HUBUNGAN ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
ATASAN DAN KESEJAHTERAAN DI TEMPAT KERJA PADA
PEGAWAI TINGKAT SUPERVISOR PT. XYZ
Dewi Fitri Sulami Endang Parahyanti Lembana Jogapranata Soemitro
Fakultas Psikologi UNIVERSITAS INDONESIA
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk menemukan hubungan antara kepemimpinan transformasional atasan dan kesejahteraan di tempat kerja pada pegawai tingkat supervisor PT. XYZ. PT XYZ merupakah perusahaan yang sedang mengalami berbagai perubahan. Pengukuran kepemimpinan transformasional menggunakan alat ukur Multifactor Leadership Questionnaire (MLQ) dan pengukuran kesejahteraan di tempat kerja menggunakan alat ukur Workplace Well-Being Index (WWBI). Partisipan dalam penelitian ini adalah 100 pegawai tingkat supervisor PT. XYZ. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepemimpinan transformasional atasan dan kesejahteraan di tempat kerja pada pegawai tingkat supervisor PT. XYZ (r = 0.473, p < 0.01, one-tailed signifikan pada L.o.S 0.01). Artinya, ketika pegawai mempersepsikan atasannya memiliki kepemimpinan transformasional yang tinggi, maka pegawai tersebut memiliki kesejahteraan di tempat kerja yang tinggi.
Kata kunci: kepemimpinan transformasional; kesejahteraan di tempat kerja; supervisor.
This research was conducted to find the relationship between supervisor transformational leadership and workplace well-being among employees in supervisor level of PT. XYZ. PT. XYZ is a company that has been changing. Transformational leadership was measured using a modification instrument named Multifactor Leadership Questionnaire (MLQ) and workplace well-being was measured using a modification instrument named Workplace Well-Being Index (WWBI). The participants of this research are 100 employees in supervisor level of PT. XYZ. The main results of this research show that transformational leadership positively correlated significantly with workplace well-being among employees in supervisor level of PT. XYZ (r = 0.473, p < 0.01, one-tailed significant at L.o.S 0.01). That is when employees have a perception that their supervisor has a high transformational leadership, they have a high workplace well-being.
LATAR BELAKANG
Kesejahteraan pegawai di tempat kerja merupakan salah satu isu terpenting yang harus diperhatikan oleh perusahaan karena kesejahteraan pegawai di tempat kerja berhubungan dengan performa kerja suatu perusahaan (Page & Vella-Brodrick, 2009). Selaras dengan pernyataan tersebut, Cropanzo dan Wright (1999) menjelaskan bahwa pegawai akan menunjukkan performa kerja yang baik ketika merasa sejahtera di lingkungan kerjanya. Disamping terkait dengan performa kerja, Cooper dan Cartwright (1994) menjelaskan bahwa kesejahteraan pegawai di tempat kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap profit yang diperoleh perusahaan. Peningkatan kesejahteraan pegawai di tempat kerja juga dapat membuat pegawai menjadi lebih produktif, berkomitmen, tidak merasa asing, serta lebih puas terhadap pekerjaan mereka (Greenhaus, Bedian, & Mossoholder; Efraty, Sirgy, & Claiborne; Lewellynn & Wibker dalam Ip, 2009).
Terdapat beberapa istilah yang digunakan dalam membahas kesejahteraan pegawai di tempat kerja. Russel (2008) menggunakan istilah kesejahteraan subjektif di tempat kerja (subjective well-being in the workplace) untuk menjelaskan perasaan sejahtera yang dialami individu di tempat kerja. Selanjutnya Avey, Luthans, Smith, dan Palmer (2010) menggunakan istilah kesejahteraan psikologis pegawai (employee psychological well-being) yang ditandai dengan hadirnya afek positif dan juga hilangnya afek negatif pada diri individu. Namun, untuk selanjutnya dalam penelitian ini, kesejahteraan pegawai di tempat kerja yang akan digunakan adalah kesejahteraan di tempat kerja (workplace well-being) yang dikembangkan oleh Page (2005), yaitu perasaan sejahtera yang diperoleh pegawai dari pekerjaan mereka, yang terkait dengan perasaan pegawai secara umum (core affect) dan kepuasan terhadap nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik pekerjaan (work values). Pemilihan konstruk kesejahteraan di tempat kerja dari Page (2005) untuk selanjutnya digunakan dalam penelitian ini dikarenakan konstruk tersebut dirasa dapat melihat lebih spesifik aspek-aspek kepuasan dan kesejahteraan yang dirasakan oleh pegawai.
