• Tidak ada hasil yang ditemukan

Delineasi Batas Terluar Landas Kontinen Ekstensi Indonesia: Status dan Permasalahannya. I Made Andi Arsana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Delineasi Batas Terluar Landas Kontinen Ekstensi Indonesia: Status dan Permasalahannya. I Made Andi Arsana"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Delineasi Batas Terluar Landas Kontinen Ekstensi Indonesia: Status dan Permasalahannya

I Made Andi Arsana madeandi@ugm.ac.id

Jurusan Teknik Geodesi

Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta, 55281

P: (0274) 902122 F: 520226 E: geodesi@ugm.ac.id, http://geodesi.ugm.ac.id

Intisari

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau United Nations

Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menyatakan bahwa, dalam kondisi tertentu,

sebuah negara pantai berhak atas landas kontinen melebihi 200 mil laut (M) dari garis pangkalnya yang dikenal juga dengan landas kontinen ekstensi (LKE). Agar sebuah negara pantai dapat menjalankan hak berdaulatnya (sovereign right) atas LKE, negara pantai tersebut harus melakukan delineasi batas terluar LKE dan mengajukannya kepada Komisi Batas Landas Kontinen atau Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLCS).

Indonesia merupakan salah satu negara pantai yang memiliki potensi untuk mengajukan LKE. Kajian pendahuluan yang sudah dilakukan beberapa pihak menunjukkan adanya kemungkinan Indonesia dapat mengajukan LKE untuk beberapa wilayah maritim. Pada saat makalah ini ditulis, Indonesia sedang melakukan delineasi LKE dan persiapan untuk mengajukannya sebelum tenggat waktu yang ditetapkan yaitu tanggal 13 Mei 2009.

Makalah ini bertujuan untuk memaparkan perkembangan delineasi LKE Indonesia dan pengajuannya kepada CLCS. Dalam hal ini dianalisis status terkini dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam proses delineasi dan pengajuan kepada CLCS. Ada empat tantangan yang dihadapi Indonesia dalam proses ini yaitu tantangan teknis, institusi, finansial, dan politis. Sebagai pengantar, makalah ini juga memaparkan konsep penentuan LKE sesuai dengan yang ditetapkan oleh UNCLOS pasal 76. Makalah ini, meskipun memberi penekanan pada aspek teknis, juga membahas isu legal terkait pengajuan LKE oleh Indonesia.

Kata kunci: landas kontinen ekstensi, UNCLOS, pasal 76, CLSC, pengajuan, kriteria formula, syarat pembatas

(2)

1 Pengantar

Pasal 76 United Nations Law of the Sea Convention (UNCLOS) menyatakan bahwa sebuah negara pantai berhak atas landas kontinen melebihi 200 mil laut (M) yang diukur dari garis pangkalnya. Hal ini juga dikenal dengan istilah landas kontinen ekstensi (LKE). Negara pantai harus melakukan delineasi batas terluar LKE ini dan mengajukannya kepada Komisi Batas Landas Kontinen (Commission on the Limits of Continental Shelf, CLCS) melalui Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Indonesia adalah salah satu negara pantai yang memiliki peluang LKE dengan tenggat waktu pengajuan tanggal 13 Mei 2009. Hingga makalah ini ditulis, Indonesia sedang melakukan delineasi dan bersiap-siap untuk mengajukan LKE kepada CLCS. Sementara itu, CLCS sudah mulai menerima pengajuan LKE sejak tahun 2001 dari (berdasarkan urutan waktu) Rusia; Brazil; Australia; Irlandia; Selandia Baru; pengajuan bersama oleh Prancis, Irlandia, Spanyol, Inggris, dan Irlandia Utara; Norwegia, Prancis dan Meksiko (CLCS, 2008).1 Makalah ini membahas pengajuan LKE oleh Indonesia dengan menitikberatkan pada analisis kemajuan pelaksanaan, status terkini dan permasalahan yang terjadi sekaligus opsi solusi untuk mengatasi persoalan yang berhasil diidentifikasi.

2 Definisi Landas kontinen

Perkembangan klaim landas kontinen diawali dengan “Proklamasi Truman” tahun 1945, oleh Presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman, atas landas kontinen di sekitar Amerika Serikat. Hal ini diikuti oleh negara pantai lainnya seperti Chile dan Peru tahun 1947, dan Ekuador tahun 1950. Heidar (2004) menegaskan bahwa ketiga Negara Amerika Selatan ini mengklaim kedaulatan penuh atas landas kontinen hingga 200 M, meskipun pada kenyataannya mereka, secara fisik, bahkan tidak memiliki landas kontinen hingga 200 M lepas pantai. Fenomena lain bagi perkembangan konsep landas kontinen adalah kemajuan teknologi yang pesat, terutama yang terkait teknik pengeboran lepas pantai. Hal ini memungkinkan negara pantai untuk menjangkau dan mengelola sumberdaya di dalam atau pada dasar laut di luar laut teritorial secara lebih leluasa (Heidar, 2004).

Dalam rangka mencegah adanya klaim yang eksesif serta menghindari ketidakpastian, maka dilakukanlah usaha kodifikasi hukum internasional yang mengatur landas kontinen. Definisi landas kontinen termutakhir diatur dalam Pasal 76 UNCLOS yang merupakan hasil dari Konferensi PBB tentang Hukum Laut ketiga yang berlangsung selama 9 tahun (1973-1982).

Pasal 76 (1) UNCLOS mengatur definisi legal dari landas kontinen sebagai berikut:

1

Data per tanggal 14 Maret 2008, lihat juga http://www.un.org/Depts/los/clcs_new/clcs_home.htm untuk mengetahui dokumentasi pengajuan LKE oleh masing-masing negara pantai.

(3)

“terdiri atas dasar laut dari bagian bawah laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut teritorial di sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratnya hingga batas terluar tepian kontinen, atau hingga jarak 200 M dari garis pangkal laut wilayah jika batas terluar kontinen tidak mencapai jarak tersebut (200 M).”

Delineasi dan pengajuan batas terluar landas kontinen diperlukan untuk landas kontinen lebih dari 200 M dari garis pangkal, yang dalam hal ini didefinisikan dalam ayat 4, 5 dan 6 Pasal 76. Beberapa hal penting terkait penentuan batas terluar landas kontinen meliputi garis pangkal, kaki lereng, garis formula (Garis Gardiner dan Hedberg), dan syarat pembatas (garis 350 M dan 2500 isobath + 100 M) seperti yang juga diilustrasikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Profil dasar laut dan penentuan batas terluar landas kontinen

Seperti yang terlihat pada Gambar 1, garis pangkal merupakan referensi pengukuran klaim maritim. Dari sini juga diukur beberapa formula maupun syarat pembatas dalam menentukan batas terluar LKE. Penentuan LKE memerlukan data dan informasi tentang profil dasar laut, terutama posisi kaki lereng (Foot of Slope, FOS). Selain itu informasi tentang sedimen juga sangat penting. Batas terluar LKE (Lihat Gambar 1) ditentukan dengan mengaplikasikan ketentuan kriteria formula dan syarat pembatas dengan ketentuan:

1. Batas terluar LKE didasarkan pada tempat kedudukan titik-titik tetap yang mendelineasi ketebalan batu endapan (sedimentary rock) setidaknya 1 % dari jarak terdekat antara titik tersebut dengan kaki lereng yang disebut Gardiner Line, atau 2. Berdasarkan jarak 60 M dari kaki lereng yang dikenal dengan Hedberg Line.

3. Batas terluar dari landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal, atau

(4)

Petunjuk teknis dan ilmiah penentuan batas terluar LKE ini ditetapkan secara resmi oleh CLCS dalam Scientific and Technical Guidelines of the Commission on the Limits of the

Continental Shelf (CLCS, 1999). Untuk kepentingan teknis, prosedur penentuan LKE ini juga

dijabarkan dalam Manual on the Technical Aspects of the United Nations Convention on the

Law of the Sea (TALOS) (International Hydrographic Bureau, 2006).2

Dengan menerapkan dua kriteria formula dan dua syarat pembatas, batas terluar landas kontinen bisa ditentukan seperti diilustrasikan dalam perspektif 2 dimensi seperti pada Gambar 2. Bisa dilihat bahwa dua garis dibuat berdasarkan kriteria ketebalan batuan endapan 1% dan 60 M dari FOS untuk membentuk batas terluar landas kontinen. Batas terluar bisa merupakan kombinasi kedua garis tersebut dan hasilnya adalah yang paling menguntungkan negara pantai (terluar). Meski demikian, negara pantai harus juga mempertimbangkan syarat pembatas seperti yang dijelaskan sebelumnya. Batas terluar landas kontinen final akhirnya merupakan garis yang dibentuk oleh dua kriteria (Gardiner dan Hedberg Line) dan tidak boleh melebihi/melewati garis 350 M dari garis pangkal atau tidak melewati garis kedalaman 2500 m isobath + 100 M.

Gambar 2 Penentuan batas terluar landas kontinen (diadaptasi dari TALOS)

2

TALOS adalah petunjuk aspek teknis UNCLOS yang diusulkan oleh tiga organisasi profesi dunia:

Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC), International Hydrographic Organization (IHO),

(5)

3 Komisi Batas Landas Kontinen (CLCS) dan Prosedur Pengajuan LKE

Sesuai dengan Pasal 76 maka dibentuklah Lampiran II UNCLOS untuk mengakomodasi pembentukan CLCS. Fungsi dan peran CLCS serta prosedur pengajuan LKE oleh negara pantai diatur dalam Rules of Procedure of the Commission on the Limits of

the Continental Shelf (CLCS, 2004).

CLCS terdiri atas 21 orang ahli di bidang Geologi, Hidrografi, Oseanografi dan Geodesi, yang terdistibusi secara adil mewakili kawasan geografis negara anggota UNCLOS. Pemilihan anggota CLCS termutakhir dilakukan bulan Juni 2007 untuk masa tugas 2007-2012. Untuk keanggotaan CLCS terbaru, ada lima anggota yang terpilih mewakili Asia yaitu dari India, China, Korea Selatan, Jepang, dan Malaysia3. Masing-masing anggota akan bertugas atas nama dan dalam kapasitas pribadi.

CLCS bertanggung jawab untuk mempertimbangkan pengajuan klaim LKE yang dilakukan oleh negara pantai, membuat rekomendasi atas pengajuan tersebut serta menyediakan bantuan yang bersifat ilmiah dan teknis, jika diminta, terkait persiapan pengajuan LKE oleh negara pantai. Meski demikian, seperti diakui oleh komisi, tidak satupun Negara pantai yang mengajukan permintaan bantuan kepada CLCS terkait pengajuan LKE hingga makalah ini ditulis (CLCS, 2007)

Prosedur pengajuan LKE diatur dalam Pasal 76 (8, 9) UNCLOS yang menyatakan bahwa batas terluar landas kontinen harus diserahkan kepada CLCS (ayat 8). Selanjutnya adalah tugas CLCS untuk mempertimbangkan dan membuat rekomendasi atas pengajuan tersebut kepada negara pantai yang bersangkutan. Terkait dengan peran CLCS dalam memberikan rekomendasi ini, ada isu terkait transparansi yang akhirnya menjadi debat di kalangan para ahli (Macnab, 2004). Ayat 9 Pasal 76 menambahkan bahwa pengajuan ini harus disertai dengan peta laut dan informasi relevan lainnya, termasuk data geodetis yang secara permanen mendeskripsikan batas terluar landas kontinen. Semua data dan informasi yang dimaksud dalam ayat 9 harus diserahkan kepada Sekretaris Jendral PBB yang kemudian mengumumkan pengajuan ini dalam batas waktu yang ditentukan. Prosedur rinci mengenai pengajuan klaim LKE diatur dalam dokumen Rules of Procedure of the

Commission (CLCS/40) yang mengandung sepuluh pokok aturan yaitu aturan nomor 45-54

(CLCS, 2004).

4 Pengajuan Batas Terluar Landas Kontinen Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara pantai yang mempunyai prospek untuk mengajukan LKE dengan tenggat waktu pengajuan LKE paling awal yaitu 13 Mei 2009.

3

Lihat Rilis Pers SEA/1885 melalui http://www.un.org/News/Press/docs/2007/sea1885.doc.htm untuk informasi daftar lengkap anggota CLCS 2007-2012.

(6)

Hingga makalah ini ditulis, Indonesia belum mengajukan LKE kepada CLCS meskipun telah melakukan delineasi untuk kawasan tertentu.

4.1 Potensi Lokasi dan Keuntungan Delineasi LKE

Para ilmuwan Indonesia dari instansi terkait telah memulai persiapan pengajuan LKE Indonesia sejak tahun 2001. Penelitian dan kajian awal (desktop study) yang dilakukan beberapa pakar Indonesia menunjukkan bahwa ada peluang mengajukan LKE untuk tiga daerah berbeda yaitu di sebelah barat Sumatera, di sebelah selatan Pulau Sumba dan di sebelah utara Papua (Sutisna dkk., 2005). Sementara itu, secara institusi, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) telah melakukan delineasi dan persiapan pengajuan LKE bekerjasama dengan BPPT, LIPI, DKP, P3GL, Jawatan Hidro-Oseanografi TNI AL dan Departemen Luar Negeri. Informasi resmi dari Bakosurtanal menegaskan Indonesia berpeluang mengajukan LKE di sebelah barat Aceh, sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara serta sebelah utara Papua. Dari ketiganya, kawasan sebelah utara Papua belum diverifikasi dan rencananya akan disurvei sekitar bulan Juni 2008 (Bakosurtanal, 2008).

Dalam hal potensi keuntungan pengajuan LKE, ada dua hal utama yang bisa dipertimbangkan yaitu deklarasi hak berdaulat dan potensi ekonomi jangka panjang. Dengan berlakunya UNCLOS 1982 yang memungkinkan setiap Negara pantai mengklaim landas kontinen melebihi 200 M, maka ada kecenderung untuk menguasai seluas mungkin landas kontinen sepanjang persyaratan legal dan teknis terpenuhi. Dengan situasi ini, sebuah negara seperti Indonesia harus menyatakan klaimnya untuk mengantisipasi sengketa di masa depan.

Terkait masalah ekonomi, landas kontinen menyimpan potensi ekonomi yang sangat besar. Minyak dan gas bumi adalah dua hal yang paling utama selain cadangan mineral lainnya.4 Dengan mengajukan LKE maka Indonesia berpeluang untuk bisa memanfaatkan sumberdaya alam yang ada pada dan di dalam LKE.

4.2 Perkembangan Terkini LKE Indonesia

Penentuan batas terluar landas kontinen melebihi 200 M dari garis pangkal merupakan salah satu agenda yang dikemukakan dalam Laporan Kinerja Dua Tahun Pemerintahan SBY-JK (Susilo Bambang Yudoyono - Jusuf Kalla)5. Hal ini dipandang oleh pemerintah

4

Lihat, misalnya, Kelly (2004), Allinson (2004), Parson (2004) dan Herzig (2004) tentang sumberdaya alam yang bisa dieksploitasi dari landas kontinen.

5

(7)

sebagai salah satu agenda penting dalam rangka mewujudkan Indonesia yang aman dan damai.

Lokakarya teknis dan legal telah dilakukan dengan melibatkan institusi pemerintah dan akademisi. Pemerintah juga telah membentuk tiga organisasi terkait pengajuan LKE. Ketiganya adalah Technical Core Group (TCG) yang beranggotakan pakar-pakar dari institusi dan universitas terkait dan bersifat lintas bidang; National Steering Committee (NSC) dan Legal Group (LG).6

Dalam rangka persiapan pengajuan LKE, beberapa survei lapangan sudah dilakukan untuk beberapa kawasan maritim yang diduga memiliki potensi LKE. Tiga survei lapangan sudah dilakukan selama sekitar sepuluh tahun terakhir (1996-2006). Survei yang pertama dilakukan untuk kawasan sebelah barat Sumatera tahun 1996 dan 1997 melalui proyek

Digital Marine Resource Management (DMRM). Survei tersebut dilakukan oleh tim survei

Indonesia dengan dukungan ilmuan internasional menggunakan Kapal Sonne - BGR Jerman dengan jalur survei seperti pada Gambar 3 (Bakosurtanal, 2006). Riset lanjutan juga dilakukan antara tanggal 21 Januari hingga 25 Februari 2006 yang juga untuk kepentingan verifikasi (Bakosurtanal, 2008).

Survei yang kedua (3-21 Oktober 2006) merupakan survei batimetri juga untuk kawasan maritim di sebelah selatan Nusa Tenggara menggunakan Kapal Baruna Jaya VIII dalam rangka menentukan kaki lereng landas kontinen (FOS). Survei terkini yang dilakukan pada tanggal 11 Oktober-11 November 2006 juga menggunakan Kapal Sonne – BGR Jerman yang merupakan survei seismik untuk mengetahui ketebalan batuan endapan pada kawasan dasar laut di sebelah selatan Nusa Tenggara. Anggota tim survei ketiga ini terdiri dari Bakosurtanal, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL), Geotek-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) (Bakosurtanal, 2006).

Setelah melewati berbagai proses, telah terselesaikan delineasi LKE di sebelah barat Aceh dengan luas 3915 kilometer. Dibandingkan usaha yang dilakukan, luasan ini mungkin bisa dianggap tidak sebanding. Meski demikian, seperti ditegaskan Khafid, LKE adalah investasi masa depan. Selain itu, luasan ini baru mencakup satu kawasan dan Indonesia masih memiliki peluang dua kawasan lain (Bakosurtanal, 2008).

6

(8)

Gambar 3 Jalur survei baru sebelah barat Sumatera (adaptasi dari Bakosurtanal, 2006)

4.3 Tantangan dan Kemungkinan Penyelesaian

Mempersiapkan pengajuan LKE tentu saja bukanlah pekerjaan yang mudah. Ada banyak tantangan yang dihadapi sebuah negara pantai meliputi aspek teknis, institusi, finansial, dan politis. Dalam perspektif teknis, pelaksanaan survei lapangan merupakan tahap yang paling menantang. Tim LKE Indonesia menghadapi beberapa kesulitan teknis seperti ketersediaan dan kapabilitas kapal survei serta peralatan teknis untuk akuisisi data lapangan. Tantangan ini bisa diatasi, salah satunya, dengan berkolaborasi dengan pihak eksternal seperti German Sonne - BGR dan institusi lain yang memilki kapabilitas teknis yang diperlukan. Hal ini sudah dilakukan dalam beberapa survei teknis seperti dijelaskan sebelumnya. Meski demikian, isu pendanaan dan kerahasiaan data tentu saja merupakan dua hal yang harus dipertimbangkan secara cemat.

Ketersediaan dan sumberdaya manusia dengan kapabilitas memadai juga merupakan isu yang harus diperhatikan. Walaupun Indonesia terbukti memiliki banyak tenaga ahli seperti yang terdapat di Bakosurtanal, LIPI, P3GL, BPPT, DKP dan beberapa universitas, nampaknya koordinasi akan menjadi persoalan tersendiri. Koordinasi antarinstitusi tidak mudah dilakukan salah satunya karena keterbatasan mandat yang tertuang dalam surat keputusan. Untuk kolaborasi antarinstitusi yang berada dalam kementrian berbeda, idealnya mandat berasal dari presiden. Kenyataannya mandat semacam ini tidak ada sehingga, dalam beberapa hal, menghambat kolaborasi.7

7

(9)

Dalam perspektif finansial, ada setidaknya dua tantangan yang dihadapi yaitu biaya persiapan pengajuan LKE, dan keuntungan yang akan diperoleh setelah pengajuan LKE tersebut. Dengan memahami bahwa Indonesia (saat makalah ini ditulis) sedang menghadapi berbagai masalah lain yang sangat penting dan memerlukan pendanaan yang tidak sedikit, biaya persiapan LKE yang meliputi survei lapangan dan persiapan dokumen akan dinilai sangat mahal. Meski demikian, keuntungan yang akan diperloleh dari pengajuan LKE bukanlah sesuatu yang dapat dirasakan secara langsung dan dalam waktu sekejap. Hal ini bukanlah proses yang bisa dinilai dengan segera (instan). Pengajuan LKE merupakan suatu investasi jangka panjang untuk masa depan, untuk opurtunitas yang mungkin bisa dinikmati oleh generasi penerus Indonesia suatu saat.

Selain pentingnya isu mengenai aspek teknis dan legal terkait pengajuan LKE, hal lain yang harus diperhatikan adalah dimensi politis. Hal khusus yang mungkin akan mendatangkan kesulitan tersendiri adalah dalam hal meyakinkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tentang pentingnya pengajuan LKE ini. Tim LKE Indonesia tentu saja sudah mempertimbangkan hal ini dan semestinya sudah memiliki strategi untuk bekerjasama dengan DPR demi tercapainya kepentingan nasional. Mengingat saat makalah ini ditulis persiapan sudah hampir final maka semestinya TIM LKI sudah melakukan pemaparan kepada legislatif dan melakukan upaya terbaik untuk memperoleh dukungan. Isu kedaulatan dan hak berdaulat adalah salah satu alasan yang secara politis harus dipandang strategis.

5 Kesimpulan dan Saran

Saat makalah ini ditulis, Indonesia belum mengajukan LKE kepada CLSC, namun begitu persiapan serius sedang dilakukan oleh berbagai pihak terkait sebelum tenggat waktu tanggal 13 Mei 2009. Tim LKE Indonesia sudah menyelesaikan delineasi di sebelah barat Aceh, walaupun luasannya bisa dianggap belum memadai. Sementara itu, tantangan yang secara potensial dihadapi oleh tim LKI adalah berupa isu teknis, institusi, finansial, dan politis yang memerlukan pertimbangan sungguh-sungguh. Mengingat ada banyak sekali tugas yang harus diselesaikan sebelum tenggat waktu pengajuan, penelitian yang serius dan berkelanjutan sangat diperlukan melalui kolaborasi yang saling mendukung antar sesama anggota tim dan pihak lain yang terkait.

6 Ucapan Terima Kasih

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Australian National Centre for Ocean

Resources and Security (ANCORS) di University of Wollongong, Australia atas fasilitas

penelitian yang disediakan. Penghargaan juga disampaikan kepada UN-Nippon Foundation

(10)

7 Daftar Pustaka

---, (2006). Laporan Kinerja Dua Tahun Pemerintahan SBY-JK

Allinson, G. J. (2004). Resources of the Shelf - Non-Hydrocarbon Resources. dalam Nordquist, M. H., Moore, J. N., and Heidar, T. H. (editor) Legal and Scientific Aspect of the Continental Shelf Limits, Martinus Nijhoff Publishers.

Bakosurtanal, (2006). BAKOSURTANAL goes to high seas again. Diakses tanggal 10 April 2007 dari http://www.bakosurtanal.go.id/?m=30&p=5&view=79

Bakosurtanal, (2008). Indonesia Klaim Wilayah Seluas Pulau Madura. Diakses tanggal 10 Maret 2008 dari http://www.bakosurtanal.go.id/?m=30&view=178

CLCS, (1999). Scientific and Technical Guidelines of the Commission on the Limits of the Continental Shelf. Diakses tanggal 10 April 2007 dari

http://www.un.org/Depts/los/clcs_new/commission_documents.htm

CLCS, (2004). CLCS/40 - Rules of Procedure of the Commission on the Limits of the Continental Shelf. Diakses tanggal 3 Juli 2007 dari

http://www.un.org/Depts/los/clcs_new/commission_documents.htm

CLCS, (2007). Statement by the Chairman of the Commission on the Limits of the Continental Shelf on the progress of work in the Commission - Nineteenth session.

Diakses tanggal 10 Oktober 2007 dari

http://www.un.org/Depts/los/clcs_new/commission_documents.htm

CLCS, (2008). Commission on the Limits of the Continental Shelf. Diakses tanggal 12 Maret 2008 dari http:/www.un.org/Depts/los/clcs_new/clcs_home.htm

Heidar, T. H., (2004). Legal aspects of continental shelf limits. dalam Nordquist, M. H., Moore, J. N., and Heidar, T. H. (editor) Legal and Scientific Aspect of the Continental Shelf Limits, Martinus Nijhoff Publishers. Pp 19 – 39

Herzig, P. M. (2004). Resources of the Shelf - Concluding Remarks. dalam Nordquist, M. H., Moore, J. N., and Heidar, T. H. (editor) Legal and Scientific Aspect of the Continental Shelf Limits, Martinus Nijhoff Publishers.

International Hydrographic Bureau (2006). A Manual on Technical Aspects of the United Convention on the Law of the Sea (TALOS), Special Publication No 51, 4th edition, Monaco

Kelly, P. L. (2004). Resources of the Shelf - New Developments in Oil Exploration in the

Northeast Atlantic. dalam Nordquist, M. H., Moore, J. N., and Heidar, T. H. (editor)

Legal and Scientific Aspect of the Continental Shelf Limits, Martinus Nijhoff Publishers. Macnab, R. (2004). The Case for Transparency in the Delimitation of the Outer Continental

Shelf in Accordance with UNCLOS Pasal 76, Ocean Development & International Law,

Volume 35, Taylor & Francis. Pp 1–17

Parson, L. (2004). Resources of the Shelf - Seafloor Massive Sulfide Deposits and

Hydrothermal Systems. dalam Nordquist, M. H., Moore, J. N., and Heidar, T. H. (editor)

Legal and Scientific Aspect of the Continental Shelf Limits, Martinus Nijhoff Publishers. Sutisna, S., Patmasari, T., and Khafid, (2005). Indonesian Searching for Its Continental Shelf Outer Limits. Proceeding of the 2005 ABLOS Tutorials & Conference "Marine Scientific Research and the Law of the Sea: the Balance between Coastal State and International Rights" 10-12 Oktober, International Hydrographic Bureau, Monaco.

Gambar

Gambar 1 Profil dasar laut dan penentuan batas terluar landas kontinen
Gambar 2 Penentuan batas terluar landas kontinen (diadaptasi dari TALOS)
Gambar 3 Jalur survei baru sebelah barat Sumatera (adaptasi dari Bakosurtanal, 2006)

Referensi

Dokumen terkait

Tanpa keberadaan serangga, dunia akan menjadi tempat yang mungkin berbeda dari apa yang kita lihat sekarang, dibutuhkan penglihatan yang sangat teliti terhadap serangga agar dapat

Tidak semua makam di kompleks makam tersebut memiliki motif maka hanya makam yang memiliki motif yang menjadi fokus penelitian yaitu makam Andi Audi

Berbekal pemahaman Kalian tentang karakteristik soal rutin dan soal non rutin yang dikaitkan dengan materi pelajaran matematika pada setiap jenjang kelas di

Permasalahan yang terjadi adalah perusahaan ini berencana untuk mengganti peralatan yang digunakan tersebut, karena dinilai kinerja alat-alat tersebut sudah menurun, namun

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan hasil penelitian antara lain sebagai berikut: Berdasarkan hasil pengolahan data secara parsial

Untuk mendukung pembangunan, strategi kebijakan karantina ikan perlu dilakukan secara terarah dan berkesinambungan serta mengintergrasikan prinsip pembangunan

Setelah dilakukan penelitian, peneliti menemukan keunggulan-keunggulan dari strategi active sharing knowledge pada saat proses pembelajaran berlangsung yaitu yang pertama

Hasil penelitian ini, ditemukan bahwa E-Service Quality memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Kepuasan Konsumen; Kepuasan Konsumen memiliki pengaruh yang positif