• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Kekhalifahan Termasuk Konsep Kha

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah Kekhalifahan Termasuk Konsep Kha"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH KEKHALIFAHAN

(Termasuk Konsep Khalifatullah dan Doktrin Keagungbinataran)

I. PENDAHULUAN

Gelar “khalifah” diberikan sebagai pemegang kekuasaan untuk menjadi pemimpin sekaligus menjalankan pemerintahan Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah khalifah pertama sebelum Umar, Utsman, dan Ali yang pada akhirnya tepilih sebagai pengganti beliau setelah melewati perdebatan tentang siapa yang lebih berhak meneruskan kepemimpinan umat Islam pada saat itu. Kemudian ada istilah

khalifatullah yang dikumandangkan oleh al-Manshur, sebagai salah satu khalifah bani Abbasiyah. kemudian para penguasa di Indonesia yang menggunakan gelar sultan dan menyebut bahwa diri mereka adalah agung dan seorang raja besar yang senantiasa harus dihormati laksana dewa.

Sebenarnya apa maksud dari gelar-gelar itu dan mengapa mereka menggunakan gelar itu dalam kekuasaan mereka ? Dalam makalah ini akan dijelaskan pula tentang sejarah kekhalifahan dan praktik mereka dalam kekuasaannya sebagai seorang pemimpin Negara.

II. PEMBAHASAN

A. Definisi Khalifah, Khalifatullah, dan khilafah Menurut Para Ulama

Kata khalifah berasal dari kata khalafa - yakhlifu/yakhlufu - khalfan - wa khilafatan yang berarti mengantikan, menempati tempatnya, sedangkan kata khalafu

diartikan orang yang datang kemudian atau ganti, pengganti. Dan kata al-khaalifatu

(2)

Nurcholis Madjid mengartikan khalifah dengan yang mengikuti dari belakang, jadi wakil atau pengganti di bumi. Sedangkan menurut M. Quraish Shihab kata khalifah, berakar dari kata khulafa’ yang pada mulanya berarti belakang, kemudian seringkali diartikan sebagai pengganti. Karena yang menggantikan selalu berada atau datang dari belakang, sesudah yang digantikannya. Adapun Dawam Raharjo memberikan pengertia khalifah dalam al-Qur’an diantaranya: mereka yang datang kemudian, sesudah kamu, yang di perselisihkan, silih berganti, berselisih dan pengganti.1

Khalifatullah menurut Endang Saifuddin Anshari diartikan sebagai penerjemah sifat-sifat Allah swt dalam kehidupan dan penghidupan manusia, dalam batas-batas kemanusiaan. Sedangkan menurut Dawam Raharjo pengertian khalifah dalam hal kedudukan manusia sebagai pengganti Allah, mempunyai makna:2

1. khalifatullah adalah Adam. Karena Adam simbol bagi seluruh manusia, maka manusia adalah khalifah

2. khalifatullah adalah suatu generasi penerus atau pengganti, yaitu khalifah diemban secara kolektif oleh suatu generasi

3. khalifatullah adalah kepala negara atau kepala pemerintahan

Namun ketiga makna ini yang paling tepat untuk dierapkan sebagai kedudukan manusia adalah yang pertama, yang memposisikan manusia secara keseluruhan sebagai khalifatullah. Sedangkan kata khilafah sendiri berarti pemerintahan atau sistem pemerintahan.3 Sejalan dengan pengertian khilafah di atas dalam pengertian syariah, khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi SAW dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah) (Al-Baghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam

1 Tafsir Nusantara (konsep Khalifatullah menurut M. Qurai Shihab)

(www.sangrevolusi.blog.com/2011/04/14/abc), lihat juga M. Dawamraharjo, Ensiklopedia Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal.1 diakses pada tanggal 07 Oktober 2011 jam 20.45 Wib.

