• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstitusionalitas Model Pemilihan Noken dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konstitusionalitas Model Pemilihan Noken dalam "

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Konstitusionalitas Model Pemilihan Noken Oleh : Pandu Dewanata1

PENDAHULUAN

Masyarakat Indonesia bersifat pluralis terdiri dari berbagai macam suku

bangsa, bahkan diantara suku-suku tersebut masih ada yang menjunjung tinggi

nilai-nilai adat setempat dan tidak bisa dipengaruhi oleh nilai-nilai baru yang

datangnya dari luar budaya masyarakat adat tersebut. Sifat pluralis tersebut

dipertahankan oleh negara melalui konstitusi, yang mengakui dan menghormati

hak-hak tradisional masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat.2 Bahkan konstitusi dibuat dengan cita-cita

yang berakar dari semangat bangsa Indonesia yang khas serta pengalaman

ketatanegaraan adat yang telah dipraktekkan oleh masyarakat Indonesia.3

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai-nilai adat mempengaruhi

ketatanegaraan di Indonesia, termasuk sistem pemilihan.

Dalam praktik pemilihan umum masyarakat adat di Papua menggunakan

model pemilihan yang berbeda dengan model pemilihan pada umumnya di

Indonesia. Mekanisme pemilihan yang dilakukan oleh masyarakat adat di Papua

dengan cara memasukkan surat suara yang telah dicoblos ke dalam “noken”,

semacam kantong yang terbuat dari kain. Model pemilihan noken diawali dengan

musyawarah antara kepala suku dengan masyarakat mengenai pilihan mereka.

Setelah menghasilkan mufakat, kepala suku mewakili masyarakat untuk memilih

1 Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran saat ini mengambil program kekhususan Hukum Tata Negara.

2 Lihat Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945.

3 Ahmad Zazili, Pengakuan Negara terhadap Hak-Hak Politik Masyarakat Adat dalam

(2)

calon anggota badan legislatif, calon kepala daerah, maupun calon presiden.

Pemilihan model Noken ini terungkap dalam sidang perkara nomor

47-81/PHPU.A/VII/2009 di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh dua orang

pemohon, yaitu Pdt. Elion Numberi dan Hasbi Suaib, S.T. Sebenarnya yang

dipersoalkan pemohon bukan mekanisme noken, melainkan perselisihan hasil

pemilu untuk anggota DPD.

Setidaknya ada dua hal yang perlu dicermati dalam mengaitkan pemilihan

model noken dengan sistem pemilu di Indonesia, yaitu:4 (1) terkait dengan asas

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil; dan (2) ketentuan tentang tata

cara pemungutan suara didalam UU pemilu. Dalam model pemilihan noken,

kepala suku mewakili suara dari masyarakatnya dimana hal ini bertentangan

dengan asas langsung. Selain itu dalam model pemilihan ini surat suara yang telah

dicoblos dimasukkan ke dalam noken, bukan di dalam kotak suara.

Tulisan ini akan menganalisa mengenai konstitusionalitas model

pemilihan noken yang diakui eksistensinya melalui konstitusi dan putusan MK

No.47-81/PHPU.A-VII/2009. Kemudian tulisan ini akan meletakkan model

pemilihan noken dalam tiga konteks, yaitu nilai-nilai demokrasi, kontitusi pluralis,

serta hak memilih dari masyarakat adat.

4 Yance Arizona, Konstitusionalitas Noken:Pengakuan model pemilihan masyarakat adat dalam

(3)

PEMBAHASAN

Nilai-Nilai Demokrasi dalam Model Pemilihan Noken

Sebagaimana pendapat Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, dalam

paham kedaulatan rakyat (demokrasi), rakyat dianggap sebagai pemilik dan

pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.5 Secara umum demokrasi

terbagi menjadi dua, demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung. Model

pemilihan noken merupakan bentuk dari demokrasi tidak langsung, karena tiap

individu dari masyarakat adat di Papua mewakilkan hak memilihnya kepada

kepala suku. Namun model pemilihan noken dilakukan dalam pemilu yang

merupakan penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung atau demokrasi

langsung. Artinya model pemilihan noken merupakan demokrasi tidak langsung

yang dilaksanakan dalam saluran demokrasi langsung. Kepala suku dan anggota

masyarakat adat akan melakukan musyawarah mufakat untuk menentukan pilihan

mereka, sehingga masyarakat adat tersebut benar-benar ‘aklamasi’ mengenai

pilihannya dalam pemilu.

