya terlepas

dari tanggungjawab terhadap pemeliharaan tersebut.21

Menurut hanafi, hak itu secara berturut-turut dialihkan dari ibu

kepada ibunya ibu, ibunya ayah, saudara-saudara perempuan kandung,

saudara-saudara perempuan seibu, saudara-saudara perempuan seayah, anak

perempuan dari saudara seibu, dan demikian seterusnya hingga pada bibi dari

pihak ibu dan ayah.

20 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Penerjemah Idrus Al-Kaff, (Jakarta: PT.

Lentera Baristama, 1996), 416-417.

21 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada,

(39)

Menurut maliki, hak asuhan itu berturut-turut dialihkan dari ibu

kepada ibunya ibu dan seterusnya ke atas, saudara perempuan ibu sekandung,

saudara perempuan ibu seibu, saudara perempuan nenek perempuan dari

pihak ibu, saudara perempuan kakek dari pihak ibu, saudara perempuan

kakek dari pihak ayah, ibu ibunya ayah, ibu bapaknya ayah dan seterusnya.

Menurut syafi’i, hak atas asuhan secara berturut-turut adalah ibu,

ibunya ibu dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat mereka itu adalah

pewaris-pewaris si anak. Sesudah itu adalah ayah, ibunya ayah, ibu dari

ibunya ayah, dan seterusnya hingga ke atas, dengan syarat mereka adalah

pewaris-pewarisnya pula. Selanjutnya adalah kerabat-kerabat dari pihak ibu,

dan disusul kerabat-kerabat dari ayah.

Menurut hambali, hak asuh itu berturut-turut berada pada ibu, ibunya

ibu, ibu dari ibunya ibu, ayah, ibu-ibunya, kakek, ibu-ibu dari kakek, saudara

perempuan kandung, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah,

saudara perempuan ayah sekandung, seibu dan seterusnya.22

Dengan demikian jelas bahwa jika terjadi perceraian, maka yang

berhak memelihara anak yang belum mumayyiz tersebut adalah dari pihak

istri karena sebagai ibu ikatan batin dan kasih sayang dengan anak

cenderung selalu melibihi kasih sayang sang ayah, dan derita keterpisahan

seorang ibu akan lebih berat dibanding keterpisahannya seorang anak dengan

ayahnya.

22 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Penerjemah Idrus Al-Kaff, (Jakarta: PT.

(40)

4. Masa Ha>d}anah

Tidak terdapat ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang menerangkan

dengan tegas tentang masa Had}a>nah, hanya terdapat isyarat-isyarat yang

menerangkan ayat tersebut. Karena itu para ulamaberijtihad sendiri-sendiri dalam

menetapkannya dengan berpedoman kepada isyarat-isyarat itu. 23

Hanafi berpendapat bahwa masa asuhan adalah tujuh tahun untuk

laki-laki dan sembilan tahun untuk wanita.

Syafi’i mengatakan bahwa tidak ada batasan tertentu bagi asuhan.

Anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan

apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Jika si anak sudah sampai pada

tingkat ini, dia disuruh memilih untuk tinggal bersama ibunya atau ayahnya.

Maliki berpendapat bahwa masa asuh anak laki-laki adalah sejak

dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga menikah.

Hambali berpendapat bahwa masa asuh anak laki-laki dan perempuan

adalah tujuh tahun, dan sesudah itu si anak disuruh memilih apakah tinggal

bersama ibu atau ayahnya, lalu sianak tinggal bersama orang yang

dipilihnya.24

5. Biaya Had}a>nah

Upah Had}a>nah, seperti upah menyusui. Ibu tidak berhak atas upah

h}ad}a>nah, selama ia menjadi isteri dari ayah anak kecil itu, atau selama masih

23

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat..., 185

(41)

dalam massa ‘iddah. Karena dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai

nafkah sebagai isteri atau nafkah massa ‘iddah.25

Allah SWT berfirman:

Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf....