Salah satu penelitian yang mencoba melihat kesejahteraan di tempat kerja adalah penelitian Gilbreath dan Benson (2004) yang menjelaskan bahwa perilaku atasan yang ditampilkan melalui gaya kepemimpinannya mempunyai pengaruh yang besar pada kesejahteraan di tempat kerja apabila dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya seperti stress dan life work events. Dalam membahas gaya kepemimpinan, Anantaraman (1993) menjelaskan bahwa berdasarkan kondisi lingkungan yang dikatakan sesuai untuk penerapannya, gaya kepemimpinan dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu kepemimpinan transaksional, kepemimpinan transformasional, dan kepemimpinan
kontekstual. Kepemimpinan transaksional sesuai untuk diterapkan pada kondisi lingkungan organisasi yang cenderung stabil. Selanjutnya, kepemimpinan transformasional sesuai untuk diterapkan pada kondisi lingkungan organisasi yang tengah berubah. Sedangkan kepemimpinan kontekstual sesuai untuk diterapkan pada kondisi organisasi yang tengah mengalami turbulensi, dimana perubahan terjadi secara konstan, terus menerus, dan tidak dapat diprediksi. Disamping itu, terkait hubungan gaya kepemimpinan dengan kesejahteraan di tempat kerja, Kara, Uysal, Sirgy, dan Lee (2013) menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional lebih efektif daripada kepemimpinan transaksional dalam menimbulkan kesejahteraan di tempat kerja.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat hubungan salah satu gaya kepemimpinan tersebut dengan kesejahteraan di tempat kerja. Penelitian ini dilakukan di PT. XYZ, sebuah perusahaan di bidang jasa ketenagalistrikan yang tengah giat melakukan perubahan. Berangkat dari penjabaran Anantaraman (1993) mengenai gaya kepemimpinan yang dirasa sesuai untuk kondisi lingkungan tertentu dan juga hubungannya dengan kesejahteraan di tempat kerja, peneliti memilih kepemimpinan transformasional sebagai gaya kepemimpinan yang selanjutnya akan diteliti dan dijelaskan lebih mendalam dalam penelitian ini. Kepemimpinan transformasional itu sendiri didefinisikan sebagai kepemimpinan yang mampu mendukung pegawai berpikir secara kreatif dengan menggunakan pendekatan yang baru, melibatkan pegawai dalam proses pengambilan keputusan, menginspirasi loyalitas pegawai, dan mencoba memahami perbedaan individual pegawai dalam rangka mengembangkan potensi optimal pegawai (Bass & Avolio dalam Avolio, 1999).
Mendukung penjelasan Anantaraman (1993) sebelumnya, terdapat beberapa penelitian yang juga menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional cocok digunakan dalam kondisi lingkungan organisasi yang tengah berubah, yaitu Eisenbach, Watson, dan Pillai (1999) yang menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan kepemimpinan yang sesuai untuk digunakan di perusahaan atau organisasi yang tengah melakukan perubahan. Selaras dengan pernyataan tersebut, Pawar dan Eastman (dalam Eisenbach et al., 1999) menjelaskan bahwa organisasi akan lebih reseptif terhadap kepemimpinan transformasional ketika organisasi tersebut sedang berada dalam proses adaptasi dalam mencapai tujuan perusahaan.
Terkait dengan kondisi organisasi yang sedang mengalami perubahan, Luttuch dan Young (2011) menjelaskan bahwa situasi organisasi yang berubah berhubungan dengan kesejahteraan di tempat kerja yang rendah, dengan demikian penting bagi atasan organisasi tersebut untuk mengimplementasikan perubahan dan bekerja dengan profesional. Disamping
itu, dalam menghadapi kondisi organisasi yang sedang berubah, dibutuhkan berbagai strategi coping yang membuat pegawai mampu menerima perubahan dengan kadar stres yang lebih rendah (Luttuch & Young, 2011). Selanjutnya, Endorgan dan Enders (2007) menjelaskan bahwa dalam kondisi yang cenderung berubah, dukungan organisasi merupakan hal yang penting bagi pegawai. Salah satu dukungan organisasi yang ditekankan adalah adanya dukungan dari atasan selama proses perubahan terjadi. Dukungan atasan ini berdampak pada kesejahteraan di tempat kerja yang dirasakan oleh pegawai (Endorgan & Enders, 2007).
Apabila melihat lebih dalam hubungan kepemimpinan transformasional dan kesejahteraan di tempat kerja, terdapat beberapa penelitian yang mencoba melihat hubungan keduanya. Skakon, Nielsen, Borg, dan Guzman (dalam Nielsen & Daniels, 2011) menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional berhubungan secara positif dengan kesejahteraan di tempat kerja dan berhubungan secara negatif dengan burnout dan stress. Selain itu, Arnold, Barling, Turner, Kelloway, dan McKee (2007) menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai hubungan yang positif dengan kesejahteraan di tempat kerja yang dimediasi oleh persepsi pegawai atas pemaknaan kerja mereka. Arnold et al. (2007) juga menyebutkan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan intervensi yang disarankan agar organisasi dapat meningkatkan kesejahteraan di tempat kerja. Selaras dengan pernyataan tersebut, Bono, Foldes, Vinson, dan Muros (2007) menjelaskan bahwa pegawai yang mempersepsikan atasannya memiliki kepemimpinan transformasional yang tinggi dilaporkan mempunyai tingkat optimisme dan antusiame yang tinggi pula, dimana hal tersebut berpotensi mempunyai pengaruh yang besar pada organisasi secara keseluruhan, termasuk kesejahteraan pegawai di tempat kerja.
Partisipan penelitian ini adalah pegawai PT. XYZ tingkat supervisor. Partisipan diminta mengisi kuesioner untuk melihat kesejahteraan di tempat kerja yang dimiliki oleh partisipan. Selain itu, partisipan juga diminta mengisi kuesioner untuk melihat persepsi partisipan atas kepemimpinan transformasional yang dimiliki oleh atasan langsung partisipan, yaitu pegawai PT. XYZ tingkat asisten manajer. Pemilihan partisipan ini didasarkan pada temuan hasil wawancara bahwa pegawai PT. XYZ tingkat supervisor merupakan penanggung jawab atas pekerjaan yang dilakukannya, termasuk pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai PT. XYZ tingkat staf pada bidang bersangkutan. Dikaitkan pada penjabaran Page (2005) mengenai kesejahteraan di tempat kerja, tanggung jawab dalam pekerjaan merupakan salah satu aspek intrinsik dari kesejahteraan di tempat kerja.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti merasa cukup penting untuk melihat hubungan antara kepemimpinan transformasional atasan dan kesejahteraan di tempat kerja
pada pegawai tingkat supervisor PT. XYZ. Penelitian ini diharapkan dapat membantu perusahaan melakukan evaluasi atas upaya-upaya perusahaan dalam meningkatkan performa kerja pegawai sehingga mampu mencapai tujuan perusahaan.