Demokrasi langsung maupun demokrasi tidak langsung pada hakikatnya

sama-sama demokratis. Model pemilihan noken merupakan demokrasi ‘khas’

Indonesia yang sejalan dengan konsep demokrasi Pancasila. Menurut Mohammad

Hatta, demokrasi Pancasila adalah demokrasi kekeluargaan dan gotong royong

yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur

berkesadaran religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur,

(4)

berkepribadian Indonesia, dan berkesinambungan.6 Dalam demokrasi Pancasila,

keuniversalan cita-cita demokrasi dipadukan dengan cita-cita hidup bangsa

Indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan, sehingga tidak ada dominasi

mayoritas atau minoritas.7

Model pemilihan noken yang mengumpulkan kepala suku dan anggota

masyarakat adat untuk menentukan pilihan mereka dalam pemilu merupakan

wujud dari demokrasi kekeluargaan dan gotong royong. Dalam model pemilihan

noken terdapat perpaduan antara esensi dari pemilihan umum dan karakteristik

masyarakat adat Papua. Pemilu bagi masyarakat adat Papua mempunyai esensi

sebagai pengakuan dan perwujudan hak-hak politik rakyat, serta merupakan

pendelegasian hak-hak tersebut kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan

pemerintahan. Esensi tersebut tentu harus sejalan dengan karakteristik masyarakat

adat Papua yang berkarakter masyarakat solidaritas mekanis. Masyarakat

solidaritas mekanis menurut Emile Durkheim adalah masyarakat yang

mementingkan kebersamaan dan keseragaman, selain itu pemimpin memiliki

kedudukan sentral.8

Salah satu wujud hukum adat yang menjadi ciri ketatanegaraan Indonesia

adalah prinsip musyawarah.9 Musyawarah merupakan forum pengambilan

keputusan sekaligus pembatasan kekuasaan.10 Model pemilihan noken dilakukan

musyawarah dan mufakat yang juga menjadi karakteristik masyarakat adat Papua,

6 Mohammad Hatta, Indonesia Merdeka, LP3ES, Jakarta, 1998, hlm. 87.

7 Yudi Latif, Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia, Jakarta, 2011, hlm. 383.

8 Achmad Sodiki, Konstitusionalitas Pemilihan Umum Model Masyarakat Yahukimo, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2009, hlm. 2.

9 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Hukum Tata Negara Adat, Disampaikan sebagai bahan Keynote Speech pada Seminar Nasional tentang Konstitusi Kesultanan-Kesultanan Islam di Jawa Barat dan Banten. UIN Gunung Djati, Bandung, 5 April 2008, hlm. 4-5.

(5)

dalam musyawarah tersebut akan terjadi pertukaran pendapat mengenai pilihan

dalam pemilu. Musyawarah akan terus berjalan sampai tercapainya mufakat,

perbedaan pilihan dari masing-masing anggota masyarakat akan berakhir ketika

diperoleh mufakat dalam musyawarah. Walaupun pencoblosan surat suara

dilaksanakan oleh kepala suku namun kepala suku harus memilih sesuai dengan

mufakat yang telah dicapai, sehingga model pemilihan noken tetap demokratis.

Bagi masyarakat adat Papua pemilu identik dengan pesta gembira,11

sehingga pemilu tidak boleh meninggalkan permusuhan diantara mereka akibat

perbedaan pilihan. Jika dipaksakan menggunakan tata cara pemilihan umum

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka dikhawatirkan

akan timbul konflik di antara kelompok-kelompok masyarakat setempat.12 Dapat

disimpulkan bahwa model pemilihan noken tetap memiliki nilai demokratis yang

sesuai dengan karakteristik masyarakat adat Papua.

Konstitusi Pluralis

Pada negara pluralistik seperti Indonesia, konstitusi juga harus

mencerminkan penghargaan terhadap keberagaman sosial di dalam masyarakat.

Negara Indonesia sendiri juga memiliki keberagaman model pemilu yang

berdasarkan pada adat istiadat, khususnya di daerah Papua. Pasal 18B ayat (2)

UUD 1945 secara tegas menyatakan adanya pengakuan terhadap hak-hak

tradisional masyarakat hukum adat sepanjang sesuai dengan perkembangan

masyarakat. Model pemilihan noken yang dilaksanakan masyarakat adat di Papua

tetap sesuai dengan perkembangan masyarakat di Papua karena masih dilakukan

(6)

oleh masyarakat adatnya. Selain itu model pemilihan noken juga dikuatkan

dengan pengakuan dari Mahkamah Konstitusi. Putusan MK Nomor

47-48/PHPU.A-VI/2009 mengakui model pemilihan noken sebagai bagian dari

pengakuan konstitusi terhadap kesatuan masyarakat hukum adat yang masih

hidup.13 Sehingga dapat disimpulkan bahwa konstitusti Indonesia adalah

konstitusi pluralis, konstitusi yang mengakomodasi keberagaman yang hidup di

tengah-tengah masyarakat.