“26

Adapun sesudah habis masa iddahnya maka ia berhak atas upah itu seperti

haknya kepada upah menyusui. Allah SWT berfirman:

Artinya : Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalain, kemudian jika mereka menyusukan (anak – anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawaralah di antara kamu (segala sesuat) dengan baik, dan jika kamu menemuai kesulitan maka perempuan lain boleh menyusuhkan (anak itu) untuknya.27

Perempuan selain ibunya boleh menerima upah had}a>nah, sejak saat

menangani had}a>nahnya, seperti halnya perempuan penyusu yang bekerja

menyusui anak kecil dengan bayaran (upah). Seperti halnya ayah wajib

membayar upah penyusuan dan had}a>nah ia juga wajib membayar ongkos sewa

rumah atau perlengkapannya jika sekiranya si ibu tidak memiliki rumah

sendiri sebagai tempat mengasuh anak kecilnya. Ayah berkewajiban

25 Slamet Abidin Amminuddin, Fiqih Munakahat II, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1991), 181. 26 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 57.

(42)

membayar gaji pembantu rumah tangga atau penyediaan pembantu tersebut

jika si ibu membutuhkannya dan ayah ada kemampuan. Tetapi ini hanya wajib

dikeluarkannya di saat ha>d}inah menangani asuhannya. Gaji (upah) ini menjadi

hutang yang ditanggung oleh ayah dan baru ia bisa terlepas dari tanggungan

ini kalau dilunasi atau dibebaskan.

Jika diantara kerabat anak kecil ada orang yang pandai mengasuhnya

dan melakukannya dengan sukarela, sedangkan ibunya tidak mau kecuali

kalau dibayar, maka jika ayahnya mampu, dia boleh dipaksa untuk membayar

upah kepada ibunya tersebut dan ia tidak boleh menyerahkan kepada

kerabatnya perempuan yan mau mengasuhnya dengan sukarela, bahkan si anak

kecil harus tetap pada ibunya. Sebab asuhan ibunya lebih baik untuknya

apabila ayahnya mampu membayar untuk upah ibunya. Apabila ayah tidak

mampu untuk memberi upah pada ibunya maka hak asuhnya dapat diberikan

kepada kerabatnya dengan alasan kerabatnya tersebut sudah pandai dalam

mengasuhnya.28

B. Had}a>nah dalam KHI dan UU No. 1 Tahun 1974

Dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan bagian upaya dalam

rangka mencari pola fikih yang bersifat khas Indonesia atau fikih yang bersifat

kontekstual, masalah hadanah diatur dalam Pasal 105 dan Pasal 156 :

Pasal 105

Dalam hal terjadinya perceraian :

28

(43)

a) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12

tahun adalah hak ibunya;

b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak

untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak

pemeliharaannya;

c) Biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya.

Pasal 156

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan had}a>nah dari

ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka

kedudukannya digantikan oleh :

1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu;

2. Ayah;

3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari

ibu;wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping

dari ayah.

b) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan

had}a>nah dari ayah atau ibunya;

Jadi menurut Kompilasi Hukum Islam, anak yang belum mumayyiz

(44)

mumayyiz, anak dapat memilih untuk mendapatkan had}a>nah dari ayah

atau ibunya.

Akhir masa Pengasuhan, Jika anak sudah tidak memerlukan bantuan

orang lain untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sehari-hari dan sudah

mencapai usia tamyiz, Maka masa pengasuhan telah berakhir. Setelah

berakhir masa pengasuhan, si anak tersebut diperbolehkan memilih untuk

menetap tinggal bersama salah satu dari kedua orangtuanya bila kedua

orang tuanya bercerai; atau sesuai dengan keputusan pengadilan.

Imam Syafi’i berpendapat, bahwa pengurusan anak tidak ada batasan

yang jelas kapan berakhirnya. Namun, bila ia telah dewasa dipersilahkan

baginya untuk memilih kepadaibu atau bapakknhya. Meskipun pilihan

jatuh pada ibunya, bapakknya tetap yang menanggung beban pembiayaan,

sesuai dengan ketentuan pengadilan.

Sedangkan yang tertuah pada UU No. 1 Tahun 1974 yang

menyangkut kewajiban orang tua terhadap anak terdapat pada bab X

mulaipasal 45 - 49 :

Pasal 45

1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya

2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku

sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku

(45)

Pasal 46

a) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka

yang baik

b) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya,

orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu

memerlukan bantuannya

Pasal 47

1) Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah

melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya

selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya

2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam

dan di luar pengadilan

Pasal 48

Orang tua tidak di perbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan

barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun

atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak

itu menghendakinya.

