Mengkaji (Budaya) Perjalanan
Beberapa waktu lalu, di waktu senggang, saya iseng mencari penelitianpenelitian tentang backpacking di Indonesia. Hasilnya mengejutkan. Saya mengira hanya ada satu atau dua, tapi saya menemukan belasan skripsi atau tesis yang bertema backpacking. Itu baru kajian yang diunggah ke internet. Saya membayangkan ada lebih banyak lagi di perpustakaan universitasuniversitas seIndonesia. Itu juga baru kajian yang khusus tentang backpacking, belum yang bertema perjalanan secara umum. Jumlahnya pasti membengkak.
Saat menulis skripsi tahun 2013 silam, saya mungkin orang kedua di universitas saya yang membuat karya akhir tentang backpacking. Ketika menjalani studi pustaka, cuma ada satu skripsi/tesis lain yang membahas fenomena tersebut. Itu pun pertengahan 2000an. Maka saya agak kaget ketika menemukan belasan skripsi/tesis mengenai backpacking di Google. Sudut pandang dan latar belakang ilmunya pun bervariasi. Mulai dari ilmu komputer, linguistik, psikologi, sosiologi, komunikasi, antropologi, hingga ilmu agama Islam.
Tahun pembuatannya ratarata 2010 ke atas, yang bisa diasumsikan angkatan para penulisnya tidak jauh berbeda. Saya kira ada dua alasan kenapa kajian backpacking lumayan banyak. Pertama, kaum millennial seperti saya dan kawankawan lain adalah generasi yang terpikat dengan adagium ‘do what you love’ betapa pun banalnya frasa itu hari ini. Maka, kami menulis karya akhir sesuai apa yang kami sukai. Kedua, ya karena traveling (dan backpacking) sedang ada di masa puncaknya pada tahuntahun skripsi/tesis itu ditulis.
Alasan kedua mungkin terasa lebih punya bobot. Bagi kaum akademis, penting untuk meneliti apa yang tengah terjadi ‘saat ini’ atau sedang menjadi tren. Urgensinya akan terasa lebih dapat jika ternyata memang belum banyak yang membahas tema serupa. Bagaimana pun menulis skripsi/tesis adalah proses mencatat yang tak hanya berguna bagi pembaca hari ini, tapi juga pembaca di masa depan. Siapa tahu 50 tahun dari sekarang ada yang ingin mencari tahu selukbeluk tren backpacking di Indonesia dalam kurun waktu, katakanlah, 2008 hingga 2015.
Kendati demikian, melakukan kajian sebenarnya bukan hanya tugas orangorang di universitas. Siapa pun bisa melakukannya karena kajian adalah proses merefleksikan apa yang terjadi dan membagikannya kepada orang lain. Kajian bisa dilakukan dengan teori atau konsep yang anehaneh, maupun dengan katakata yang sederhana tanpa mengurangi bobot dan kedalaman pemahaman. Bisa dilakukan secara serius maupun santai. Bisa diutarakan panjang lebar maupun empat alinea saja. Membayangkan kajian sebagai sesuatu yang rumit adalah sesat pikir. Meski begitu, penting juga untuk membedakan kajian akademis dan nonakademis.
Lalu sepenting apakah mengkaji tentang budaya perjalanan? (Yang dimaksudkan budaya disini adalah budaya secara umum, mencakup apaapa yang saja yang terdapat dalam dunia perjalanan, dari mulai pertanyaan sederhana seperti merk outdoor apa yang laku di pasaran hingga persoalan sosiologis semacam ‘perjalanan dalam pusaran konsumerisme’.) Sebenarnya ya relatif, karena penting bagi sebagian orang belum tentu penting bagi sebagian yang lain.
Namun, dalam konteks dimana perjalanan (wisata) telah begitu masif hari ini, dengan berbagai variasi dan dinamikanya, dan mulai dikaitkan dengan konsep seperti waktu luang, gaya hidup, atau way of life, mengkaji perjalanan sebenarnya adalah proses sejarah yang harus kita kerjakan bersamasama. Penting pula untuk memisahkan kajian perjalanan dengan kajian pariwisata karena yang disebut terakhir adalah sesuatu yang lebih institusional, meskipun keduanya tentu saja bisa berhubungan satu sama lain.
Dalam hal kajian ini, traveling agak tertinggal dibanding sepak bola. Sejak beberapa tahun terakhir, geliat untuk memikirkan, menelaah, dan menuliskan sepak bola sebagai sesuatu yang lebih dari tendangtendangan bola mulai marak dan berkembang di Indonesia. Dampaknya, kita bisa melihat sepak bola lebih dalam dan lebih luas dari sebelumnya. Jika sebelumnya kita cuma peduli bahwa Manchester United adalah penguasa Premier League, sekarang kita jadi tahu konteks sosiokultural, politik, dan ekonomi yang melandasinya. Itu hanya satu contoh.
Bukannya bermaksud membandingkan, tapi baik perjalanan maupun sepak bola samasama bersifat hiburan, kesenangan, dan leisure. Keduanya berbeda dengan isu politik, ekonomi, kesenjangan sosial, dan isu lainnya yang lebih ‘serius’. Jadi, ketika sepak bola telah menyusul isu ‘santai’ lain seperti film, musik, sastra, bahkan seks yang lebih dulu dikaji secara lebih serius, para pejalan harusnya mulai bercermin dan bertanya.
Setelah bertahuntahun melakukan perjalanan ke berbagai sudut bumi, melihat mukamuka asing dan mendengar bahasabahasa baru, mengecap bumbu masakan yang beragam dan meresapi keindahan semesta yang tak terselami, apakah kita akan terus menjalaninya sebagai sebuah repetisi menyenangkan yang lambat laun akan kehilangan maknanya jika tidak digali? Dengan menyitir Sapardi, apakah kita hanya “memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga, sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa”?
(Agustus 2015)