• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengukuran Indeks Glikemik Bubur Campuran Jagung Manis (Zea mays saccharata) dengan Kacang Hijau (Vigna radiata)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengukuran Indeks Glikemik Bubur Campuran Jagung Manis (Zea mays saccharata) dengan Kacang Hijau (Vigna radiata)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Indeks Glikemik

Indeks glikemik pangan merupakan indeks (tingkatan) pangan menurut

efeknya dalam meningkatkan kadar gula darah. Pangan yang mempunyai IG tinggi

bila dikonsumsi akan meningkatkan kadar gula dalam darah dengan cepat dan tinggi.

Sebaliknya, seseorang yang mengonsumsi pangan ber-IG rendah maka peningkatan

kadar gula dalam darah berlangsung lambat dan puncak kadar gulanya rendah

(Widowati, 2008).

Konsep Indeks Glikemik (IG) pertama-tama dikembangkan tahun 1981 oleh

Dr. David Jenkins, seorang Professor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk

membantu menentukan pangan yang paling baik bagi penderita diabetes. Pada masa

itu, diet bagi penderita diabetes didasarkan pada sistem porsi karbohidrat. Konsep ini

menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan pengaruh yang

sama pada kadar gula darah. Jenkins adalah salah seorang peneliti pertama yang

mempertanyakan hal ini dan menyelidiki bagaimana sebenarnya pangan bekerja di

dalam tubuh (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Kecepatan pencernaan karbohidrat berpengaruh penting dalam pemahaman

peran karbohidrat bagi kesehatan. Konsep IG menjelaskan bahwa tidak setiap

karbohidrat bekerja dengan cara yang sama. IG memberikan cara yang lebih mudah

dan efektif dalam mengendalikan fluktuasi kadar gula darah (Widowati, 2008).

Konsep indeks glikemik dikembangkan untuk memberikan klasifikasi

(2)

rendah dapat meningkatkan rasa kenyang dan menunda lapar, sedangkan makanan

yang memiliki indeks glikemik tinggi mampu meningkatkan kadar glukosa darah

dengan cepat (Aston, 2006 dalam Rimbawan dan Nurbayani, 2013).

Konsep indeks glikemik disusun untuk semua orang yaitu orang yang sehat,

penderita obesitas, penderita diabetes dan atlet. Indeks glikemik membantu penderita

diabetes dalam menentukan jenis pangan karbohidrat yang dapat mengendalikan

kadar glukosa darah. Diketahuinya indeks glikemik pangan akan membantu

penderita diabetes memilih makanan yang tidak menaikkan kadar glukosa darah

secara drastis sehingga kadar glukosa darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman.

Indeks glikemik juga membantu atlet dalam memilih makanan untuk menunjang

penampilan dan daya tahan tubuhnya. Makanan dengan indeks glikemik rendah akan

dicerna dengan lambat dan akan menyimpan glikogen otot secara perlahan sehingga

glukosa ekstra akan tersedia sampai akhir pertandingan. Dengan cara ini, pangan

ber-IG rendah akan meningkatkan daya tahan olahragawan (Rimbawan dan Siagian,

2004).

Berdasarkan respon IG-nya, pangan dikelompokkan menjadi tiga kelompok,

yaitu pangan ber IG rendah dengan rentang nilai IG <55, pangan IG sedang

(intermediate) dengan rentang nilai IG 55-70, dan pangan IG tinggi dengan rentang

(3)

2.1.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Indeks Glikemik Pangan

Beberapa faktor yang dapat memengaruhi nilai indeks glikemik pangan

adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan

amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar

lemak dan protein, serta kadar anti-gizi pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004).

a. Proses Pengolahan

Jenis pangan yang sama belum tentu memiliki nilai indeks glikemik yang

sama pula jika proses pengolahannya berbeda. Rimbawan dan Siagian (2004) dalam

Rimbawan dan Nurbayani (2013) menyebutkan bahwa proses pengolahan dapat

menyebabkan nilai indeks glikemik pangan meningkat karena melalui proses

pengolahan, struktur pangan menjadi lebih mudah dicerna dan diserap sehingga

dapat mengakibatkan kadar glukosa darah meningkat dengan cepat.

