• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reorientasi Sistem Pendidikan Pesantren dalam Pusaran Arus Informasi Fathul Mujib *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Reorientasi Sistem Pendidikan Pesantren dalam Pusaran Arus Informasi Fathul Mujib *"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Fathul Mujib Abstrak

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, pesantren hingga saat ini nampaknya masih saja tetap memiliki daya tarik bagi para pengkaji pendidikan Islam. Pesantren memiliki kapasitas sebagai lembaga alternatif di tengah gelombang kehidupan masyarakat yang semakin sekular-hedonistik. Kemampuannya melewati tantangan zamannya akan terus diuji dengan tantangan-tantangan baru yang semakin berat dan beragam. Tulisan ini berupaya untuk menelaah posisi pesantren ketika dihadapkan pada realitas perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat. Perkembangan teknologi informasi demikian mengagumkan dan mampu mempengaruhi sendi-sendi kehidupan maysrakat, termasuk sistem pendidikan pesantren. Dalam konteks ini pesantren perlu untuk melakukan redefinisi, reorientasi sistem pendidikannya pada wilayah visi, misi, tujuan, kurikulum dan strategi pembelajaran. Upaya ini perlu dilakukan agar pesantren yang telah berhasil melewati tantangan zamanya, tetap dapat eksis dalam ketatnya arus informasi ini.

Kata Kunci: reorientasi, pesantren, informasi

A. Pendahuluan

Pesantren1 adalah salah satu jenis lembaga pendidikan Islam yang khas Indo-nesia. Eksistensi pesantren dalam sejarah pendidikan di Indonesia telah memiliki akar histories yang kuat. Hal ini disebabkan seca-ra kultuseca-ral pesantren terlahir dari budaya Indonesia, yakni tradisi dan sistem pendidi-kan dan pengajaran yang telah ada sebe-lumya, dan kemudian diambil dan dikem-bangkan oleh Islam.2 Oleh karenanya Nur-cholis Majid menyebut pesantren sebagai

lembaga pendidikan yang indigenous

(memiliki makna keaslian) Indonesia.3 Di tengah pusaran gelombang yang telah menggilas lembaga-lembaga pendidik-an tradisional Islam atau kuatnya arus ypendidik-ang menghendaki lembaga-lembaga pendidikan Islam bertransformasi menjadi lembaga baru yang bercorak sekuler, hingga saat ini pesantren dianggap sebagai salah satu lem-baga pendidikan Islam yang mampu survive dengan tetap teguh mempertahankan jati diri kepesantrenannya. Di negara-negara yang memiliki tradisi keislaman kuat seperti Turki, lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional seperti madrasah kini banyak yang tinggal sejarah, akibat gelombang seku-larisasi Mustofa Kemal Pasha. Demikian

pula dengan lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam di Mesir.4

Hingga saat ini pesantren masih tetap eksis dalam blantika pendidikan nasional. Bahkan eksistensinya semakin mantap den-gan diakuinya secara resmi dalam sistem perundang-undangan yang diberlakukan di Indonesia.5 Dengan posisinya yang demi-kian maka pesantren ke depan semakin mendapat ruang yang luas untuk terus dapat mewarnai wajah dunia pendidikan nasional Indonesia.

Namun demikian, kehidupan di luar sana terus menunjukkan dinamika perubah-an dperubah-an perkembperubah-angperubah-an yperubah-ang semakin cepat dan menyentuh seluruh sendi-sendi kehi-dupan masyarakat. Kehikehi-dupan abad 21 dapat diilustrasikan dengan terjadinya peru-bahan dan perkembangan yang semakin akseleratif dalam berbagai sektor kehidupan. Kondisi ini dimungkinkan seiring dengan kemajuan pilar pendukungnya yakni ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian melahirkan bergam karya cerdas dalam wujud semakin canggihnya teknologi komu-nikasi dan informasi serta transportasi. Masyarakat kemudian digiring dalam sebuah panggung besar yang kehilangan batas-batas teritorialnya dan kemudian dikenal dengan panggung globalisasi.

(2)

Era Globalisasi adalah era di mana manusia bisa saling berhubungan dari ujung bumi yang satu ke ujung bumi yang lain dalam kecepatan nano-second. Era ini ditandai dengan semakin massifnya penggunaan tek-nologi informasi yang berbasis pada kecang-gihan teknologi komputer.6 Era globalisasi pada dasarnya mengacu pada perkembang-an yperkembang-ang cepat di dalam teknologi komuni-kasi, transformasi, informasi yang memba-wa bagian-bagian dunia yang jauh bisa dijangkau dengan mudah. Apa yang terjadi hari ini dibelahan bumi yang lain akan dapat dilihat dan diketahui dari sini saat ini juga.

Dalam panggung globalisasi ini terjadi perjumpaan masal antar seluruh kelompok dalam masyarakat internasional. Perjumpa-an ini kemudiPerjumpa-an melahirkPerjumpa-an beragam aksi, reaksi, ekspresi7 dan bahkan lebih dari itu berpotensi untuk melahirkan konflik-konflik. Ciri lain dari kehidupan era global adalah ketatnya persaingan dalam segala bidang kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Dalam kompetisi terdapat satu hukum yang berlaku umum, yakni siapa yang “kuat” dialah yang menang. Kuat dalam konteks ini tentu saja adalah adanya mutu dan keunggulan. Masyarakat yang memiliki mutu dan keunggulan daya sainglah yang akan menjadi pemenang.

Implikasi dari era globalisasi ini dalam dunia pendidikan adalah terjadinya perge-seran paradigma (shift paradigm) pendidikan. Pertama paradigma proses pendidikan yang berorientasi pada guru dan dosen bergeser ke sistem yang berorientasi kepada peserta didik. Dengan semakin canggihnya tekno-logi informasi, melahirkan banyak alternatif sumber belajar yang menggantikan peran guru. Guru kemudian lebih berperan menja-di fasilitator dalam proses pembelajaran. Kedua, paradigma proses pendidikan tradisi-onal yang berorientasi kepada pendekatan klasikal dan formal di kelas bergeser ke model pembelajaran yang lebih fleksibel dengan memanfaatkan IT. Ketiga, mutu lembaga pendidikan tidak hanya diukur dalam konteks suatu negara, tetapi akan dibandingkan dengan mutu lembaga

pendi-dikan di negara lain (standar internasional). Keempat, semakin populernya pendidikan seumur hidup dan mencairnya batas antara pendidikan di sekolah dan di luar sekolah.8

Dari paparan di atas, sesungguhnya saat ini pesantren sedang menghadapi tan-tangan zaman yang sangat kuat dan harus mampu di jawabnya. Di dalamnya terdapat beragam peluang dan kesempatan yang harus cepat-cepat diambil jika tidak ingin didahului oleh pihak lain atau ditenggelam-kan oleh pusaran arus informasi, karena peluang itu begitu terbuka dan dapat diakses oleh semua pihak. Jika tidak maka pesantren harus bersiap untuk digilas dan ditinggalkan masyarakat seiring dengan semakin cepat-nya perubahan. Pada sisi yang lain, kondisi ini juga menjadi ancaman bagi siapapun yang ingin survive dengan tetap memper-tahan jati diri. Dalam konteks ini pesantren perlu untuk melakukan reposisi strategis agar dapat survive dengan tidak kehilangan akar keaslian-jatidirinya.

B. Karakteristik Pesantren dan

Tantangan Perubahan

Mengapa pesantren bisa survive hingga hari ini? Sebuah pertanyaan yang dilon-tarkan oleh Azyumardi Azra dalam satu bagian tulisannya.9 Jika dicermati, pertanya-an ini dilontarkpertanya-an dalam suaspertanya-ana psikologis yang bernada kagum. Kemampuan pesan-tren dalam mempertahan diri terhadap arus modernisasi memang telah mengagumkan banyak pihak, mengapa demikian? Tentu hal ini terkait dengan kondisi internal yang menjadi karakteristik pesantren.

Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk masyarakat. Lembaga pesantren memiliki akar yang sangat kuat di masyarakat. Dalam konteks ini ada dua hal yang menjadikan pesantren tetap eksis dalam menghadapi segala bentuk dinamika kehidupan masyarakat; pertama, karakter budaya yang memungkinkan santri belajar secara tuntas, tidak hanya transfer ilmu tetapi juga aspek pembentukan kepribadian

(3)

secara utuh; kedua, kuatnya partisipasi masyarakat.10

Pesantren umumnya dipandang seba-gai representasi dan basis kelompok Islam tradisional di Indonesia, yakni kelompok masyarakat yang masih kuat terikat oleh pemikiran ulama abad pertengahan yang direkam dalam khazanah keilmuan klasik.11

Alasan pokok kemunculan pesantren

menurut Martin Van Bruinessen adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang dalam konteks Indonesia kemudian disebut sebagai kitab kuning.12 Karakteristik lain dari dunia pesantren adalah; 1. penghayatan mental spiritual keagamaan dan tafaqquh fid diin 2. pelestarian nilai-nilai keagamaan, semisal; ukhuwah, kesederhanaan, keikhlasan dan sebagainya. 3. Lebih condong pada pengutamaan sosial effek daripada civil effek, 4. Pelahiran pemimpin, baik formal maupun informal. 5.

penyebar luasan dakwah Islamiyah. 13

Pada sisi yang lain, sistem pendidikan pesantren memiliki keunikan, yang oleh sebagian kalangan dianggab sebagai keung-gulan pesantren. Beberapa kelebihan

pesan-tren : pertama, sistem pemondokan

(asrama)nya yang memungkinkan pendidik (kyai) melakukan tuntunan dan pengawasan langsung kepada para santri, kedua, keak-raban antar santri dengan kyai, yang sangat kondusif bagi pemerolehan pengetahuan yang hidup., ketiga, kemampuan pesantren dalam mencetak lulusan yang memiliki kemandirian, keempat, kesederhanaan pola hidup komunitaspesantren, dan kelima, murahnya biaya penyelenggaraan pendidik-an pespendidik-antren. 14 Dengan segala kelebihannya tersebut, saat ini banyak lembaga-lembaga pendidikan modern yang berupaya

menga-dopsi sistem pendidikan pesantren.15

Sementara itu Abdurrahman Mas’ud mengidentifikasi karakteristik utama budaya pesantren yang menjadi modalitasnya se-hingga dapat eksis; pertama, Modelling, yakni ajaran Islam yang dapat diterjemahkan dengan keteladanan atau uswah hasanah. Bahwa pesantren merupakan institusi

pendi-dikan dan sosial keagamaan yang menjadi basis rujukan sikap dan moralitas

bagi masyarakat dalam menghadapi

berbagai problem yang ada di masyarakat. Kedua, Cultural resistence, mempertahankan budaya dan tetap berpijak pada ajaran dasar Islam. Sikap ini merupakan konsekwensi logis dari modelling. Namun dalam tingkat tertentu sikap ini seringkali disalah pahami oleh banyak kalangan, bahwa pesantren adalah lembaga konservative yang menjadi basis dari pola keberagamaan sinkretik di jawa. Yang harus disadari juga di samping posisinya sebagai cultural resistence, adalah peran pesantren sebagai agent of social change. Dalam hal ini peran pesantren tidak kiranya tidak perlu diragukan lagi. Ketiga, Budaya keilmu-an yang tinggi, Pesantren dalam kapasitas sebagai lembaga pendidikan identik dengan dunia ilmu.16

Sejarah mencatat prestasi dunia pesantren dalam pengembangan tradisi keil-muan yang melahirkan ulama-ulama agung yang berkaliber internasional, sebut saja nama Nawawi al-Bantani, At-Tirmasi, Has-yim Asy’ari, bahkan Abdurrahman Wahid dan sebagainya. Dalam kultur masyarakat – jawa khususnya- kyai dan alumni pesantren dipandang sebagai kelompok masyarakat yang memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi dan mendapat tempat yang terhor-mat.

Keberhasilan pesantren melewati

zaman demi zaman hingga saat ini tidak lepas dari prinsip keseimbangan (tawazun)

yang diterapkan pesantren dalam

menghada-pi gerak perumbahan (continuity) dan tuntutan untuk mempertahankan kesinam-bungan tradisi (change). Hal ini

merupakan pengejawentahan strategi

akomodatif-trans-formatif yang diterapkan pesantren, yang juga menjadi tuntutan bagi siapapun yang ingin eksis dalam kehidupan masyarakat modern dengan tetap tidak tercerabut dari akar tradisi kulturalnya.

Dengan segala karakteristiknya yang khas yang menjadi modalitas pesantren untuk dapat eksis hingga saat ini, tidak berarti bahwa tantangan yang dihadapi oleh

(4)

dunia pesantren telah selesai. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju, pesantren akan selalu dihadapkan pada problem-problem baru yang menyertai perkembangan masyarakat. Dalam konteks ini tantangan yang dihadapi oleh pesantren adalah tantangan pembangunan, kemajuan, pembaharuan, serta tantangan keterbukaan dan globalisasi.17

Dari sekian banyak tantangan yang dihadapi pesantren tersebut salah satu yang menarik adalah implikasi dari era keter-bukaan dan globalisasi. Era globalisasi ditandai dengan derasnya arus informasi yang disebar melalui berbagai media, buah karya dari kemajuan teknologi. Dalam situasi demikian, dunia pesantren tidak bisa bersikap isolatif atau memproteksi diri dari derasnya arus perubahan. Pesantren harus dapat melakukan respon yang tepat melalui upaya rekonstruksi paradigmatik terhadap prinsip yang mendasari sikap dan prilakunya serta terbuka terhadap kritik yang ditujukan kepadanya.

C. Dinamika Era Informasi

Masyarakat dunia kini telah bergerak memasuki tata dunia baru (new world order) dari tahapan perjalanan peradabannya yang oleh Alvin Tofler disebut sebagai the Third

wave. Jika pada gelombang pertama

modalitas utama yang paling menentukan adalah tanah dan pada masa ini muncul banyak tuan tanah-tuan tanah dengan kultur feodalistiknya. Kemudian pada periode kedua, masyarakat memasuki era yang drive oleh kekuatan kapitalis atau pemodal, maka pada era gelombang ketiga ini, kehidupan masyarakat dicirikan dengan karakter; semakin merambahnya teknologi informasi, komputerisasi, revolusi biologi dan sebagai-nya yang bersifat global.

Informasi dalam konteks ini begitu berharganya. Bahkan terdapat sebuah adagi-um yang sering dilontarkan oleh para ahli dan futurolog, yakni siapa yang menguasai informasi dialah yang menjadi raja. Dalam dunia bisnis misalnya, perkembangan dan fluktuasi harga-harga komoditi begitu tinggi,

sehingga siapapun yang tidak ingin collaps, maka ia harus selalu memantau dan menguasai informasi perkembangan harga komoditi bisnisnya.

Peradaban gelombang ketiga berdiri di atas pilar ilmu pengetahuan dan teknolo-gi. Hasil karya cerdas dalam bidang ini kemudian melahirkan beragam kemajuan dalam bidang teknologi informasi yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Teknologi komputer dengan segala macam program dan fasilitas yang ditawarkan dan kemung-kinan pengembangannya telah merubah konstruk masyarakat dalam seluruh dimensi kehidupan. Peran media informasi kemu-dian menggeser agen-agen sosialisasi tradisi-onal yang selama ini telah eksis di masyarakat seperti orang tua, guru, lembaga

pendidikan, bahkan pesantren dan

sebagainya.18

Pada masyarakat informasi peran media elektronik memegang peranan yang sangat penting bahkan menentukan bagi warna peradaban yang dibangun. Terdapat sekian banyak jenis bentuk media informasi dengan beragam program dan fasilitas yang ditawarkan. Televisi dengan beragam jenis program yang ditawarkan telah memenuhi ruang dan waktu kehidupan manusia. Yang paling dahsyat dari perkembangan teknologi ini barangkali adalah munculnya teknologi komunikasi dan informasi yang berbasis komputer. Perkembangan teknologi ini menjadi semakin canggih dan tidak berhenti untuk dikembangkan.

Internet dengan segala fasilitas yang disediakan kini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat kontemporer. Teknologi ini dapat dimanfa-atkan untuk segala kepentingan (baik atau buruk) dalam segala bidang. Ia menyediakan beragam informasi dan sekaligus menjadi sumber informasi apapun yang dapat diakses oleh publik dalam skala massif. Internet adalah representasi kehidupan dunia yang menyediakan apa saja, bahkan hampir tidak ada yang tidak disediakan oleh internet. Untuk memfasilitasi pelaksanaan pendidikan, terdapat beragam program yang

(5)

ditawarkan oleh provider seperti e-book dan e-learning. E-book yang dapat menjadi sarana pemenuhan sumber belajar baru yang selama ini belum ada atau tidak dapat diakses oleh dunia pendidikan. Sementara

e-learning menjadi tawaran baru proses

pembelajaran yang berbasis internet.

E-learning dalam pendidikan memiliki peran menggeser lima cara dalam proses pembelajaran yaitu: (1) dari pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja, (3) dari kertas ke “on line” atau saluran, (4) fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, (5) dari waktu siklus ke waktu nyata. Teknologi informasi yang merupakan bahan pokok dari e-learning itu sendiri berperan dalam menciptakan pelayanan yang cepat, akurat, teratur, akuntabel dan terpecaya.

Seluruh perkembangan ini tidak saja membawa kemudahan-kemudahan bagi kehidupan masyarakat dunia, tetapi sekali-gus juga membawa serta tantangan dan ancaman yang harus diantisipasi dan dirumuskan strategi-strategi untuk menja-wabnya. Seluruh institusi masyarakat siap-atau tidak siap harus menghadapi kondisi ini, keluarga, lembaga pendidikan, dan pemerintah. Dengan perannya sebagai cultural resistence, Pesantren termasuk salah satu institusi yang paling lantang ditantang untuk menghadapi gempuran informasi. Ketepatan pesantren dalam merumuskan jawaban dan upaya reposisi tepat terhadap seluruh perkembangan buah dari kemajuan teknologi informasi ini menjadi garansi bagi eksistensi pesantren di masa depan.

D. Implikasi Terhadap Pengelolaan

Pesantren

Dampak perkembangan teknologi informasi, tidak saja dirasakan oleh masya-rakat tertentu yang berkecimpung dalam bidang informasi. Kemajuan teknologi informasi memiliki efek yang luar biasa dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat dalam skala yang mendunia. Oleh karenanya siapapun yang hidup dalam masyarakat dunia saat ini harus siap terhadap segala

perubahan dan perkembangan yang ditim-bulkan oleh perkembangan informasi.

Dalam konteks pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan Islam harus mampu menyiapkan sumber daya manusia yang tidak sekedar sebagai penerima arus infor-masi global atau sebagai konsumen pasif, tetapi juga harus memberikan bekal agar dapat mengolah, menyesuaikan dan

meng-embangkan dan mampu mengambil

manfaat yang sebesar-besarnya dari perkem-bangan teknologi informasi.19

Mengacu pada perkembangan sosial masyarakat yang ditimbulkan oleh akselerasi perkembangan teknologi informasi dan melihat implikasinya yang mampu menem-bus sendi-sendi kehidupan manusia baik sebagai individu maupun kelompok, Pesan-tren dituntut untuk dapat melakukan

peru-bahan atau inovasi-inovasi. 20 Dalam

konteks pesantren perkembangan ini mem-bawa implikasi pada munculnya keharusan untuk melakukan reorientasi, redefinisi atau bahkan reposisi terkait dengan visi dan misinya, kurikulum dan pembelajaran serta peran sosialnya. Selama ini pesantren dicitrakan dengan tradisionalismenya, domi-nasi visi dan misi keakheratan, kurikulum dan model pembelajaran yang lebih mene-kankan pada hafalan dan sebagainya. Sebagai jawaban atas tuntutan era informasi ini maka pesantren harus melakukan adaptasi-adaptasi kreatif, agar sistem pesan-tren tetap mampu eksis dalam pusaran arus informasi.

Proses adaptasi ini harus dilakukan agar pesantren dapat eksis memerankan fungsi-fungsi yang selama ini diperankannya dan mampu dapat diterima masyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dengan berpijak pada prinsip dasar nilai-nilai keislaman serta tradisi kepesantrenan. Hal penting yang harus diperhatikan adalah proses ini juga harus tetap memperhatikan jati diri pesantren agar jangan sampai kemudian kebablasan yang menyebabkan pesantren kehilangan identitasnya. Satu kaidah dalam khazanah keilmuan Islam patut menjadi acuan; al muhafadhah ‘ala al

(6)

qadim as shalih, wa al akhdz bi al jadid al ashlah”. Dalam konteks ini yang diperlukan adalah sikap keterbukaan dari siapapun yang ada didalam kalangan pesantren. Kaidah yang sangat berharga ini sering nampak hanya dalam batas jargon, akan tetapi pada tataran praksis kalangan pesantren masih setia dengan sikap konservatifnya21 (al muhafadhah ‘ala al qadim).

Menghadapi tuntutan perkembangan ini, pada diri pesantren sessungguhnya terdapat daya suai dan daya tahan tertentu terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat. menurut M. Billah setidaknya ada dua fungsi utama yang tetap harus dikembangkan oleh pesantren; pertama, fungsi pesantren sebagai center of excellence yang menangani kader-kader pemikir agama (religion intelectual); dan kedua, fungsi pesan-tren sebagai agent of development yang

mena-ngani pembinaan pemimpin-pemimpin

masyarakat (community leader). Fungsi ini menuntut pesantren untuk dapat berkem-bang menjadi pusat studi keagamaan dan kemasyarakatan yang mengajarkan khaza-nah keilmuan Islam dengan selalu melaku-kan responkreatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan fungsi yang kedua dilatari oleh semakin memudarnya peran kepemimpinan masyara-kat. Dalam konteks ini menuntut pesantren tidak hanya mampu memberikan informasi baru kepada masyarakat, tetapi juga

melaksanakan program-program

pemberdayaan masyarakat.

E. Reorientasi Sistem Pendidikan

Pesantren

Merespon perkembangan era

kontemporer yang demikian pesat dengan informasi sebagai subyek utamanya, maka

sistem pesantren harus melakukan

reorientasi pada beberapa unsurnya; 1. Visi, misi dan tujuan

Dalam merespon dinamika

perubahan, maka visi, misi dan tujuan pesantren juga harus mengalami proses redefinisi. Pesantren tidak bisa tetap bertahan pada posisi konservatifnya sebagai

lembaga pendidikan Islam yang hanya berorientasi pada tafaqqoh fi addin22 yang dalam tradisi keilmuan pesantren didasarkan pada kaidah (al-muhafadhal ‘ala al-qadim as-shalih). Akan tetapi pesantren juga harus

mampu menyerap perubahan dan

perkembangan yang melahirkan sesuatu yang baru. Tentu saja penyerapan itu harus dilakukan dengan kritis, untuk memilah dan memilih mana yang ashlah (al-akhdz al-jadid al-ashlah).

Dalam konteks ini visi dan orientasi dari pendidikan pesantren tidak saja untuk melahirkan ‘ahli ibadah’, lebih dari itu visi pesantren harus diarahkan untuk melahirkan generasi yang mampu memainkan peran sebagai khalifah di muka bumi dalam rangka ibada kepada Allah SWT. Dari visi ini kemudian dirumuskan misi yang diarahkan pada upaya untuk mencetak generasi muslim yang memiliki integritas keimanan yang kokoh, memiliki kemampuan yang memadai dalam hal penguasaan ilmu-ilmu agama Islam serta perkembangan teknologi sebagai modalitas dalam mengarungi kehidupan kontemporer, memiliki kepribadian yang utuh yang diwujudkan dalam sikap dan prilaku yang mencerminkan akhlaqul karimah. Serta mampu menjadi pioneer atau lokomotif dalam proses transformasi sosial. Dari sini kemudian dirumuskan pula kriteria atau kualifikasi yang diharapkan dari alumni pesantren, yakni;

• Religius intellectual, yang memiliki

integritas yang tangguh serta cakap melakukan analisa ilmiah dan concern

terhadap problem-problem sosial

kemasyarakatan. Inilah kiranya yang menjadi tujuan utama pesantren dalam konteks sebagai lembaga pendidikan Islam. Santri adalah generasi yang memiliki keahlian dalam penguasaan khazanah keilmuan agama Islam. Santri juga diharapkan mampu melakukan pembacaan terhadap problem-problem sosial kemasyarakatan dan kemudian

mampu menganalisis serta

(7)

berdasar pada teri-teori keilmuan yang mereka kuasai.

• Religius skillfull people, yang akan menjadi

tenaga-tenaga terampil sekaligus

memiliki religiusitas dan keimanan yang tangguh yang tercermin dalm sikap dan prilaku dalam kehidupannya. Santri dan

alumni pesantren harus mampu

berperan menjadi subyek, bukan obyek dari perkembangan teknologi. Santri

hasrus dapat memanfaatkan

melimpahnya informasi yang dihasilkan oleh media-media yang berteknologi tinggi untuk kepentingan dirinya, masyarakat dan syi’ar agama.

• Religius community people, yang akan

menjadi penggerak proses transformasi sosial kultural dan mampu menjadi benteng moral. Di samping peran

organisnya sebagai generasi yang

dididik untuk mengasah kemampuan dalam penguasaan keilmuan agama, santri dan alumni pesantren juga diharapkan mampu berperan lebih, menjadi motor dari proses transformasi sosial masyarakat.23

2. Kurikulum dan Pembelajaran

Menyikapi perkembangan dunia

sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dalam hal kurikulum pesantren harus

melakukan penataan kembali agar

kurikulum dan materi pembelajaran yang ditawarkan memiliki relevansi dengan kebutuhan masyarakat.24 Dari visi di atas, maka rumusan kurikulum yang dapat diajukan adalah formula kurikulum yang lebih berorientasi kepada konstruk sosial, yakni kurikulum yang dirancang dalam rangka melakukan social change and social engineering.

Kurikulum ini bersifat dinamis,25

karena didesain dengan selalu terbuka pada tuntutan perubahan perkembangan sosial. Jika sebelumnya desain kurikulum yang disusun terbatas pada khazanah keilmuan yang ditulis dalam kitab kuning, maka muatan kurikulum yang baru tidak hanya bertumpu kepada sumber atau rujukan teks atau literatur klasik saja, tetapi juga

dilengkapi dengan informasi-informasi yang berasal dari surat kabar, majalah, televisi, jurnal, pameran, museum, kegiatan sosial, dan informasi-informasi yang dapat diakses dari situs-situs yang terdapat di internet. Keseluruhan bahan-bahan tersebut harus

diintegrasikan dengan kegiatan

pembelajaran.26

Dari sisi metode pembelajaran, jika selama ini lembaga-lembaga pendidikan Islam termasuk pesantren menggunakan metode konvensional, dengan hadirnya E-learning dalam dunia pendidikan, maka hal ini harus direspon dengan melakukan inovasi-inovasi kreatif dalam pembelajaran. Karena sebagaimana telah dijelaskan di atas,

bahwa kemunculan e-learning telah

menggeser lima cara dalam proses

pembelajaran yaitu: (1) dari pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja, (3) dari kertas ke “on line” atau saluran, (4) fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, (5) dari waktu siklus ke waktu nyata.

Meskipun demikian, pada sisi yang

lain pesantren juga dituntut untuk

mempertahankan identitas pesantren. Oleh karenanya maka formula struktur kurikulum

yang ditawarkan antara lain dapat

dirumuskan dalam pola; (1) mata pelajaran dasar, terkait dengan alqur’an dan materi-materi dasar keimanan, serta keilmuan Islam, (2) mata pelajaran wajib yang menjadi identitas kepesantrenan dan (3) mata

pelajaran pilihan, yang nerupaya

mengakomodir kebutuhan kehidupan

kontemporer. Struktur yang demikian dirasa dapat memenuhi dua kepentingan sekaligus

yakni kepentingan pewarisan dan

pelestarian nilai, serta kepentingan adaptasi. Dengan pola yang semacam ini akan tetap memberikan ruang bagi pesantren untuk dapat berkreasi, melestarikan tradisi yang khas serta mampu berbicara dalam konteks masyarakat modern.

Dalam pembelajaran, jika selama ini

citra yang dialamatkan pada proses

pembelajaran pesantren adalah

(8)

dan tidak demokratis, peran kyai atau ustadz begitu dominan, kyai adalah satu-satunya otoritas dalam proses transfer keilmuan, santri tidak boleh mengkritisi kyai dan sebagainya, maka implementasi visi di atas pada konteks pembelajaran, perlu didesain proses pembelajaran yang berorientasi pada santri. Proses pembelajaran bukan semata-mata mengandalkan informasi yang berasal dari ustadz. Santri harus didorong untuk aktif kreatif serta kritis dalam proses pembelajaran. Ustadz berperan sebagai motivator, designer, fasilitator, katalisator, guide, evaluator dan justificator27 dalam proses pembelajaran di pesantren.

Dalam hal sumber belajar, dunia pesantren juga harus terbuka terhadap perkembangan teknologi pembelajaran. Saat ini banyak tersedia buku, program yang tidak lagi dalam bentuk kitab kuning yang menjadi ciri khas sumber atau referensi keilmuan pesantren. Banyak CD program berisi beragam materi keilmuan, baik agama maupun umum. Kitab-kitab tafsir, hadis yang dulu dikemas dalam berbagai jilid kitab kuning, saat ini dapat dipelajari melalui

media yang lebih mudah dengan

menggunakan teknologi komputer.

Terkait dengan metode pembelajaran, selama ini pesantren identik dengan metode

sorogan28 dan bandongan,29 di samping

metode-metode; hafalan, imla’, dan pada jenjang yang lebih tinggi terdapat metode musyawarah (diskusi). Salah satu kritik yang

dialamatkan kepada pesantren adalah

lemahnya metodologi pembelajaran. Selama ini proses pembelajaran pesantren identik

dengan pola indoktrinasi30 yang tidak

mencerdaskan. Secara umum dalam wilayah metodologi inilah yang seringkali dianggab sebagai titik kelemahan sistem pembelajaran pesantren. Mastuhu misalnya, menyatakan bahwa meskipun secara kultural pesantren memiliki konsep aksiologi dan kaya dengan berbagai khazanah ilmu, tetapi pesantren memiliki kelemahan mendasar dalam hal metodologi.31

Dengan semakin berkembangnya

media serta teknologi, metode-metode

tersebut harus diperbaharui dengan metode yang sesuai dengan perkembangan zaman yang berbasis multimedia. Beberapa metode

pembelajaran yang direkomendasikan

misalnya; metode seminar, modul,

penugasan, problem solving diskusi atas berbagai tema-tema aktual yang sedang terjadi di masyarakat dan sebagainya. Terkait dengan kesinambungan tradisi keilmuan, jika pada masa lalu para ulama’ besar berhasil membuat karya monumental dalam berbagai bidang dalam kitab-kitab yang terpublikasikan secara luas, maka pada saat inipun santri juga perlu didorong untuk belajar dan memiliki kemampuan menulis khazanah keilmuan Islam. Pembelajaran di pesantren perlu diarahkan untuk dapat melahirkan penulis-penulis sekaliber Gus Dur, Gus Mus, Gus Sholah atau bahkan KH. Sahal Mahfudz. Mereka semua adalah representasi dari kalangan pesantren yang

mampu memberikan warna dalam

konstelasi perkembangan pemikiran di Indonesia.

Terkait dengan metodologi ini pula Tolkhah Hasan, sebagaimana dikutip oleh Mujamil, memandang perlunya dicarikan

injeksi metodologis terhadap sistem

pembelajaran di pesantren. Injeksi

metodologis ini dapat ditempuh melalui cara;

• Memberikan peran yang lebih luas

kepada para santri untuk lebih aktif dalam mengikuti proses pembelajaran

• Membiasakan para santri untuk

membuat abstraksi danmenangkap ide-ide dasar terhadap kitab yang dikaji

• Memperbanyak diskusi dalam mencari

titik temu antara apa yang terdapat dalam teks (kitab rujukan) dengan realitas kehidupan.32

Namun demikian, meski pesantren telah berupaya untuk melakukan adaptasi

dan pembaharuan dalam

komponen-komponennya, satu hal yang harus

diperhatikan adalah, bahwa pesantren tidak boleh terjerumus dalam latah perubahan yang menyebabkan hilangnya jati diri. Terdapat sekian banyak nilai dan tradisi

(9)

pesantren yang tetap harus dilestarikan meski zaman telah berubah. Nilai-nilai penghormatan terhadap kyai dan guru,

sikap tawadlu’, kesederhanaan, etos

keilmuan sebagaimana yang ditunjukkan dalam tradisi rikhlah ilmiah dan sebagainya adalah nilai-nilai yang harus tetap dijaga kelestariannya.

F. Penutup

Gelombang informasi benar-benar

telah datang membanjiri kehidupan

masyarakat kontemporer. Air bah informasi ini membawa serta material yang beraneka rupa, sebagian bernilai positif dan tidak sedikit yang membawa virus negatif yang mematikan. Dampak dari derasnya arus informasi ini disadari ataupun tidak telah memasuki seluruh sendi-sendi kehidupan

masyarakat. Kemampuan untuk

memberikan proteksi dan mencari posisi yang tepat akan memberikan peluang bagi siapapun untuk tetap eksis.

Menghadapi derasnya gelombang

informasi ini, pesantren harus cerdas dalam mengambil posisi yang tepat untuk kemudian dapat melakukan reorientasi terhadap sistem pendidikannya. Jika tidak maka siapapun akan ditenggelamkan dalam pusaran arus informasi dan kemudian hilang ditelan sejarah. Dalam konteks ini pesantren harus melakukan reorientasi menyangkut visi, misi, tujuan, kurikulum dan strategi pembelajaran di samping juga melakukan

reposisi terhadap peran sosial

kemasyarakatannya. Karena bagaimanapun juga masyarakat di mana pesantren berada juga telah mengalami perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh globalisasi di segala bidang, sebagaimana pula yang dialami oleh dunia pesantren.

Meski demikian pesantren juga tidak

boleh latah dan kebablasan dalam

melakukan perombakan. Strategi

konservatif-transformatif yang

diimplementasikan secara proporsional

kiranya patut dipertimbangkan agar

pesantren dapat eksis pada era informasi ini, serta pesantren juga masih kokoh menjadi

benteng penjaga tradisi sebagaimana kaidah yang selama ini begitu akrab dalam kultur pesantren. Al-muhafadhah ‘ala al-qadiim as-shalih wa al-akhdz bi al-jadid as-ashlah’. Implementasi ini meski dilakukan dengan sepenuh hati, tidak setengah-setengah atau bahkan malah sebaliknya.

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin, Falsafah Kalam di Era Post

Modernisme, Yogyakarta: Pustaka

Pela-jar, 2004.

Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta, LKiS, 2008

Azra, Azyumardi, Pendidkan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000. Billah, MM., Pikiran Awal Pengembangan

Pesantren, dalam Dawam Raharjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren membangun Dari Bawah, Jakarta : P3M,1985. Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning,

Pesantren dan Tarekat, Tradisi-tradisi

Is-lam di Indonesia, Bandung: Mizan,

1999.

Faisal, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Is-lam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Indra, Hasbi, Pendidikan Islam Melawan

Glob-alisasi, Jakarta: Ridamulia, 2005. Isma’il, SM, dkk, (ed), Dinamika Pesantren

dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2002.

Majid, Nurcholis, Bilik-Bilik Pesantren, Se-buah Potret Perjalanan, Jakarta, Pa-ramadina, 1997.

Mas’ud, Abdurrahman, Sejarah dan Budaya Pesantren, dalam Dinamika Pesantren

dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2002.

Mastuhu, Dinamika SIstem Pendidikan

Pesantren, Jakarta: INIS, 1994.

Mastuhu, Kyai Tanpa Pesantren, dalam Jamal D. Rahmat (ed.), Wacana Baru Fiqh

(10)

Sosial 70 tahun KH. Ali Yafie, Bandung: Mizan, 1997.

Mujamil, Pesantren, dari transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi., Jakarta: Erlangga, 2005.

Nata, Abudin, Manajemen Pendidikan,

Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2003.

Raharjo, Dawam, Perkembangan Masyarakat

Dalam Perspektif Pesantren, dalam

Dawam Raharjo, (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren, Jakarta: P3M, 1885. Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di

Indonesia, Jakarta: Logos, 2001.

Shaleh, Abdurrahman, Pendidikan Agama dan

Keagamaan, Jakarta: Gemawindu

Pascaperkasa, 2000.

Steenbrink, Karl, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1994.

Toffler, Alvin, The Third Wave, (Gelombang ketiga), terj. Sri Koesdiyantinah, Jakarta: Pantca Simpati, 1992.

Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

* Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

(STAIN) Tulungagung Jawa Timur.

1

Secara terminologis istilah pesantren berasal dari kata santri. Di Indonesia (jawa) Istilah pesantren popular dengan sebutan pondok pesantren. Pondok (Funduq; Arab) berarti asrama, hotel, rumah atau tempat tinggal sementara Istilah pesantren atau pon-dok atau ponpon-dok pesantren lebih dikenal di wilayah Jawa dan Madura. Sementara di Aceh lebih popular dengan sebutan dayah atau rangkang atau meunasah. Sedangkan di Minangkabau digunakan istilah surau.

2

Terdapat beberapa argument terkait dengan asal usul pesantren, Karl Steenbrink menjelaskan bahwa bahwa system pendidikan pesantren mirip dengan tradisi Hindu (India), Karl Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), p. 20-21. Se-mentara pendapat lain menyatakan bahwa asal usul tradisi pesantren dapat dilacak hingga berkesinam-bungan dengan system pendidikan dalam tradisi sufi: zawiyah atau khanaqoh. di timur tengah. Ibid., p. 22. Lihat pula, Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning,

Pesantren dan Tarekat, Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), p. 23.

3

Nurcholis Majid, Bilik-Bilik Pesantren,Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), p. 3.

4

Azyumardi Azra, Pendidkan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), p. 96.

5

Pada Undang-undang Nomer 20 tahun 2003, tentangt Sistem Pendidikan Nasional bagian kesembilan tentang pendidikan keagamaan, pasal 1 dijelaskan bahwa, pendidikan keagamaan diselengga-rakan oleh pemerintah dan atau kelompok masyara-kat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan posisi pesantren secara eksplisit dijelaskan dalam pasal 4; pendidikan keagamaan berbentuk; pendidikan diniyah, pesantren…lihat UU no 20 tahun 2003 tentang Sis-diknas

6

Hasbi Indra, Pendidikan Islam Melawan Glob-alisasi, (Jakarta: Ridamulia, 2005), p. 192.

7

Salah satu fenomena yang sedang banyak menghiasi perbincangan masyarakat saat ini adalah maraknya penggunaan dan penyalahgunaan facebook. Tidak terkecuali dari kalangan pesantrenpun ke-mudian juga merespon dengan menggelar bahtsul masa’il yang menghasilkan rekomendasi ke-haram-an facebook yang kemudian menuai pro-kontra.

8

Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (ed.), Reformasi Pendidikan dalam Kontek Otonomi Daerah, (Jakarta: Adicita, 2001), p. 60.

9

Azyumardi Azra, Pendidkan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), p. 95.

10

Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001), p. 150-152.

11

Unsur-unsur kunci islam tradisional adalah; pesantren, yang didalamnya terdapat kyai dan santri sekaligus pola hubungan patron klien yang mereka bangun. Madzhab Asy’ariyah yang dominant dalam ranaah akidah, serta kecenderungan sufistik dalam sikap dan prilaku. Adanya konsep silsilah yang me-nentukan mu’tabar atau tidaknya suatu kelompok (thariqah ), lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), p. 17-21.

12

Ibid., p. 17.

13

Abdurrahman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta: Gemawindu Pascaperkasa, 2000), p. 225-226.

14

Dawam Raharjo, Perkembangan Masyarakat Dalam Perspektif Pesantren, dalam Dawam Raharjo, (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren, p. vii.

15

Di beberapa perguruan tinggi Islam saat ini, disamping menyelenggarakan sistem pendidikan reguler, juga di selenggarakan ma’had untuk para mahasiswa, seperti di UII Yogyakarta, UIN Malang dan sebagainya.

(11)

16

Abdurrahman Mas’ud, Sejarah dan Budaya Pesantren, dalam Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), p. 26-31.

17

Mujamil, Pesantren, dari transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi., (Jakarta: Erlangga, 2005), p. 73.

18

Perubahan peran ini kian menjadi perhatian banyak kalangan, karena penetrasi media informasi dalam kehidupan masyarakat dan keluarga semakin dalam. Media informasi saat ini telah mengambil peran orang tua, guru, dalam proses pendidikan anak. Media informasi telah mencuri perhatian anak dalam mencari figur-figur yang harus diikuti dan dicontoh. Pada sisi yang lain apa yang disajikan me-dia informasi tidak tidak semuanya positif.

19

Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Is-lam, (Jakarta: Gema Insani Press. 1995), p. 131.

20

Dalam sejarah dinamika pesantren, terdapat beberapa kondisi yang menuntut perubahan pesantren, 1. Ekspansi system pendidikan sekuler yang dibawa oleh Belanda, 2. Gerakan reformis mus-lim yang mendirikan lembaga-lembaga pendidikan modern. Menurut Karl Steenbrink, sebagaimana dikutip oleh Azra, dalam merespon tantangan ini sikap yang diambil oleh surau tradisional adalah “menolak dan mencontoh” sementara pesantren mengambil sikap yang hamper sama, “menolak sam-bil mengikuti, Mencermati dinamika pesantren ini, setidaknya telah terjadi pergeseran pola pengelolaan menyangkut fungsi dan manajemen. Azyumardi Azra juga mengidentifikasi adanya perubahan yang terjadi dalam pesantren merespon ekspansi system pendidi-kan umum dengan dua cara; 1. merevisi kurikulum-nya dengan memasukkan semakin bakurikulum-nyak mata pela-jaran umum dan bahkan ketrampilan umum, 2. membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pen-didikan bagi kepentingan umum, lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos, 2000), p. 97-103.

21

Sikap konservatif dikalangan pesantren (kyai) memang bukanlah menghasilkan system yang statis, akan tetapi suatu system di mana perubahan-perubahan yang dilakukan belangsung secara perla-han-lahan dan melalui cara yang tidak mudah untuk diamati. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, p. 1-2.

22

Sehubungan dengan orientasi ini, Mastuhu menyimpulkan tujuan pendidikan pesantren dari hasil wawancaranya dengan pengasuh pesantren“ minciptakan dan mengembangkan kepribadian mus-lim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat, mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam pendirian, menyebarkan agama atau menegak-kan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah masya- rakat (Izzul islam wal muslimin), serta mencintai ilmu, Mastuhu, Dinamika SIstem Pendidikan pesantren, (Ja-karta: INIS, 1994) p. 56. Dari rumusan tersebut

nampak bahwa orientasi pendidikan pesantren san-gat menekankan pada pentingnya dakwah islamiyah disamping orientasi ilmiah.

23

MM. Biilah, Pikiran Awal Pengembangan Pesantren, dalam Dawam raharjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren membangun Dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), p. 294.

24

Kurikulum dan pembelajaran pesantren se-lama ini banyak menuai kritik, salah satunya adalah yang dilontarkan oleh Mukti Ali. Menurutnya kuriku-lum dan pembelajaran pesantren; pertama, metodik dan dedaktik mengajar kurang. Hal ini menyebabkan proses pembelajaran di pesantren membutuhkan waktu yang relatif lama. Kedua, yang digarap dalam pondok pesantren hanyalah mencerdaskan otakden-gan berbagai macam pengetahuan dan penanaman akhlak mulia dengan pendidikan Agama. Lihat Isma’il , Pengembangan Pesantren Tadisonal, dalam Di-namika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), p. 59.

25

Terkait dengan dinamika kurikulum pesantren, Mujamil menjelaskan transformasi kuriku-lum pesantren secara cukup lengkap, Lihat Mu-jamil..Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju demokratisasi Institusi, p. 108-140.

26

Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, Menga-tasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, dalam (Jakarta: Prenada Media, 2003), p. 85.

27

Ibid., p. 86

28

Sorogan adalah metode pembelajaran yang dilaksanakan dengan cara guru menyampaikan pela-jaran kepada santri secara individual, secara begilir. Kelebihan metode ini adalah kyai atau ustadz dapat memantau secara intensif perkembangan kemampu-an skemampu-antri. Kyai dapat memberikkemampu-an bimbingkemampu-an lkemampu-ang- lang-sung kepada para santri. Namun demikian metode ini kurang efisien untuk pesantren dengan jumlah santri yang besar.

29

Bandongan atau wetonan adalah metode pembelajaran yang dilaksanakan dengan guru memba-ca, menterjemahkan teks dari bahasa asli (arab) kepada bahasa kedua. Dalam tradisi pesantren hal ini biasanya dikenal dengan makna gandul. Kemudian kyai menerangkan dan mengulas isi dari kitab yang sedang dikaji. Dengan metode ini santri biasanya pasif, karena tidak terjadi proses dialog.

30

Pola pembelajaran yang seperti ini dikritik oleh Amin Abdullah sebagai pembelajaran yang menyebabkan terjadinya kebekuan beerfikir, jumud dan dalam batas tertentu terjadi proses pensakralan terhadap pandangan keagaman (taqdis al afkar), lihat Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modern-isme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

31

Mastuhu, Kyai Tanpa Pesantren, dalam Jamal D. Rahmat (ed.), Wacana Baru Fiqh Sosial 70 tahun KH. Ali Yafie, (Bandung: Mizan, 1997), p. 262.

32

Referensi

Dokumen terkait

Dari evaluasi pola tanam, sistem pertanaman dan teknologi budidaya yang dilakukan petani dihasilkan model sistem pertanaman tepi dan lorong dalam bentuk

Ragam adalah variabel activity support yang paling dominan dalam mempengaruhi kualitas visual di koridor Jalan Pahlawan pada hari Sabtu malam dan Minggu pagi saat

Sistem kerja yang dipakai dalam merancang alat pemberian pakan ikan secara otomatis ini memerlukan orang untuk meletakkan pakan ikan yang berupa pelet di dalam

Exp (B) Value = 6,732 yang berarti bahwa penderita dengan diabetes melitus pada keluarga memiliki risiko 6,732 kali untuk mengalami penyakit ginjal kronik diabetes (PGK-DM) ,

Beras tidak hanya menjadi komoditi ekonomi, melainkan juga komoditas sosial dan politik, perdagangan beras dalam kurun Tahun 1947-1956 baik langsung atau tidak

Tahapan berikutnya setelah pembentukan himpunan fuzzy terhadap setiap alternatif pada variabel selesai adalah memasukkan data siswa ke dalam setiap fungsi derajat keanggotaan

Pebisnis yang mengadakan perjanjian tentu saja adalah para pihak yang bergerak dalam bidang bisnis yang dalam hal ini mengikatkan dirinya dalam suatu

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI MIPA 1 dan kelas XI MIPA 2 yang berjumlah 60 orang siswa, sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah total