• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADMINISTRASI NEGARA DI MASA LAMPAU (3)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ADMINISTRASI NEGARA DI MASA LAMPAU (3)"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

1

ADMINISTRASI NEGARA DI MASA LAMPAU

Oleh: M. Taufiq AR

“Code Of Hammurabi”

Hammurabi adalah raja keenam dari Dinasti Babilonia pertama (memerintah 1792-1750 SM) di

daerah Babilonia (sekarang Iran-Irak). Hammurabi dikenal dalam sejarah bukan saja karena

kuasa penaklukkan kerajaan lain, namun ia lebih terkenal karena pada masa pemerintahannya

dibuat kode resmi (hukum tertulis) pertama yang tercatat di dunia, yang disebut sebagai Kode

Hammurabi.

Kode Hammurabi tersebut terukir di atas potongan batu dalam huruf paku. Kode tersebut

seluruhnya ada 282 poin hukum. Isinya adalah pengaturan atas kehidupan sosial

kemasyarakatan, pemerintahan, serta hukum/kehakiman. Dalam Kode Hammurabi banyak

disebut tentang ketentuan sanksi/ganjaran perbuatan kriminal, dengan hukuman skala,

menyesuaikan "tangan dibalas dengan tangan, mata diganjar mata," sebagai pembobotan

sesuai dengan status sosial, budak atau orang merdeka.

Kode Hammurabi bisa dikategorikan sebagai contoh awal dari sebuah dasar hukum yang

mengatur penyelenggaraan pemerintahan (mungkin untuk konteks saat ini bisa disebut sebagai

Konstitusi atau Undang-Undang). Dalam konteks Hukum Pidana, Kode Hammurabi juga salah

satu contoh dari gagasan praduga tak bersalah di era lampau, yang memposisikan bahwa baik

terdakwa dan penuduh memiliki kesempatan untuk memberikan bukti sebagai penguat

argumebtasi tuduhan ataupun pembelaannya.

Dalam konteks ketatanegaraan, Kode Hammurabi adalah bukti bahwa di masa itu (18 abad SM)

kekuasaan negara terpusat pada Raja (Hammurabi), cabang-cabang kekuasaan eksekutif

(penyelenggaran pemerintahan), legislatif (penyusun undang-undang), dan yudikatif

(pengadilan/kehakiman) semuanya dipegang oleh Raja. Namun demikian dalam

penyelenggaraan teknisnya, Raja dibantu oleh para pelaksana. Dalam rangka penyelenggaraan

urusan pemerintahan itulah Raja kemudia memaklumatkan hukum.

Berbeda dengan era modern dimana kuasa penyusunan hukum atau kebijakan publik itu

melalui mekanisme demokrasi, pada era itu, Hammurabi (sebagaimana dalam konsideran Kode Hammurabi) menyandarkan „legitimasi kuasa‟ mengatur negaranya dengan klaim mendapat kuasa dari para Dewa. Hal semacam itu lazim terjadi pada sistem pemerintahan kerajaan di

(2)

2 Namun hal yang patut dicatat sebagai “apresiasi” kemajuan dalam Kode Hammurabi di

jamannya adalah fakta bahwa Kode Hammurabi dipublikasikan secara luas ke publik melalui

pahatan Kode Hammurabi pada Tugu Batu yang konon tersebar di seantero negeri Babilonia.

Ini adalah wujud pendidikan kewargaan (civic education) kepada warga, sekaligus bentuk

akuntabilitas (tanggung-gugat) pada jaman kuno itu. Rakyat dapat mengetahui secara objektif

ketentuan hukum berikut ancaman sanksi pada setiap poin Kode Hammurabi.

Patut diduga, pada era Hammurabi telah dijalankan beberapa aspek minor dari prisip-prinsip

administrasi negara di era modern. Praktek administrasi negara modern di jaman Hammurabi

itu misalnya niscara di era Babilonia Tua pada masa Hammurabi itu sudah ada struktur

organisasi kerajaan, yang sifatnya hirarkial – piramidal dengan Hammurabi di puncak piramida

strukturnya (baik untuk kuasa eksekutif, legislatif, maupun yudikatif). Pada jaman itu, dengan

luas wilayah kekuasaan yang merentang dari Akkadia, Elam, Larsa, Mari , Summeria (ilustrasi

bahwa wilayah kekuasaan Babilonia hampir besar seperti kerajaan Mesir kuno di bawah

pemerintahan Firaun Menes, dimana Menes berkuasa di era Mesir lebih dari seribu tahun

sebelumnya) pasti terdapat rentang kendali kekuasaan untuk mengontrol dan melaksanakan

administrasi negara melalui pembagian kerja (division of Labor) kepada para pembantu raja

(Hammurabi).

Apa yang berlangsung di era Hammurabi (18 abad SM) ini sama dengan yang sudah

berlangsung di era Nusantara Lampau, misalnya pada jaman Kerajaan Kalingga (Jawa kuno,

abad ke-7 Masehi) pada kepemimpinan Ratu Shima. Sang Ratu membuat, mengumumkan, dan

menerapkan hukum yang keras dan tegas untuk memberantas pencurian dan kejahatan, serta

untuk mendorong agar rakyatnya senantiasa jujur. Sayangnya tidak seperti Hammurabi yang

artefak karya hukumnya bisa didapati saat ini dalam museum sejarah, kisah penyelenggaraan

pemerintahan yang adil dan akuntabel pada jaman Shima hanya didapatkan dalam

naskah-naskah kuno China yang tidak terstruktur dengan baik.

Sebagaimana yang terjadi pada era kerajaan di masa lampau, masa keemasan sebuah dinasti

(yang ditandai dengan hadirnya keadilan, keamanan, kesejahteraan, kemajuan peradaban

(sastra, arsitektur, dll), serta luasnya daerah kekuasaan) sangat tergantung pada kompetensi

dan kapasitas dari seorang Raja/Ratu yang tengah bertahta. Sustainability (keberlanjutan) dari “praktik baik” pada suatu periode pemerintahan menjadi sangat rapuh, berbeda dengan konteks modern, dimana pelembagaan hukum, aturan, pedoman praktik penyelenggaraan

negara telah dibakukan, cabang-cabang kekuasaan dibatasi dan dijalankan oleh institusi yang

berbeda, ruang kontrol dan partisipasi melalui demokrasi jauh lebih terbuka, serta kehadiran

teknologi (khususnya teknologi informasi dan transportasi) yang telah merevolusi pola relasi

(3)

3 Public Administration in Ancient Rome and Egypt

Praktik administrasi negara ternyata tidak hanya ada setelah lahirnya konsep administrasi

negara modern di era Woodroow Wilson. Romawi dan Mesir Kuno telah melaksanakan

administrasi negara dengan sejumlah prinsip administrasi negara modern yang berkembang

dengan baik dan di kemudian hari (di masa modern) banyak dipinjam dalam teori dan praktik

administrasi negara modern.

Romawi telah melaksanakan hirarki administratif yang berbeda untuk urusan militer, hukum,

keuangan, perpajakan, urusan dalam negeri dan luar negeri. Dengan kata lain, telah ada

struktur penyelenggaraan negara yang hirarkial dan pembagian kerja (division of labor) secara

spesialisasi, bahkan administrasi dalam era Romawi di kemudian hari dipinjam oleh Gereja

Katolik Roma.

Mesir memiliki administrasi negara yang terstruktur, hampir sama dengan jaman Hammurabi di

Babilonia, dimana pusat kekuasaan ada di tangan Firaun. Mesir kuno juga telah menerapkan

desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Daerah-daerah (kekuasaan Mesir kuno

pada jaman keemasan melingkupi sebagian daratan Afrika dan sebagian Timur Tengah) diberi

atau didelegasikan kewenangan dalam menyelenggaraan urusan pemerintahan di daerahnya.

Ditunjuk gubernur-gubernur yang mengepalai daerah dan semuanya tunduk pada kekuasaan

dan perintah Firaun.

Kekaisaran Romawi dan Mesir Kuno memiliki banyak kesamaan dalam administrasi negara,

khususnya dalam hal bentuk penyelenggaraan kekuasaan yang hirarki-piramidal, pembagian

kerja, spesialisasi kerja, desentralisasi, pengangkatan pegawai atau tenaga profesional,

stratifikasi sosial layanan, pola karir pegawai dengan jalur promosi yang jelas.

Namun demikian, baik era Romawi ataupun Mesir Kuno masih sangat kental diwarnai

unsur-unsur Nepotisme dalam suksesi jabatan-jabatan publiknya (baik itu Gubernur, Hakim, Imam,

dsb) yang belum sepenuhnya mencerminkan prinsip administrasi negara modern yang

menjalankan merrit system dan demokrasi.

Praktik administrasi negara di Mesir Kuno hampir sama dengan praktik administrasi negara di

Nusantara pada era Sriwijaya, Majapahit, hingga Mataram yang juga sudah menerapkan prinsip

penyelenggaraan kekuasaan yang hirarki-piramidal, pembagian kerja, spesialisasi kerja,

desentralisasi, pengangkatan pegawai atau tenaga profesional (ada tes dan pendidikan untuk

pegawai), dan juga praktik nepotisme yang berlangsung. Bahkan praktik nepotisme dalam

administrasi negara Nusantara masih berlanjut di era Birokrasi Modern Indonesia

pasca-kemerdekaan, hingga pada 1998 muncul tuntutan untuk penghapusan KKN (korupsi, kolusi,

(4)

4 Uraian praktik administrasi di masa kuno itu akan sangat menarik apabila dilengkapi dengan

perspektif sosio-politik, khususnya pada era Romawi, dimana praktik penyelenggaraan negara

sangat dinamis dengan adanya para senator dan penggiringan opini publik oleh para senator

Referensi

Dokumen terkait