I. PENDAHULUAN
Pemanfaatan sumber daya hutan pada tahun- tahun terakhir yang melampaui daya dukungnya mengakibatkan kerusakan hutan yang pada akhirnya menimbulkan
bencana bagi kehidupan manusia seperti banjir, erosi, musim kemarau yang berkepanjangan, kemunduran produktivitas tanah, dan efek rumah kaca. Masalah –
masalah tersebut tidak hanya disebabkan oleh tekanan penduduk, tetapi juga oleh tekanan ternak yang populasinya cukup tinggi. Sistem penggunaan tanah yang paling banyak mengakibatkan erosi adalah penggembalaan yang melebihi daya tampung
padang penggembalaan.
Padang penggembalaan adalah suatu bentuk penggunaan lahan yang
semata-mata untuk pengembangan peternakan. Biasanya lapisan tanah pada lahan ini relatif dangkal, berbatu dengan lereng yang cukup besar dan tidak cocok untuk tanaman semusim. Vegetasi yang dominan adalah rumput alam yang sering mengalami
overgrazing sehingga ancaman bahaya erosi cukup tinggi. Oleh karena padang
penggembalaan mencakup wilayah yang cukup luas maka overgrazing, erosi,
kebakaran dan penggembalaan liar perlu segera diatasi. Jika tidak, kerusakan lahan dan lingkungan akan berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat dan keseimbangan lingkungan.
mencegah gangguan terhadap hutan, mengendalikan kemunduran produktivitas tanah dan mengangkat taraf hidup rakyat di pedesaan dikembangkan sistem agroforestry.
Agroforestry merupakan salah satu bentuk pembangunan di sektor pertanian dalam rangka pemanfaatan sumber daya hutan, tanah dan air secara optimal yang
mengusahakan produksi biologi berdaur pendek dan berdaur panjang berdasarkan kelestarian, baik secara serempak maupun berurutan di dalam dan atau di luar kawasan hutan sehingga dapat dikembangkan untuk mengatasi permasalahan di
wilayah padat penduduk.
Di samping itu, pengembangan sistem agroforestry merupakan suatu langkah
yang efisien dan murah dalam penanggulangan lahan kritis yang telah mengalami degradasi
Salah satu bentuk penerapan sistem agroforestry di lapangan adalah sistem
agrosilvopastoral yaitu perpaduan antara produksi pertanian, kehutanan dan peternakan. Dalam sistem ini, penanaman hijauan makanan ternak selain untuk
memenuhi kebutuhan peternak, juga dimaksudkan sebagai pencegah erosi pada macam-macam tanah, persentase kemiringan dan persentase hujan tertentu.
Bentuk usaha yang dapat ditempuh untuk mewujudkan tujuan
agrosilvopastoral adalah memanfaatkan tanah-tanah yang terdapat di antara tanaman penghijauan berupa penanaman tanaman pertanian dan hijauan makanan ternak.
(Anacardium occidentale L.) sebagai tanaman kehutanan dan kacang tanah (Arachis hypogea L.) sebagai tanaman pertanian.
Penggabungan tanaman ini dapat mengatasi overgrazing karena dengan penanaman rumput benggala bersama-sama dengan tanaman kehutanan dan pertanian
akan menjamin tersedianya pakan ternak bergizi tinggi dan merata sepanjang tahun.
II. SISTEM AGROFORESTRY
A. Pengertian Agroforestry
Konsepsi agroforestry dirintis oleh suatu tim dari Canadian International Development Centre, yang bertugas untuk mengindentifikasi prioritas-prioritas
pembangunan di bidang kehutanan di negara-negara berkembang dalam tahun 1970-an. Oleh tim ini dilaporkan bahwa hutan-hutan dinegara tersebut belum cukup dimanfaatkan. Penelitian yang dilakukan dibidang kehutananpun sebagian besar
hanya ditujukan kepada dua aspek produksi kayu, yaitu eksploitasi secara selektif di hutan alam dan tanaman hutan secara terbatas. Menurut tim, kegiatan-kegiatan
tersebut perlu dilanjutkan, namun perlu ada perhatian pula terhadap masalah-masalah yang selama ini diabaikan, yaitu sistem produksi kayu bersamaan dengan komoditi pertanian, dan /atau peternakan, serta merehabilitasi lahan-lahan kritis. Hal inilah
yang mendorong timbulnya sistem agroforestry yang berkembang sampai saat ini. International Council for Research in Agroforetry, mendefinisikan Agro
meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanamaan (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan secara
bersamaan atau berurutan pada unit lahan yanag sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat.