TINJAUAN TEORETIS Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu mendukung pegawai berpikir secara kreatif dengan menggunakan pendekatan yang baru, melibatkan pegawai dalam proses pengambilan keputusan, menginspirasi loyalitas pegawai, dan mencoba memahami perbedaan individual pegawai dalam rangka mengembangkan potensi optimal pegawai (Bass & Avolio dalam Avolio, 1999).
Pada dasarnya, konsep, definisi, dan perwujudan dari kepemimpinan transformasional pertama kali diciptakan oleh Burns (1978) kemudian diperluas dan dioperasionalisasi oleh Bass (1985) sebagai kepemimpinan dan performa yang melampaui apa yang diharapkan (Gill et al., 2006). Bromley dan Kirschner-Bromley (dalam Garbowski, 2009) menekankan bahwa hal yang paling penting, pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan dan menyampaikan visi bagi organisasi mereka. Sedangkan Burns (dalam Garbowski, 2009) mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai sebuah proses mengejar tujuan kolektif dengan mengerahkan orang lain untuk bersikap dengan cara-cara yang melampaui ketertarikan mereka sendiri untuk kepentingan organisasi.
Dewasa ini, kepemimpinan transformasional menyediakan cara yang lebih sesuai untuk dapat memimpin kelompok kerja dan organisasi yang kompleks, dimana pegawai tidak hanya menginginkan pemimpin yang inspirasional untuk mampu memandu mereka melewati lingkungan yang tidak pasti, tapi pegawai juga ingin ditantang dan dipacu untuk dapat menunjukkan performa kerja yang tinggi (Bass & Riggio, 2006).
Terkait ciri-ciri pemimpin transformasional, Garbowski (2009) menjelaskan bahwa pemimpin transformasional adalah komunikator yang sangat baik, mempunyai passion yang tinggi atas apa yang mereka kerjakan dan memegang standar etis. Disamping itu, Bass dan Riggio (2006) menjelaskan bahwa seorang pemimpin transformasional adalah pemimpin yang memberikan stimulasi dan menginspirasi pegawainya untuk mencapai hasil luar biasa dan dalam prosesnya tersebut dapat mengembangkan kapasitas kepemimpinan mereka sendiri. Pemimpin transformasional akan membantu pegawainya untuk tumbuh dan berkembang. Selain itu, pemimpin transformasional akan mampu merespon kebutuhan individual pegawai.
Avolio dan Bass (2002) menjelaskan bahwa terdapat empat dimensi kepemimpinan transformasional yang biasa disebut Four I’s, yaitu:
a. Idealized Influence (II)
Pemimpin bersikap dengan cara membuat diri mereka sebagai role model untuk pegawainya. Pemimpin dikagumi, dihormati, dan dipercaya oleh pegawainya. Pemimpin dengan idealized influence yang tinggi akan berani mengambil risiko, mampu bersikap konsisten, serta menerapkan standar yang tinggi dalam hal etika dan moral.
b. Inspirational Motivation (IM)
Pemimpin bersikap dengan cara memotivasi dan menginspirasi sekeliling mereka dengan memberikan makna dan tantangan terhadap pekerjaannya. Semangat, antusiasme, dan optimisme terlihat. Pemimpin mengomunikasikan dengan jelas harapan-harapan yang ingin dicapai oleh pegawainya, menunjukkan komitmen yang tinggi dalam mencapai tujuan, serta bersedia berbagi visi dengan pegawainya.
c. Intellectual Stimulation (IS)
Pemimpin memberikan stimulasi kepada pegawainya untuk berusaha menjadi inovatif dan kreatif dengan bertanya secara aktif mengenai asumsi yang dimiliki pegawai, memetakan masalah, dan menyelesaikan masalah dengan cara-cara kreatif. Pemimpin tidak menyampaikan kritikan di muka umum atas kesalahan yang dilakukan pegawai. Ide-ide baru dan pemecahan masalah kreatif digali dari pegawai yang terlibat dalam proses pemetaan masalah dan upaya penemuan solusi.
d. Individualized Consideration (IC)
Pemimpin memberikan perhatian khusus kepada setiap pegawainya secara individual untuk berprestasi dan berkembang dengan berperan sebagai konselor atau mentor. Pemimpin mengembangkan pegawainya untuk mencapai potensi yang lebih tinggi. Individualized consideration dilakukan ketika terbentuk kesempatan belajar yang baru dengan diiringi oleh iklim yang mendukung. Perbedaan kebutuhan masing-masing individu perlu disadari dan dikenali dengan baik. Perilaku pemimpin menunjukkan penerimaan atas perbedaan individual pegawainya. Interaksi pemimpin dan pegawai juga dilakukan dengan personal.
Kesejahteraan di Tempat Kerja
Page (2005) mendefinisikan kesejahteraan di tempat kerja sebagai perasaan sejahtera yang diperoleh pegawai dari pekerjaan mereka, yang terkait dengan perasaan pegawai secara umum (core affect) dan kepuasan terhadap nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik pekerjaan (work
values). Core affect didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana rasa nyaman dan tidak nyaman bercampur dan gairah (passion) yang mempengaruhi aktivitas manusia (Russel dalam Page, 2005). Dengan demikian, core affect dapat diartikan sebagai perasaan individu secara umum. Namun, meskipun demikian, Page (2005) menyimpulkan bahwa core affect tidak lagi memiliki pengaruh yang besar pada partisipan yang diberi pertanyaan tentang pekerjaan secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan pertanyaan tentang pekerjaan secara keseluruhan akan berkaitan dengan ranah dalam pekerjaan yang membutuhkan evaluasi secara lebih spesifik. Oleh karena itu, dibutuhkan konstruk yang meneliti ranah yang lebih spesifik dan mengacu pada pekerjaan. Page (2005) mengajukan penggunaan konstruk kesejahteraan di tempat kerja untuk mengukur kualitas partisipan pada domain pekerjaan, dimana kesejahteraan di tempat kerja memiliki domain-domain yang lebih spesifik dan hanya mengacu pada ranah pekerjaan, sehingga partisipan dapat melakukan evaluasi spesifik berkaitan dengan domain dan dimensi dari kesejahteraan di tempat kerja.
