OPERATION PROCESS CHART (OPC), ASSEMBLY PROCESS
CHART (APC), STRUKTUR PRODUK, DAN BILL OF
MATERIAL (BOM)
Landasan Teori
Menurut Sutalaksana (2006), peta proses operasi merupakan suatu diagram yang menggambarkan langkah-langkah proses yang akan dialami bahan baku mengenai urutan-urutan operasi dan pemeriksaan. Sejak dari awal sampai menjadi produk jadi maupun sebagai komponen dan juga memuat informasi-informasi yang diperlukan untuk analisis lebih lanjut, seperti waktu yang dihabiskan, material yang digunakan, dan tempat atau mesin yang dipakai. Peta jenis ini memiliki manfaat, yaitu dapat mengetahui kebutuhan akan mesin dan penganggarannya, bisa memperkirakan kebutuhan akan bahan baku dengan memperhitungkan efisiensi disetiap operasi ataupun pemeriksaan, sebagai alat untuk menentukan tata letak pabrik, sebagai alat untuk melakukan perbaikan cara kerja yang sedang dipakai, dan juga sebagai alat untuk latihan kerja.
Peta proses perakitan merupakan peta yang menggambarkan langkah-langkah proses perakitan yang akan dialami komponen berikut pemeriksaannya dari awal sampai produk jadi selesai. Peta ini memiliki manfaat, yaitu menentukan kebutuhan operator, mengetahui kebutuhan tiap komponen, alat unutk menentukan tata letak fasilitas, alat untuk menentukan perbaikkan cara kerja, alat untuk latihan kerja (Gaspersz, 2002).
Setiap item dan komponen produksi harus memiliki identifikasi yang jelas dan unik sehingga berguna pada saat komputerisasi. Hal ini dilakukan dengan membuat struktur produk dan bill of material setiap produk. Struktur produk berisi mengenai hubungan antar komponen dalam perakitan. Informasi ini penting dalam penentuan kebutuhan kotor dan kebutuhan bersih suatu komponen. Lebih jauh lagi, struktur produk juga mengandung informasi tentang semua item, seperti nomor item, serta jumlah yang dibutuhkan pada setiap tahapan perakitan (Gaspersz, 2002).
Jenis-jenis dari bill of material, yaitu phantom bill, modular bill dan
pseudo bill. Phantom bill merupakan BOM untuk komponen, biasanya sub-sub perakitan yang hanya ada untuk sementara waktu. Modular bill merupakan BOM yang dapat diatur seputar modular. Sedangkan pseudo bill merupakan BOM yang disusun berdasarkan waktu (www.stekpi.ac.id).
Menurut Sutalaksana (2006), pengukuran-pengukuran telah selesai, yaitu semua data yang didapat memiliki keseragaman yang dikehendaki yang diinginkan, maka selesailah kegiatan pengukuran waktu. Langkah selanjutnya adalah mengolah data tersebut sehingga memberikan waktu baku. Cara mendapatkan waktu baku dari data yang terkumpul itu adalah sebagai berikut: a. Menghitung waktu siklus
Waktu siklus merupakan jumlah tiap-tiap elemen pekerjaan.
Keterangan:
X1= Jumlah waktu penyelesaian yang teramatiN = Jumlah pengamatan yang dilakukan
b. Menghitung Waktu Normal
Waktu normal merupakan waktu penyelesaian pekerjaan yang diselesaikan oleh pekerja dalam kondisi wajar dan berkemampuan kerja rata-rata.
Keterangan: Ws = Waktu siklus
P = Faktor penyesuaian
Faktor penyesuaian (P) ini diperhitungkan jika pengukur berpendapat bahwa operator bekerja dengan kecepatan tidak wajar, sehingga hasil perhitungan
N
X
W
s
1 P x Ws Wn
waktu perlu disesuaikan atau dinormalkan dulu untuk mendapatkan waktu siklus rata-rata yang wajar. Jika pekerja bekerja dengan wajar, maka faktor penyesuaiannya P = 1, artinya waktu siklus rata-rata sudah normal. Jika bekerja terlalu lambat maka untuk menormalkan pengukur harus memberi harga P < 1 dan sebaliknya P > 1, jika dianggap bekerja terlalu cepat.
c. Hitung Waktu Baku
Waktu baku merupakan waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh pekerja normal untuk menyelesaikan pekerjaan yang dijalankan dalam sistem kerja terbaik saat itu.
Keterangan: Wn = Waktu normal
l = Kelonggaran (allowance) yang dihasilkan pekerja untuk menyelesaikan pekerjaanya disamping waktu normal.
Menurut Sutalaksana (2006), kelonggaran ini diberikan untuk hal-hal seperti kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa fatigue dan gangguan-gangguan yang mungkin terjadi yang tidak dapat dihindarkan oleh pekerja. Umumnya kelonggaran dinyatakan dalam persen dari waktu normal.
1
Wn Wb
PERAMALAN
Landasan TeoriPeramalan adalah proses untuk memperkirakan berapa kebutuhan di masa datang yang meliputi kebutuhan dalam ukuran kuantitas, kualitas, waktu dan lokasi yang dibutuhkan dalam rangka memenuhi permintaan barang ataupun jasa. Salah satu jenis peramalan adalah peramalan permintaan. Peramalan permintaan merupakan tingkat permintaan produk-produk yang diharapkan akan terealisasi untuk jangka waktu tertentu pada masa yang akan datang.
Aktivitas peramalan merupakan suatu fungsi bisnis yang berusaha memperkirakan permintaan dan penggunaan produk sehingga produk-produk itu dapat dibuat dalam kuantitas yang tepat. Dengan demikian peramalan merupakan suatu dugaan terhadap permintaan yang akan datang berdasarkan pada beberapa variabel peramalan, berdasarkan data deret waktu historis (Gaspersz, 2004).
Metode Peramalan yang Digunakan
Bermacam-macam metode peramalan telah ditetapkan dengan tujuan mendapatkan hasil ramalan yang tepat guna, dimana metode peramalan tersebut kemudian akan menjadi bagian dari fungsi perencanaan dan merupakan sarana pengambilan keputusan. Ada dua metode atau teknik peramalan yang dapat digunakan, yaitu teknik peramalan kualitatif dan kuantitatif. Teknik peramalan kualitatif lebih menitikberatkan pada pendapat (judgment) dan intuisi manusia dalam proses peramalan, sehingga data historis yang ada menjadi tidak begitu penting. Teknik peramalan kuantitatif sangat mengandalkan pada data historis yang dimiliki. Teknik kuantitatif ini biasanya dikelompokkan menjadi dua, yaitu teknik statistik dan teknik deterministik.
Metode Weight Moving Averages
Model rata-rata bergerak terbobot lebih responsif terhadap perubahan, karena data dari periode yang baru biasanya diberi bobot lebih besar. Menurut
Gaspersz (2004) suatu model rata-rata bergerak n-periode terbobot, weighted
MA(n), dinyatakan sebagai berikut:
Metode Single Exponential
Metode peramalan dengan pemulusan eksponensial biasa digunakan untuk pola data yang tidak stabil atau perubahannya besar dan bergejolak. Peramalan menggunakan metode pemulusan eksponensial dilakukan berdasarkan formula seperti di bawah ini.
Keterangan:
Ft = nilai ramalan untuk periode waktu ke-t
Ft-1 = nilai ramalan untu satu periode waktu yang lalu, t-1 At-1 = nilai aktual untuk satu periode waktu yang lalu, t-1
= konstanta pemulusan (smoothing constant)
Metode Regresi Linier
Metode regresi linier sering sekali dipakai untuk memecahkan masalah-masalah dalam penaksiran tentunya hal ini berlaku juga dalam peramalan sehingga metode regresi linier menjadi suatu metode yang mempunyai taksiran terbaik diantara metode-metode yang lain. Metode regresi linier dipergunakan sebagai metode peramalan apabila pola historis dari data aktual permintaan menunjukkan adanya suatu kecenderungan menaik dari waktu ke waktu. Metode ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
t t-1 t-1 t-1
F = F + (A - F )
ŷ = a + bx
pembobot untuk periode n permintaan aktual dalam periode n MA(n) =
pembobot
Weighted
Keterangan:
ŷ = nilai ramalan permintaan pada peiode ke-t a = intercept
b = slope dari garis kecenderungan,merupakan tingkat perubahan dalam permintaan.
x = indeks waktu ( t = 1,2,3,...,n) ; n adalah banyaknya periode waktu
Slope dan intercept dari persamaan regresi linier dihitung dengan menggunakan formula berikut:
Keterangan:
b = slope dari persamaan garis lurus a = intercept dari persamaan garis lurus x = index waktu
Teori Ukuran Akurasi Peramalan
Validasi metode peramalan terutama dengan menggunakan metode-metode di atas tidak dapat lepas dari indikator-indikator dalam pengukuran akurasi peramalan. Ukuran akurasi secara umum yang dipergunakan untuk peramalan adalah mean absolute deviation, mean forecast error, mean absolute percentage error, tracking signal, dan moving range.
