Alkitab: yang sama sekaligus berbeda
*
Oleh: Jadesmon Saragih, M.Theol. ‐ Lembaga Alkitab Indonesia†Pendahuluan
Penerjemahan umumnya dipahami sebagai upaya menyampaikan gagasan dari satu bahasa ke bahasa lain. Seorang penerjemah harus betul‐betul mengerti gagasan yang ingin dialihbahasakan. Kita sering mendengar istilah terjemahan bebas yang artinya terjemahan dihasilkan semata‐mata untuk pembaca (pendengar) bisa mengerti dengan mudah gagasan itu. Terjemahan semacam ini tidak tergantung pada kosa kata atau struktur yang ada dalam bahasa sumbernya. Tetapi di sisi lain Alkitab tidak bisa
diterjemahkan secara bebas seperti itu. Aspek bahasa, budaya, dan posisi Kitab itu sendiri bagi umat ikut mempengaruhi. Untuk menggambarkan masalah yang bisa terjadi dalam penerjemahan, kita pasti pernah mendengar lelucon kalimat dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan secara harfiah dari bahasa Indonesia. Hasilnya jenaka sekali, seperti berikut ini:
No what‐what (tidak apa‐apa)
I want to throw little water away (saya mau buang air kecil)
Benar, contoh‐contoh di atas hanya lelucon. Kita tahu itu lelucon karena kita mengerti betul apa artinya dalam bahasa sumber (Indonesia). Begitulah cara kerja lelucon! Namun, bagi pendengar yang tidak tahu menahu bahasa sumbernya, kalimat di atas tentu bukan lelucon; orang akan mengernyitkan dahi begitu mendengarnya. Dalam hal ini perlu dipahami penerjemahan Alkitab sebagai sebuah bidang yang membutuhkan keahlian tertentu karena lelucon seperti di atas bisa saja terjadi dalam penerjemahan Alkitab.
Alkitab adalah kumpulan tulisan‐tulisan yang berisi kesaksian iman umat percaya tentang hubungan Allah dan umat‐Nya (bnd. Soesilo 2014, 9). Definisi ini menunjukkan karakter Kitab Suci bagi umat Kristiani, yang membedakannya dari kitab‐kitab suci agama lain. Tulisan singkat ini secara umum berbicara tentang penerjemahan Alkitab, dan menyampaikan gagasan bahwa tidak ada prinsip tunggal untuk semua terjemahan. Kita juga akan melihat bahwa penerjemahan yang melibatkan pemahaman merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah Alkitab itu sendiri.
Sejarah Penerjemahan Alkitab
Seperti umumnya diketahui, Alkitab aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani (untuk PL), Aram (sebagian kecil PL: Dan 2:4–7:28; Ezr 4:8–6:18, 7:12‐26), dan Yunani (seluruh PB). Saat ini Alkitab sudah hadir dalam banyak bahasa di dunia. Di Indonesia khususnya, penerjemahan Alkitab yang diselenggarakan LAI sudah menerbitkan Alkitab dalam 33 bahasa, Perjanjian Baru dalam 77 bahasa, dan porsion dalam 329 judul.
* disampaikan dalam Seminar Penerjemahan Alkitab di Gereja Isa Almasih (GIA) Rajawali, Jakarta Pusat. † Pembina Penerjemahan di Departemen Penerjemahan LAI. Saragih studi teologi di STT Gereja Kalimantan
Mengapa Alkitab diterjemahkan? Karena tidak mungkin setiap orang membacanya dalam bahasa asli. Alkitab akan tetap Alkitab meskipun dalam bentuk terjemahan. Tuhan tidak menelantarkan pesan‐Nya. Ia telah dan akan memanggil orang‐orang tertentu untuk melayani di bidang penerjemahan Alkitab. Selain itu penting untuk mengetahui bahwa penerjemahan telah dilakukan sejak lama sekali.