Hasil penelitian oleh Amalia, et al. (2011) yang menganalisis nilai indeks

glikemik beberapa jenis pengolahan jagung manis, yaitu rebus, tumis dan bakar

menunjukkan bahwa jagung manis yang ditumis memiliki nilai IG yang paling

rendah. Hal tersebut diduga disebabkan karena faktor lain yang memengaruhi nilai

IG, yaitu kadar lemak pangan. Pada proses pengolahan jagung manis tumis

menggunakan lemak dalam hal ini margarin. Menurut Rimbawan dan Siagian

(2004), pangan berkadar lemak tinggi cenderung memperlambat proses

pengosongan lambung sehingga menyebabkan laju pencernaan makanan di usus

halus juga diperlambat.

Jagung manis rebus memiliki nilai indeks glikemik yang lebih tinggi

(4)

dalam waktu yang cukup lama diduga menyebabkan peningkatkan daya cerna pati

yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai IG (Thornburn, et al., 1986 dalam

Amalia, et al., 2011). Sedangkan tingginya nilai indeks glikemik jagung manis bakar

dibandingkan dengan dua olahan lainnya disebabkan karena proses pengolahannya

menggunakan panas yang cukup tinggi dan dalam waktu yang lama. Proses

pengolahan seperti itu diperkirakan menyebabkan komponen karbohidrat pada

jagung manis bakar lebih mudah dicerna dan diserap oleh tubuh sehingga

menyebabkan respon glikemik yang lebih tinggi (Amalia, et al., 2011). Menurut

Cameron (1985) dalam Amalia, et al. (2011), pemasakan dengan metode panas

kering, seperti pembakaran, menyebabkan karbohidrat pecah dan membentuk warna

gelap (reaksi maillard). Hal ini mengindikasikan pecahnya pati sehingga membentuk

dekstrin, bentuk yang lebih mudah dicerna.

Tingkat gelatinisasi pati dapat memengaruhi nilai indeks glikemik pangan

karena proses gelatinisasi pati yang terjadi saat pemasakan dapat menyebabkan

granula pati mengembang. Granula yang mengembang dan molekul pati yang bebas

sangat mudah dicerna karena enzim pencerna pati di dalam usus halus mendapatkan

permukaan yang lebih luas untuk kontak dengan enzim. Reaksi cepat dari enzim ini

mengakibatkan meningkatnya kadar gula darah dengan cepat (Rimbawan dan

Siagian, 2004).

Ukuran partikel juga memengaruhi indeks glikemik. Semakin kecil ukuran

partikel menyebabkan struktur pangan menjadi halus sehingga pangan tersebut

mudah dicerna dan diserap di dalam tubuh dan mengakibatkan kadar gula darah naik

(5)

b. Kadar Amilosa dan Amilopektin

Amilosa merupakan struktur pati gula sederhana yang tidak bercabang. Oleh

karena itu, struktur tersebut akan terikat kuat sehingga sulit tergelatinisasi dan sulit

dicerna tubuh. Sedangkan amilopektin merupakan struktur pati gula sederhana yang

bercabang, memiliki struktur molekul yang terbuka, dan berukuran lebih besar,

sehingga dapat dicerna lebih baik dibanding pangan yang memiliki kandungan

amilosa lebih banyak (Maulana, 2012).

Menurut Rimbawan dan Siagian (2004) yang mengutip pendapat para ahli

(Miller, et al. 1992; dan Behall, et al. 1988), penelitian terhadap pangan yang

memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa

darah dan respon insulin lebih rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar

amilosa tinggi daripada pangan berkadar amilopektin tinggi. Sebaliknya, bila kadar

amilopektin pangan lebih tinggi daripada kadar amilosa, respon gula darah lebih

tinggi.

c. Kadar Gula dan Daya Osmotik Pangan

Jenis gula yang terdapat dalam pangan mempengaruhi indeks glikmik pangan

tersebut. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), pengaruh gula yang secara alami

terdapat dalam pangan (laktosa, sukrosa, glukosa, dan fruktosa) dalam berbagai

proporsi, terhadap respon glukosa darah sangat sulit diprediksi. Hal ini dikarenakan

pengosongan lambung diperlambat oleh peningkatan konsentrasi gula, apapun

strukturnya.

