• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hantu Palu Arit di Rumah Bulan Sabit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hantu Palu Arit di Rumah Bulan Sabit"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Hantu Palu Arit di Rumah Bulan Sabit

Oleh: Tyo Prakoso1

Abstrak : Dalam sejarah Indonesia, persinggungan-perseteruan antara Komunisme dan Islam memiliki cerita yag panjang dan menarik. Dan dalam tubuh SI, persinggungan-perseteruan itu di mulai. Berbagai tokoh bertegur sapa secara gagasan. SI menjadi sebuah wadah pertemuan ideologi. Komunisme menampilkan tokoh-tokoh macam Semaoen, Tan dan Darsono. Sementara Islam menampilkan Tjokroaminoto, Haji Agus Salim dan Abdoel Moeis. Namun, pada sosok Haji Misbach kita menemui sintesisnya. Sejarah menjadi menarik. Komunisme dan Islam mestilah dipandang sebagai pergulatan gagasan dan ide yag berdialektik sesuai zamannya.

Kata Kunci : Komunisme, Islam, Sarekat Islam, Hindia Belanda, Zaman Bergerak, Pergulatan, Ideologi, Ide, Pemberontakan, Partai Komunis Indonesia

***

Pengantar: Ada Hantu Palu Arit di Rumah Bulan Sabit...

Ada hantu di Indonesia. Hantu itu bernama Komunisme.

Sejarah Komunisme di Indonesia begitu panjang dan berdarah. Sebelum pada tahun 1965, sejarah Komunisme Indonesia benar-benar dibabat habis. Panjangnya sejarah Komunisme di Indonesia, menjadi sebuah kajian yang menarik. Dan, bagian yang paling menarik ialah bagian ketika ‘ideologi’ Komunisme itu mulai di kenal di –saat itu bernama— Hindia Belanda. Artinya, serentetan panjang ini bermula pada periode yang kita kenal dengan “Sejarah Pergerakan Nasional”. Atau, saya lebih senang menyebutnya; “Proses menuju Indonesia”.

(2)

Salah satu momen terpenting ketika membicarakan sejarah Komunisme di Indonesia adalah proses bersinggungnya dengan Islam. Dalam hal ini, Sarekat Islam (SI). Periode ini menjadi menarik di telaah, berkaitan langsung dengan awal mulanya paham Komunisme di kenal. Tentu, sejarah mencatat, organisasi politik Komunisme, dalam hal ini PKI, lahir dari ‘rahim’ SI. Bagian ini memunculkan sebuah persoalan yang begitu menarik untuk di telaah.

Diantaranya, tulisan ini mencoba mengkaji beberapa persoalan itu, yakni bagaimana proses ideologi Komunisme hadir di Indonesia? Bagaimana proses infiltrasi Komunisme di Sarekat Islam? Dan, yang terpenting, apakah benar Sarekat Islam di pecah oleh gerakan Komunisme sehingga tak memiliki kekuatan yang penuh dan kehilangan marwah dalam menghadapi kolonialisme? Lalu, apakah yang membentuk gerakan revolusioner itu pada periode-periode tersebut?

Sejumlah pertanyaan dan persoalan itu akan dicoba untuk dibicarakan. Namun yang harus dititikbawahi ialah penekanan pada telaah Komunisme dan Islam sebagai gerakan revolusioner di Indonesia pada periode menuju Indonesia.

Hindia Belanda: Menuju Panggung Pergerakan

Pada 1830, Perang Jawa usai. Kas negara Hindia Belanda terkuras. Perang yang melibatkan tokoh utama Pangeran Diponegoro2 ini menjadi salah satu peristiwa penting.

Bukan hanya menampilkan sosok Diponegoro, yang dianggap dan dipercaya oleh masyarakat Jawa pada saat itu sebagai penjelmaan seorang “Ratu Adil3” yang dapat menyelamatkan dari

kesengsaraan zaman.

Perang Jawa memberi beban ekonomi yang sangat berat bagi keuangan Hindia Belanda. Perang besar yang berlangsung selama lima tahun (1825-1830), antara pasukan Diponegoro melawan Belanda, melibatkan dua juta orang atau sepertiga penduduk Jawa. 200 ribu penduduk Jawa meninggal, dan seperempat lahan pertanian rusak.4 Dan menghabiskan

anggaran sebesar 25 juta gulden!

2 Diponegoro lahir di Keraton Yogyakarta pada 11 November 1875 dengan nama Bendoro Raden Mas Mustahar. Ia anak dari putra sulung Sultan Yogyakarta Hamengkubuwono II dari permaisuri Ratu Kedaton, keturunan raja Madur. Rekam jejak Diponegoro dan peristiwa Perang Jawa terukir apik oleh tulisan Peter Carey, seorang sejarawan asal Inggris, dalam buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) (Jakarta: Penerbit Kompas, 2014). Selanjutnya ditulis Takdir.

3 Untuk konsep “Ratu Adil” lihat paparan Sartono Kartodirdjo dalam buku Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1984).

(3)

Perang Jawa menjadi momentum perubahan kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dengan terkurasnya kas negara, diperparah dengan keadaan di kawasan Eropa yang memaksa negara induk Belanda bersiap menghadapi peristiwa Perang Dunia I. Akibatnya, kas negara semakin ambruadul. Akibatnya, di bawah Gubernur Jenderal, Johannes van den Bosch, diberlakukannya kebijakan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel)5.

Sistem tanam paksa, mewajibkan penduduk Jawa menyisihkan 20 persen lahan pertaniannya untuk ditanami oleh komoditas yang telah ditentukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Komoditas yang ditanam tentunya mengikuti pasar dunia. Dengan kebijakan ini, pemerintah kolonial Hindia Belanda terselamatkan dari krisis. Disisi lain, semakin mengantarkan masyarakat Jawa dalam kemiskinan. Dalam, latar ini, pemberontakan-pemberontakan sering terjadi. Keadaan sosial masyakat pribumi semakin susah.

Hal ini terekam apik oleh roman Max Havelar karya Eduard Douwes Dekker, dengan nama pena Multatuli. Roman itu menggambarkan situasi sosial Hindia Belanda saat tu. Dimana, masyarakat Jawa diperlakukan budak demi kebijakan negeri induk Belanda. Multatuli mengkritik. Keuntungan dan terlepasnya krisis yang dialami oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda mengakibatkan jutaan penduduk Jawa menemui jurang kemiskinan yang parah.

Sementara itu, di parlemen Belanda terjadi pergeseran kekuatan politik. Muncul kalangan liberal dan usahawan Belanda yang mendorong agar menghapus kebijakan sistem tanam paksa. Akhirnya, pada tahun 1870, pemerintah kolonial Hindia Belanda memberlakukan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) yang mengatur kepemilikan dan penyewaan atas lahan atau tanah.

Artinya, hal ini mendorong masuknya investasi-investasi swasta di Hindia Belanda. Awalnya memang, Undang-Undang tersebut di harapkan agar mampu melindungi petani. Namun, apa daya, swastanisasi semakin mencengkeram. Periode ini, dalam catatan sejarah, kerap di sebut periode liberal. Periode dimana pengintegrasian ekonomi Hindia Belanda dengan ekonomi dunia. Dalam artian, bagaimana negara koloni didorong untuk terlibat secara langsung dalam ekonomi dunia. Hal ini, memaksa dan mengakibatkan, tanaman seperti tebu, kopi, kina dan teh di kembangkan di Jawa dan tembakau di Deli.

(4)

Pada periode ini pula, mulai berdiri perusahaan-perusahaan swasta di Hindia Belanda. perusahaan-perusahaan tersebut menyewa lahan-lahan pertanian milik pribumi. Dan, dapat menentukan jenis tanaman yang ditanam di lahan tersebut. Bagian ini, menbuat semakin lemahnya pemilikan tanah penduduk pribumi6.

Selain pabrik-pabrik mulai marak di Hindia Belanda, sarana infrastuktur pun mulai tersedia. Hal ini tentu untuk menopang kegiatan ekonomi yang tengah semarak. Selain jalan raya yang mulai diperbanyak dan diperpanjang, kini mulai berfungsinya rel dan kereta api. Rel dan kerata api ini berfungsi untuk kegiatan distribusi sejumlah komoditas pertanian dan perkebunan, diantaranya ialah tebu.

Pada Agustus 1867, jalur kereta api pertama dibangun sepanjang 27 M yang melayani rute Semarang-Tanggung. Kemudian, tiga tahun berikutnya, 1870, dibangun lagi jalur kereta api sepanjang 110 KM yang menghubungkan Semarang dan Surakarta.

Dengan semakin tersedianya infrasruktur ini, tentu kegiatan ekonomi semakin meningkat. Dan, pemerintah kolonial Belanda semakin jauh dari krisis. Disisi lain, masyarakat pribumi semakin tertindas. Karena kalah bersaing dengan pabrik-pabrik yang dimiliki oleh pihak swasta. Kehidpan bagi masyarakat pribumi belum berubah; susah!

Theodore van Deventer, salah seorang kalangan etis asal Belanda, menulis artikel bertajuk “Een Eereschuld” atau “Utang Kehormatan” dalam majalah De Gids Nomor 63 Tahun 1899 di Negeri Belanda. Hal ini menjadi sebuah awalan, mulai munculnya suara-suara protes dari kalangan etis yang mendesak agar pemerintah Belanda ‘membayar budi’ kepada negeri jajahan. Berupa, diberlakukannya rakyat negeri jajahan selayaknya. Atas dasar itu, sebagaimana sejarah mencatat, pada tahun 1901, mulai diberlakukannya kebijakan Politik Etis. Yang mencoba merealisasikan gagasan politik etis dalam tiga bidang, yakni irigasi, edukasi dan emigrasi. Kemudian, dikenal dengan istilah “Trilogi van Deventer”.7

6 Menyoal proses liberalisasi pada periode tersebut, silakan lihat WF. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).

7 Pembahasan Kebijakan Politik Etis atau “Politik Balas Budi” menjadi menarik. Sukarno pernah mengkritik kebijakan Politik Etis Belanda yang dianggapnya hanya sebagai cara untuk pemerintah Kolonial mendapatkan para tenaga kerja pribumi terdidik. Mengingat semakin pesatnya swastanisasi di Hindia Belanda, artinya dibutuhkan tenaga kerja yang banyak dan terdidik.

Dan ini sejalan dengan kebijakan Politik Etis. Disisi lain, kebijakan Politik Etis dianggap sebagai ‘jalan tengah’ pemerintah Kolonial untuk mendamaikan kalangan emansipasi yang menggalakkan kebijakan “Asosiasi” dan kalangan Pemodal. Untuk pembahasan lebih lanjut lihat Robert van Niel Munculnya Elit Modern Indonesia,

(5)

Bagi sebagian kalangan, diberlakukannya kebijakan Politik Etis ini menjadi sebuah titik tolak dalam sejarah Hindia Belanda sebagai negara jajahan. Terutama pada bidang pendidikan. Kita mengenal sosok RA. Kartini8 pada periode ini. Kartini sebuah simbol,

sekaligus pujaan, bagi kalangan etisi dan pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kartini adalah produk Politik Etis.

Sejarah mencatat, awal abad ke-20 adalah sebuah zaman baru dalam kehidupan masyarakat di Hindia Belanda, yaitu zaman etis. Dimana semboyan yang kerap didengungkan ialah “Kemajuan”. Pada periode ini pula, mulai munculnya kalangan menengah yang dapat mengakses pendidikan Barat9. Selain itu, periode ini pula ditandai

dengan semakin meningkatnya jumlah sekolah-sekolah di Hindia Belanda. Hal ini sejalan, dengan gagasan Politik Etis.

Periode ini ialah periode kaum muda. Persinggungannya dengan pendidikan Barat, membuat Kaum Muda membentuk kesadaran “nasional”. Mereka sebagai kalangan pribumi di Hindia Belanda, dan bergerak bersama dalam situasi zaman yang mengalami pergerakan pula. “Embrio Bangsa” ini ditemukan oleh Kaum Muda, dan segera menemui alat kelembagaannya untuk mengungkapkan kesadaran “nasional”-nya. Alat itu adalah surat kabar pribumi10.

Selain munculnya orang-orang seperti Kartini, dalam artian sosok berpendidikan Barat11, pada periode ini pun ditandai dengan berkembangnya industri di kota-kota besar di

Jawa. Berbanding lurus, dengan semakin banyak lahirnya kelas buruh terdidik yang kelak menjadi penggerak Komunisme di Hindia Belanda.

Di lain pihak, proses pemiskinan penduduk pribumi terus mendera, karena beban pajak dan proses pengalihan lahan. Hal ini, menjadi salah satu bentuk alasan mengapa Sarekat Islam (SI) berkembang pesat pada periode ini.

Sampai disini, situasi zaman terus bergerak! Berbarengan dengan itu, Politik Etis melahirkan ‘anak haram’-nya. Yakni, para pemuda terdidik dan tercerahkan. Dan sebagian dari mereka, bergabung dengan SI, kemudian PKI.

8 Untuk pembahasan Kartini lihat Pramoedya Ananta Toer Panggil Aku Kartini Saja, (Jakarta:Lentera Dipantara, 2003).

9 Lihat Takashi Shiraisi Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti, 1997). Selanjut ditulis Zaman Bergerak.

10 Opcit Shiraisi Zaman Bergerak. Hal. 40.

(6)

Sarekat Islam yang Memulai...

Sejarah mencatat, Sarekat Islam (SI) adalah organisasi muslim pertama yang memiliki anggota begitu banyak. Pada zamannya, SI adalah organisasi Islam terbesar di Asia. Kemunculan SI tak bisa dipisahkan dari peran para jurnalis pribumi dan pedagang batik.

Pada awal abad ke-20, persaingan antara pedagang batik Jawa dan Cina begitu kentara. Hal ini, menjadi latar belakang terbentuknya Sarekat Dagang Islam12 (SDI) –

perkumpulan para pedagang batik Jawa—di kota Bogor oleh pencetusnya, salah seorang jurnalis, RM. Tirto Adhisoerjo13 dan Haji . Perubahan dari SDI menjadi SI, dikarenakan

faktor anggota yang lebih banyak bukan seorang pedagang, melainkan para abdi keraton dan priyayi.

Atas prakarsa Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto14, yang bertukar pendapat

mengenai organisasi, pada 10 September 1912, SDI resmi berubah menjadi SI. Untuk itu, atas bantuan Tirto Adhisoerjo, anggaran dasar organisasi diubah. Kemudian, dengan bantuan Tirto pula, SI diberitakan berdiri dan didaftarkan ke pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Pada masa awal SI, pergulatan internal begitu keras. Bak bayi yang baru lahir, proses tarik-menarik kepentingan begitu kuat. Antara para pedagang batik yang berpusat di Surakarta dan para abdi keraton. Belum lagi, beberapa jurnalis yang bergiat di Semarang dan Surabaya. Namun, dalam gulatan itu muncul sosok Tjokroaminoto. Di bawah kepemimpinannya SI menjadi salah satu organisasi dengan jumlah anggota terbanyak.

Tjokro berhasil membangun SI menjadi organisasi yang bersifat nasional, dan beragam tingkat sosial. Meskipun, para tokoh-tokoh pucuk organisasi dikuasai oleh kalangan intelektual dan priyayi. Pesatnya SI, berbarengan dengan mulai mundurnya Boedi Oetomo, yang dreken sebagai tonggak kebangkitan nasional. BO mengalami kemunduran disebabkan oleh stagnansi organisasi yang dipelopori oleh para priyayi Jawa itu. Hal ini semakin mendorong kemajuan SI, bisa dilihat melonjaknya anggota SI. Di sisi lain lain, sosok Tjokro menjadi harapan bagi penduduk Jawa. Bahkan, sosok Tjokro kerap dipersonafikasi sebagai Juru Selamat rakyat Jawa atau Ratu Adil.

12 Opcit Shiraishi Zaman Bergerak. Hal. 41-44.

13 Mengenai sosok Tirto Adhisoerjo dan sepak terjangnnya di dunia pers silakan lihat Pramoedya Ananta Toer

(7)

Zaman bergerak!

SI menjadi salah satu organisasi yang cukup diperhitungkan. Dengan jumlah yang cukup besar, SI menjadi perhatikan khusus pemerintah kolonial Hindia Belanda. terlebih, pada akhir abad ke-19, gagasan tentang Pan Islamisme sampai di Hindia Belanda. Hal ini yang mendorong, SI tersengat. Dan menjadi faktor SI menjadi ‘agak’ radikal.

Yang menarik, sikap pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap SI. Di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Idenburg, yang memang dipengarahi pemikiran etis, SI mendapat tempat dan dukungan. Hal ini tentu berbeda dengan sikap pemerintah kolonial Hindial Belanda terhadap Indische Party15, yang digawangi oleh Douwes Dekker, Tjipto dan

Soerwardi.

Memang, pada tahun-tahun awal, SI bukanlah organisasi yang secara frontal menentang pemerintah Hindia Belanda. Hal ini nampak dari ‘kerja sama’ dan hubungan yang erat antara Tjokro dan Dr. Rinkes, salah satu pejabat birokrat pemerintah kolonial untuk bagian pribumi.

Harus diakui, di bawah kepemimpinan Tjokro, SI menjelma menjadi organisasi nasional. Yang memiliki cabang-cabang di sejumlah daerah, bahkan sampai di luar pulau Jawa. Namun, cabang SI di Semarang memiliki cerita tersendiri. Oleh karena, cabang SI Semarang yang kelak memainkan peranan penting dalam perpaduan Islam dan Komunisme.

SI terus berkembang, meskipun malu-malu. Di bawah kepemimpinan Tjokro, SI diantara beberapa pilihan, ingin tetap bersikap moderat terhadap pemerintah kolonial, atau radikal, yang menyerukan pemerintahan sendiri, bahkan kemerdekaan. Meskipun, pada tahun 1917, kongres di Batavia, sudah terjadi wacana ke arah sana. Namun, lagi-lagi, SI masih malu-malu. Hal ini membuat sejumlah cabang-cabang kecewa, diantaranya cabang SI semarang.

Di bagian internal, rupanya, kebijakan pembentukan cabang yang bersifat otonom memperparah konflik antara SI pusat dan cabang. Di bagian ini pula, SI menjelma menjadi dapur perdebatan antara Islam dan Komunisme16.

(8)

Hantu Merah!

Hampir berbarengan, ide-ide tentang Komunisme-Sosialisme tiba di Hindia Belanda. Tentu, dalam bagian ini kita tak bisa menghindar pada satu nama; Henk Sneevliet. Ia seorang sosialis Belanda yang datang ke Hindia Belanda pada Februari 1913. Selama di Hindia, Henk bekerja sebagai wartawan di koran Soerabajaasch Handelsblad, Surabaya. Setelah beberapa lama di Surabaya,Henk ditawari pekerjaan di Semarang oleh salah satu kawannya, DMG Koch.

Di Semarang, Henk kembali bergairah. Ia menemukan VSTP, organisasi buruh kereta api, yang telah berdiri sejak 1908. Tak butuh waktu lama, Henk ‘memanfaatkan’ VSTP untuk ‘berbagi’ pengetahuannya tentang Komunisme. Henk pun turut membantu penerbitan VSTP,

De Volharding. Sejarah mencatat, pada 1914, Henk bersama sekitar 60 kawannya mendirikan

Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), adalah perkumpulan Sosial-Demokrat Hindia Belanda.

Bersama ISDV, Henk mulai menemukan ‘lahan’-nya. Meskipun, pada tahun 1914-1916, ISDV hanya perkumpulan yang beranggotakan tak terlalu banyak. Namun, perkumpulan ini menjadi tempat yang begitu ‘radikal’ pada zamannya. Mengingat, Henk adalah anggota SDAP (Partai Buruh Sosial demokrat) di negeri Belanda.

Momentum itu tiba. Pada Maret 1917, Henk mendapat berita yang luar biasa. Revolusi Bolshevik, di Rusia berhasil. Dengan segera ia menyampaikan kabar ini. Henk menulis sebuah artikel bertajuk “Zegepraal” atau “Kemenangan” yang dimuat di harian De Indiers, milik Insulinde. Artikel Henk mengajak penduduk Jawa untuk mengikuti apa yang terjadi di Rusia. Apa yang terjadi di Rusia,di bawah komando Lenin dan Trotsky, semakin meyakinkan Henk dengan jalan-jalan revolusioner. Dan hal ini, semakin mendorong Henk untuk membuat partai revolusioner demi memimpin jalannya revolusi proletar di Hindia Belanda17. Henk terus mengabarkan dan mendidik tentang Komunisme.

Henk menjadi aktor intelektual di balik tokoh-tokoh muda radikal, seperti Semaoen, Darsono dan Mas Marco Kartodikromo. Atas kerja Henk pula, beberapa Garda Merah di bentuk; di kalangan buruh sampai petani. Bagi Henk, buruh dan petani adalah sokoguru revolusi18. Karena aktivitas politiknya, Henk diseret ke pengadilan. Pemerintah kolonial

(9)

Hindia Belanda geram. Ia dituduh atas pasal-pasal penghasutan. Henk di bawah ke persidangan. Persidangan ini menjadi perhatian besar kalangan pergerakan.

Akhirnya, Henk divonis bersalah dan di usir dari Hindia Belanda. Murid intelektualnya, Semaoen dan Darsono, terpukul. Tetapi, ini menjadi titik tolak dimana kedua anak muda itu, Semaoen dan Darsono, menjadi penggerak Komunisme di tubuh Sarekat Islam.

Episode Henk selesai. Tapi cerita belum usai. Kebijakan infiltarsi kalangan ISDV di tubuh SI dilakoni. Beberapa tokoh ISDV, macam Semaoen, Darsono sampai Marco menjadi pimpinan di SI Semarang. Marco menjadi pejuang pena di bawah harian Sinar Hindia. Pada bagian ini, persentuhan dan perseteruan antara Islam dan Komunisme dimulai.

Sosok Semoen19 menjadi aktor utama. Ia pemimpin SI Semarang. Salah satu cabang

SI terkuat dan terkemuka, selain CSI Surabaya, di bawah kepemimpinan Tjokro. SI Semarang di bawah Semoen radikal. Dalam waktu setahun, keanggotaan SI Semarang mencapai 20.000 anggota, pada tahun 1917. Semaoen seorang propagandis. Ia penulis yang berbakat. Ia seorang organisatoris ulung. Tak heran, Semoen murid binaannya Henk.

Pada diri Semaoen, Henk berharap banyak. Pola infiltasi ke tubuh SI menjadi sebuah gagasan yang sangat brilian. Bak gayung bersambut, radikalisasi SI Semarang, menjadi tekanan tersendiri bagi CSI dibawah Tjokro. Menarik, sosok Tjokro yang sinkretis, tak menampik ide-ide yang digaungkan oleh Semaoen dan SI Semarang.

Pada tahun 1916, isu mengenai pembentukan Dewan Rakyat Hindia (Volskraad) menjadi sebuah cerita tersendiri di tubuh SI. Tjokro memandang Volskraad sebagai jalan menuju kemerdekaan. Namun, di sisi lain, Semaoen dan SI Semarang mencemoohnya. Bagian pertama perseteruan antara CSI dan cabang SI Semarang dimulai. Antara kepemimpinan Tjokro dan sosok Semaoen, antara Islam dan Komunisme.

Satu isu lagi, yang menjadi sebuah persentuhan dan perseteruan antara CSI dan SI Semarang... antara Islam dan Komunisme, yakni rencana pemerintah kolonial membentuk pasukan pertahanan milisi sipil warga Hindia Belanda (Indie Werbaar). Sebetulnya, ide ini di latar belakangi oleh keadaan global, yakni Perang Dunia I. Ketakutan Belandaakan keterdesakan negaranya. Pemerintah Belanda sadar betul, bahwa membentuk milisi dengan

(10)

warga sipil di Hindia Belanda adalah jalan keluar, yang bebas biaya. Namun, ini di tentang oleh SI Semarang. Baginya, melalui tulisan Semaoen dan Marco, Indie Werbaar adalah cara pemerintah kolonial menumbalkan rakyat pribumi dalam kepentingan kapitalistik mereka.

Setidaknya, dua isu itu menghadirkan sebuah kenyataan sejarah, yakni perseteruan antara CSI dan SI Semarang. CSI yang cenderung moderat dan kopetatif dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda, sementara SI Semarang yang cenderung ke-kiri-an.

Selain itu, beberapa persoalan internal SI menjadi bahan perseteruan. Salah satunya, soal cara kepemimpinan Tjokro. Salah satunya, Darsono, satu dari dua muri Henk ini, menuduh Tjokro menggelapkan dana organisasi. Dengan gamblang, Darsono menjelaskan di kongres kedua di Batavia. Tjokro menampik. Tapi, anak muda, Darsono, semakin garang mengkritik. Ini titik didih perseteruan antara CSI dan SI Semarang20.

Perseteruan terus berlanjut. Semakin memanas. Semaoen dan kawan-kawan SI Semarang semakin berani melakukan kritik pada CSI. Kali ini, SI Semarang dengan terang-terang mengkritik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada kongres di bulan Maret 1921, SI Semarang membuat pernyataan, “Sarekat Islam sepakat bahwa kejahatan penindasan secara nasional dan ekonomi merupakan produk kapitalisme, karenanya rakyat koloni ini harus bebas dari kejahatan tersebut, berjuang melawan kapitalisme dengan sekuat tenaga dengan kekuatan dan kemampuan, terutama melalui serikat buruh dan tani21”.

Hal ini menunjukkan kecenderungan ke arah ide komunis. Artinya, agitasi dan propaganda Semaoen dan kawan-kawan SI Semarang berhasil. Tapi, ini juga menjadi puncak perseteruan. Islam dan Komunisme.

Sebelumnya, pada tahun 1919 adalah cerita tersendiri dalam tubuh SI. Ketika terjadi peristiwa Afdeling B yang di pimpin oleh Haji Hasan dari Garut. Ia salah satu pemimpin SI Jawa Barat. Ia dan pengikutnya menolak membayar pajak padi dan beujung pada kerusuhan berdarah. Peristiwa ini melihatkan sel-sel komunis dalam SI.

Peristiwa Afdeling B berbuntut panjang. Pemerintah kolonial antipati pada SI, terutama Tjokro. Pada tahun berikutnya, Tjokro di penjara. Ia di vonis bertanggung jawab atas kerusuhan berdarah itu. Tjokro di penjara. Kepemimpinan di kuasai oleh Haji Agus Salim, salah satu kader SI Yogyakarta, orang kepercayaan Tjokro.

20 Opcit .. Shiraisi Zaman Bergerak. Hal. 308

(11)

Haji Agus Salim, mencanangkan suatu kebijakan ketika Tjokro di tahan. Ia berusaha untuk membersihkan unsur-unsur komunis pada tubuh SI. Kebijakan ini terkenal dengan istilah “Disiplin Partai”. Dari dalam penjara, Tjokro menolak kebijakan kawannya itu. I yakin, sebagai seorang yang sinkretis, bawah Komunisme dan Islam adalah sejalan-sepengiringan, itu ditulis Tjokro dalam booklet berjudul Islam dan Sosialisme. Tapi, tidak untuk Haji Agus Salim.

Kongres SI pada Oktober 1921, dengan tegas Haji Agus Salim membersihkan unsur-unsur komunis di tubuh SI. Dan, yang terpenting, ia melarang anggota-anggota yang mengikuti beberapa organisasi selain SI.

Kemudian, SI Semarang menjadi Partai Komunis Indonesia.

Sarekat Islam: Islam dan Komunisme, Tunggang-Menunggangi...

Di awal abad ke-20, dunia tengah mengalami guncangan. Perang dimana-mana, dan krisis melanda. Tak terkecuali Hindia Belanda. Sebagai negeri jajahan, Hindia Belanda, yang tereksploitasi secara materil dan non-materil, ditambah krisis yang melanda, memperparah keadaan kehidupan penduduk pribumi. Arus kapitalisme di Hindia Belanda semakin memperparah. Dalam keadaan seperti inilah, Henk muncul dengan membawa gagasan dan ide tentang Komunisme.

Terlebih, pada tahun 1917, angin revolusi proletar menderu dari Rusia. Ini semakin meyakinkan sejumlah tokoh Sosial-Demokrat, diantaranya Henk, dengan jalan-jalan revolusioner. Tak terkecuali untuk di Hindia Belanda.

Proses kelahiran SI, mungkin berbarengan dengan keadaan yang menghimpit itu. memang, SI diprakarsai oleh kalangan intelektual dan pedagang batik, tetapi mayoritas anggotanya adalah penduduk pribumi yang melarat. Tentu, mereka berharap banyak dengan SI. Tjokro adalah manifestasi dari juru selamat atau ratu adil.

(12)

pribumi masih harus dialami. Pada titik ini, Komunisme coba di tawarkan. Melalui sosok Henk dan para murid intelektualnya, Semoen dan kawan-kawan SI Semarang.

Komunisme, dengan Marxisme sebagai pedoman pikiran, terbukti ampuh membangkitkan kesadaran ketertindasan penduduk pribumi. Benar, tak menjadi soal pengikut SI Semarang atau PKI mengerti tentang Komunisme/Marxisme atau tidak. Setidaknya, SI Semarang atau PKI memberikan sebuah harapan kemerdekaan.

Pada titik ini, kita bisa memahami sosok Haji Miscbah. Seorang mubalig yang dikenal taat beribadah dan kerap mengutip kitab suci, menerima bahwa Komunisme sebagai alat pembebasan ketertindasan. Baginya, Islam dan Komunisme tak bisa dipisahkan, bagi kemerdekaan penduduk Hindia Belanda. Oleh sebab itu, Haji Misbah begitu mahir mengutip ayat Al Qur’an dan hadis Nabi Muhammad dan mensejajarkan dengan paham-paham Marxisme22.

SI, di bawah kepemimpinan Tjokro dan Haji Agus Salim memang sebuah cerita yang unik, sekaligus paradoksal. Atau memang, ‘zaman pergerakan’ adalah paradoks? Yang jelas, dengan kebijakan disiplin partainya, Haji Agus Salim mencoba membersih SI dari unsur Komunisme. Tentu, seberapa jauh ketidakpuasan dan pandangan elektik-sinkretik kedua tokoh itu tersebut dalam memandang Islam dan Komunisme. Lagi-lagi, terdengar paradoks.

Contoh yang menarik tentang tunggang-menunggangi antara Islam dan Komunisme adalah peristiwa pemberontakan Komunis pada tahun 1926 di Banten. Masuknya Komunisme di Banten cenderung terlambat. Tetapi, Komunisme justru di terima baik disana, meskipun sebagian masyarakat Banten muslim yang fanatik.

Menurut Michael C William, Islam-Komunisme di terima baik di Banten, di karenakan memang tindakan kesewenangan pemerintah kolonial Hindia Belanda. artinya, Islam-Komunisme di jadi satu alat untuk mempertentangkan pemerintah kolonial23. Hal ini

menjadi menarik, lagi-lagi sebagaimana teah ditelaah diatas, bawah sebetulnya pada masa itu ajaran Komunisme/Marxisme tak menjadi soal mengerti atau tidak, yang pasti Komunisme/Marxisme beserta Islam di jadikan alat untuk mempertentangkan pemerintah kolonial.

22 Opcit... Takashi Zaman Bergerak. Hal. 344

(13)

Jika di Surakarta kita mengenal Haji Misbach, seorang ulama yang taat beribadah namun menerima Komunisme, maka di Banten ada sosok Kyai Haji Achmad Chatib. Ia adalah pemimpin dan pemeran penting dalam pemberontakan Komunis di Banten pada tahun 1926. Ia beserta kawannya, Ahmad Basaif dan Tubagus Alipan, menjadi sosok yang mengombinasikan Islam dan Komunisme di Banten pada pemberontakan tahun 1926.

Ini menunjukkan, Islam-Komunisme, pada suatu masa tertentu dapat beriringan dan sejalan, tanpa mempertentangkannya.

Dan, Islam-Komunisme...

Pada 23 Mei 1920, Partai Komunis Indonesia berdiri. PKI menjadi generator jalannya revolusi di Hindia Belanda. Pada tahun 1926, atau biasa dikenal dengan keputusan Pramban, November 1925.

Revolusi yang dicanangkan oleh Semaoen dan kawan-kawan memang gagal. Pemerintah kolonial Hindia Belanda masih berdiri. Bahkan setelah itu, para komunis dan setengah-komunis di buang ke Boven Digul. Dan setalah itu, jawara pergerakan di paksa tiarap untuk mengepalkan tangan untuk meneriakkan kata; “lawan!”.

Komunisme di Indonesia memiliki cerita tersendiri. Dan cerita itu kerap bersinggungan dengan Islam. Tak heran, jika kita baca riwayat hidup beberapa tokoh komunis, semisal Tan Malaka atau DN Aidit, yang dianggap komunis tulen, rupanya mereka (dulu) seorang muslim yang taat. Tan kerap belajar di surau saban magrib. Aidit dikenal sebagai muazin di surau dekat rumahnya.

Belum lagi, beberapa peristiwa pemberontakkan pada tahun 1926 di sejumlah wilayah. Yang digerakkan oleh sel-sel Komunise, namun para penggeraknya seorang pemimpin Islam, itu yang terjadi di Banten.

(14)

pergerakan. Hal ini yang perlu diperhatikan. Bukan perseteruan abadi antara “Putih” dan “Merah”.

Pada bagian ini, rupanya, sosok Soekarno muncul untuk menerangkan dikotomi “Putih” dan “Merah” itu melalui tulisannya “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang ditullis secara tiga periode 1926/192724. Soekarno menjelaskan, bahwa ketiga gagasan dan ide

itu mesti dalam satu ‘kapal’, yakni persatuan.

Melalui tulisan Soekarno itu, kita harus melihat, dikotomi antara “Putih” dan “Merah” bukan sebagai dua entitas ideologis yang selalu bersetereu. Pada suatu masa, mungkin bisa saja benar, dan itu yang terjadi pada tubuh SI di bawah kepemimpinan Tjokro. Artinya, sejarah mencatat, bahwa persentuhan dan perseteruan antara Islam dan Komunisme pada tubuh SI mesti dilihat sebagai proses dialektika zaman. []

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

van Niel, Robert, Munculnya Elite Modern Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.

_____________, Sistem Tanam Paksa di Jawa, Jakarta: LP3ES, 2003.

McVey, Ruth. T, Kemunculan Komunisme Indonesia, Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.

Toer, Pramoedya Ananta, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.

____________________, Sang Pemula, Jakarta: Hasta Mitra, 1985.

William, Michael C, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis di Banten 192,

Yogyakarta: Syarikat, 2003.

Kasenda, Peter, Sukarno, Marxisme dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia, Jakarta: Komunitas Bambu, 2014.

(15)

Shiraisi, Takashi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.

Yuliati, Dewi, Semoen: Pers Boemiputera dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang, Semarang: Bendera, 2000.

Mulyana,Slamet, Kesadaran Nasional: dari Kolonialisme sampai Kemedekaan jilid 1, Yogyakarta : PT. LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2008.

Carey, Peter, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), Jakarta: Penerbit Kompas, 201.

K. Pringgodigdo, A, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta : PT. Dian Rakyat, 1994.

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Indonesia, 2008.

Majalah:

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum dalam metode EVT terdapat dua cara untuk mengidentifikasi data ekstrim, yaitu Block Maxima (BM) dan Peaks Over Threshold (POT). Metode BM adalah metode

Judul Kegiatan : Penerapan Kombinasi Model Quantum Learning dan CTL (Contextual Teaching And Learning) dengan Praktikum Berbasis Lingkungan untuk Meningkatkan

Alasan penulis melakukan redesign terhadap media-media yang sudah ada terhadap penyelenggaraan kegiatan kampus dan menambahkan rancangan media baru berupa wallpaper

Masalah utama yang ada di Desa Peron adalah petani aren dalam pemasaran hasil masih tergantung dengan tengkulak, kurangnya diversifikasi dari aren menjadi produk-produk yang

AMPAS TAHU DALAM UPAYA PEMANFAATAN LIMBAH TAHU SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN DI DESA PASUNCEN KECAMATAN TRANGKIL KABUPATEN PATI. PKM Pengabdian

Total phenolicic content of the six seeded pummelo cultivars were 1.24 to 2.28 mg GAE ml -1 , Banyuwangi cultivar had the highest total phenolic content followed

[r]

Untuk mewujudkan dua sasaran tersebut, tulisan ini menjadi penting dan strategis untuk mengidentifikasi nilai-nilai agama yang bersifat sosial untuk disosialisasikan