Dalam suatu seminar mengenai Agroforestry dan pengendalian perladangan berpindah-pindah, di Jakarta, Nopember 1981, agroforestry didefinisikan sebagai suatu metode penggunaan lahan secara optimal, yang mengkombinasikan
sistem-sistem produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang (suatu kombinasi kombinasi produksi kehutanan dan produksi biologis lainnya) dengan suatu cara
berdasarkan azas kelestarian, secara bersamaan atau berurutan, dalam kawasan hutan atau diluarnya, dan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Nair (1989) setelah meninjau kembali defenisi-defenisi tersebut,,
mengusulkan untuk menggunakan defenisi yang dirumuskan oleh Lundgren dan Raintree sebagai berikut :
" Agroforestry adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, jenis-jenis palm, bambu, dsb) ditanam bersamaan dengan tanaman pertaian, dan/atau hewan, dengan
suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal, dan didalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi diantara berbagai
komponen yang bersangkutan" .
a. Dasar struktural ; menyangkut komponen, seperti sistem silvikultur, silvopasture, agrosilvopastoral.
b. Dasar fungsional ; menyangkut fungsi utama atau peranan dari sistem,
terutama komponen kayu-kayuan.
c. Dasar sosial ekonomi ; menyangkut tingkat masukan dalam pengelolaan (masukan rendah, masukan tinggi) atau intensitas dan skala pengelolaan, atau
tujuan-tujuan usaha (subsistem, komersial, intermedier)
d. Dasar ekologi ; menyangkut kondisi lingkungan dan kecocokan ekologi dan
sistem.
B. Bentuk – Bentuk Agroforestry Model Agroforestry yang dapat dikembangkan adalah :
a. Agrosilvopastur, yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan
masak untuk memproduksi sekaligus hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
b. Sylvopastoral system, yaitu suatu sistem pengelolaan lahan hutan untuk
menghasilkan kayu dan memelihara ternak.
c. Agrosylvo-pastoral system, yaitu suatu sistem pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan, dan sekaligus
untuk memelihara hewan ternak.
d. Multipurpose forest, yaitu sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis
buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia, ataupun pakan ternak.
C. Pertanaman Ganda
Pertanaman ganda merupakan pola tanam dalam sistem agroforestry, dimana
dalam satu tahun pada lahan yang sama ditanam dua atau lebih tanaman dari jenis yang sama atau berbeda, baik ditanam serentak maupun pada waktu yang berbeda.
Istilah-istilah yang berhubungan dengan pola tanam ganda adalah :
1. Pola tumpang sari (Inter cropping), yaitu penanaman serentak dengan jarak dan barisan yang teratur.
2. Pola tanam campuran (Mixed cropping), yaitu penanaman serentak tanpa beraturan dan bercampur pada lahan yang sama. Pola tanam campuran dan tumpang sari biasanya ditanam pada lingkungan yang kurang stabil dengan
maksud untuk menghindari resiko kegagalan.
3. Pola tanam sisipan (Relay cropping), yaitu penanaman ke dalam pertanaman yang
sudah ada sebelum tanaman yang ada dipanen. Pola ini dilakukan untuk memanfaatkan sisa kesuburan dan kelembaban dari tanaman yang pertama agar masukan pupuk lebih sdikit atau untuk menghindari kekurangan air bagi tanaman.
4. Pola tanam lorong (Alley cropping), yaitu pola tanam dimana tanaman semusim lahan kering ditanam di antara barisan tanaman leguminase yang berbentuk
5. Pola tanam berjalur (Strip cropping), yaitu penanaman masing-masing tanaman secara berjalur dan bersilangan beberapa barisan dan dibuat mengikuti arah
lereng, dengan lebar jalur yang disesuaikan dengan besar kecilnya lereng.
Dengan mengusahakan pola tanam ganda, maka akan diperoleh beberapa
keuntungan, antara lain : produktivitas lahan akan lebih tinggi karena pemanfaatan lahan yang lebih intensif, mengurangi resiko kegagalan dan kekurangan pangan karena lebih banyak jenis tanaman yang diusahakan.
Penanaman ganda dari jenis hijauan makan ternak dapat digunakan sebagai pengawet tanah, seperti penanaman rumput dan legum dalam strip-strip dapat
mencegah erosi.
III. PENGEMBANGAN AGROFORESTRY :
RUMPUT BENGGALA, JAMBU METE DAN KACANG TANAH
A. Gambaran Umum Vegetasi
a. Rumput Benggala
Rumput benggala (Panicum maximum) berasal dari Afrika tropik dan
subtropik, sekarang tumbuh di semua daerah tropik dan telah dikembangkan di Indonesia.
Rumput benggala tumbuh tegak, kuat dan menyerupai padi, dapat mencapai tinggi 2 - 2,5 m., batangnya tidak dapat membesar dan dapat memanjang.
Rumput benggala termasuk rumput potongan dengan daun yang lebat dan tumbuh di setiap ruas, berwarna hijau tua serta berbulu-bulu. Bijinya mudah
berjatuhan bila sudah tua, ukurannya kecil dan diperlengkapi dengan bulu atau alat penempel, sehingga memudahkan terbawa oleh angin.
Rumput benggala dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang berstruktur
sedang dan subur, meskipun demikian dapat juga tumbuh pada tanah yang berstektur ringan sampai berat. Sesuai untuk ditanam pada daerah pegunungan,
yang tinggi dan lembab serta peka terhadap genangan air, responsif terhadap nitrogen serta menghendaki tanah-tanah dengan pH 5,5 – 6. Memperlihatkan pertumbuhan yang relatif cepat saat mulai berkecambah dengan suhu 10 – 30oC,
dan pertumbuhan akan mengalami hambatan jika suhu mencapai 31 – 36oC.
Rumput ini tumbuh dengan baik hingga pada ketinggian 1.500 m di atas
permukaan laut dengan curah hujan 850 – 1.700 mm/tahun. Tahan kekeringan tetapi tidak tahan kekeringan yang berkepanjangan.
b. Jambu Mete
Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale) pertama kali tumbuh dan berkembang di Amerika Selatan, yaitu daerah Brazil bagian timur laut sungai
Amazon.
akar tunggang dengan arah vertikal ke bawah, sehingga tanaman ini tumbuh atau berdiri kokoh di atas tanah tempat tumbuhnya. Sistem perakarannya yang luas
dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan tanaman sekalipun tumbuh di daerah kering.
Batang jambu mete termasuk tumbuhan pohon, akan tetapi mempunyai percabangan yang relatif dekat permukaan tanah dengan habitus agak menyebar sehingga dapat menyerupai semak. Dalam keadaan normal, tinggi tanaman ini
dapat mencapai 12 hingga 20 meter. Berdaun tunggal dan berbentuk bulat telur terbalik dengan ukuran yang bervariasi, tangkai daun berwarna coklat kehijauan,
sedangkan helaian daun berwarna coklat kemerahan atau hijau muda, tergantung jenisnya.
Secara anatomis, bagian buah jambu mete dari luar ke dalam terdiri atas kulit
buah yang mengandung minyak, kulit ari, dan pada bagian terdalam terdapat biji mete.
Jambu mete dapat tumbuh pada ketinggian 1 – 1.200 meter di atas permukaan laut. Hal ini menunjukkan bahwa jambu mete dapat tumbuh pada tanah yang beraneka ragam sifatnya, tetapi pada tanah-tanah lempung, mengandung lapisan
garam, dan berdrainase buruk dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan akarnya.
yang berbatu-batu/tandus, di mana pohon buah-buahan lainnya tidak dapat tumbuh, masih dapat ditumbuhi oleh jambu mete.
Tanaman jambu mete dapat berproduksi dengan baik pada daerah dengan curah hujan minimum 500 mm/tahun dengan lama bulan kering 3 – 4 bulan, tetapi
masih dapat tumbuh dengan curah hujan 300 – 400 mm/tahun dengan syarat drainasenya baik. Tanaman ini dapat mentolerir suhu udara yang lebih tinggi dari 30oC.
C. Kacang Tanah
Kacang tanah (Arachis hypogea) berasal dari Amerika Selatan, di sekitar
negara Bolivia, Brasil dan Peru. Diperkirakan tanaman ini pertama kali masuk ke Indonesia dibawa oleh pedagang Spanyol dalam pelayarannya dari Mexico ke Maluku.
Kacang tanah mempunyai akar tunggang, namun akar primernya tidak tumbuh secara dominan. Pada akar tumbuh bintil-bintil akar atau rhizobium
japonicum. Bakteri rhizobium ini mengikat nitrogen dari udara yang dapat digunakan untuk pertumbuhan kacang tanah. Akar kacang tanah dapat tumbuh sedalam 40 cm dan mapu menghisap zat hara dari dalam tanah, walaupun
ketersediaan zat tersebut dalam jumlah yang rendah , bahkan dalam keadaan asam sekalipun sehingg tanah cepat kurus bila tidak dirotasikan dengan tanaman lain.
Tanaman kacang tanah akan tumbuh dengan baik pada tanah yang berstruktur remah, bertekstur lempung berpasir, pasir berlempung, liat lempung berpasir, dan
lempung berdebu, berdrainase baik serta tingkat kemasaman tanah yang netral (pH 6 – 6,5), tetapi masih dapat tumbuh pada tanah dengan tingkat kemasaman pH
4,5. Tanah yang terbaik adalah tanah-tanah sarang dengan lapisan olahnya sedalam 40 cm atau lebih, berwarna merah kecoklatan, abu-abu atau hitam, misalnya regosol dan aluvial.
Tanaman kacang tanah cocok untuk daerah beriklim panas dengan keadaan udara yang lembab (kelembaban udara < 80%) serta curah hujan yang tidak terlalu
banyak (150 – 250 mm/bulan pada bulan-bulan ketiga atau minimal 300 mm sejak penanaman), dan harus mendapat cukup matahari dengan suhu udara harian antara 25 – 35oC.
B. Pola Pengembangan
Model yang digunakan dalam sistem agroforestry ini adalah :
a. Tanaman Pokok ; berupa tanaman kehutanan yang merupakan prioritas utama tanaman yang ditujukan sebagai produksi kayu dan buah dengan penentuan daur tebang selama 5 tahun. Jenis tanaman yang dipilih yaitu jenis jambu mete
(Anacardium occidentale)
b. Tanaman Semusim; merupakan tanaman pertanian yang berotasi pendek, ditanam
pokok berusia satu tahun, jenis tanaman yang dipilih kacang tanah (Arachis hypogea).
c. Tanaman Hijauan Makanan Ternak; merupakan tanaman yang disediakan untuk sumber pakan ternak. Jarak tanam sekitar 60 x 60 cm, jenis tanaman yang
digunakan adalah rumput benggala (Panicum maximum).
Dengan menggunakan model ini, kebutuhan bahan pangan bagi masyarakat dapat terpenuhi dan ketersediaan pakan ternak dapat terjamin.
Tujuan pengembangan Agroforestry ini antara lain :
a. Pemanfaatan lahan secara optimal yang ditujukan kepada produksi hasil tanaman
berupa kayu dan non kayu secara berurutan dan/atau bersamaan.
b. Pembangunan hutan secara multi fungsi dengan melibatkan peran serta masyarakat secara aktif.
c. Meningkatkan pendapatan petani/penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan meningkatnya kepedulian warga masyarakat terhadap
upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya guna mendukung proses pemantapan ketahan pangan masyarakat.
d. Terbinanya kualitas daya dukung lingkungan bagi kepentingan masyarakat luas
C. Pengaruh Tanaman Leguminosa
untuk mencegah erosi dan menambah kesuburan tanah dengan mineralisasi bagian-bagian tanaman yang jatuh pada tanah.
Penggunaan sisa tanaman dari jenis leguminosa, dalam hal ini kacang tanah, sebagai mulsa penutup tanah akan mencegah terjadinya erosi dengan menghindarkan
pengaruh-pengaruh langsung dari curah hujan terhadap tanah. Selain itu dapat meningkatkan kegiatan jasad hidup dalam tanah yang dapat menyebabkan terbentuknya pori-pori makro dalam tanah sehingga meningkatkatkan ketersediaan air
bagi akar tanaman. Sisa-sisa tanaman kacang tanah sebagai mulsa penutup juga dapat menjaga atau menghindarkan fluktuasi suhu dan kadar air permukaan tanah.
Pencampuran tanaman dengan menggunakan jenis legum akan sangat bagus mutunya karena legum dapat mensuplay N pada tanaman lain dengan jalan fiksasi N dari udara, sehingga produksi lebih baik dan menghemat pemupukan. Fiksasi terjadi
karena adanya bakteri yang dapat mengikat dan mempergunakan Nitrogen bebas dari udara dan pembentukan sistem nodul (bintil-bintil akar) pada tanaman leguminosa.
Keuntungan tanaman campuran dengan leguminosa:
1. Memperbaiki unsur N dalam tanah karena kemampuan leguminosa untuk mengikat N dari udara oleh bakteri yang ada di dalam bintil-bintil akar.
2. Mempebaiki mutu makanan hijauan karena protein dan kadar mineral cukup tinggi.
D. Jarak Tanam
Salah satu usaha dalam bercocok tanam yang belum mendapat perhatian serius adalah penggunaan jarak tanam yang teratur. Penggunaan jarak tanam yang
teratur akan menguntungkan dalam usaha pengendalian hama dan penyakit serta pada masa panen. Pada dasarnya jarak tanam yang teratur berusaha memberikan
kemungkinan bagi tanaman untuk tumbuh dengan baik tanpa mengalami banyak persaingan dalam mengambil air, unsur hara, dan sinar matahri.
Jarak tanam mempengaruhi populasi tanaman dan efisiensi penggunaan
cahaya, mempengaruhi kompetisi antara tanaman dalam pengambilan unsur hara dan air, maka dengean demikian akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi.
Jarak tanam ditentukan oleh tingkat kesuburan tanah, pada tanah kurus umumnya memerlukan jarak tanam yang rapat atau populasi yang lebih banyak, sedangkan pada tanah yang lebih subur jarak tanamnya lebih lebar. Selain itu,
penentuan jarak tanam dipengaruhi pula oleh iklim.
Pada hijauan makanan ternak, penentuan jarak tanam ditentukan oleh
keberadaan stolon atau rhizoma. Pada jenis-jenis hijauan yang membentuk rhizoma dan stolon, jarak tanamnya lebih lebar.
Untuk mencapai pemanfaatan lahan yang optimal pada sistem agroforestry
antara tanaman jambu mete, kacang tanah, dan rumput benggala, jarak tanam di antara ketiga tanaman tersebut harus diperhatikan agar keberadaan tanaman yang satu
Jarak tanam rumput benggala harus renggang (60 x 60 cm) untuk memberikan kesempatan bagi jambu mete membentuk cabang dan bagian-bagian lain sehingga
pertumbuhan dan perkembangan jambu mete tidak terganggu. Kesuburan dan kemampuan rumput benggala dalam bersaing dengan jambu mete didukung oleh
adanya kacang tanah yang ditanam di antara tanaman rumput karena kacang tanah dapat menyumbangkan unsur N ke dalam tanah.
Pengaturan jarak tanam dalam sistem agroforestry ini akan berpengaruh
sangat nyata terhadap produksi, baik produksi kacang tanah, jambu mete maupun terhadap rumput benggala. Penanaman rumput dengan jarak yang dekat (rapat) akan
memberikan produksi rumput yang tinggi tetapi pertumbuhan masing-masing tanaman secara individu akan menurun sehingga produksi tanaman kacang tanah dan jambu mete juga akan menurun karena persaingan air dan unsur hara. Oleh karena itu,
untuk mengurangi persaingan tersebut, jarak tanam antara ketiga tanaman tersebut diatur sedemikian rupa sehingga lahan akan memberikan hasil yang optimal.
IV. PENUTUP
Pengembangan sistem agroforestry merupakan suatu langkah yang efisien dalam penanggulangan lahan kritis dan pemanfaatan lahan secara optimal.
Agroforestry merupakan bentuk pemanfaatan lahan dalam suatu tapak yang mengusahakn produksi biologis yang berdaur pendek dan berdaur panjang
Untuk meningkatkan produksi, jarak tanam dalam sistem agroforestry antara rumput benggala, jambu mete, dan kacang tanah harus diperhatikan agar antara
tanaman yang satu dengan yang lainnya tidak saling merugikan.
Dengan mengembangkan model sistem agroforestry antara jambu mete,
DAFTAR PUSTAKA
AAK. 1990. Hijauan Makanan Ternak; Potong, Kerja, dan Perah. Kanisius, Yogyakarta
Anonymous , 1983. Hijauan Sebagai Pakan dan Cara Penanamannya. Dinas Peternakan Sulsel, Ujung Pandang.
Reksohadipradjo, S. 1985. Produksi Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE, Yogyakarta.
Rismunandar, 1986. Mendayagunakan Tanaman Rumput. Sinar Baru, Bandung. rps.uvi.edu/AES/Biotech/silvopasture.html
www.agroforestry.co.uk/silvop.html
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN ... 1
II. SISTEM AGROFORESTRY... 4
A. Pengertian Agroforestry ... 4
B. Bentuk - Bentuk Agroforestry ... 6
C. Pertanaman Ganda ... 7
III. PENGEMBANGAN AGROFORESTRY: RUMPUT BENGGALA JAMBU METE, DAN KACANG TANAH ... 9
A. Gambaran Umum Vegetasi ... 9
B. Pola Pengembangan Agroforestry ... ... 13
C. Pengaruh Tanaman Leguminosa ... 14
D. Jarak Tanam ... 15