• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice Pada Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa (Studi Pada: Polresta Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice Pada Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa (Studi Pada: Polresta Medan)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asas “ultimum remedium” (obat yang terakhir) adalah salah satu asas

dalam hukum pidana yang menggambarkan sifat pidana yaitu jika tidak perlu

sekali maka suatu pidana tidak juga perlu untuk digunakan sebagai sarana

penghukum melainkan peraturan pidana tersebut sebaiknya dicabut apabila dirasa

tidak ada manfaatnya. Para ahli juga berpendapat beragam mengenai tujuan

pemidanaan itu sendiri, apabila berkaca dari sifatnya sebagai ultimum remedium

maka fokus utama suatu pidana adalah pelaku kejahatan dan tindak pidananya.

Pelaku kejahatan yang disebut sebagai penjahat ini diartikan secara

Yuridis adalah orang-orang yang melanggar peraturan atau Undang-Undang

pidana dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan serta dijatuhi hukuman.1

Merekalah yang akan merasakan pidana yang diberikan oleh penegak hukum

melalui sebuah sistem yang disebut sebagai sistem pemidanaan.

Menurut Jan Remmelink, Pemidanaan adalah pengenaan secara sadar dan

matang suatu azab oleh instansi yang berwenang kepada pelaku yang bersalah

melanggar suatu aturan hukum2, sedangkan Sudarto mengatakan bahwa

pemidanaan merupakan penetapan pidana dan tahap pemberian pidana. Pendapat

ahli lainnya yang menjabarkan gambaran mengenai bagaimana pemidanaan itu

masih banyak, namun pada intinya tetap berfokus pada proses pelaksanaan

1

(2)

pidana, yang mana proses ini lah yang kemudian akan dilewati oleh pelaku tindak

pidana (Narapidana) sebagai suatu bentuk nestapa atas perbuatan yang

dilakukannya.

Tujuan dari pemidanaan itu sendiri dapat dilihat berdasarkan penjelasan

Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)3 yang menyebutkan ada

empat teori pemidanaan, yaitu: Teori Pembalasan (Vergeldings-Theorie), Teori Mempertakutkan (Afchrikkings-Theorie), Teori Memperbaiki ( Verbeterings-Theorie), dan Teori yang menggabungkan ketiganya (Teori Gabungan).

Teori tujuan pemidanaan lainnya yang kemudian dikenal adalah Teori

Perlindungan Masyarakat (Social Defence-Theorie) yang berkembang dari Teori bio-sosiologis, yang dipelopori oleh Ferri. Pandangan ini lah yang diterima oleh

Union-Internationale de Droit Penal atau Internationale Kriminalistische Vereinigung (IKU) atau Internationale Association For Criminology (berdiri 1 Januari 1889) suatu lembaga kajian hasil studi antropologi dan sosiologis yang

mengakui bahwa pidana adalah salah satu alat paling ampuh untuk memerangi

kejahatan, namun bukan satu-satunya karena yang seharusnya dilakukan adalah

memadukan kebijakan sosial khususnya dengan tindakan-tindakan preventif.4

Kajian tersebut dapat diartikan sebagai proses pencarian salah satu makna atau

tujuan dari Hukum yang sesungguhnya yaitu keadilan.

3 Di dalam Penjelasan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana disebutkan ada empat filsafat tujuan pemidanaan, yaitu: Teori Pembalasan ( Vergeldings-Theorie) yang menurut

Emmanuel Kant, bahwa “Siapa membunuh harus dibunuh”. “Blood for blood, eyes for eyes), Teori Mempertakutkan (Afchrikkings-Theorie) menurut Van Feurbach, hukuman yang dijatuhkan harus mempertakutkan orang agar tidak berbuat jahat, Teori Memperbaiki (Verbetering-Theorie) dikemukakan oleh pujangga lain, bahwa hukum itu bermaksud pula untuk memperbaiki orang yang telah berbuat kejahatan, dan teori yang menggabungkan ketiganya (Teori Gabungan), bahwa dasar dari penjatuhan hukuman itu adalah pembalasan, mempertakutkan, mempertahankan tata-tertib kehidupan, dan memperbaiki orang yang telah berbuat tidak bisa diabaikan.

(3)

Mudzakir mengatakan bahwa hukum pidana Indonesia dalam sistem

peradilan pidana saat ini belum bisa memberikan keadilan bagi masyarakat karena

keadilan yang ditegakkan masih bersifat retributive, sedangkan konsep keadilan dalam penal policy pada masa depan harus menggeser perspektif keadilan retributif kepada perspektif restoratif.5

Howard Zehr, salah satu pelopor Keadilan Restoratif di tahun 1990-an,

mengusulkan untuk mengubah lensa menjadi ‘lensa restoratif’ (changing Lenses,

2015). Ia mendorong pemulihan rusaknya kehidupan bersama dan harkat martabat

manusia oleh karena pelanggaran atau kejahatan bukan dengan memberikan

hukuman pada pelakunya, tetapi dengan memulihkan (restorasi) hubungan

personal antara korban dan pelaku pelanggaran atau kejahatan, serta memulihkan

keharmonisan kehidupan bersama, itulah keadilan restoratif.6

Konsep seperti itu di Indonesia baru diterapkan secara Nasional dalam

sistem peradilan pidana anak yang dikenal dengan istilah Diversi dan Restoratif

Justice. Diversi dalam sistem peradilan pidana anak ini merupakan upaya yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana yang

dilakukan oleh anak melalui mekanisme formal kearah mekanisme informal.

Upaya yang dilakukan tersebut yang kemudian menggunakan pendekatan

Restoratif Justice atau lebih dikenal dengan istilah keadilan restoratif.

Konsep Diversi dengan pendekatan keadilan restoratif itu sendiri lahir

didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana konvensional dinilai

5

Ibid, hal. 72

(4)

lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan.7 Fenomena saat ini adalah

dimana masyarakat sudah terlalu sering memandang pelaku kejahatan sebagai

satu-satunya faktor kejahatan, seolah-olah kejahatan tidak bisa disebabkan

faktor-faktor lainnya seperti faktor-faktor lingkungan (keluarga), kurangnya pendidikan,

kurangnya pemahaman nilai-nilai agama, atau bahkan faktor yang mungkin saja

datang dari korban kejahatan itu sendiri, apabila ditelusuri lebih mendalam

bahkan beberapa alasan tersebut mungkin saja justru bersumber dari kelemahan

Negara.

Kenyataan yang saat ini terjadi adalah pelaku kejahatan wajib diproses di

pengadilan, hal ini berbeda dengan kasus yang dilakukan oleh anak yang memiliki

pengaturan khusus dalam sistem peradilan pidana anak. Kasus pidana yang

dilakukan oleh anak wajib menempuh proses Diversi dan Restoratif Justice,

apabila:

1. Diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun; dan

2. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana8

Sistem seperti ini sudah ada sejak di undang-undangkannya

Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA yang memberikan legalitas bagi

penerapan Konsep Diversi pada anak, tentunya dengan mempertimbangkan anak

sebagai aset penting suatu Negara yang patut diberikan suatu kekhususan demi

melindungi generasi muda bangsa.

Pertimbangan dilakukan diversi oleh pengadilan yaitu filosofi sistem

peradilan pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi (protection and

7

Marlina, Op.Cit, hal. 73

(5)

rehabilitation) anak pelaku tindak pidana. Tindakan diversi juga dilakukan sebagai upaya pencegahan seorang pelaku anak menjadi pelaku kriminal dewasa.

Usaha pencegahan anak inilah yang membawa aparat penegak hukum untuk

mengambil wewenang diskresi atau di Amerika Serikat sering disebut juga

dengan istilah deinstitutionalization dari sistem peradilan pidana formal.9

Tujuan lain diterapkannya konsep Diversi dengan pendekatan Restoratif

Justice ini yaitu pemidanaan untuk merestorasi atau mengembalikan kondisi yang

rusak kepada keadaan semula. Konsep seperti ini yang juga perlu dikaji dan

diterapkan dalam sistem Peradilan Pidana Konvensional di Indonesia bukan hanya

sistem Peradilan Anak. Terciptanya perdamaian antara pelaku dan

korban/kerabatnya menjadi nilai kebaikan yang patut diapresiasi pada penerapan

sistem hukum pidana di Indonesia.

Dalam menyikapi tindak pidana yang dianggap dapat direstorasi kembali

dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice, dimana pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya

kepada korban, keluarganya, dan juga masyarakat. Program utamanya adalah “a

meeting place for people” guna menemukan solusi memperbaiki hubungan dan

mengganti kerusakan akibat kejahatan (peace). 10

Sistem peradilan pidana konvensional di Indonesia masih cenderung

mengarah pada retributif Justice, hal ini yang menjadi alasan bahwa menggunakan

pendekatan restoratif justice tersebut tentunya tidak mudah. Sistem peradilan

9 Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana , (Medan:USU Press, 2010), hal. 11

10

(6)

pidana konvensional yang saat ini diterapkan adalah sebagai satu proses melihat

ke masa lalu bagaimana kesalahannya dan memberikan pembalasan kepada si

pelaku, namun bukan berarti suatu keniscayaan peradilan pidana konvensional

Indonesia suatu saat juga menerapkan sistem pemidanaan berdasarkan pendekatan

Restoratif Justice.

Perkembangan masyarakat menuntut adanya keadilan restoratif yang tidak

hanya diterapkan bagi pelaku anak, namun juga pelaku kejahatan yang dilakukan

orang dewasa. Kebijakan hukum seperti ini dapat dikembangkan untuk tindak

pidana tertentu bagi orang dewasa dengan beberapa kondisi, diantaranya:

1. Tindak Pidana yang dilakukan dengan ancaman dibawah 5 tahun,

2. Dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang minim, dan

3. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana (residivis)

Kriteria lainnya masih sangat mungkin dapat dikembangkan oleh

pemerintah dan aparat penegak hukum, dimana hal ini memang menjadi sebuah

tantangan penegakan hukum mencapai tujuan hukum yang semaksimal mungkin.

Kenyataan lainnya yang menjadi faktor diperlukannya kebijakan hukum seperti

ini adalah pelaku yang dibina dalam Lembaga Pemasyarakatan diharapkan dapat

menjadi masyarakat normal lainnya, padahal fungsi LP seperti itu saat ini dirasa

masih jauh dari yang diharapkan.

Pembinaan pun seolah-olah tidak berarti ketika masih saja ada yang

disebut ‘residivis’11

atau bahkan tidak mengurangi tingkat kejahatan karna justru

11Menurut penjelasan pasal 486 KUHP, syarat-syarat disebut residivis umum adalah mengulangi kejahatan yang sama atau oleh undang-undang dianggap sama macamnya (‘sama

macamnya’ yang dimaksud misalnya kali ini mencuri maka lain kali juga mencuri), antara

(7)

semakin meningkat dari tahun ke tahun, bahkan ironisnya, tidak jarang terjadi

kejahatan lainnya di dalam Lembaga Pemasyarakatan karena kontrol yang masih

minim sedangkan jumlah pelaku kejahatan semakin banyak.

Penanganan tindak pidana tidak pernah terlepas dari sebuah proses

panjang dengan berbagai tahapan dan aparat yang berwenang disetiap tahapnya.

Sebelum masuk pada proses peradilan, maka setiap tindak pidana yang berawal

dari dugaan akan diproses pada tahap penyelidikan dan penyidikan di kepolisian,

selanjutnya dilimpahkan berkasnya ke kejaksaan yang kemudian akan dilakukan

penuntutan di Peradilan. Kepolisian merupakan pemangku kewenangan pada

tahap awal untuk memroses tindak pidana tersebut sesuai dengan peraturan

perundang-undangan12, bahkan didalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana

Anak (SPPA) kesempatan untuk melakukan proses diversi pertama kali diberikan

pada tahap di Kepolisian.

Prinsip-prinsip keadilan restoratif didasari oleh pandangan bahwa

kehidupan manusia dalam masyarakat bersifat relasional. Setiap tindakan

berkaitan dengan tindakan-tindakan lain sebelumnya, maka tindak kejahatan yang

dilakukan oleh seorang pelaku bukanlah semata-mata tanggungjawab pelaku

sendiri. Tindak kejahatan itu berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat dan

kondisi korban. Misalnya seseorang mencuri uang, tindakan tersebut tidak

semata-mata tanggungjawab si pelaku. Tindakan tersebut bisa jadi didorong oleh

ketidakadilan sosial dalam masyarakat, sehingga si pencuri terjepit dalam

hukuman penjara, jangka waktu melakukan pengulangannya tidak lebih dari 5 tahun, terhitung sejak tersalah menjalani sama sekali atau sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.

(8)

kemiskinan lalu mencuri. Bisa juga tindakan mencuri itu didorong oleh kekayaan

si korban yang melimpah-limpah sehingga merangsang keinginan si pencuri untuk

mencuri uang, dengan kata lain si pencuri bisa jadi merupakan korban dari situasi

sosial dalam masyarakat.13

Ada beberapa kasus pencurian selama ini yang menjadi sorotan bagi

masyarakat luas, salah satu contohnya saja kasus Pencurian yang dilakukan oleh

Nenek Asyani, yang mana telah diputus pada Pengadilan tingkat pertama dengan

vonis 1 tahun penjara (masih dilanjutkan ke tingkat Banding) atas perbuatan yang

dibuktikan di pengadilan yaitu pencurian beberapa batang kayu dari hutan yang

disebut milik PERHUTANI. Sebuah proses pengadilan yang diterapkan pada

nenek ini dinilai sebagai kelemahan hukum pada sistem peradilan umum

dikarenakan pemidanaan seperti ini tidak mencerminkan keadilan dan

kemanfaatan apabila langsung diterapkan.

Kisah lainnya yang mengusik rasa keadilan adalah kisah ‘Mbok Minah’, Nenek dari Desa Darma Kradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas

yang berusia 55 tahun ini harus menjalani masa tahanan rumah selama tiga bulan

karena ia dituduh mencuri buah kakao tiga biji ditempatnya bekerja di PT

Rumpun Sari Antan 4 di Desa Darma Kradenan tak jauh dari rumahnya.14

Sungguh ironi ketika ada perkara-perkara pencurian yang notabene adalah

ringan harus diselesaikan hingga pada proses penuntutan. Melihat kondisi tersebut

penulis kemudian mengumpulkan data tindak pidana pencurian dari salah satu

wilayah hukum kepolisian di Indonesia yaitu Kepolisian Resor Kota Medan guna

13

(9)

menganalisa jumlah kejahatan pencurian yang terjadi dan melihat persentasi

jumlah penyelesaiannya yang dilakukan secara konvensional untuk kemudian

melihat bagaimana penanganan Tindak Pidana tersebut.

Data kriminalitas pencurian Satuan Resor Kriminal Polresta Medan

Sejajaran, pada tiga tahun terakhir ini yaitu tahun 2013, 2014, dan 2015 cukup

besar. Jumlah kejahatan total (criminal total) setiap tahunnya mencapai angka 4000-6000 khusus tindak pidana pencurian saja. Adapun jenis tindak pidana

pencurian yang memperoleh angka tertinggi adalah pencurian kendaraan

bermotor. Jumlah kejahatan yang selesai diproses (criminal cleareance) setiap tahunnya tidak sebanding dengan jumlah kejahatan total, yang mampu

diselesaikan pertahunnya hanya 50%-60% dari jumlah kejahatan total tersebut.15

Hasil wawancara dengan beberapa orang penyidik di Kepolisian ini juga

menyampaikan bahwa hal ini dikarenakan sebuah proses yang panjang harus

ditempuh yakni tahap penyelidikan dan penyidikan pelaku kejahatan pencurian

tersebut.

Pelaku Kejahatan bukan saja objek melainkan subjek yang tidak berbeda

dengan manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau

kekhilafan yang dapat dikenakan pidana sehingga tidak harus diberantas, oleh

karena itu sebisanya pidana dijadikan ‘obat terakhir’ oleh aparat penegak hukum.

Konsep diversi dan restorative justice yang baru beberapa tahun digunakan pada

sistem peradilan pidana anak, tidak menjadi penghambat dipelajarinya

15

(10)

kemungkinan konsep ini diterapkan dalam scope yang lainnya salah satunya pada pelaku Tindak Pidana Pencurian.

Penerapan suatu kebijakan hukum tentunya tidak bisa dilakukan tanpa

adanya pengaturan tertulis yang mendasarinya. Penerapan konsep Diversi dan

restoratif justice pada kondisi yang dijelaskan tersebut tentunya hanya dapat

diterapkan apabila nilai-nilai kebaikan yang dialaskan bagi terciptanya kebijakan

hukum tersebut tidak melanggar asas legalitas yang dijunjung tinggi oleh prinsip

Hukum Pidana di Indonesia.

Berdasarkan uraian diatas, Penulis pada akhirnya tertarik untuk membuat

skripsi dengan judul “Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice

pada Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa (Studi

pada: Polresta Medan)” yang kemudian akan dibahas pada bab-bab selanjutnya

dalam skripsi ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penulis memilih

beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun

permasalahan yang akan dibahas, antara lain :

1. Bagaimana Penanganan Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh orang

dewasa pada Kepolisian Resor Kota Medan (POLRESTA MEDAN)?

2. Bagaimanakah Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice bagi

(11)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari

penulisan skripsi ini, antara lain :

1. Mengetahui jenis-jenis tindak pidana pencurian dan penanganan

tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh orang dewasa pada

Polresta Medan

2. Mengetahui bagaimana penerapan dan tantangan yang akan

dihadapi apabila dilaksanakan pengembangan konsep Diversi dan

Restoratif Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

terkhusus pada tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh orang

dewasa.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Secara teoritis, kiranya melalui penulisan skripsi ini mampu

mengisi ruang-ruang kosong dalam ilmu pengetahuan yang

berkenaan dengan substansi penulisan skripsi ini, hingga pada

akhirnya skripsi ini memberikan sumbangsih yang bermanfaat dan

berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang Hukum

Indonesia, khususnya terhadap sistem peradilan pidana di

Indonesia.

2. Secara praktis, manfaat dari skripsi ini adalah supaya pemerintah

(12)

pemidanaan yang selama ini ditetapkan dan diterapkan dalam

sistem hukum Indonesia dan melihat adanya peluang dapat

diterapkannya konsep restoratif justice dalam sistem peradilan

pidana konvensional.

D. Keaslian Penulisan

Cara yang digunakan untuk mengetahui keaslian penelitian adalah penulis

melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi, tesis, dan disertasi yang

tercatat pada Fakultas Hukum USU. Dalam penelusuran yang di lakukan tidak

ditemukan adanya judul skripsi yang sama, namun ada beberapa

skripsi/tesis/disertasi yang dilihat dari judulnya memiliki beberapa kesamaan

namun dengan rumusan masalah yang berbeda, diantaranya:

1. Penerapan konsep keadilan restoratif dalam penanganan perkara pidana

penipuan dan penggelapan pada satuan reserse kriminal Polres pelabuhan

Belawan.