Pasal 49

a) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya

terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas

permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke

atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang

(46)

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya

b. Ia berkelakuan buruk sekali Meskipun orang tua dicabut

kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi

biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.29

Pasal-pasal diatas, jelas menyatakan kepentingan anak tetap di atas

segala-galanya. Artinya semangat UUP sebenarnya berpihak kepada kepentingan

dan masa depan anak. Hanya saja UUP hanya menyentuh aspek tanggungjawab

pemeliharaan yang masih bersifat material saja dan kurang memberi penekanan

pada aspek pengasuhan nonmaterialnya.30

Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

menurut KHI dan UU No.1 Tahun 1974, kedua orang tua mempunyai kewajiban

memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai kawin atau mempunyai atau

mampu berdiri sendiri. Ayah yang bertanggung jawab atas semua biaya

pemeliharaan dan pendidikan. Dalam hal ini pengadilan dapat menentukan

hal-hal yang berkenaan dengan masalah had}a>nah, baik kepada ayah maupun ibu.

Kewajiban had}a>nah yang dimaksud di atas adalah tetap berlaku meskipun

perkawinan di antara kedua orang tua putus (cerai).

C. Had{a>nah dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk

menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya

29 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), 94 30 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal T, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis

(47)

demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan

sosial.31 Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu

masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai

bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik kaitannya

dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Menurut Arif Gosita

kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan

anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak

diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah:32

1) Dasar Filosofis: pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan

keluarga, bermasyarakat, bernegara dan berbangsa serta dasar filosofis

pelaksanaan perlindungan anak.

2) Dasar Etis: pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi

yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan

kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

3) Dasar Yuridis: pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD

1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.

Penerapan yuridis ini harus secara integratif yaitu penerapan terpadu

menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang

berkaitan.

31 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak; Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 20060, 33.

(48)

Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun tidak

langsung. Secara langsung maksudnya kegiatannya langsung ditujukan kepada

anak yang menjadi sasaran pelanggaran langsung. Kegiatan seperti ini dapat

dengan cara melindungi anak dari berbagai ancaman dari luar dan dalam

seperti mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara.

Perlindungan anak secara tidak langsung yaitu kegiatan tidak langung

ditujukan kepada anak, tetapi orang lain yang melakukan atau terlibat dalam

usaha perlindungan anak.33 Usaha perlindungan demikian biasanya dilakukan

oleh orang tua atau sesuatu yang terlibat terhadap perlindungan anak terhadap

berbagai ancaman dari luar maupun dalam diri anak.

Dalam UU NO. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak disebutkan:

Pasal 1

(2) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi

anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.

Pasal 8

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial

sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

(49)

Pasal 13

1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain

mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat

perlindungan dari perlakuan:

a. diskriminasi;

b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

c. penelantaran;

d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

e. ketidakadilan; dan

f. perlakuan salah lainnya.

2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk

perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan

pemberatan hukuman.

Pasal 16

1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,

penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya

dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat

dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 26

(50)

b. Menumbuh kembangkam anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan

minatnya.

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak34

Pasal 36

1) Dalam hal wali yang ditunjuk ternyata di kemudian hari tidak cakap

melakukan perbuatan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya

sebagai wali, maka status perwaliannya dicabut dan ditunjuk orang lain

sebagai wali melalui penetapan pengadilan.

2) Dalam hal wali meninggal dunia, ditunjuk orang lain sebagai wali melalui

penetapan pengadilan.

Berdasarkan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga

disebutkan hak dan kewajiban anak, dalam Undang-undang ini perlindungan

anak sangat lebih diutamakan, dimana hal ini tetap harus dilakukan meskipun

diantara ibu atau ayahnya yang bersengketa salah satunya berkeyakinan di

luar Islam, atau diantara mereka berlainan bangsa, namun dalam memutuskan

terhadap pilihan anak tersebut harus melihat untuk kemaslahatan anak

tersebut yang dalam hal ini bukan hanya kemaslahatan dunianya saja tetapi

juga adalah akhir dari dunia ini yaitu akhiratnya.

(51)

42 BAB III

DESKRIPSI TENTANG PENDAPAT HAKIM

PENGADILAN AGAMA SURABAYA

A. Sejarah berdirinya PA Surabaya

Peradilan agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman

bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara

tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama. Kekuasaan kehakiman di lingkungan

Peradilan Agama dilaksanakan oleh Peradilan Agama dan Pengadilan

Tinggi Agama yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai

Pengadilan Negara Tertinggi.