Gula meja (sukrosa) memiliki IG 65, hal ini dikarenakan disakarida terdiri

(6)

hati. Kebanyakan fruktosa diubah secara perlahan menjadi glukosa di dalam hati.

Oleh karena itu, respon glukosa darah terhadap fruktosa murrni sangat kecil

(IG=23). Artinya, dengan mengkonsumsi sukrosa, kita hanya mengkonsumsi

setengah glukosa (Rusilanti, 2008 dalam Izzati, 2015).

Daya osmotik pangan juga memiliki pengaruh terhadap nilai indeks glikemik

pangan. Rimbawan dan Siagian (2004) menyatakan bahwa tampaknya makin tinggi

keasaman dan daya osmotik (jumlah molekul per milliliter larutan), makin rendah

IG-nya. Hal ini dapat dilihat pada beberapa buah yang memiliki IG rendah, seperti

ceri (IG=22), sedangkan buah lainnya memiliki IG relatif tinggi, seperti semangka

(IG=72).

d. Kadar Serat Pangan

Serat pangan atau dietary fiber adalah karbohidrat (polisakarida) dan lignin

yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia sehingga akan sampai di

usus besar dalam keadaan utuh. Kandungan serat dapat memengaruhi nilai indeks

glikemik karena dapat memperlambat respon glikemik. Pengaruh serat terhadap

indeks glikemik pangan tergantung pada jenis seratnya. Bila masih utuh, serat dapat

bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Akibatnya, nilai indeks

glikemik akan cenderung lebih rendah (Araya, 2002 dalam Rimbawan dan

Nurbayani, 2013).

Menurut Sulistijani (1999) yang mengutip hasil penelitian Jenkins (1976),

penambahan serat larut air pada diet penderita diabetes melitus ringan dapat

menurunkan kadar gula darah dan menyebabkan respon terhadap insulin semakin

(7)

dan meningkatkan kekentalan isi usus yang secara tidak langsung dapat menurunkan

kecepatan difusi permukaan mukosa usus halus. Akibatnya, kadar gula dalam darah

mengalami penurunan secara perlahan, sehingga kebutuhan akan insulin juga

berkurang.

e. Kadar Lemak dan Protein Pangan

Jumlah zat gizi seperti lemak dan protein yang terkandung dalam pangan

juga memiliki pengaruh terhadap nilai indeks glikemik pangan. Lemak yang

terkandung dalam makanan yang dikonsumsi akan meninggalkan lambung secara

lambat, sehingga akan memberikan rasa kenyang. Hal tersebut akan memperlambat

laju pengosongan lambung sehingga memperlambat timbulnya rasa lapar

(Rimbawan dan Nurbayani, 2013).

Jagung manis dan kacang hijau diketahui memiliki kadar lemak

masing-masing sebanyak 1 g dan 1,2 g. Menurut Wolever dan Bolognesi (1996) dalam

Rimbawan dan Nurbayani (2013), lemak dalam jumlah besar (50 g lemak) dapat

menurunkan respon glukosa darah dan respon insulin. Berdasarkan hal tersebut,

dapat diketahui bahwa kadar lemak yang rendah pada jagung manis dan kacang

hijau diduga tidak berperan besar dalam memperlambat laju pengosongan lambung

yang berpengaruh terhadap penurunan repon glukosa darah.

Pangan berkadar lemak tinggi mempunyai IG lebih rendah daripada pangan

sejenis yang berlemak rendah. Namun, manusia memerlukan makanan berkadar

lemak rendah, bukan berkadar lemak tinggi. Pangan berkadar lemak tinggi, apapun

jenisnya dan ber-IG rendah atau tinggi harus dikonsumsi secara bijaksana

(8)

Pusat Diabetes dan Lipid RSCM/FKUI dan Instalasi Gizi RSUPNCM (2003)

yang mengutip penelitian Jenkins, et al. menyatakan bahwa lemak dan protein

memiliki hubungan yang negatif (-) dengan indeks glikemik, artinya masukan

protein yang besar kemungkinan dapat membuat kadar glukosa darah lebih rendah

karena protein dapat menstimulasi sekresi insulin. Namun, menurut Rimbawan dan

Siagian (2004) dalam Rimbawan dan Nurbayani (2013), tidak semua pangan yang

memiliki kadar protein tinggi, nilai indeks glikemiknya rendah. Menurut Chen, et al.

(2010) dalam Rimbawan dan Nurbayani (2013), protein dan lemak pada makanan

yang dikonsumsi umumnya tidak memengaruhi respon indeks glikemik, sehingga

pengaruh kadar protein terhadap nilai indeks glikemik diabaikan.

f. Kadar Anti-Gizi Pangan

Secara alamiah, beberapa pangan mengandung zat yang dapat menyebabkan

keracunan bila jumlahnya besar. Zat ini disebut zat anti-gizi. Beberapa zat anti-gizi

akan tetap aktif walaupun sudah melalui proses pemasakan. Zat anti-gizi pada

biji-bijian dapat menghambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus. Akibatnya,

IG pangan menurun (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Beberapa kacang-kacangan, termasuk kacang hijau, merupakan sumber zat

anti-gizi yang terdiri dari inhibitor enzim, lektin, saponin, phytat dan tanin. Inhibitor

amilase dapat tetap hidup walau melalui proses pemasakan dan dapat mengurangi

daya cerna pati dan respon glukosa darah. Demikian pula phytat, anti amilosa dan

anti sukrosa (Pusat Diabetes dan Lipid RSCM/FKUI dan Instalasi Gizi RSUPNCM,

(9)

2.1.2 Perhitungan Indeks Glikemik

Metode pengambilan sampel darah, pemilihan dan pengulangan makanan

acuan, verifikasi kandungan karbohidrat yang tersedia dari makanan, jumlah dan

jenis subyek, dan perhitungan IAUC merupakan beberapa metodologi harus

dilakukan dalam pengukuran IG (Simila, 2012 dalam Sundari, 2014).

Pangan acuan yang digunakan untuk mengukur indeks glikemik pangan

adalah roti putih atau glukosa murni. Pemberian pangan acuan dan pangan uji dalam

pengukuran IG dilakukan dalam waktu yang berbeda dengan subyek yang sama

untuk mengurangi efek keragaman respon glukosa darah dari hari ke hari. Untuk

mendapatkan respon rata-rata yang representatif untuk pangan acuan, dianjurkan

untuk melakukan pengukuran IG pangan acuan secara berulang untuk setiap subyek.

Porsi makanan yang diuji dalam pengukuran indeks glikemik harus mengandung 50

g karbohidrat. Untuk mendapatkan nilai yang setara dengan 50 g karbohidrat dalam

pangan acuan ataupun pangan uji perlu dilakukan pengujian karbohidrat untuk

memverifikasi kandungan karbohidrat yang terdapat dalam pangan tersebut (FAO,

1998 dalam Sundari, 2014).

Perhitungan IAUC merupakan salah satu hal yang paling penting dalam

pengukuran nilai indeks glikemik pangan. Sejumlah metode yang berbeda telah

digunakan untuk menghitung daerah di bawah kurva. Untuk sebagian besar data

indeks glikemik, area di bawah kurva telah dihitung sebagai daerah tambahan di

bawah kurva respon glukosa darah (IAUC), dengan mengabaikan daerah di bawah

konsentrasi puasa. Hal ini dapat dihitung secara geometris dengan menerapkan

(10)

dibawah kurva dianggap menggambarkan jumlah total respon glikemik, tidak hanya

satu titik yang diberikan oleh puncak respon glukosa darah. Para ahli statistik

menganjurkan penggunaan luas area dibawah kurva sebagai angka yang

menggambarkan respon glukosa darah secara benar.

Menurut Monro dan Shaw (2008) dalam Sundari (2014), pengukuran nilai

indeks glikemik pangan dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

Dimana,

=

= 1, dengan demikian,

Keterangan:

IG : Indeks Glikemik

IAUC food : Luas area dibawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap pangan uji

IAUC glucose : Luas area dibawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap glukosa murni (pangan acuan)

Wt : Berat (g)

Prosedur penentuan nilai indeks glikemik pangan adalah sebagai berikut

(Miller, et al., 1996 dalam Rimbawan dan Siagian ,2004):

a. Subyek yang telah menjalani puasa penuh (kecuali air) selama ± 10 jam (sekitar

pukul 22.00 sampai pukul 08.00 pagi besoknya), dilakukan pengukuran kadar

gula darah puasa, lalu diberikan pangan tunggal (uji) yang akan ditentukan

(11)

b. Selama dua jam pasca-pemberian pangan uji, sampel darah sebanyak 50 μL –

finger-prick capillary blood samples method– diambil setiap 15 menit pada jam

pertama, kemudian 30 menit pada jam kedua yaitu berturut-turut pada menit ke

0 (sebelum pemberian), 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 untuk diukur kadar

glukosanya. Kadar glukosa dapat diukur dengan metode glucose oxidase

peroxidase reagent.

c. Pada waktu yang berlainan (minimal 3 hari setelah perlakuan pertama), hal yang

sama dilakukan dengan memberikan pangan acuan (50 g glukosa murni atau

white bread) kepada relawan.

d. Kadar gula darah (pada setiap waktu pengambilan sampel) ditebar pada dua

sumbu waktu (x) dan kadar glukosa darah (y).

e. Indeks glikemik ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah

kurva antara pangan yang diukur indeks glikemiknya dengan pangan acuan.

2.2 Jagung Manis

Jagung manis (sweet corn) merupakan komoditas palawija dan termasuk

dalam keluarga (famili) rumput-rumputan (Gramineae) genus Zea dan spesies Zea

mays saccharata. Ciri-ciri yang dimiliki jagung manis berupa endosperm berwarna

bening, kulit biji tipis, kandungan pati sedikit, pada waktu masak biji akan berkerut

(Koswara , 2009 dalam Harianja, 2015).

Jagung manis tergolong tanaman monokotil yang berumah satu (monoecious)

yang artinya, benang sari (tassel) dan putik (tongkol) terletak pada bunga yang

berbeda, tetapi dalam satu tanaman yang sama. Berdasarkan tipe bunga tersebut,

(12)

dan gaya gravitasi. Penyerbukan juga dapat dipengaruhi oleh suhu dan varietas

jagung manis dan dapat berakhir setelah 3 – 10 hari. Rambut tongkol biasanya

muncul 1 – 3 hari setelah serbuk sari mulai tersebar dan siap diserbuki ketika keluar

dari kelobot (Syukur dan Rifianto, 2013).

Menurut Iskandar (2011) dalam Harianja (2015), taksonomi tanaman jagung

manis (Zea mays saccharata) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Sub Divisio : Angiospermae (berbiji tertutup)

Classis : Monocotyledone (berkeping satu)

Ordo : Graminae (rumput-rumputan)

Familia : Graminaceae

Genus : Zea

Species : Zea mays saccharata

Koswara (1986) dalam Herianto (2014) menyebutkan bahwa sifat manis pada

jagung manis disebabkan oleh gen su-1 (sugary), bt-2 (britlle) ataupun sh-2

(shrunken). Gen ini dapat mencegah perubahan gula menjadi pati pada endosperma

sehingga jumlah gula yang ada kira-kira dua kali lebih banyak dari jagung biasa.

Pertumbuhan jagung manis yang paling baik yaitu pada musim panas, tetapi

sebagian besar areal pengolahan jagung manis berada di daerah yang dingin. Jagung

manis dapat tumbuh hampir di semua tipe tanah dengan pengairan yang baik.

(13)

6,5. Tanaman ini peka terhadap tanah masam dan tidak toleran terhadap embun beku

(Syukur dan Rifianto, 2013).

Gambar 2.1 Jagung Manis (Zea mays saccharata)

2.2.1 Kandungan Zat Gizi Jagung Manis

Jagung manis mengandung karbohidrat, lemak, protein, dan beberapa

mineral yang bermanfaat bagi kesehatan. Kandungan zat gizi dalam biji jagung

(14)

Tabel 2.1 Kandungan Zat Gizi Jagung Manis setiap 100 g Bahan

Sumber : Iskandar (2011) dalam Harianja (2015)

Nilai IG pada jagung manis dengan standar glukosa diketahui adalah 60

(sedang). Sedangkan nilai indeks glikemik jagung manis dengan standar roti putih

adalah 86 (tinggi) (Foster-Powell, et al., 2002). Sementara itu, nilai indeks glikemik

jagung manis dengan beberapa pengolahan seperti jagung rebus, tumis dan bakar

masing-masing adalah 41.22 (rendah), 31.088 (rendah) dan 55.31 (sedang) (Amalia,

et al., 2011).

2.3 Kacang Hijau

Kacang hijau (Vigna radiata) merupakan salah satu jenis kacang-kacangan

yang banyak dibudidayakan di Indonesia, seperti halnya kacang tanah dan kedelai,

akan tetapi pembudidayaannya masih terbatas. Padahal, pembudidayaan kacang

hijau lebih mudah dibandingkan dengan kacang-kacangan lainnya, karena

mempunyai daya adaptasi yang tinggi, umur yang relatif pendek, dan cocok ditanam

di lahan yang kurang air. Kacang hijau menduduki urutan ketiga dari jenis tanaman

(15)

Nama daerah untuk kacang hijau antara lain retek hijo (Aceh), ritik ertak

(Batak), harita ndrawa (Nias), kacang hejo, kacang herang (Sunda), kacang ijo

(Jawa), artak (Madura), atak wilis, kacang wilis (Bali), hue moidomo (Gorontalo),

buwe kope, buwe baicu, reni (Bugis), taqmelo (Ternate, Tidore). Sementara nama

asingnya adalah mung bean (Inggris), atau sering juga disebut golden gram, green

gram, mungo dan green beans (Purwono dan Purnamawati, 2007).

Tanaman kacang hijau sudah lama dikenal dan ditanam oleh masyarakat tani

di Indonesia. Asal usul tanaman kacang hijau diduga dari kawasan India.

Penyebaran kacang hijau meluas, ditanam ke berbagai daerah atau negara di Asia

beriklim panas (tropis). Kacang hijau dibawa masuk ke wilayah Indonesia pada awal

abad ke-17, oleh pedagang Cina dan Portugis. Pusat penyebaran kacang hijau pada

mulanya terpusat di Pulau Jawa dan Bali, tetapi pada tahun 1920-an mulai

berkembang di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan dan Indonesia bagian Timur.

Daerah sentrum produksi kacang hijau adalah provinsi Sulawesi Selatan, Jawa

Timur, Nusa Tenggara barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan

DI Yogyakarta (Rukmana, 1997).

Menurut Purwono dan Hartono (2005), kedudukan tanaman kacang hijau

dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut.

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Sub Divisio : Angiospermae (berbiji tertutup)

Classis : Dicotyldonae (biji berkeping dua)

(16)

Family : Leguminoceae (Papilionaceae)

Genus : Vigna

Sub Genus : Ceratotropis

Species : Vigna radiata

Susunan tubuh tanaman (morfologi) kacang hijau terdiri atas akar, batang,

daun, bunga, buah dan biji. Perakaran tanaman kacang hijau bercabang banyak dan

membentuk bintil-bintil (nodula) akar. Semakin banyak nodula akar, maka akan

semakin tinggi kandungan nitrogen (N), sehingga tanah menjadi semakin subur

(Rukmana, 1997).

Purwono dan Purnamawati (2005) menyebutkan bahwa kacang hijau tumbuh

tegak. Batang kacang hijau berbentuk bulat dan berbuku-buku. Ukuran batangnya

kecil, berbulu, berwarna hijau kecokelatan atu kemerahan. Tanaman ini bercabang

banyak. Daunnya tumbuh majemuk dan terdiri dari tiga helai anak daun setiap

tangkai. Helai daun berbentuk oval dengan bagian ujung lancip dan berwarna hijau

muda hingga hijau tua. Letak daun berseling. Tangkai daun lebih panjang daripada

daunnya sendiri.

Bunga kacang hijau berkelamin sempurna (hermaphrodite), berbentuk

kupu-kupu dan berwarna kuning. Bunganya muncul di ujung percabangan pada umur 30

hari. Munculnya bunga dan pemasakan polong pada tanaman kacang hijau tidak

serempak sehingga panen dilakukan beberapa kali (Purwono dan Purnamawati,

2007). Buah berpolong dengan panjang antara 6 cm – 15 cm. Setiap polong berisi 6

(17)

– 0,8 mg, dan berat per 1000 butir antara 36 g – 78 g. Biji kacang hijau berwarna

hijau sampai hijau mengilap (Rukmana, 1997).

Gambar 2.2 Biji Kacang Hijau (Vigna radiata)

Kacang hijau adalah tanaman tropis dataran rendah yang dapat

dibudidayakan pada ketinggian 5–700 mdpl. Penanaman kacang hijau di daerah

dengan ketinggian di atas 750 mdpl akan mengakibatkan produksi kacang hijau

menurun. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada suhu udara optimal antara 25–27oC .

Keasaman tanah yang diperlukan untuk tumbuh optimal, yaitu pH tanah antara 5,8–

6,5. Tanaman ini menyukai daerah yang memiliki kelembaban udara antara 50–89%

. Daerah yang memiliki curah hujan antara 50–200 mm/bulan merupakan daerah

yang baik untuk budidaya tanaman ini. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan

(18)

2.3.1 Kandungan Zat Gizi Kacang Hijau

Komposisi kimia kacang hijau sangat beragam, tergantung varietas, faktor

genetik, iklim, maupun lingkungan. Karbohidrat merupakan komponen bahan kering

kacang hijau terbesar (lebih dari 55%), yang terdiri dari pati, gula dan serat. Pati

kacang hijau memiliki daya cerna yang sangat tinggi yaitu 99,8% sehingga sangat

baik dijadikan bahan makanan bayi dan anak balita yang sistem pencernaannya

belum sesempurna orang dewasa (Astawan, 2009). Pati kacang hijau terdiri dari

amilosa 28,8% dan amilopektin 71,2% (Balittan, 2007 dalam Pandiangan, 2008).

Berdasarkan jumlahnya, protein merupakan nutrisi penyusun utama kedua

kacang hijau setelah karbohidrat. Kacang hijau mengandung 20-25 % protein.

Protein pada kacang hijau mentah memiliki daya cerna sekitar 77%. Daya cerna

yang tidak terlalu tinggi tersebut disebabkan oleh adanya zat antigizi, seperti

antitripsin dan tanin (polifenol). Untuk meningkatkan daya cerna protein tersebut,

kacang hijau harus diolah terlebih dahulu melalui proses pemasakan, seperti

perebusan, pengukusan dan sangrai (Astawan, 2009).

Kandungan lemak kacang hijau relatif sedikit (1–1,2%). Keadaan ini

menguntungkan sebab dengan kandungan lemak yang rendah, kacang hijau dapat

disimpan lebih lama dibandingkan kacang-kacangan lainnya. Menurut The

University of Sydney, nilai indeks glikemik kacang hijau yang direndam selama 12

jam atau disimpan di tempat yang lembab selama 24 jam ataupun yang diuapkan

selama 1 jam adalah 38, termasuk kategori rendah. Komposisi zat gizi kacang hijau

(19)

Tabel 2.2 Kandungan Zat Gizi Kacang Hijau setiap 100 g Bahan

Sumber :Direktorat Gizi, Depkes RI (1992) dalam Astawan (2009)

2.4 Kerangka Konsep Penelitian

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, bubur memiliki arti makanan lembek dan

berair yang dibuat dari beras, kacang-kacangan, dan sebagainya yang direbus.

Berdasarkan salah satu faktor yang dapat memengaruhi nilai IG, yaitu cara

pengolahan, maka dengan tekstur bubur jagung yang lembek dan mudah dicerna

memungkinkan untuk menghasilkan nilai IG yang tinggi. Oleh karena itu, dalam

penelitian ini bubur jagung akan dicampur dengan kacang hijau yang memiliki

indeks glikemik rendah (38), sehingga diharapkan dengan mencampur kedua pangan

tersebut akan menghasilkan bubur jagung kacang hijau yang memiliki IG rendah dan

secara tidak langsung berarti mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam.

Bubur jagung manis kacang hijau bukan merupakan hal baru dalam dunia

kuliner masyarakat Indonesia. Banyak para pebisnis franchise maupun pedagang

keliling yang telah menjual produk bubur jagung dengan berbagai macam campuran

lainya, seperti durian, kacang hijau, ketan hitam, dan lain sebagainya. Oleh karena

(20)

lebih mendekati nilai indeks glikemik jagung manis atau kacang hijau. Sehingga

dengan diketahuinya nilai indeks glikemik makanan tersebut, dapat diketahui apakah

bubur jagung manis kacang hijau dapat disarankan atau harus dihindari oleh

penderita DM dan obesitas.

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep diatas, jagung manis dan kacang hijau akan

diolah menjadi bubur campuran jagung manis kacang hijau (perbandingan 1:1).

Sebelum mengukur nilai indeks glikemik, bubur jagung manis kacang hijau terlebih

dahulu dianalisis profil gizinya yaitu kadar air, kadar abu, protein, lemak, serat kasar

dan kandungan karbohidratnya. Setelah diketahui kandungan karbohidratnya,

relawan yang bersedia menjadi subyek penelitian diberikan bubur jagung kacang

hijau yang mengandung 50 gram karbohidrat kemudian diukur nilai indeks

glikemiknya dengan melihat rata-rata kenaikan kadar glukosa darah pada menit ke 0

Gambar

Gambar 2.1 Jagung Manis (Zea mays saccharata)
Tabel 2.1 Kandungan Zat Gizi Jagung Manis setiap 100 g Bahan
Gambar 2.2 Biji Kacang Hijau (Vigna radiata)
Tabel 2.2 Kandungan Zat Gizi Kacang Hijau setiap 100 g Bahan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Benda bening seperti cermin datar dapat memantulkan cahaya yang jatuh pada cermin datar dengan mengikuti aturan hukum pemantulan. Cermin datar membentuk bayangan yang

Eel fish (Anguilla marmorata Quoy Gaimard) is one of the strategic commodities to be developed because it has high nutritional value such as protein, fatty acid, vitamins

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian bumper beam mobil dari bahan polymeric foam diperlihatkan pada Tabel 3.2.. Tabel 3.2 Peralatan dan

Kronologis penyusunan Perda di Kota Salatiga mengacu pada asas dan tata cara yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk

Tabel 11.4 Proporsi rumah tangga yang memiliki ART gangguan jiwa berat yang pernah dipasung menurut tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, Indonesia 2013202 Tabel

PEMBAGIAN KELOMPOK MENTORING ISLAM

Jadi keunggulan system hydraulic adalah dengan hanya membuang sedikit tenaga untuk menekan torak yang ada didalam master silinder, akan didapat tekanan yang cukup

Menurut Undang-undang No.10/1998 pasal 1 ayat 5 (1998:6) yang memberikan pengertian simpanan pada bank adalah sebagai berikut: Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh