• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh keuntungan dari hasil kegiatan usaha. Untuk memperoleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh keuntungan dari hasil kegiatan usaha. Untuk memperoleh"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya tujuan pelaku usaha mendirikan suatu perusahaan adalah untuk memperoleh keuntungan dari hasil kegiatan usaha. Untuk memperoleh keuntungan yang besar, pelaku usaha harus dapat menguasai pangsa pasar dengan mengungguli pelaku usaha pesaingnya. Para pelaku usaha akan saling bersaing untuk menarik lebih banyak konsumen dengan menjual produk pada tingkat harga serendah mungkin, meningkatkan mutu produk dan memperbaiki pelayanan kepada konsumen. Perilaku pelaku usaha dan pesaingnya dalam memperebutkan konsumen dalam suatu pasar demi memperoleh keuntungan merupakan suatu bentuk persaingan dalam bidang ekonomi, yakni persaingan usaha.1

Dalam dunia bisnis, penjual biasanya mengeluarkan biaya-biaya tertentu, baik itu melalui iklan atau inovasi teknologi yang bisa jadi berjumlah sangat besar. Demi memenangkan persaingan, pelaku usaha sering kali juga harus menekan harga yang kemudian dapat memicu turunnya harga-harga produk sejenis yang dijual oleh pelaku usaha pesaingnya demi mengungguli lawan usahanya tersebut. Hal ini menyebabkan pelaku usaha dan pelaku usaha pesaingnya memiliki kecenderungan untuk menghindari persaingan dan berusaha memperoleh keuntungan bersama-sama baik dengan cara menetapkan harga, melakukan pembagian wilayah sampai dengan mengatur pasokan barang.

(2)

Kecenderungan pelaku usaha untuk menghindari persaingan telah dirasakan sejak dahulu, dapat dilihat dari pernyataan Adam Smith dalam bukunya yang berjudul The Wealth of Nations, yang mengemukakan bahwa:

People of the same trade seldom meet together, even for the merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices.2

Perilaku pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terhambatnya persaingan lambat laun akan menimbulkan dampak negatif baik kepada pembeli maupun pelaku usaha sendiri. Pembeli mengalami kerugian karena tidak mendapatkan harga yang sesuai dengan mekanisme pasar sementara para pelaku usaha yang tidak terbiasa dengan budaya persaingan akan mengalami kesulitan untuk bersaing dengan pelaku-pelaku usaha lainnya yang datang dari luar negeri.3

Salah satu bentuk pembatasan persaingan tertua4 sekaligus tindakan kolutif oleh pengusaha yang dianggap paling berbahaya dalam dunia bisnis adalah kartel5. Kartel dianggap sangat berbahaya karena dapat menciptakan kondisi pasar yang tidak sehat dimana hal tersebut menimbulkan kerugian yang besar kepada konsumen atau dengan kata lain kepada masyarakat pada umumnya. Para pelaku kartel bersama-sama menetapkan harga, sehingga mengakibatkan masyarakat harus membeli barang atau jasa dengan harga tinggi yang tidak semestinya

2 Mueller, “Glossay of Antitrust Terms”, Antitrust and Economic Review, Vol. 26, No. 4 dalam Arie

Siswanto, Ibid, hlm. 32.

3 Salah satu dampak globalisasi adalah pasar bebas. Pasar domestik memiliki tantangan baru untuk

bersaing dengan penjual-penjual lain yang berasal dari luar negeri. Penjual-penjual yang datang tersebut biasanya datang dari negara-negara maju dimana persaingan telah lama dipraktekkan.

4 M. Udin Silalahi, “Perjanjian Horisontal di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Januari-Februari, Vol.

10, 2003, hlm. 69.

5 Prof. Dr. Didik J. Rachbini, “Antimonopoly and Fair Competition Law No.5/1999: Cartel and

Merger Control In Indonesia” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 19, 2002, hlm. 11, menyatakan bahwa: “Cartel or horizontal price agreement is widely recognized as the most dangerous monopoly practices in the business world.”

(3)

dikeluarkan apabila harga tersebut telah tercipta melalui mekanisme pasar yang sehat.

Berdasarkan statistik jumlah penanganan perkara hukum persaingan usaha yang masuk ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dari tahun 2000 sampai dengan 2010 diketahui bahwa kasus persaingan usaha di Indonesia masih didominasi oleh kasus tender, yakni sebesar 69%. dan 31% kasus persaingan usaha sisanya adalah kasus non tender selain kartel. Kartel sendiri telah mencapai angka 2,2% dari keseluruhan jumlah kasus yang masuk.6

Meskipun begitu, tidak semua kasus kartel yang masuk berhasil terselesaikan dengan baik. Banyak kasus-kasus kartel yang akhirnya dibatalkan oleh pengadilan7 dikarenakan oleh lemahnya pembuktian terhadap kartel oleh KPPU8 dan kurangnya pemahaman tentang hukum persaingan usaha oleh para hakim pengadilan negeri.9

Pembuktian kartel seringkali terhambat karena otoritas persaingan usaha mengalami kesulitan dalam membuktikan eksistensi adanya kartel, yaitu menemukan bukti adanya perjanjian dimana pelaku usaha saling bersepakat untuk melakukan kartel. Pelaku-pelaku usaha seringkali membuat perjanjian kartel

6 Riris Munadiya, “Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence) dalam Penanganan Kasus Persaingan

Usaha”, Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 5, 2011, hlm. 159

7 Beberapa Putusan KPPU terkait kartel yang dibatalkan oleh kartel, yakni: Putusan KPPU dalam

Kartel Minyak Goreng dan Putusan KPPU terhadap Kartel Fuel Surcharge.

8 Kelemahan dalam upaya membuktikan kartel ini salah satunya disebabkan oleh tidak adanya

kewenangan KPPU untuk melakukan penggeledahan, sehingga KPPU kesulitan memperoleh bukti langsung dari aktivitas kartel. Lihat pula artikel mengenai hal ini dalam Keterbatasan Wewenang KPPU Hambat Penuntasan Kartel, Jakarta, 23 Maret 2013, ditelusuri melalui http://www.hukumonline.com/berita/ baca/lt51504b2ed3574/keterbatasan-wewenang-kppu-hambat-penuntasan-kartel pada tanggal 23 Januari 2014 pukul 22.21 WIB

9 Sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa, Jakarta, Jumat

(11/3/2011) dalam artikel oleh Andi Saputra, MA Akui Hakim Pengadilan Negeri ‘Gagap’ Hukum Persaingan, Jakarta: detikfinance, 11 Maret 2011, 21:37 WIB diakses melalui

(4)

secara tidak tertulis sehingga tidak terdapat bukti fisik atau bukti langsung (direct evidence) mengenai kejahatan kartel yang mereka lakukan. Sifat kartel yang sangat rahasia inilah yang menjadikan kartel sebagai salah satu kejahatan di bidang persaingan usaha yang sangat sulit dideteksi di dunia. Hal inilah yang kemudian memicu dunia penegakan hukum kartel untuk menemukan metode atau terobosan baru dalam mengatasi kesulitan pembuktian kartel.10

Pada tahun 1978, Amerika Serikat melalui Department of Justice (DoJ) memperkenalkan sebuah terobosan baru dalam upaya pemberantasan praktek kartel yang berupa pemberian ampunan atau amnesti atau penghapusan sanksi hukum terhadap pelaku kejahatan kartel. Pemberian ampunan ini secara spesifik diberikan kepada anggota kartel yang pertama kali melaporkan kegiatan kartelnya secara sukarela ke Antitrust Division. Pemberian keringanan sanksi kepada anggota kartel demikian ini disebut dengan leniency program.11

Pada awalnya leniency program bukanlah sebuah lembaga yang dianggap dapat efektif melakukan pemberantasan kartel. Akan tetapi, setelah leniency policy direvisi pada tahun 1993, leniency program mulai menuai kesuksesan. Antitrust Division memperoleh banyak permohonan leniency dan berhasil membongkar jaringan kartel internasional di bidang industri farmasi, yakni kartel vitamin (vitamin cartel) yang melibatkan perusahaan multinasional Jerman, Swiss dan Prancis. Leniency program membuat gebrakan dengan keberhasilannya dalam

10 OECD, Using Leniency to Fight Hardcore Cartel, September 2011, ditelusuri melalui http://www

.oecd.org/daf/ca/1890449.pdf pada tanggal 28 September 2013 Pukul 19.00 WIB

11 Scott D. Hammond. Cornerstones Of An Effective Leniency program ditelusuri melalui

http://www.justice.gov/atr/public/speeches/206611.htm pada tanggal 1 Juni 2013 pukul 16.27 WIB, menyatakan bahwa: ”Since then (revised in 1993), there has been a nearly twenty-fold increase in the application rate, and it has resulted in the cracking of dozens of large international cartels.”

(5)

membongkar praktek kartel vitamin yang telah berlangsung selama hampir satu dekade dan mencetak sejarah di bidang persaingan usaha dengan berhasil menghukum anggota-anggota kartel dengan nilai denda yang sangat besar hingga mencapai sekitar US$ 500 juta. Dengan ini, leniency program kemudian semakin diakui sebagai alat investigasi paling efektif dalam membongkar kartel. Leniency program kemudian mulai diadopsi oleh Kanada, Inggris, Prancis, Jerman dan kemudian Uni Eropa dengan berbagai pengembangan dan penyesuaian yang diperlukan dengan masing-masing negara.12

Dengan adanya leniency program, otoritas persaingan usaha memiliki peluang untuk memperoleh informasi dari dalam kartel (inside information) dan memperoleh bukti adanya perjanjian sehingga dapat menindaklanjuti penyelidikan yang semula terhambat karena bukti permulaan yang kurang. Terlebih lagi dalam perkembangannya, leniency program juga memungkinkan otoritas persaingan usaha untuk dapat membongkar kartel-kartel yang belum pernah diketahui atau terdeteksi sebelumnya.13

Telah banyak negara yang menggunakan leniency program dalam instrumen hukum persaingan usahanya, beberapa diantaranya adalah Amerika Serikat, European Commision (EC), Jepang, Brazil dan juga telah diadopsi oleh Singapura. Melihat semakin banyaknya negara yang mengadopsi leniency program dalam hukum persaingannya, tidaklah mengherankan apabila KPPU sebagai otoritas persaingan usaha di Indonesia menganggap lembaga tersebut

12 Ibid.

(6)

sebaiknya juga dimiliki Indonesia sebagai salah satu upaya penting dalam pemberantasan kartel di Indonesia. 14

Meskipun leniency program telah banyak diakui sebagai suatu alat investigasi yang paling sukses dalam mengungkap dan menangani kartel di negara-negara yang telah mengadopsinya, lembaga tersebut tidak serta merta dapat diadopsi di Indonesia. Penyebabnya tidak lain adalah karena dalam UU No.5/1999 tidak dikenal suatu lembaga pemberian pengampunan seperti leniency program dan Undang-Undang tidak memberikan kewenangan yang memungkinkan kepada KPPU guna mengeluarkan suatu peraturan untuk membentuk suatu lembaga seperti leniency program.

Penulis menyadari bahwa telah terdapat suatu kesamaan pendapat yang berkembang di kalangan baik akademisi maupun praktisi di bidang persaingan usaha yang mendesak agar amandemen terhadap UU No.5/1999 segera dilaksanakan. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti mengenai leniency program secara lebih mendalam, dengan harapan bahwa nantinya amandemen terhadap UU No.5/1999 menjadi kesempatan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada dalam hal peran dan fungsi KPPU sebagai otoritas persaingan usaha dan mengadopsi leniency program yang dapat menjadi suatu loncatan besar bagi penegakan hukum persaingan usaha, khususnya dalam pemberantasan praktek kartel di Indonesia.

14 KPPU memperlihatkan keinginan yang kuat untuk memiliki lembaga bernama leniency program ini

melalui berbagai media publikasi. KPPU sebelumnya pernah merumuskan pengaturan leniency dalam draf Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Kartel yang diatur dalam Bab V Perkom tersebut, tetapi akhirnya mengalami pengaturan leniency tersebut dihilangkan. Lihat artikel dalam Hukumonline, KPPU Tawarkan Insentif Untuk ‘Pembongkar’ Kartel, Jakarta, 15 Agustus 2010 ditelusuri melalui http://www.hukumonline.com /berita/baca/lt4c68031 569026/kppu-tawarkan-insentif-untuk-pembongkar-kartel pada tanggal 15 Juli 2013 pukul 17.15 WIB

(7)

Dalam penelitian ini, penulis akan terlebih dahulu melakukan penelitian mengenai sepak terjang leniency program di beberapa negara dengan melihat pengaturannya dan bagaimana lembaga tersebut dapat mengoptimalkan penanganan kasus kartel di negara-negara tersebut. Di akhir, penulis juga akan mencoba untuk menyusun suatu model dalam pengaturan leniency program di Indonesia apabila lembaga tersebut dapat diterapkan di Indonesia melalui revisi UU No.5/1999. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis tertarik untuk membuat Penulisan Hukum dengan judul “Leniency program sebagai Upaya

Alternatif Penanganan Kasus Kartel dalam rangka Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan dan implementasi leniency program dalam mencegah dan mengatasi praktek kartel di beberapa negara?

2. Dapatkah leniency program diadopsi dalam hukum persaingan usaha Indonesia dan menjadi alat investigasi yang efektif dalam menangani kasus kartel di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan obyektif dan subyektif sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif

(8)

a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan dan implementasi leniency program di beberapa negara;

b. Untuk mengetahui apakah leniency program dapat secara efektif memberantas kartel di Indonesia dan mengetahui model Leniency program yang dapat mengoptimalkan kinerja KPPU dalam penanganan kartel di Indonesia.

2. Tujuan Subyektif

Tujuan Subyektif dari adanya penelitian ini adalah untuk memperoleh data-data yang diperlukan sebagai bahan untuk penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat, baik untuk manfat akademis maupun untuk manfaat praktis.

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan dan pengayaan dalam Hukum Persaingan Usaha dan Anti Monopoli untuk mengetahui dan membandingkan mengenai Leniency program sebagai salah satu upaya penegakan hukum persaingan usaha dalam menangani kejahatan kartel di berbagai negara sehingga dapat memberikan gambaran mengenai lembaga tersebut apabila nantinya diadopsi dalam hukum persaingan usaha di Indonesia.

(9)

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat mampu memberikan sumbangan pikiran mengenai leniency program kepada pelaku kegiatan ekonomi di Indonesia agar menghindari diri dari tindakan-tindakan anti persaingan dan kepada KPPU sebagai otoritas persaingan usaha di Indonesia. Penelitian ini juga sebagai masukan dalam hal penanganan kartel yang merupakan salah satu pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha yang paling sulit untuk dideteksi maupun dibuktikan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai bahaya dan dampak yang ditimbulkan akibat kejahatan kartel di seluruh belahan dunia, baik negara maju maupun berkembang. Sehingga diharapkan dapat menimbulkan kesadaran untuk berpartisipasi dalam menjaga iklim usaha di Indonesia dengan mempraktekkan budaya persaingan yang sehat.

E. Keaslian Penelitian

Untuk melihat keaslian penelitian, telah dilakukan penelusuran penelitian pada berbagai referensi dan hasil penelitian dalam media cetak maupun

elektronik, penulis telah menemukan beberapa judul penelitian mengenai

Leniency program dan kaitannya terhadap penegakan hukum terhadap kerjahatan kartel di Indonesia, yakni:

1) Sebuah Tesis dengan judul “Studi Komparatif Leniency program untuk Pembuktian Kartel dalam Antitrust Law di Amerika Serikat dan Antimonopoly Law di Jepang” oleh Christina Aryani, Fakultas Hukum,

(10)

Program Studi Magister Ilmu Hukum Kekhususan Hukum Ekonomi, Universitas Indonesia, 2012.

Tesis ini membahas mengenai pengaturan dan implementasi leniency program dalam rezim Antitrust Law di Amerika Serikat dan Antimonopoly Law di Jepang serta bagaimana kemungkinan untuk leniency program tersebut diterapkan dalam hukum persaingan di Indonesia. Pembahasan mencakup segi peraturan, kewenangan lembaga atau otoritas persaingan usaha, dan sanksi dalam kartel dan leniency program di kedua negara tersebut. Hasil penelitian dari penulis adalah menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan amandemen terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan melalui amandemen tersebut juga meningkatkan sanksi denda administratif kepada pelaku kartel.15

2) Sebuah Skripsi dengan judul “Leniency program dalam Penyelesaian Kasus Kartel dalam rangka Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia" oleh Anastasia Warokka, Fakultas Hukum, Program Peminatan Hukum Ekonomi dan Bisnis, Universitas Katolik Atma Jaya, 2012.

Dalam penelitian tersebut yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah mengenai dampak leniency program terhadap pembentukan dan stabilitas kartel, pengaturan leniency program untuk menyelesaikan kasus kartel dalam hukum persaingan usaha di negara lain, dan yang terakhir adalah dapat tidaknya leniency program diintegrasikan dalam hukum persaingan usaha Indonesia agar dapat menyelesaikan kasus kartel secara

15 Dapat diakses melalui Perpustakaan Universitas Indonesia melalui website: http://lontar.ui.ac.id/

(11)

efektif. Dari hasil penelitian tersebut, menunjukkan bahwa leniency program memiliki dampak terhadap pembentukan dan stabilitas kartel yang mengakibatkan leniency program dapat berfungsi sebagai salah satu pencegahan terhadap lahirnya praktek-praktek kartel baru, dan perlunya amandemen terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, serta dibutuhkan kerjasama antara KPPU, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung dalam rangka pelaksanaan leniency program.16

3) Sebuah tulisan oleh Dr. A.M. Tri Anggraini, S.H., M.H. yang dipublikasikan dalam Jurnal Persaingan Usaha Edisi 6 Tahun 2011 dengan judul “Program Leniency dalam Mengungkap Kartel Menurut Hukum Persaingan Usaha”.17

Dalam tulisan tersebut dijelaskan mengenai konsep kartel dalam hukum persaingan, khususnya sebagai perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan mengenai gambaran leniency program di beberapa negara secara singkat. Dalam tulisan ini juga dijelaskan bahwa upaya melakukan amandemen terhadap UU Nomor 5 Tahun 1999 diperlukan untuk mengatur program leniency dan agar terdapat dasar bagi KPPU untuk membuat suatu pedoman dalam hal penanganan kartel secara lebih efektif.

Sementara dalam penulisan hukum ini, penelitian yang dilakukan oleh penulis mencakup pembahasan mengenai beberapa peraturan leniency program di

16 Dapat diakses melalui Perpustakaan UNIKA Atma Jaya melalui website: https://lib.atmajaya.

ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=181115

17 Dapat diakses melalui website resmi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU): http://www.

(12)

beberapa negara yang dianggap maju dan memiliki perbedaan-perbedaan yang cukup untuk dijadikan bahan perbandingan dalam rangka mengetahui dan menambah wawasan mengenai pelaksanaan leniency program. Penulis menggunakan tiga jurisdiksi hukum persaingan usaha yang berbeda, yakni menurut Antitrust Law di Amerika Serikat, Competition Law di Uni Eropa, dan Antimonopoly Law di Jepang, serta implementasi penggunaan leniency program di ketiga jurisdiksi tersebut dalam menyelesaikan beberapa kasus kartel besar yang terjadi dalam wilayah jurisdiksinya masing-masing.

Pembahasan mengenai peraturan dan implementasi leniency program di ketiga jurisdiksi ini kemudian akan dihubungkan dengan permasalahan selanjutnya yang dibahas dalam penulisan ini, yakni mengenai bagaimana kemungkinan pengadopsian lembaga leniency dalam hukum persaingan usaha di Indonesia dan hal-hal apa saja yang dirasa penting untuk menunjang leniency program sebagai upaya alternatif dalam penanganan kasus kartel di Indonesia dengan melihat pengalaman lenieny program di negara-negara yang dibahas dalam penelitian.

Adapun penelusuran mengenai adanya penelitian yang terkait judul yang diajukan penulis yang dilakukan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa tidak terdapat penelitian yang berkaitan dengan judul yang diajukan Penulis, yaitu mengenai “Leniency program sebagai

Upaya Alternatif Penanganan Kasus Kartel dalam rangka Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia”.

(13)

Apabila terdapat kesamaan antara penelitian yang Penulis lakukan dengan penelitian sebelumnya, maka penelitian ini berfungsi sebagai pelengkap atas penelitian yang telah ada. Dengan demikian, peneliti menjamin keaslian penelitian ini dan dapat dipertanggungjawabkan.

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Dalam menyusun Penulisan Hukum ini, penulis menggunakan metode yuridis normatif, yaitu metode yang difokuskan untuk mengkaji penerapan-penerapan, kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.18 Penelitian dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan, yakni dengan mengumpulkan dan mempelajari data yang bersumber dari buku, literatur, jurnal ilmiah, dokumen-dokumen peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan obyek penelitian yang meliputi: 1) Bahan Hukum Primer, yang terdiri dari:

a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Persaingan Usaha dan Anti Monopoli

b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

c) Peraturan-peraturan Komisi yang dikeluarkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha

2) Bahan Hukum Sekunder, yang terdiri dari:

18 Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2006,

(14)

a) buku-buku tentang hukum persaingan usaha b) buku-buku tentang pengawasan persaingan usaha

c) bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan hukum persaingan usaha beserta penegakan hukum persaingan usaha, yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.

d) majalah-majalah tentang hukum bisnis maupun persaingan usaha

e) jurnal ilmiah dan artikel-artikel terkait. 3) Bahan Hukum Tersier, yang terdiri dari:

Bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap Bahan Hukum Primer dan Sekunder, berupa Kamus Umum, Kamus Hukum dan Kamus Ekonomi.

4) Alat Pengumpul Data:

Data dikumpulkan melalui studi dokumen.

2. Analisis Data

Metode mengolah data yang digunakan dengan mengumpulkan data-data yang akan diolah dan dianilis secara:

a. Kualitatif

Yaitu suatu analisis yang mengelompokan dan memilih data yang diperolh dari hasil penelitian kemudian dihubungkan dengan masalah yang akan diteliti menurut kualitas dan kebenaran sehingga dapat menjawab permasalahan.

(15)

Dalam menyusun dan menganalisis data akan digunakan cara berfikir deduksi, induksi, dan komparatif sebagai berikut :

1. Cara berpikir deduksi adalah cara berfikir yang bersifat umum, kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus.

2. Cara berfikir induksi adalah cara berfikir yang bersifat khusus kemudian diterapkan pada hal-hal yang bersifat umum.

3. Cara berfikir komparatif adalah cara berfikir yang merupakan penyimpulan dari perbandingan antara ketentutan hukum dengan ketentuan hukum atau fakta dengan fakta lainnya.

Selain itu semua data yang telah terkumpul akan ditafsirkan dengan penafsiran dengan penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis dan penafsiran komparatif sebagai berikut :

1. Penafsiran gramatikal digunakan karena penting dalam menafsirkan ketentuan-ketentuan hukum terikat pada bahasa. 2. Penafsiran sistematis digunakan dengan asumsi bahwa setiap

peraturan hukum selalu berkaitan dan berhubungan dengan peraturan hukum lain.

3. Penafsiran komparatif digunakan karena penting terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional

(16)

Setelah ditafsrikan kemudian dilakukan analisa untuk sampai pada kesimpulan yang diharapkan. Penarikan kesimpulan digunakan dengan metode :

• Metode deduksi yaitu bahan hukum yang bersifat umum diterapkan pada hal-hal yang bersifat konkrit;

• Metode induksi yaitu dengan mencocokkan hal-hal yang bersifat khusus dengan ketentuan yang merupakan bahan hukum yang bersifat umum.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan Penetapan Pemenang Paket Pekerjaan PEMBANGUNAN GEDUNG KANTOR CAMAT BOLANGITANG

Dengan ini kami Kelompok Kerja (Pokja) I Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Barito Timur mengundang Calon Penyedia Barang/Jasa untuk dapat menghadiri Pembuktian Kualifikasi

[r]

Alor Tahun Anggaran 2016 melalui Surat Penetapan Pemenang Pelelangan Umum Nomor: 503.ULP/POKJA KONST/VI/2016 tanggal 24 Juni 2016 telah menetapkan Pemenang Pelelangan Umum

Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Janabadra Yogyakarta. Keperluan :

Pada hari ini Rabu tanggal Sepuluh bulan Agustus Tahun Dua Ribu Enam Belas kami selaku Kelompok Kerja III Unit Layanan Pengadaan Kabupaten Barito Timur yang ditetapkan berdasarkan

Sehubungan dengan Pelelangan Paket Pekerjaan Pembuatan Tanggul dan Normalisasi Sungai Lawe Kute Desa Muara Batu pada Dinas Pengairan Kabupaten Aceh Tenggara Sumber Dana APBK