Mean Absolute Deviation
Bagaimanapun juga terdapat sejumlah indikator dalam pengukuran akurasi peramalan, namun yang paling umum digunakan adalah Mean Absolute Deviation,
Mean Absolute Percentage Error dan Mean Squared Error (Gaspersz, 2004). Jika diformulasikan maka formula untuk menghitung MAD adalah sebagai berikut:
2 2 n . xy - x . y b = n . x - x
a = x - b . n x
MSE n ei
MPE
n x e i 100
absolut dari
MAD = n forecast error
Mean Forecast Error
Galat ramalan tidak dapat dihindari dalam sistem peramalan, namun galat ramalan itu harus dikelola dengan benar. Pengelolaan terhadap galat ramalan akan menjadi lebih efektif apabila peramal mampu mengambil tindakan mengambil tindakan yang tepat berkaitan dengan alasan-alasan terjadinya galat ramalan itu. Dalam sistem peramalan, penggunaan berbagai model peramalan akan memberikan nilai ramalan yang berbeda dan derajat dari galat ramalan yang berbeda pula (Gaspersz, 2004).
Rata-rata kesalahan kuadrat memperkuat pengaruh angka-angka kesalahan besar, tetapi memperkecil angka kesalahan prakiraan yang lebih kecil dari satu unit.
Mean Absolute Percentage Error (MAPE)
Rata-rata persentase kesalahan kuadrat merupakan pengukuran ketelitian dengan cara-cara persentase kesalahan absolute, MAPE menunjukkan rata-rata kesalahan absolut prakiraan dalam bentuk persentasenya terhadap data aktualnya.
Tracking Signal
Suatu ukuran bagaimana baiknya suatu ramalan memperkirakan nilai-nilai aktual Suatu ramalan diperbaharui setiap minggu, bulan atau triwulan, sehingga
MR =
t A F A Ft1 t1 t RSFE = MAD Tracking Signaldata permintaan yang baru dibandingkan terhadap nilai-nilai ramalan. Tracking signal dihitung sebagai running sum of the forecast errors dibagi dengan mean absolute deviation (Gaspersz, 2004).
Moving Range
Moving range dibuat untuk membandingkan nilai-nilai observasi atau data aktual dengan nilai peramalan dari kebutuhan yang sama. Dapat dikatakan bahwa
moving range adalah peta kontrol statistik yang digunakan pada pengendalian kualitas. Moving range digunakan untuk mengetahui sejauh mana arah pergerakan, misal permintaan bergerak. Perhitungan Moving range menggunakan rumus:
JADWAL INDUK PRODUKSI
MATERIAL REQUIREMENT PLANNING
Landasan Teori
Material Requirement Planning (MRP) dapat didefenisikan sebagai suatu teknik atau set prosedur yang sistematis dalam penentuan kuantitas serta waktu dalam proses pengendalian kebutuhan bahan terhadap komponen-komponen permintaan yang saling bergantungan (dependent demand items).
Moto dari MRP adalah memperoleh material yang tepat, dari sumber yang tepat, untuk penempatan yang tepat, dan pada waktu yang tepat. Berdasarkan MPS yang diturunkan dari rencana produksi, suatu sistem MRP mengidentifikasi item
apa yang harus dipesan, berapa banyak kuantitas item yang harus dipesan, dan bilamana waktu memesan item itu (Gaspersz, 2004).
Empat tujuan yang menjadi ciri utama sistem MRP, yaitu (Baroto, 2002): 1. Menentukan kebutuhan pada saat yang tepat.
Menentukan secara tepat kapan suatu pekerjaan harus selesai atau material harus tersedia untuk memenuhi permintaan atas produk akhir yang sudah direncanakan dalam jadwal induk produksi.
2. Menentukan kebutuhan minimal setiap item.
Dengan diketahuinya kebutuhan akhir, sistem MRP dapat menentukan secara tepat sistem penjadwalan (prioritas) untuk memenuhi semua kebutuhan minimal setiap item.
3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan.
Memberikan indikasi kapan pemesanan atau pembatalan pemesanan harus dilakukan. Pemesanan perlu dilakukan lewat pembelian atau dibuat pada pabrik sendiri.
4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang sudah direncanakan.
Apabila kapasitas yang ada tidak mampu memenuhi pesanan yang dijadwalkan pada waktu yang diinginkan, maka sistem MRP dapat memberikan indikasi untuk melakukan rencana penjadwalan ulang (jika mungkin) dengan menentukan prioritas pesanan yang realistik. Jika penjadwalan ulang ini masih tidak memungkinkan untuk memenuhi pesanan, maka pembatalan atas suatu pesanan harus dilakukan.
Sistem MRP memiliki beberapa syarat pendahuluan, yaitu (Baroto, 2002): 1. Ada dan tersedianya jadwal induk produksi, dimana terdapat jadwal rencana
dan pesanan dari item atau produk.
2. Item persediaan mempunyai identifikasi khusus. 3. Tersedianya struktur produk pada saat perencanaan.
4. Tersedianya catatan tentang persediaan untuk semua item, yang menyatakan keadaan persediaan sekarang dan yang akan datang atau direncanakan.
MRP dapat dioperasikan secara aktif, maka harus diperhatikan asumsi-asumsi sebagai berikut (Baroto, 2002):
1. Lead time untuk seluruh item yang diketahui atau dapat diperkirakan. 2. Setiap persediaan selalu dalam kontrol.
3. Semua komponen untuk suatu perakitan harus tersedia pada saat suatu pesanan untuk perakitan tersebut dilakukan, sehingga jumlah dan waktu kebutuhan kotor dari suatu perakitan dapat ditentukan.
4. Pengadaan dan pemakaian terhadap persediaan bersifat diskrit.
5. Proses pembuatan suatu item dengan item yang lain bersifat independen. Langkah-langkah dasar dalam MRP terdiri dari (Kusuma, 2004):
1. Proses netting, yaitu proses perhitungan untuk menetapkan jumlah kebutuhan bersih yang besarnya merupakan selisih antara kebutuhan kotor dengan keadaan persediaan (yang ada dalam persediaan dan yang sedang dipesan).
2. Proses lotting, yaitu proses untuk menentukan besarnya pesanan yang optimal untuk masing-masing item produk berdasarkan hasil perhitungan kebutuhan bersih.
3. Proses offsetting, yaitu proses yang ditujukkan untuk menentukan saat yang tepat guna melakukan rencana pemesanan dalam upaya memenuhi tingkat kebutuhan bersih.
Proses explosion atau exploding, yaitu proses perhitungan kebutuhan kotor
item yang berada di tingkat lebih bawah, didasarkan atas rencana pemesanan yang telah disusun pada proses offsetting.
LINE BALANCING
Landasan Teori
Menurut Gasperz (2004), dalam lingkungan repetitive manufacturing, suatu assembly line dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang yang melakukan tugas-tugas sekuensial dalam merakit sebuah produk. Perencanaan dari kapasitas assembly line sering mencakup penentuan struktur dari lini produksi (production line), misalnya banyak orang dan mesin beserta tugas-tugas yang diberikan kepada masing-masing sumber daya itu. Masalah penentuan jumlah orang dan mesin beserta tugas-tugas yang diberikan kepada masing-masing sumber daya itu, dikenal sebagai line balancing.
Tujuan line balancing adalah untuk memperoleh suatu arus produksi yang lancar dalam rangka memperoleh utilisasi yang tinggi atas fasilitas, tenaga kerja, dan peralatan melalui penyeimbangan waktu kerja antar work station, dimana setiap elemen tugas dalam suatu kegiatan produk dikelompokkan sedemikian rupa dalam beberapa stasiun kerja yang telah ditentukan sehingga diperoleh keseimbangan waktu kerja yang baik. Permulaan munculnya persoalan line balancing berasal dari ketidakseimbangan lintasan produksi yang berupa adanya