2 Ibid.

(3)

perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri (Al-Khalidi, 1980:226).4 Ibnu Khaldun mengartikan al-Khilafah

sebagai yang membawa (seluruh) manusia sesuai dengan tuntunan syara’ demi kemaslahatan ukhrawi dan duniawi mereka. Dalam hal ini dunia tidak terkecuali, karena seluruh ihwal dunia juga dalam pandangan syara’ dianggap sebagai sarana untuk meraih kemaslahatan akhirat. Dengan demikian, hakikat seorang khalifah adalah sebagai pengganti dari pemilik syara’ (Allah Swt.) yang diserahi amanat untuk menjaga agama dan politik dunia.5

Membahas makna khalifatullah seperti yang dijelaskan di atas tentu kita akan teringat dengan kata al-Khulafa ar-Rasyidin yang artinya para pengganti yang mendapat petunjuk.6 Namun gelar tersebut bukan semata-mata menunjukkan bahwa mereka adalah pengganti Nabi sebagai penyampai wahyu yang diturunkan dan sebagai utusan Tuhan yang tidak dapat diambil alih seseorang. Menggantikan Rasul (khalifah) hanyalah perjuangan Nabi.7

B. Konsep, dan Karakteristik Khalifatullah

Adapun konsep Khalifatullah sebenarnya sudah tercantum di al-Qur’an yang termaktub dalam QS. al-Baqaroh ayat 30:











     ... 

Yang artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi…….”

4 http://nurdi.multiply.com/journal/ diakses pada tanggal 05 Desember 2011 jam 09.19 Wib.

5 Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 2 terj. H.A. Bahauddin (Jakarta: Kalam Mulia, Cet. 1, 2001), hal. 276.

(4)

Menjadi khalifah bagi Allah di bumi untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Status ini bukan hanya disandang Adam as., namun juga seluruh Nabi. Mereka semua dijadikan sebagai pengganti dalam memakmurkan bumi, mengatur dan mengurus manusia, menyempurnakan jiwa mereka dan menerapkan perintah-Nya kepada manusia.8

Sedangkan karakteristik yang harus dimiliki seseorang sebagai khalifatullah, yaitu:

1. Memenuhi tugas yang diberikan Allah

2. Menerima tugas dan melaksanakannya dalam kehidupan perorangan maupun kelompok

3. Memelihara serta mengelola lingkungan hidup untuk kemanfaatan bersama 4. Menjadikan tugas-tugas khalifah sebagai pedoman pelaksanaannya.9

C. Sejarah Kekhalifahan

1. Masa al-Khulafa ar-Rasyidin

Sepeninggal Rasulullah Saw. Islam dipimpin oleh al-Khulafa ar-Rasyidin,

yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Daulat al-Khulafa ar-Rasyidin (11-41 H/632-661 M) yang berkedudukan di Madinah al-Munawarah itu, Cuma berkuasa selama 30 tahun menurut kalender Hijriyah ataupun 29 tahun menurut kalender Masehi. Akan tetapi masa pemerintahan yang teramat singkat itu sangat menentukan sekali bagi kelanjutan agama Islam dan bagi perkembangan kekuatan agama Islam. Pada masa ini para pejabat kekuasaan tertinggi dipilih dan diangkat berdasarkan pemufakatan dan persetujuan masyarakat Islam, sedangkan

8 Dudung, Kewajiban Menegakkan Khilafah (Tafsir al-Baqarah:30), (www.forum.dudung.net). Lihat juga Al-Baghawi, Al-Ma’alim al-Tanzil, Vol 1, hal. 31, al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Vol. 2, 222, al-Qonuji, fath al-Bayan , Vol.2, 126.

(5)

garis kebijaksanaan yang dijalankan dapat dikatakan bersamaan.10 Merujuk kepada gelar yang mereka gunakan pada waktu itu tentu meimiliki maknanya tersendiri, seperti halnya Abu Bakar yang memakai istilah khalifatu Rasulillah

(pengganti Rasulullah) untuk membatasi kedudukannya sebagai khalifah, beberapa literatur menunjukkan, bahkan ia menolak penggunaan gelar khalifatullah.

2. Masa Bani Umayyah

Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi

monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan, atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk meyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interpretasi dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.11

Kekuasaan bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun dengan Damaskus sebagai Ibu kota Negara. Khalifah yang berkuasa pada masa ini diantaranya adalah Muawiyah, Abdul Malik, Umar bin abdul Aziz yang terkenal dengan Umar II karena termasuk khalifah yang benar-benar mewujudkan zaman yang gemilang pada masanya, lalu ada al-Walid dan Hasyim Ibn abd Malik.

10 H. Fatah Syukur Nc, Sejarah Peradaban Islam (Semarang: PT pustaka Rizki Putra, 2009), hal. 49.

(6)

3. Masa bani Abbasiyah

Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940

kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang

Turki (dan kemudian diikuti oleh orang Mameluk di Mesir pada pertengahan

abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan. Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan dunia Islam.12

4. Masa Kekhalifahan “Bayangan”

Pada tahun 1258, pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan berhasil menguasai Baghdad, ibukota Kekhalifahan Abbasyiah, dan mengeksekusi Khalifah al-Mu’tasim. Tiga tahun kemudian, sisa-sisa Bani Abbasyiah membangun lagi sebuah kekhalifahan di Kairo, di bawah perlindungan Kesultanan Mameluk. Meskipun begitu, otoritas garis keturunan para khalifah ini dibatasi pada urusan-urusan upacara dan keagamaan, dan para sejarawan Muslim pada masa-masa sesudahnya menyebut mereka sebagai "khalifah bayangan".13 5. Masa Kekaisaran Usmaniyah

Bersamaan dengan bertambah kuatnya Kesultanan Usmaniyah, para pemimpinnya mulai mengklaim diri mereka sebagai Khalifah. Klaim mereka ini kemudian bertambah kuat ketika mereka berhasil mengalahkan Kesultanan

Mamluk pada tahun 1517 dan menguasai sebagian besar tanah Arab. Khalifah

Abbasyiah terakhir di Kairo, Al-Mutawakkil III, dipenjara dan dikirim ke

Istambul. Kemudian, dia dipaksa menyerahkan kekuasaannya ke Selim I.

12 http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia, lihat juga Omar Hossino. Classical Islamic Views on Human Nature, Political Authority, and International Relations, 2006.

(7)

Walaupun begitu, banyak Kekaisaran Usmaniyah yang memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Sultan, daripada sebagai Khalifah. Hanya Mehmed II dan cucunya, Selim, yang menggunakan gelar khalifah sebagai pengakuan bahwa mereka adalah pemimpin negara Islam.14

Menurut Barthold, saat yang mana gelar Khalifah digunakan untuk kepentingan politik daripada sekedar simbol agama untuk pertama kalinya adalah ketika Kekaisaran Usmaniyah membuat perjanjian damai dengan Rusia pada tahun 1774. Sebelum perjanjian ini dibuat, Kekaisaran Usmaniyah berperang dengan Kekaisaran Kristen Rusia, mengakibatkan kekaisaran kehilangan sebagian besar wilayahnya, termasuk juga memiliki populasi tinggi seperti misalnya daerah

Crimea (1783). Dalam surat perjanjian damai dengan Rusia, kekaisaran Usmaniyah, dibawah kepemimpinan Abdulhamid I, menyatakan bahwa mereka akan tetap melindungi umat Islam yang berada di wilayah yang kini menjadi wilayah Rusia. Ini adalah pertama kalinya Kekhalifahan Usmaniyah diakui secara

politik oleh kekuatan Eropa. Sebagai hasilnya, meskipun wilayah kekuasaan Usmaniyah menjadi sempit namun kekuatan diplomatik dan militer Usmaniyah semakin meningkat. Sekitar tahun 1880 Sultan Abdulhamid II menegaskan kembali status kekhalifahannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme

Eropa yang semakin menjadi-jadi. Klaimnya ini didukung sepenuhnya oleh Muslim di India, yang ketika itu dalam cengkraman penjajahan Inggris. Pada

Perang Dunia I, Kekhalifahan Usmaniyah, dengan mengesampingkan betapa lemahnya mereka dihadapan kekuatan Eropa, menjadi negara Islam yang paling besar dan paling kuat di dunia.

(8)

Tepatnya pada tanggal 23 Maret 1924, keruntuhan kekhalifahanan terakhir, Kekhalifahan Turki Usmaniyah, terjadi akibat adanya perseteruan di antara kaum

nasionalis dan agamais dalam masalah kemunduran ekonomi Turki.

Dalam sejarah kaum muslimin hingga hari ini, pemerintah Islam di bawah institusi Khilafah Islamiyah pernah dipimpin oleh 104 khalifah. Mereka (para khalifah) terdiri dari 5 orang khalifah dari khulafaur raasyidin, 14 khalifah dari dinasti Umayyah, 18 khalifah dari dinasti 'Abbasiyyah, diikuti dari Bani Buwaih 8 orang khalifah, dan dari Bani Saljuk 11 orang khalifah. Dari sini pusat pemerintahan dipindahkan ke Kairo, yang dilanjutkan oleh 18 orang khalifah. Setelah itu khalifah berpindah kepada Bani 'Utsman. Dari Bani ini terdapat 30 orang khalifah.15

(9)

naskah Yunani mengenai filsafat ilmu, sehingga munculah tokoh-tokoh terkemuka seperti, al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina.16

D. Konsep Kekhalifahan dan Doktrin Keagungbinataran

1. Tentang gelar khalifah atau khalifatullah di kalangan pemimpin Islam. Merujuk kepada gelar yang mereka gunakan pada waktu itu tentu memiliki maknanya tersendiri, sebagai pemimpin Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut

khalifah Rasulillah (pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja.17 Abu Bakar memakai istilah khalifah Rasulillah untuk membatasi kedudukannya sebagai khalifah, beberapa literatur menunjukkan, bahkan ia menolak penggunaan gelar khalifatullah. Setelah Abu bakar wafat umar dibaiat masyarakat saat itu sebagai penggantinya, Umar menyebut dirinya

khalifah khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti Rasulillah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minun (komandan orang-orang yang beriman). Begitu juga dengan Utsman dan Ali, gelar khalifah tetap disandang mereka dalam menjalankan pemerintahanya di kala itu. Pada masa ini penentuan jabatan didasarkan pada musyawarah, meskipun musyawarah di sini bukan sesederhana yang kita bayangkan, seperti halnya penunjukan langsung Umar ibn Khathab oleh Abu Bakar untuk menggantikan dirinya sebagai pemimpin umat Islam di kala itu, namun masyarakat tetap berperan serta untuk membaiat Umar.

Beralihnya jabatan khalifah kepada Muawiyah bin Abu Sufyan telah mengubah sistem musyawarah yang selama ini menjadi dasar pemilihan al-Khulafa ar-Rasyidun. Sejak saat itu beralihlah kekhalifahan menjadi milik pemegangnya melalui kekuatan pedang, senjata, politik, dan rekayasa.18 Tidak 16 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 40.

(10)

sampai di situ saja, Muawiyah mengangkat putranya sendiri Yazid sebagai putera mahkota, sehingga tampakklah sistem waris dalam pemerintahan, sehingga kekhalifahan lebih bertumpu pada politik daripada bertumpu pada agama, sehingga mereka lebih layak disebut sebagai “raja”. Namun meskipun kelihatan monarki tapi mereka masih membutuhkan pengakuan dari rakyat.

Ketika para pemimpin menganggap bahwa mereka adalah wakil dari Tuhan

Semenjak berkuasa, para khalifah Abbasiyah menegaskan kedaulatan mereka berasal dari Tuhan dan mengklaim untuk menegakkan kebenaran di tengah umat muslim.19 Khalifah Abbasiyah yang pertama telah memakai julukan yang terlalu bernada eskatologis, al-Saffah, yang pada dirinya menyiratkan sekaligus kemuliaan dan kebengisan berdarah dalam melaksanakan kebengisan Ilahi. Demikian juga, nama al-Manshur, merupakan nama julukan seperti itu juga, yang menyiratkan bahwa khalifah dipilih untuk menerima bantuan Tuhan dalam kemenangan-kemenangnnya. Penguasa-penguasa marwani sampai akhir telah dikenal melalui nama-nama tertentu mereka yang sederhana; al-Manshur menjadikan nama-nama julukan yang hebat sebagai kebiasaan dalam garis keturunannya dengan memberikan secara resmi satu nama julukan pada puteranya yang akan ia jadikan pewaris tahtanya. Ia menyebutnya al-Mahdi,

sebuah gelar yang telah digunakan oleh Syi’ah bagi pemulih keadilan Islam yang diharapkan. Dengan cara ini barangkali, ia telah mensiratkan bahwa puteranya akan membuat konpensasi bagi cara-cara berdarah dimana sang ayah telah menegakkan kekuasaannya, tapi tentu saja sebenarnya memberikan catatan

(11)

bahwa betapapun absolutisme Abbasi merupakan hasil definitif dari harapan dan rencana orang-orang salih.20

Jadi dapat dikatakan bahwa Selain Abu al-Abbas al-Safah, semua khalifah

Abbasiyyah menganggap bahwa kekuasaannya berasal dari Allah, divine origin,

(Manshur menyatakan.Ana Khalifahtullah (’ala al-ard), ’ardlihi: saya adalah

Khalifah Allah di muka bumi-Nya,… Ana Sulthanullah fi (’ala al-ard) ardlihi:

saya adalah Kekuasaan Allah di muka bumi-Nya….dan Ana Dzillullah fi (’ala al-ard) ardlihi: saya adalah Bayangan Allah di muka bumi-Nya. dan menjadi penuntun yang sebenarnya bagi kaum muslim. Dengan demikian, sejak masa kepemimpinan Manshur dalam diri seseorang khalifahterdapat dua jabatan, yaitu khalifah, sebagai jabatan sakral (disamakan dengan Paus sebagai jabatan keagamaan, walapun kedudukan khalifah tidak persis seperti jabatan dan tugas seorang Paus, sebab secara nyata jabatan khalifahtullah diciptakan untuk kesuksesan politik semata) dan sebagai seorang raja Sizar. Dengan adanya jabatan sakral itu, maka sejak al-Manshur para khalifah Abbasiyah tidak membutuhkan pengakuan rakyat dengan kata lain, rakyat yang butuh khalifah.21 Merujuk dari

gelar khalifatullah yang dipakai oleh al-Manshur, mengapa ia tidak mengakui dirinya sebagai pengganti khalifah sebelumnya dan langsung menjadi

khalifatullah ? Alasannya karena dia merasa dirinya besar dan tinggi. Jika dia adalah pengganti khalifah-khalifah sebelumnya yang kurang ajar, betapa buruknya dia. Tujuannya adalah agar dia menjadi Raja tertinggi sekaligus Pimpinan religi.

20 Marshal G. S. Hudgson, The Venture of Islam (Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia), terj. Dr. Mulyadi K, (Jakarta: Paramadina, 2002) hal. 72.

(12)

Adapun sejarah kekhalifahan pada akhirnya runtuh pada masa kekaisaran Utsmaniyah, mereka juga menggunakan gelar khalifahtapi lebih digunakan untuk kepentingan politik semata. Hingga pada saat kevakuman politik sebagai akibat dari penjajahan Inggris pasca-Perang Dunia I Mustafa Kemal Pasha memanfaatkan situasi tersebut untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional dan ia dinobatkan sebagai ketuanya. Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan

republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu.

2. Konsep dan Doktrin Keagungbinataran dalam kerajaan Islam di Indonesia Dalam birokrasi kraton jawa dikenal istilah Ratu-binathara memiliki tiga macam wahyu, yaitu wahyu nubuwah, wahyu hukumah, dan wahyu wilayah. Yang dimaksud dengan wahyu nubuwah adalah wahyu yang mendudukkan raja sebagai wakil Tuhan. Wahyu hukumah menempatkan raja sebagai sumber hukum dengan wewenang murbamisesa, kedudukannya sebagai Sang Murbawisesa, atau Penguasa Tertinggi ini, mengakibatkan raja memiliki kekuasaan tidak terbatas dan segala keputusannya tidak boleh ditentang, sebab dianggap sebagai kehendak Tuhan. Wahyu wilayah, yang melengkapi dua macam wahyu yang telah disebutkan di atas, mendudukkan raja sebagai yang berkuasa untuk memberi

pandam pangauban, artinya memberi penerangan dan perlindungan kepada rakyatnya.22

Konsep keagungbinataraan merupakan konsep kekuasaan raja-raja Mataram. Bahwa raja Mataram adalah pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang dan sekaligus sebagai hakim. Demikian kekuasaan raja-raja Mataram begitu besar, sehingga di hadapan rakyat raja adalah sebagai pemilik segala harta

