• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filsafat secara harfiah berasal kata Phi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Filsafat secara harfiah berasal kata Phi"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Filsafat secara harfiah berasal kata Philo berarti cinta, Sophos berarti ilmu atau hikmah, jadi filsafat secara istilah berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Pengertian dari teori lain menyatakan kata Arab falsafah dari bahasa Yunani, philosophia: philos berarti cinta (loving), Sophia berarti pengetahuan atau hikmah (wisdom), jadi Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta pada kebenaran. Pelaku filsafat berarti filosof, berarti: a lover of wisdom. Orang berfilsafat dapat dikatakan sebagai pelaku aktifitas yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya. Ariestoteles (filosof Yunani kuno) mengatakan filsafat memperhatikan seluruh pengetahuan, kadang-kadang disamakan dengan pengetahuan tentang wujud (ontologi). Adapun pengertian filsafat mengalami perkembangan sesuai era yang berkembang pula. Pada abad modern (Herbert) filsafat berarti suatu pekerjaan yang timbul dari pemikiran. Terbagi atas 3 bagian: logika, metafisika dan estetika (termasuk di dalamnya etika).

Filsafat menempatkan pengetahuan sebagai sasaran, maka dengan demikian pengetahuan tidak terlepas dari pendidikan. Jadi, filsafat sangat berpengaruh dalam aktifitas pendidikan seperti manajemen pendidikan, perencanaan pendidikan, evaluasi pendidikan, dan lain-lain. Karena ada pengaruh tersebut, maka dalam makalah ini mencoba untuk membahas tentang keterkaitan paradigma aliran-aliran filsafat tersebut dengan kajian pendidikan khususnya manajemen pendidikan.

KORELASI TEORI FILSAFAT DENGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN (Positivisme, Interpretivisme, Teori Kritis, Postmodernisme dan Prophetivisme)

Aliran Positivisme dan Sejarahnya

Aguste Comte dilahirkan pada tahun 1798 di kota Monpellir Perancis Selatan, ayah dan ibunya menjadi pegawai kerajaan dan merupakan penganut Agama Katolik yang cukup tekun. Ia menikah dengan seorang pelacur bernama Caroline Massin yang kemudian dia menyesali perkawinan itu. Dia pernah mengatakan bahwa perkawinan itu adalah satu-satunya kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dari kecil pemikiran-pemikiran Comte sudah mulai kelihatan, kemudian setelah ia menyelesaikan sekolahnya jurusan politeknik di Paris 1814-1816, dia diangkat menjadi sekretaris oleh Saint Simon yaitu seorang pemikir yang dalam merespon dampak negatif reinaisance menolak untuk kembali pada abad pertengahan akan tetapi harus direspon dengan menggunakan basis intelektual baru, yaitu dengan brfikir empirik dalam mengkaji persoalan-persoalan realitas sosial.

Dalam membangun teori sosiologi Comte lebih memilih unit analisa makro (obyektif) dan bukan individu, dalam hal ini entits yang lebih besar seperti keluarga, struktur sosial dan perubahan sosial. Ia menganjurkan untuk keluar dari pemikiran abstrak dan melakukan riset dengan melakukan eksperimentasi dan analisis perbandingan sejarah. Comte pada intinya berargumentasi bahwa gagasan terdahulu yang mendasari pengembangan struktur masyarakat maupun negara, atas dasar pemikiran spekulatif, sudah tidak releven dengan adanya teori positivistik. Dalam logika Comte sejarah manusia adalah perkembangan bertahap dari cara berfikir manusia itu sendiri. Dengan berargumen bahwa dengan pemikiran empirik rasional dan positiv maka manusia akan mampu menelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif melainkan secara konkrit, pasti bahkan mutlak kebenaranya.

INTERPRETIVISME

(2)

label, nama, atau konsep yang digunakan untuk membangun realitas.

Pokok pikiran filsafat beraliran interpretivisme diantaranya adalah sebagai berikut: • Tidak ada tindakan irasional, semua rasional bagi pelaku.

• Orang bertindak tidak lepas dari makna yang mereka miliki .

• Pemaknaan/penilaian setiap orang berbeda karena memiliki dunia makna yang berbeda. • Dunia makna setiap orang ditentukan oleh pengalaman.

• Sesuatu yang terjadi adalah prosuk pengalaman.

• Satu-satunya makhluk yang bebas menciptakan adalah manusia. • Manusia selalu dalam proses menjadi “sesuatu”.

TEORI KRITIS

Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan

merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.

Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt - paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan berangkat dari konsep kritik. Konsep kritik sendiri yang diambil oleh Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang

dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang

menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.

Berbeda dengan pendahulunya, Habermas optimis bahwa usaha manusia untuk menjadi rasional akan membuahkan hasil yang positif. Baginya manusia dapat melakukan emansipasi dan lepas dari irasionalitas. Ia membuat terobosan bagi kemacetan Teori Kritis dengan menunjukkan jalan yang tak terlihat oleh para pendahulunya.

POSTMODERNISME

Awal abad 20. Merupakan suatu aliran alternatif yang menawarkan style karya dan pemaknaan yang keluar dari pakem konservatif dan sebagai bentuk pemikiran yang kontradiktif terhadap peradapan hasil bentukan zaman pencerahan. Postmodernisme ini menekankan untuk kembali pada nilai- nilai lama.

(3)

 Skeptisisme terhadap gagasan yang di bawa oleh peradaban modern;

 Keyakinan bahwa segala bentuk komunikasi adalah hasil bentukan dari bias-bias cultural;

 Pemaknaan dan pengalaman diciptakan oleh individu;

 Dominasi media massa;

 Globalisasi sebagai bentuk masyarakat yang memiliki pluralitas budaya dan nilai yang saling terhubung.

Tokoh-tokohnya:

 Michel Foucault berangkat dari strukturalisme namun pada saat yang sama dia juga menolak (melawan) strukturalisme, dan menyadari bahwa sebuah pengetahuan didefenisikan dan dirubah oleh operasionalisasi sebuah kekuasaan (power) ;

 Jean-François Lyotard menekankan pada peran dari naratif dalam kebudayaan manusia, yang dapat membuat suatu perubahan saat memasuki situasi posmodern, dan dia meyakini bahwa suatu kebenaran merupakan hasil kesepakatan, sehingga tidak ada hal yang benar-benar mendasari suatu kebenaran (anti-foundationalist) dan terkenal dengan language games-nya.

 Jacques Derrida (1930) terkenal dengan dekonstruksinya. Pada awalnya adalah penemu dan penganut awal dekonstruksi. Dekonstruksi merupakan analisis tekstual yang dapat diterapkan dalam berbagai tulisan, dimana dia menganggap filosofi tidak lebih dari sebuah literatur yang kreatif. Menurutnya filosofi adalah bagian yang paling penting dari sebuah tulisan, tergantung pada sebuah operasionalisasi ekspresi imajinatif

PROPHETIVISME

Paradigma prophetivisme adalah aliran filsafat baru, namun terimplementasikan pada kehidupan

masyarakat sudah lebih ratusan tahun, hanya saja mendapatkan tempat sebagai sebuah aliran filsafat pada masa kini. Prophet artinya utusan/nabi/rasul, pada umumnya dikenal dengan filsafat kenabian. Sebagai landasan dalam berparadigma prophetivisme ini adalah wahyu yang dibawa Nabi atau prophet, dalam Islam secara otomatis berlandaskan al-Qur’an dan tujuannya adalah pencapaian kesempurnaan dengan tuntunan Allah SWT melalui nabi/prophet. Dengan pema’naan demikian, dapat difahami bahwa segenap perilaku kehidupan manusia berlandaskan aturan-aturan yang ada dalam al-Qur’an.

Dalam aliran ini, Allah SWT sumber kebenaran dan kebenaran yang ada pada manusia adalah bersifat relative sebagaimana pemaknaan kata AKU (Allah) kebenaran yang sempurna dan aku (Manusia) kebenaran yang relative.

KESIMPULAN

Keterkaitan aliran-aliran filsafat dalam pengaruhnya terhadap perkembangan manajemen pendidikan sangat urgen sekali, bahkan setiap implementasi manajemen pendidikan dan khususnya pendidikan Islam tidak terlepas dari pola pikir aliran-aliran filsafat tersebut. Keterkaitan tersebut dilandasi dengan tujuan yang sama, yaitu melakukan perubahan lingkungan manusia menjadi lebih efektif dalam mencapai

(4)

Perkembangan alam pikiran Barat hingga awal abad ke dua puluh ini telah menempatkan kedudukan filsafat sebagai pengetahuan yang mempunyai pamor tinggi. Tidak dapat disangkal, filsafat merupakan induk segala ilmu, the queen of the sciences, karena daripadanya berkembang ilmu-ilmu pengetahuan yang beragam sampai pada spesifikasinya yang amat khusus. Dewasa ini kita mengenal ilmu-ilmu mikrobiologi, genetika, ilmu perbintangan, tehnik nuklir dsb. yang keberadaannya tak mungkin kita pahami selain dalam kaitannya dengan perkembangan filsafat.

Di samping itu filsafat telah menyumbangkan pemikiran-pemikiran besar mampu menggerakkan orang untuk merubah masyarakat.Sokrates (± 470-399 sM), Plato (± 427-347 sM) dan Aristoteles (± 384-322 sM), tiga tokoh filsuf Yunani yang hidup antara 500-300 sebelum Masehi adalah filsuf-filsuf besar yang meletakkan dasar-dasar pemikiran yang nantinya menjadi benih-benih gagasan-gagasan besar dalam perubahan masyarakat seperti idealisme, demokrasi, konstitusi,keadilan sosial, hak asasi manusia dsb. yang dikembangkan oleh para filsuf berikutnya. Dalam hal ini filsafat mempunyai arti sebagai pemikiran dasar yang melahirkan doktrin-doktrin besar kenegaraan, moralitas, sosialitas, bahkan juga keagamaan yang hingga kini masih menjadi bahan perbincangan banyak orang. Dilihat secara demikian, filsafat boleh dikata juga memberikan dasar-dasar pemikiran untuk pegangan hidup, yang disebut Weltanschauung, wawasan yang luas dan proyeksi-proyeksi ke masa depan yang jauh. Tetapi pengartian-pengartian filsafat yang demikian inilah yang mulai dikritik, pertama-pertama oleh para ilmuwan tetapi kemudian juga oleh kalangan filsuf sendiri, yang tidak puas dengan peran filsafat yang terlalu jauh dari jangkauan praktis masyarakat, serta sifat ambisius yang arogan, yang mau meletakkan pengetahuan-pengetahuan lainnya di bawah rentangan sayapnya.

(5)

sehari-hari yang digunakan oleh orang-orang biasa kiranya akan kurang mendapatkan perhatian filsafat, sebab filsafat hanya berurusan dengan hal-hal yang umum bagi manusia, yang prinsipil atau mendasar, yang menyangkut kehidupan bangsa manusia dan untuk tujuan global. pada mulanya di jaman Yunani, ketika filsafat lahir, hal-hal praktis setiap harirupanya tidak merupakan persoalan yang perlu digumuli. Hal itu kiranya disebabkan karena sudah adanya kebiasaan-kebiasaan yang mantap dan diikuti seluruh masyarakat secara konvensionil tanpamempersoalkannya lebih lanjut. Dengan demikian filsafat bisa memanfaatkan kesempatan hanya untuk memusatkan perhatiannya pada persoalan-persoalan batas, kemungkinan-kemungkinan yang ada di balik kehidupan yang biasa itu. Marilah kita mulai dengan melihat beberapa kritik filsafat untuk kemudian menempatkan peran filsafat dalam jaman sekarang, khususnya dalam kaitannya dengan fungsi bahasa.

BEBERAPA KRITIK FILSAFAT

(6)

dari Canterbury (1033-1109), “credo ut intelligam”(“kepercayaan saya membuat saya mengerti”) dan “fides quaerens intellectum” (iman memberi terang akal budi). Dengan iklim seperti inilajim bagi mereka melakukan pembuktian-pembuktian logis (akal budi) akan adanya Allah.

Memang ada abad Pertengahan sudah muncul pula perdebatan filosofis mengenai apa yang disebut sebagai “universalia”, yakni

konsep-konsep abstrak yang digunakan dalam

pembicaraan filsafat.Kata-kata seperti “Hakekat” (essentia) dan “keberadaan” (existentia),“tindakan” (actus) dan “kemampuan” (poten tia), atau “substansi”(substantia) misalnya, atau juga hal-hal yang

berkaitan dengan keagamaan seperti

“rahmat” (gratia), “kodrat” (natura), “kemanusiaan”(humanitas), “priba di” (pesona), “nasib” (destinatio) atau “penyelenggaraan ilahi ´ (providentia Del) dsb. bagi sebagian filsufsungguh-sungguh mengandung makna yang padat, sebab mengungkapkan kenyataan yang berlaku umum. Akan tetapi bagi sebagian yang lain, kata-kata itu tak lebih dari konsep-konsep kosong tak berisi, sebab selain individu-individu yang riil tak ada sesuatu yang nyata. Menurut kelompok ini, konsep-konsep abstrak itu hanyalah kata-kata kosong atau bunyi saja yang keluar dari mulut ketika orang mengucapkannya (flatus vocis).

(7)

Ockham menghindari pembicaraan-pembicaraan dan diskusi steril menyangkut konsep-konsep tanpa makna.

Kebencian terhadap filsafat yang abstrak dan kosong, serta keengganan terhadap kecenderungan filsafat yang ambisius itu diperkuat lagi oleh adanya perkembangan ilmu-ilmu terapan (applied sciences) yang sangat pesat pada abad keenambelas. Sejak penemuan Copericus (1473-1543) di bidang astronomi, ilmu-ilmu alam telah membuktikan diri sebagai pengetahuan yang praktis, berguna dan yang memperlihatkan dampak langsung bagi kehidupan manusia.Penemuan demi penemuan di bidang ilmu semakin mengangkat pengetahuan ilmiah sebagai pengetahuan yang benar. Hal ini pun berpengaruh besar dalam perkembangan filsafat. Banyak pemikir filsafat mulai mengalihkan perhatian mereka pada metode yang ditempuh oleh ilmu pengetahuan, serta mengidealkan filsafat dengan metode ilmiah yang sifatnya pasti. Dengan latar belakang inilahDescartes (1596-1650) misalnya, merintis filsafat “Rasionalisme” dengan mengetengahkan pemikian sebagai konstruksi idea-idea dasar yang jelas dan terpilah-pilah (claire et distincte). RasionalismeDescartes diikuti oleh para filsuf sesudahnya yang mengarahkan perkembangan filsafat pada pendewaan “rasio” sebagai kriterium utama pemikian. Lahirlah pada periode berikutnya jaman “Pencerahan”(Enlightment atau Aufklarung) yang sangat menghargai akal budi. Kecenderungan

ini dengan jelas memperlihatkan bahwa manusia

modern sesungguhnya tidak menolak filsafat, melainkan cara atau metode pendekatannya saja yang terus menerus harus diperbaharui agar tetap relevan untuk kebutuhan perkembangan peradaban.

(8)

awal abad ke 20. Karl Jaspers (1883-1969),tokoh filsuf Jerman abad ke 20 ini, mengatakan dalam bukunyaPhilosophie (1967) bahwa meskipun ilmu-ilmu semakin luas dan mendalam, namun makna kehidupan tak pernah bisa dijawab olehmereka. Kita tetap membutuhkan filsafat untuk memecahkan persoalan-persoalan mendasar dari kehidupan. Filsafat berfungsi untuk menerangi eksistensi kita (Existenzerhellung), katanya.

PERAN DAN PENGARTIAN FILSAFAT

Sepanjang sejarahnya filsafat telah diartikan menurut berbagai-bagai kepentingan. pada mulanya filsafat diartikan seberbagai-bagai kerinduan(phio) akan kebijaksanaan (sophia), sebagaimana bisa dirunut dari arti etimologis kata Yunani “philosophia”. Dalam arti ini, seorang filsuf adalah seseorang yang mencari dan mengupayakan kebijaksanaan. Sementara murid-murid Aristoteles menurut tradisi mengartikan pengetahuan filosofis sebagai pengetahuan mengenai hal-hal yang mengatasi (meta) alam (physica) ini. Maka filsafat sering kali disebut juga sebagai “metafisika”. Dalam arti ini filsafat harus dipelajari sesudah ilmu-ilmu alam, sebab filsafat berkaitan dengan persoalan-persoalan asasi, yang mendasari kenyataan-kenyataan alam. Untuk selanjutnya menjadi lajim bahwa filsafat dipahami sebagai pengetahuan yang komprehensif dan mendasar (foundation) mengenai kenyataan. Obyek filsafat bisa

meliputi apa saja, baik

manusia (anthropologia) alam(cosmologia) mahupun ketuhanan (the odicea).

(9)

Hegel (1770-1831) memulai tradisi “Idealisme”, demikian seterusnya. Pokok dari semua isme ini ialah bahwa mereka memutlakkan ajaran atau doktrin mereka dan meredusir ajaran-ajaranlainnya. Akan tetapi sesuai dengan hukum sejarah, munculnya ajaran-ajaran baru dengan sendirinya akan membunuh ajaran lama sehingga setiap ajaran-ajaran itu sebenarnya tak pernah dapat bertahan lama tanpa derevisi. Kenyataan ini telah menumbuhkan rasa skeptis kepada mereka yang kemudian menganggap bahwa perkembangan fisafat tak lebih dari pergumulan antara ajaran-ajaran dan ideologi-ideologi kosong belaka. Ideologi yang satu hanya unggul dalam kurun waktu tertentu, sebab dengan segera muncul ideologi yang baru pada periode yang lain untuk menggantikannya. Oleh karena itu menurut mereka sejarah filsafat tak lebih dari sekedar kuburan idea-idea (cimetery of ideas).

(10)

mempunyai arti jika dapatdiperiksa (can be verified) lewat fakta yang dapat diamati secara inderawi. Dengan prinsip ini neo-Positivisme mengartikan filsafat bukan lagi sebagai kumpulan ajaran atau doktrin untuk memperolehkebijaksanaan atau untuk mencari pegangan hidup, yang dirumuskan dalam suatu sistem yang besar, sebagaimana dianut oleh para pemikir lama, melainkan sekedar sarana klarifikasi untuk melihat kenyataan menurut apa adanya. Filsafat menurut Neo-Positivisme sama sekali tidak memberikan ajaran, melainkan menganalisa ungkapan-ungkapan manusia, untuk meneliti apakah ungkapan mereka masuk akal dan karenanya bermakna dan bisa dipahami atau tidak. Maka untuk menjalankan klarifikasi atau penjelasan itu, Neo-Positivisme sangat ungkapan sangat tergantung oleh logis tidaknya bahasa. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa mashab ini juga disebut PositivismeLogis. Tokoh-tokoh aliran ini ialah Moritz Schalick (1882-1936), Hans Hahn (1880-1934), Otto Neurath (1882-1945), Hans Reichenbach (1891-1955), Victor Kraft (1880-1975), semuanya sarjana di bidangilmu pasti dan logika. yang sangat mengejutkan dari aliran ini terutama adalah kesimpulan-kesimpulan jauh yang ditarik dari prinsip dasar mereka; sebab dengan membatasi tugas filsafat hanya pada klarifikasi, mereka menolak etika (filsafat moral) yang membicarakan nilai-nilai.Demikian juga mereka menolak ungkapan-ungkapan keagamaan yang mereka anggap sebagai ungkapan-ungkapan irasional, penuh dengan getaran jiwa (emosi) yang tak bisa ditera dengan kenyataan konkrit.

Pandangan filsafat yang sangat ketat menyangkut peran bahasa di atas sebenarnya telah dirintis oleh Ludwig Wittgenstein

(1889-1951). Dalam bukunya Tractatus

(11)

tepat, oleh karena itu mengenai hal-hal yang tak dapat dibahasakan, sebaiknya orang diam. Dengan ini Wittgenstein bermaksud menolak ungkapan-ungkapan bahasa etis dan keagamaan yang tidak menunjuk pada kenyataan konkrit.

Namun perkembangan Neo-Positivisme dengan segera memperlihatkan bahwa penekanan pada fungsi logis dari bahasa berlawanan dengan kenyataan, sebab bahasa jauh lebih luas fungsinyadari sekedar melukiskan kenyataan secara logis. Hal ini dilihat oleh beberapa filsuf yang mulai menaruh perhatian pada kepentingan bahasa sehari-hari. Minat pada pemikiran seperti ini muncul di kalangan para sarjana di Oxford, di mana Wittgenstein, orang yang kita sebut di atas – berpindah dari Austria, dan merubah pandangan filsafatnya. Periode kedua dari pemikiran Wittgenstein ini ditandai dengan teorinya mengenai bahasa sebagai permainan

(“language games”). Dalam bukunya Philosophical

Investigations (1953), Wittgenstein mengemukakan bahwa sebagaimana setiap permainan, entah itu olah raga atau rekreasi, mempunyai aturan-aturannya yang berbeda, demikian pun bahasa. Ada berbagai-bagai ragam bahasa yang masing-masing mempunyai aturannya sendiri-sendiri. Tidak ada satu bahasa logis untuk semua, sebab setiap kalangan masyarakat pun nampaknya menggunakan lingkup bahasa yang khas dengan aturan mainnya sendiri. Pandangan semacam ini didukung antara lain oleh tokoh-tokoh Gilbert Ryle (1900-1976), Peter Frederick Strawson (1919- ), John Langshaw Austin (1911-1960) dan Ian T. Ramsey (1915-1972). Austinmisalnya, terkenal oleh karena pembedaanya antara ungkapan

performatif (“performative utterance”) dan ungkapan

(12)

PENUTUP

Dari uraian singkat di atas nampak bahwa filsafat itu teris menerus berkembang, baik menyangkut obyek keprihatinannya mahupun meteode atau cara pendekatannya. Lewat perkembangan itu,pengartian filsafat pun berubah-berubah. Namun kendati perubahan dan perkembangannya yang beruntun itu, filsafat tetap berusaha mempertahankan diri sebagai pengetahuan yang kritis, sistematis dan metodis sebagaimana halnya ilmu-ilmu lainnya. Dan yang penting lagi ialah kenyataan bahwa sejarah filsafat senantiasa memperlihatkan perjuangan untuk menjadikan dirinya tidak terlalu jauh dari persoalan-persoalan manusia konkrit, sehingga tetap relevan untuk kepentingan kehidupan manusia masa kini dan waktu yang akan datang.

Kepustakaan Sejarah Filsafat dalam Bahasa Indonesia:

1. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1975.

2. Dr. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Karnisius, 1976.

3. Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, Jilid 1 dan 2 Yogyakarta: Kanisius, 1980.

4. Dr. K. Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX, jilid I, Jakarta: Gramedia, 1981.

5. Dr. Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983.

6. Dr. K. Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX, jilid II, Jakarta: Gramedia, 1985.

(13)

Filsafat ilmu sebagai bagian integral dari filsafat secara keseluruhan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat itu sendiri secara keseluruhan. Menurut Lincoln Cuba, sebagai yang dikutip oleh Ali Abdul Azim, bahwa kita mengenal tiga babakan perkembangan paradigma dalam filsafat ilmu di Barat yaitu era prapositivisme, era positivisme dan era pasca modernisme. Era prapositivisme adalah era paling panjang dalam sejarah filsafat ilmu yang mencapai rentang waktu lebih dari dua ribu tahun.

Dalam uraian ini, penulis cenderung mengklasifikasi perkembangan filsafat ilmu berdasarkan ciri khas yang mewarnai pada tiap fase perkembangan. Dari sejarah panjang filsafat,

khususnya filsafat ilmu, penulis membagi tahapan perkembangannya ke dalam empat fase sebagai berikut:

1.Filsafat Ilmu zaman kuno, yang dimulai sejak munculnya filsafat sampai dengan munculnya Renaisance

2.Filsafat Ilmu sejak munculnya Rennaisance sampai memasuki era positivisme

3.Filsafat Ilmu zaman Modern, sejak era Positivisme sampai akhir abad kesembilan belas 4.Filsafat Ilmu era kontemporer yang merupakan perkembangan mutakhir Filsafat Ilmu sejak awal abad keduapuluh sampai sekarang.

Perkembangan Filsafat ilmu pada keempat fase tersebut akan penulis uraikan dengan mengedepankan aspek-aspek yang mewarnai perkembangan filsafat ilmu di masanya sekaligus yang menjadi babak baru dan ciri khas fase tersebut yang membedakannya dari fase-fase sebelum dan atau sesudahnya. Di samping itu penulis juga akan mengungkap tentang peran filosof muslim dalam perkembangan filsafat ilmu ini, walaupun bukan dalam suatu fase tersendiri.

A. Filsafat Ilmu Zaman Kuno

Filsafat yang dipandang sebagai induk ilmu pengetahuan telah dikenal manusia pada masa Yunani Kuno. Di Miletos suatu tempat perantauan Yunani yang menjadi tempat asal mula munculnya filsafat, ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir (baca: filosof) besar seperti Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Pemikiran filsafat yang memiliki ciri-ciri dan metode tersendiri ini berkembang terus pada masa selanjutnya.

Pada zaman Yunani Kuno filsafat dan ilmu merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan. Keduanya termasuk dalam pengertian episteme yang sepadan dengan kata philosophia. Pemikiran tentang episteme ini oleh Aristoteles diartikan sebagai an organized body of rational konwledge with its proper object. Jadi filsafat dan ilmu tergolong sebagai

pengetahuan yang rasional. Dalam pemikiran Aritoteles selanjutnya pengetahuan rasional itu dapat dibedakan menjadi tiga bagian yang disebutnya dengan praktike (pengetahuan praktis), poietike (pengetahuan produktif), dan theoretike (pengetahuan teoritis).

Pemikiran dan pandangan Aritoteles seperti tersebut di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa nampaknya ilmu pengetahuan pada masa itu harus didasarkan pada pengertian dan akibatnya hanya dapat dilaksanakan bagi aspek-aspek realitas yang terjangkau pikiran. Lalu masuk akal saja kalau orang berpendapat bahwa kegiatan ilmiah tidak lain daripada menyusun dan mengaitkan pengertian-pengertian itu secara logis, yang akhirnya

menimbulkan kesana bahwa setiap ilmu pengetahuan mengikuti metode yang hampir sama yaitu mencari pengertian tentang prima principia, lalu mengadakan deduksi-deduksi logis. Pemikirannya hal tersebut oleh generasi-generasi selanjutnya memandang bahwa

Aristoteleslah sebagai peletak dasar filsafat ilmu.

(14)

B. Filsafat Ilmu Era Renaisance

Memasuki masa Rennaisance, otoritas Aritoteles tersisihkan oleh metode dan pandangan baru terhadap alam yang biasa disebut Copernican Revolution yang dipelopori oleh sekelompok sanitis antara lain Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei (1564-1542) dan Issac Newton (1642-1727) yang mengadakan pengamatan ilmiah serta metode-metode eksperimen atas dasar yang kukuh.

Selanjutnya pada Abad XVII, pembicaraan tentang filsafat ilmu, yang ditandi dengan munculnya Roger Bacon (1561-1626). Bacon lahir di ambang masuknya zaman modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.

Bacon menanggapi Aristoteles bahwa ilmu sempurna tidak boleh mencari untung namun harus bersifat kontemplatif. Menurutnya Ilmu harus mencari untung artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi, dan bahwa dalam rangka itulah ilmu-ilmu berkembang dan menjadi nyata dalam kehidupan manusia. Pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan mansia; human knowledge adalah human power. Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada metode eksperimental dana matematis memasuki abad XVI mengakibatkan pandangan Aritotelian yang menguasai seluruh abad pertengahan akhirnya ditinggalkan secara defenitif. Roger Bacon adalah peletak dasar filosofis untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Bacon mengarang Novum Organon dengan maksud menggantikan teori Aristoteles tentang ilmu pengetahuan dengan teori baru. Karyanya tersebut sangat mempengaruhi filsafat di Inggris pada masa

sesudahnya. Novum Organon atau New Instrumen berisi suatu pengukuihan penerimaan teori empiris tentang penyelidikan dan tidak perlu bertumpu sepenuhnya kepada logika deduktifnya Aritoteles sebab dia pandang absurd.

Kehadiran Bacon memberi corak baru bagi perkembangan Filsafat Ilmu, khususnya tentang metode ilmiah. Hal ini sebagai yang dikemukakan oleh A. B. Shah dalam Scientific Method, bahwa: “Pengertian yang paling baik tentang metode ilmiah dapat dilukiskan yang paling baik menurut induksi Bacon”.

Hart mengaggap Bacon sebagai filosof pertama yang bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat dapat mengubah dunia dan dengan sangat efektif menganjurkan penyelidikan ilmiah. Beliaulah peletak dasar-dasar metode induksi modern dan menjadi pelopor usaha untuk mensistimatisir secara logis prosedur ilmiah. Seluruh asas filsafatnya bersifat praktis yaitu menjadikan untuk manusia menguasai kekuasaan alam melalui penemauan ilmiah Menurut Bacon, jiwa manusia yang berakal mempunyai kemamapuan triganda, yaitu ingatan

(memoria), daya khayal (imaginatio) dan akal (ratio). Ketiga aspek tersebut merupakan dasar segala pengetahuan. Ingatan menyangkut apa yang sudah diperiksa dan diselidiki (historia), daya khayal menyangkut keindahan dan akal menyangkut filsafat (philosophia) sebagai hasil kerja akal.

C. Filsafat Ilmu Era Positivisme

Memasuki abad XIX perkembangan Filsafat Ilmu memasuki Era Positivisme. Positivisme adalah aliran filsafat yang ditandai dengan evaluasi yang sangat terhadap ilmu dan metode ilmiah. Aliran filsafat ini berawal pada abad XIX. Pada abad XX tokoh-tokoh positivisme membentuk kelompok yang terkenal dengan Lingkaran Wina, di antaranya Gustav Bergman, Rudolf Carnap, Philip Frank Hans Hahn, Otto Neurath dan Moritz Schlick.

Pada penghujung abad XIX (sejak tahun 1895), pada Universitas Wina Austria telah

diajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan Induktif. Hal ini memberikan indikasi bahwa perkembangan filsafat ilmu telah memasuki babak yang cukup menentukan dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dalam abad selanjutnya.

(15)

yang memiliki pengaruh mendasar bagi perkem-bangan ilmu. Munculnya aliran ini akibat pengaruh dari tiga arah. Pertama, Emperisme dan Positivisme. Kedua, metodologi ilmu empiris yang dikembangkan oleh ilmuwan sejak abad XIX, dan Ketiga, perkembangan logika simbolik dan analisa logis.

Secara umum aliran ini berpendapat bahwa hanya ada satu sumber pengetahuan yaitu pengalaman indrawi. Selain itu mereka juga mengakui adanya dalil-dalil logika dan

matematika yang dihasilkan lewat pengalaman yang memuat serentetan tutologi -subjek dan predikat yang berguna untuk mengolah data pengalaman indrawi menjadi keseluruhan yang meliputi segala data itu.

Lingkaran Wina sangat memperhatikan dua masalah, yaitu analisa pengetahuan dan pendasaran teoritis matematika, ilmu pengetahuan alam, sosiologi dan psikologi. Menurut mereka wilayah filsafat sama dengan wilayah ilmu pengetahuan lainnya. Tugas filsafat ialah menjalankan analisa logis terhadap pengetahuan ilmiah. Filsafat tidak diharapkan untuk memecahkan masalah, tetapi untuk menganalisa masalah dan menjelaskannya. Jadi mereka menekankan analisa logis terhadap bahasa. Trend analisa terhadap bahasa oleh Harry Hamersma dianggap mewarnai perkembangan filsafat pada abad XX, di mana filsafat cenderung bersifat Logosentrisme

D. Filsafat Ilmu Kontemporer

Perkembangan Filsafat Ilmu di zaman ditandai dengan munculnya filosof-filosof yang memberikan warna baru terhadap perkembangan Filsafat Ilmu sampai sekarang. Muncul Karl Raymund Popper (1902-1959) yang kehadirannya menadai babak baru sekaligus merupakan masa transisi menuju suatu zaman yang kemudian di sebut zaman Filsafat Ilmu Pengetahuan Baru. Hal ini disebabkan Pertama, melalui teori falsifikasi-nya, Popper menjadi orang pertama yang mendobrak dan meruntuhkan dominasi aliran positivisme logis dari Lingkaran Wina. Kedua, melalui pendapatnya tentang berguru pada sejarah ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu yang baru yang dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn.

Para tokoh filsafat ilmu baru, antara lain Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Palter dan Stephen Toulmin dan Imre Lakatos memiliki perhatian yang sama untuk mendobrak perhatian besar terhadap sejarah ilmu serta peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi. Gejala ini disebut juga sebagai pemberontakan terhadap Positivisme. Thomas S. Kuhn populer dengan relatifisme-nya yang nampak dari gagasan-gagasannya yang banyak direkam dalam paradigma filsafatnya yang terkenal dengan The Structure of Scientific Revolutions (Struktur Revolusi Ilmu Pengetahuan).

Kuhn melihat bahwa relativitas tidak hanya terjadi pada Benda yang benda seperti yang ditemukan Einstein, tetapi juga terhadap historitas filsafat Ilmu sehingga ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa teori ilmu pengetahuan itu terus secara tak terhingga mengalami revolusi. Ilmu tidak berkembang secara komulatif dan evolusioner melainkan secara revolusioner.

Salah seorang pendukung aliran filsafat ilmu Baru ialah Paul Feyerabend (Lahir di Wina, Austria, 1924) sering dinilai sebagai filosof yang paling kontroversial, paling berani dan paling ekstrim. Penilaian ini didasarkan pada pemikiran keilmuannya yang sangat

(16)

Filsafat ilmu berkembang dari masa ke masa sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta realitas sosial. Dimulai dengan aliran rasionalisme-emprisme , kemudian kritisisme dan positivisme.

Rasionalisme adalah paham yang menyatakan kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan dan analisis yang berdasarkan fakta. Paham ini menjadi salah satu bagian dari renaissance atau pencerahan dimana timbul perlawanan terhadap gereja yang menyebar ajaran dengan dogma-dogma yang tidak bisa diterima oleh logika. Filsafat Rasionalisme sangat menjunjung tinggi akal sebagai sumber dari segala pembenaran. Segala sesuatu harus diukur dan dinilai berdasarkan logika yang jelas. Titik tolak pandangan ini didasarkan kepada logika matematika. Pandangan ini sangat popular pada abad 17. Tokoh-tokohnya adalah Rene Descartes (1596-1650), Benedictus de Spinoza – biasa dikenal: Barukh Spinoza (1632-1677), G.W. Leibniz (1646-1716), Blaise Pascal (1623-1662).

Empirisisme adalah pencarian kebenaran melalui pembuktian-pembukitan indrawi. Kebenaran belum dapat dikatakan kebenaran apabila tidak bisa dibuktikan secara indrawi, yaitu dilihat, didengar dan dirasa. Francis Bacon (1561-1624) seorang filsuf Empirisme pada awal abad Pencerahan menulis dalam salah satu karyanya Novum Organum: Segala kebenaran hanya diperoleh secara induktif, yaitu melalui pengalamn dan pikiran yang didasarkan atas empiris, dan melalui kesimpulan dari hal yang khusus kepada hal yang umum. Empirisisme muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap superioritas akal. Paham ini bertolak belakang dengan Rasionalisme yang mengutamakan akal. Tokoh-tokohnya adalah John Locke (1632-1704); George Berkeley (1685-1753); David Hume (1711-1776). Kebenaran dalam Empirisme harus dibuktikan dengan pengalaman. Peranan pengalaman menjadi tumpuan untuk memverifikasi sesuatu yang dianggap benar. Kebenaran jenis ini juga telah mempengaruhi manusia sampai sekarang ini, khususnya dalam bidang Hukum dan HAM.

(17)

Kritisisme merupakan filsafat yang terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum melakukan pencarian kebenaran. Tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804). Filsafatnya dikenal dengan Idealisme Transendental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan manusia merupakan sintesa antara apa yang secara apriori sudah ada dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman (aposteriori).

Filsafat positivisme membatasi kajian filsafat ke hal-hal yang dapat di justifikasi (diuji) secara empirik. Hal-hal tersebut dinamakan hal-hal positif. Positivisme digunakan untuk merumuskan pengertian mengenai relaita sosial dengan Penjelasan ilmiah, prediksi dan control seperti yang dipraktekan pada fisika, kimia, dan biologi. Tahap penelitian positivisme dimulai dengan pengamatan, percobaan, generalisasi, produksi, manipulasi.

Krisis Sains

Perkembangan sains sampai ke abad 20 membawa manusia ke tingkat yang lebih tinggi pada kehidupannya. Level pemahaman terhadap alam mencapai tingkat level yang lebih tinggi. Pengamatan alam sudah sampai ke level mikroskopis, ternyata pengamatan pada level mikroskopis mementahkan hukum-hukum fisika yang pada saat itu menajdi pijakan ilmu fisika. Hukum-hukum fisika klasik seperti mekanika dan gravitasi dimentahkan oleh perilaku elektron dan proton yang acak tapi teratur. Penemuan-penemuan baru pada bidang fisika pada level mikroskopis merubah pandangan ilmuwan pada saat itu mengenai alam secara keseluruhan. Tenyata sains merupakan ilmu yang tidak pasti, ada ketidakpastian dalam kepastian terutama pada level mikroskopis dimana ketidakpastian itu semakin besar. Pada masa ini terjadi pergeseran paradigma dari paradigma Newtonian ke paradigm pos Newtonian. Perubahan paradigma ini merupakan revolusi pada bidang fisika, yang melahirkan tokoh-tokoh baru seperti Einstein dan Heisenberg

Objek

Paradigma Newtonian Paradigma Pos Newtonian

Alam Mesin Sistem / jaringan

Fenomena objek Interaksi benda Transformasi objek

(18)

dikembangkan oleh Newton, namun juga mengubah cara pandang berbagai disiplin ilmu terhadap sifat alam yang tadinya dianggap determentstik (dapat ditentukan) menjadi indeterminsitik (tidak dapat ditentukan). Teori ini menjadi landasan fisika kuantum. Perubahan paradigma terhadap alam mengubah arah perkembangan teknologi. Namun perkembangan teknologi yang revolusioner malah menjadi petaka bagi seluruh umat manusia, puncaknya ketika Albert Einstein menemukan bom atom dan digunakan oleh manusia untuk menghancurkan kota Hirosima dan Nagasaki. Dunia terkejut oleh kemampuan sains yang bukan hanya memudahkan manusia, namun juga menghancurkan. Pada tahap ini mulai dipertanyakan peranan sains dalam menuju kehidupan manusia yang lebih baik. Kritik mulai dilontarkan terhadap sains karena ternyata kemajuan sains belum tentu memajukan kemanusiaan di muka bumi.

Cendawan atom dan korban Bom atom Hiroshima

Sains memiliki tiga sifat utama yaitu netral, humanistik dan universal. Namun pada perkembangannya ternyata sains tidak netral, humanistik dan universal. Sains sangat tergantung pada kondisi ekonomi, sehingga pemilik modal dapat mengarahkan perkembangan sains. Pada masa perang dunia II sains memberi kontribusi besar pada kematian umat manusia lewat penemuan senjata pemusnah masal. Sains juga kehilangan sifat netralnya karena pengembangan sains sangat tergantung dari pemilik modal. Sains berpihak kepada pemilik modal.

(19)

Referensi

Dokumen terkait

 Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan