• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS AKHIR HUKUM KONSTITUSI“ DILEMATIS PERUNDANG-UNDANGAN PENGANGKATAN CALONHAKIM AGUNG”

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TUGAS AKHIR HUKUM KONSTITUSI“ DILEMATIS PERUNDANG-UNDANGAN PENGANGKATAN CALONHAKIM AGUNG”"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS AKHIR HUKUM KONSTITUSI

“ DILEMATIS PERUNDANG-UNDANGAN PENGANGKATAN CALON HAKIM AGUNG”

Oleh : Ana Riyanti NIM : 10340185

A. PENDAHULUAN

Sejak awal kemerdekaan, kekuasaan kehakiman diniatkan sebagai institusi yang terpisah dari lembaga-lembaga politik. Dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum amandemen disebutkan :

“Kekuasaan kehakimnan ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang keududukan hakim”.

Yang dimaksud pemerintah dalam penjelasan tersebut dapat dipahami dalam arti luas, yaitu mencakup pengertian cabang kekuasaan legislatiif dan eksekutif sekaligus, mengingat UUD 1945 sebelum amandeman tidak menganut faham pemisahaan kekuasaan (separation of power), terutama antara fungsi eksekutif dan legislatif. Namun demikian, kekuasaan kehakiman tetap dinyatakan bebas dan merdeka dari kekuasaan pemerintah. Karena itu, cabang kekuasaan kehakiman sejak semula memang diperlakukan khusus sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dan tersendiri. Inilah salah satu ciri penting prinsip negara hukum yang ingin dibangun berdasarkan UUD Negara Rpublik Indonesia Tahun 1945.

(2)

merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam upaya memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka itu, maka sesuai tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok.

Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Melalui perubahan undang-undang tersebut, telah diletakkan kebijakan baru bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan financial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan ini popular disebuat “kebijakan satu atap”. Dengan kebijakan satu atap ini, maka pembinaan badan peradilan umum, badan peradilan agama, badan peradilan militer, dan peradilan Tata Usaha Negara di bawah kekusaan Mahkamah Agung.

Mengingat betapa pentingnya kekuasaan Makhmah Agung maka perlu pengaturan dan pengawasan dalam proses Seleksi Hakim Agung yang notabenenya sebagai pimpinan Makhmah Agung. Seleksi Hakim Agung menjadi isu yang strategis untuk diamati dan diadvokasi. Hakim Agung bertugas di Mahkamah Agung, pada persidangan kasasi memeriksa pertimbangan hukum dan penerapan hukum dalam putusan pengadilan di bawahnya (judex jurist). Peran penting untuk menjaga konsistensi penerapan hukum di Indonesia berada di pundak para Hakim Agung.

(3)

membentuk suatu Komisi Yudisial yang berwenang ntuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,serta perilaku hakim.

Namun seperti kita ketahui bersama dewasa ini Indonesia dilanda kekisruhan dalam masalah peraturan perundang-undangan. Kekuasan legislative yang cenderung mendominasi system pemerintahan Indonesia sepertinya memberikan banyak celah dalam produk peraturan perundangan yang dibuatnya. Seperti yang ada di dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme pengangkatan hakim agung. Antara undang-undang yang satu tidak sejalan dengan undang-undang yang lain bahkan bertentangan dengan konstitusi.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari pendahuluan yang diusung oleh penulis diatas, adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kewenangan DPR dalam seleksi calon Hakim Agung? 2. Bagaimana kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi calon Hakim

Agung?

C. TINJAUAN PUSTAKA

Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan UU No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakima, dan khusus ketentuan tentang Makhamah Agung (MA) diatur dalam UU No. 5 Tahun 2004 tentang Makhamah Agung. Pasal 4 UU MA ini menentukan susunan MA terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, dan seorang sekretaris. Adapun jumlah hakim Agung paling banyak enem puluh orang.

(4)

kurangnya dua puluh tahun menjadi hakim termasuk sekurang-kurangnya tiga tahun menjadi hakim tinggi.1

Adapun apabila dibutuhkan, hakim agung dapat diangkat tidak berdasarkan system karier dengan syarat : (1) Warga Negara Indonesia; (2) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (3) berijazah berijazah sarjana hokum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hokum; (4) berusia sekurang-kurangnya 50 tahun; (5) sehat jasmani dan rohani; (6) berpengalaman sekurang-kurangnya dalam profesi hokum dan/ atau akademis hokum sekuarang-kurangnya 25 tahun; (7) berijazah magister dalam ilmu hokum dengan sarjana hokum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dibidang hokum; dan (8) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.2

Para Hakim Agung diangkat oleh presiden dari nama calon yang diajukan oleh DPR. Calon Hakim Agung dipilih oleh DPR dari nama calon yang diusulkan oleh komisi yudisial. Apabila melihat sejarah awal pembentukan komisi yudisial adalah setelah adanya sistem penyatuan satu atap di Mahkamah Agung.