(13)

maupun manusia sehingga dikatakan sebagai wenang wisesa ing sanagari, memiliki kewenangan tertinggi di seluruh negeri. Dalam istilah pewayangan disebutkan gung binathara, bau dhenda nyakrawati, yaitu sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia. Kedudukannya sebagai penguasa negara raja berhak melakukan apa saja dengan kerajaanya termasuk harta dan manusia. Kalau yang merasa berhak atas sesuatu itu mempertahankanya, maka akan diperanginya. Sebaliknya kalau ada orang yang dipandang tidak pantas berada dalam kedudukannya, dengan mudah raja akan mengambil kedudukan tersebut, bila perlu dengan membunuhnya, dengan demikian implikasi dari konsep ajaran keagungbinataraan tersebut bagi rakyat adalah rakyat harus tunduk dan patuh kepada raja, jika berbicara atau mengajukan usul harus berkali-kali menyembah-nyembah. Dalam konsep kekuasaan Jawa raja kekuasaan yang besar tadi diimbangi dengan kewajiban yang dirumuskan dengan kalimat ber budi bawa leksana, ambeg adil para marta, meluap budi luhur mulia dan sifat adilnya terhadap semua yang hidup, atau adil dan penuh kasih. Dengan demikian konsep kekuasaan raja merupakan keseimbangan antara kewenangan yang dimiliki raja dengan kewajiban yang sama-sama besar. Ia boleh saja membunuh lawannya asal syarat rasa keadilan dipenuhinya. Raja boleh saja mengambil istri orang lain asal diberi ganti rugi yang seimbang. Dengan orang-orang yang berjasa, raja harus memberikan ganjaran. Dan raja harus menindak orang lain yang bersalah sekalipun anaknya sendiri bila ternyata melakukan kesalahan. Inilah yang disebut dengan konsep keagungbinataraan.23

(14)

seantero negeri. Oleh karena itu raja-raja dari berbagai negeri dengan kerelaan mengirimkan upeti, mempersembahkan putri taklukan, memberikan apa saja yang dibutuhkan raja. Besarnya kekuasaan raja dapat juga dilihat dari acara paseban. Ukuran besarnya kekuasaan raja dapat dinilai dari banyaknya punggawa yang datang menghadiri paseban itu. Juga dapat dilihat dari banyaknya jumlah pasukan dan persenjataan lengkap yang dimiliki. Adapula raja yang takluk tanpa diperangi, karena pengaruh besarnya kewibawaannya. Besarnya kekuasaan raja dapat juga dilihat dari kesediaan para punggawa, baik bupati maupun yang lainnya.24

Sebagian besar kerajaan Islam di Indonesia juga menggunakan gelar Sultan untuk menyebut pemimpin yang berkuasa saat itu, sebut saja Sultan Iskandar Muda di Aceh, Sultan Adiwijaya di Pajang, Sultan Agung di Yogyakarta, atau Sultan Trenggono di Demak. Istilah kerajaan juga tidak lepas dari pemerintahan yang berkembang saat itu, dimana raja adalah seorang pemimpin besar yang harus ditaati dan dihormati setinggi-tingginya, seperti halnya dalam doktrin keagungbinataran yang menyebutkan keagungan seorang raja.

Dalam konsep kekuasaan kerajaan Jawa di Demak contohnya, menegaskan bahwa raja adalah pusat alam semesta dan sumber kekuasaan. Atas dasar itulah raja Jawa juga bergelar susuhunan, gelar yang biasanya digunakan oleh para pemimpin agama, dan panatagama, pelindung dan pengatur agama.25 Kemudian dapat pula dijadikan gambaran bahwa, gelar Sultan yang disandang oleh Sultan Agung menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan dari raja sebelumnya yaitu Panembahan Senopati dan Panembahan Sedo Ing Krapyak. Ketika dinobatkan sebagai raja (1613 M) dalam usia 20 tahun masih menggunakan gelar

24 Ibid.

(15)

Panembahan. Tahun 1624 M ia mengubah gelarnya menjadi Susuhunan. Selanjutnya ia menerima pengakuan dari Mekah sebagai seorang Sultan, kemudian mengambil gelar lengkapnya Sultan Agung Anyakrakusuma Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman (secara harfiyah berarti raja yang agung, pangeran yang sakti, sang panglima perang dan pemangku amanah Tuhan Yang Maha Kasih).26 Sebenarnya tradisi Jawa sudah menyediakan gelar yang bahkan lebih ”tinggi” daripada sulthan atau khalifatullah, yaitu Bathara (Dewa) Ingkang Agung, tetapi Sultan Agung tetap menginginkan gelar dari Mekah, mengapa? Dapat dijelaskan bahwa hal ini mengandung tujuan politis. Pada saat itu raja-raja Jawa berkiblat pada Sunan Giri. Sultan Agung mengambil gelar dari Syarif Mekah untuk mengatasi persaingan dengan Sunan Giri,27 sehingga raja-raja tersebut memang menyandangkan nama atau gelar untuk menunjukkan betapa mereka adalah seorang yang besar dan juga memiliki kekuasaan besar dan rakyat sebagai pengikut setianya, karena dia juga merupakan wakil Tuhan “khalifatullah” di muka bumi ini. Disebutkan pula bahwa peperangan demi peperangan bisa saja dilakukan maskipun terdapat persamaan Agama demi mempertahankan dan memperluas kekuasaan yang berada di tangan, karena kepentingan antara kerajaan satu dan kerajaan lain berbeda.

Sebuah kesimpulan bahwa Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyyah, dan kerajaan-kerajaan Melayu-Indonesia memberlakukan sistem monarki, kepala kerajaan bersifat turun-temurun. Dengan demikian berlangsunglah sistem kekuasaan yang ketat. Dalam sistem kerajaan, berlaku prinsip raja agung binatara, bahu denda nyakrawati, berbudi bawa leksana ambeg adil para

marta (raja besar laksana dewa, pemegang hukum, meluap budi luhurnya, dan

26 Naifahr, Makalah Konsep Khalifatullah dan doktrin Keagungbinataran (Upaya Peningkatan Legitimasi Kekuasaan), lihat juga Azra, Ensiklopedi, hlm. 91-92.

(16)

adil terhadap sesama). Itulah yang disebut konsep keagungbinataran. Menurut konsep itu raja harus memegang kekuasaan yang besar. Raja nan besar mempunyai daerah yang luas dengan rakyat yang jumlahnya besar.28

3. Antara Penguasa, Rakyat, dan Praktik Kepemimpinan

Tugas seorang penguasa adalah memimpin rakyat dengan amanah. Menurut Imam Hasan al-Bana seorang kepala Negara punya tugas dan wewenang tertentu. Hak rakyat terhadap kepala Negaranya adalah mengevaluasi kerja dan tugas kepala Negara. Bila terbukti melakukan kesalahan dan kegagalan dalam kepemimpinannya, karena rakyatlah yang mengangkat dan memba’iatnya guna menduduki jabatan tersebut.29 Hal itu tentu saja bisa dilakukan jika pemimpin yang memilih adalah rakyatnya, seperti halnya pada masa al-Khulafa ar-Rasyidin, namun apakah rakyat bisa menyentuh dan mencampuri sebuah kekuasaan yang absolut, ketika sebuah pemerintahan dipimpin oleh seorang raja yang agung dan turun menurun melahirkan penguasanya ?

Namun tentu saja semua itu kembali ke pemimpin dan penguasa yang menjalankan pemerintahan tersebut, apakah ia bisa menjalankan pemerintahan dengan baik, mengayomi rakyat dan melindungi rakyat di bawah kekuasaannya. Karena menurut Al-Mawardi seorang pemimpin harus adil, berilmu, dan mampu, tentu saja mampu mengemban amanah, tugas, dan tanggung jawab demi tercipta pemerintahan yang baik dan bersih dari tindakan kedzaliman.

III. PENUTUP

28 Ibid., lihat juga G. Moejanto, Dari Cerai-Berai Menuju Persatuan Bangsa, Kompas, Senin, 28 Oktober 2002, hlm. 2.

(17)

Pada hakikatnya, seorang pemimpin atau khalifah atau juga bisa dikatakan

khalifatullah adalah seseorang yang diserahi amanat untuk menjaga agama dan politik dunia, diberi kekuasaan untuk mengatur kehidupann rakyatnya supaya sejahtera, makmur, dan tidak menyimpang dari ajaran agama. Itulah seyogyanya sebuah penerapan yang diharapkan dari para pemimpin di masanya agar bisa memposisikan dirinya sebagai seoarang pemimpin, karena mereka hanya dititipi sebuah amanah yang tidak hanya memikirkan kepentingan pribadi tapi juga seluruh rakyat.

Dalam praktiknya, seorang penguasa diantaranya khalifah, khususnya pada masa sesudah al-Khulafa ar-Rasyidin, mereka cenderung menerapkan sistem kerajaan di mana seorang pemimpin mempunyai kekuasaan absolut dan turun temurun, kemudian seterusnya semakin berkembang dan menghapus sistem pemilihan khalifah yang ditetapkan dengan musyawarah menjadi sesuatu yang bahkan tidak bisa dicampuri oleh tangan rakyat, walaupun kenyataannya mereka masih pula menggunakan gelar khalifah tersebut dalam pemerintahan, yang artinya gelar bisa sama tapi sebuah sistem bisa berbeda. Atau hal itu juga dijalankan oleh kerajaan Islam di Indonesia dengan konsep keagungbinataran, kebesaran dan keagungan seorang raja yang sangat dihormati rakyat, bahkan rakyat harus benar-benar menundukkan kepala mereka ketika bertemu atau berjumpa dengan seorang Raja.

(18)

hanya menjadi sebuah gelar, sedang praktiknya tidak sesuai dengan gelar yang mereka sandang.

(19)

Amin, Samsul Munir. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.

Azra, Azyumardi dkk. 2005. Ensiklopedi Islam, vol. I. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoevehal. Bakhtiar, Amsal. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Darsono, H dkk. 2000. Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam. Solo: Tiga Serangkai.

Fatah, H Syukur Nc. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT pustaka Rizki Putra. G., Marshal S. Hudgson, The Venture of Islam (Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia),

terj. Dr. Mulyadi K. Jakarta: Paramadina.

http://alkisahteladan.blogspot.com/Sejarah Kekhalifahan Islam diakses pada tanggal 07 Oktober 2011 jam 08.15 Wib.

http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia /khalifah diakses pada tanggal 03 Oktober 2011 jam

08.15 Wib

http://nurdi.multiply.com/journal/ diakses tanggal 05 Desember 2011 jam 09.19 WIB.

http://tausyiah275.blogsome.com/ diakses pada tanggal 05 Desember 2011 jam 08.00 Wib.

Ibrahim, Hasan. 2001. Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 2. Jakarta: Kalam Mulia.

Karim, M Abdul. 2009. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam, Bag. 1, terj. Gufron. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Naifahr. 2010. Makalah Konsep Khalifatullah dan doktrin Keagungbinataran, (Upaya Peningkatan Legitimasi Kekuasaan.

Purwadi. Filsafat Jawa dan Kearifan Budaya lokal. http :// staff.uny.ac.id/ Diakses pada tanggal 05 Desember 2011 jam 10.06 Wib.

www.forum.dudung.net/ Kewajiban Menegakkan Khilafah diakses pada tanggal 07 Oktober

2011 jam 21.00 Wib.

www.sangrevolusi.blog.com/2011/04/14/abc/Tafsir Nusantara (konsep Khalifatullah menurut

M Qurai Shihab) diakses pada tanggal 07 Oktober 2011 jam 20.45 Wib.

www.usepsaifurohman.wordpress.com/ Kepemimpinan Negara dalam Islam diakses pada

tanggal 08 Oktober 2011 jam 08.00 Wib.

Referensi

Dokumen terkait

Fakta lingual ini menunjukkan bahwa anak-anak usia 4 – 6 tahun telah memiliki kompetensi linguistik yang memadai untuk memahami fitur-fitur semantik prototipe substantiva

Kajian tentang pemanfaatan kolong untuk budidaya ikan di Kecamatan Muntok, Kabupaten Bangka Barat menghasilkan kesimpulan bahwa kolong dapat dimanfaatkan secara

Tindakan yang dilakukan pada penelitian ini adalah melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa

Kebocoran butterfly valve terjadi akibat seat Valve harus menerima pukulan langsung dari massa semen dan udara bertekanan pada saat discharge valve tidak

2 Tahun 2015 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan

Sekitar 19% kasus baru di Para, Brazilia mengalami cacat derajat I atau II, hal ini mungkin disebabkan antara lain karena keterlambatan diagnosis, kurangnya terapi yang sesuai

Sebagai penutup dari pengantar ini, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses pembuatan skripsi ini hingga selesai saya laksanakan..

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa secara umum SMK dalam pelaksanaan Pembelajaran Kewirausahaan berbasis Teaching Factory sudah siap ditinjau dari prasarana yang ada,