Istilah kontitusi pluralis diperkenalkan oleh Neil Walker melalui

tulisannya yang berjudul The Idea of Constitutional Pluralism.14 Gagasan Neil

Walker muncul dari kritik yang diajukannya, antara lain :15

 kritik terhadap karakter konstitusi yang melanjutkan tradisi kerangka

pemikiran yang statis, sehingga tidak mampu menjelaskan dan

bertindak sebagai wadah bagi arus mekanisme kekuatan politik, sosial,

ekonomi untuk menyelamatkan negara.

 constitutional fetishism yang merupakan suatu ilusi konstitusi yang

menghalangi pandangan pada mekanisme lain. Konstitusi dianggap sebagai ‘jimat’ dan sebagai satu-satunya yang mampu menyelesaikan

permasalahan di masyarakat.

 normative bias dari konstitusi modern yakni adanya tendensi

menguntungkan kepentingan dan nilai-nilai tertentu di atas yang lain

dan gagal memberikan kedudukan yang seimbang bagi semua

kepentingan dan nilai yang seharusnya diakomodasi.

13Ibid, hlm. 3.

(7)

 ideological exploitation dari konstitusi modern menjadikan

konstitusionalisme sebagai sumber ideologi dan kecenderungan

membungkus kepentingan, ide, dan inspirasi dalam pakaian konstitusi,

bukan karena komitmen pada ukuran normatif tertentu di dalam

konstitusionalisme.

Hukum tumbuh dan berkembang dalam jiwa masyarakat.16 Sejalan dengan

pendapat Von Savigny bahwa hukum mengikuti jiwa (volkgeist) dari masyarakat

setempat. Bagi Carl Von Savigny, pemahaman yang benar dalam menyusun

hukum merupakan suatu tindakan self-conscious articulation tentang apa yang

tertanam dalam perilaku masyarakat.17 Volkgeist masing-masing masyarakat

berlainan, maka hukum yang berlaku dalam masyarakat juga berlainan.18

Sebagaimana model pemilihan noken yang didasari oleh volkgeist masyarakat

adat Papua yang mengutamakan musyawarah mufakat dan solidaritas dari

kesatuan masyarakatnya.

Sejarah pembentukan konstitusi Indonesia dimulai sejak proses

pembahasan UUD 1945, menunjukkan bahwa UUD 1945 dibuat dengan cita-cita

yang berakar dari volkgeist bangsa Indonesia yang khas dan pengalaman

ketatanegaraan adat yang telah dipraktekkan oleh masyarakat Indonesia.19

Sebagaimana yang dikatakan Soepomo dalam rapat pembahasan BPUPKI, ”dasar

dan susunan negara berhubungan dengan riwayat hukum (rechtsgeschichte) dan

16 Atip Latipulhayat, Friedrich Karl Von Savigny, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2, Nomor 1, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2015, hlm. 197.

17 Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum, Soepomo : Pergulatan Tafsir Negara Integralistik, Thafa Media, Yogyakarta, 2015, hlm. 241.

18 Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 64.

(8)

lembaga sosial dari negara itu”.20 Kaitan erat antara hukum dan masyarakat telah

disadari oleh founding father, karena hukum dapat menjadi benda mati apabila

tidak mampu menerjemahkan volkgeist bangsa. Sehingga konstitusi pluralis

adalah pilihan yang tepat untuk sebuah bangsa yang plural.

Sejak amandemen kedua UUD 1945, konstitusi telah mengakomodasi

hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dalam Pasal 18B ayat (2).

Diakomodasinya hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dalam konstitusi

diperkuat juga dengan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Identitas

budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan

zaman dan peradaban”. Dalam rumusan tersebut sudah terdapat perwujudan dari

gagasan konstitusi pluralis. Sehingga konstitusi terbuka terhadap majemuknya

hukum yang di Indonesia sepanjang sesuai dengan perkembangan zaman dan

masyarakat. Model pemilihan noken tetap selaras dengan perkembangan

masyarakat dan zaman, karena model pemilihan ini tetap bertahan sampai

sekarang. Walaupun hukum adat seringkali berbeda dengan hukum positif yang

berlaku di Indonesia tetapi itu tidak menjadi alasan untuk menafikan hukum adat

yang berlaku di suatu daerah.

Hak Pilih dari Masyarakat Hukum Adat

Menurut pendapat Van Vollenhoven, masyarakat hukum adat merupakan

subjek hukum.21 Subjek hukum adalah pengemban dari hak-hak dan

kewajiban-kewajiban.22 Masyarakat hukum adat di Indonesia menjadi penyandang dari hak

pilih yang diatur oleh hukum. Kerangka hukum harus memastikan semua warga

20 Yanis Malaadi, Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pasca

Amandemen, Mimbar Hukum, Volume 22, Nomor 3, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2010, hlm. 453.

21Loc.Cit, hlm. 141.

(9)

negara yang memenuhi syarat dijamin memberikan suara secara universal dan adil

serta berhak ikut dalam pemilihan tanpa diskriminasi.23 Pemberian hak pilih

didasarkan pada persyaratan kewarganegaraan, usia, dan kediaman. Kerangka

hukum sejatinya tidak diperkenankan melakukan pembatasan hak pilih selain

dengan syarat-syarat tersebut. Apabila tidak tentu akan menimbulkan diskriminasi

dalam pemilu. Diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,

paham politik atau pendapat, perkumpulan dengan minoritas nasional, kekayaan,

kelahiran atau status lainnya tidak diperkenankan mencabut hak warga negara yang

memenuhi syarat untuk memberikan suara atau bersaingdalam pemilu.24

Walaupun masyarakat adat di Papua memiliki perbedaan model pemilihan bukan

berarti negara dapat mencabut atau membatasi hak pilih mereka. Hal ini dijamin dengan

adanya prinsip persamaan dihadapan hukum yang telah termaktub dalam Pasal 28D ayat

(1) UUD 1945. Dengan adanya jaminan tersebut hak pilih dari masyarakat adat di Papua

tidak berbeda dengan masyarakat lainnya. Negara tidak boleh melakukan diskriminasi

terhadap masyarakat adat di Papua atas dasar model pemilihan yang berbeda. Masyarakat

adat di Papua harus bebas dari perlakuan diskriminatif dalam pemilu yang bisa saja

dilakukan oleh negara, atas dasar Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 bahwa setiap orang bebas

dari perlakukan diskriminatif atas dasar apapun.

Legitimasi terhadap hak pilih dari masyarakat hukum adat juga terdapat

pada United Nations Declaration on The Rights of Indigeneous Peoples

(UNDRIPs) yaitu dalam preambule dan Pasal 27. Preambule UNDRIPs

mengatakan,” Recognizing also that the situation of indigenous peoples varies

from region to region and from country to country and that the significance of

national and regional particularities and various historical and cultural

23 International IDEA, Standar-Standar Internasional untuk Pemilihan Umum, diunduh dari <http://www.idea.int/publications/pub_electoral_main.html> pada 11 September 2015, hlm. 35.

(10)

backgrounds should be taken into consideration” (“menyadari bahwa situasi

masyarakat adat bervariasi dari wilayah ke wilayah, dari negara ke negara dan

pentingnya kekhasan nasional dan regional dan latar belakang sejarah dan

budaya”). Pasal 27 dinyatakan bahwa, ” States shall establish and implement, in

conjunction with indigenous peoples concerned, a fair, independent, impartial,

open and transparent process, giving due recognition to indigenous peoples’

laws, traditions, customs and land tenure systems, to recognize and adjudicate the

rights of indigenous peoples pertaining to their lands, territories and resources,

including those which were traditionally owned or otherwise occupied or used.

Indigenous peoples shall have the right to participate in this process” (“negara

patut mendirikan, menerapkan dalam kaitannya dengan masyarakat adat terkait

sebuah proses yang jujur, independen, tidak memihak, terbuka dan transparan,

memberikan pengakuan yang pantas terhadap hukum, tradisi, adat dan sistem

pemanfataan tanah masyarakatadat, untuk mengakui dan bertindak sebagai hakim

untuk memutuskan hak-hak masyarakat adat terkait dengan tanah, wilayah dan

sumber daya, termasuk yang mereka miliki atau kalau tidak menduduki dan menggunakan secara tradisional”).

Dalam preambule tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa negara

sepatutnya menyadari bahwa situasi masyarakat adat yang bervariasi dan

pentingnya kekhasan regional, latar belakang sejarah, dan budaya. Sehingga

perbedaan model pemilihan yang dianut masyarakat adat di Papua tidak

menjadikan negara berwenang untuk mencabut atau membatasi hak pilih mereka.