Selanjutnya, nilai pekerjaan (work values), baik intrinsik maupun ekstrinsik didefinisikan sebagai derajat harga, kepentingan, dan hal-hal yang disukai oleh pegawai di tempat kerja (Knoop dalam Page, 2005). Oleh karena itu, nilai pekerjaan membuat pegawai menikmati pekerjaan dan hal ini menjadi penting untuk menentukan kesejahteraan di tempat kerja.
Page (2005) mengemukakan bahwa kesejahteraan di tempat kerja pada dasarnya merujuk pada nilai intrinsik dan esktrinsik dari pekerjaan. Dalam hal ini, Page (2005) merujuk pada teori dualitas motivasi Herzberg (dalam Page, 2005) yaitu mengenai hygiene and motivator factors respectively. Herzberg (dalam Page, 2005) menjelaskan bahwa faktor ekstrinsik perusahaan atau dikenal dengan hygiene factors terdiri dari kebijakan perusahaan, gaji, hubungan interpersonal, kondisi kerja, dan atasan. Faktor ekstrinsik merujuk pada dorongan untuk melakukan pekerjaan dikarenakan faktor-faktor eksternal. Sedangkan faktor intrinsik atau dikenal dengan motivator factors terdiri dari pencapaian, kesadaran akan pencapaian, tanggung jawab, dan kemajuan yang diperoleh. Faktor intrinsik merujuk pada dorongan untuk melakukan pekerjaan yang berasal dari imbalan psikologis yang diasosiasikan dengan pekerjaan itu sendiri. Berdasarkan teori dualitas ini, Page (2005) membagi konstruk kesejahteraan di tempat kerja menjadi dua dimensi besar, yaitu dimensi intrinsik dan dimensi ekstrinsik. Dimensi intrinsik terdiri dari 5 aspek dan dimensi ekstrinsik terdiri dari 8 aspek. Dimensi intrinsik meliputi:
1. Tanggung Jawab dalam Pekerjaan (Amount of Responsibility at Work)
Perasaan pegawai bahwa ia diberikan tanggung jawab dalam pekerjaan untuk dapat bekerja sebaik-baiknya.
2. Makna Kerja (Meaningfulness of Work)
Perasaan pegawai bahwa suatu pekerjaan dianggap memiliki makna dan tujuan, baik secara personal maupun pada tingkat yang lebih tinggi.
3. Kemandirian Bekerja (Independence of Work)
Perasaan pegawai bahwa ia dipercaya untuk melakukan sebuah pekerjaan secara mandiri tanpa perlu adanya pengarahan/instruksi dari manajemen.
4. Penggunaan Kemampuan dan Pengetahuan dalam Pekerjaan (Use of Abilities and Knowledge at Work)
Perasaan pegawai bahwa pekerjaan mengizinkannya untuk menggunakan kemampuan personal dan bakat yang dimilikinya.
5. Perasaan Berprestasi dalam Bekerja (Sense of Achievement from Work)
Perasaan pegawai bahwa pekerjaannya memberikan perasaan berprestasi karena berhasil mencapai tujuan dalam pekerjaannya.
Sedangkan dimensi ekstrinsik meliputi:
1. Penggunaan Waktu Luang Sebaik-baiknya (Convenience of Work Hours)
Perasaan pegawai bahwa jam kerja yang dimilikinya masuk akal dan memungkinkannya untuk mendapatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan.
2. Kondisi Kerja (Work Condition)
Keadaan dimana pegawai merasa puas dengan kondisi pekerjaan yang dimilikinya seperti ruang kerja dan budaya organisasi.
3. Supervisi (Supervisor)
Perasaan pegawai bahwa atasannya memperlakukan dirinya dengan baik, menawarkan dorongan, membantu saat dibutuhkan, memberikan umpan balik yang sesuai, dan memberikan pengakuan kepada dirinya.
4. Peluang Promosi (Promotional Opportunities)
Perasaan pegawai bahwa tempat kerja atau posisi yang dimilikinya memungkinkan adanya pengembangan karir secara professional.
5. Pengakuan terhadap Kinerja yang Baik (Recognition for Good Work)
Perasaaan pegawai bahwa dalam pekerjaannya, terdapat perlakuan yang berbeda terhadap pegawai yang menghasilkan kinerja baik dan pegawai yang menghasilkan kinerja tidak baik.
6. Penghargaan sebagai Individu di Tempat Kerja (Values as a Person at Work) Perasaan pegawai dimana atasan dan rekan kerjanya menghargai mereka sebagai individu.
7. Upah (Pay)
Kepuasan pegawai terhadap upah, keuntungan, dan penghargaan berupa uang yang diperolehnya dari lingkungan kerja.
8. Keamanan Pekerjaan (Job Security)
Kepuasan kerja pegawai dengan adanya rasa aman di posisi pekerjaan mereka saat ini.