Terjemahan Lima Kitab Musa (Pentateuch) dibuat ketika Bahasa Ibrani digantikan Bahasa Aram sebagai bahasa sehari‐hari. Ini terjadi kira‐kira abad ke‐5 dan ke‐6 sebelum Masehi. Kala itu, Kerajaan Persia menguasai dunia. Penerjemahan Alkitab secara lebih lengkap dilakukan pada abad ke‐2 dan ke‐3 sebelum Masehi. Kala itu, Alkitab Ibrani (Perjanjian Lama) dialihbahasakan ke dalam Bahasa Yunani. Alkitab terjemahan ini dinamakan Septuaginta (LXX). Konon, di Aleksandria, atas perintah Ptolemaios II Philadelphos (memerintah 285‐246 SM), 72 penerjemah bekerja secara terpisah, namun akhirnya menghasilkan terjemahan yang serupa antara satu dengan yang lain. Penting untuk diketahui, Alkitab terjemahan inilah yang dipakai di dunia Perjanjian Baru. Ketika itu, bahasa Yunani menguasai
kehidupan masyarakat termasuk di Palestina. Bahkan terjemahan itu menjadi pegangan resmi umat kala itu, tidak kalah sakralnya dari Alkitab Ibrani.
Terjemahan‐terjemahan berperan penting dalam jemaat‐jemaat Kristen di berbagai tempat. Tidak mengherankan ada banyak terjemahan dalam bahasa‐bahasa, seperti Koptik, Armenia, Arab, Etiopia, Gotik, dan lain‐lain. Terjemahan penting dalam sejarah gereja adalah terjemahan Alkitab dalam bahasa Latin (Vulgata). Hieronimus (Jerome) mengerjakan terjemahan ini secara lengkap berdasarkan
terjemahan Latin terdahulu. Vulgata dikerjakan pada abad keempat dan kemudian menjadi pegangan resmi dalam Gereja Katolik. Alkitab Latin ini hanya tersedia bagi kalangan elite gereja dan sangat terbatas (Sairin et al. 1994, 33). Inilah yang mewakili periode pertama penerjemahan Alkitab.
Kerinduan untuk menghadirkan Firman Tuhan (baca: Alkitab) untuk semakin banyak orang mendorong banyak sarjana menerjemahkannya. Hal ini perlu diketahui mengingat kala itu hanya elite gereja saja yang memiliki dan membaca Alkitab. Salah satu faktor yang mendukung penyebaran Alkitab
terjemahan adalah dengan ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (1400‐1468). Mesin cetak memungkinkan ada Alkitab dengan ketepatan dan keseragaman teks. Dengan demikian berlalu sudah era di mana banyak macam versi dan varian naskah Alkitab. Sesudah Gutenberg sejarah Alkitab memasuki era Alkitab cetak (Pelikan 2005, 146). Alkitab pun menjadi lebih terjangkau dan bisa tersebar dengan lebih luas.
Periode selanjutnya penerjemahan Alkitab berhubungan dengan gerakan Reformasi (Katoppo dalam LAI 2001, 104). Martin Luther memainkan peranan penting dalam sejarah penerjemahan Alkitab. Sebagai bagian dari agenda reformasinya Luther menerjemahkan Perjanjian Baru Bahasa Yunani ke dalam bahasa ibunya, bahasa Jerman. Terbit tahun 1534, Alkitab Luther diterjemahkan langsung dari bahasa Ibrani dan Yunani. Ini Luther lakukan karena keyakinannya bahwa setiap orang, siapapun dia, berhak memiliki akses kepada Alkitab. Tidak hanya kaum elite seperti imam, sarjana, bangsawan, yang boleh membacanya (Sairin et al. 1994: 33), tetapi juga para buruh dan ibu rumah tangga. Hal inilah yang mencerminkan pandangannya tentang “imamat am orang percaya” (Pelikan 2005, 171).
Periode ketiga penerjemahan Alkitab berlangsung dalam gerakan penginjilan dari Eropa ke Asia dan Afrika (Katoppo dalam LAI 2001, 106). Sebut saja nama‐nama penginjil‐penerjemah dari The Great Era seperti Henry Martyn (Parsi), William Carey (Bengali), Robert Morrison (Tionghoa), Robert Moffat
Brouwerius (1668) Leijdecker (1731) Revisi Leidecker oleh Emde et al (1835)
Bappa kita, jang
berdudok kadalam surga: bermumin menjadi akan namma‐mu.
Radjat‐mu mendatang kahendak‐mu menjadi di atas bumi seperti di dalam surga.
Berila kita makannanku sedekala hari.
Makka ber‐ampunla kapada setana seitan, tetapi muhoon‐la kita dari bagaimanna cami ampon capada orang jang salla pada cami.
Lagi jangan antarken cami de dalam tsjobahan, hanja lepasken cami derri jang djahat.
Bapa kamij jang 'ada disawrga, namamu depersutjilah kiranja. Karadja`anmu datanglah. Kahendakhmu djadilah, seperti didalam sawrga, demikijenlah di`atas bumi. meng`amponij pada 'awrang jang bersalah kapada kamij. Dan djanganlah
membawa kamij kapada pertjawba`an, hanja lepaskanlah kamij deri pada jang djahat.
Bapa kita, jang ada disorga! namamoe depersoetjikan. Karadjaanmoe dedatangkan: kehendakmoe dedjadikan, seperti didalam sorga, bagitoe lagi diatas boemi. Reziki kita sahari‐hari brilah akan kita pada hari ini.
Dan ampoenilah pada kita segala kasalahan kita, saperti lagi kita ini mengampoeni pada orang jang bersalah kapada kita. Dan djanganlah membawa kita kapada pertjobaan, hanja lepaskan kita deri pada jang djahat.
Klinkert (1870) – Melayu disorga, dipermoeliakan kiranja Namamoe;
Datanglah kiranja karadjaanmoe;
Dan ampoenilah segala salah kami, saperti kami pon mengampoeni orang jang bersalah kapada kami.
Dan djangan bawa akan kami kadalam penggoda, melainkan lepaskanlah kami daripada jang
dipermoeliakanlah kiranja Namamoe.
Datanglah keradjaanmoe.
Djadilah kehendakmoe, seperti disoerga, demikian djoega diatas boemi. Berilah kami pada hari ini makanan kami jang setjoekoepnja.
Dan ampoenilah kiranya kepada kami segala kesalahan kami, seperti kami ini soedah mengampoeni orang jang berkesalahan kepada kami.
Dan djanganlah membawa kami kepada pentjobaan,
melainkan lepaskanlah kami dari pada jang djahat
Bapa kami jang di Surga, Dikuduskanlah NamaMu, Datanglah KeradjaanMu, djadilah kehendakMu diatas bumi seperti didalam Surga.
Berilah rezeki jang kami perlu hari ini,
Hapuskanlah utang kami seperti kami telah menghapus utang orang terhadap kami;
djanganlah masukkan kami kedalam pertjobaan, tetapi bebaskanlah kami dari jang djahat.