Penulis: Haman Wahyudi, Tesis

2. Penerapan konsep Diversi dan Restoratif Justice sebagai upaya

perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana pada tahap penyidikan,

penuntutan, dan persidangan (Studi kasus di Kota Kabanjahe)

Penulis: Dian Antasari Ginting, Skripsi

3. Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Suatu Studi di Kota Medan)

(13)

Pusat Dokumen dan Informasi Hukum Universitas cabang Fakultas

Hukum USU melalui surat tertanggal 14 Oktober 2015 menyatakan bahwa tidak

ada judul yang sama dengan judul skripsi penulis “Pengembangan Konsep Diversi

dan Restoratif Justice pada pelaku tindak pidana Pencurian yang dilakukan oleh

Orang Dewasa”.

Surat tersebut dijadikan dasar bagi Departemen Hukum Pidana, Bapak

M.Hamdan sebagai Kepala Departemen untuk menerima judul yang diajukan oleh

penulis karena substansi yang terdapat dalam skripsi ini berbeda dengan yang lain

yang terdapat dilingkungan Fakultas Hukum USU, jika dikemudian hari terdapat

judul yang sama atau telah tertulis orang lain dalam tingkat kesarjanaan yang

berbeda, maka hal tersebut dapat diminta pertanggungjawaban.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Konsep Diversi

Pengertian Konsep Diversi menurut Undang-undang Sistem

Peradilan Anak adalah Pengalihan perkara anak dari proses peradilan

pidana ke proses di luar peradilan pidana.16 Dalam pengertian lainnya,

Diversi dalam peradilan pidana merupakan upaya yang dilakukan oleh

aparat penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana yang dilakukan

oleh anak dari mekanisme formal ke mekanisme yang informal.17

Pengertian Diversi juga dikemukakan oleh beberapa ahli

diantaranya, Jack E. Bynum dalam bukunya “Juvenile delinquency a

16

(14)

sociological approach” Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan

untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar

dari sistem peradilan pidana (Jack E Bynum, William E. Thompson,

2002;430).18 Menurut Romli Atmasasmita, Diversi yaitu kemungkinan

hakim menghentikan atau mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan

terhadap anak selama proses pemeriksaan dimuka sidang.19

Dilihat dari beberapa pengertian Konsep diversi tersebut dapat di

simpulkan bahwa konsep ini lebih dikenal dalam proses peradilan pidana

anak. Adapun tujuan diterapkannya konsep seperti ini dalam pasal 6 UU

No. 11 tahun 2012 disebutkan, bahwa Diversi adalah mencapai

perdamaian antara korban dengan anak, menyelesaikan perkara anak

diluar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan

kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan

menanamkan tanggung jawab kepada anak.20

2. Jenis-Jenis Diversi

Pertimbangan dilakukannya Diversi didasarkan pada alasan untuk

memberikan keadilan kepada pelaku yang telah terlanjur melakukan tindak

pidana serta memberikan kesempatan pada pelaku untuk memperbaiki

dirinya. Terdapat tiga jenis pelaksanaan diversi yaitu:21

18 Diambil dari www.repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 17 Januari 2016 pukul 23.12 Wib

19 Diambil dari http:/pm-bangil.go.id/data/?p=207. Diakses pada tanggal 17 Januari 2016 pukul 23.24 Wib

20

(15)

a. Berorientasi control social (social control orientation). Dalam hal ini aparat penegak hukum menyerahkan anak pelaku pada

pertanggungjawaban dan pengawasan masyarakat;

b. Berorientasi pada social service, yaitu pelayanan sosial oleh masyarakat dan melakukan fungsi pengawasan, perbaikan, dan

menyediakan pelayanan bagi pelaku dan keluarganya;

c. Berorientasi pada restoratif justice, yaitu memberi kesempatan kepada

pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya kepada korban

dan masyarakat. Semua pihak yang terlibat dipertemukan untuk

bersama-sama mencapai kesepakatan, apa tindakan terbaik untuk anak

pelaku ini.

3. Pengertian Restoratif Justice (Keadilan Restoratif)

Restoratif Justice atau sering juga disebut Keadilan Restoratif

merupakan sebuah konsep yang mengakomodasi nilai-nilai kebaikan

untuk mengutamakan musyawarah dalam menyelesaikan sebuah perkara.

Keadilan Restoratif adalah bentuk keadilan yang berpusat pada kebutuhan

korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat. Keadilan restoratif

mementingkan pemulihan korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat.22

Keadilan Restoratif adalah proses dimana semua pihak yang

terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan

masalah bagaimana menangani akibatnya di masa yang akan datang

(16)

(Kelompok Kerja PBB mengenai Keadilan Restoratif, diambil dari Tony

Marshall).23

Albert Eglash dalam Encyclopedia of Crime and Punishment, 2002, 1388, 1389, telah mengemukakan istilah restorative justice pada tahun 1977 dengan artikelnya berjudul Beyond Restutiton: Creative Restution. Dalam artikel tersebut yang perlu diperhatikan adalah pertama,

primary victims, atau korban langsung dari tindak pidana yang mengalami penganiayaan fisik, kehilangan harta benda, dan penderitaan secara

emosional perlu mendapat penanganan yang tepat dan pertolongan dalam

menjalani kehidupannya dan mendapatkan hak-haknya dalam rangka

pemulihan sebagai korban kejahatan. Kedua, secondary victim atau korban tidak langsung yang secara tidak langsung juga mendapatkan pengalaman

buruk. Secondary victim tersebut adalah keluarga korban, keluarga dari pelaku tindak pidana, dan masyarakat secara keseluruhan yang sangat

memerlukan“restorative response” berupa langkah-langkah untuk

memulihkan, memperbaiki, dan menyembuhkan akibat suatu kejahatan.24

Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengartikan

Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan

melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang

terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan

23 Elisabeth,dkk., Diversi dan Keadilan Restoratif : Kesiapan Aparat Penegak Hukum dan Masyarakat, (Medan: Pusaka Indonesia, 2014), hal.41

(17)

menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan

pembalasan.25

Berdasarkan pengertian restorative justice di atas, dapat diketahui

bahwa, restorative justice merupakan teori keadilan yang menekankan

pada pemulihan kerugian yang disebabkan oleh perbuatan pidana.

Penyelesaiannya dianggap paling baik dengan mempertemukan para pihak

secara kooperatif untuk memutuskan bagaimana menyelesaikan masalah

tersebut. Hal ini diharapkan dapat menuntun transformasi masyarakat,

hubungan, dan komunitas.26

4. Pengertian Tindak Pidana Pencurian

Pengertian mengenai tindak pidana pencurian secara utuh, dimulai

terlebih dahulu dengan mengerti apa yang dimaksud tindak pidana.

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvZ Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi

tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam

25

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang nomor 11 tahun 2012

26 Yutirsa Yunus, Analisis Konsep Retoratif Justice melalui Sistem Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding, Volume 2 nomor 2, Agustus 2013, hal.233

(18)

perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literature hukum

sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah sebagai berikut:27 a. Tindak Pidana, dapat digunakan berupa istilah resmi dalam

perundang-undangan pidana kita. Hampir semua peraturan

perundang-undangan kita menggunakan istilah tindak pidana,

seperti dalam UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta,

(diganti dengan UU No. 19 tahun 2002),UU No.11/PNPS/1963

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, UU No. 3

Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi (diganti dengan

UU No. 31 tahun 1999), dan perundang-undangan lainnya.

Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Wirjono

Prodjodikoro

b. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum,

misalnya Mr. R. Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum, H.

J. van Schravendijk dalam buku pelajaran tentang Hukum

Pidana Indonesia, A. Zainal Abidin dalam buku beliau Hukum

Pidana. Pembentuk UU juga juga pernah menggunakan istilah

peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-Undang Dasar

sementara tahun 1950 (baca Pasal 14 ayat 1)

c. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga

digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud

dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai

27

(19)

literatur, misalnya E. Utrecht walaupun juga beliau

menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku

Hukum Pidana I). A. Zainal Abidin dalam buku beliau Hukum

Pidana I. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini,

seperti pada judul buku beliau Delik-Delik Percobaan dan

Delik-Delik Penyertaan walaupun menurut beliau lebih tepat

dengan istilah perbuatan pidana.

d. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-pokok

Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H. Tirtaadmidjaja.

e. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr.

Karni dalam buku beliau Ringkasan tentang hukum pidana,

begitu juga Schravendijk dalam bukunya Buku Pelajaran

Tentang Hukum Pidana Indonesia.

f. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk

Undang-Undang dalam UU No.12/Drt/1951 tentang Senjata

Api dan Bahan Peledak (baca Pasal 3)

g. Perbuatan pidana, digunakan oleh Mr. Moeljatno dalam

berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Asas-asas Hukum

Pidana

Ada begitu banyak rumusan pengertian mengenai strafbaar feit

yang termasuk salah satu istilahnya adalah tindak pidana, saat ini

Indonesia dalam sistem hukum nya lebih banyak menggunakan istilah

(20)

hakikatnya adalah perbuatan yang melawan hukum, baik secara formal

maupun secara materiil. Pasal 11 Konsep KUHP Baru menyebutkan:28

a. Tindak Pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak

melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan

dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana.

b. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan

tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan

perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau

bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

c. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum

kecuali ada alasan pembenar.

Demikian pengertian tindak pidana, maka selanjutnya akan

diuraikan makna dari suku kata ketiga yaitu ‘Pencurian’.

Terminologi Pencurian dalam tata bahasa Indonesia, memiliki kata

dasar ‘curi’ yang diberikan imbuhan ‘an’ di belakang kata dasar dan ‘pen’

di depannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘curi’ berarti ambil milik orang lain dengan diam-diam, setelah diberikan imbuhan tersebut,

maka maknanya menjadi “proses, cara, perbuatan mencuri”.

Pencurian adalah pelanggaran terhadap hak milik dan merupakan

delik formil (formeel delict) yaitu delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang, dan

28

(21)

merupakan suatu norma yang dibentuk larangan atau verbod, seperti pada pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mencantumkan

larangan untuk mencuri.29

Pencurian adalah perbuatan yang telah memenuhi perumusan pasal

362 KUHP yaitu mengambil sesuatu barang berwujud maupun tidak

berwujud yang sama sekali atau sebahagian termasuk kepunyaan orang

lain, yang dilakukan dengan sengaja dengan maksud akan memiliki

barang itu dengan melawan hak yang sanksinya telah ditetapkan yaitu

hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda

sebanyak-banyakya atau Rp 900,-.30

5. Pengertian Orang Dewasa Menurut Hukum Pidana

Jika dicari pengertian orang dewasa tidak akan ditemukan secara

eksplisit di dalam KUHP, namun dalam Pasal 287, 290, 292, 294, dan 295

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat penjelasan

dewasa secara implisit yaitu sudah berusia 15 tahun atau sudah kawin,

telah berusia 21 tahun ataupun belum berusia 21 tahun tetapi sudah

kawin.

6. Pengertian Pengembangan

Pengembangan dalam tata bahasa Indonesia berasal dari kata dasar

‘kembang’ dan penambahan imbuhan ‘peng-an’ dimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘kembang’ berarti buka lebar; bentang;, sedangkan ‘peng-an’ adalah proses, cara, perbuatan; sehingga secara

29 P.A.F. Lamintang, C. Djisman Samosir, Delik-delik Khusus, (Bandung:Tarsito,1981), hal.78

(22)

sempit dapat diartikan ‘pengembangan’ adalah proses/cara/perbuatan

membuka lebar. Namun pengertian secara lengkap juga di jelaskan dalam

KBBI adalah proses, cara, perbuatan mengembangkan secara bertahap dan

teratur yang menjurus kepada sasaran yang dikehendaki.

F. Metode Penelitian

Diperlukan metode penelitian sebagai suatu tipe pemikiran secara

sistematis yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian skripsi ini, yang

pada akhirnya bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini. Dalam

penulisan skripsi ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian

Normatif-Empiris. Penelitian Normatif yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan

perundang-undangan dan penelitian empiris yaitu penelitian terhadap kenyataan

atau fakta yang terjadi dalam penerapan hukum di masyarakat.31 Penelitian

Normatif dalam hal ini, digunakan untuk menganalisa konsep-konsep hukum,

asas-asas hukum, dan peraturan berupa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1981 tentang Hukum Pidana (KUHP),

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan

dan Jumlah Denda dalam KUHP, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik

31

(23)

Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana,

Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2009 tentang

Pengawasan dan Penanganan Tindak Pidana, yang memang berkaitan dengan

topik bahasan dalam skripsi ini.

Penelitian empiris yang dimaksudkan pada skripsi ini yaitu studi lapangan

yang dilakukan pada Polresta Medan bidang Kriminal untuk memperoleh data

tindak pidana pencurian pada SAT Reskrim Polresta Medan dan untuk melihat

bagaimana penanganan tindak pidana pencurian yang dilakukan pada Polresta

Medan sehingga dapat dijadikan bahan mengembangkan konsep diversi dan

restorative justice.

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah Penelitian Kualitatif, yaitu

penelitian yang menekankan pada kajian mendalam terhadap konsep-konsep,

teori-teori, pandangan para ahli, dan kaitannya dengan tujuan dari sistem

peradilan yang digunakan di Indonesia serta mempelajari juga data-data yang

didapatkan dan diolah dari Kepolisian sehingga dapat menambah wawasan dan

pandangan yang kemudian dimaksudkan untuk memberikan data yang berdasar

secara teoritis dan empiris.

2. Metode Pendekatan

Pendekatan penelitian dalam skripsi ini adalah pendekatan kualitatif yaitu

dengan menganalisis permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan terhadap

asas-asas hukum, yang mengacu pada norma–norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, sejarah dan filsafat peradilan dan pemidanaan di

(24)

fakta mengenai penangannya pada Kepolisian Resor Kota Medan guna

mengetahui bagaimana kemungkinan pengembangan konsep diversi dan

restorative justice bagi pelaku tindak pidana pencurian yang dilakukan orang

dewasa.

3. Jenis dan Sumber Data

Penelitian Normatif-Empiris menggunakan jenis data primer dan data

sekunder. Data primer didapat melalui studi lapangan (field research) dan data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian

melainkan melalui studi pustaka (library research). Peneliti mendapat data yang sudah jadi yang dikumpulkan oleh pihak lain dengan berbagai cara atau metode,

baik secara komersial maupun nonkomersial.

Data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang

terkait, antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak

2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP)

3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1981 tentang Hukum Pidana

(KUHP)

(25)

5) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda

dalam KUHP

6) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14

tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana

7) Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 tahun

2009 tentang Pengawasan dan Penanganan Tindak Pidana

b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku yang berkaitan dengan

judul skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan

sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media

elektronik.

c. Bahan hukum tertier, yang mencakup bahan yang memberi

petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, seperti: kamus hukum, jurnal ilmiah, dan

bahan-bahan lain yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi

data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

Data Primer yang didapatkan melalui studi lapangan bersumber dari

responden yang secara langsung terlibat dalam perkara pencurian dan proses

penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Studi lapangan ini

dilakukan dengan mengumpulkan data tindak pidana pencurian tiga tahun terakhir

(26)

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi

pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu internet dan televisi serta studi lapangan (field research) yaitu mengumpulkan data dan hasil wawancara. Penulis mengumpulkan, mengkomparasikan hasil

wawancara dengan peraturan perundang-undangan dan mensinkronkan data,

menafsirkan, dan menemukan data dari buku-buku, jurnal dinamika hukum,

artikel, dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi untuk memperoleh

data dari sumber ini.

5. Analisis Data

Pada penelitian hukum ini analisis data dilakukan dengan menyusun data

agar data-data tersebut dapat ditafsirkan, maka biasanya penyajian data dilakukan

sekaligus dengan analisanya.32 Metode analisis data yang dilakukan penulis

adalah kualitatif, yaitu dengan:

a. Menginterpretasikan data primer yang didapatkan melalui wawancara

para penyidik yang ada di Polresta Medan agar dapat dituangkan

dalam bentuk kalimat pada pembahasan permasalahan di skripsi ini

b. Mencari sumber-sumber bahan hukum primer, sekunder, dan tertier

yang dapat digunakan sebagai referensi pengerjaan skripsi ini

c. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang akurat

dan relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

32

(27)

d. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut

di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka,

metodologi penelitian, dan sistematika penulisan tentang

pengembangan konsep diversi dan restoratif justice pada tindak

pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.

BAB II :PENANGANAN TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG

DILAKUKAN OLEH ORANG DEWASA PADA POLRESTA

MEDAN

Bab ini akan membahas mengenai jenis-jenis tindak pidana

pencurian, kemudian menganalisa data yang diperoleh dari Polresta

Medan mengenai Tindak Pidana tersebut yang dilakukan oleh

orang dewasa. Selanjutnya akan dibahas mengenai sistem

penanganan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh orang

dewasa pada Polresta Medan sesuai dengan tahapan-tahapan yang

diatur oleh undang-undang dan data serta hasil wawancara dengan

penyidik yang akan dimanfaatkan untuk memperoleh bahan untuk

(28)

Restoratif Justice bagi pelaku tindak pidana pencurian yang

dilakukan oleh orang dewasa.

BAB III :PENGEMBANGAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIF

JUSTICE BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN

YANG DILAKUKAN OLEH ORANG DEWASA

Bab ini membahas mengenai Penerapan Konsep Diversi dan

Restoratif Justice pada sistem peradilan umum dan bagaimana

Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice bagi Pelaku

Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa

BAB IV :PENUTUP

Bab ini memuat mengenai kesimpulan dari pembahasan tentang

“Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice pada Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa” dan

Referensi

Dokumen terkait

Penulis membuat program ini menggunakan bahasa pemrograman Microsoft Visual Basic 6.0 karena lebih mudah untuk dipelajari dibandingkan bahasa-bahasa pemrograman yang mendukung

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi zakat dan yang dikeluarkan UMKM mebel ukir dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar melalui BAZNAS

The broad purposes of this project were to investigate five areas: (1) investigate the speech varieties currently spoken among the tribes of Palakkad and their relationship with

Padahal Rhodamin B merupakan pewarna untuk kertas dan tekstil sehingga pewarna ini berbahaya bagi kesehatan (Salam, 2008). Permasalahan ini mendorong untuk

Uji hipotesis menggunakan rumus korelasi Kendall Tau menunjukkan ada hubungan hubungan tingkat harga diri dengan perilaku konsumtif remaja putri kelas XI di

Sebagai elektrolit, membran sel bahan bakar menjadi sarana transportasi ion hidrogen yang dihasilkan oleh reaksi anoda menuju katoda, sehingga reaksi pada katoda yang

Jumlah penduduk yang semakin bertambah lagi majmuk, masalah pendekatan, cabaran menangani masalah dalaman umat Islam, pertentangan dengan lain-lain ideology dan

spesifikasi teknis, Pokja ULP dapat melakukan klarifikasi dengan menilai rincian/uraian Analisa Teknis Satuan Pekerjaan untuk pekerjaan utama meliputi komponen