Peran komisi yudisial dalam seleksi calon hakim agung apabila kita melihat konteksnya di dalam hal internal independent (independensi hakim terhadap kolega atau atasannya). Sejarah membuktikan hal tersebut. Pada tahun 1966, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) sering menentang kebijakan Soejadi ketua MA saat itu, kemudian Soerjadi berusaha membuang pimpinan IKAHI yang terkenal kritis, seperti Asikin Kusumahatmadja, Sri Widyowati dan Basthanul Arifin dari Jakarta ke daerah. Ia meminta Menteri Kehakiman saat itu, Oemar Seno Adji untuk menyetujui usulan pemindahan ketiga hakim tersebut. Karena beberapa

(5)

hal, Seno Adji menolak permintaan Soerjadi tersebut. Dalam kasus di atas kita temukan dualisme kekuasaan kehakiman.

Berdasarkan kejadian tersebut maka bisa dikatakan bahwa untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang benar-benar independen tidak bisa diserahkan hanya kepada MA saja. Kekhawatirkan apabila terjadinya monopoli kekuasaan kehakiman oleh MA sangat patut diwaspadai apabila melihat sejarah tersebut, dikhawatirkan MA akan bertindak sewenang-wenang apabila tidak ada lembaga yang mampu mengawasi dan memberikan penilaian terhadap kinerja MA. Pemerintah dan DPR sebagai lembaga eksekutif dan legislatif tidak bisa serta merta melakukan intervensi terhadap pihak yudikatif, karena khusus dalam fungsi yudikatif, prinsip yang tetap dipegang adalah bahwa dalam negara hukum, badan yudikatif haruslah bebas dari campur tangan eksekutif maupun legislatif. Oleh karena itu dibentuklah suatu komisi yang bernama Komisi Yudisial. Tujuan dibentuk Komisi Yudisial adalah sebagai auxiliary organ dimana Mahkamah Agung adalah sebagai main state organnya. Komisi Yudisial dibentuk bukanlah sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman melainkan sebagai elemen pendukung dalam rangka mendukung Makhamah Agung.

D. PEMBAHASAN DAN ANALISIS

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hokum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hokum dan keadilan berdasarkan UUD 1945.

(6)

hokum dan keadilan itu sendiri. Adapun upaya-upaya yang dilakukan menuju arah tersebut yaitu dengan cara: (1) mengadakan penataaan ulang lembaga yudikatif; (2) peningkatan kulifikasi hakim;dan (3) penataaan ulang perundang-undangan yang berlaku.

Implikasi dari ketentuan diatas maka amandemen UUD 1945 ,membagi kekuasaan lembaga yudikatif menjadi tiga kamar yaitu Makhamah Agung (MA), Makhamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY).

Seperti halnya Makhamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY) merupakn lembaga negara yang terbentuk setelah adanya amandemen UUD 1945. Dalam konteks ketatanegaraan KY mempunyai peranan yang sangat penting yaitu: (1) mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung; (2) melakukan pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipasif guna menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Hal ini tertuang di dalam pasal 24B ayat (1) UUD 1945 dan secara operasionalnya dijabarkan dalam pasal 13 Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (selanjutnya disebut UU KY ), bahwa dalam kedudukannya sebagai lembaga negara komisi yudisial diberi kewenangan antara lain adalah :

1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR.

2. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

Yang kemudian pasal tersebut diubah di dalam UU Nomor 18 tahun 2011 perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004. Dimana Komisi Yudisial mempunyai wewenang:

1. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan; 2. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta

perilaku hakim;

3. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan

(7)

Dalam melaksanakan kewenangan mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, komisi yudisial memiliki tugas; (1) melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; (2) melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; (3) Menetapkan calon Hakim Agung; dan (4) mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.

Berdasarkan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, DPR juga terlibat dalam pemilihan hakim agung ini. Undang-Undang Komisi Yudisial, Kekuasaan, Kehakiman, dan Mahkamah Agung saat ini memberi kewenangan yang besar pada DPR untuk memilih Hakim Agung. DPR bersama dengan Komisi Yudisial memiliki peran dalam rekrutmen Hakim Agung, tidak seperti pada era Orde Baru yang dikuasai oleh Pemerintah (eksekutif). Komisi Yudisial mengajukan tiga nama calon Hakin Agung untuk 1 posisi Hakim Agung kepada DPR untuk dipilih. Berbeda dengan kewenangan DPR berdasarkan UU No. 1 Tahun 1950. DPR mengajukan dua nama calon kepada Presiden untuk setiap satu posisi Hakim Agung.

Komisi III DPR pada pemilihan Hakim Agung Januari 2013 lalu untuk melakukan penelusuran rekam jejak calon Hakim Agung gagal dilaksanakan karena terbatasnya waktu. Hal ini dikarenakan DPR memiliki tiga fungsi utama yang masih jauh dari performa memuaskan yaitu pembuatan Undang-Undang (legislasi), pengawasan (controlling), dan penganggaran (budgeting) selain rekrutmen hakim agung ini.

(8)

kedepankan kualifikasi, sehingga tidak menutup kemungkinan pendulum akan bergeser mengikis lagi kewenangan DPR dalam rekrutmen Hakim

Kuasa itu makin kentara dan melembaga setelah UU Mahkamah Agung dan UU Komisi Yudisial mengatur lebih spesifik peran DPR. Salah satu kisruh peraturan perundangan ini khususnya dalam proses seleksi hakim agung yang beberapa waktu yang lalu sempat ramai dibicarakan. Di dalam UUD 45 menjamin hak DPR memberikan pertimbangan, pemilihan dan persetujuan. Namun dalam konteks seleksi hakim agung, konstitusi memberikan pembatasan wewenang pada Pasal 24A ayat 3 di mana dinyatakan DPR hanya berwenang memberikan persetujuan bukan memilih di antara pilihan.

Demikian pula dengan pemilihan komisioner KY. Pasal 24B ayat 3 UUD 45 membatasi kewenangan DPR sebatas memberikan persetujuan. Masalahnya, kewenangan yang besar dan bertentangan dengan konstitusi justru diberikan dalam UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial dan UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA. Pasal 8 ayat 2 UU MA, misalnya, memberikan kewenangan untuk memilih calon hakim agung. Akibatnya DPR berhak mengadakan seleksi calon hakim agung.

Namun, kecenderungan yang terjadi memperlihatkan bahwa kalkulasi politik mampu mengalahkan parameter kompetensi dan integritas. Kuasa tidak diperankan di wilayah yang semestinya, bahkan kuasa diselundupkan untuk mendapatkan cabang kuasa baru yang makin bermasalah. Terbukti, DPR memperluas kewenangannya di kuasa legislasi melalui UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial agar kuasa memberikan “persetujuan” dimaknai “memilih”. Kuasa “memilih” dalam wujud fit and proper test disusupi kalkulasi politik berhadapan dengan kriteria kompetensi dan integritas. Hasilnya? Kalkulasi politik membenamkan keakuratan kompetensi dan integritas.3

(9)

Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa kewenangan DPR sebatas memberikan persetujuan, tanpa dimaknai dan dilengkapi dengan tindakan “memilih” melalui mekanisme fit and proper test. Dengan demikian, Komisi Yudisial seharusnya menyampaikan calon hakim agung kepada DPR sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan, tidak perlu lebih (2—3 kali lipat). Pola seperti itu seharusnya berlaku pula untuk pemilihan pejabat publik lain, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dengan demikian, posisi DPR sudah “disuguhkan” pada pilihan dengan standar yang tinggi secara kompetensi dan integritas. Jika DPR kemudian memilih hakim agung kurang dari yang diajukan oleh Komisi Yudisial, seharusnya itu tidak menjadi masalah karena yang terpilih adalah calon dengan profil terbaik.

Di dalam Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden. Dari keterangan pasal tersebut maka bisa dilihat adanya keterlibatan tiga lembaga negara, yaitu Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden dalam proses perekrutan hakim agung. Dari tiga lembaga tersebut yang paling disorot saat ini adalah peran dari DPR, hal ini bisa dilihat dari adanya Judicial Review terhadap Pasal 8 Ayat (2), (3) dan (4) UU No. 3 Tahun 2009 Tentang MA dan Pasal 18 Ayat (4) UU No. 18 Tahun 2011 Tentang KY.

(10)

(3) UUD 1945 yang menyebutkan peran DPR adalah memberikan persetujuan atas rekomendasi Calon Hakim Agung oleh Komisi Yudisial. Dari sini ahli berpendapat frasa “mendapatkan persetujuan” didalilkan berbeda dengan ketentuan UU MA dan KY yang memberikan kewenangan untuk “memilih” bagi Dewan Perwakilan Rakyat.

Kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan tidak bisa disamakan dengan kewenangan untuk memilih karena apabila kita melihat sudut pandang pembuat Undang-Undang, para pembuat Undang-Undang sudah mendefinisikan hal yang berbeda untuk kata “memilih” dan “memberikan persetujuan”. Apabila kita melihat pasal yang mengatur tentang Badan Pemeriksa Keuangan, sudah jelas disebutkan di dalam Pasal 23F Ayat (1) UUD 1945 bahwa anggota BPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, kewenangan DPR dalam memilih calon hakim agung hanya berupa persetujuan bukan pemilihan seperti yang diatur mengenai pemilihan BPK. Berpotensi menganggu independensi peradilan karena hakim agung dipilih oleh DPR, dimana dengan mekanisme pemilihan ini memungkinkan bagi DPR menolak calon-calon yang diusulkan oleh KY atas alasan dianggap tidak memenuhi jumlah calon yang disyaratkan UU MA dan UU KY atau DPR memilih calon hakim agung yang dapat melindungi kepentingan partai politik tertentu.

Akibatnya, apabila ketentuan pemilihan hakim agung oleh DPR dipertahankan, berpotensi merugikan hak konstitusionauntuk mendapatkan perlakuan yang sama menjadi pejabat publik, in casu hakim agung dan hak untuk diperlakukan secara profesional mengingat adanya kewenangan “memilih”calon hakim agung oleh DPR, membuka kesempatan kepada DPR untuk mengulang kembali proses seleksi yang sebelumnya sudah dilakukan oleh Komisi Yudisial, padahal Komisi Yudisial sudah menguji kelayakan dan kompetensi calon hakim agung.

(11)

kita ketahui bahwa kepentingan politik bisa mudah saja berubah tergantung dari orangnya atau situasi politik yang terjadi. Seperti contoh, apabila DPR sebagai lembaga negara yang anggotanya berasal dari partai politik mempunyai kepentingan politik yang baik maka bisa diharapkan hasil hakim yang terpilih adalah yang baik juga, namun hal yang berbeda akan terjadi apabila kepentingan politik yang ada adalah tidak baik, maka hakim yang terpilih bisa saja terbelenggu dengan kepentingan-kepentingan yang buruk tersebut.

Mekanisme pemilihan hakim agung yang melibatkan DPR bisa saja berpotensi menghasilkan hakim-hakim yang tidak baik tergantung dari keadaan dan situasi politik yang ada.

E. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dalam jangka panjang, amendemen UUD 1945 memang harus mendefinisi ulang skema keterlibatan DPR dalam pemilihan pejabat publik agar tidak terjadi pola seperti sekarang ini. Dalam konteks pemilihan hakim agung, misalkan, kewenangan DPR diperbesar melalui produk undang-undang: UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

(12)

publik bisa mengetahui kinerja dan preferensi wakil mereka, terutama saat memberikan persetujuan terhadap calon pejabat publik. Hal ini dikarenakan konstitusi yang dibentuk dengan biaya yang tidak sedikit itu lagi-lagi hanya menjadi tameng lembaga negara ini dalam menjalankan pemerintahan. Lembaga legislative yang sebenarnya pengejawantahan dari rakyat ini malah menjadi ladang bisnis politik.

Dan yang masih menjadi pertanyaan dalam benak penulis adalah apabila DPR berkewenangan melakukan seleksi ulang dengan fit and properties maka apakah hakim agung bertanggung jawab kepada DPR ? Hal ini apabila kata memilih ini masih dipertahankan dan dimaknai selain dari memberikan persetujuan maka siapa yang memilih dialah yang diserai pertanggung jawaban.

DAFTAR PUSTAKA

Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman. Bekasi: Kesaint Blanc, 2008.

Huda, Ni’matul. Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap Dinamika

Perubahan UUD 1945. Yogyakarta :FH UII Press, 2003.

Tutik, Triwulan. Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta : Kencana Predana Media Group, 2010.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pembelajaran tematik kelautan terhadap anak usia 5-6 tahun di TK Hang Tuah 12 dan menjelaskan karakter anak usia 5-6 tahun di TK Hang Tuah 12

Bila aplikasi telah menampilkan halaman ini, maka selanjutnya panitia dapat mulai melakukan proses presensi kegiatan dengan menyentuhkan kartu identitas peserta ke area NFC

Dengan menggunakan suatu metode analisis baru yang disebut STRUCTURAL EQUATION MODELING (SEM) dengan softwarenya LISREL, didapatkan hasil dimana terdapat hubungan yang sangat

Berikut data bagaimana sekolah dan manajemen sekolah membangun budaya Guru sebagai pembelajar sepanjang hayat atau yang dapat disebut pengembangan profesionalisme

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji Chi square diperoleh nilai p > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara berat badan lahir

Prosedur penelitian ini menggunakan model Akker [15] yang menerapkan 4 tahapan utama yaitu: (1) pemeriksaan pendahuluan ( preliminary investigation ) yang dimaksudkan untuk

Dari hasil praktikum perbanyakan tumbuhan vegetative dan generative binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) mendapatkan hasil bahwa perbanyakan secara

Menurut penelitian Harapan (2004), yang bertujuan untuk mengidentifikasi tentang kepuasan kerja dan hubungannya dengan kinerja perawat tetap baik dalam memberikan asuhan