Kompleksitas Penerjemahan Alkitab
Seperti yang diungkapkan Willem Burung (Tjen et al. 2006, 3), bahasa dan budaya merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Keduanya mempengaruhi penerjemahan Alkitab. Karena Alkitab ditulis dalam bahasa‐bahasa kuno dan konteks kebudayaan yang berbeda sama sekali dengan apa yang kita miliki sekarang, maka penerjemahannya membutuhkan usaha yang tidak sederhana. P. G. Katoppo (LAI 2001, 111) mengamati adanya 5 masalah penerjemahan sebagai berikut: (1) Soal‐soal leksikal, seperti kata pinjaman, idiom, istilah, arti kata dalam konteks, nama‐nama
Halangan bahasa terutama berkaitan dengan pemakaian bahasa‐bahasa Alkitab itu sendiri. Bahasa Ibrani Alkitab berbeda dari bahasa Indonesia, Inggris, Jerman, Ibrani modern, dan lain‐lain. Satu contoh kompleksnya penerjemahan berkaitan dengan bahasa adalah kosa kata yang tidak jelas artinya dalam Alkitab. Atau yang hanya muncul sekali (hapax legomena [pl]). Misalnya, dalam Rut 3:8, kata
wayyillapet (akar katanya l‐p‐t) tidak jelas artinya sehingga disesuaikan dengan konteks (Ayb 6:18 “berkelok‐kelok”; Hab 16:29 “merangkul”). TB menerjemahkannya dengan “meraba‐raba ke
sekelilingnya”, (bnd. NAB “groped about”) sementara BIMK “membalikkan badan”. LXX menggunakan kata etarachtē (terusik). Contoh hapax legomena adalah kata Ibrani piym (1Sam 13:21). KJV
menerjemahkannya file (kikir), yaitu alat menajamkan mata bajak, kapak, pisau dll. Namun, TB menerjemahkannya “dua pertiga syikal”. Melatarbelakangi TB (juga banyak terjemahan modern lainnya) adalah perkembangan di bidang arkeologi abad 20. Penggalian di beberapa tempat di Palestina menemukan batu timbangan untuk keperluan dagang. Salah satu batu itu kira‐kira 8 gram beratnya dan bertuliskan piym (Metzger, 1993: 276).
Kebudayaan Ibrani dan Yunani berbeda dari kebudayaan Asia Tenggara khususnya Indonesia masa kini. Bisa saja terjadi kesalahpahaman ketika teks tertentu menyiratkan kebudayaan yang berbeda dari yang dimiliki pembaca Alkitab. Misalnya, Kotynski dan Florimond memberi contoh menarik (Tjen et al. 2006, 114), dalam Wahyu 3:20: “ ... Aku berdiri di muka pintu dan mengetuk ...”. Budaya mengetuk pintu tidak universal seperti yang dibayangkan masyarakat kita. Orang Tabaru di Maluku Utara tidak perlu
mengetuk pintu ketika mau masuk ke rumah orang lain. Mereka hanya memanggil dari luar dengan seruan khas, “Ui!”. Kendala budaya seperti ini oleh beberapa kalangan diatasi dengan pendekatan penafsiran ulang menurut kebudayaan. Dengan pendekatan ini makna teks diungkapkan kembali dengan kata‐kata sesuai dengan konteks bahasa dan budaya penerima (Soesilo 2014, 46). Kasus menarik, di Minahasa pernah ada penulis yang mencoba mengungkapkan Yohanes 15:1‐8 sebagai “Akulah Cengkeh, Pala dan Kopra yang Benar” (Ibid.). Tentu saja pendekatan ini tidak dapat diterima karena tidak mengindahkan atau menghormati teks asli dan budaya yang melatarbelakanginya.
Selain masalah di atas perlu dipahami masalah yang sebenarnya lebih mendasar. Seperti apakah sebenarnya teks Ibrani, Aram, atau Yunani yang menjadi dasar terjemahan yang ada? Naskah‐naskah Perjanjian Baru Yunani ada ribuan jumlahnya. Naskah Masoret yang mendasari PL tidak selalu mudah dibaca. Oleh sebab itu, dalam penerjemahan penting untuk memperhatikan teks bahasa asli mana yang dipakai.
Untuk kasus KJV misalnya, naskah Yunani yang menjadi dasar terjemahan ini tergantikan dengan ditemukan naskah‐naskah yang jauh lebih bermutu. Penemuan papirus‐papirus misalnya dan perkembangan studi Alkitab (termasuk arkeologi seperti sudah disinggung di atas) mendorong para ahli mengupayakan terjemahan‐terjemahan baru yang memanfaatkan naskah‐naskah Yunani yang lebih baik dan kemajuan studi tafsir.
Prinsip-prinsip Penerjemahan
1. Penerjemahan Formal
formal dalam bahasa Inggris antara lain:‡ King James Version (1611), Revised Standared Version (1946‐ 1957), New American Bible (1970), New American Standard Version (1960‐1995), New International Version (1973, 1978, 1984, 2011), New King James Version (1979), New Revised Standard Version (1989), English Standard Version (2001), New English Translation (1996‐2006). Dalam bahasa Indonesia, Alkitab Terjemahan Baru (1974) yang diterbitkan LAI menerapkan prinsip penerjemahan formal ini. Penerjemahan yang mengutamakan struktur bahasa sumber (formal‐harfiah dari bahasa Ibrani, Aram, dan Yunani) ini telah berlangsung lama. Hal ini beralasan karena ada keyakinan bahwa cara terbaik menerjemahkan teks adalah dengan mereproduksi struktur bersama dengan “keganjilan” (baca: kekhasan) bahasa sumber. Bahkan ada anggapan susunan kata dan pilihan kata diilhami Tuhan sehingga pantang untuk diubah (lih. Harun dalam LAI 2001, 44).
2. Penerjemahan Dinamis
Semenjak seperempat abad terakhir ini juga berkembang prinsip berbeda dari penerjemahan formal. Prinsip ini bertujuan menghasilkan terjemahan yang lebih menekankan penyampaian makna alih‐alih struktur dan “keganjilan” bahasa sumber. Terjemahan yang dikenal dengan terjemahan
dinamis/fungsional ini juga memperhatikan kekhususan bahasa penerima (Soesilo 2014, 43). Prinsip ini, menurut Eugene Nida dan Charles Taber (1974, 19), berdasar pada dua kenyataan linguistik: (1) setiap bahasa yang ada di dunia mencakup semua pengalaman dalam rangkaian simbol verbal tersendiri, dan (2) setiap bahasa itu berbeda antara satu dengan yang lain dalam hal bagaimana simbol verbal masing‐ masing mengelompokkan berbagai unsur pengalaman itu. Kita bisa sebut saja terjemahan‐terjemahan Alkitab seperti J. B. Phillips (1958), Today’s English Version/Good News Translation (1966, 1976),
Contemporary English Version (1991, 1995). Dan dalam bahasa Indonesia ada Alkitab Kabar Baik dalam Bahasa Indonesia Masa Kini (1985). Meskipun demikian, kegemaran banyak orang terhadap terjemahan harfiah masih sangat besar. Masih ada kecenderungan meyakini terjemahan yang terbaik adalah terjemahan yang seharfiah mungkin. Bisa dimengerti kenapa terjemahan formal seperti King James Version, New Revised Standard, Terjemahan Baru, masih mendapat tempat di hati pembaca Kitab Suci di mana‐mana.
3. Adaptasi
Ada pula terjemahan yang berupa saduran atau adaptasi. Penyadur tidak ragu untuk memasukkan pandangan teologisnya ke dalam terjemahan. Hal ini dilakukan dengan maksud agar pesan Alkitab yang dianggap penting tersampaikan dengan hidup (Sairin et al. 1994, 72).
Tabel 2 Contoh Terjemahan Formal (kiri) dan Adaptasi (kanan) (Mazmur 23:1‐4)
Mazmur Daud. TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.
2 Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang;
3 Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama‐Nya.
4 Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada‐ Mu dan tongkat‐Mu, itulah yang menghibur aku. (Mzm 23:1‐4 ITB)
1 Karena TUHAN adalah Gembalaku maka segala keperluanku terpenuhi.
2, 3 Ia membaringkan aku di atas rumput hijau dan menuntun aku sepanjang anak sungai yang tenang airnya. Ia memulihkan keadaan diriku. Ia menolong aku untuk melakukan apa yang benar dan yang
memuliakan Dia.