Sedangkan Pasal 27 UNDRIPs menekankan kepada seluruh negara yang ikut

(11)

masyarakat adat di Papua. Sehingga model pemilihan noken yang berdasarkan

adat istiadat setempat sepatutnya diakui oleh negara dan tidak boleh terjadi

pembatasan atau pencabutan hak pilih.

KESIMPULAN

Model pemilihan noken merupakan demokrasi tidak langsung yang

dilaksanakan dalam saluran demokrasi langsung. Model pemilihan noken merupakan demokrasi ‘khas’ Indonesia yang sejalan dengan konsep demokrasi

Pancasila. Hal ini dibuktikan dengan adanya musyawarah antara kepala suku dan

anggota masyarakat adat untuk menentukan pilihan mereka dalam pemilu.

Diakuinya model pemilihan noken merupakan wujud dari konstitusi pluralis yang

terbuka terhadap majemuknya hukum yang di Indonesia, sepanjang sesuai dengan

perkembangan zaman dan masyarakat. Model pemilihan noken tetap selaras

dengan perkembangan masyarakat dan zaman, karena model pemilihan ini tetap

bertahan sampai sekarang. Walaupun masyarakat adat di Papua memiliki perbedaan

dalam model pemilihan bukan berarti negara dapat mencabut atau membatasi hak pilih

mereka. Karena konstitusi dan UNDRIPs telah memberikan jaminan terhadap hak pilih

mereka, sehingga tidak boleh ada perlakuan diskriminatif terhadap masyarakat adat di

(12)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Hatta, Mohammad, 1998, Indonesia Merdeka, LP3ES, Jakarta.

International IDEA, Standar-Standar Internasional untuk Pemilihan Umum, diunduh dari <http://www.idea.int/publications/pub_electoral_main.html> pada 11 September 2015.

Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Kusumaatmaja, Mochtar, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.

Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum, 2015, Soepomo : Pergulatan Tafsir Negara Integralistik, Thafa Media, Yogyakarta.

Rasyidi, Lili dan Ira Rasyidi, 2001, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Artikel dan Makalah

Arizona, Yance, 2010, Konstitusionalitas Noken:Pengakuan model pemilihan masyarakat adat dalam sistem pemilihan umum di Indonesia, Jurnal Konstitusi Pusako Universitas Andalas, Volume 3, Nomor 1, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Hukum Tata Negara Adat, Disampaikan sebagai bahan Keynote Speech pada Seminar Nasional tentang Konstitusi Kesultanan-Kesultanan Islam di Jawa Barat dan Banten. UIN Gunung Djati, Bandung, 5 April 2008.

Latipulhayat, Atip, 2015, Friedrich Karl Von Savigny, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2, Nomor 1, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Malaadi, Yanis, 2010, Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen, Mimbar Hukum, Volume 22, Nomor 3, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Sodiki, Achmad, 2009, Konstitusionalitas Pemilihan Umum Model Masyarakat Yahukimo, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur histologis limpa pada ayam kampung (Gallus gallus domesticus) terdiri dari bagian stroma (kapsula dan trabekula) dan bagian

Kegiatan sandar labuh kapal berpengaruh terhadap kegiatan bongkar muat dan sebaliknya kegiatan bongkar muat berpengaruh terhadap kegiatan sandar labuh, sehingga

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa lama fermentasi yang berbeda Tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kualitas fisik warna dan pertumbuhan jamur silase batang pisang.. Akan

Pada pemilihan sistem pengelolaan kawasan yang merupakan pilihan terbaik adalah model partnership dan Kemenristek (G1), Pengelola kawasan (G-5) dan Lembaga Litbang (G-6)

Dengan segala kelebihan diatas maka bisnis budidaya landak Susu sangat layak dilaksanakan karena pasti bisa dilakukan mahasiswa, tidak menyita waktu dan tempat serta

Sejumlah faktor yang menandai keberadaan peristiwa itu, yakni: (1) setting atau scene yaitu tempat dan suasana peristiwa tutur yang berada di pinggir jalan umum

Dengan banyak pelayan tersebut waktu yang dibutuhkan untuk melayani nasabah menggunakan sistem fuzzy logic Sugeno lebih cepat dari pada menggunakan sistem bank konvesional sehingga

Tekanan darah yang tinggi pada pasien stroke tidak selalu merugikan karena peningkatan tekanan darah tersebut dapat menguntungkan pasien karena dapat memperbaiki