Pengadilan Agama Surabaya adalah Pengadilan Agama Tingkat

Pertama kelas 1A merupakan Yurisdiksi dari Pengadilan Tinggi Agama

Surabaya. Pengadilan Agama Surabaya terletak di Jl. Ketintang Madya

VI/3 Surabaya yang mempunyai yurisdiksi 160 (seratus enam puluh)

kelurahan dan 31 (tiga puluh satu) kecamatan, dengan luas wilayah

33.306,30 Km² dan jumlah penduduk 2.864.343 jiwa.

Dasar Hukum berdirinya Pengadilan Agama Surabaya adalah

Staatblad 1882 No. 152 Jo STBL tahun 1937 nomor 116 dan 610, Sejak

berdirinya Pengadilan Agama Surabaya belum memiliki kantor yang

permanen dan terletak jadi satu dengan Masjid Ampel Surabaya

(52)

anggaran 1997/1998 dengan dana proyek ABPN dibangunlah kantor

Pengadilan Agama Surabaya terletak di jl. Gadung III / 10 Surabaya

seluas ± 250 m².

Pada tahun 1990 Pengadilan Agama Surabaya mendapatkan dana

dari DIPA Kementrian Agama untuk pengadaan tanah dan pembangunan

gedung kantor sehingga akhirnya Pengadilan Agama surabaya pindah

alamat ke J. Ketintang Madya VI/3 Surabaya dengan menepati gedung

kantor yang sederhana diatas tanah berukuran ± 1480 M².

Pada tahun 2006, 2008 dan 2009 Pengadilan Agama Surabaya

mendapat Dana dari DIPA Mahkamah Agung RI untuk pembangunan

Gedung kantor secara bertahap hingga menjadi bangunan gedung

berlantai 2 seperti sekarang ini, walaupun belum sesuai dengan Prototype

Gedung Pengadilan Agama Kelas 1A.

Gedung Pengadilan Agama Surabaya yang terletak di Jl.

Ketintang Madya VI/3 Kecamatan Jambangan Kota Surabaya diresmikan

pada tanggal 16 Juli 2008 oleh Ketua Mahkamah Agung Republik

Indonesia Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., MCL.

1. Wilayah Yuridiksi PA Surabaya

Wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Surabaya Kelas 1A meliputi 31

Kecamatan yaitu:

1. Kecamatan jambangan

(53)

3. Kecamatan Wiyung

4. Kecamatan Wonokromo

5. Kecamatan Wonocolo

6. Kecamatan Pabean Cantikan

7. Kecamatan Semampir

8. Kecamatan Kenjeran

9. Kecamatan Bulak

10.Kecamatan Gubeng

11.Kecamatan Gununganyar

12.Kecamatan Mulyorejo

13.Kecamatan Rungkut

14.Kecamatan Sukolilo

15.Kecamatan Tambaksari

16.Kecamatan Tenggilis Mejoyo

17.Kecamatan Dukuh Pakis

18.Kecamatan Karangpilang

19.Kecamatan Sawahan

20.Kecamatan Asemrowo

21.Kecamatan Benowo

22.Kecamatan Pakal

23.Kecamatan Lakarsantri

24.Kecamatan Sambikerep

(54)

26.Kecamatan Tandes

27.Kecamatan Tegalsari

28.Kecamatan Bubutan

29.Kecamatan Genteng

30.Kecamatan Simokerto

31.Kecamatan Krembangan

2. Letak Astronomis PA Surabaya

Secara Astronomis Kota Surabaya terletak pada 07.12 -›

-112.54 lintang selatan dan 112.36 -› -112.54 bujur timur. Secara

Geografis Kabupaten berbatasan sebagai berikut :

1. Sebelah Utara dengan Selat Madura.

2. Sebelah Timur dengan Selat Madura.

3. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Sidoarjo.