Konteks PT. XYZ
Penelitian ini dilakukan di PT. XYZ, sebuah perusahaan di bidang jasa ketenagalistrikan yang sedang giat melakukan perubahan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari website resmi PT. XYZ dan wawancara dengan pegawai dari perusahaan tersebut, diketahui bahwa dimulai pada tahun 2009, yaitu sejak pergantian direktur utama PT. XYZ, perusahaan tersebut giat melakukan berbagai perubahan, diantaranya adalah pemberlakuan sistem pembayaran tagihan yang terpadu, call center 234, monitoring anggaran dengan menggunakan aplikasi komputer, sistem informasi digital dan sistem informasi geografis yang terintegrasi, serta gerakan XYZ bersih yang membuat PT. XZY sangat menekankan tidak adanya pungutan liar atas pelayanan jasa yang diberikan kepada konsumennya. Disamping itu, melalui tulisan dalam website resmi PT. XYZ, Direktur Utama PT. XYZ menyatakan bahwa PT. XYZ melakukan berbagai perubahan sebagai bentuk transformasi perusahaan dalam menghadapi tantangan saat ini.
METODE PENELITIAN Desain Penelitian
Desain penelitian ini dibagi menjadi tiga jenis. Berdasarkan jumlah kontak peneliti dengan partisipan, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian cross-sectional karena pada penelitian ini, data yang diperlukan hanya dikumpulkan satu kali, yaitu saat penelitian ini berlangsung. Selanjutnya skor-skor yang diperoleh dilihat untuk membuktikan ada tidaknya
hubungan antara kepemimpinan transformasional atasan dan kesejahteraan di tempat kerja pada pegawai tingkat supervisor PT. XYZ. Berdasarkan periode referensi, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian retrospektif karena menginvestigasi fenomena, situasi, masalah, atau ise yang telah terjadi di masa lampau. Berdasarkan sifat penelitian, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian non-eksperimental, karena peneliti tidak melakukan manipulasi apapun terhadap variabel.
Partisipan Penelitian
Partisipan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 orang pegawai tingkat supervisor PT. XYZ. Pegawai PT. XYZ tingkat supervisor dipilih karena didasarkan pada temuan hasil wawancara, pegawai PT. XYZ tingkat supervisor merupakan penanggung jawab atas pekerjaan yang dilakukannya, termasuk pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai PT. XYZ tingkat staf pada bidang bersangkutan. Dikaitkan pada penjabaran Page (2005) mengenai kesejahteraan di tempat kerja, tanggung jawab dalam pekerjaan merupakan salah satu aspek intrinsik dari kesejahteraan di tempat kerja. Disamping itu, kriteria lain partisipan penelitian ini adalah merupakan pegawai tetap, tingkat pendidikan minimal SMA atau SMK, dan memiliki masa kerja di PT. XYZ selama minimal 1 tahun.
Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-probability sampling, dimana tidak terdapat jaminan bahwa setiap orang yang ada dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel dalam penelitian. Secara spesifik, teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling, dimana pemilihan partisipan hanya didasarkan pada ketersediaan atau kemudahan untuk mengakses partisipan. Kelemahan dari teknik ini adalah hasil yang diperoleh tidak dapat digeneralisir pada populasi secara keseluruhan dan kemungkinan partisipan yang terpilih tidak benar-benar representatif untuk populasi (Kumar, 2005).
Instrumen Penelitian
Kepemimpinan Transformasional Atasan. Alat ukur kepemimpinan transformasional atasan dalam penelitian ini merupakan modifikasi alat ukur yang diadaptasi oleh Sari (2012) dari alat ukur Multifactor Leadership Questionnaire (MLQ) yang dikembangkan oleh Bass dan Avolio (1994). Pada mulanya alat ukur ini berjumlah 19 item, namun setelah dilakukan uji coba, terdapat 3 item yang dikatakan tidak valid, maka peneliti menghilangkan ketiga item
tersebut. Penghilangan item dilakukan dengan tetap memperhatikan proporsi jumlah item dari masing-masing dimensi. Dengan demikian, alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 16 item.
Skala yang digunakan adalah skala Likert dengan rentang 5 pilihan. Penilaian dari skala ini adalah 1 untuk Tidak Pernah, 2 untuk Jarang, 3 untuk Kadang-kadang, 4 untuk Sering, dan 5 untuk Selalu. Seluruh item dalam penelitian ini merupakan item favourable. Untuk dapat menggunakan alat ukur ini, peneliti melakukan beberapa hal. Pertama-tama, peneliti melakukan analisis kualitatif dengan expert judgment oleh dosen pembimbing dan dosen lain dari ranah Psikologi Industri dan Organisasi. Setelah item yang ada dalam alat ukur ini dirasa sesuai dengan hasil expert judgment, maka peneliti melakukan uji coba terhadap 20 orang sesuai dengan karakteristik partisipan penelitian ini.
Dari hasil uji coba yang dilakukan, diperoleh nilai validitas dan reliabilitas sebagai bentuk analisis kuantitatif. Dari hasil uji validasi, diperoleh nilai validitas konstruk (internal consistency) yang berkisar antara -.084 - .827. Cronbach (1990) menjelaskan bahwa nilai validitas yang dianggap valid adalah nilai yang berada di atas .200. Oleh karena itu, peneliti menghilangkan 3 item yang mempunyai nilai validitas rendah dengan tetap memerhatikan proporsi item masing-masing dimensi kepemimpinan transformasional atasan. Setelah dihilangkan 3 item, nilai validitasnya naik, yaitu berkisar antara .216 - .858. Sedangkan hasil uji reliabilitas dari alat ukur ini menunjukkan koefisien Cronbach’s Alpha sebesar .833. Setelah 3 item dihilangkan, nilai reliabilitasnya pun naik menjadi .871. Nunally dan Bernstein (1994) menjelaskan bahwa nilai reliabilitas yang dianggap reliabel adalah nilai yang berada di atas .70. Dengan demikian, alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini dikatakan valid dan reliabel.
Berdasarkan hasil uji coba terhadap alat ukur kepemimpinan transformasional atasan, maka jumlah item yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 16 item. Berikut ini merupakan dimensi dan item dari skala kepemimpinan transformasional atasan setelah uji coba dilakukan:
Tabel 1. Item dalam Alat ukur Kepemimpinan Transformasional Atasan
Dimensi Nomor Item dalam Alat Ukur
Idealized Influence (II) 6 10 12 13 14 15 16 Inspirational Motivation (IM) 3 7
Intellectual Stimulation (IS) 1 4 8 11 Individual Consideration (IC) 2 5 9
Kesejahteraan di Tempat Kerja. Alat ukur kesejahteraan di tempat kerja dalam penelitian ini merupakan modifikasi alat ukur yang diadaptasi oleh Anwarsyah (2012) dari alat ukur Workplace Well-Being Index (WWBI) yang dikembangkan oleh Page (2005). Alat ukur kesejahteraan di tempat kerja dalam penelitian ini terdiri dari 14 item yang mengukur dimensi intrinsik dan dimensi ekstrinsik dari konstruk kesejahteraan di tempat kerja, serta core affect. Kedua dimensi ini memiliki 13 aspek dan ditambah dengan aspek core affect yang diwakili oleh 1 item. Skala yang digunakan adalah skala Likert dengan rentang 6 pilihan. Penilaian dari skala ini adalah 1 untuk Sangat Tidak Setuju, 2 untuk Tidak Setuju, 3 untuk Agak Tidak Setuju, 4 untuk Agak Setuju, 5 untuk Setuju, dan 6 untuk Sangat Setuju. Item-item yang tergolong ke dalam Item-item unfavourable, penilaiannya merupakan kebalikan dari aturan penilaian tersebut.
Skor akhir diperoleh dari total skor partisipan pada alat ukur kesejahteraan di tempat kerja tanpa menghitung item yang mewakili core affect. Item yang mengukur tentang core affect tidak diikutsertakan dalam perhitungan karena dimasukkan sebagai variabel kontrol dalam mengukur kesejahteraan di tempat kerja, dalam artian apabila sudah diperoleh total skor dari 13 item yang meliputi dimensi intrinsik dan dimensi ekstrinsik kesejahteraan di tempat kerja, rata-rata nilainya dibandingkan dengan nilai item yang mewakili core affect. Dari hasil olah data, diketahui bahwa nilai rata-rata dari 13 item yang meliputi dimensi intrinsik dan dimensi ekstrinsik kesejahteraan di tempat kerja adalah sebesar 4.54, sedangkan nilai item yang mewakili core affect adalah sebesar 4.61. Keduanya masih berada dalam kisaran 4, maka nilai keduanya dianggap kongruen sehingga data nilai kesejahteraan di tempat kerja yang ada dapat digunakan dalam penelitian ini.
Untuk dapat menggunakan alat ukur ini, peneliti melakukan beberapa hal. Pertama-tama, peneliti melakukan analisis kualitatif dengan expert judgment oleh dosen pembimbing dan dosen lain dari ranah Psikologi Industri dan Organisasi. Setelah item yang ada dalam alat ukur ini dirasa sesuai dengan hasil expert judgment, maka peneliti melakukan uji coba terhadap 20 orang sesuai dengan karakteristik partisipan penelitian ini. Dari hasil uji coba yang dilakukan, diperoleh nilai validitas dan reliabilitas sebagai bentuk analisis kuantitatif, diperoleh nilai validitas dan reliabilitas sebagai bentuk analisis kuantitatif. Dari hasil uji validasi, diperoleh nilai validitas konstruk (internal consistency) yang berkisar antara .265 - .790. Cronbach (1990) menjelaskan bahwa nilai validitas yang dianggap valid adalah nilai yang berada di atas .200. Sedangkan hasil uji reliabilitas dari alat ukur ini menunjukkan koefisien Cronbach’s Alpha sebesar .891. Nunally dan Bernstein (1994) menjelaskan bahwa nilai reliabilitas yang dianggap reliabel adalah nilai yang berada di atas .70. Dengan demikian,
alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini dikatakan valid dan reliabel. Berikut persebaran item WWBI:
Tabel 2. Item dalam Alat Ukur Kesejahteraan di Tempat Kerja
Dimensi /Aspek Nomor Item Favourable/
Unfavourable
Core Affect 1 Favourable
Dimensi Intrinsik
Tanggung Jawab dalam Pekerjaan 2 Favourable
Makna Kerja 3 Favourable
Kemandirian dalam Bekerja 4 Favourable
Penggunaan Kemampuan dan Pengetahuan di Pekerjaan 5 Favourable
Perasaan Berprestasi dalam Bekerja 6 Unfavourable
Dimensi Ekstrinsik
Penggunaan Waktu yang Sebaik-baiknya 11 Favourable
Kondisi Kerja 12 Favourable
Supervisi 13 Favourable
Peluang Promosi 14 Favourable
Pengakuan Terhadap Kinerja yang Baik 8 Unfavourable
Penghargaan sebagai Individu di Tempat Kerja 7 Favourable
Upah 9 Favourable
Keamanan Pekerjaan 10 Unfavourable
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Metode atau teknik statistik yang digunakan untuk pengolahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Analisis Statistika Deskriptif
Analisis statistika deskriptif digunakan untuk melihat profil variabel kepemimpinan transformasional atasan, variabel kesejahteraan di tempat kerja, jenis kelamin, rentang usia, status pernikahan, pendidikan terakhir, dan masa kerja partisipan. Skor yang didapat dari profil kepemimpinan transformasional atasan dan kesejahteraan di tempat kerja akan dibuat norma berdasarkan nilai mean dan standar deviasi yang diketahui. Pembagiannya dibuat menjadi dua klasifikasi, yaitu
“tinggi” untuk nilai yang berada di atas dari nilai mean dan “rendah” untuk nilai yang berada di bawah dari nilai mean.
2. Korelasi Pearson
Analisis korelasi Pearson digunakan untuk melihat hubungan antara dua variabel yang dikorelasikan, yaitu variabel kepemimpinan transformasional atasan dan variabel kesejahteraan di tempat kerja.
HASIL PENELITIAN Deskripsi Statistik
Sebelum memaparkan hubungan antara kepemimpinan transformasional atasan dan kesejahteraan di tempat kerja pada pegawai tingkat supervisor PT. XYZ, peneliti terlebih dahulu memaparkan deskripsi statistik skor partisipan penelitian ini pada masing-masing variabel. Adapun deskripsi statistik tersebut dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Deskripsi Statistik Kepemimpinan Kepemimpinan Transformasional Atasan dan Kesejahteraan di Tempat Kerja
N Nilai
Mininum
Nilai
Maksimum M SD
Kepemimpinan Transformasional Atasan 100 32 76 61.27 8.86
Kesejahteraan di Tempat Kerja 100 41 73 58.97 6.23
Analisis Korelasi
Teknik statistik yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara kepemimpinan transformasional atasan dan kesejahteraan di tempat kerja adalah teknik korelasi Pearson. Koefisien korelasi yang diperoleh yaitu r = .473 (p < .01) yang berarti signifikan pada L.o.S 0.01. Hal ini membuat hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima sehingga diinterpretasikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepemimpinan transformasional atasan dan kesejahteraan di tempat kerja. Lebih lanjut, koefisien korelasi yang bernilai positif menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai kepemimpinan transformasional atasan, semakin tinggi nilai kesejahteraan di tempat kerja. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah nilai kepemimpinan transformasional atasan, semakin rendah pula nilai kesejahteraan di tempat kerja.
Selain itu, diketahui pula bahwa nilai effect size sebesar r2 = .224 Hal ini menunjukkan bahwa sebesar 22.4% dari total varians kepemimpinan transformasional atasan dapat
diatribusikan pada kesejahteraan di tempat kerja, sedangkan 77.6% varians lainnya dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain.
Tabel 4. Hasil Perhitungan Korelasi antara Kepemimpinan Transformasional Atasan dan Kesejahteraan di Tempat Kerja
Variabel R Sig (p) r2
Kepemimpinan Transformasional Atasan 0.473 0.01** 0.224 Kesejahteraan di Tempat Kerja
**Signifikan pada L.o.S .01
PEMBAHASAN
Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara kepemimpinan transformasional atasan dan kesejahteraan di tempat kerja pada pegawai tingkat supervisor PT. XYZ. Hal ini menunjukkan bahwa ketika pegawai mempersepsikan atasannya memiliki kepemimpinan transformasional yang tinggi, maka pegawai tersebut memiliki kesejahteraan di tempat kerja yang tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penjelasan Skakon et al. (2010 dalam Nielsen & Daniels, 2011) bahwa kepemimpinan transformasional berhubungan secara positif dengan kesejahteraan di tempat kerja dan berhubungan negatif dengan burnout dan stress. Selanjutnya, Arnold et al. (2007) menyebutkan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan intervensi yang disarankan agar organisasi dapat meningkatkan kesejahteraan di tempat kerja. Disamping itu, Bono et al. (2007) menjelaskan bahwa pegawai yang mempersepsikan atasannya memiliki kepemimpinan transformasional yang tinggi dilaporkan mempunyai tingkat optimisme dan antusiame yang tinggi, dimana hal tersebut berpotensi mempunyai pengaruh yang besar pada organisasi secara keseluruhan, termasuk kesejahteraan pegawai di tempat kerja. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebesar 22.4% dari total varians kepemimpinan transformasional atasan dapat diatribusikan pada kesejahteraan di tempat kerja, sedangkan 77.6% varians lainnya dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain. Adapun faktor-faktor lain yang berkaitan dengan kesejahteraan di tempat kerja antara lain komitmen organisasi (Silmi, 2010), konflik kerja-keluarga (Meilany, 2011), psychological capital (Pormes, 2012), dan job demands (Anwarsyah, 2012).
KESIMPULAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepemimpinan transformasional atasan dan kesejahteraan di tempat kerja pada pegawai tingkat supervisor PT. XYZ. Berdasarkan hasil dan analisis penelitian, diketahui bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepemimpinan transformasional atasan dan kesejahteraan di tempat kerja pada pegawai tingkat supervisor PT. XYZ. Hal ini menunjukkan bahwa ketika pegawai mempersepsikan atasannya memiliki kepemimpinan transformasional yang tinggi, maka pegawai tersebut memiliki kesejahteraan di tempat kerja yang tinggi. Begitu juga sebaliknya, ketika pegawai mempersepsikan atasannya memiliki kepemimpinan trasnformasional yang rendah, maka pegawai tersebut memiliki kesejateraan di tempat kerja yang rendah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional atasan memiliki hubungan positif yang signifikan dengan kesejahteraan di tempat kerja.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, peneliti menyarankan beberapa hal untuk penelitian selanjutnya, yaitu sebagai berikut:
1. Metode pengambilan data sebaiknya dilengkapi dengan metode lainnya seperti metode observasi, wawancara, dan survei agar dapat memeroleh gambaran yang lebih mendalam dan menyeluruh dari partisipan.
2. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan pada partisipan dengan jumlah yang lebih besar agar hasil yang diperoleh lebih representatif terhadap populasi penelitian. 3. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan pada partisipan dengan tingkat jabatan lebih
tinggi sehingga lebih dapat menggambarkan variabel kepemimpinan transformasional atasan.
4. Hasil utama penelitian yang menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara kepemimpinan transformasional atasan dan kesejahteraan di tempat kerja membuat perlu adanya intervensi yang lebih dini untuk meningkatkan kepemimpinan transformasional yang ditampilkan oleh atasan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengadakan training atau pelatihan kepemimpinan transformasional dari pihak perusahaan untuk pegawainya yang menduduki posisi sebagai atasan.
