2.1. Botani Bawang Lokio (Allium chinense G.Don)
Allium, genus terbesar dari Alliaceae mencakup sekitar 700 spesies, masing-masing spesies memiliki perbedaan rasa, bentuk dan warna, tetapi dikenal
memiliki sifat biokimia dan fitokimia khas (Benkeblia et al., 2000). Spesies ini terdistribusi terutama di Amerika Utara, Afrika Selatan dan Asia (Benkeblia and
Lanzotti, 2007).Allium chinensememiliki nama asing yaitu Rakkyo (Oriental Garlic) dan Jiaotou yang dikultivasi di China, Tiongkok, Korea, Jepang, Vietnam, Indonesia, dan negara lain di Asia Tenggara(Rabinowitch and Currah, 2002).
Indonesia, dikategorikan sebagai negara penghasil tanaman bawang A.chinense
skala kecil hingga menengah. Provinsi Sumatera Utara khususnya memiliki
perkebunan tanaman A. chinense atau bawang Batak/ bawang Lokio yaitu dataran tinggi Berastagi, Sidikalang, Tapanuli dan daerah sekitarnya. Bawang Lokio/
bawang Batak yang digunakan pada penelitian ini berasal dari perkebunan rakyat
di Siborong-borong (Tapanuli Utara) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman bawang Lokio/ bawang Batak (Allium chinense G. Don)
Bah et al., (2012) mendeskripsikan A.chinense sebagai berikut: Tanaman Rakkyotanaman perennial dan anggota dari famili Alliaceaeyang mampu tumbuh
mencapai 0,5cmdan menghasilkan umbi sepanjang tahun. Daun memiliki
penampakan ramping, bersegi 3 hingga 5, tidak kokoh, dan berongga.Bunga
memiliki warna seperti lavender dan panjang tangkai bunga mencapai 40-50 cm.
Akar memiliki panjang 45-55cm yang tumbuh dari umbi.Umbi memiliki warna
putih, putih keabu-abuan dan putih keunguan.Umbi memiliki diameter 4-5 cm dan
teksturnya renyah ketika dimakan. Jorge et al., (2001) meneliti kandungan nutrisi dari umbi yang terdiri dari: karbohidrat 18,3%, protein total 3,1%, lemak 0,12%
dan abu 0,7%. Menurut Bah et al., (2012), umbi A. chinensejuga mengandung
kalsium, magnesium dan posfor, sementara besi, tembaga, mangan, strontium dan
seng dalam konsentrasi kecil. Komponen lainnya termasuk vitamin C, 16 asam
amino dan minyak atsiri juga terdapat pada umbi tumbuhan ini.
2.2. Aktivitas Antimikroba dari Allium
Rempah-rempah dan herbal telah memperlihatkan kemampuannya sebagai
obat-obatan, terutama sebagai antimikroba. Berbagai senyawa bioaktif yang telah
diteliti baik dari umbi maupun daunnya yakni senyawa organosulfur meliputi
thiosulfinat, alisin, allyl alkohol, diallyl sulfida, dan senyawa saponin seperti
saponin steroid.Kedua golongan senyawa tersebut diisolasi menggunakan teknik
ekstraksi dan isolasi yang bervariasi dan manfaatnya telah dikaji secara
laboratorium.Di China, tanaman Jiaotou (Allium chinense) bernilai tinggi karena kandungan senyawanya yang digunakan sebagai perkembangan insektisida
terbaru dan senyawa antimikroba (Bah et al., 2012).
Antibakteri dari A. sativum, alisin, pertama diisolasi, dikarakterisasi dan diuji senyawa antibakterinya oleh Cavallito dan Bailey pada tahun 1944.
Penelitian tersebut mencatat bahwa secara in vitro, senyawa alisin dapat
menghambat sintesis DNA dan protein sebagian, sedangkan sintesis RNA secara
total dapat dihambat, inilah target utama mekanisme kerja senyawa alisin.
Aktivitas antibakteri dan antijamur dari alisin mampu menghambat pertumbuhan
Aspergillus flavus dan Aspergillus niger (Benkeblia and Lanzotti, 2007), Klebsiella, Proteus dan Mycobacterium tuberculosis (Ankri and Mirelman, 1999).
2.3. Pengawetan Ikan
Organisme lautan termasuk ikan dan invertebrata laut mengandung senyawa
nutrisi dan fungsional yang baik untuk kesehatan manusia. Senyawa-senyawa
tersebut antara lain protein, lemak, vitamin, mineral, karotenoid, omega-3, taurine
dll. Senyawa fungsional dalam ikan tersebut dapat dimanfaatkan dalam bentuk
makanan, minuman maupun obat-obatan (Larsen, 2011).
Ikan merupakan produk pangan yang sangat mudah rusak karena
mengandung kadar protein yang tinggi dengan kandungan asam amino bebas yang
digunakan untuk metabolisme mikroorganisme, produksi amonia, biogenik amine,
asam organik, keton dan komponen sulfur (Susanto et al., 2011). Pembusukan
ikan terjadi segera setelah ikan ditangkap atau mati. Pada kondisi suhu tropis, ikan
membusuk dalam waktu 12-20 jam tergantung spesies, alat atau cara
penangkapan. Pada suhu 15 °C-20 °C, ikan dapat disimpan hingga sekitar 2 hari,
pada suhu 5 °C tahan selama5-6 hari dan pada suhu 0°C dapat mencapai 9-14
hari, tergantung spesies ikan. Oleh karena itu banyak orang berpendapat untuk
meningkatkan mutu kesegaran ikan yang terbaikyang sangat terkait dengan
penangkapan ikan pasca panen (Mahatmawanti et al., 2008).
Tingginya suhu di Indonesia dan minimnya sanitasi dan higienis pada
penangkapan ikan menyebabkan ikan lebih cepat busuk. Para nelayan mencari
alternatif cara pengawetan ikan yang murah, mudah diperoleh dan memiliki efek
nyata pada mutu ikan segar, meskipun dari segi keamanan sangat berbahaya
seperti penggunaan formalin dan boraks pada ikan segar (Agustini et al., 2008). Komposisi biokimia dari makanan (faktor intrinsik) dan hubungannya
dengan faktor ekstrinsik selama penyimpanan menimbulkan pengaruh yang
berdampak bagi kesegaran serta kualitas ikan dan sebagian untuk mengurangi dan
meningkatkan pertumbuhan mikroba itu sendiri. Komponen yang menyatu dengan
senyawa non-protein seperti: trimetilamin oksida (TMAO), kreatin, metionin,
asam amino bebas, sistin, histamin, karsonin, basa nitrogen volatil seperti urea
menghasilkan metabolit sampingan yang sangat rentan terhadap pembusukan ikan
selama proses penyimpanan (storage) (Huss, 1988). Umur simpan produk pangan
dapat dilihat melalui parameter perpindahan uap air, oksidasi lipid, pertumbuhan
bakteri, uji sensori dan TVB-N.
Ikan yang ditangkap dan diangkat dari dalam air tidak langsung menjadi
mati. Ikan akan mati jika kekurangan oksigen, oleh karena itu ikan tidak dapat
hidup di udara terbuka dalam waktu yang terlalu lama. Sirkulasi darah ikan saat
mati akan terhenti dan akibatnya dapat memengaruhi proses biokimiawi yang
diikuti dengan perubahan fisik pada dagingnya. Tahapan perubahan sejak ikan
mati hingga busuk adalah sebagai berikut:
1. Perubahan biokimiawi yang terjadi sebelum ikan menjadi kaku. Pembongkaran
ATP dan kreatin-fosfat akan menghasilkan tenaga, glikogen juga akan
mengalami pembongkaran menjadi asam laktat pada proses glikolisis yang
menyebabkan daging menjadi asam dan aktivitas enzim ATP-ase dan
kreatin-fosfokinase meningkat. Tahap ini berlangsung dalam waktu antara 1-7 jam
sejak ikan mati.
2. Daging ikan akan menjadi lebih keras dari keadaan sebelumnya. Penggabungan
protein aktin dan protein miosin akan menjadi protein kompleks aktomiosin.
3. Daging ikan akan kembali menjadi lunak secara perlahan, sehingga secara
organoleptik akan meningkatkan derajat penerimaan konsumen sampai pada
tingkat optimal. Pada umumnya, hal ini berlangsung singkat karena bakteri
segera berkembang. Adanya darah dalam tubuh ikan dapat mempercepat proses
pembusukan karena darah merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme (Adawyah, 2008). Rigor mortis adalah proses dimana ikan
kehilangan fleksibilitasnya karena mengerasnya otot ikan setelah beberapa jam
kematiannya (Ghaly et al., 2010).
Pada dasarnya pengawetan ikan bertujuan untuk mencegah bakteri
pembusuk masuk ke dalam ikan dan memperpanjang masa simpan ikan sebelum
sampai ke konsumen. Ada beberapa dasar prinsip pengolahan bahan makanan
untuk pengawetan yaitu: pengurangan air (dehidrasi, pengeringan dan
suhu rendah (pendinginan dan pembekuan), pengendalian makanan (fermentasi
dan asam aditif), berbagai macam zat kimia aditif dan iradiasi (Fardiaz, 1992).
Seiring dengan perkembangan zaman, konsumen sudah mulai menghindari
penggunaan bahan-bahan pengawet sintetis. Kondisi ini memberikan peluang
penggunaan bahan antimikroba alami oleh industri pangan untuk memperpanjang
masa simpan bahan pangan seperti dalam bentuk enzim (laktoperoksidase,
laktoferin, avidin, lisozim), antimikroba yang diproduksi menggunakan kultur
mikroba (nisin dan jenis bakteriosin lainnya) dan yang bersumber dari tanaman
(rempah-rempah dan herbal berupa ekstrak, minyak atsiri ataupun komponen yang
diisolasi dari rempah-rempah dan herbal) (Antara dan Wartini, 2012).
2.3.1. Ikan Nila (Oreochromis niloticusL.)
Ikan Nila (Tilapia) merupakan salah satu spesies dari famili Cichlidae. Bibit ikan Nila didatangkan ke Indonesia resmi oleh Balai Peneliti Perikanan Air Tawar
(Balitkanwar) dari Taiwan pada tahun 1969. Setelah melalui masa penelitian dan
adaptasi, ikan ini kemudian disebarluaskan kepada petani di seluruh Indonesia.
Nila adalah nama khas Indonesia yang diberikan oleh pemerintah melalui Direktur
Jenderal Perikanan (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2010). Permintaan ikan Nila
tidak sebatas dalam negeri, tetapi juga pasar luar negeri dalam bentuk fillet.
Industri perikanan menjadikan ikan Nila sebagai komoditas unggul karena
memiliki tekstur yang lembut, masa pemijahan yang relatif cepat, memiliki
protein yang tinggi dan rendah lemak sehingga banyak diminati oleh masyarakat.
Ikan Nila sangat resisten terhadap penyakit dibandingkan spesies lain dan dapat
mentoleransi secara relatif konsentrasi tinggi dari amoniak dan konsentrasi rendah
dari oksigen terlarut. Ada beberapa penggunaan antibiotik, obat-obatan dan
senyawa kimia lainnya untuk mengontrol penyakit dan kualitas air kolam untuk
meningkatkan pertumbuhan ikan Nila (Boyd, 2004). Bakteri enterik pada ikan
Nila termasuk E. coli, Klebsiella spp, Citrobacter spp, Enterobacter spp, Serratia spp dan Edwardsiella spp (Mandal et al., 2009).
Beberapa penelitian yang dilakukan guna mengawetkan pada suhu dingin
dan menghambat pertumbuhan mikroba patogen ikan Nila diantaranya kitosan
bunga kecombrang (Naufalin et al., 2010), pengasapan (Bernard et al., 2010), asap cair (David dan Kasim, 2013), rafinosa biji kapas (Khairanita et al., 2013), ekstrak rumput laut (Husni et al., 2014) dan ozon (Rahmahidayati et al., 2014).
2.4. Sifat Antimikroba pada Makanan
Indonesia kaya akan bahan alami yang jumlahnya mencapai ribuan jenis.
Berdasarkan aspek biokimia dan mikrobiologi, kemunduran mutu ikan dapat
diatasi dengan pemanfaatan bahan-bahan alami yang memiliki berbagai aktivitas
biologi seperti antibakteri, antioksidan, antiinflamasi dan sebagainya. Nelayan dan
konsumen tidak akan mau mengaplikasikan dan menerima metode pengawetan
ikan segar apabila setelah perlakuan akan memberikan perubahan sensori pada
ikan tersebut meskipun tidak membahayakan. Untuk itu perlu diketahui pengaruh
dari bahan alami tersebut dalam mempertahankan mutu kesegaran ikan tanpa
menimbulkan efek negatif pada nilai organoleptiknya. (Agustini dkk., 2008).
Perkembangan lebih lanjut dari industri dunia perikanan terhalang karena
tingginya kematian ikan disebabkan oleh penyakit. Untuk mengatasi masalah ini,
antibiotik semakin sering digunakan. Fakta menyatakan bahwa jumlah bakteri
resisten antibiotik yang berpotensial patogen pada ikan telah meningkat, bakteri
ini dapat mengirim gen resistennya pada bakteri lain yang mampu menyebabkan
infeksi pada manusia dan hewan (Albert and Ransangan, 2013).
Perkembangan teknologi pengawetan untuk memperpanjang masa simpan
produk pangan sangat pesat seiring dengan meningkatnya kebutuhan industri
pangan dan penyediaan pangan sepanjang tahun. Relatif masih sedikit penelitian
yang menggunakan ekstrak rempah dan herbal sebagai antimikroba (pengawet)
dalam model makanan yang sebenarnya. Kemampuan antimikroba minyak
esensial in vitro sering lebih besar dibandingkan in vivo dalam makanan.
Pengaruh ekstrak ini sangat bergantung pada jenis makanan dan kondisi makanan
seperti pH, emulsi, suhu dan komposisi makanan (Antara dan Wartini, 2012).
Menurut Galvez et al., (2014), senyawa utama dalam komposisi
antimikroba diantaranya saponin, flavonoid, carvacrol, thymol, citral, eugenool,
linool, terpen serta prekursor turunannya dan peptida antimikroba (tionin,
substrat, merusak membran, inaktifasi enzim dan mengikat protein. Kelas
terpenoid dan minyak atsiri berperan dalam merusak membran. Kelas alkaloid
berperan dalam interaksi sel masuk dan keluar (Cowan, 1999). Komponen
antimikroba turunan dari Allium mampu menghambat mikroorganisme melalui
reaksi golongan sulfidril (SH) dalam protein sel. Aktivitas antibakteri dari minyak
atsiri dan ekstrak tanaman lain mendapat perhatian besar untuk pengaplikasian
dari eksrak kasar atau senyawa bioaktifnya dalam pengawetan makanan. Dalam
konsentrasi sekitar 0,05-0,1%, minyak atsiri mampu menghambat patogen, seperti
S. typhimurium, E. coli O157:H7, L. monocytogenes, B. cereus dan S. aureus dalam makanan (Galvez et al., 2014).
Bakteri patogen yang berasosiasi dengan ikan diantaranya bakteri pada
lingkungan perairan/ laut (Vibrio parahaemolyticus, Vibrio cholerae, Clostridium botulinum, Aeromonas hydrophila), bakteri enterik (Escherichia coli, Shigella sp, Campylobacter sp, Yersinia enterolityca) dan pengkontaminasi selama
penyimpanan (Bacillus cereus, Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus,
Clostridium perfringens) (Bomfeh, 2011). Mikroba patogen pada pangan ini menyebabkan penyakit diare, listeriasis, kolera hingga menyebabkan kematian
apabila makanan yang terkontaminasi dikonsumsi secara terus menerus. Aktivitas
hambat mikroorganisme pada produk makanan harus lebih tinggi daripada
konsentrasi yang diaplikasikan untuk organoleptik (Ghaly et al., 2010).
Pengujian organoleptik merupakan penggunaan alat indera untuk menilai
spesifikasi mutu kenampakan, bau, rasa dan tekstur untuk mengetahui
penyimpangan dan perubahan suatu produk. Dalam beberapa hal, penilaian
dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang sensitif. Oleh karena sifat
pengujiannya yang subyektif, maka diperlukan suatu standar dalam melakukan
penilaian organoleptik/ sensori (SNI 01-2346-2006).
Suhu penyimpanan ikan dan produk perikanan yang dianjurkan adalah
antara 4,4 °C hingga 10 °C. Ini dikarenakan pertumbuhan dari bakteri patogen
pembusuk makanan sangat lambat pada suhu ini dan waktu yang diperlukan untuk
pertumbuhan signifikan lebih lama. Penyimpangan yang signifikan juga terjadi
antara data mikrobiologi pada produk tertentu dan prediksi dapat terjadi, termasuk