4. Sebelah Barat dengan kabupaten Gresik.

3. Tugas PA Surabaya

Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman ditingkat pertama

yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakan

Hukum dan Keadilan, Peradilan Agama adalah salah satu Badan

Peradilan dibawah Mahkamah Agung RI yang memiliki peranan

penting dalam mewujudkan visi Mahkamah Agung RI untuk

(55)

Agama Surabaya mengacu pada visi Mahkamah Agung RI dan

Pengadilan Tinggi Agama Surabaya adalah sebagai berikut :

“Terwujudnya Kesatuan Hukum dan Aparatur Pengadilan

Agama Surabaya yang Profesional, dan Akuntabel menuju Badan

Peradilan Indonesia yang Agung”

Untuk mencapai visi tersebut di atas, maka Pengadilan Agama

Surabaya menetapkan misi-misi sebagai berikut :

1. Menjaga Kemandirian Aparatur Pengadilan Agama;

2. Meningkatkan kualitas pelayanan hukum yang berkeadilan,

kredibel, dan transparan;

3. Mewujudkan kesatuan hukum sehingga diperoleh kepastian

hukum bagi masyarakat.

4. Meningkatkan pengaasan dan pembinaan;

Struktur Pengadilan Agama Surabaya Kelas 1A meliputi :

Ketua, Wakil Ketua, 30 Hakim, 1 Panitera, 1 Wakil Panitera, 1

Panitera Muda Gugatan dengan 6 Staf, 1 Panitera Muda Permohonan

dengan 8 Staf, 1 Panitera Muda Hukum dengan 7 Staf, 19 Panitera

Pengganti, 11 Jurusita/Jurusita Pengganti, 1 Sekretaris, 1 Subbagian

Perencanaan dengan 4 Staf, 1 Subbagian Kepegawaian dengan 1

Staf, serta 1 Subbagian Umum dan Keuangan dengan 8 Staf.

B. Deskripsi Perkara had}a>nah di PA Surabaya

Perkara yang di bahas oleh penulis kali ini yaitu perkara tentang

(56)

Dalam perkara ini Hakim menetapkan bahwa hak asuh anak tersebut

diberikan kepada ayahnya, dengan alasan Ibunya tidak mampu untuk

mengurus anaknya, seperti sering menelantarkan anak dan lain

sebagainya.

Perkara yang telah diterima pada tahun 2016 yang terhitung mulai

dari bulan Januari hingga bulan Juli ini di Pengadilan Agama Surabaya

tentang hak asuh anak terdapat 34 perkara yang masuk, akan tetapi

perkara yang sudah diputus sampai dengan bulan Juli 2016 terdapat 23

perkara.

Perkara yang terjadi di Pengadilan Agama Surabaya tentang

had}a>nah yang diberikan kepada ayah terdapat kasus ibu yang tidak sesuai

dengan syarat-syarat menjadi pengasuh. Seperti yang telah kita ketahui

bahwasanya wanita dalam masa sekarang ini lebih suka bekerja atau

menjadi wanita karir. Sehingga istri melupakan atau menelantarkan

anaknya. Pada dasarnya anak berhak mendapatkan pelayanan kesehatan

dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan

sosial. Selanjutnya anak tidak berhak mendapatkan diskriminasi,

penelantaran, kekejaman serta ketidakadilan. Maka dalam hal ini ibu

sering menelantarkan anakya karena beberapa tugas dari pekerjaannya.

Maka dalam kasus tersebut hakim memberikan hak asuh anak kepada

ayah. Karena kesibukannya pula anak lebih sering berkumpul atau dekat

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian pajak bisa jadi sulit tidak hanya karena kita harus mengikuti studi pajak di bidang akuntansi, keuangan, eko- nomi, dan hukum, namun juga karena berbagai

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier berganda.Berdasarkan penelitian diperoleh hasil bahwa motivasi kerja berpengaruh secara

Bu Dini : kalau Sekolah Menengah Pertama Negeri 26 Malang kebetulan SMP yang baru berdiri tetapi Alhamdulillah sudah banyak dilirik oleh ini tahun kelima ini kita berdiri tahun

Berdasarkan hasil penelitian di Bangsal Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, diketahui bahwa perawat dengan tingkat pengetahuan tinggi dengan penerapan

Scrooge falls to his knees and begs for the chance to change He expresses the hope that these scenes of the future can be changed, and vows to incorporate the lessons of the

Dari hasil analisis data, model pertumbuhan diameter pohon yang didapat baik dengan menggunakan model yang digunakan Alder (1980) maupun dengan menggunakan perangkat lunak

Dengan demikian, salah satu cara kalangan pesantren untuk mencapai tujuan dalam mengubah tingkah laku adalah dengan mempermudah tidak mempersulit.. Nilai-nilai

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan melakukan penelusuran dan pentadqiqan pada buku ajar (matakuliah) Pendidikan Agama Islam yang disusun dan digunakan