• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN... SAMPUL DALAM... ii. PRASYARAT GELAR... iii. LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... iv

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN... SAMPUL DALAM... ii. PRASYARAT GELAR... iii. LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... iv"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

i DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ...

SAMPUL DALAM ... ii

PRASYARAT GELAR ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJI TESIS ... v

UCAPAN TERIMAKASIH ... vi

ABSTRAK ...viii

ABSTRACT ... ix

RINGKASAN ... x

DAFTAR ISI ... xii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 23 1.3 Orisinalitas Penelitian ... 23 1.4 Tujuan Penelitian ... 26 1.4.1 Tujuan umum ... 26 1.4.2 Tujuan khusus ... 26 1.5 Manfaat Penelitian ... 27 1.5.1 Manfaat teoritis ... 27 1.5.2 Manfaat praktis ... 27

(2)

ii

1.6.1 Asas preferensi ... 29

1.6.2 Konsep konsistensi norma ... 31

1.6.3 Konsep pengaturan pembatasan ... 33

1.6.4 Konsep akta ... 34

1.6.5 Konsep pembuatan akta ... 38

1.6.6 Konsep akibat hukum ... 41

1.6.7 Konsep pertanggungjawaban notaris ... 42

1.6.8 Teori kewenangan ... 46

1.6.9 Teori kedaulatan hukum ... 49

1.6.10 Teori penjenjangan norma ... 51

1.6.11 Teori pertanggungjawaban ... 53

1.6.12 Kerangka pemikiran ... 58

1.7 Metode Penelitian ... 59

1.7.1 Jenis penelitian ... 59

1.7.2 Jenis pendekatan ... 60

1.7.3 Sumber bahan hukum ... 61

1.7.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ... 62

1.7.5 Teknik analisis bahan hukum ... 62

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA OTENTIK, NOTARIS, DAN DEWAN KEHORMATAN... 64

2.1 Tinjauan Umum Tentang Akta Otentik ... 64

2.1.1 Pengertian akta ... 64

2.1.2 Jenis-jenis akta ... 65

(3)

iii

2.1.4 Kekuatan pembuktian akta otentik ... 74

2.2 Tinjauan Umum Tentang Notaris ... 80

2.2.1 Pengertian dan dasar hukum notaris ... 80

2.2.2 Kewenangan, kewajiban, dan larangan notaris ... 87

2.2.3 Notaris dalam Kode Etik Notaris ... 93

2.3 Tinjauan Umum Tentang Dewan Kehormatan ... 99

2.3.1 Pengertian Dewan Kehormatan ... 99

2.3.2 Dewan Kehormatan dan Ikatan Notaris Indonesia ...104

BAB III PEMBATASAN PEMBUATAN AKTA OLEH PEJABAT NOTARIS ...107

3.1 Pembatasan Pembuatan Akta Menurut UUJN dan Peraturan Menteri ...108

3.2 Pembatasan Pembuatan Akta Menurut PerDKP 1/2017 dan Kode Etik ...111

3.3 Kewenangan UUJN dan PerDKP 1/2017 Terkait Pembatasan Pembuatan Akta dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan ...118

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA YANG DIBUAT MELEBIHI KETENTUAN BATAS KEWAJARAN...134

4.1 Akibat Hukum Terhadap Notaris ...134

4.2 Akibat Hukum Apabila Notaris Membuat Akta Melampaui Batas Ketentuan PerDKP 1/2017 ...141

BAB V PENUTUP ...145

5.1 Kesimpulan ...145

5.2 Saran ...145

DAFTAR PUSTAKA ...147 LAMPIRAN

(4)

iv ABSTRAK

Tema sentral dalam penelitian tesis ini adalah Pengaturan Pembatasan Pembuatan Akta Oleh Notaris (Berdasarkan Peraturan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017). Isu hukum dalam penelitian ini adalah norma yang tidak konsisten sehingga rumusan masalah penelitian ini berupa: (1) Bagaimana pengaturan pembatasan pembuatan akta oleh notaris menurut Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017? dan (2) Apakah akibat hukum yang ditimbulkan apabila notaris membuat akta yang melebihi ketentuan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017?

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Sumber bahan hukum tesis ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah teknik bola salju (snow ball) dengan teknik analisis bahan hukum berupa teknik deskripsi, teknik interpretasi, teknik evaluasi, dan teknik argumentasi.

Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) Pengaturan pembatasan pembuatan akta terdapat dalam Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 yakni sebanyak 20 akta per hari. Peraturan tersebut tidak konsisten dengan Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-undang Jabatan Notaris mengenai kewajiban notaris untuk memberikan pelayanan. Penyelesaian permasalahan tersebut dengan menggunakan melalui asas Lex Superiori Derogate

Inferiori, dan (2) Akibat hukum yang ditimbulkan apabila notaris membuat akta

yang melebihi dari batas kewajaran yang ditentukan Dewan Kehormatan Notaris yakni dikenai sanksi kode etik yang diterapkan oleh Dewan Kehormatan Notaris. Saran berdasarkan kesimpulan di atas, yakni: (1) Agar norma-norma terkait pembatasan pembuatan akta dimasukkan kedalam Kode Etik Notaris serta pihak-pihak terkait khususnya notaris maupun Dewan Kehormatan hendaknya mencermati pelaksanaan dari peraturan pembatasan pembuatan akta sehingga dapat terlaksana dengan semestinya, dan (2) Agar dengan adanya peraturan pembatasan pembuatan akta, notaris diharapkan fokus untuk melengkapi syarat-syarat utama dalam pembuatan akta guna meminimalisir kesalahan dalam hal pembuatan akta.

Kata kunci: pembatasan akta notaris, Dewan Kehormatan Pusat, Ikatan Notaris Indonesia

(5)

v ABSTRACT

The central theme in this thesis research is the Arrangement of Restrictions on Making Deed by Notaries (Based on the Regulation of the Honorary Council of the Indonesian Notary Association Number 1 of 2017). Legal issues in this study are inconsistent norms so that the formulation of the research problem is in the form of: (1) How are the restrictions on making a notary deed according to the Notary Position Law and the Honorary Board Regulation of the Indonesian Notary Association Number 1 of 2017? and (2) What is the legal consequence if the notary makes a deed that exceeds the provisions of the Honorary Board Regulation of the Indonesian Notary Association Number 1 of 2017?

This type of research is normative legal research, with a legislative approach and conceptual approach. The source of the legal material for this thesis is primary legal material and secondary legal material. Legal material collection techniques used are snowball techniques with legal material analysis techniques in the form of description techniques, interpretation techniques, evaluation techniques, and argumentation techniques.

The results of the study show that: (1) Setting restrictions on making deeds is contained in the Regulation of the Honorary Council of the Indonesian Notary Association Number 1 of 2017, namely as many as 20 deeds per day. The regulation is not consistent with Article 16 paragraph (1) letter e of the Notary Position Law regarding the obligation of notaries to provide services. Resolving these problems by using the Lex Superiori Derogate Inferiori principle, and (2) the legal consequences arising if the notary makes a deed that exceeds the fairness limit determined by the Notary Honorary Board that is subject to a code of ethics sanction applied by the Notary Honorary Board. Suggestions based on the conclusions above, namely: (1) In order for norms related to limiting the making of a deed to be included in the Notary's Code of Ethics as well as related parties, especially notaries and the Honorary Board, it should be observed the implementation of the regulation limiting the making of the deed so that it can be carried out properly, and (2) In order to limit the making of the deed, the notary is expected to focus on completing the main requirements in making the deed to minimize errors in the making of the deed.

Keywords: limitation of notary deed, Central Honorary Council, Indonesian Notary Association

(6)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Perjanjian merupakan perbuatan antara dua orang atau lebih yang memiliki tujuan tertentu. Perjanjian diatur dalam buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer) yang berjudul perikatan. Pengertian perjanjian terdapat dalam Pasal 1313 KUHPer bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Pengertian perjanjian tersebut tidak dapat terlepas dari subjek maupun objek yang terlibat di dalamnya. Subjek dari perjanjian tersebut dapat berupa seseorang atau lebih dari satu orang yang mengikatkan dirinya kepada seseorang atau lebih dari satu orang lainnya.

Perjanjian dapat dilakukan secara individu dengan individu, individu dengan beberapa orang, dan antara beberapa orang dengan beberapa orang lainnya yang paling sedikit melibatkan dua pihak. Perjanjian dikatan sah apabila telah memenuhi syarat-syarat perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPer, karena Pasal 1320 KUHPer merupakan tolak ukur atau sebagai penyaring apakah suatu hal dapat disebut perjanjian. Tolak ukur sahnya perjanjian melalui empat syarat, yakni: syarat pertama adalah sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya, syarat kedua yakni kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, syarat ketiga adalah suatu hal tertentu dan syarat keempat adalah suatu sebab yang halal. Perjanjian agar dapat dikatan sah haruslah memenuhi Pasal 1320 KUHPer. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif, yang apabila tidak dipenuhi maka

(7)

perjanjian tersebut menjadi dapat dibatalkan. Syarat ketiga dan keempat perjanjian tersebut menjadi dapat dibatalkan. Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yang apabila tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum.

(8)

sebab yang halal. Perjanjian agar dapat dikatan sah haruslah memenuhi Pasal 1320 KUHPer. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif, yang apabila tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut menjadi dapat dibatalkan. Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yang apabila tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum.

Perjanjian menurut bentuknya dibedakan menjadi 2, yakni perjanjian lisan dan tertulis. Perjanjian lisan merupakan perjanjian yang dibuat secara lisan (perkataan) tanpa adanya hitam diatas putih, sedangkan perjanjian tertulis merupakan perjanjian yang ditulis diatas kertas, dapat berupa akta otentik maupun akta di bawah tangan. Perjanjian lisan dan tertulis memiliki kekuatan mengikat yang berbeda. Perjanjian lisan, kekuatan mengikatnya hanya sebatas kepercayaan dari masing-masing pihak, karena perjanjian lisan yang dibuat tersebut merupakan undang-undang bagi yang membuatnya, sedangkan perjanjian tertulis memiliki kekuatan mengikat yang lebih kuat karena dibuat secara tertulis dan perjanjian tertulis tersebut menghasilkan akta yang akan menjadi salah satu alat bukti hukum. Akta menurut Pasal 1867 KUHPer adalah: “Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.” Pembuatan akta bertujuan sebagai alat pembuktian yang sah dan dapat dilakukan dibawah tangan maupun secara otentik.

Akta di bawah tangan dibuat oleh para pihak yang bentuk dan proses pembuatannya tidak berdasarkan atas ketentuan dalam undang-undang, sedangkan akta otentik terdapat di dalam Pasal 1868 KUHPer yang mendefinisikan akta otentik sebagai berikut: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk

(9)

3 yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan Pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.” Pasal 1868 KUHPer menjadi dasar hukum suatu akta tersebut dikatakan otentik. Unsur yang dapat diambil dari pengertian akta otentik tersebut adalah: pertama, dibuat dalam bentuk ditentukan dalam undang-undang, apabila suatu akta otentik tidak menggunakan bentuk sesuai dengan apa yang telah diatur dalam undang-undang, maka akta tersebut kehilangan ke otentisitasnya sehingga akta tersebut kekuatan hukumnya sama dengan akta di bawah tangan. Kedua, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berwenang untuk itu. Pegawai umum (yang selanjutnya disebut pejabat umum) merupkan orang-orang yang diangkat oleh pemerintah dan bekerja pada badan publik untuk mewakili badan publik tersebut dalam menajalankan tugas dan kekuasaan umum yang ada pada badan itu.

Salah satu pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik adalah notaris. Notaris memiliki peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur mengenai tugas, kewajiban, kewenangan, larangan dan lain sebagainya. Peraturan Perundang-undangan tersebut adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diundangkan di Jakarta, pada tanggal 6 Oktober 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Nomor 4432) (selanjutnya disebut UUJN) dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang Disahkan Di Jakarta, pada tanggal 15 Januari 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3) (yang selanjutnya disebut UUJN-P).

(10)

4 Pengertian notaris terdapat dalam UUJN yakni dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJN, yakni “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.” Pengertian notaris lainnya terdapat dalam ketentuan Kode Etik Notaris Pasal 1 angka 4, yakni “Notaris adalah setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum, sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang tentang Jabatan Notaris.” Seorang notaris dapat disimpulkan merupakan orang yang menjalankan tugas dan jabatan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta dan kewenangan lainnya berdasarkan undang-undang. Notaris sebagai pejabat yang ditunjuk oleh negara dalam menjalankan tugas dan jabatannya wajib untuk mematuhi peraturan perundang-undangan dan Kode Etik. Jabatan Notaris merupakan jabatan yang berjasa guna kepentingan umum dan masyarakat, sebagaimana menurut E. Utrecht bahwa jabatan (ambt) ialah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan Negara (kepentingan umum).1 Jabatan yang diemban oleh notaris dilakukan untuk kepentingan negara yang diperuntukan bagi kepentingan masyarakat umum. Kepentingan masyarakat umum di sini adalah kepentingan yang menyangkut mengenai hubungan antara masyarakat dengan masyarakat lainnya. Hubungan antara masyarakat satu dengan yang lainnya tidak terlepas dari adanya hubungan hukum. Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum dimana terjadi hak dan kewajiban bagi para pihak yang terlibat,

1 Habib Adjie, 2003, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, PT. Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disebut sebagai Habib Adjie I), hal, 16.

(11)

5 yang apabila dilanggar akan dikenakan sanksi. Notaris dan para pihak juga memiliki hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut terjadi pada saat notaris membuatkan akta untuk para pihak. Para pihak yang menghadap kepada notaris dengan kesadaran dirinya sendiri mengutarakan apa yang diinginkannya kepada notaris agar notaris menuangkan keinginan para pihak yang menghadap notaris tersebut ke dalam bentuk akta yang sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku. Hubungan hukum notaris dan para penghadap merupakan hubungan hukum yang khas, dengan karakter:

a. Tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tertulis dalam bentuk pemberian kuasa untuk membuat akta atau untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu;

b. Mereka yang datang ke hadapan notaris, dengan anggapan bahwa notaris mempunyai kemampuan untuk membantu memformulasikan keinginan para pihak secara tertulis dalam bentuk akta otentik;

c. Hasil akhir dari tindakan notaris berdasarkan kewenangan notaris yang berasal dari permintaan atau keinginan para pihak sendiri; dan

d. Notaris bukan pihak dalam akta yang bersangkutan. 2

Hubungan hukum tersebut timbul dari adanya kepercayaan antara notaris dengan para pihak. Kepercayaan antara para pihak dan notaris tidak memerlukan suatu perjanjian. Para pihak juga percaya bahwa notaris dapat membantu keinginan para pihak, oleh karena itu, para pihak yang datang kepada notaris dengan permintaan dan keinginannya kemudian dibuatkan akta oleh notaris sesuai dengan kewenangannya selaku pejabat umum. Akta yang dibuat oleh notaris tidak menjadikan notaris sebagai salah satu pihak di dalam akta tersebut karena notaris bersifat netral atau tidak memihak. Tidak hanya membuatkan akta untuk para

2 Habib Adjie, 2011, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), PT. Refika Aditama, Bandung,

(12)

6 pihak, notaris juga berwenang untuk memberikan pengetahuan hukum bagi para pihak guna meminimalisir kerugian dan agar terpenuhinya hak maupun kewajiban yang adil bagi masing-masing pihak tentunya dengan sikap etika yang sesuai di masyarakat. Etika profesi sebagai bagian dari pelaksanaan moralitas Jabatan Notaris yang mengatur perbuatan, pemikiran, tindakan, hingga produk hukum yang dikeluarkan oleh notaris haruslah berlandaskan pada Kode Etik. Kode Etik Notaris dalam Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia ditetapkan di Banten pada tanggal 30 Mei 2015, Pasal 1 angka 2, yakni:

Kode Etik Notaris dan untuk selajutnya akan disebut Kode Etik adalah kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan disebut “perkumpulan” berdasarkan keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai notaris, termasuk di dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti pada saat menjalakan jabatan.

Kode Etik merupakan kaidah moral, artinya dengan menerapkan Kode Etik selama menjalankan jabatannya, maka dengan begitu notaris telah melaksanakan apa yang dimaksud dengan nilai-nilai moral. Moralitas tidak dapat ditentukan secara pasti, karena ukuran dari moralitas tersebut masih abstrak. Nilai-nilai moral terbentuk dari adanya kebiasaan, sehingga moral yang terbentuk dari kebiasaan tersebut belum tentu sama penerapannya dalam keadaan yang berbeda, seperti halnya membuat akta yang merupakan tugas pokok atau utama dari seorang notaris, akta sebagai tugas pokok notaris juga dalam pembuatannya harus berdasarkan pada etika notaris, karena tugas atau wewenang ini adalah bersifat regel (kebiasaan). Kode etik tidak hanya berlaku bagi notaris saja namun juga baerlaku bagi pejabat sementara notaris dan notaris pegganti, karena kode

(13)

7 etik walaupun merupakan kaidah moral akan tetapi tetap berlaku sebagai undang-undang bagi para notaris.

Notaris agar dapat menjalankan kewajiban, tugas dan kewenangannya yang berdasarkan pada etika profesi memerlukan suatu perkumpulan antar notaris sebagai wadah untuk saling bertukar informasi maupun pengalaman yang berkaitan dengan pelaksanaan jabatan notaris. Perkumpulan tersebut dinamakan Ikatan Notaris Indonesia (selanjutnya sebagai INI). Pengertian mengenai INI terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Kode Etik, yakni:

Ikatan Notaris Indonesia disingkat I.N.I. adalah Perkumpulan/organisasi bagi pars notaris, berdiri semenjak tanggal 1 Juli 1908, diakui sebagai Badan Hukum (rechtspersoon) berdasarkan Gouvernements Besluit (Penetapan Pemerintah) tanggal 5 September 1908 Nomor 9, merupakan satu-satunya wadah pemersatu bagi semua dan setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum di Indonesia, sebagaimana hal itu telah diakui dan mendapat pengesahan dari pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia pada tanggal 23 Januari 1995 Nomor C2- 1022.HT.01.06 Tahun 1995, dan telah diumumkan di dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 7 April 1995 No. 28 Tambahan Nomor 1/P-1995, oleh karena itu sebagai dan merupakan organisasi notaris sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor117.

INI memiliki Anggaran Dasar (selanjutya disebut AD) dan Anggaran Rumah Tangga (selanjutnya disebut ART) seperti perkumpulan pada umumnya. Hingga saat ini, INI telah beberapa kali melaksanakan kongres maupun rapat mengenai perubahan AD-ART, antara lain: Kongres Luar Biasa INI di Bandung tanggal 27 Januari 2005, Kongres XIX INI di Jakarta tanggal 27-28 Januari 2006, dan Kongres Luar Biasa di Banten tanggal 29-30 Mei 2015, Kongres Luar Biasa tersebut menghasilkan Anggaran Dasar INI. Anggaran Rumah Tangga INI merupakan hasil dari Rapat Pleno Pengurus Pusat yang diperluas di Banten 30

(14)

8 Mei 2015, dan Rapat Pleno Pengurus Pusat yang diperluas di Balikpapan 12 Januari 2017. Notaris dalam menjalankan kewenangannya diawasi secara eksternal oleh Majelis Pengawas notaris dan diawasi secara internal oleh Dewan Kehormatan Notaris.3 Pengawasan secara eksternal mencakup pengawasan yang ditujukan kepada UUJN, sedangkan pengawasan secara internal merupakan pengawasan dalam ruang lingkup INI khususnya pengawasan yang ditujukan kepada kode etik. Tugas dan kewenangan eksternal diatur dalam UUJN, sedangkan tugas dan kewenangan secara internal diatur dalam kode etik. Majelis Pengawas diatur dalam Pasal 67 ayat (2) UUJN-P, yakni “Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana di maksud pada ayat (1) Menteri membentuk Majelis Pengawas.” Menteri yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang memberikan kewenangan delegasinya kepada Majelis Pengawas Notaris dalam hal pengawasan. Pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan meliputi prilaku dan pelaksanaan jabatan notaris. Majelis Pengawas dalam melaksanakan tugas dan jabatannya terdiri atas: Majelis Pengawas Daerah (berkedudukan di Kabupaten atau Kota), Majelis Pengawas Wilayah (berkedudukan di Propinsi), dan Majelis Pengawas Pusat (berkedudukan di Pusat/Ibu Kota Negara). Keanggotaan Majelis Pengawas terdiri atas Sembilan orang yang merupakan tiga orang dari organisasi notaris, tiga orang dari pemerintah, dan tiga orang dari akademisi. Tugas dan kewenagan Majelis Pengawas diatur dalam UUJN dan terbagi atas wilayah kerjanya masing-masing.

3 Habib Adjie, 2011, Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara,

(15)

9 Dewan Kehormatan berbeda halnya dengan Majelis Pengawas yang secara eksplisit disebutkan dalam UUJN, keberadaan Dewan Kehormatan dapat terlebih dahulu dilihat dalam Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2) UUJN bahwa notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi notaris dan organisasi sebagaimana yang dimaksud adalah INI. INI menurut Pasal 1 angka 5 UUJN merupakan organisasi yang berbadan hukum. Badan hukum pada umumnya memiliki AD dan ART, oleh karena itu INI memiliki AD ART yang menetapkan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan susunan organisasi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 82 ayat (4) UUJN. Pasal 83 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa organisasi menetapkan dan menegakkan kode etik. Pasal tersebut memerintahkan INI untuk menegakkan kode etik, dibentuklah Dewan Kehormatan di dalam AD ART INI sebagai tindak lanjut dari perintah UUJN dengan didasari dari Pasal 82 ayat (4) UUJN. AD INI di dalamnya menerangkan mengenai keberadaan Dewan Kehormatan, yakni Pasal 12 ayat (1) AD INI, yang menyatakan “Dewan Kehormatan mewakili Perkumpulan dalam hal pembinaan, pengawasan dan pemberian sanksi dalam penegakan Kode Etik Notaris.” Pasal tersebut secara tegas menerangkan bahwa ruang lingkup Dewan Kehormatan berkisar pada penegakan aturan kode etik notaris.

Tugas dan kewenangan Dewan Kehormatan Notaris terdapat dalam AD ART INI dan kode etik. Tugas dan kewenangan Dewan Kehormatan yang terdapat dalam Pasal 12 ayat (2) AD INI, yakni:

a. Melakukan bimbingan, pengawasan, pembinaan, anggota dalam penegakan dan menjunjung tinggi Kode Etik Notaris;

b. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan Kode Etik Notaris;

(16)

10 c. Memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas dan/atau Majelis Kehormatan Notaris atas dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris dan Jabatan Notaris;

d. Melakukan koordinasi, komunikasi, dan berhubungan secara langsung kepada anggota maupun pihak-pihak yang berhubungan dengan pelaksanaan dan penegakan Kode Etik Notaris;

e. Membuat peraturan dalam rangka penegakan Kode Etik Notaris bersama-sama dengan Pengurus Pusat.

AD INI mengatur mengenai tugas dan kewenangan Dewan Kehormatan, serta ART INI mengatur mengenai kepengurusan Dewan Kehormatan Pusat, Daerah, serta Wilayah. Pasal 12 ayat (2) AD INI tersebut mengatur bahwa ruang lingkup Dewan Kehormatan berkisar pada kode etik, sehingga Dewan Kehormatan berwenang untuk membuat peraturan yang berkaitan dengan penegakan kode etik. Peran Dewan Kehormaran yang terdapat dalam ruang lingkup kode etik menjadikan Dewan Kehormatan sebagai lembaga dengan kewenangan internal, atau hanya mencakup pada ruang lingkup organisasi notaris. Pasal 12 ayat (2) huruf e AD INI menentukan bahwa Dewan Kehormatan berwenang untuk membuat aturan dalam rangka penegakan kode etik. Tidak hanya membuat peraturan berkisar kode etik saja, namun Dewan Kehormatan juga memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi terkait pelanggaran yang dilakukan notaris terhadap norma susila atau perilaku yang merendahkan harkat dan martabat notaris atau perbuatan yang dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap notaris sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (3) Kode Etik Notaris. Sanksi yang dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan terkait pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh notaris mencakup teguran, peringatan, pemecatan sementara dari keanggotaan perkumpulan, dan pemecatan dari anggota

(17)

11 perkumpulan yang sanksi tersebut dijatuhkan tergantung dari tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh notaris secara berjenjang.

Kewenangan Dewan Kehormatan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 12 AD INI yakni berwenang membuat aturan terkait penegakan kode etik serta dengan perintah dari Pasal 4 angka 16 Kode Etik bahwa notaris dilarang untuk membuat akta melebihi batas kewajaran yang jumlahnya ditentukan oleh Dewan Kehormatan menjadi dasar bagi Dewan Kehormatan untuk membuat peraturan yang membatasi jumlah akta yang wajib ditaati oleh Notaris, sehingga Dewan Kehormatan Pusat mengeluarkan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Batas Jumlah Kewajaran Pembuatan Akta Per Hari (selanjutnya disebut PerDKP 1/2017).

Batas Kewajaran dalam membuat akta menurut PerDKP 1/2017 terdapat dalam Pasal 1 angka 6, yakni “Batas Kewajaran dalam membuat akta adalah dengan memenuhi semua ketentuan dalam pembuatan akta notaris berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN).” Dilihat dari pengertian mengenai batas kewajaran menurut PerDKP 1/2017, batas kewajaran merupakan ketentuan yang tidak boleh melampaui (batas), dan kewajaran adalah keadaan yang semestinya, sehingga batas kewajaran adalah ketentuan yang tidak boleh melampaui keadaan yang semestinya, yakni ketentuan di dalam PerDKP 1/2017. Batas kewajaran pembuatan akta per hari merupakan kode etik notaris yang ditetapkan di dalam Kongres. Mengenai batas kewajaran seorang notaris untuk membuat akta, diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) PerDKP 1/2017 menyebutkan bahwa:

(1) Batas kewajaran dalam pembuatan akta oleh notaris sebagai anggota Perkumpulan adalah 20 (dua puluh) akta per hari;

(18)

12 (2) Apabila notaris akan membuat akta melebihi 20 (dua puluh) akta per hari dalam satu rangkaian perbuatan hukum yang memerlukan akta yang saling berkaitan, dan/atau akta-akta lainnya, sepanjang dapat dipertanggungjawabkan yang dilakukan sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN), tatacara pembuatan akta notaris, Kode Etik Notaris (KEN), kepatutan dan kepantasan serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 2 ayat (1) PerDKP 1/2017 tersebut menyebutkan bahwa batas kewajaran pembuatan akta Per Hari adalah sebanyak 20 (dua puluh) akta per hari. Pasal 2 ayat (2) PerDKP 1/2017 tersebut menyebutkan bahwa adanya pengecualian bagi notaris untuk membuat akta melebihi dari batas kewajaran. Pengecualian tersebut adalah apabila selama akta yang dibuat saling berkaitan dan dapat dipertanggungjawabkan oleh notaris dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik. Pembuatan akta yang dimaksud juga meliputi akta-akta yang proses pembuatannya dengan online, sehingga akta-akta yang dalam proses pembuatannya dengan cara online maka tetap harus mentaati dari ketentuan PerDKP 1/2017 tersebut. Batas kewajaran pembuatan akta sebanyak 20 akta tidak konsisten dengan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN-P mengenai kewajiban notaris, yakni “Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya”. Salah satu bentuk pelayanan yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e tersebut dapat diartikan dalam hal ini sebagai membuat akta, karena membuat akta merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa notaris kepada masyarakat. Notaris tidak diperbolehkan menolak suatu akta sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang kecuali ada alasan untuk menolakya sebagaimana alasan penolakan tersebut terdapat dalam Penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN-P, bahwa notaris dapat menolak

(19)

13 suatu akta dengan alasan notaris dianggap dapat berpihak kepada salah satu pihak dalam perjanjian, seperti adanya hubungan darah dengan notaris atau adanya ikatan suami/isteri, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang dilarang undang-undang. Pengecualian untuk menolak suatu akta menurut UUJN-P tersebut hanya sebatas hubungan kekeluargaan notaris, ketidakmampuan pihak dalam bertindak, dan hal yang dilarang dalam undang-undang. Batas kewajaran pembuatan akta masih menjadi perdebatan di kalangan notaris hingga sekarang karena ada yang menganggap bahwa yang dibatasi oleh PerDKP 1/2017 ini adalah jumlah akta yang dibuat oleh notaris dan ada pula yang menganggap yang dibatasi adalah prilaku notaris dalam membuatkan akta. Penelitian ini lebih menitikberatkan pada PerDKP 1/2017 yang membatasi mengenai jumlah akta yang dibuat oleh notaris karena tidak konsisten dengan UUJN.

Mathias Klatt4 memberikan pendapat mengenai problematika yuridis, yakni tidak dapat ditentukan “apa hukumnya” secara tepat (legal indeterminacy) ini kemungkinan disebabkan oleh berbagai hal, seperti:

a. Kekaburan makna (vaqueness), dengan demikian apabila terdapat suatu norma yang kabur, dinamakan vaqueness norm.

b. Ke-mendua-artian makna (ambiguity), ambiguitas adalah kekacauan makna dalam bahasa.

c. Tidak konsisten (Incosistency), yang berdasarkan kamus kata serpan tidak selaras atau tidak sesuai. 5

d. Konsep-konsep yang secara mendasar bertentangan atau bersaing, konsep-konsep yang masih terbuka untuk dievaluasi. Adanya kekosongan hukum, dan konflik norma serta uncomplete of norm.

4

Mathias Klatt, 2008, Making The Law Eksplicit: The Normativity of Legal

Argumentation, Hart Publishing, Oxford and Portland Oregon, hal. 262-264.

5 Surawan Martinus, 2002, Kamus Kata Serapan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.

(20)

14

Pendapat Mathias tersebut menyatakan bahwa terdapat norma-norma yang terkandung di dalam problematika yuridis, seperti kekaburan makna, ambiguitas, tidak konsisten, kekosongan hukum, konflik norma, serta norma yang tidak utuh. Menurut Zinal Arifin6 problematika yuridis terdiri atas beberapa istilah, yakni:

a. Prinsip konsisten b. Sinkronisasi

c. Harmonisasi normatif vertikal/horizontal

Prinsip konsisten, sinkronisasi, dan harmonisasi normatif vertikal dan horizontal adalah apabila terdapat suatu peraturan yang bertentangan atau tidak sejalan dengan peraturan lainnya, terdapat juga dalam UU 12/2011 yang berkaitan dengan landasan yuridis disebutkan adanya: kekosongan hukum, disharmonisasi atau tumpang tindih, dan peraturannya ada tetapi tidak memadai. Problematika hukum terdapat istilah yang tidak komplit, yaitu hukum yang mengatur terhadap sesuatu yang ada, tetapi tidak lengkap maupun tidak utuh. Berdasarkan atas problematika hukum yang telah dijabarkan tersebut, maka problematika hukum terdiri atas: norma kabur/ tidak jelas, norma yang ambigu, norma yang tidak konsisten, norma yang kosong, norma yang konflik, norma yang tidak harmonis, dan norma yang tidak komplit.7

Penelitian ini merupakan permasalahan yang termasuk dalam ketidakkonsistenan norma, karena PerDKP 1/2017 yang dibuat oleh Dewan Kehormatan dianggap tidak konsisten dengan UUJN, untuk menyelesaikan

6 Zaenal Arifin H. 2009, Judicial Review di Mahkamah Agung ri. Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 52-53

7

Vieta Imelda Cornelis dan Susianto, 2005, Rekontruksi Pengaaturan Pola Hubungan

Kewenangan Antara Kepala Daerah dengan Wakil Kepala Daerah dalam Sistem Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas

(21)

15 permasalahan tersebut maka dipergunakan penyelesaian dengan melihat bagaimana keberadaan peraturan-peraturan tersebut di dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Hierarki Peraturan Perundang-undangan tersebut terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) (selanjutnya disebut UU 12/2011) , yakni:

a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

UUJN terdapat di dalam hierarki peraturan perundang-undangan tersebut, sedangkan PerDKP 1/2017 tidak terdapat di dalam peraturan utama Pasal 7 UU 12/2011, namun ada peraturan-peraturan yang diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan seperti yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2011, yakni:

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau

(22)

16 Pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”

Pembentukan PerDKP 1/2017 berawal dari INI yang diperintahkan oleh Pasal 82 UUJN untuk merumuskan AD ART INI sebagai organisasi berbadan hukum yang salah satu isi pasalnya adalah membentuk Dewan Kehormatan dalam rangka penegakan kode etik, sehingga PerDKP 1/2017 yang dibentuk oleh INI merupakan peraturan yang diakui dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat karena INI dibentuk dan diperintahkan oleh UUJN, sehingga memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 8 UU 12/2011. Teori kewenangan mengemukakan bahwa terdapat 3 jenis kewenangan, yakni atribusi, delegasi, dan mandat. Teori kewenangan tersebut berguna untuk mengetahui bagaimana kewenangan Dewan Kehormatan dalam hal membuat peraturan pembatasan jumlah pembuatan akta. INI yang dibentuk dan diperintahkan oleh UUJN kemudian membentuk suatu kode etik dan AD ART INI. INI memberikan kewenangan delegasi kepada Dewan Kehormatan untuk membuat peraturan mengenai batas kewajaran jumlah pembuatan akta dalam satu hari.

Setelah melihat kewenangan Dewan Kehormatan tersebut dapat diketahui bagaimana posisi PerDKP 1/2017 di dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Asas preferensi selanjutnya dipergunakan untuk melihat bagaimana kedudukan antara peraturan perundang-undangan tersebut. Asas preferensi terbagi atas 3 asas, yakni: Lex superiori derogate legi infariori (peraturan

(23)

perundang-17 undangan yang labih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah), Lex specialis derogate legi generali (peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan), dan Lex posteriori derogate legi priori (peraturan yang baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama).

Norma hukum tidak hanya terdapat dalam permasalahan normatif saja, namun norma hukum pada umumnya memiliki sifat mewajibkan (mandatory) dan mengatur (voluntary). Norma hukum yang bersifat mewajibkan merupakan norma yang wajib untuk diikuti tanpa memandang individu, keadaan, waktu dan tempat yang wajib ditaati oleh pihak yang ditujukan oleh norma tersebut, sedangkan norma yang bersifat mengatur merupakan norma yang dapat atau tidak dapat, boleh atau tidak boleh untuk dilaksanakan oleh pihak yang ditujukan oleh norma tersebut. Norma yang bersifat mewajibkan oleh karena wajib ditaati, maka apabila dilanggar atau tidak ditaati maka akan menimbulkan akibat hukum atau berupa sanksi, sedangkan norma yang bersifat mengatur tidak menimbulkan sanksi karena pihak yang ditujukan oleh norma boleh untuk melakukan atau tidak melakukan norma tersebut tanpa adanya konsekuensi. Norma yang bersifat mewajibkan contohnya adalah Pasal 16 dan 16A UUJN-P, yakni:

(1) Dalam menjalankan jabatannya, notaris wajib:

a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris;

c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta;

d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;

(24)

18 e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang

ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

f. merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

g. menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;

h. membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;

i. membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan;

j. mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;

k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;

l. mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris; dan

n. menerima magang calon notaris.

(2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal notaris mengeluarkan Akta in originali. (3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun; b. Akta penawaran pembayaran tunai;

c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;

d. Akta kuasa;

e. Akta keterangan kepemilikan; dan

f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih

dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap Akta tertulis kata-kata “BERLAKU SEBAGAI SATU DAN SATU BERLAKU UNTUK SEMUA".

(5) Akta in originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.

(25)

19 (6) Bentuk dan ukuran cap atau stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf l ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(7) Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan notaris.

(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan terhadap pembacaan kepala Akta, komparasi, penjelasan pokok Akta secara singkat dan jelas, serta penutup Akta.

(9) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan ayat (7) tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

(10) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku untuk pembuatan Akta wasiat.

(11) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi berupa:

a. peringatan tertulis;

b. pemberhentian sementara;

c. pemberhentian dengan hormat; atau d. pemberhentian dengan tidak hormat.

(12)Selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11), pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris.

(13) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis.”

Pasal 16A

(1) Calon notaris yang sedang melakukan magang wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a.

(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon notaris juga wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta.

Norma-norma yang terdapat dalam Pasal 16 dan Pasal 16A UUJN tersebut merupakan norma yang bersifat mewajibkan, sedangkan norma yang bersifat mengatur contohnya adalah Pasal 20 UUJN bahwa notaris dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk persekutuan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian dalam menjalankan jabatannya. Pasal 16 UUJN mengenai kewajiban

(26)

20 notaris merupakan norma yang wajib untuk ditaati, sehingga memiliki sanksi. Sanksi yang diterapkan apabila notaris melanggar ketentuan dari Pasal 16 UUJN adalah peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat. Kode Etik Notaris juga memiliki norma yang bersifat mewajibkan, yakni yang terdapat dalam Pasal 4 angka 16 kode etik, bahwa notaris dilarang membuat akta melebihi batas kewajaran yang batas kewajarannya ditentukan oleh Dewan Kehormatan. Pasal tersebut mewajibkan notaris untuk membuat akta sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Dewan Kehormatan. Peraturan yang dimaksud adalah PerDKP 1/2017 yang mengatur mengenai jumlah pembatasan pembuatan akta. Pasal 2 ayat (1) mengatur bahwa jumlah sebagaimana yang dibatasi adalah sebanyak 20 akta per hari, namun Pasal 2 ayat (2) memberikan pengecualian bahwa notaris dapat membuat lebih dari 20 akta per hari sepanjang akta-akta tersebut saling berkaitan dan/atau dapat dipertanggungjawabkan oleh notaris.

UUJN dan PerDKP 1/2017 sama-sama merupakan norma hukum yang bersifat mewajibkan, sehingga memiliki akibat hukum yang berupa sanksi bagi notaris yang melanggar ketentuan tersebut. Akibat hukum terhadap pelanggaran dari UUJN dan PerDKP tidak terlepas dari aspek formal suatu akta otentik. Pasal 1868 KUHPer menyebutkan bahwa salah satu syarat akta otentik adalah dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang yang tidak hanya terbatas secara fisik tetapi meliputi tata cara pembuatannya. Sempurnanya suatu akta otentik memerlukan pembacaan oleh notaris dan ditandatangani oleh para penghadap, dua orang saksi dan notaris (Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN-P).

(27)

21 Notaris wajib untuk membacakan kepala akta, komparasi, penjelasan pokok akta secara singkat dan jelas, serta penutup akta. Keseluruhan isi akta tidak wajib untuk dibacakan oleh notaris apabila para penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan oleh notaris dengan alasan para pihak telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam pentup akta serta pada halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan notaris. Pembacaan akta tersebut membuktikan bahwa aspek formal dalam pembuatan akta perlu diperhatikan. Hal ini tentu berkaitan dengan PerDKP 1/2017, akta-akta yang dibuat melebihi dari ketentuan dapat memiliki indikasi berupa dikesampingkannya aspek formal seperti pembacaan akta yang berakibat hukum akta tersebut menjadi akta di bawah tangan. PerDKP 1/2017 lahir agar notaris tidak mengesampingkan aspek formal dan sebagai solusi untuk mengendalikan notaris agar memberikan kepastian hukum produknya. Rata-rata waktu dalam pembacaan akta dan pemenuhan syarat-syarat formal inilah yang kemudian membatasi jumlah akta yang sebanyak 20 buah, mengingat efisiensi waktu serta pemenuhan syarat-syarat formal yang harus dilakukan oleh notaris dalam satu hari.

Notaris apabila melanggar ketentuan PerDKP 1/2017 sama saja dengan melakukan pelanggaran terhadap Pasal 4 angka 16 Kode Etik Notaris, sehingga notaris yang melanggar dapat dikenai akibat hukum berupa sanksi kode etik. PerDKP 1/2017 khususnya Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) mengatur bahwa PerDKP 1/2017 merupakan objek pemeriksaan dari Dewan Kehormatan serta berada dalam ruang lingkup kode etik, sehingga akibat hukum maupun sanksi dari pelanggaran

(28)

22 akan dikenai sanksi kode etik serta menjadi objek pemeriksaan dari Dewan Kehormatan. Pasal 1 angka 1 PerDKP 1/2017 mengatur bahwa sanksi adalah hukuman yang dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan kepada notaris sebagai anggota Perkumpulan karena melakukan pelanggaran yang disebutkan dalam peraturan ini, sehingga notaris yang melanggar dijatuhkan sanksi oleh Dewan Kehormatan. Perilaku notaris tersebut harus mencerminkan seorang pejabat Negara, karena notaris merupakan jabatan yang istimewa. UUJN dan Kode Etik Notaris merupakan payung, penunjuk arah bagi para notaris. Menurut Nico, terdapat 4 tanggung jawab notaris antara lain:

1. Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap akta yang dibuatnya;

2. Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya;

3. Tanggung jawab notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya;

4. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan Kode Etik Notaris.8

Pertanggungjawaban notaris tersebut baik dalam hal perdata, pidana, maupun di dalam UUJN, tidak terlepas dari etika profesi, dimana etika profesi merupakan etika moral yang khusus diciptakan untuk kebaikan jalannya profesi yang bersangkutan, karena setiap profesi mempunyai identitas, sifat, atau ciri dan standar profesi sendiri sesuai dengan kebutuhan profesi masing-masing.9

Tidak konsistennya norma yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) PerDKP 1/2017 yang bertentangan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN-P

8

Nico, 2003, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum. Centre for Documentation and Studies of Business Law, Yogyakarta.

9 Muhammad Erwin dan Amrullah Arpan, 2008, Mencari Hakikat Hukum, Universitas

(29)

23 dan akibat hukum bagi notaris yang melebihi dari ketentuan tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul “Pengaturan Pembatasan Pembuatan Akta Oleh Notaris (Berdasarkan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017)”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan diatas, maka perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan pembatasan pembuatan akta oleh notaris menurut Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017?

2. Apakah akibat hukum yang ditimbulkan apabila notaris membuat akta yang melebihi ketentuan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017?

1.3 Orisinalitas Penelitian

Penelitian tentang pengaturan pembatasan pembuatan akta oleh notaris (berdasarkan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017) merupakan penelitian yang asli dan dapat dipertanggung jawabkan, dan penulis membandingkan dari penulusuran kepustakaan yang dilakukan, ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan pertanggung jawaban dan kewenangan notaris. Penelitian-penelitian yang dimaksud adalah:

(30)

24 1. Denny Kharisma Atmadja, Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, 2016, dengan judul, “Peran Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia dalam Penegkan Kode Etik Notaris di Kota Yogyakarta”, menggunakan metode empiris, dengan rumusan masalah:

a. Bagaimana pelaksanaan penegakan Kode Etik Notaris oleh Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia (INI) sebagaimana diamanatkan Undang-undang Jabatan Notaris di Kota Yogyakarta?

b. Bagaimana penerapan sanksi oleh Dewan Kehormatan INI Kota Yogyakarta kepada anggotanya yang terbukti bersalah, setelah dijatuhkan sanksi oleh Majelis Pengawas Daerah Kota Yogyakarta?

Penelitian Denny Kharisma Atmadja dengan penelitian yang dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang Kode Etik dan kaitannya dengan Dewan Kehormatan INI. Perbedaannya jika penelitian Denny Kharisma Atmadja meneliti tentang peranan Dewan Kehormatan INI dan penerapannya di Kota Yogyakarta, sedangkan pada penelitian yang dilakukan meneliti tentang peraturan yang dibuat oleh Dewan Kehormatan beserta akibat hukum bagi aktanya secara normatif.

2. Sulistiyono, Tesis Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, 2009, dengan judul “Pelaksanaan Sanksi Pelanggaran Kode Etik Profesi Notaris oleh Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia di Kabupaten Tangerang”, menggunakan metode penelitian empiris, dengan rumusan masalah: a. Pelanggaran Kode Etik apa saja yang dilakukan oleh notaris di Kabupaten

(31)

25 b. Bagaimanakah pelaksanaan sanksi yang dijatuhkan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia sebagai organisasi profesi dapat mengikat terhadap notaris yang melanggar Kode Etik di Kabupaten Tangerang?

Penelitian Sulistiyono dengan penelitian yang dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang Sanksi Kode Etik dan kaitannya dengan Dewan Kehormatan INI. Perbedaannya jika penelitian Sylistiyono meneliti tentang pelanggaran Kode Etik Notaris yang berkaitan dengan Dewan Kehormatan INI dan penerapannya di Kabupaten Tangerang, sedangkan pada penelitian yang dilakukan meneliti tentang peraturan yang dibuat oleh Dewan Kehormatan beserta akibat hukum bagi aktanya secara normatif.

3. Hetty Roosmilawati, Tesis Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, 2008, dengan judul “Penerapan Sanksi Kode Etik Terhadap Pelanggaran Jabatan oleh Notaris dalam Praktek di Jakarta Selatan” menggunakan metode penelitian empiris, dengan rumusan masalah:

a. Bagaimana daya mengikat sanksi yang dijatuhkan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia sebagai organisasi profesi terhadap notaris yang melanggar Kode Etik?

b. Apa upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh notaris yang dijatuhkan sanksi pelanggaran Kode Etik untuk mengajukan keberatan?

Penelitian Hetty Roosmilawati dengan penelitian yang dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang Sanksi Kode Etik dan kaitannya dengan Dewan Kehormatan INI.

(32)

26 Perbedaannya jika penelitian Hetty Roosmilawati meneliti tentang penerapan sanksi kode di Jakarta Selatan, sedangkan pada penelitian yang dilakukan meneliti tentang peraturan yang dibuat oleh Dewan Kehormatan beserta akibat hukum bagi aktanya secara normatif.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan pernyataan mengenai apa yang hendak dicapai dalam penelitian. Tujuan penelitian ini terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus.

1.4.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengembangkan kajian hukum yang berkaitan dengan Pengaturan Pembatasan Pembuatan Akta Oleh Notaris (Berdasarkan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017).

1.4.2 Tujuan khusus

Berdasarkan pada tujuan umum diatas dan dengan menekankan pada aspek normatifnya, adapun tujuan khusus dari penelitian ini sesuai dengan permasalahan yang dibahas, yakni:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pengaturan pembatasan pembuatan akta oleh notaris menurut Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017; dan

b. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah akibat hukum yang ditimbulkan apabila notaris membuat akta yang melebihi ketentuan Peraturan Dewan

(33)

27 Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Batas Kewajaran Pembuatan Akta Per Hari.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya, sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1.5.1 Manfaat teoritis

Manfaat teoritis menjelaskan bahwa hasil penelitian bermanfaat memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan terkait penelitian, antara lain:

a. Dari penulisan karya ilmiah ini, diharapkan dapat menjadi sarana untuk menambah pengetahuan serta dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat, khususnya di bidang Pengaturan Pembatasan Pembuatan Akta Oleh Notaris (Berdasarkan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017);

b. Selain itu, penulisan karya ilmiah ini diharapkan juga dapat menambah pemahaman dan literature bagi mahasiswa terhadap teori-teori yang diperoleh dalam perkuliahan.

1.5.2 Manfaat praktis

Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak terkait, diantaranya sebagai berikut:

(34)

28 a. Bagi notaris penelitian ini dapat dijadikan sebagai refrensi dalam hal Pengaturan Pembatasan Pembuatan Akta Oleh Notaris (Berdasarkan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017); b. Bagi Dosen dan Mahasiswa penelitian ini dapat dijadikan sebagai refrensi

sebagai penunjang dalam proses belajar dan mengajar dalam hal Pengaturan Pembatasan Pembuatan Akta Oleh Notaris (Berdasarkan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017);

c. Bagi masyarakat penelitian ini dapat bermanfaat ketika menghadapi permasalahan dalam hal Pengaturan Pembatasan Pembuatan Akta Oleh Notaris (Berdasarkan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017);

d. Bagi saya sendiri, penelitian ini selain sebagai syarat dalam menyelesaikan studi akhir di Magister Kenotariatan Universitas Udayana juga bermanfaat untuk menambah wawasan khususnya dalam hal Pengaturan Pembatasan Pembuatan Akta Oleh Notaris (Berdasarkan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017).

1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran

Tesis ini akan menggunakan beberapa asas, konsep dan teori yang mendukung dengan topik Pengaturan Pembatasan Pembuatan Akta Oleh Notaris (Berdasarkan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017). Alur suatu logika (flow of reasonic/logic), teori juga terdiri dari seperangkat konsep atau variable, definisi dan proposisi yang disusun secara

(35)

29 sistematis.10 Tesis ini menggunakan asas, konsep, dan teori yang menunjang terhadap permasalahan dikaji yang berhubungan dengan Pengaturan Pembuatan Akta Oleh Notaris (Berdasarkan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017). Asas, konsep dan teori yang digunakan adalah Asas Preferensi, Konsep Konsistensi Norma, Konsep Pengaturan Pembatasan, Konsep Akta, Konsep Pembuatan Akta, Konsep Akibat Hukum, Konsep Pertanggungjawaban Notaris, Teori Kewenangan, Teori Kedaulatan Hukum, Teori Perjenjangan Norma, dan Teori Pertanggungjawaban.

1.6.1 Asas preferensi

Asas preferensi ini digunakan untuk memecahkan masalah mengenai tidak konsistennya norma yang terdapat dalam PerDKP 1/2017 dengan UUJN. Konflik antara norma hukum berlaku asas-asas penyelesaian konflik (asas preferensi), yakni11:

a. Lex superiori derogate legi infariori, yaitu peraturan perundang-undangan yang labih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah;

b. Lex specialis derogate legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan;

c. Lex posteriori derogate legi priori, yaitu peraturan yang baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.

Lex superiori derogate legi inferiori memiliki pengertian bahwa secara

hierarki peraturan perundang-undangan yang lebih lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Sehingga dalam

10

J. Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 194.

11 Sudikno Mertokusumo, 2002, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga,

(36)

30 penerapan hukum, peraturan perundang-undangan menurut Lex superiori

derogate legi inferiori yang diterapkan adalah peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi. Lex specialis derogate legi generali merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang memiliki kedudukan yang sama dan berkaitan, misalnya antara sesama undang-undang, namun memiliki ruang lingkup yang berbeda dimana salah satu undang bersifat lebih khusus daripada undang-undang lainnya. sehingga undang-undang-undang-undang yang bersifat lebih khusus melumpuhkan undang-undang yang bersifat lebih umum. Lex posteriori derogate

legi priori adalah peraturan perundang-undagan yang lebih baru melumpuhkan

peraturan perundang-undangan yang terlebih dahulu. Asas ini pada umumnya mencerminkan bahwa peraturan perundang-undangan yang terbaru lebih mencerminkan keadaan atau kondisi yang dibutuhkan saat ini, namun asas ini hanya berlaku pada peraturan perundang-undangan dalam hierarki yang sama.

Hierarki Peraturan Perundang-undangan tersebut terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, yakni:

a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(37)

31 Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 tersebut merupakan peraturan utama di dalam hierarki peraturan perundang-undangan, namun peraturan lainnya masih ada yang tetap diakui keberadaannya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 8 UU 12/2011, yakni:

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau Pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”

Pasal 8 tersebut mengakui adanya peraturan lainnya yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dibentuk berdasarkan kewenangan. Berdasarkan hierarki Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dilihat bagaimana kedudukan UUJN di dalam peraturan utama dan kedudukan PerDKP 1/2017 di dalam peraturan yang diakui keberadaannya. Penyelesaian norma yang tidak konsisten antara UUJN dan PerDKP 1/2017 tersebut dengan mempergunakan asas preferensi untuk melihat pengaturan yang dipergunakan dalam membatasi jumlah pembuatan akta.

1.6.2 Konsep konsistensi norma

Konsistensi berasal dari bahasa latin con-sistere artinya berdiri bersama. Konsistensi jika diartikan memiliki arti sesuai, harmoni, atau memiliki hubungan logis. Mengenai perubahan kata sifat konsisten menjadi kata benda disebut

(38)

32 sebagai konsistensi, memiliki arti kesesuaian, keharmonisan, keadaan yang memiliki hubungan logis. Kata konsistensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ketetapan dalam bertindak,12 sedangkan kata inkonsistensi adalah kontradiktif, bertentangan, tidak sesuai.13 Inkonsistensi hukum adalah adanya ketidaksesuaian atau kontradiktif antara aturan-aturan hukum yang berlaku, sehingga aturan hukum tersebut bertentangan. Konsistensi dalam peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi hakim sangatlah diperlukan, guna terjaganya keseimbangan peraturan hukum di masyarakat. Suatu peraturan apabila tidak konsisten dengan peraturan lainnya dapat mempengaruhi sistem hukum yang ada di Indonesia. Peraturan perundang-undangan merupakan substansi hukum yang memberikan peraturan tentang hak dan kewajiban individu, oleh karena itu diharapkan inkonsistensi tidak terjadi dalam peraturan. Konsistennya sebuah peraturan dapat dilihat dari hierarki peraturan perundang-undangan yang ada bahwa jelas menurut asas kalau peraturan yang memiliki urutan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi kedudukanya sebagaimana yang terdapat dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan maka peraturan yang berada diposisi paling rendah tidak boleh bertentangan, sehingga apabila terjadi ketidak sesuaian antara undang-undang dapat dilakukan dengan cara sinkronisasi. Sinkronisasi adalah cara yang dipergunakan untuk menyelaraskan dan menyelerasikan terhadap peraturan perundang-undangan yang disusun.

12 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,2008, Kamus Bahasa Indonesia,

Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, hal. 556

(39)

33 Sinkronisasi ini bertujuan untk melihat keselarasan pada tiap peraturan yang ada. Sinkronisasi dapat diakukan secara horizontal antar peraturan yang di atasnya.14 Sinkronisasi hukum terhadap peraturan perundang-undangan dapat dikelompokkan menjadi: 15

a. Sinkronisasi vertikal

Sinkronisasi vertikal adalah cara analisis peraturan materi produk hukum dilihat dari kedudukan tata urut peraturan yang lebih tinggi apabila ada produk hukum atau peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih rendah bertentangan terhadap peraturan yang lebih tinggi kedudukannya. Bambang Sunggono berpendapat bahwa menganalisis dengan menggunakan sinkronisasi vertikal memiliki tujuan agar dapat mengetahui peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya bertentangan jika dipandang dari sudut vertikal sesuai tatanan hierarki. b. Sinkronisasi horizontal

Sinkronisasi horizontal ini bertujuan untuk menganalisis produk hukum yang setara tingkatannya dalam hierarki peraturan perundang-undangan dan juga yang mengatur peraturan dibidang yang sama. Sinkronisasi ini juga harus dilakukan sesuai dengan kronologis, dengan urutan waktu perundang-undangan itu ditetapkan. Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji menurut mereka sinkronisasi horizontal digunakan untuk melihat sejauh mana kesesuaian antar peraturan yang memiliki kedudukan setara dan dalam bidang pembahasan sama.

1.6.3 Konsep pengaturan pembatasan

Pengaturan memiliki kata dasar “aturan”. Aturan merupakan tindakan atau perbuatan yang harus dijalankan, dilakukan, atau ditujukan oleh seseorang atau beberapa orang yang ditujukan oleh aturan tersebut dan bersifat mengikat. Aturan tidak terlepas dari hukum, karena apabila dilihat dari pengertian hukum bahwa menurut Husein Tirtaatmidjaja, hukum adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam perbuatan atau tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan

14 Shandra lisya Wandasari, 2013, Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan dalam Mewujudkan Pengurangan Resiko Bencana, Law Jurnal: UNNES, Semarang, hal. 146.

15 Budi Agus Riswandi, 2014, Sinkronisasi Pengadopsian Doktrin Perlindungan Hak Cipta Atas Pengaturan Teknologi Pengaman dalam Perundang-undangan Hak Cipta di Indonesia,

(40)

34 hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian, jika melanggar aturan-aturan itu, akan merugikan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.16 Hukum merupakan seluruh aturan yang harus dijalankan dan apabila tidak dijalankan akan memiliki sanksi. Pengaturan adalah proses, cara, perbuatan mengatur. Pengaturan merupakan proses dari tindakan yang harus dijalankan. Pengaturan dalam kaitannya dengan hukum adalah bahwa pengaturan merupakan proses atau cara yang harus dijalankan demi terciptnya hukum.

Pembatasan memiliki kata dasar batas, batas adalah hal-hal yang tidak boleh dilampaui. Pembatasan merupakan proses, cara, perbuatan membatasi. Pembatasan adalah proses atau cara yang dilakukan agar tidak melampaui suatu hal tertentu. Pengaturan pembatasan memiliki arti bahwa tindakan, proses, atau cara yang harus dijalankan agar tidak melampaui suatu hal tertentu. Kaitannya dengan penulisan ini adalah bahwa PerDKP 1/2017 merupakan pengaturan untuk pembatasan jumlah akta yang dibuat oleh notaris dalam satu hari.

1.6.4 Konsep akta

Perlu diketahui terlebih dahulu mengenai perjanjian sebelum membahas lebih jauh mengenai konsep akta. Pengertian mengenai perjanjian terdapat KUHPer khususnya dalam Pasal 1313 KUHPer, bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Subjek mengenai perjanjian juga dapat dilihat dari

16 Husein Tirtaamidjaja, 1956, Pokok-pokok Hukum Perniagaan, Djambatan, Jakarta, hal.

Referensi

Dokumen terkait

Beliau mengatakan bahwa, dalam membentuk budaya sholat dhuha, membaca asmaul husna, dan membaca surat pendek al Qur’an, guru pendidikan agama Islam pada awalnya ikut

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberhasilan dan kegagalan shooting dalam setiap jenis point tembakan dan daerah tembakan di setiap serangan yang dilakukan tim

Pada Tahun 2020 Pemerintah Daerah Kota Cirebon menargetkan Tingkat Kesempatan Kerja adalah sebesar 91,34 % sedangkan berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh

Peserta pelatihan berasal dari 16 kecamatan, 24 desa wilayah Poor Farmer Kabupaten Lombok Timur tahun 2007 terdiri dari: Fasilitator Desa (FD) sebanyak 48 orang, Komite

Agama Buddha, pertama dibabarkan oleh Sang Buddha sendiri dan kemudian bersama dengan murid-murid Beliau yang telah mencapai tingkat Arahat. Selama dua ratus tahun

Gambar 6 Mesin Gilas Jalan (road rollers) Produksi yang dihasilkan oleh Perusahaan Barata Pada Tahun 1965. Gambar 7 Stacking & Container Crane di Pelabuhan Surabaya Hasil

penelitianmenggunakantahapreduksi, display, sertaverifikasi data.Pengujiankeabsahan data menggunakantrianggulasisumberdanteknik.Hasilpenelitianmenunjukkanbahwa dampak

Permasalahan yang dihadapi oleh warga berkaitan dengan pendidikan lebih kepada ketiadaan fasilitas pendidikan yang lengkap diamana gampong Tibang hanya memiliki