• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tentang otonomi daerah. Pertama adalah Undang-Undang Nomor 22

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tentang otonomi daerah. Pertama adalah Undang-Undang Nomor 22"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Di awal era reformasi Pemerintah telah mengeluarkan dua paket kebijakan tentang otonomi daerah. Pertama adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Paket kebijakan otonomi daerah tersebut di atas dikeluarkan pada masa pemerintahan B.J. Habibie. Banyak orang menilai bahwa keluarnya kebijakan otonomi daerah tersebut merupakan titik balik bagi pelaksanaan otonomi daerah yang lebih demokratis dibandingkan dengan kebijakan otonomi daerah yang sebelumnya melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah produk Orde Baru yang dinilai

sentralistis1. Meskipun paket kebijakan otonomi daerah pada masa Habibie

tersebut tidak lepas dari tuntutan daerah dan sikap pusat yang akomodatif atas tuntutan daerah, suatu yang menggembirakan adalah kebijakan itu bermaksud untuk mendorong agar daerah lebih mandiri dan demokratis.

Pada tanggal 25 September 2014, pengaturan tentang pemerintahan daerah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

1

Lili Romli, 2007, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 3.

(2)

2 Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian diikuti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan pemerintahan daerah ini dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) Pasal 18 ayat (1) yang menentukan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi, dan daerah Provinsi itu dibagi atas daerah Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Kemudian pada Pasal 18 ayat (2) ditentukan bahwa Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.2

Meskipun Negara Republik Indonesia menganut prinsip negara kesatuan dengan pusat kekuasaan berada pada Pemerintah Pusat namun karena heterogenitas yang dimiliki bangsa Indonesia baik kondisi sosial, ekonomi, budaya maupun keragaman tingkat pendidikan masyarakat, maka desentralisasi atau distribusi kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah Pusat perlu dialirkan

kepada daerah yang berotonom.3 Sejak kemerdekaan sampai saat ini distribusi

kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah selalu bergerak pada titik kesimbangan yang berbeda. Perbedaan ini sangat jelas terlihat dengan menggunakan konsep bandul, yang selalu bergerak secara sistematis pada dua sisi yaitu pusat dan daerah. Dengan kata lain, bahwa pada

2

Lihat Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3

J. Kaloh, 2007, Mencari Bentuk Otonomi Daerah (Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global), PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 1.

(3)

3 suatu waktu bobot kekuasaan terletak pada Pemerintah Pusat, pada kesempatan lain bobot kekuasaan ada pada Pemerintah Daerah. Kondisi yang demikian ini disebabkan karena dua hal. Pertama, karena pengaturan undang-undang tentang Pemerintahan Daerah sejak kemerdekaan tahun 1945-2014 Indonesia telah memiliki 9 (sembilan) undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dan 1 (satu) Perpu tentang Pemerintahan Daerah.

Kronologis Perubahan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah

Masing-masing undang-undang pemerintahan daerah tersebut memiliki ciri dan karakteristik tersendiri, termasuk pengaturan tentang seberapa besar pembagian bobot kekuasaan antara pusat dan daerah. Kedua, adanya perbedaan interprestasi dan implementasi terhadap undang-undang Pemerintahan Daerah

oleh kepentingan penguasa pada masa berlakunya undang-undang

pemerintahan daerah.

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1959 5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 10. Perpu Nomor 2 Tahun 2014

(4)

4 Penyelenggaraan pemerintahan di daerah merupakan manifestasi dari pemerintahan seluruh wilayah negara. Untuk itu segala aspek yang menyangkut konfigurasi kegiatan, dan karakter yang berkembang, akan mewarnai penyelenggaran pemerintahan secara nasional. Dengan jelas dapat dikatakan bahwa peran dan kedudukan pemerintahan daerah sangat strategis dan sangat menentukan secara nasional, sehingga paradigma baru yang terselenggara adalah berbasis daerah. Dengan berbasis daerah, Pemerintah Pusat menyelenggarakan fungsi pengarah dan penanggungjawab segala kegiatan di daerah dengan kepercayaan sepenuhnya sehingga persepsi lama yang sering didengar menyangkut egoisme sektoral akan terhapus. Sementara itu dalam aspek lain, Provinsi berkedudukan sebagai daerah otonom dan sekaligus sebagai wilayah administrasi melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur. Provinsi sebagai daerah otonom bukan merupakan daerah dari Kabupaten maupun Kota. Daerah otonom Provinsi terhadap Kabupaten dan Kota tidak mempunyai hubungan hierarki. Maksudnya adalah bahwa daerah otonom Provinsi tidak membawahi daerah otonom Kabupaten dan Kota, tetapi dalam praktik terdapat hubungan koordinasi, kerjasama dan/atau kemitraan sebagai sesama daerah otonom. Dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi, Gubernur selaku wakil Pemerintah melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap daerah

Kabupaten dan Kota.4

4

(5)

5 Dalam sejarah ketatanegaraan moderen, khususnya yang berhubungan dengan pemerintahan daerah, suatu pemerintahan yang dinamakan Provinsi merupakan pemerintahan yang terletak antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah setingkat dengan Kabupaten/Kota/Gemeente. sehingga kedudukannya sering dijadikan mediator untuk mempertemukan kepentingan-kepentingan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah yang tingkatnya lebih

rendah.5

Sebagai suatu susunan pemerintahan yang letaknya di tengah, menurut Raad Voor Het Binnenlands Bestur, Provinsi mempunyai berbagai fungsi, yaitu:

1. Menempati „doe-taken‟ dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik di bidang otonomi maupun tugas pembantuan, seperti bidang perencanaan, keputusan yang menyangkut pelestarian lingkungan dan kesehatan; (Het vervulen van bestuurlijk „doe-taken‟ hetzij in medebewind).

2. Menempati fungsi-fungsi pemerintahan tingkat regional; (Het vervullen van functie met betrekking tot het bestuur op regional niveau).

3. Melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap satuan-satuan pemerintah lebih rendah lainya, khusunya Gemeente dan Waterschappen, dan juga melayani kemungkinan masyarakat mengajukan keberatan atas keputusan badan-badan pemerintah lain; (Het ovenen van tozicht en controle op ander overheden, in het bizondere gemeenten en waterschaooen; in da kader dient ook de mogelijkheid voor burges om bezwaar te maken tegem besluiten van ander overheden te woeden gezein).

4. Memikul tanggungjawab bersama dalam pembentukan organisasi pemerintahan. (Het dragen van (mede) verantwoorhelijkheid voor de vormegeving van de besturlijke organisate).6

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota, Pemerintah Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mencapai tujuan bersama yaitu menciptakan kesejahteraan masyarakat.

5

Muhammad Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah (Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah), UII Pers, Yogyakarta, hlm. 165.

6

(6)

6 Terkait dengan tugas dan peran DPRD dalam menjalankan fungsi legislasi dalam mencapai tujuan bersama, Gubernur bersama dengan DPRD Provinsi merumuskan atau membentuk peraturan daerah (Perda). Hal ini, dijadikan landasan penyelenggaraan pemerintahan daerah atau merupakan perintah dari peraturan yang lebih tinggi tingkatannya sebagai penyelenggaraan otonomi daerah yang direncanakan dalam progaral legislasi daerah (Prolegda).

Dengan pembentukan Perda tersebut, DPRD sebagai pemegang kekuasaan untuk membentuk Perda diharapkan dapat menunjukkan produktivitasnya. Belum ada keterangan maupun pendapat para pakar hukum yang mengatakan secara rinci dan jelas bagaimana parameter atau tolak ukur dari produktivitas tersebut. Namun, jika kita lihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) produktivitas terdiri dari kata produktif yang artinya

kemampuan untuk menciptakan sesuatu.7 Kemudian menurut Husein Umar

bahwa:

“Produktivitas mengandung arti sebagai perbandingan antara hasil yang dicapai (output) dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan (input). Dengan kata lain bahwa produktivitas memililiki dua dimensi. Dimensi pertama adalah efektivitas yang mengarah kepada pencapaian target berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Yang kedua yaitu efisiensi yang berkaitan dengan upaya membandingkan input dengan

realisasi penggunaannya atau bagaimana pekerjaan tersebut

dilaksanakan.”8

Jadi, jika dikaitkan dengan produktivitas DPRD dalam fungsi legislasi menurut KKBI, maka diartikan sebagai kemampuan DPRD untuk menciptakan atau membuat peraturan daerah. Selain itu, oleh karena pembuatan Perda

7

http://kbbi.web.id/produktivitas, diakses pada tanggal 12 ferbruari 2015.

8

http://www.scribd.com/doc/16733299/Konsep-Produktivitas#scribd, diakses pada 15 Februari 2015.

(7)

7 melewati beberapa proses dalam pembahasannya atau perumusannya, maka dalam pembahasan itu harus dipikirkan dampak dan arah yang ingin dicapai tentang objek yang akan diatur. Sehingga dengan itu, di dalam pembahasan Perda harus melibatkan masyarakat dan para ahli untuk menerima masukan atau saran dalam agenda dengar pendapat, sehingga pembuatannya partisipatif dan isinya aspiratif. Pembuatan Perda harus berdasar pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pemebentukan Peraturan Perundang-Undangan untuk mencapai produktivitas yang memuat efisiensi dan efektifitas menurut Husein Umar yang telah dijelasakn di atas. Selain itu, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah Provinsi, DPRD Provinsi harus bekerjasama dengan Gubernur atau memiliki hubungan kerja agar pemerintahan daerah dapat dijalankan dengan baik dan tercipta checks and balances (saling mengimbangi/mengawasi). Terkait dengan fungsi legislasi, maka agar pelaksanaan fungsi legislasi dapat berjalan dengan baik, hubungan DPRD Provinsi dengan Gubernur harus menjalin hubungan yang baik dan kondusif. Jika hubungan ini tidak dapat dibangun dengan baik dan selalu terjadi spaning (pertentangan) kepentingan politik, maka pelaksanaan fungsi DPRD Provinsi terutama fungsi legislasi (pembuatan peraturan daerah), akan mengalami kendala bahkan terhambat. Sehingga hal itu, mempengaruhi produktivitas DPRD Provinsi ataupun menghambat perumusan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Dengan penelitian terhadap kinerja dan produktivitas DPR melalui kuliah politik hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dibagi

(8)

8 beberapa kelompok, hasil yang diperoleh adalah undang-undang yang dibuat oleh DPR sangat jauh dari apa yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Sebagian besar peraturan yang dihasilkan merupakan prodak kepentingan segelintir orang yang berkuasa. Selain itu, DPR hanya produktif dalam membuat judul undang-undang namun tidak produktif dalam merealisasikannya. Bahkan, dalam rancangan undang-undang yang dimuat dalam program legislasi nasional (Prolegnas) terdapat beberapa duplikasi judul

rancangan undang-undang.9

Di pemerintahan Provinsi Sulawesi Tenggara, dengan meninjau beberapa media online yang memuat tentang kinerja DRRD Provinsi Sulawesi Tenggara tentang fungsi legislasi, menunjukan inisiatif DPRD dalam membuat Perda sangat minim, seperti yang dilaporkan Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara tentang Program Legislasi Daerah tahun 2011 berjumlah 20 (dua puluh) buah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) adalah 16 (enam belas) buah Raperda usul Pemerintah Daerah dan 4 (empat)

buah Raperda usul DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara.10 Kemudian peristiwa

lain, terjadi penundaan pembahasan untuk Perda APBD tahun 2014 yang disebapkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara yang telah memasukin akhir tahun 2013 belum memasukan draf APBD 2014 kepada DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara sehingga DPRD Provinsi Sulawesi

9

Enny Nurbanigsih, Tugas Penelitian Progam Legislasi Nasional 2009-2014, Dalam Perkuliahan Politik Hukum, Magister Ilmu Hukum UGM Klaster Hukum Tata Negara Pada Tanggal 15 Oktober 2013.

10

http://www.slideshare.net/adesuerani/laporan-balegda-atas-prolegda-sultra, diakses 14 Juli 2015.

(9)

9 Tenggara terus mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara agar

pembahasan Raperda APBD 2014 tidak menyeberang tahun.11 Hal demikian,

sangat mempengaruhi kinerja DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara dalam menunjukan produktivitasnya. Karena dengan itu, menunjukan bahwa Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara kurang memberikan kerjasama yang baik.

Selain itu, Perda yang dihasilkan kebanyakan mengatur tentang pengolahan dan pemanfaatan sumber daya alam yang akan dikelolah untuk kepentingan daerah namun tidak menyentuh atau memberikan manfaat banyak kepada masyarakat terutama masayarakat miskin. Hal lain adalah dalam pembuatan Perda, partisipasi masyarakat maupun publikasi Perda sangat minim, sehingga mesyarakat kurang mengetahui bagaimana para wakil mereka di DPRD membuat peraturan yang dapat memberikan kesejahteraan sesuai janji yang telah diucapkan semasa pencalonan untuk duduk di kursi DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu:

1. Bagaimana hubungan DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara dengan Kepala Daerah (Gubernur) terkait pembentukan dan pelaksanaan fungsi legislasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah periode tahun 2009-2014?

11

www.antarsultra.com/print/268918/pemprov-sultra-dimintai-ajukan-apbd-2014, diakses 14 Juli 2015.

(10)

10 2. Bagaimanakah produktivitas DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara dalam

menjalankan fungsi legislasi periode tahun 2009-2014? C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Tujuan Objektif

Penelitian ini secara objektif bertujuan:

a. Untuk memahami, menggambarkan, dan menganalisis hubungan DPRD

Provinsi Sulawesi Tenggara dengan Kepala Daerah dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah periode terkait pelaksanaan fungsi legislasi periode tahun 2009-2014.

b. Untuk memahami, menggambarkan, dan menganalisis produktivitas DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara dalam menjalankan fungsi legislasi periode tahun 2009-2014.

2. Tujuan Subjektif

Penelitian ini secara subjektif bertujuan untuk memenuhi syarat kelulusan dan syarat akademis untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum, di Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Klaster Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

D. Manfaat Penelitian

Ada beberapa manfaat yang ingin dicapai melalui penelitian ini, antara lain sebagai berikut:

(11)

11

1. Manfaat Teoritis

Dalam lingkup teoritis atau akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, sumbangan pemikiran bagi pengembangan dan pengkajian ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum kenegaraan dan pemerintahan daerah dalam mengumpulkan informasi dan data yang lengkap, guna mendapatkan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan di atas. Sehingga informasi tersebut dapat diperoleh kesimpulan yang tepat sesuai dengan hukum yang menjadi dasar dalam menjawab permasalahan di atas.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan, membantu, dan memberikan acuan bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah serta legislator dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang mana merupakan aspirasi masyarakat tingkat lokal atau daerah.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai “Kajian Yuridis Tugas dan Peran DPRD Dalam

Menjalankan Fungsi Legislasi Di Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tenggara Periode Tahun 2009-2014”, sepanjang pengetahuan penulis melalui penelusuran dan pengamatan bacaan pustaka, terdapat beberapa karya tulis berupa laporan penelitian mahasiswa, laporan penelitian dosen, skripsi dan tesis berkaitan dengan tugas dan peran DPRD dalam menjalankan fungsi legislasi. Akan tetapi, peneliti tidak menemukan hasil penelitian, skripsi

(12)

12 maupun tesis yang secara spesifik membahas Kajian Yuridis Tugas dan Peran DPRD Dalam Menjalankan Fungsi Legislasi di Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tenggara.

Dari sekian banyak hasil penelitian baik berupa laporan penelitian, skripsi dan tesis, calon peneliti hanya menemukan beberapa yang dianggap memiliki kemiripan dengan permasalahan yang dirumuskan calon peneliti, yakni sebagai berikut:

Pertama, karya tulis ilmiah Tesis, yang disusun oleh Rudi Achsoni,

2010, dengan judul “Kedudukan dan Peran DPRD Dalam Sistem

Ketatanegaraan Indonesia”,12

Klaster Kenegaraan, Program Studi Magister Ilmu Hukum, sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam penelitian ini yang menjadi permasalah adalah: (1) Apakah DPRD termaksud lembaga legislatif apabila dikaitkan dengan konteks Trias Politika? (2) Bagaimanakah peran dan kedudukan DPRD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia? (3) Berdasarkan kedudukan dan perannya, sebagaimana disimpulkan pada permasalahan kedua, apa konsekuensi hukumnya terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia? Kesimpulan pada penelitian ini adalah DPRD sebagai lembaga legislatif tetapi tidak penuh. Dikatakan lembaga legislatif karena diberikannya kewenangan kepada DPRD untuk membuat produk hukum, dan juga mekanisme pengisian jabatannya dilakukan melalui pemilihan secara langsung, dan menjadi legislatif tidak penuh karena fungsi pokok yang diberikan sebagai lembaga perwakilan tidak penuh. Kemudian DPRD dalam

12

Rudi Achsoni, 2010, Kedudukan Dan Peran DPRD Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.

(13)

13 sistem ketatanegaraan Indonesia tidak disebutkan secara tegas dan hal tersebut berimplikasi pada terhambatnya mekanisme “Checks and balances”. Selain itu, berdasarkan kedudukan dan perannya maka konsekuensi hukum terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia adalah kekaburan DPRD sebagai lembaga eksekutif dengan DPRD sebagai lembaga legislatif dan ketidak jelasan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Kedua, karya tulis ilmiah Skripsi, yang disusun oleh Dede Hilman

Firdaus, 2012, dengan judul “Peran DPRD Dalam Pemberhentian Gubernur Terkait Optimalisasi Fungsi Pengawasan DPRD Terhadap Pemerintahan

Provinsi”,13

Fakultas Hukum UGM. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Hal apa saja yang dapat dilakukan DPRD sebagai upaya optimalisasi fungsi pengawasan terhadap pemerintahan daerah Provinsi? (2) Bagaimanakah peran DPRD dalam hal pemberhentian Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi? Kesimpulan dalam penelitian ini adalah DPRD sebagai pengusul atau inisiator pemberhentian Kepala Daerah yang terindikasi melakukan penyimpangan seperti apa yang telah ditentukan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, upaya yang dilakukan untuk mengoptimalisasi pengawasan terhadap pemerintahan daerah Provinsi diantaranya yaitu meningkatkan ”tools” dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.

Ketiga, karya tulis jurnal penelitian hukum, yang disusun oleh Rudy

Satria Mandala Bonut, 2013, dengan judul, “Implementasi Fungsi Legislasi

13

Dede Hilman Firdaus, 2012, Peran DPRD Dalam Pemberhentian Gubernur Terkait Optimalisasi Fungsi Pengawasan DPRD Terhadap Pemerintahan Provinsi, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.

(14)

14

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bolang Mongondow”,14

Fakultas Ilmu Sosial Universitas Gorontalo, permasalahan dalam jurnal ini adalah sejauh mana produktivitas DPRD Kabupaten Bolang Mongondow dalam menjalankan fungsi legislasinya, serta faktor-faktor apa yang menjadi kendala dalam pelaksanaannya? Kesimpulan dari penelitian ini adalah implementasi fungsi legislasi DPRD Kabupaten Bolang Mongondow belum maksimal karena usulan pembuatan Perda sebagian besar dari eksekutif serta dalam penyusunannya tidak disertakan dengan naskah akademik. Adapun faktor-faktor yang menyebabkannya adalah lemahnya sumber daya manusia, minimnya anggaran, aktivitas partai politik, serta kurangnya partisipasi masyarakat.

14

Rudi Satria Mandala Bonut, 2013, Implementasi Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bolang Mongondow, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Gorontalo, Gorontalo.

Referensi

Dokumen terkait

Mohon ma’af bila terdapat kesalahan nama, alamat

pada saat pembuktian kualifikasi dan Klarifikasi penyedia jasa diharuskan untuk membawa seluruh dokumen asli atau dokumen salinan yang telah dilegalisir dan

Let’s say you want to remember the following things: milk, soap, forks, honey, and flowers?. You create a story, and see it vividly in your head: At the bathroom sink, you reach for

Sehubungan dengan Pelaksanaan Seleksi Umum pada Belanja Jasa konsultansi Perencanaan Kegiatan Analisis Kesenjangan Pendapatan Kota Medan pada Badan Perencanaan

Apakah anak balita anda telah diberikan ASI Eksklusif (ASI saja sebagai makanan hingga balita berumur 6 bulan).. Pada saat anak anda lahir apakah anda memberikan ASI yang pertama

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan budidaya papaya adalah tindakan untuk mengembangkan atau memperbanyak hasil panen buah papaya varietas california (IPB-9) mulai

Berdasarkan kriteria kelayakan lahan tambak t anah sulfat m asam di Malili, Luwu Tim ur, Sulawesi Selatan didapatkan potensi lahan pert am bakan seluas 5.617,9 ha dan yang

• Because most metabolic wastes must be dissolved in water when they are removed from the body, the type and quantity of waste products may have a large impact on