• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA TANGGOMO SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TRADISI LISAN GORONTALO MAKALAH NONSEMINAR RAHMATIA AYU WIDYANINGRUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA TANGGOMO SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TRADISI LISAN GORONTALO MAKALAH NONSEMINAR RAHMATIA AYU WIDYANINGRUM"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

TANGGOMO SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TRADISI LISAN

GORONTALO

MAKALAH NONSEMINAR

diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

RAHMATIA AYU WIDYANINGRUM

1006699511

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI INDONESIA

DEPOK

FEBRUARI 2014

(2)
(3)
(4)

Tanggomo sebagai Salah Satu Bentuk Tradisi Lisan Gorontalo

Rahmatia Ayu Widyaningrum, Syahrial

Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia rahmagroupcompany@gmail.com

Abstrak

Tanggomo adalah tradisi lisan masyarakat Gorontalo yang mempunyai sistem teratur yang diciptakan berdasarkan peristiwa nyata dan yang dianggap nyata dalam masyarakat. Cara penyampaian cerita Tanggomo murni melalui lisan dengan repetisi, persamaan rima, dan pemilihan kata yang sesuai dengan irama membuat bentuk kelisanan tradisi ini tidak hanya sekedar diucapkan tapi ketika dituliskan, tradisi ini termasuk dalam genre puisi lisan. Di dalam Tanggomo yang diutamakan adalah rangkaian adegan yang berkesinambungan sehingga membentuk satu skema tertentu. Skema itulah yang dipahami oleh pencerita yang kemudian diciptakan kembali dengan menggunakan pola-pola baris formulaik pada waktu penceritaan sehingga menjadi satu cerita yang utuh dan hidup. Hasil penceritaan kembali pada saat penampilan Tanggomo adalah bentuk sastra lisan, interaksi antara pencerita dan penonton serta suasana yang tercipta merupakan bentuk tradisi lisan sehingga dapat dikatakan bahwa Tanggomo adalah ragam tradisi lisan yang disampaikan secara lisan kepada masyarakat luas. Kata kunci: Folklor; Formulaik; Sastra Lisan; Tanggomo; Tradisi Lisan.

Tanggomo as a Form of Gorontalo’s oral Tradition Abstract

Tanggomo is an oral tradition of the people of Gorontalo, which has an orderly system and is created based on real-life or considered as real-life events in society. Tanggomo stories are conveyed in an oral manner through repetitions, patterns of rhymes, and choice of words that adhere to the rhythm. These quality make this traditional not only spoken, but also written, making it classified as a genre of oral poetry. In Tanggomo, what is highlighted is the connectivity of its scenes, forming a particular scheme which is understood by the storyteller, who remakes it by using the patterns of the formulaic line during the storytelling, creating a whole and lively story. The result of the retelling during the Tanggomo performance is a form of oral literature, whie the interaction between the storyteller and the audience is a form of oral tradition. It can be concluded that Tanggomo is a variety of oral tradition which is delivered orally to the society.

Keywords: Folklore; Formulaic; Oral Literature; Oral Tradition; Tanggomo.

Pendahuluan

Tradisi lisan merupakan bagian penting dalam warisan budaya yang Intangiable

Cultural Heritage (ICH) atau warisan budaya tak bendawi yang seharusnya didokumentasi

dalam berbagai bentuk untuk menjaganya dari kepunahan. Salah satu warisan budaya itu adalah Tanggomo. Tanggomo adalah kebudayaan lisan yang berasal dari daerah Gorontalo yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Gorontalo hingga kini.

(5)

Penelitian mengenai Tanggomo sebelumnya telah beberapa kali dilakukan oleh guru besar Universitas Negeri Gorontalo untuk bidang Bahasa dan Sastra Daerah, Prof.Dr. Nani Tuloli. Dalam kata pengantar bukunya, Tanggomo: Salah Satu Ragam Sastra Lisan

Gorontalo, Nani Tuloli melihat Tanggomo sebagai bentuk lisan yang direkam dan

ditranskripsi menjadi tulisan atau teks. Tujuan penulisan ini adalah untuk menentukan apakah Tanggomo merupakan tradisi lisan yang menjadi sastra lisan? atau murni tradisi lisan yang diwariskan secara lisan pula? Untuk menentukan termasuk ragam apakah Tanggomo itu diperlukan suatu pendekatan dari beberapa teori mengenai perbedaan tradisi lisan dan sastra lisan.

Setelah mengetahui perbedaan antara sastra lisan dan tradisi lisan, penelitian mengenai Tanggomo dapat dilanjutkan untuk mengindentifikasi dan menentukan genre Tanggomo, bagaimana Tanggomo dipentaskan, dan bentuk cerita seperti apa yang disampaikan dalam Tanggomo. Selain itu, tujuan penulisan ini juga mendeskripsikan bagaimana tradisi ini diwariskan sehingga masih mempertahankan fungsi Tanggomo dalam masyarakat Gorontalo.

Penulisan ini menggunakan metode pustaka dengan buku-buku yang dianggap dapat membantu sebagai sumber informasi dan referensi. Melalui pendekatan kualitatif, tulisan ini akan mendeskripsikan teori yang telah diperoleh mengenai tradisi lisan dan sastra lisan; mereduksi teori tersebut untuk dikaitkan dengan Tanggomo; kemudian menyimpulkan peran dan kedudukan Tanggomo dalam masyarakat Gorontalo kini.

Sastra Lisan, Tradisi lisan, dan Folklor

Tradisi lisan telah berkembang di Indonesia sebelum masyarakat Indonesia mengenal aksara. Tradisi lisan berkembang dan mencakup bahasa lisan sebagai sarana komunikasi lisan dalam masyarakat. Setelah aksara masuk ke Nusantara, tradisi lisan tidak hilang begitu saja, tetapi berkembang beriringan dengan tradisi tulisan.

Walter J. Ong membahas soal kelisaan dalam bukunya Orality and Literacy:

Technologizing of the Word (2005). Ia tidak hanya membedakan kelisanan (orality) dan

penulisan (literacy) secara sederhana bahwa kelisanan tidak tertulis sementara penulisan adalah segala bentuk yang tertulis, tetapi sampai pada pemahaman bahwa bentuk lisan dapat dituliskan dan dari bentuk tulis tersebut dapat dilisankan kembali.

Menurut Ong, karakteristik pertama dari kelisanan (orality) adalah suara (sound). Berbeda dengan tulisan yang dapat meninggalkan jejak, suara, meski dapat diingat tetapi tidak dapat dicari kemanapun. Karakteristik kedua adalah bagaimana suara dapat dipolakan atau menjadi sesuatu yang terorganisasi, ketika tidak ada jejak atau rekaman, maka tidak ada teks,

(6)

kelisanan mengembangkan pikiran dengan pola mnemonic, yaitu teknik yang mempunyai formula (formulaik) dan ekspresi tertentu misalnya ritmis (ada irama), pola seimbang, banyak repetisi dan sebagainya. Masalah mnemonic dan formula ekspresi ini pada akhirnya tidak hanya berhubungan dengan ingatan, tetapi juga pemikiran (thought) dalam budaya kelisanan. Dalam kelisanan bukan logika yang dominan tetapi ras. Bukan kebenaran interpretasi tetapi keindahan rima, sebab rima adalah nada yang terfokus pada kesamaan bunyi yang dapat menimbulkan makna atau nada yang khas.

Sejalan dengan Ong, A. Teeuw dalam bukunya Indonesia Antara Kelisanan dan

Keberaksaraa, mengatakan sasalah kelisanan (orality) dan keberaksaraan (literacy) dalam

ilmu pengetahuan modern makin menarik perhatian dari berbagai disiplin ilmu, tak terkecuali dalam ilmu bahasa dan sastra. Dalam penelitian bahasa dan sastra tekanan pada penggunaan bahasa disebut formulaik dan pemakaian istilah formula dan formulaik itu sendiri berasal dari penelitian puisi Homeros (penyair Yunani 1000 tahun sebelum masehi) yaitu Ilias dan

odyssea. Yang pada masanya belum dikenal alfabet Yunani. (1994:1)

Menurut tradisi, Homeros adalah penyanyi buta yang membawakan karyanya tanpa tulisan. Ia menghafalkan terlebih dahulu kemudian mementaskan karyanya. Namun hasil penelitian dua sarjana Amerika Milman Parry dan Albert B. Lord sangat mengejutkan, yaitu setiap kali seorang guslar (penyanyi Yugoslavia) membawakan ceritanya, dia menciptakannya kembali secara spontan, namun memakai sejumlah unsur bahasa yang siap pakai. Sehingga para peneliti sastra lisan modern umumnya mengakui bahwa penghafalan karya panjang dalam masyarakat niraksara jarang terdapat. Memang ada penghafalan formula, unsur formulaik, peribahasa, pepatah, dan petitih. Tetapi setiap kali seorang tukang cerita atau pembawa puisi naratif lisan berpentas, dia menciptakan kembali secara baru dan spontan gubahannya.

Memorisasi dalam kebudayaan lisan murni jarang terdapat. Memorisasi justru terkait pada kebudayaan yang telah mengenal tulisan. Karena penghafalan dengan memorisasi baru dimungkinkan bila ada teks tertulis. Teks atau naskah berhubungan dengan sekolah. Masyarakat mengenal naskah dari sekolah (tempat belajar menulis) dan dari sekolah itulah dikembangkan teknik memorisasi berdasarkan teks tertulis, lalu dengan tulisan, pengetahuan dapat disusun kembali sehingga penghafalan dipermudah.

Secara umum tidak ada batasan yang jelas antara konsep dan teks. Tradisi lisan dapat diartikan sebagai segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara atau dapat juga diartikan sebagai suatu sistem wacana yang bukan aksara. Roger Tol dan Pudentia lebih lanjut mendefinisikan tradisi lisan sebagai segala macam pengetahuan dan adat

(7)

kebiasaan yang secara turun-temurun disampaikan secara lisan yang mencakup tidak hanya cerita rakyat, mitos, dan legenda, tetapi juga dilengkapi dengan sejarah, hukum adat, dan pengobatan. Hal-hal yang terkandung dalam suatu tradisi lisan adalah hal-hal yang terlahir dan mentradisi dalam suatu masyarakat yang merupakan warisan nenek moyang. Pada dasarnya, suatu tradisi dapat disebut sebagai tradisi lisan jika tradisi tersebut dikatakan (oleh penutur) dan didengar (oleh penonton) (Pudentia, 1998:186).

Tradisi lisan tidak lepas dari aspek sastra yang mengikutinya walaupun tidak ada bentuk baku yang pasti dalam pementasan suatu tradisi lisan. Penguasaan terhadap formula dilakukan berdasarkan ingatan (remembering) bukan karena hafalan (memorization) (Lord dalam Tuloli, 1990: 17). Sastra lisan merupakan salah satu bagian dari tradisi lisan yang mempunyai beberapa ciri, diantaranya adalah variasi cerita dan aspek kepuitikan (Tuloli, 1990: 20).

Sastra lisan disebarkan dari satu orang ke orang lain secara lisan kemudian prosesnya dilihat, didengar, kemudian dilisankan kembali sehingga dapat dikatakan,yang dilihat dalam sastra lisan adalah proses pelisanan dan hasil melisankan.

Pembahasan mengenai tradisi lisan dan sastra lisan secara tidak langsung juga akan membahas mengenai kebudayaan lisan yaitu folklor. Menurut James Danandjaja, folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda. Baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device) (2007:1).

Suatu folklor tidak berhenti menjadi folklor apabila ia telah diterbitkan dalam bentuk cetakan atau rekaman. Suatu folklor akan tetap memiliki identitas folklornya selama diketahui bahwa ia berasal dari peredaran lisan. Lalu munculah istilah tradisi lisan. Pada intinya, tradisi lisan dan folklor adalah hal yang saling berkaitan. Namun, istilah tradisi lisan tidak dapat menggantikan istilah folklor karena tradisi lisan mempunyai arti yang terlalu sempit. Sedangkan folklor sangat luas, mencakup dua makna. masyarakat dan tradisi masyarakat (Danandjaja, 2007:5).

Tanggomo sebagai salah satu bentuk tradisi lisan Gorontalo

Tradisi lisan masyarakat Gorontalo, Tanggomo, merupakan tradisi lisan yang menarik karena tradisi ini masih terpelihara hingga kini. Tanggomo adalah satu ragam cerita lisan yang bersumber pada peristiwa-perisriwa nyata dan yang tidak nyata (tidak sungguh-sungguh terjadi), baik yang bersifat kepahlawanan dan sejarah maupun yang unik dan menarik bagi

(8)

masyarakat. Kejadian yang tidak nyata bersumber dari mite, legenda, dongeng, dan rekaan pencerita. Dari segi bentuk dan isi, Tanggomo dapat dimasukkan dalam genre puisi epik (epic

poetry) yang ditampilkan secara lisan (Tuloli, 1990: 35).

Puisi epik dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai puisi rakyat yang tidak berbentuk bebas (free phrase) melainkan berbentuk terikat (fix phrase). Sajak atau puisi rakyat adalah kesustraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya, biasanya terjadi dari beberapa deret kalimat, ada yangberdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya berdasarkan rima. Bentuk puisi rakyat sangat beragam, mulai dari peribahasa, teka-teki, cerita rakyat, dan kepercayaan rakyat (Dananjaja, 2007: 46).

1.1 Hakikat Tanggomo

Arti kata Tanggomo yang ditinjau dari makna katanya ialah “tampung”. Tanggomo adalah jenis sastra lisan di Gorontalo yang mempunyai sifat menampung atau mengandung peristiwa atau kejadian. Orang yang menampung kejadian itu disebut ta

motanggomo „orang yang menampung‟ atau „tukang Tanggomo‟. Pengertian tampung

dalam konteks ini adalah mencari atau menerima kejadian itu lalu mengubahnya menjadi sebuah cerita yang disebut Tanggomo (Tuloli, 1990: 29).

Seorang ta motanggomo berfungsi mencari dan mengumpulkan laporan peristiwa yang terjadi di dalam maupun luar gorontalo. Ta motaggomo merekam peristiwa yang kemudian disebarkan oleh si pencerita sebagai berita untuk dinikmati oleh pendengar. Tukang Tanggomomenggunakan gaya bahasa untuk menghidupkan cerita dan menimbulkan rasa tertentu. Perulangan suasana dalam adegan merupakan sarana bagi tukang Tanggomountuk memperlancar cara bercerita.

Tanggomo erat hubungannya dengan hiburan. Dari segi hiburan Tanggomolebih dekat dengan pantun. Ta motanggomo tidak hanya mengambil peristiwa nyata yang terjadi untuk bahan syair, melainkan juga bersumber dari dongeng, mitos, legenda, peristiwa rekaannya sendiri, dan ajaran agama atau kepercayaan yang berkembang di masyarakat. Selain berita dan hiburan, Tanggomomerupakan catatan lisan yang merekam perististiwa sejarah sehingga membuat sejarah itu penting. Beberapa peristiwa sejarah dapat ditelususri melalui Tanggomo. Termasuk pertempuran, pembunuhan, bencana alam, kecelakaan, maupun penjajahan.

(9)

1.2 Cerita Tanggomo

Cerita dalam Tanggomo dapat dibagi dalam beberapa bagian yang disebut episode. Episode awal selalu diawali oleh bentuk terikat, yaitu Bismila. Kata Bismila diambil dari kata Bismillaahir-rahmanirrahiim yang artinya „Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang‟. Kata Bismila pada pembukaan Tanggomo mempunyai hubungan dengan pandangan dan peradatan masyarakat Gorontalo yang berpegah teguh pada ajaran agama. Kata Bismila dalam Tanggomo akan ditambah dengan kata-kata lain yang akan disesuaikan dengan bunyi akhir kata yang menjadi inti dari episode pembuka, seperti contoh pada Tanggomo yang berjudul Teme Jonu berikut ini.

T.1.M (Baris (1)—(7):

Bismila watotia, Dengan nama Allah saya,

Ilolomaya kumbania, Kita mengabdi kepada Kompeni,

Lo haibu lo mahia, sejak dulu hingga kini,

Di:la hi polawania, tidak pernah melawan,

De malo masa bolia, nanti pada masa kini,

Ilo ilobuhelia, kita dijajah,

Lo bandela ngopohia. Oleh bendera lain.

(Tuloli,1990: 81) Kata watotia „saya‟ dipilih karena bersajak sama dengan kata ini Kumbania „kompeni‟. Kata Kumbania menjadi inti karena Tanggomo ini menceritakan peristiwa perebutan kekuasaan Kompeni oleh rakyat yang dipimpin oleh Nani Watabone, yang diberi julukan TemeJonu. Apabila cerita yang disampaikan lain, maka pemilihan kata pun akan lain pula. (Tuloli, 1990: 82)

Episode setelah pembukaan merupakan rangkaian peristiwa atau adegan, yang diceritakan dalam bentuk bersajak dan berirama. Urutan episode itu biasanya dimulai dari awal sampai akhir peristiwa. Peralihan episode ditandai oleh jeda singkat atau perubahan pola irama. Pada awal baris, baris kedua, dan baris ketiga dari episode atau subepisode, biasanya menggunakan kata penunjuk waktu dan konjungsi. seperti toqu „maka‟, toquma „maka demikianlah‟, toqumalo „maka setelah itu‟, debloma „maka tiba-tiba‟, dan

dilalohiheo „tak lama kemudian‟. Episode dapat dibagi atas bagian-bagian yang lebih

kecil, yang disebut subepisode. Bagian ini merupakan adegan yang dapat memperkaya dan memperluas episode.

(10)

Tanggomo memiliki sistem yang menentukan, tidak berhubungan dengan irama musik yang tetap pada suku kata tertentu. Pola baris mengikuti rumus lagu yang dinamis dan beragam. Rumus dalam satu baris dapat berada di bagian pertama, kedua, atau di kedua bagian.

1.3 Bentuk Penyampaian Cerita

Bentuk penyampaian Tanggomo menuntut adanya pertunjukan atau penceritaan yang dapat dinikmati oleh pendengarnya. Tukang Tanggomo melakukan kegiatan menciptakan kembali, melagukan, serta melakukan berbagai gerak yang mendukung penciptaan. Timbulnya reaksi pendengar bersumber dari perpaduan antara isi cerita, struktur kata, dan baris yang dipakai oleh pencerita, ditambah dengan gelengan atau goyangan kepala, gerak tangan, kaki, mata, dan mimik pencerita. Dalam penceritaan Tanggomo, terdapat dua cara, yaitu penceritaan dengan alat musik dan penceritaan tanpa alat musik.

Penceritaan dengan alat musik biasanya menggunakan dua alat musik, yaitu gambus dan kecapi. Penggunaan kedua alat itu berbeda dalam penceritaan Tanggomo walaupun cerita yang dilagukan sama. Gambus dipetik mulai dari awal penceritaan, bahkan sebelum pencerita bercerita. Petikan awal ini merupakan latar nada. Petikan awal setiap cerita tidak sama, tergantung pada isi dan suasana yang tercermin dalam suatu cerita. Pada bagian akhir cerita, biasanya berisi permintaan maaf tamotaggomo pada pendengar karena cerita akan segera berakhir dan nasihat atau hikmah yang dipetik dari cerita yang dibawakan.

Petikan gambus diubah sesuai dengan keinginan pencerita, kadang-kadang sangat cepat dan tinggi, terkadang juga lambat dan rendah. Kecapi dipetik pada perhentian antara bait satu dan bait selanjutnya. Kecapi dihentikan pada waktu penceritaan dimulai lagi. Bunyi kecapi pada umumnya monoton dibandingkan dengan bunyi gambus yang bervariasi. Petikan gambus dan kecapi diantara dua bait atau dua subepisode itu mempunyai arti penting bagi tukang Tanggomo. Selain sebagai alat pengiring untuk memperindah penceritaan, alat musik juga berfungsi sebagai pendorong atau pemancing ide-ide. Pada saat alat musik dibunyikan, pencerita dapat memikirkan atau menyusun lanjutan cerita.

Bentuk penyajian Tanggomo selain menggunakan alat musik, ada juga tukang cerita yang menyampaikan cerita Tanggomo tanpa alat musik, hanya mengandalkan suaranya saja. Sebagian besar pencerita Tanggomo bercerita tanpa memakai alat musik sebagai pengiring. Pencerita mengandalkan suaranya untuk membangun suasana. Tinggi

(11)

rendahnya suara disesuaikan dengan irama lagu Tanggomo yang diceritakannya. Jadi, dalam penceritaan Tanggomo, pencerita memberikan suasana tetentu dengan variasi percepatan atau perlambatan tempo bercerita dan dengan peninggian atau perendahan nada bunyi suaranya. Suasana yang muncul dari variasi ini mempunyai arti penting bagi pendengar, yaitu menimbulkan berbagai rasa, rasa terpukau, kagum, terbawa suasana dan juga memperkuat makna cerita tersebut.

1.4 Tempat Penceritaan Tanggomo

Tanggomo bukan hanya hiburan bagi penduduk desa laki-laki dewasa, tetapi juga hiburan bagi penduduk kota laki-laki dan perempuan. Tanggomo dapat diceritakan dimana saja, sesuai dengan kemauan pendengarnya. Itulah sebabnya yang membuat Tanggomo unik. Keunikan Tanggomo karena kebudayaan lisan ini masih tetap bertahan di tengah-tengah peradaban masyarakat. Orang Gorontalo tertarik jika mendengar penceritaan Tanggomo yang dilakukan di pasar-pasar, di pesta atau di RRI (Radio Republik Indonesia) Gorontalo. Selain itu pencerita Tanggomo bukan hanya dari generasi tua, tetapi juga dari generasi muda, bahkan tidak hanya terbatas pada orang-orang buta aksara, orang-orang-orang-orang terpelajar pun mahir menceritakan Tanggomo. Hal yang menarik juga terkait dengan isi cerita Tanggomo. Isi cerita Tanggomo tidak hanya cerita yang telah diturunkan dari pencerita tua, tetapi juga telah muncul cerita-cerita baru berdasarkan kejadian atau peristiwa yang baru terjadi. Jadi tukang Tanggomo bukan saja meneruskan cerita yang telah lama ada, tetapi makin memperluas cerita-cerita ragam Tanggomo itu dengan mengambil materi cerita-cerita dari aspek-aspek dan peristiwa yang baru.

Pada masa dahulu, penceritaan Tanggomo dilakukan di pesta-pesta, yaitu pada saat perkawinan, gunting rambut, khitanan, dan sebagainya. Biasanya ada waktu khusus untuk ber-tanggomo sebagai selingan atau pengisi waktu sebelum acara makan. Tanggomo juga diceritakan sebagai hiburan setelah orang selesai bekerja di kebun, di danau, atau di laut. Pada masa sekarang, Tanggomo sering dipakai dalam acara pertandingan di desa-desa atau di kecamatan. Kalangan muda sekarang, sering menggunakan Tanggomo dalam pertemuan pramuka. Pada masa kampanye, Tanggomo juga dipakai untuk menghimpun masa.

Tempat penceritaan Tanggomo, baik dengan alat musik maupun tanpa alat musik, rupanya tidak terikat pada satu tempat khusus, dari dahulu hingga sekarang. Hal ini

(12)

karena Tanggomo bukanlah budaya istana, Tanggomo tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat biasa yang kemudian menjadi budaya rakyat.

1.5 Fungsi Tanggomo dalam Masyarakat

Bertahannya ragam Tanggomo dari dulu sampai sekarang dalam tradisi lisan Gorontalo merupakan bukti adanya kepedulian masyarakat untuk melestarikannya. Tanggomo yang berfungsi sebagai dokumen peristiwa dan hiburan bagi pendengar, membuat tradisi lisan ini masih dapat terus dipertahankan sampai sekarang.

Secara umum Tanggomo mempunyai fungsi menyimpan berbagai peristiwa, pengalaman masa lampau dan masa kini masyarakat Gorontalo. Tanggomo tidak berfugsi sebagai penuntun jenjang peradatan, pemberian nasihat, atau untuk tujuan magis dan pelaksanaan suatu pekerjaan. Dalam Tanggomo tersimpan sejarah perjuangan rakyat dan tokoh-tokoh masyarakat Gorontalo pada masa lalu. Peristiwa-peristiwa penting pun banyak terangkum dalam Tanggomo. Oleh sebab itu dapat dikatakan, Tanggomo merupakan ragam puisi naratif, yang mempunyai materi cerita yang sangat luas. Tanggomo mempunyai fungsi historis, heroik, dokumen peristiwa penting, dan nilai didik. Sifat Tanggomo sendiri dapat dikatakan demokratis, artinya tidak ada pantangan terhadap penceritaan Tanggomo bagi golongan mana pun dalam lapisan masyarakat Gorontalo.

Tanggomo juga mempunyai nilai-nilai sosio-budaya yang sangat luas. Pada umumnya nilai yang menonjol dalam penceritaan Tanggomo adalah nilai sejarah perjuangan rakyat Gorontalo; nilai kepahlawanan yang patut dijadikan teladan; dan nilai didik yang berguna bagi generasi penerus. Dalam hal ini Tanggomo dapat dipandang sebagai dokumen lisan, sedangkan tamotanggomo adalah gudang dokumen lisan yang hidup.

Kesimpulan

Tulisan ini menitikberatkan pada disiplin ilmu sastra sehingga Tanggomo tidak dapat serta-merta diidentifikasikan sebagai tradisi lisan dan melupakan aspek sastra yang menjadi bagian dalam pementasan Tanggomo. Membedakan antara tradisi lisan dan sastra lisan, secara tidak langsung juga akan membahas mengenai folklor. Ketiganya adalah suatu kesatuan yang saling bertautan satu sama lain.

(13)

Seperti pada gambar di atas, sastra lisan adalah bagian dari tradisi lisan dan tradisi lisan merupakan cakupan dari folklor. Untuk membedakan tradisi lisan, sastra lisan, dan folklor dapat dilihat melalui contoh salah satu bentuk tradisi, yaitu Tanggomo. Tanggomo apabila ditinjau dari makna kata, ia berarti „tampung‟. pengertian kata „tampung‟ dalam konteks ini adalah mencari atau menerima kejadian lalu mengubahnya menjadi satu cerita yang disebut Tanggomo. (Tuloli, 1990: 29). Cerita tersebut oleh tukang Tanggomo digubah ke dalam bentuk puisi yang disampaikan secara lisan kepada penonton. Proses pelisanan dan melisankan Tanggomo inilah yang disebut sastra lisan. Kegiatan pementasan Tanggomo di hadapan penonton disebut sebagai tradisi lisan. Bentuk lisan Tanggomo kemudian ditulis menjadi puisi lalu dilisankan kembali—artinya Tanggomo sudah mengalami proses lisan dan tulisan—adalah cakupan folklor yang lebih luas.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa Tanggomo adalah tradisi lisan masyarakat Gorontalo yang mempunyai sistem teratur yang diciptakan berdasarkan peristiwa nyata dan yang dianggap nyata dalam masyarakat. Bentuk penyampaian Tanggomo menuntut adanya pertunjukan atau penceritaan yang dapat dinikmati oleh pendengarnya. Tukang Tanggomo melakukan kegiatan menciptakan kembali, melagukan, serta melakukan berbagai gerak yang mendukung penciptaan

Di dalam Tanggomo terdapat keterikatan pada susunan baris, jumlah suku kata, dan rima. Cara penyampaian yang murni melalui lisan dengan repetisi, persamaan rima, dan pemilihan kata yang sesuai dengan irama membuat bentuk kelisanan tradisi ini tidak hanya sekedar diucapkan tapi ketika dituliskan, tradisi ini termasuk dalan genre puisi lisan.

Tanggomo tidak terikat secara langsung dengan unsur adat ataupun norma yang berlaku, karena Tanggomo merupakan sarana hiburan untuk masyarakat yang menyimpan banyak cerita sejarah masa lalu maupun masa kini dalam masyarakat Gorontalo. Tujuan penceritaan Tanggomo adalah untuk hiburan, maka Tanggomo dapat dipentaskan dimana saja; di pasar; di

Folklor

Tradisi lisan

(14)

pesta pernikahan; di acara khitanan; bahkan di radio. Tukang Tanggomo atau pencerita tidak hanya berasal dari generasi tua, namun generasi muda pun mempunyai kepedulian untuk ikut melestarikan Tanggomo. Sehingga kebudayaan ini tidak dianggap sebagai kebudayaan nenek moyang, tetapi sebagai kebudayaan masyarakat yang terus berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi bertanggomo masih dipertahankan oleh seluruh masyarakat sebagai salah satu ragam sastra lisan.

Ragam Tanggomo mempunyai sistem formulaik yang pola-pola barisnya didukung oleh kondisi irama yang dinamis atau bervariasi. Di dalam Tanggomo yang diutamakan adalah rangkaian adegan yang berkesinambungan sehingga membentuk satu skema tertentu. Skema itulah yang dipahami oleh pencerita yang kemudian diciptakan kembali dengan menggunakan pola-pola baris formulaik pada waktu penceritaan sehingga menjadi satu cerita yang utuh dan hidup. Hasil penceritaan kembali pada saat penampilan Tanggomo adalah bentuk sastra lisan, interaksi antara pencerita dan penonton serta suasana yang tercipta merupakan bentuk tradisi lisan sehingga dapat disimpulkan bahwa Tanggomo adalah ragam tradisi lisan yang disampaikan secara lisan kepada masyarakat luas.

Saran

Demikian yang dapat dipaparkan mengenai Tanggomo yang menjadi pokok bahasan dalam penulisan ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam pembahasan karena terbatasnya pengetahuan penulis dan kurangnya rujukan atau referensi yang berhubungan dengan Tanggomo.

Tulisan ini masih mengedepankan disiplin ilmu sastra dalam pembahasannya sehingga aspek-aspek sejarah maupun antropologi yang berkenaan dengan Tanggomo tidak teruraikan dengan baik sehingga saran dan kritik sangat diperlukan untuk perbaikan tulisan ini pada kesempatan berikutnya. Selain itu, perlu dipahami bersama bahwa minat dalam penelitian bidang kajian tradisi lisan adalah lebih mementingkan pengertian untuk memahami kegiatan budaya dan seni daripada membangun teori sehingga tidak perlu adanya kerancuan antara teks dan konsep, antara kelisanan dan keberaksaraan, atau pun antara tradisi lisan dan sastra lisan.

Daftar Referensi

Dananjaya, James. 1997. Folklor Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Indonesian Heritage. Bahasa dan Sastra. Jakarta: Buku Antar Bangsa oleh Grolier Internasional Inc.

(15)

MPSS, Pudentia. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ong, Walter J. 2005. Orality and Literacy: Technologizing of the Word. Prancis: Routledge. Teeuw, A. 1994. Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Dunia Pustaka

Jaya.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Referensi

Dokumen terkait