4 Walaupun aku berjalan melalui lembah maut yang gelap, aku tidak akan takut karena Engkau menyertai aku untuk menjaga dan membimbing aku sepanjang jalan. (Mzm 23:1‐4 FAYH)
‡ Hanya Alkitab Bahasa Inggris yang disebutkan di sini karena lebih mudah untuk diakses. Tentu ada contoh‐
Lembaga Alkitab Indonesia merupakan anggota persekutuan lembaga‐lembaga Alkitab sedunia. Sebagai bagian dari keluarga besar lembaga Alkitab di dunia, LAI juga mengikuti prinsip‐prinsip yang dipedomani oleh banyak lembaga Alkitab di berbagai negara. Salah satu prinsip yang dipedomani adalah penerjemahan dinamis untuk terjemahan ke dalam bahasa daerah. Meskipun itu, untuk
terjemahan bahasa Indonesia LAI berpedoman pada penerjemahan formal, artinya terjemahan harfiah diupayakan selama masih bisa dimengerti dan wajar dalam bahasa Indonesia. Prinsipnya tidak berbeda dari slogan penerjemahan NRSV: “As literal as possible, as free as necessary” (lih. Metzger 1993, 282). Kedua prinsip penerjemahan di atas memang bisa diterima dan saling melengkapi. Pertanyaan mendasar dalam melaksanakan pekerjaan penerjemahan Alkitab adalah: Untuk siapakah terjemahan ini akan ditujukan? Segmen pembaca mana yang mau dicapai dengan terjemahan ini? (LAI 2001, 112). Terjemahan BIMK misalnya diperuntukkan bagi kalangan umum yang lebih memerlukan terjemahan yang komunikatif yang bisa menyampaikan pesan Alkitab dengan jelas. TB ditujukan untuk pemakaian liturgis. Dalam kegiatan pendalaman Alkitab misalnya kedua terjemahan itu bisa digunakan
bersamaan.
Satu aspek penting sekali dalam penerjemahan adalah pengujian. Dalam pengalaman LAI
menghasilkan TB dilakukan pengujian dengan meluncurkan Kabar Baik (1955) yang berisi sejumlah pilihan ayat‐ayat Alkitab untuk melihat respons jemaat atas bahasa Indonesia yang digunakan tim penerjemah (Sairin et al. 1994, 50). TB melalui tahap‐tahap penguijian dalam kerjasama dengan gereja‐ gereja di Indonesia dan mendapat masukan yang sangat berharga sebelum peluncurannya. Praktik serupa tetap dilakukan hingga sekarang dalam proyek‐proyek penerjemahan LAI.
Beberapa Contoh
Bandingkan dua terjemahan (TB, BIMK) berikut ini:
“Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya.” (Roma 12:20 TB) “Karena dengan berbuat demikian, Saudara akan membuat dia menjadi malu” (Roma 12:20 BIMK)
TB mewakili prinsip penerjemahan formal yang masih sampai sekarang dikerjakan oleh lembaga‐ lembaga Alkitab dalam keluarga besar UBS. Frase “bara api di atas kepalanya” merupakan terjemahan formal (harfiah) dari ungkapan Yunani, anthrakas puros ... epi tên kepalên autou. Dalam BIMK, ungkapan itu diterjemahkan secara dinamis dengan mengungkap arti “membuat ... menjadi malu”. Jelas bahwa BIMK lebih mudah dipahami. Untuk mengetahui maksud TB pembaca wajib melewati 2 tahap pemahaman: pertama, ia harus mengerti bahwa “menumpukkan bara api di atas kepala” tidak boleh dipahami secara harfiah, lalu kedua, mengetahui apa arti ungkapan itu.
Dalam ucapan bahagia pertama yang disampaikan Tuhan Yesus:
“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah” (Mat 5:3 TB),
TB memunculkan “orang yang miskin” sebagai padanan hoi ptochoi dalam teks Yunani. Sedangkan dalam Perjanjian Baru Bahasa Ma’anyan, ayat yang sama diterjemahkan "Tuu sanang marauh ulun sa kaingkam angaan badaya nelang ekat itegei harap witu Tuhan” (sungguh bahagia orang yang merasa tidak berdaya dan hanya bergantung pada Tuhan).
“Penghinaan bagi orang yang celaka, demikianlah pendapat orang yang hidup aman suatu pukulan bagi orang yang tergelincir kakinya.” (Ayub 12:5 TB)
“Kamu menghina orang celaka, sedang hidupmu aman; orang yang hampir jatuh kamu beri pukulan.” (Ayub 12:5 BIMK)
Dalam puisi Kitab Ayub di atas TB dengan baik mereproduksi struktur puisi teks Ibrani, lapiyd bûz lə astût sya anan nakhôn ləmô adey ragel. Namun pembaca mungkin akan berpikir keras untuk memahami pesannya. Di situlah BIMK mengatasinya dengan menerjemahkannya secara dinamis sehingga pesannya tersampaikan dengan lebih mudah.
Ayat pertama dalam Alkitab diterjemahkan secara berbeda dalam terjemahan berikut:
“In the beginning, when God created the heavens and the earth—" (Kej 1:1 NAB)
“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” (Kej 1:1 TB)
“Pada mulanya, waktu Allah mulai menciptakan alam semesta,” (Kej 1:1 BIMK)
Mengacu pada teks Ibrani, selain dapat berdiri sendiri sebagai kalimat utama (TB), ayat 1 bisa juga menjelaskan ayat 2 atau 3 sebagai anak kalimat yang menerangkan waktu (BIMK). Sejalan dengan BIMK, New American Bible membandingkan kisah penciptaan Kejadian dengan penciptaan dalam budaya kuno lain, yang memiliki susunan “ketika ... lalu ...”. Kata “ketika” (when) mengantar pada keadaan awal dunia sebelum penciptaan sehingga ayat 1 tidak bisa berdiri sendiri tetapi berkaitan dengan ayat selanjutnya (ayat 2). TB mewakili tradisi terjemahan Kej 1:1 yang memahami "pada
mulanya" dalam teks Ibrani sebagai keterangan waktu untuk “Allah menciptakan langit dan bumi” yang berdiri sendiri. NAB dan BIMK merupakan contoh upaya untuk menghasilkan terjemahan yang
memperhatikan serius bagaimana teks itu sendiri dimengerti oleh penulis aslinya dan dalam konteks budaya tertentu.
Satu contoh lain, 1 Korintus 5:4‐5 adalah kasus menarik. Bandingkan terjemahan‐terjemahan berikut:
“... aku sama seperti aku hadir telah menjatuhkan hukuman atas dia, yang telah melakukan hal yang semacam itu. Bilamana kita berkumpul dalam roh, kamu bersama‐sama dengan aku, dengan kuasa Yesus, Tuhan kita, orang itu harus kita serahkan dalam nama Tuhan Yesus kepada Iblis, ... “ (1Kor 5:4‐5 ITB)
“I have already passed judgment in the name of our Lord Jesus on the one who has been doing this. So when you are assembled and I am with you in spirit, and the power of our Lord Jesus is present, hand this man over to Satan for the destruction of the flesh ...” (1Kor 5:3‐5 NIV)
I have already pronounced judgment on the one who did such a thing. When you are assembled in the name of the Lord Jesus and my spirit is present, with the power of our Lord Jesus, you are to deliver this man to Satan for the destruction of the flesh, (1Kor 5:3‐5 ESV)
Catatan Akhir
Uraian singkat yang dapat disampaikan di atas menunjukkan bahwa pelayanan penerjemahan Alkitab merupakan bagian dari karakter (nature) Kitab Suci itu sendiri (Alkitab). Alkitab bahasa Jawa yang menyapa rohani orang‐orang Jawa tidak kalah sakral dibanding Alkitab dalam bahasa lain. Mengenal pelayanan penerjemahan Alkitab dan kompleksitasnya mengajak kita untuk mengapresiasi lebih lagi Alkitab yang ada di tangan kita dan membacanya dengan penuh minat akan kebenaran.
Penerjemahan Alkitab adalah bagian kehidupan umat beriman di sepanjang masa sehingga Firman Tuhan tetap menyapa setiap orang di setiap zaman dan dimengerti dengan lebih baik. Sebagai orang Kristiani kita percaya bahwa Roh Kudus yang menginspirasi para pewarta dan penerjemah dalam sejarah Kekristenan juga berkarya dan menyertai penerjemah‐penerjemah di zaman kita.
Akhir kata, kita bisa berkata bahwa Alkitab dalam berbagai bahasa adalah sama sekaligus berbeda. Menerjemahkan Alkitab bukan hal yang sederhana. Usaha keras penerjemah tidak menjamin pembaca bisa mudah memahami isi Alkitab. Namun demikian, benar apa yang pernah diungkapkan Sri
Wismoady Wahono (1987, 472) bahwa ketika mencoba memahami pesan Alkitab, kita harus bersikap terbuka, baik terhadap apa yang bisa kita pahami maupun terhadap apa yang belum bisa kita pahami. Melalui keterbukaan (atau kejujuran) ini Roh Kudus bekerja dengan cara‐Nya yang tidak kita ketahui.
Pustaka Acuan (+ keterangan)
Lembaga Alkitab Indonesia. 2001. Alkitab dan Komunikasi. Kumpulan Makalah Seminar LAI. Jakarta: LAI. (Berisi makalah‐makalah seminar dari para pakar dan pemerhati seputar Alkitab dan komunikasi. Tulisan P. G. Katoppo dan Martin Harun, OFM., serta keynote address Daud Soesilo bisa menjadi pengantar yang bagus)
Metzger, Bruce M. 1993. “Persistent Problems Confronting Bible Translators” Bibliotheca Sacra 150: 273‐284. (Metzger menguraikan masalah teknis yang harus dihadapi seorang penerjemah, mulai dari bagaimana mengatasi beragamnya teks Kitab Suci itu sendiri hingga menerjemahkannya) Newman, Barclay M. & Daniel C. Arichea. 1987. Penuntun Terjemahan Dinamis. Jakarta: LAI. (Panduan
singkat bagaimana menerjemahkan Alkitab dengan pendekatan dinamis‐fungsional. Ditulis oleh dua konsultan penerjemahan dari Perserikatan Lembaga‐lembaga Alkitab Sedunia)
Nida, Eugene A.& Charles R. Taber. 1974. The Theory and Practice of Translation. Leiden: Brill. (Secara teknis membahas bagaimana penerjemahan berbasis makna dilakukan. Ditulis oleh dua pakar di bidang penerjemahan yang pemikirannya mempengaruhi penerjemahan Alkitab hingga kini) Pelikan, Jaroslav. 2005. Whose Bible Is It? New York: Viking Penguin. (Sejarah yang mudah untuk diikuti
tentang posisi Alkitab dalam tradisi kepercayaan Yahudi dan Kristen)
Sairin, Weinata, J. S. Aritonang, R. Z. Leirissa, Daud Susilo, P. G. Katopo. 1994. Persebaran Alkitab di Sepanjang Zaman. Jakarta: LAI‐Gunung Mulia. (Kumpulan karangan yang membahas sejarah, hakikat, dan peranan Alkitab, serta isu kontemporer berkaitan penerjemahannya di Indonesia) Soesilo, Daud. 2014. Mengenal Alkitab Anda. Edisi kelima. Jakarta: LAI. (Menyediakan informasi
tentang Alkitab dan seluk beluk penerjemahan Alkitab khususnya dalam bahasa Indonesia) Tjen, Anwar, et al. 2006. Penerjemah, Penerjemahan Alkitab & Pembina Penerjemahan. Jakarta: LAI.
Tjen, Anwar. 2016. Alkitab Terjemahan Baru 2: Protokanonika dan Deuterokanonika. Beberapa Kebijakan dan Prinsip yang Dipedomani. Lembaga Alkitab Indonesia. (Makalah yang disajikan dalam Konsultasi Alkitab PB TB 2 Wil. Nusa Tenggara dan Bali di STFT Ledalero, Maumere) Wahono, Sri Wismoady. 1987. Di Sini Kutemukan. Jakarta: Gunung Mulia. (Pengantar yang