5. Pegawai menghabiskan satu per tiga harinya atau lebih untuk bekerja dan berada di lingkungan kerja, maka lingkungan kerja menjadi hal yang penting bagi kesejahteraan pegawai. Dengan demikian, perusahaan perlu memberikan perhatian
yang besar terhadap kondisi lingkungan kerja pegawai, seperti meningkatkan relasi antarpegawai dan memberikan fasilitas kerja, tunjangan pegawai, serta penggunaan ruang kerja yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA
Anantaraman, V. (1993). Evolving concepts of organisational leadership. Singapore Management Review, 15(2), 17-32.
Anwarsyah, W. I. (2012). Hubungan antara job demands dengan workplace well-being pada pekerja shift. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Arnold, K. A., Barling, J., Turner, N., Kelloway, E. K., & McKee, M. C. (2007). Transformational leadership and psychological well-being: The mediating role of meaningful work. Journal of Occupational Health Psychology, 12(3), 193-203.
Arnold, J., Patterson, F., Robertson, I., Cooper C., & Burnes, B. (2005). Work psychology understanding human behavior in the workplace (4th Ed.). England: Prentice Hall. Avey, J, B., Luthans, F., Smith, R, M., & Palmer, K, H. (2010). Impact of positive
psychological capital and employee well-being over time. Jounal of occupational health psychology. Doi: 10.1037/10016998.
Avolio, B. J. (1999). Full leadership development: Building the vital forces in organizations. Thousand Oaks, CA: Sage.
Avolio, B. J., & Bass. (2002). Developing potential across a full range of leadership: Cases on transactional and transformational leadership. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Bass, B. M., & Avolio, B. J. (1994). Improving organizational effectiveness through transformational leadership. Thousand Oaks, CA: Sage.
Bass, B. M., & Riggio, R. E. (2006). Transformational leadership (2nd Ed.). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Bono, J. E., Foldes, H. J., Vinson, G., & Muros, J. P. (2007). Workplace emotions: The role of supervision and leadership. Journal of Applied Psychology, 92(5), 1357.
Cooper, C. L., & Cartwright, S. (1994). Healthy mind; healthy organization-a proactive approach to occupational stress. Human Relation, 47, 455-471.
Cronbach, Lee J. (1990). Essentials of psychological testing (5th Ed.). New York: Harper & Row Publishers.
Cropanzo, R. & Wright, T. A. (1999). A 5-year study of change in the relationship between well-being and job performance. Counseling Psychology Journal: Practice and Research, 51(4), 252-265.
Eisenbach, R., Watson, K., & Pillai, R. (1999). Transformational leadership in the context of organizational change. Journal of Change Management, 12(2), 80-89.
Endorgan, B., & Enders, J. (2007). Support from the top: supervisor’s perceived organizational support as a moderator of leader-member exchange to satisfaction and performance relationship. Journal of Applied Psychology, 92(2), 321-330.
Gill, A. S., Flaschner, A. B., & Shachar, M. (2006). Mitigating stress and burnout by implementing transformational leadership. International Journal oContemporary Hospitality Management, 18(6), 469-481. DOI 10.1108//09596110610691511.
Garbowski, M. A. (2009). Transformational leadership and the dispositional effects of hope, optimism, and resilience on governmental leaders. ProQuest LLC. Regent University. Gilbreath, B., & Benson, P. G. (2004). The contribution of supervisor behavior to employee
psychological well-being. Work & Stress, 18(3), 255-266.
Ip, P. K. (2009). Developing a concept of workplace well-being for greater china. Soc Indic Res. 91, 59-77.
Kara, D., Uysal, M., Sirgy, M, J., & Lee, G. (2013). The effects of leadership style on employee well-being in hospitality. International Journal of Hospitality Management, 34, 9-18.
Kumar, R. (2005). Research methodology: A step-by-step guide for beginner (2nd Ed.). London: SAGE Publications, Inc.
Luttuch, F., & Young, S. (2011). Young professional’s perception toward organizational change. Leadership and Organizational Development Journal. 31(6), 605-627.
McKee, M. C. (2008). Transformational leadership, workplace spiritually an employee well-being: A mixed method study. ProQuest Dissertation and Thesis. pg. n/a.
Nielsen, K., & Daniels, K. (2011). Does shared and differentiated transformational leadership predict follower’s working condition and well-being?. The Leadership Quarterly, 23, 383-397.
Nunally, J. C., & Bernstein, I. H. (1994). Psychometric theory (3rd Ed.). New York: Mc-Graw Hill.
Page, K. (2005). Subjective well-being in the workplace. Thesis. School of Psychologu Faculty of Health and Behavioral Sciences Deakin University.
Page, K, M. & Vella-Broadrick, D. A. (2009). The ‘what’, ‘why’ and ‘how’ of employee well-being: A New Model. Soc Indic Res, 90, 441-458.
Pormes, C, D. (2012). Hubungan antara psychological capital dan workplace well-being pada perawat di rumah sakit. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Russel, J, E, A. (2008). Promoting subjective well-being at work. Journal of career
assessment, 16(1), 117-131.
Sari, M. N. (2012). Pengaruh gaya kepemimpinan transformasional atasan terhadap peningkatan kreativitas pegawai dengan memberikan workshop coaching pada atasan di bank XYZ syariah. Tesis. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Silmi, H, A. (2010). Pengaruh workplace well-Being terhadap komitmen organisasi pada karyawan. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Tipu, S. W. A., Ryan, J. C., & Fantazy, K. A. (2012). Transformational leadership in Pakistan: An examination of the relationship of transformational leadership to
organizational culture and innovation propensity. Journal of Management & Organization. 18(4), 461-480.